Meskipun telah ada pengertian yang lebih luas mengenai perilaku seksual
yang dapat diterima, tetapi anggapan-anggapan lama masih banyak yang
tertinggal, dan masalah-masalah baru selalu saja muncul. Adegan-adegan yang
menampilkan histeria massa akibat munculnya tersangka pedofilia
mengungkapkan adanya ketakutan dalam masyarakat. Freud mungkin pernah
membongkar adanya seksualitas yang bersifat kekanak-kanakan, tetapi itu
bukanlah sesuatu yang bisa didiskusikan secara rasional oleh masyarakat abad ke-
20. Kelihatan kalau di sini ada masalah tentang bagaimana menanggulangi para
“pelanggar seks” secara umum. Apakah mereka harus dianggap sakit, dan jika
memang demikian, apa obatnya? Ataukah mereka justru harus dianggap
“penjahat”? Apa atau siapa yang mereka langgar? Alam, hukum, atau
masyarakat? Lalu bagaimana cara kita membedakan antara aktivitas erotis yang
bagus dengan yang buruk? Kira-kira ini adalah ordonansi yang hebat, sifat alam,
atau konvensi sosial? Mungkinkah kita benar-benar yakin bahwa hasrat yang kita
miliki itu adalah normal dan alami? Mengapa seks begitu penting?
Sebagaimana yang disampaikan oleh antropolog Gayle Rubin, seksualitas
memiliki politik, ketidakadilan dan model pendindasannya sendiri. Bentuk
institusional konkret dari seksualitas, bersama dengan aspek-aspek lain perilaku
manusia, kapan pun dan dimana pun adalah produk dari aktivitas manusia.
Mereka dipengaruhi oleh berbagai konflik kepentingan dan maneuver politik, baik
yang disengaja maupun kebetulan. Dalam hal ini, seks selalu bersifat politis.
Namun demikian, ada kalanya ia juga bersifat historis, yaitu ketika seksualitas
lebih dipertentangkan dan dipolitisir. Pada periode semacam ini, ranah kehidupan
erotis dinegosiasi ulang.1 Jika kita memang tinggal di periode tersebut,
sebagaimana yang terlihat, maka salah satu cara untuk menegosiasi ulang
kehidupan erotis adalah melalui eksplorasi bagaimana kita memahami seks.
Derrida serta teori psikoanalitis dari Jacques Lacan, berbagai pertanyaan Foucault
tentang pengetahuan dan kekuasaan menjadi dasar bagi banyak pemikiran baru
tentang status subyek manusia. Foucault juga adalah seorang pria gay yang
meninggal karena AIDS pada 1984. Prestasi, pemikiran dan kehidupannya
membuatnya menjadi model yang hebat bagi banyak gay, lesbian dan
cendekiawan lain. Selain itu, analisanya mengenai hubungan timbal balik
pengetahuan, kekuasaan dan seksualitas juga menjadi katalisator intelektual paling
penting dalam queer theory.
Queer Genealogy
Essay ini akan fokus pada queer theory dan pemikiran-pemikiran yang berkaitan
dengan Foucault. Di sini, Foucault tidak hanya bisa dianggap sebagai katalisator,
titik tolak dan contoh, tetapi juga sebagai pengganggu, suatu kerikil yang masih
memprovokasi munculnya gagasan-gagasan baru. Sebagai sebuah narasi, essay ini
akan menampilkan sejarah pemikiran Foucault dan perkembangan queer theory.
Queer theory bukan berasal dari Foucault, dan bukan pula tujuan dari pemikiran
Foucault. Essay ini dapat dianggap sebagai “genealogy” singkat sekumpulan
wacana tertentu tentang kulminasi seksualitas (secara temporer dan tidak terpisah)
pada masa queer sekarang ini.
4
Scientia Sexualis
Sementara psikoanalis mendorong para pasiennya untuk mengeksplorasi rahasia-
rahasia seks yang bisa jadi merupakan kunci bagi kesehatan mental dan emosional
mereka, Foucault justru mengeksplorasi bagaimana cara psikoanalisa (diantara
banyak wacana lainnya) mengajak, atau lebih tepatnya mendorong, kita untuk
menghasilkan pengetahuan tentang seksualitas kita yang bersifat kultural, yang
sangat diperlukan untuk memelihara hubungan kekuasaan yang spesifik.
