Anda di halaman 1dari 25

RESUME

FOUCAULT AND QUEER THEORY


(Sumber buku: Tamsin Spargo, 1999. “Foucault and Queer Theory”.
Totem Book USA: Icon Book UK)

Ida Nurul Chasanah

Seks itu Penting


Belakangan ini muncul berbagai macam queer dimana-mana. Barbie,
Shakespeare, bahkan Jane Austen, juga terlibat dalam queer makeover. Istilah
queer, yang dulunya dianggap nista, sekarang justru diklaim sebagai penilai
trangresi orang-orang yang dulunya menyebut diri mereka sendiri sebagai gay
atau lesbian. Ada apa ini sebenarnya?
Beberapa tahun yang lalu, penguasa Channel 4 sempat dianggap sebagai
“pornographer in chief”, karena banyaknya unsur seks yang ia masukkan dalam
program-programnya. Internet dan saluran-saluran TV porno juga dipandang
sebagai ancaman bagi kepolosan kita. Namun sekarang, nampaknya, hal tersebut
tidak lagi menjadi sesuatu yang aneh bagi masyarakat kita. Kita sudah sering
disuguhi dengan dokumenter dan drama tentang prostitusi, vice squad, dan
kebiasaan seksual segala jenis binatang di bawah matahari.
Dalam hal politik, persamaan kekuasaan dan keseksian nampaknya masih
unggul daripada prinsip dan estetika. Walaupun politisi gay masih sulit untuk
diterima, tetapi menjadi gay itu sendiri nampaknya sudah bukan suatu masalah,
kecuali bagi mereka yang berambisi untuk menjadi penguasa. Pers berulang kali
menunjukkan tumbuhnya iklim “toleransi”, terutama setelah The Sun
mengumumkan berakhirnya gay-bashing editorial (tajuk rencana yang dibuat
khusus untuk mempermalukan para gay). Masyarakat kita nampak menjadi
semakin terbuka, semakin toleran, semakin seksi ―dan semakin baik dibanding
yang dulu. Atau memang begitu kenyataannya? Ataukah budaya mainstream ini
hanya sekedar main mata dengan yang lain supaya kita tetap berada pada garis
yang lurus?
2

Meskipun telah ada pengertian yang lebih luas mengenai perilaku seksual
yang dapat diterima, tetapi anggapan-anggapan lama masih banyak yang
tertinggal, dan masalah-masalah baru selalu saja muncul. Adegan-adegan yang
menampilkan histeria massa akibat munculnya tersangka pedofilia
mengungkapkan adanya ketakutan dalam masyarakat. Freud mungkin pernah
membongkar adanya seksualitas yang bersifat kekanak-kanakan, tetapi itu
bukanlah sesuatu yang bisa didiskusikan secara rasional oleh masyarakat abad ke-
20. Kelihatan kalau di sini ada masalah tentang bagaimana menanggulangi para
“pelanggar seks” secara umum. Apakah mereka harus dianggap sakit, dan jika
memang demikian, apa obatnya? Ataukah mereka justru harus dianggap
“penjahat”? Apa atau siapa yang mereka langgar? Alam, hukum, atau
masyarakat? Lalu bagaimana cara kita membedakan antara aktivitas erotis yang
bagus dengan yang buruk? Kira-kira ini adalah ordonansi yang hebat, sifat alam,
atau konvensi sosial? Mungkinkah kita benar-benar yakin bahwa hasrat yang kita
miliki itu adalah normal dan alami? Mengapa seks begitu penting?
Sebagaimana yang disampaikan oleh antropolog Gayle Rubin, seksualitas
memiliki politik, ketidakadilan dan model pendindasannya sendiri. Bentuk
institusional konkret dari seksualitas, bersama dengan aspek-aspek lain perilaku
manusia, kapan pun dan dimana pun adalah produk dari aktivitas manusia.
Mereka dipengaruhi oleh berbagai konflik kepentingan dan maneuver politik, baik
yang disengaja maupun kebetulan. Dalam hal ini, seks selalu bersifat politis.
Namun demikian, ada kalanya ia juga bersifat historis, yaitu ketika seksualitas
lebih dipertentangkan dan dipolitisir. Pada periode semacam ini, ranah kehidupan
erotis dinegosiasi ulang.1 Jika kita memang tinggal di periode tersebut,
sebagaimana yang terlihat, maka salah satu cara untuk menegosiasi ulang
kehidupan erotis adalah melalui eksplorasi bagaimana kita memahami seks.

Siapa itu Foucault?


Michael Foucault (1926-84), filsuf, sejarawan dan aktivis, adalah salah satu
pemikir paling berpengaruh yang gagasannya secara umum dikelompokkan
sebagai poststrukturalis. Bersama dengan kritik metafisika Barat dari Jacques
3

Derrida serta teori psikoanalitis dari Jacques Lacan, berbagai pertanyaan Foucault
tentang pengetahuan dan kekuasaan menjadi dasar bagi banyak pemikiran baru
tentang status subyek manusia. Foucault juga adalah seorang pria gay yang
meninggal karena AIDS pada 1984. Prestasi, pemikiran dan kehidupannya
membuatnya menjadi model yang hebat bagi banyak gay, lesbian dan
cendekiawan lain. Selain itu, analisanya mengenai hubungan timbal balik
pengetahuan, kekuasaan dan seksualitas juga menjadi katalisator intelektual paling
penting dalam queer theory.

Apa itu Queer Theory?


“Queer” dapat berfungsi sebagai kata benda, kata sifat atau kata kerja, tetapi ia
selalu diartikan berlawanan dengan “normal” atau penormalan. Queer theory
bukan merupakan kerangka yang tunggal, konseptual sistematis atau metodologis,
melainkan merupakan sekumpulan perjanjian intelektual yang berhubungan
dengan seks, gender dan hasrat seks. Istilah tersebut menggambarkan prioritas dan
praktek-praktek penting: pembacaan representasi hasrat seks sesama jenis dalam
teks sastra, film, musik, gambar; analisa hubungan kekuasaan politik dan sosial
dari seksualitas; kritik atas sistem gender; penelitian tentang identifikasi
transseksual dan transgender, tentang sadomasokisme dan tentang hasrat
transgresif.

Queer Genealogy
Essay ini akan fokus pada queer theory dan pemikiran-pemikiran yang berkaitan
dengan Foucault. Di sini, Foucault tidak hanya bisa dianggap sebagai katalisator,
titik tolak dan contoh, tetapi juga sebagai pengganggu, suatu kerikil yang masih
memprovokasi munculnya gagasan-gagasan baru. Sebagai sebuah narasi, essay ini
akan menampilkan sejarah pemikiran Foucault dan perkembangan queer theory.
Queer theory bukan berasal dari Foucault, dan bukan pula tujuan dari pemikiran
Foucault. Essay ini dapat dianggap sebagai “genealogy” singkat sekumpulan
wacana tertentu tentang kulminasi seksualitas (secara temporer dan tidak terpisah)
pada masa queer sekarang ini.
4