Psikoanalisa merupakan praktek diskursif yang mencoba untuk tidak
membungkam atau menekan seksualitas, melainkan membuat orang-orang
membicarakannya. “Scientia sexualis” Barat (berbeda dengan budaya “ars
erotica” Kerajaan Romawi, Cina, Jepang dan India yang didasarkan pada
kesenangan yang berlipat-lipat) fokus pada usaha menemukan kebenaran (yang
memalukan) tentang seksualitas, dan menggunakan proses pengakuan sebagai
metode kunci untuk menemukannya. Melalui pengakuan seorang Nasrani, praktek
pengobatan, peradilan, pedagogi dan keluarga, sejarah para pria dan wanita yang
mengamati hasrat, emosi dan pemikiran mereka di masa lalu serta masa kini, dan
yang memberi tahu orang lain tentang hal tersebut, akan ditelusuri. Memberi tahu
6
Konstruksi Homoseksualitas
Banyak sejarawan homoseksualitas yang berusaha menelusuri hubungan dan
kontinuitas antara identitas dan perilaku homoseks abad ke-20 dengan identitas
dan perilaku homoseks periode sebelumnya. Sebaliknya, Foucault justru yakin
bahwa kelompok homoseks tumbuh dari wacana tertentu di tahun 1870-an. Dan
seperti halnya seksualitas secara umum, kelompok homoseks tersebut seharusnya
juga dipandang sebagai kelompok pengetahuan yang terkonstruksi, dibandingkan
sebagai identitas yang ditemukan.
7
Foucault tidak mengatakan jika hubungan seks antar sesama jenis sebelum
abad ke-19 tidak ada. Para periode Renaisans, misalnya, praktek-praktek seks
seperti sodomi telah dianggap berdosa menurut Gereja, dan dilarang oleh hukum,
baik itu antara pria dengan pria, maupun pria dengan wanita. Perbedaan krusial
antara bentuk pengaturan praktek seks di periode awal tersebut dengan pengaturan
yang ada di abad ke-19 terletak pada identifikasi apa yang oleh Foucault disebut
dengan “spesies”, tipe makhluk hidup dengan seksualitas yang menyimpang. Jadi
sementara pria dan wanita abad ke-16 didorong untuk mengaku bila terlibat dalam
praktek-praktek seks memalukan yang bertentangan dengan hukum Tuhan dan
negara, para pria abad ke-19 yang memiliki hubungan seksual dengan pria lain
akan dilihat, dan didorong untuk melihat dirinya sendiri, sebagai “homoseks”.
Bersama dengan tipe subyek lain yang seksualitasnya menjadi perhatian
ilmu kedokteran abad ke-19 (termasuk wanita, anak-anak, kelas pekerja),
“homoseks” menjadi fokus dari berbagai penelitian. “Teknologi seks” ini
dirancang untuk memelihara dan membantu perkembangan populasi (atau tenaga
kerja) produktif dan prokreatif yang mampu memenuhi kebutuhan untuk
mengembangkan sistem kapitalis. Unit kunci dari golongan sosial ini adalah
keluarga kaum borjuis yang merupakan tempat dihasilkannya tenaga kerja masa
depan. Hal ini mengarah pada ketidaksamaan perhatian dalam “masalah”
masturbasi masa kanak-kanak, dan proliferasi teks serta strategi untuk
mengendalikan perilaku seksual anak-anak. Pada kerangka reproduktif ini,
praktek dan hasrat seks sesama jenis menjadi masalah yang harus dihadapi, suatu
penyimpangan dari norma prokreatif.