Seks, Kebenaran dan Wacana


Volume pertama History of Sexuality ditulis oleh Foucault pada 1970-an
menjelang berakhirnya “revolusi seksual” dalam budaya Barat. Buku ini
menyajikan narasi tandingan yang sangat kuat dan provokatif atas cerita lama
represi seksual zaman Victoria, yang membuka jalan bagi kebebasan progresif dan
pencerahan di abad ke-20. Inilah awal dari proyek Foucault yang paling ambisius,
proyek yang tak terselesaikan hingga saat kematiannya.
Dalam cerita-cerita tradisional, seksualitas dipandang sebagai ciri-ciri
alami kehidupan manusia yang pada budaya dan masyarakat Barat abad ke-17
mengalami represi dan harus disensor pada setiap tulisan dan pidato. Seksualitas
tersebut masih ada, tetapi dikekang oleh larangan-larangan dan represi, hingga
akhirnya kebebasan itu datang, dan para analis membuatnya menjadi sesuatu yang
lebih terbuka. Beberapa dari kita mungkin akan merasa lebih bahagia dan sehat,
karena adanya kebebasan berekspresi tersebut, tetapi itu bukan berarti bahwa kita
yang memiliki masalah seks kemudian menjadi tidak ada. Namun demikian,
masih ada terapis, analis, dan konselor yang siap membantu kita untuk
meluruskan diri. Sebuah akhir yang bahagia untuk cerita sedih pembatasan
potensi manusia. Tetapi benarkah cerita tersebut? Apa seksualitas memang selalu
menunggu kita untuk membebaskannya dari batasan-batasan sosial?
Foucault menolak “hipotesa represif” tersebut dan menyatakan bahwa
bukti-bukti yang didapat dari abad ke-19 tidak menunjuk pada pelarangan
membicarakan seksualitas, tetapi pada proliferasi wacana seksualitas yang luar
biasa. Jadi apa itu seksualitas? Menurut Foucault, seksualitas bukanlah ciri-ciri
alami kehidupan manusia, melainkan merupakan kelompok pengalaman yang
terkonstruksi, yang memiliki asal-usul historis, sosial dan kultural, dibandingkan
asul-asul biologis. Konsepsi seksualitas ini sulit untuk dipahami. Seksualitas,
seperti halnya gender, nampak begitu sederhana di situ, tetapi entah bagaimana, ia
juga nampak begitu spesial, personal, sesuatu tentang “hasrat kita yang paling
dalam” ―siapa yang kita inginkan, apa yang kita inginkan, bagaimana kita
menginginkannya. Itu adalah sesuatu yang ada dalam diri kita, suatu property,
5

property kita. Namun demikian, memiliki kepercayaan yang besar bahwa


seksualitas itu alami, bukan berarti bahwa seksualitas tersebut memang begitu.
Hal ini bukan berarti Foucault tidak memperhatikan adanya dimensi
biologis, tetapi ia memprioritaskan peran penting institusi dan wacana dalam
pembentukan seksualitas. Sebagaimana yang disampaikan oleh David Halperin,
pengarang Saint Foucault: Towards a Gay Hagiography, Foucault tidak
berkomentar tentang hasrat seks sesama jenis secara eksplisit. Ketika ditanya
tentang perbedaan predisposisi bawaan antara homoseksualitas dengan kondisi
sosial, yang ia lakukan adalah mengatakan, “No Comment”.2 Dibandingkan
mencari “kebenaran” seksualitas yang ilusif, Foucault justru meneliti
pembentukannya.

Scientia Sexualis
Sementara psikoanalis mendorong para pasiennya untuk mengeksplorasi rahasia-
rahasia seks yang bisa jadi merupakan kunci bagi kesehatan mental dan emosional
mereka, Foucault justru mengeksplorasi bagaimana cara psikoanalisa (diantara
banyak wacana lainnya) mengajak, atau lebih tepatnya mendorong, kita untuk
menghasilkan pengetahuan tentang seksualitas kita yang bersifat kultural, yang
sangat diperlukan untuk memelihara hubungan kekuasaan yang spesifik.
Psikoanalisa merupakan praktek diskursif yang mencoba untuk tidak
membungkam atau menekan seksualitas, melainkan membuat orang-orang
membicarakannya. “Scientia sexualis” Barat (berbeda dengan budaya “ars
erotica” Kerajaan Romawi, Cina, Jepang dan India yang didasarkan pada
kesenangan yang berlipat-lipat) fokus pada usaha menemukan kebenaran (yang
memalukan) tentang seksualitas, dan menggunakan proses pengakuan sebagai
metode kunci untuk menemukannya. Melalui pengakuan seorang Nasrani, praktek
pengobatan, peradilan, pedagogi dan keluarga, sejarah para pria dan wanita yang
mengamati hasrat, emosi dan pemikiran mereka di masa lalu serta masa kini, dan
yang memberi tahu orang lain tentang hal tersebut, akan ditelusuri. Memberi tahu
6

pendeta tentang dosa-dosa mereka, menjelaskan gejala penyakit mereka kepada


dokter, mengakui penyakit yang mereka derita, mengakui kejahatan yang mereka
lakukan, mengakui kebenaran. Dan kebenaran tersebut bersifat seksual.
Dalam semua adegan pengakuan tersebut, pembicara membuat suatu
narasi tentang seksualitasnya, yang kemudian diinterpretasikan oleh pihak yang
berwenang. “Kebenaran” yang terungkap dalam proses tersebut tentu tidak
ditemukan begitu saja, melainkan harus dibuat. Ia eksis sebagai pengetahuan
dalam wacana tertentu, dan ia dikelilingi oleh kekuasaan. Sebagaimana dalam
semua pemikiran Foucault, kekuasaan dipahami sebagai suatu hubungan yang
kompleks, bukan sebagai properti yang melekat pada individu atau kelas tertentu.
Jika demikian, apa yang dipertaruhkan dalam konstruksi seksualitas pada momen
historis yang berbeda? Bagaimana kekuasaan menyebar melalui produksi
pengetahuan tentang seks?
Foucault mengatakan bahwa sejak abad ke-18, seksualitas dianggap
sebagai sesuatu yang harus diatur dan dikelola, dan bukan sekedar diadili. Gereja
dan hukum sudah sejak lama concern pada peraturan tentang seksualitas, tetapi
pada Zaman Pencerahan, rezim pemerintahan yang baru fokus pada adanya
individu yang seksual. Pengakuan versi sekuler yang telah dimodifikasi
merupakan inti dari teknik-teknik internalisasi norma sosial. Pada konteks inilah,
pemahaman-pemahaman seksualitas yang masih dominan di masa sekarang mulai
terbentuk, termasuk oposisi antara homoseksualitas dengan heteroseksualitas.

Konstruksi Homoseksualitas
Banyak sejarawan homoseksualitas yang berusaha menelusuri hubungan dan
kontinuitas antara identitas dan perilaku homoseks abad ke-20 dengan identitas
dan perilaku homoseks periode sebelumnya. Sebaliknya, Foucault justru yakin
bahwa kelompok homoseks tumbuh dari wacana tertentu di tahun 1870-an. Dan
seperti halnya seksualitas secara umum, kelompok homoseks tersebut seharusnya
juga dipandang sebagai kelompok pengetahuan yang terkonstruksi, dibandingkan
sebagai identitas yang ditemukan.
7

Foucault tidak mengatakan jika hubungan seks antar sesama jenis sebelum
abad ke-19 tidak ada. Para periode Renaisans, misalnya, praktek-praktek seks
seperti sodomi telah dianggap berdosa menurut Gereja, dan dilarang oleh hukum,
baik itu antara pria dengan pria, maupun pria dengan wanita. Perbedaan krusial
antara bentuk pengaturan praktek seks di periode awal tersebut dengan pengaturan
yang ada di abad ke-19 terletak pada identifikasi apa yang oleh Foucault disebut
dengan “spesies”, tipe makhluk hidup dengan seksualitas yang menyimpang. Jadi
sementara pria dan wanita abad ke-16 didorong untuk mengaku bila terlibat dalam
praktek-praktek seks memalukan yang bertentangan dengan hukum Tuhan dan
negara, para pria abad ke-19 yang memiliki hubungan seksual dengan pria lain
akan dilihat, dan didorong untuk melihat dirinya sendiri, sebagai “homoseks”.
Bersama dengan tipe subyek lain yang seksualitasnya menjadi perhatian
ilmu kedokteran abad ke-19 (termasuk wanita, anak-anak, kelas pekerja),
“homoseks” menjadi fokus dari berbagai penelitian. “Teknologi seks” ini
dirancang untuk memelihara dan membantu perkembangan populasi (atau tenaga
kerja) produktif dan prokreatif yang mampu memenuhi kebutuhan untuk
mengembangkan sistem kapitalis. Unit kunci dari golongan sosial ini adalah
keluarga kaum borjuis yang merupakan tempat dihasilkannya tenaga kerja masa
depan. Hal ini mengarah pada ketidaksamaan perhatian dalam “masalah”
masturbasi masa kanak-kanak, dan proliferasi teks serta strategi untuk
mengendalikan perilaku seksual anak-anak. Pada kerangka reproduktif ini,
praktek dan hasrat seks sesama jenis menjadi masalah yang harus dihadapi, suatu
penyimpangan dari norma prokreatif.
“Homoseks” merupakan subyek penelitian sistematis dalam bidang-bidang
diskursif, termasuk demografi, pendidikan dan hukum, yang concern dalam
melindungi kesehatan dan kemurnian populasi. Pada abad ke-16, penekanan
dalam kasus pria atau wanita yang mengakui adanya sodomi terletak pada
tindakan. Mereka diyakinkan bahwa apa yang mereka lakukan tersebut
merupakan tindakan yang sangat berdosa. Sebaliknya, penekanan pada abad ke-19
terletak pada kondisi individu yang ditentukan secara ilmiah. Menurut Foucault,
homoseksualitas muncul sebagai salah satu bentuk seksualitas ketika ia berubah
8

dari praktek sodomi ke semacam interior androgyny, hermaprodisme jiwa.


Sodomi menjadi penyimpangan yang bersifat sementara, dan homoseks sekarang
menjadi sebuah spesies.3 Homoseks dianggap sepenuhnya terliputi oleh
seksualitas, dan seksualitas tersebut muncul di mana pun dalam dirinya, pada akar
dari semua tindakannya.4

Kekuasaan dan Resistensi


Aspek negatif dari konstruksi homoseksualitas akhir abad 19 dan awal abad 20
sangat jelas. Fakta bahwa posisi subyek atau identitas itu dikonstruksi tidak
membuatnya menjadi kurang riil. Homoseksual dianggap sebagai penyimpangan
dari norma heteroseksual. Akibatnya, para homoseks menjadi termarjinalkan.
Foucault telah dikritik karena model konservatifnya atas kekuasaan, tetapi ia
sendiri memandangnya sebagai suatu resistensi tanpa henti. Sebagaimana yang ia
katakan, tidak ada hubungan kekuasaan tanpa resistensi; resistensi sifatnya lebih
riil dan efektif, karena mereka terbentuk tepat pada titik dimana hubungan
kekuasaan dijalankan; resistensi terhadap kekuasaan tidak harus muncul dari
tempat lain untuk bisa riil, dan tidak perlu pula merasa kecewa karena menjadi
kompatriot kekuasaan.5
Ciri penting dalam analisa Foucault adalah penekanannya pada
pembuatan “wacana inversi”. Menurutnya, tidak diragukan lagi jika kemunculan
psikiatri, yurisprudensi, dan sastra yang membahas serangkaian wacana tentang
spesies dan subspesies homoseksualitas, inversi, pederasty, dan “hermaprodisme
batiniah” pada abad ke-19 telah membuat pengawasan sosial di area
“pertentangan” ini menjadi lebih maju. Namun demikian, kemunculan tersebut
juga mendorong adanya pembentukan wacana “inversi”: homoseksualitas mulai
berbicara atas namanya sendiri, dan meminta agar legitimasinya diakui.6
Dalam model wacana inversi ini, bisa ditemukan adanya basil politik
identitas. Mereka yang merupakan subyek-subyek penyimpangan, “homoseks”,
memiliki suara penolakan yang sama, yang berubah dari pengakuan menjadi
pernyataan. Wacana tentang seksologi, misalnya, membuat kelompok identitas
“inversi” sebagai penyimpangan dari norma, tetapi ia juga memungkinkan
9

individu untuk mempertanyakan kedudukan sosial dan politiknya. Wacana ini


menyediakan kosa kata dan pengetahuan yang bisa digunakan secara strategis
oleh subyek-subyeknya. Ada sejumlah usaha eksplisit untuk menyebarkan
pengetahuan dan retorika inversi serta homoseksualitas demi menyerukan
dekriminalisasi pada akhir abad ke-19.
Namun demikian, analisa Foucault tentang “peningkatan kekuasaan dan
kesenangan yang terus menerus” yang dihasilkan dalam wacana seksualitas tidak
dapat direduksi dengan mudah menjadi oposisi biner antara wacana dengan
wacana inversi.7 Mozaik seks masyarakat modern adalah network yang dinamis,
dimana optimalisasi kekuasaan diraih dengan dan melalui penggandaan
kesenangan, bukan melalui pelarangan atau pembatasan kesenangan. 8 Sulit sekali
melihat kekuasaan, kecuali dalam istilah tradisional, sebagai kekuatan negatif bagi
individu atau kelompok, tetapi analisa Foucault tentang status kekuasaan tersebut
membuat kita untuk berpikir melebihi logika politis konvensional dari dominasi
dan resistensi. Hubungan kekuasaan tidak bisa dibalikkan begitu saja.
Sejumlah kritik mencatat bahwa Foucault mengakhiri volume pertama The
History of Sexuality dengan doa supaya ekonomi masa depan yang berbeda dari
badan dan kesenangan tidak menjadi sasaran dari kerajaan seks yang keras. 9
Beberapa membacanya sebagai momen utopian. Tetapi jika hal ini memang
sekedar kegiatan mengkhayal, maka tidak ada alasan lagi untuk beranggapan
bahwa masa depan yang dibayangkan akan maju. Pada volume kedua dan ketiga,
The Use of Pleasure dan The Care of the Self, Foucault menganalisa pendekatan
terhadap seks pada formasi sosial dan etis modernitas Barat, yang kontras dengan
formasi sebelumnya. Ia fokus pada teknik diri orang Yunani dan Romawi, serta
persimpangan mereka dengan proses pengembangan diri Kristen. Ini merupakan
praktek-praktek disipliner dengan memanfaatkan individu-individu yang berusaha
untuk mentransformasikan diri mereka demi memperoleh kebahagiaan, kesucian,
kebijaksanaan, kesempurnaan, atau keabadian. Dalam budaya Greco-Roman,
hasrat dan praktek-praktek seksual dianggap sebagai urusan etis atau moral, tetapi
bukan sebagai kebenaran pokok yang memalukan atau tertekan atas kehidupan
manusia. Secara krusial, etika dianggap sebagai hubungan antara individu dengan
10

dirinya sendiri, dan bukan sebagai dasar bagi standar atau norma perilaku;
sedangkan disiplin dianggap sebagai bagian dari praktek untuk meraih kebebasan
atau otonomi individu. Masyarakat Yunani dan Romawi saling berbeda satu sama
lain, Romawi lebih menekankan pada heteroseksualitas dan pernikahan, budaya
Kristen secara efektif menghentikan seluruh model etika dunia klasik. Menurut
Foucault, orang Kristen mengembangkan kode moral yang universal dan
larangan-larangannya terpusat pada kebenaran seks. Sementara orang Romawi
melihat hasrat sebagai sesuatu yang bisa membahayakan, orang Kristen justru
melihatnya sebagai sesuatu yang jahat secara intrinsik.
Kadang-kadang Foucault seperti bangga ketika menulis non-normalizing
culture, terutama budaya Yunani kuno, tetapi ia menolak untuk menganggapnya
sebagai alternatif bagi masyarakat kontemporer. Batasan tentang siapa yang bisa
menjadi individu dalam wilayah etis ―pria bebas, bukan wanita atau budak― dan
hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, misalnya antara penetrator dengan
penetrated, menunjukkan adanya bentuk dominasi yang terus menerus yang tidak
dapat dideskripsikan sebagai hasil dari self-mastery.