“Homoseks” merupakan subyek penelitian sistematis dalam bidang-bidang
diskursif, termasuk demografi, pendidikan dan hukum, yang concern dalam
melindungi kesehatan dan kemurnian populasi. Pada abad ke-16, penekanan
dalam kasus pria atau wanita yang mengakui adanya sodomi terletak pada
tindakan. Mereka diyakinkan bahwa apa yang mereka lakukan tersebut
merupakan tindakan yang sangat berdosa. Sebaliknya, penekanan pada abad ke-19
terletak pada kondisi individu yang ditentukan secara ilmiah. Menurut Foucault,
homoseksualitas muncul sebagai salah satu bentuk seksualitas ketika ia berubah
8
dirinya sendiri, dan bukan sebagai dasar bagi standar atau norma perilaku;
sedangkan disiplin dianggap sebagai bagian dari praktek untuk meraih kebebasan
atau otonomi individu. Masyarakat Yunani dan Romawi saling berbeda satu sama
lain, Romawi lebih menekankan pada heteroseksualitas dan pernikahan, budaya
Kristen secara efektif menghentikan seluruh model etika dunia klasik. Menurut
Foucault, orang Kristen mengembangkan kode moral yang universal dan
larangan-larangannya terpusat pada kebenaran seks. Sementara orang Romawi
melihat hasrat sebagai sesuatu yang bisa membahayakan, orang Kristen justru
melihatnya sebagai sesuatu yang jahat secara intrinsik.
Kadang-kadang Foucault seperti bangga ketika menulis non-normalizing
culture, terutama budaya Yunani kuno, tetapi ia menolak untuk menganggapnya
sebagai alternatif bagi masyarakat kontemporer. Batasan tentang siapa yang bisa
menjadi individu dalam wilayah etis ―pria bebas, bukan wanita atau budak― dan
hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, misalnya antara penetrator dengan
penetrated, menunjukkan adanya bentuk dominasi yang terus menerus yang tidak
dapat dideskripsikan sebagai hasil dari self-mastery.
kekuasaan. Namun demikian, tidak ada gagasan intelektual yang eksis dalam
isolasi total konteks kultural yang lebih luas.
Prestasi yang diraih oleh pendekatan ini sangat hebat, dan model dasarnya
masih tetap berpengaruh hingga sekarang. Selain mengkampanyekan keadilan dan
persamaan hak-hak, kelompok-kelompok seperti Campaign for Homosexual
Equality di Inggris dan Gay Activists Alliance di Amerika Serikat juga secara aktif
terlibat dalam penyebaran image “positif” gay, sebagai kritik atas image negatif
dan homofobia yang sering diperlihatkan dalam media. Penyebaran image dan
narasi tentang harga diri, kesenangan dan gaya ini membuka kemungkinan yang
lebih besar bagi kelompok-kelompok atau individu-individu yang image
positifnya cocok dengan budaya mainstream. Kampanye dan aliansi juga bisa
dianggap sebagai rumah bagi para gay dan lesbian.
Untuk pulang ke rumah, tentu saja kita harus “keluar” terlebih dulu. Bagi
orang gay dan lesbian, “keluar” menjadi penanda penting bagi politik seksual
mereka. Keluar berarti muncul dari sangkar dan persembunyiannya. Lalu apakah
pria dan wanita queer ini keluar? Bagaimana dengan orang yang tidak sesuai
dengan image tersebut, mereka yang tidak memiliki image positif, tidak memiki
kepercayaan diri, dan tidak berada di rumah dengan politik serta budaya
asimilasionis? Dan bagaimana dengan tindakan, kesenangan, serta identifikasi
yang menjadi penyebab konflik dalam komunitas gay? Identifikasi biseksualitas,
transseksualitas, sadomasokisme dan transgender secara implisit menentang
gagasan inklusif politik asimilasionis. Ketidaksesuaian dapat diinterpretasikan
dari sudut pandang kehormatan.