Tanggapan terhadap Foucault


Foucault bukanlah orang pertama yang berpendapat bahwa seksulitas itu
terkonstruksi secara sosial, tetapi tidak diragukan lagi jika sejak 1980-an,
gagasannya telah memberikan dampak dan pengaruh yang sangat besar bagi
perkembangan penelitian tentang gay dan lesbian, serta penelitian budaya tentang
seksualitas. Banyak aspek dari narasinya yang direvisi, dimodifikasi, dan
ditentang: para sejarawan mencoba menawarkan analisa yang lebih mendalam
tentang hubungan seks sesama jenis dan kelompok-kelompok identitas yang
terkait masa modern awal; inversi dan homoseksualitas pada abad ke-19
dklasifikasikan secara lebih tepat. Pendekatannya secara keseluruhan juga banyak
dikritik, terutama karena fokus historisnya yang Eurocentrism, dan konsentrasinya
terhadap sejarah seksualitas pria. Gagasan Foucault telah membuka jalan bagi
pendekatan yang berbeda untuk memahami hubungan antara seks, seksualitas, dan
11

kekuasaan. Namun demikian, tidak ada gagasan intelektual yang eksis dalam
isolasi total konteks kultural yang lebih luas.

Foucault + ? = Queer Theory?


Pada tahun 1970-an, ketika Foucault menulis History, istilah “homoseks” hanya
digunakan dalam wacana kedokteran dan hukum, tetapi mereka yang termasuk
homoseks tersebut telah menggunakan istilah “gay” dan “lesbian” bagi dirinya.
“Gay”, istilah yang digunakan untuk perempuan dengan reputasi yang meragukan
pada abad ke-19, dipilih sebagai alternatif untuk istilah “homoseks” pada 1960-an.
Perbedaan paling jelas antara “gay dan “lesbian” dengan kelompok-kelompok
sebelumnya adalah walaupun subyek-subyek yang teridentifikasi sebagai “gay”
dan “lesbian” diberikan kedudukan pasif sebagai obyek pengetahuan, tetapi
mereka seolah-olah memilih sendiri kedudukan tersebut. Menjadi gay atau lesbian
adalah masalah harga diri, bukan masalah penyakit; menjadi gay dan lesbian juga
merupakan masalah resistensi, bukan peniadaan diri. Ketika gerakan pembebasan
perempuan menentang konstruksi dominan perempuan sebagai kelompok yang
inferior, pasif dan sekunder, gerakan pembebasan laki-laki justru menentang
representasi hasrat dan hubungan seks sesama jenis sebagai sesuatu yang tidak
alami, menyimpang, dan tidak lengkap.
Pada pertengahan 1970-an, tujuan pergerakan adalah mengubah sistem
sosial yang terlihat sebagai penyebab penindasan. Ketika sejumlah feminis
mengkritik institusi seperti pernikahan dan keluarga untuk mendukung penindasan
perempuan, gerakan pembebasan gay juga melakukan hal yang sama. Keduanya
memiliki afiliasi yang kuat dengan politik sayap kiri, dan bisa dianggap sejajar
dengan pendekatan Marxis, sosialis dan feminis dalam akademia.
Namun demikian, model pembebasan melalui pembentukan sistem telah
membuka jalan bagi konsepsi politik gay dan lesbian lain, yang serupa dengan apa
yang dikenal sebagai model “etnis”. Model ini menampilkan gay dan lesbian
sebagai kelompok minoritas yang sama tapi berbeda, dan beroperasi untuk meraih
perlindungan hukum dan hak-hak dalam golongan yang ada.
12

Prestasi yang diraih oleh pendekatan ini sangat hebat, dan model dasarnya
masih tetap berpengaruh hingga sekarang. Selain mengkampanyekan keadilan dan
persamaan hak-hak, kelompok-kelompok seperti Campaign for Homosexual
Equality di Inggris dan Gay Activists Alliance di Amerika Serikat juga secara aktif
terlibat dalam penyebaran image “positif” gay, sebagai kritik atas image negatif
dan homofobia yang sering diperlihatkan dalam media. Penyebaran image dan
narasi tentang harga diri, kesenangan dan gaya ini membuka kemungkinan yang
lebih besar bagi kelompok-kelompok atau individu-individu yang image
positifnya cocok dengan budaya mainstream. Kampanye dan aliansi juga bisa
dianggap sebagai rumah bagi para gay dan lesbian.
Untuk pulang ke rumah, tentu saja kita harus “keluar” terlebih dulu. Bagi
orang gay dan lesbian, “keluar” menjadi penanda penting bagi politik seksual
mereka. Keluar berarti muncul dari sangkar dan persembunyiannya. Lalu apakah
pria dan wanita queer ini keluar? Bagaimana dengan orang yang tidak sesuai
dengan image tersebut, mereka yang tidak memiliki image positif, tidak memiki
kepercayaan diri, dan tidak berada di rumah dengan politik serta budaya
asimilasionis? Dan bagaimana dengan tindakan, kesenangan, serta identifikasi
yang menjadi penyebab konflik dalam komunitas gay? Identifikasi biseksualitas,
transseksualitas, sadomasokisme dan transgender secara implisit menentang
gagasan inklusif politik asimilasionis. Ketidaksesuaian dapat diinterpretasikan
dari sudut pandang kehormatan.
Sepanjang 1980-an, berbagai macam kehidupan gay dan lesbian yang
disebarkan dalam kampanye politik dikritik karena terlalu mengistimewakan nilai-
nilai kelas menengah dan orang kulit putih. Ketegangan antar gender dan antara
gender dengan seksualitas juga menyebabkan perdebatan semakin memanas, dan
mengungkap kelemahan model komunitas politik gay dan lesbian. Sepanjang
sejarah pembebasan gay, beberapa lesbian telah mengkritik maskulinisme budaya
gay yang mainstream. Mereka mengembangkan model lesbianisme sebagai
identifikasi bagi wanita yang memprioritaskan motivasi politik diatas hasrat
seksual. Namun demikian, para lesbian lain, termasuk para feminis, merasa bahwa
desexualized version dari hasrat seks perempuan sesama jenis justru meniadakan
13

mereka. Ketegangan memuncak pada “perang seks”, dimana para sadomasokis


lesbian, wanita-wanita yang memiliki butch-fem relationship, dan para feminis
anti-sensor dengan kerasnya menentang gagasan ikatan persaudaraan lesbian.
Jadi, sementara politik gay dan lesbian telah semakin diterima, gagasan identitas
kolektif mereka justru dihancurkan oleh perbedaan-perbedaan internal mereka
sendiri.

Krisis Identitas
Patahnya mitos tentang identitas gay dan lesbian tidak hanya bisa dianggap
sebagai hasil perbedaan prioritas pribadi dan politik, tetapi juga hasil dari politik
yang ditentukan atas identitas. Meskipun identitas gay dan lesbian dapat dianggap
terkonstruksi secara kultural, tetapi mereka sebenarnya dibatasi sekaligus
difasilitasi. Karakteristik utamanya adalah “pilihan obyek”, preferensi untuk
hubungan seksual dengan seseorang dari gender yang sama dengannya. Hal ini
bisa jadi merupakan penanda bagi identitas gay dan lesbian, tetapi sebagaimana
yang ditunjukkan oleh Foucault dalam History, pilihan obyek semacam ini tidak
selalu merupakan dasar bagi sebuah identitas, dan bukan pula faktor penting
dalam persepsi setiap orang mengenai seksualitasnya. Model ini secara efektif
membuat biseks nampak seperti memiliki identitas yang kurang berkembang.
Wacana populer yang salah merepresentasikan AIDS sebagai penyakitnya
para gay telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembaharuan
homofobia, dan mengharuskan adanya suatu review atas strategi-strategi
asimilasionis. Koalisi baru terbentuk antara pria dan wanita, bukan berdasarkan
pada identitas yang penting, tetapi pada komitmen untuk menentang representasi
yang meminta hidupnya orang-orang pengidap AIDS. Dampak dari pendidikan
seks sendiri mendorong adanya pembaharuan pada penekanan terhadap praktek-
praktek. Isu pentingnya terletak pada apa yang kamu lakukan, bukan pada siapa
dirimu.
Dalam perkembangan strategi politik ini, banyak kritikus yang
menemukan adanya bentuk resistensi terhadap kekuatan sosial yang bersifat
menekan, yang menurut Foucault lebih bisa dipertahankan daripada proyek-
14

proyek revolusioner besar. Salah satu kelompok yang didirikan pada periode ini
adalah ACT UP, yang mengatur protes-protes publik mengenai kebijakan dan
retorika AIDS, menyerbu bursa efek New York, memblokade Golden Gate
Bridge, dan menginterupsi siaran berita CBS. Strategi ACT UP terfokus pada
usaha untuk menentang efek-efek kekuasaan dan pengetahuan, karena mereka
terwujud dalam institusi-institusi kedokteran, perusahaan-perusahaan asuransi,
dan beberapa konteks lainnya. Kelompok ini digambarkan oleh teoretikus David
Halperin sebagai perwujudan politik rekonseptualisasi strategis Foucault yang
paling orisinil, cerdas dan kreatif mengenai seks, pengetahuan, dan kekuasaan.10
Bagi banyak orang, pemahaman mereka tentang epidemi AIDS telah
menghancurkan pemahaman mereka tentang pengetahuan dan identitas. AIDS
dianggap memiliki dampak yang sama terhadap pemahaman konvensional atas
subyektivitas dan seksualitas seperti halnya dampak Holocaust dan bob atom
terhadap gagasan pencerahan progresif. Setelah peristiwa tersebut, tidak akan ada
yang pernah sama. Pada konteks aktivisme dan penolakan AIDS akan strategi
asimilasilah “queer” disusun kembali dalam modelnya yang sekarang, baik dalam
budaya populer maupun teorinya. Kelompok lain yang terpengaruh oleh ACT UP
dan strategi aktivis AIDS lainnya didirikan di New York pada 1990.

“Kami ada disini, kami adalah queer, biasakan diri anda dengan hal
tersebut.”
Queer Nation dan kelompok-kelompok yang terafiliasi seperti Pink Panther
mengatur patroli jalan untuk melawan gay-bashing, memperingati korban-korban
kekerasan homofobia dengan gerakan street graffiti, dan mengadakan sesi
pendidikan anti-homofobia di bar-bar kaum straight. Mereka juga mengatur
kampanye media dan seni, menumbangkan propaganda sayap kanan dan
homofobia. Inti dari strategi retoris dan representasional kelompok-kelompok ini
adalah kata “queer”, istilah slang yang sebagian besar digunakan dalam wacana
homofobia, dan sebagian digunakan oleh homoseks untuk menggantikan istilah
“gay” atau “lesbian”. Dalam budaya populer, queer berarti lebih seksi, lebih
transgresif, lebih berani menunjukkan perbedaan yang tidak ingin diasimilasikan.
15

Menganalisa pergeseran identitas utama dari “homoseks” ke “gay” dan


“lesbian”, ke “queer”, dan melihat bagaimana masing-masing menawarkan
kemungkinan-kemungkinan dan masalah-masalah bagi individu serta tidakan
politis yang dihasilkan melalui hubungan antara pengetahuan dengan wacana
dominan adalah sesuatu hal yang cukup mudah untuk dilakukan, terutama dalam
Foucauldian terms. Kelompok-kelompok ini saling menggantikan satu sama lain
walaupun ada overlap yang cukup signifikan. Cerita tradisional tentang sejarah
homoseksualitas cenderung mengecilkan pentingnya aspek-aspek masa lalu yang
tidak sesuai dengan model kemajuan dari represi ke pembebasan, termasuk
subkultur queer seperti komunitas lesbian butch-fem pada 1950-an. Subkultur ini
mirip dengan budaya queer yang ada sekarang ini.

Queer(ing) Theory
Walaupun pada umumnya queer digunakan sebagai kelompok identitas tambahan
atau alternative, tetapi queer theory tidak bisa hanya dianggap sebagai penyokong
akademis momen kultural ini. Kekecewaan para teoretikus queer terhadap
beberapa aspek politik gay dan lesbian bukan sekedar penolakan terhadap
normativitas kelompok-kelompok tertentu tersebut, melainkan sesuatu yang
diturunkan dari perbedaan pemahaman atas identitas dan kekuasaan. Jika budaya
queer menganggap “queer” sebagai kata sifat yang kontras dengan kehormatan
relatif “gay” dan “lesbian”, maka queer theory justru menganggap “queer”
sebagai kata kerja yang mengganggu asumsi makhluk seksual dan kegiatan
seksual. Dalam teori, queer secara definitif bersifat eksentrik dan abnormal.
Queer theory menggunakan sejumlah gagasan dari teori posstrukturalis,
termasuk model psikoanalitis Jacques Lacan mengenai identitas yang tidak stabil,
dekonstruksi Jacques Derrida atas struktur konseptual dan linguistik biner, dan
tentu saja model wacana, pengetahuan dan kekuasaan Foucault. Penelitian-
penelitian yang secara kolektif menggunakan queer theory sebagian besar adalah
penelitian sejarah, budaya, dan sastra, serta filsafat, walaupun topiknya mencakup
wacana ilmiah, hukum, dan yang lainnya. Para penulisnya umumnya concern
dengan politik representasi dan training dalam analisa budaya tertulis dan visual,
16

dari sastra dan film hingga ke wacana politik. Banyak diantaranya yang bekerja
dalam program penelitian gay dan lesbian, yang jumlahnya meningkat seiring
dengan tumbuhnya pengaruh queer theory.
Hubungan antara queer theory dengan penelitian gay dan lesbian cukup
rumit. Beberapa penulis dan guru bergerak diantara kedua bidang tersebut atau
mengadopsi salah satunya untuk keperluan tulisan mereka, sebab identitas queer,
gay atau lesbian nampak cocok meskipun konteksnya berbeda. Namun demikian,
ada pula yang merasa bahwa queer, entah bagaimana, justru mendorong orang
untuk mengabaikan atau menghilangkan gagasan teoretis tentang gay dan lesbian.
Banyak akademisi seperti Foucault yang terlibat dalam berbagai bentuk aktivisme
politik, dan hubungan antara queer theory dengan penelitian gay dan lesbian
sebaiknya dipahami sebagai bagian dari network dinamis bidang-bidang
pengetahuan dan praktek-praktek diskursif yang berbeda tetapi overlapping.