Sepanjang 1980-an, berbagai macam kehidupan gay dan lesbian yang
disebarkan dalam kampanye politik dikritik karena terlalu mengistimewakan nilai-
nilai kelas menengah dan orang kulit putih. Ketegangan antar gender dan antara
gender dengan seksualitas juga menyebabkan perdebatan semakin memanas, dan
mengungkap kelemahan model komunitas politik gay dan lesbian. Sepanjang
sejarah pembebasan gay, beberapa lesbian telah mengkritik maskulinisme budaya
gay yang mainstream. Mereka mengembangkan model lesbianisme sebagai
identifikasi bagi wanita yang memprioritaskan motivasi politik diatas hasrat
seksual. Namun demikian, para lesbian lain, termasuk para feminis, merasa bahwa
desexualized version dari hasrat seks perempuan sesama jenis justru meniadakan
13
Krisis Identitas
Patahnya mitos tentang identitas gay dan lesbian tidak hanya bisa dianggap
sebagai hasil perbedaan prioritas pribadi dan politik, tetapi juga hasil dari politik
yang ditentukan atas identitas. Meskipun identitas gay dan lesbian dapat dianggap
terkonstruksi secara kultural, tetapi mereka sebenarnya dibatasi sekaligus
difasilitasi. Karakteristik utamanya adalah “pilihan obyek”, preferensi untuk
hubungan seksual dengan seseorang dari gender yang sama dengannya. Hal ini
bisa jadi merupakan penanda bagi identitas gay dan lesbian, tetapi sebagaimana
yang ditunjukkan oleh Foucault dalam History, pilihan obyek semacam ini tidak
selalu merupakan dasar bagi sebuah identitas, dan bukan pula faktor penting
dalam persepsi setiap orang mengenai seksualitasnya. Model ini secara efektif
membuat biseks nampak seperti memiliki identitas yang kurang berkembang.
Wacana populer yang salah merepresentasikan AIDS sebagai penyakitnya
para gay telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembaharuan
homofobia, dan mengharuskan adanya suatu review atas strategi-strategi
asimilasionis. Koalisi baru terbentuk antara pria dan wanita, bukan berdasarkan
pada identitas yang penting, tetapi pada komitmen untuk menentang representasi
yang meminta hidupnya orang-orang pengidap AIDS. Dampak dari pendidikan
seks sendiri mendorong adanya pembaharuan pada penekanan terhadap praktek-
praktek. Isu pentingnya terletak pada apa yang kamu lakukan, bukan pada siapa
dirimu.
Dalam perkembangan strategi politik ini, banyak kritikus yang
menemukan adanya bentuk resistensi terhadap kekuatan sosial yang bersifat
menekan, yang menurut Foucault lebih bisa dipertahankan daripada proyek-
14
proyek revolusioner besar. Salah satu kelompok yang didirikan pada periode ini
adalah ACT UP, yang mengatur protes-protes publik mengenai kebijakan dan
retorika AIDS, menyerbu bursa efek New York, memblokade Golden Gate
Bridge, dan menginterupsi siaran berita CBS. Strategi ACT UP terfokus pada
usaha untuk menentang efek-efek kekuasaan dan pengetahuan, karena mereka
terwujud dalam institusi-institusi kedokteran, perusahaan-perusahaan asuransi,
dan beberapa konteks lainnya. Kelompok ini digambarkan oleh teoretikus David
Halperin sebagai perwujudan politik rekonseptualisasi strategis Foucault yang
paling orisinil, cerdas dan kreatif mengenai seks, pengetahuan, dan kekuasaan.10
Bagi banyak orang, pemahaman mereka tentang epidemi AIDS telah
menghancurkan pemahaman mereka tentang pengetahuan dan identitas. AIDS
dianggap memiliki dampak yang sama terhadap pemahaman konvensional atas
subyektivitas dan seksualitas seperti halnya dampak Holocaust dan bob atom
terhadap gagasan pencerahan progresif. Setelah peristiwa tersebut, tidak akan ada
yang pernah sama. Pada konteks aktivisme dan penolakan AIDS akan strategi
asimilasilah “queer” disusun kembali dalam modelnya yang sekarang, baik dalam
budaya populer maupun teorinya. Kelompok lain yang terpengaruh oleh ACT UP
dan strategi aktivis AIDS lainnya didirikan di New York pada 1990.
“Kami ada disini, kami adalah queer, biasakan diri anda dengan hal
tersebut.”
Queer Nation dan kelompok-kelompok yang terafiliasi seperti Pink Panther
mengatur patroli jalan untuk melawan gay-bashing, memperingati korban-korban
kekerasan homofobia dengan gerakan street graffiti, dan mengadakan sesi
pendidikan anti-homofobia di bar-bar kaum straight. Mereka juga mengatur
kampanye media dan seni, menumbangkan propaganda sayap kanan dan
homofobia. Inti dari strategi retoris dan representasional kelompok-kelompok ini
adalah kata “queer”, istilah slang yang sebagian besar digunakan dalam wacana
homofobia, dan sebagian digunakan oleh homoseks untuk menggantikan istilah
“gay” atau “lesbian”. Dalam budaya populer, queer berarti lebih seksi, lebih
transgresif, lebih berani menunjukkan perbedaan yang tidak ingin diasimilasikan.
15
Queer(ing) Theory
Walaupun pada umumnya queer digunakan sebagai kelompok identitas tambahan
atau alternative, tetapi queer theory tidak bisa hanya dianggap sebagai penyokong
akademis momen kultural ini. Kekecewaan para teoretikus queer terhadap
beberapa aspek politik gay dan lesbian bukan sekedar penolakan terhadap
normativitas kelompok-kelompok tertentu tersebut, melainkan sesuatu yang
diturunkan dari perbedaan pemahaman atas identitas dan kekuasaan. Jika budaya
queer menganggap “queer” sebagai kata sifat yang kontras dengan kehormatan
relatif “gay” dan “lesbian”, maka queer theory justru menganggap “queer”
sebagai kata kerja yang mengganggu asumsi makhluk seksual dan kegiatan
seksual. Dalam teori, queer secara definitif bersifat eksentrik dan abnormal.
Queer theory menggunakan sejumlah gagasan dari teori posstrukturalis,
termasuk model psikoanalitis Jacques Lacan mengenai identitas yang tidak stabil,
dekonstruksi Jacques Derrida atas struktur konseptual dan linguistik biner, dan
tentu saja model wacana, pengetahuan dan kekuasaan Foucault. Penelitian-
penelitian yang secara kolektif menggunakan queer theory sebagian besar adalah
penelitian sejarah, budaya, dan sastra, serta filsafat, walaupun topiknya mencakup
wacana ilmiah, hukum, dan yang lainnya. Para penulisnya umumnya concern
dengan politik representasi dan training dalam analisa budaya tertulis dan visual,
16
dari sastra dan film hingga ke wacana politik. Banyak diantaranya yang bekerja
dalam program penelitian gay dan lesbian, yang jumlahnya meningkat seiring
dengan tumbuhnya pengaruh queer theory.
Hubungan antara queer theory dengan penelitian gay dan lesbian cukup
rumit. Beberapa penulis dan guru bergerak diantara kedua bidang tersebut atau
mengadopsi salah satunya untuk keperluan tulisan mereka, sebab identitas queer,
gay atau lesbian nampak cocok meskipun konteksnya berbeda. Namun demikian,
ada pula yang merasa bahwa queer, entah bagaimana, justru mendorong orang
untuk mengabaikan atau menghilangkan gagasan teoretis tentang gay dan lesbian.
Banyak akademisi seperti Foucault yang terlibat dalam berbagai bentuk aktivisme
politik, dan hubungan antara queer theory dengan penelitian gay dan lesbian
sebaiknya dipahami sebagai bagian dari network dinamis bidang-bidang
pengetahuan dan praktek-praktek diskursif yang berbeda tetapi overlapping.
Queer Foucault
Beberapa queer studies melanjutkan proyek Foucault dengan mengeksplorasi
beragam pembentukan identitas seksual, di masa lalu dan masa kini. Contoh
terkemuka adalah penelitian David Halperin tentang seksualitas di Yunani klasik
dan dalam tulisan Foucault sendiri, penelitian Gayle Rubin tentang gay male
leather community di San Fransisco, dan penelitian Martha Vicinius tentang
identitas lesbian. Queer theory menyokong penelitian Cindy Patton, Simon
Watney dan lainnya tentang wacana dan konstruksi homofobia. Banyak queer
studies yang fokus pada hubungan antara gay, lesbian dan seksualitas yang tidak
disetujui dengan produksi budaya. Mereka yang bekerja di bidang ini diantaranya
adalah Joseph Bristow, Ed Cohen, Jonathan Dollimore, Lee Edelman, Alan
Sinfield, dan Yvonne Yarboro-Bejarano. Jumlah teks dan penulis queer ini
meningkat secara drastis sepanjang 1990-an.