Queer Foucault
Beberapa queer studies melanjutkan proyek Foucault dengan mengeksplorasi
beragam pembentukan identitas seksual, di masa lalu dan masa kini. Contoh
terkemuka adalah penelitian David Halperin tentang seksualitas di Yunani klasik
dan dalam tulisan Foucault sendiri, penelitian Gayle Rubin tentang gay male
leather community di San Fransisco, dan penelitian Martha Vicinius tentang
identitas lesbian. Queer theory menyokong penelitian Cindy Patton, Simon
Watney dan lainnya tentang wacana dan konstruksi homofobia. Banyak queer
studies yang fokus pada hubungan antara gay, lesbian dan seksualitas yang tidak
disetujui dengan produksi budaya. Mereka yang bekerja di bidang ini diantaranya
adalah Joseph Bristow, Ed Cohen, Jonathan Dollimore, Lee Edelman, Alan
Sinfield, dan Yvonne Yarboro-Bejarano. Jumlah teks dan penulis queer ini
meningkat secara drastis sepanjang 1990-an.
Tanpa bermaksud merendahkan pentingnya penelitian-penelitian lain yang
lebih terlokalisir, buku ini akan fokus pada esai tentang beberapa penelitian yang
membawa gagasan Foucault pada serangkaian perlawanan terhadap model teoretis
dan filosofis lain demi mengeksplorasi norma-norma dan proses-proses
17

normalisasi yang menopang sistem seksual yang ada sekarang ini. Salah satu topik
pertama yang dieksplor oleh teoretikus queer adalah pertentangan antara
heteroseksualitas dan homoseksualitas.

Heteroseksualitas versus Homoseksualitas


Jika homoseksualitas adalah produk budaya, sebagaimana yang ditegaskan oleh
Foucault, lalu bagaimana dengan heteroseksualitas? Dan kenapa ia dianggap
sebagai seksualitas yang normal? Kenapa masyarakat Barat diatur oleh
“heteronormativitas”? Reproduksi manusia mungkin memerlukan kontribusi
sperma dan sel telur dari pria dan wanita, tetapi seperti yang dinyatakan oleh
Foucault, seksualitas adalah produk budaya yang tidak bisa begitu saja dianggap
sebagai perpanjangan proses biologis. Sebagaimana homoseksualitas yang
merupakan kelompok budaya khusus, heteroseksualitas juga memiliki sejarah
untuk dianalisa. Analisa ini dapat dianggap sebagai kebutuhan politis: apa manfaat
dan bahayanya menerima gagasan bahwa tidak ada identitas homoseksual yang
alami dan menyatu, jika gagasan tentang heteroseksualitas yang alami itu sendiri
ditentang?
Queer studies mengenai pertentangan ini menggabungkan sejarah Foucault
tentang seksualitas dengan analisa tekstual dekonstruktif. Dalam kata
pengantarnya di kumpulan esai berjudul Inside/Out: Lesbian Theories, Gay
Theories (1991), Diana Fuss mengaplikasikan gagasan Jacques Derrida tentang
“suplemen” pada analisa pertentangan heteroseksual/homoseksual. Suplemen
(dalam hal ini adalah homoseksual) adalah sesuatu yang muncul sebagai
tambahan bagi term yang asli (heteroseksualitas), tetapi yang menjadi tempat
bergantungnya heteroseksualitas itu sendiri. Jadi heteroseksualitas sebenarnya
merupakan produk dari homoseksualitas. Lalu bagaimana bisa homoseksualitas
itu kemudian dianggap inferior? Tidak ada pertentangan yang eksis dalam isolasi
―semuanya bekerja melalui hubungannnya dengan yang lain. Pertentangan
pria/wanita yang tradisional, saling bergantung tetapi berlawanan, misalnya,
memperoleh struktur hirarkisnya melalui hubungannya dengan yang lain: yang
18

rasional/emosional, kuat/lemah, aktif/pasif, dsb; begitu pula dengan


heteroseksualitas/homoseksualitas.
Sebagai contoh, Fuss mengeksplorasi interdependensi
heteroseksualitas/homoseksualitas dengan oposisi inside/outside yang terkait
dalam budaya yang dominan dan bertentangan. Selain pemisahan yang jelas
antara heteroseksualitas yang ada di dalam dan homoseksualitas yang ada di luar
masyarakat mainstream, gerakan dialektis ini juga dapat ditelusuri dalam
retorikanya menjadi yang ada di “luar”. Bergerak sepenuhnya keluar dari
heteroseksualitas adalah sesuatu hal yang tidak mungkin.
Sebagaimana yang ditunjukkan dalam tulisan Foucault dan juga politik
homoseksual afirmatif, meminta pengakuan identitas homoseks sudah pasti akan
menegaskan kembali pertentangan yang biner dan tidak seimbang antara
homoseksual dan heteroseksual. Jadi daripada berusaha untuk bergerak ke luar
atau membalikkan pertentangan tersebut, queer theory lebih berusaha untuk
meneliti bagaimana pertentangan tersebut membentuk hirarki politik dan moral
pengetahuan serta kekuasaan. Penelitian yang cukup detil di area ini dilakukan
oleh Eve Kosofsky Sedgwick, kritikus sastra yang dijuluki oleh Rolling Stone
sebagai “the soft-spoken queen of gay studies”.
Sedgwick mengungkapkan tingkat kemajuan dependensi heteroseksualitas
normatif terhadap homoseksualitas yang terstigmatisasi. Dalam Between Men:
English Literature and Homosocial Desire (1985), Sedgwick meneliti bagaimana
ikatan homososial pria terstruktur dalam perang kecil-kecilan dengan
homoseksualitas. Dalam Epistemology of the Closet (1990), ia menegaskan bahwa
“closet” atau rezim “open secret” yang terkait dengan homoseksualitas telah
menyusun gagasan-gagasan tentang nilai dan pengetahuan dalam masyarakat
Barat modern.
Hubungan antara pengetahuan, kekuasaan dan seks terungkap dalam
penyambutan akademis yang hangat terhadap tulisan-tulisan queer. Tulisan
Sedgwick terus menerus berupa studi kasus teks sastra. Esainya tentang
masturbasi sebagai sebuah trope dalam Sense and Sensibility karya Jane Austen
sering dipresentasikan sebagai simbol pengaruh buruk queer theory terhadap
19

innocent discipline.11 Kekhawatiran tentang sopan atau tidaknya mengajar subyek


queer, gay atau lesbian terkait jelas dengan ketakutan bahwa topik-subyek
tersebut akan merusak siswa-subyek. Contoh yang paling jelas dari ketakutan ini
di Inggris adalah Bab 28 Local Government Act 1988 yang melarang “penyebaran
homoseksualitas” oleh sekolah-sekolah. Meskipun perundangan semacam ini
bergantung pada gagasan homofobia anak-anak innocent (dan secara implisit para
heteroseks), tetap saja muncul pertanyaan bagaimana kita melihat diri sendiri gay
atau straight. Jika homoseksualitas dan heteroseksualitas merupakan kelompok
pengetahuan, bukan sifat bawaan, lalu bagaimana kita, sebagai individu, belajar
mengetahui diri kita seperti itu? Inilah pertanyaan penting beberapa tulisan yang
menggunakan queer theory.

Getting Personal
Ciri penting analisa Foucault tentang seksualitas dan bacaan queer serta
posstrukturalis yang terkait adalah bahwa individu tidak dianggap sebagai subyek
Cartesian yang otonom (“aku berpikir, maka aku ada”), yang memiliki identitas
bawaan atau esensial yang terlepas dari bahasa. Apa yang umumnya kita anggap
sebagai “diri” adalah hasil dari Bahasa atau wacana khusus yang berhubungan
dengan pembagian pengetahuan. Saya mungkin percaya bahwa diri saya adalah
unik dan esensial, dan bahwa saya terlibat dalam proses pengekspresian diri
melalui bahasa, tetapi kepercayaan ini sendiri merupakan konstruksi sosial.
Pada akhir abad ke-20, saya mungkin akan memikirkan seksualitas dalam
kaitannya dengan sejumlah kemungkinan identitas ―straight, gay, lesbian,
biseks― dimana mereka sendiri terikat dengan klasifikasi saya. Saya bisa saja
menganggap diri saya sebagai pria gay atau wanita straight, tetapi saya akan
kesulitan menganggap diri saya pria lesbian. Apa yang membuat saya memikirkan
diri saya dengan identitas tertentu adalah wacana dan pengetahuannya yang
menghasilkan serta menjaga seksualitas dan gender. Kata-kata yang saya gunakan,
dan pikiran-pikiran yang saya miliki, terikat dengan konstruksi masyarakat atas
realitas.
20

Apa yang Dilihat oleh Butler


Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity, tulisan Judith Butler
yang diterbitkan pada 1990, tak bisa disangkal lagi merupakan teks yang paling
berpengaruh dalam queer theory. Butler secara eksplisit mengembangkan gagasan
Foucault yang berkaitan dengan teori feminis tentang gender untuk meneliti dan
membongkar model-model normatif gender dan heteroseksualitas.
Banyak kritikus feminis yang menganggap penelitian Foucault secara
eksklusif merupakan hasil dari homoseks pria. Sementara beberapa orang
menjelaskan hal ini dengan mengacu pada assumed authorial androcentrism,
yang lain justru menganggap hal ini sebagai hasil dari konteks historis yang ia
teliti (seperti wacana hukum), yang mengabaikan seksualitas perempuan. Feminis
khawatir bahwa tulisan-tulisan Foucault akan meremehkan pentingnya gender.
Meskipun tulisan Foucault membuat tulisan tentang seksualitas tidak lagi menjadi
sekedar analisa gender tambahan, tetapi kedekatan hubungan antara kedua
kelompok dalam pemikiran modern merupakan situs yang jelas bagi penelitian
dan intervensi yang lebih jauh.
Penelitian Butler mengembalikan gender pada posisi sentral analisa hasrat
dan hubungan seksual, tetapi bukan untuk memeliharanya sebagai dasar
solidaritas politik. Sebaliknya, ia mengadopsi pendapat Foucault bahwa
“seksualitas” diproduksi secara diskursif, dan memperluasnya dengan
memasukkan gender. Ia menampilkan gender sebagai efek performatif yang
dialami oleh individu sebagai identitas alami, berlawanan dengan asumsi bahwa
“wanita”, kelompok identitas yang berdasarkan gender, bisa menjadi dasar bagi
politik feminis.
Menurut Butler, gender bukan merupakan tambahan konseptual atau
kultural seks kromosom/biologis, melainkan praktek diskursif tanpa henti yang
terstruktur di seputar konsep heteroseksualitas sebagai norma hubungan manusia.
Compulsory heterosexuality masuk ke dalam gender melalui produksi hal-hal tabu
yang bertentangan dengan homoseksualitas, yang kemudian menghasilkan
hubungan yang salah. Itulah sebabnya, mengidentifikasi seseorang sebagai pria
21

lesbian adalah hal yang tidak masuk akal. Tetapi hubungan itu tidak sendiri
merupakan hal yang tak bisa dihindari.
Jika seksualitas merupakan konstruksi kultural atau kelompok
pengetahuan, dan jika seperti yang ditegaskan oleh para feminis, gender
diproduksi secara kultural, lalu kenapa kita berasumsi bahwa seks, sebagai oposisi
biner antara pria dan wanita, bisa ada disana? Butler memperhatikan bahwa pada
akhir kata pengantarnya, Foucault menyatakan bahwa “seks” itu sendiri
merupakan kelompok fiktif yang dipahami sebagai sumber dan penyebab dari
hasrat.
Butler menemukan bahwa dalam pendapat Foucault terdapat metafora
yang berulang atau figur badan yang menjadi permukaan tempat sejarah
menuliskan nilai-nilai budaya. Butler beranggapan bahwa hal ini menunjukkan
kalau badan memang memiliki materialitas yang mendahului signification, dan
oleh karenanya ia berusaha mencari cara untuk membaca badan sebagai praktek
penanda. Dalam penelitian Mary Douglas dan Simon Watney tentang wacana
yang mengkonstruksikan batasan-batasan badan sebagai sesuatu yang berbahaya
(termasuk AIDS), Butler menemukan satu kemungkinan untuk mengembangkan
analisa Foucault melewati batasan-batasannya sendiri, dan untuk meneliti badan
sebagai batasan perantara yang memisahkan antara inner dengan outer demi
menghasilkan subyek yang stabil dan koheren. Badan, seperti halnya seksualitas,
juga bisa memiliki genealogi.
Sementara Foucault biasanya melihat psikoanalisa sebagai wacana untuk
diteliti, bukan untuk digunakan, Butler justru memanfaatkan gagasan-gagasan dari
Freud, Kristeva, Lacan, Wittig, dan lainnya untuk meneliti bagaimana efek
identitas dihasilkan melalui pembedaan antara subyek dengan Other dan melalui
produksi fictional interior core.
Menurut Butler, efek dari gender tercipta sebagai “social temporality”
melalui repetisi tindakan, gesture, dan gerakan jasmaniah tertentu.12 Kita
memperoleh identitas kita melalui pola perilaku yang menyokong norma-norma
gender. Proses repetisi tersebut merupakan pemberlakuan kembali sekumpulan
makna yang telah ditentukan secara sosial; dan merupakan bentuk legitimasi yang
22

diritualkan.13 Teori performativitas ini merupakan salah satu gagasan yang paling
berpengaruh dari queer theory atau feminisme. Seperti halnya analisa Foucault
tentang interimplikasi pengetahuan dan kekuasaan dalam penentuan posisi
subyek, performativitas gender juga benar-benar menghancurkan dasar
pergerakan politik yang tujuannya adalah pembebasan sifat-sifat yang ditekan,
baik yang berkaitan dengan gender maupun seksual, tetapi ia masih membuka
kemungkinan adanya resistensi dan subversi yang dihentikan oleh politik
identitas.
Performativitas sering salah dipahami sebagai performance. Hal ini
sebagian besar disebabkan oleh contoh performativitas gender parodik subversif
yang dipilih Butler: drag (orang yang membosankan). Drag dianggap
menampilkan stereotype feminin oleh para feminis, tetapi dalam tulisan Butler,
parodi hiperbolis drag membeberkan struktur imitatif gender itu sendiri, membuat
kita berpikir lagi tentang apa yang kita anggap natural. Kesalahpahaman itu
sendiri berasal dari nafsu khayal untuk menyingkirkan tekanan heteroseksualitas
dan sistem gender biner yang diidentifikasi oleh Butler.