Tanpa bermaksud merendahkan pentingnya penelitian-penelitian lain yang
lebih terlokalisir, buku ini akan fokus pada esai tentang beberapa penelitian yang
membawa gagasan Foucault pada serangkaian perlawanan terhadap model teoretis
dan filosofis lain demi mengeksplorasi norma-norma dan proses-proses
17
normalisasi yang menopang sistem seksual yang ada sekarang ini. Salah satu topik
pertama yang dieksplor oleh teoretikus queer adalah pertentangan antara
heteroseksualitas dan homoseksualitas.
Getting Personal
Ciri penting analisa Foucault tentang seksualitas dan bacaan queer serta
posstrukturalis yang terkait adalah bahwa individu tidak dianggap sebagai subyek
Cartesian yang otonom (“aku berpikir, maka aku ada”), yang memiliki identitas
bawaan atau esensial yang terlepas dari bahasa. Apa yang umumnya kita anggap
sebagai “diri” adalah hasil dari Bahasa atau wacana khusus yang berhubungan
dengan pembagian pengetahuan. Saya mungkin percaya bahwa diri saya adalah
unik dan esensial, dan bahwa saya terlibat dalam proses pengekspresian diri
melalui bahasa, tetapi kepercayaan ini sendiri merupakan konstruksi sosial.
Pada akhir abad ke-20, saya mungkin akan memikirkan seksualitas dalam
kaitannya dengan sejumlah kemungkinan identitas ―straight, gay, lesbian,
biseks― dimana mereka sendiri terikat dengan klasifikasi saya. Saya bisa saja
menganggap diri saya sebagai pria gay atau wanita straight, tetapi saya akan
kesulitan menganggap diri saya pria lesbian. Apa yang membuat saya memikirkan
diri saya dengan identitas tertentu adalah wacana dan pengetahuannya yang
menghasilkan serta menjaga seksualitas dan gender. Kata-kata yang saya gunakan,
dan pikiran-pikiran yang saya miliki, terikat dengan konstruksi masyarakat atas
realitas.
20
lesbian adalah hal yang tidak masuk akal. Tetapi hubungan itu tidak sendiri
merupakan hal yang tak bisa dihindari.
Jika seksualitas merupakan konstruksi kultural atau kelompok
pengetahuan, dan jika seperti yang ditegaskan oleh para feminis, gender
diproduksi secara kultural, lalu kenapa kita berasumsi bahwa seks, sebagai oposisi
biner antara pria dan wanita, bisa ada disana? Butler memperhatikan bahwa pada
akhir kata pengantarnya, Foucault menyatakan bahwa “seks” itu sendiri
merupakan kelompok fiktif yang dipahami sebagai sumber dan penyebab dari
hasrat.
Butler menemukan bahwa dalam pendapat Foucault terdapat metafora
yang berulang atau figur badan yang menjadi permukaan tempat sejarah
menuliskan nilai-nilai budaya. Butler beranggapan bahwa hal ini menunjukkan
kalau badan memang memiliki materialitas yang mendahului signification, dan
oleh karenanya ia berusaha mencari cara untuk membaca badan sebagai praktek
penanda. Dalam penelitian Mary Douglas dan Simon Watney tentang wacana
yang mengkonstruksikan batasan-batasan badan sebagai sesuatu yang berbahaya
(termasuk AIDS), Butler menemukan satu kemungkinan untuk mengembangkan
analisa Foucault melewati batasan-batasannya sendiri, dan untuk meneliti badan
sebagai batasan perantara yang memisahkan antara inner dengan outer demi
menghasilkan subyek yang stabil dan koheren. Badan, seperti halnya seksualitas,
juga bisa memiliki genealogi.
Sementara Foucault biasanya melihat psikoanalisa sebagai wacana untuk
diteliti, bukan untuk digunakan, Butler justru memanfaatkan gagasan-gagasan dari
Freud, Kristeva, Lacan, Wittig, dan lainnya untuk meneliti bagaimana efek
identitas dihasilkan melalui pembedaan antara subyek dengan Other dan melalui
produksi fictional interior core.