Queer Knowledges/Queer Performances


Gagasan Foucault dan Butler mempengaruhi banyak feminis, gay dan lesbian,
serta teori dan penelitian queer. Pada queer theory, kritik atas klasifikasi gender
meluas hingga ke masalah transseksual dan transgender. Beberapa analisa fokus
pada konstruksi badan dalam wacana dan praktek kedokteran, sedangkan
beberapa yang lain meneliti kemungkinan sexual-techno-bodily configurations
yang berbeda dalam realitas virtual. Beberapa tulisan pada area ini nampak luar
biasa khayal, tetapi untuk menambah analisa konstruksi badan dalam konfigurasi
baru teknologi, pengetahuan dan kekuasaan, tulisan semacam ini bisa
mengimbangi kecenderungan untuk fokus pada representasi sastra atau fiksi
dalam banyak analisa queer.
Gagasan lain dari penelitian queer yang berpotongan dengan gagasan
Butler, dan juga dengan budaya serta politik queer, adalah pembacaan kembali
potensi subversive atau transgresif camp. Menurut Moe Meyer, camp adalah
23

bahasa yang didiskreditkan, tetapi merupakan bahasa pengetahuan dan bersifat


subversif, dari subyek queer yang ditolak.14 Penampilan camp sesungguhnya
membuat subyek tersebut menjadi makhluk hidup, sekaligus berfungsi sebagai
kritik budaya. Hal ini secara langsung berhubungam dengan model
performativitas gender Butler dan kemungkinan subversinya melalui twisting atau
queering.
Kedua aspek queer theory ini ―penyelidikan pengetahuan tentang
seksualitas dan penyelidikan performativitas serta performance― membawa kita
kembali pada pertanyaan di awal esai ini tentang apa yang membuat Julian Clary
dan Eddie Izzard nampak subversif, sementara ikon-ikon camp sebelumnya justru
sering mempertegas pembatasan stereotype. Bagi beberapa orang, mungkin ini
adalah masalah ketegasan atau “outness” dari performer/performance, tetapi dari
sudut pandang queer, penjelasan tersebut tidaklah cukup. Hal ini bergantung pada
narasi kemajuan ―dari “in the closet” ke “out”― dan pada kepercayaan bahwa
motivasi atau tujuan individu merupakan determinan dari makna mereka.
Pada 1970-an, image camp dari para homoseks yang flamboyant
mempertegas “pengetahuan” negatif tentang orang-orang “queer” yang muncul
dalam media, sementara para gay dan lesbian justru berusaha untuk mempertegas
pengetahuan yang berbeda tentang diri mereka sendiri. Oleh sebab itu, camp
memiliki dampak yang berbeda daripada yang ada sekarang ini. Namun ini bukan
sekedar tentang camp yang sekarang menjadi model subversif, karena
kenyataannya, kritik queer terhadap normativitas tidak bisa mengabaikan
pengetahuan dan wacana dominan begitu saja dalam menahan subversi.
Clary dan Izzard memiliki tanggapan yang berbeda mengenai kekuatan
pemahaman yang dominan mengenai seks, seksualitas dan gender. Clary nampak
cocok dengan ceruk camp tertentu yang sukses ia adaptasikan ke dalam format
sitkom dan gameshow yang mainstream; sedangkan Eddie Izzard nampaknya
memberikan tanggapan yang lebih kompleks, dimana seksualitasnyalah yang
menjadi kunci penting statusnya dalam model gender. Cerita Izzard mengenai
pilihan dan preferensinya ada bermacam-macam, tetapi itu bukanlah isu utama
disini. Kombinasinya atas tanda-tanda konvensional dari gender yang berlawanan,
24

misalnya seperti rok dan janggut, menunjukkan bahwa ia tidak benar-benar cocok
dengan alternatif feminin = wanita atau manly = pria. Dalam banyak percakapan
yang membahas tentang dia, muncul pertanyaan: Dia itu straight, gay, atau apa?
Penampilannya mengganggu pengetahuan konvensional tentang seperti apa pria
atau wanita dimata gender. Oleh sebab itu, para observer mengalihkan
perhatiannya pada pasangan konvensional lain, yaitu homoseks/heteroseks, untuk
menjelaskan kebingungan mereka.
Pada contoh ini, kita dapat melihat dinamika konstruksi diskursif gender
dan seksualitas sebagai sesuatu yang terpisah, tetapi juga saling berhubungan.
Penampilan Izzard dapat diinterpretasikan sebagai performative queering norma-
norma gender dan seksualitas. Hal ini akan membongkar kekuatan dan
normalisasi yang menarik kita pada pemahaman konvensional identitas dan
badan. Menurut Foucault, kita bisa melihat hal ini sebagai suatu bentuk resistensi.
Tipe resistensi semacam ini tidak terbatas pada aspek-aspek penampilan
yang lebih dramatis. Teori dan budaya queer bisa saja menekankan hubungan
antara teatrikalitas dengan politik, tetapi tetap saja ada kecenderungan ke arah
queer. Dalam teori dan praktek, queer dapat dipahami sebagai sebuah kata sifat
yang bertindak sebagai performatif dan memiliki kekuatan sebuah kata kerja.
David Halperin menganggap queer sebagai suatu “horizon kemungkinan”, dan
subyek queer sebagai sesuatu yang menempati “posisi eksentrik” dalam kaitannya
dengan sesuatu yang normal, sah, dan dominan. 15 Sementara itu, Eve Kosofsky
Sedgwick mengatakan bahwa memanggil seseorang queer berarti melakukan
experimental self-perception dan filiation yang performatif.16 Halperin mengikuti
komentar positif Foucault tentang praktek S/M sebagai sebuah permainan
strategis yang menciptakan kesenangan, bukan sebagai suatu bentuk dominasi,
petunjuk untuk praktek seks queer yang bisa membuka kemungkinan adanya diri
yang lebih impersonal.17 Secara umum, beberapa tulisan terkini yang
menggunakan queer theory mencoba untuk memahami hubungan antara identitas
dan tindakan dengan cara yang memungkinkan agen kolektif dan individu untuk
menentang pengetahuan dan praktek-praktek yang bersifat menekan, tanpa kmbali
pada gagasan modernis tentang subyek otonom.
25

Sekarang Queer, dan Besok Tidak?


Teori dan budaya queer telah menarik banyak kritik dari para aktivis gay, lesbian,
dan queer, serta para akademisi. Bagi beberapa orang, queer moment tersebut
telah berlalu, dan langkah transgresifnya telah bertransformasi ke dalam aksesori-
aksesori fashion. Anda bisa saja menindik puting anda, mengenakan kaos yang
bertuliskan “Queer as Fuck”, atau bahkan menonton film-film queer, tetapi apa
artinya itu semua? Apakah queer telah menjadi kelompok baru identitas?
Queer theory sendiri dikritik atas keabstrakannya dan pemujaannya
terhadap wacana. Secara lebih spesifik, ia dipersalahkan karena telah
mengabaikan dan meremehkan realitas penekanan. Selain itu, kecenderungan
beberapa tulisan queer untuk menampilkan gender dan identitas sebagai struktur
atau konsep yang negatif juga memancing banyak sekali kritik. Beberapa kritik
tersebut didasarkan pada pemahaman yang reduktif.
Jika queer menjadi normal dan terhormat, maka ia berhenti menjadi queer.
Teresa de Lauretis menyatakan bahwa queer theory telah menjadi makhluk yang
kosong secara konseptual dalam industri penerbitan. 18 Meski seksualitas masih
menjadi obyek kunci queer analysis, tetapi ia lebih sering diteliti dalam kaitannya
dengan kelompok pengetahuan lain yang terlibat dalam pemeliharaan hubungan
kekuasaan yang tak seimbang: ras, agama, kebangsaan, usia dan kelas. Ontologi
kritis diri kita sendiri tidak seharusnya dianggap sebagai sebuah teori, doktrin,
atau bahkan sebagai badan permanen dari pengetahuan yang terakumulasi; ia
seharusnya dianggap sebagai sebuah sikap, etos, dan filsafat hidup.19

Anda mungkin juga menyukai