Menurut Butler, efek dari gender tercipta sebagai “social temporality”
melalui repetisi tindakan, gesture, dan gerakan jasmaniah tertentu.12 Kita
memperoleh identitas kita melalui pola perilaku yang menyokong norma-norma
gender. Proses repetisi tersebut merupakan pemberlakuan kembali sekumpulan
makna yang telah ditentukan secara sosial; dan merupakan bentuk legitimasi yang
22
diritualkan.13 Teori performativitas ini merupakan salah satu gagasan yang paling
berpengaruh dari queer theory atau feminisme. Seperti halnya analisa Foucault
tentang interimplikasi pengetahuan dan kekuasaan dalam penentuan posisi
subyek, performativitas gender juga benar-benar menghancurkan dasar
pergerakan politik yang tujuannya adalah pembebasan sifat-sifat yang ditekan,
baik yang berkaitan dengan gender maupun seksual, tetapi ia masih membuka
kemungkinan adanya resistensi dan subversi yang dihentikan oleh politik
identitas.
Performativitas sering salah dipahami sebagai performance. Hal ini
sebagian besar disebabkan oleh contoh performativitas gender parodik subversif
yang dipilih Butler: drag (orang yang membosankan). Drag dianggap
menampilkan stereotype feminin oleh para feminis, tetapi dalam tulisan Butler,
parodi hiperbolis drag membeberkan struktur imitatif gender itu sendiri, membuat
kita berpikir lagi tentang apa yang kita anggap natural. Kesalahpahaman itu
sendiri berasal dari nafsu khayal untuk menyingkirkan tekanan heteroseksualitas
dan sistem gender biner yang diidentifikasi oleh Butler.
misalnya seperti rok dan janggut, menunjukkan bahwa ia tidak benar-benar cocok
dengan alternatif feminin = wanita atau manly = pria. Dalam banyak percakapan
yang membahas tentang dia, muncul pertanyaan: Dia itu straight, gay, atau apa?
Penampilannya mengganggu pengetahuan konvensional tentang seperti apa pria
atau wanita dimata gender. Oleh sebab itu, para observer mengalihkan
perhatiannya pada pasangan konvensional lain, yaitu homoseks/heteroseks, untuk
menjelaskan kebingungan mereka.
Pada contoh ini, kita dapat melihat dinamika konstruksi diskursif gender
dan seksualitas sebagai sesuatu yang terpisah, tetapi juga saling berhubungan.
Penampilan Izzard dapat diinterpretasikan sebagai performative queering norma-
norma gender dan seksualitas. Hal ini akan membongkar kekuatan dan
normalisasi yang menarik kita pada pemahaman konvensional identitas dan
badan. Menurut Foucault, kita bisa melihat hal ini sebagai suatu bentuk resistensi.
Tipe resistensi semacam ini tidak terbatas pada aspek-aspek penampilan
yang lebih dramatis. Teori dan budaya queer bisa saja menekankan hubungan
antara teatrikalitas dengan politik, tetapi tetap saja ada kecenderungan ke arah
queer. Dalam teori dan praktek, queer dapat dipahami sebagai sebuah kata sifat
yang bertindak sebagai performatif dan memiliki kekuatan sebuah kata kerja.
David Halperin menganggap queer sebagai suatu “horizon kemungkinan”, dan
subyek queer sebagai sesuatu yang menempati “posisi eksentrik” dalam kaitannya
dengan sesuatu yang normal, sah, dan dominan. 15 Sementara itu, Eve Kosofsky
Sedgwick mengatakan bahwa memanggil seseorang queer berarti melakukan
experimental self-perception dan filiation yang performatif.16 Halperin mengikuti
komentar positif Foucault tentang praktek S/M sebagai sebuah permainan
strategis yang menciptakan kesenangan, bukan sebagai suatu bentuk dominasi,
petunjuk untuk praktek seks queer yang bisa membuka kemungkinan adanya diri
yang lebih impersonal.17 Secara umum, beberapa tulisan terkini yang
menggunakan queer theory mencoba untuk memahami hubungan antara identitas
dan tindakan dengan cara yang memungkinkan agen kolektif dan individu untuk
menentang pengetahuan dan praktek-praktek yang bersifat menekan, tanpa kmbali
pada gagasan modernis tentang subyek otonom.
25