Anda di halaman 1dari 22

Peter L.

Berger
Peter Ludwig Berger (lahir 17 Maret 1929; umur 83 tahun) adalah seorang sosiolog dan teolog Amerika, yang terkenal karena karyanya The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York, 1966), yang ditulisnya bersama Thomas Luckmann.

Biografi
Berger dilahirkan di Vienna, Austria, kemudian dibesarkan di Wina dan kemudian beremigrasi ke Amerika Serikat tak lama setelah Perang Dunia II. Pada 1949 ia lulus dari Wagner College dengan gelar Bachelor of Arts. Ia melanjutkan studinya di New School for Social Research di New York (M.A. pada 1950, Ph.D. pada 1952). Pada 1955 dan 1956 ia bekerja di Evangelische Akademie di Bad Boll, Jerman. Dari 1956 hingga 1958 Berger menjadi profesor muda di Universitas North Carolina; dari 1958 hingga 1963 ia menjadi profesor madya di Seminari Teologi Hartford. Tonggaktonggak kariernya yang berikutnya adalah jabatan sebagai profesor di New School for Social Research, Universitas Rutgers, dan Boston College. Sejak 1981 Berger menjadi Profesor Sosiologi dan Teologi di Universias Boston, dan sejak 1985 juga menjadi direktur dari Institut Studi Kebudayaan Ekonomi, yang beberapa tahun lalu berubah menjadi Institut Kebueayaan, Agama, dan Masalah Dunia[1].

Pemikiran
Berger dikenal luas karena pandangannya bahwa realitas sosial adalah suatu bentuk dari kesadaran. Karya-karya Berger memusatkan perhatian pada hubungan antara masyarakat dengan individu. Di dalam bukunya The Social Construction of Reality, Berger, bersama Thomas Luckmann, mengembangkan sebuah teori sosiologis: 'Masyarakat sebagai Realitas Objektif dan Realitas Subjektif'. Analisisnya tentang masyarakat sebagai realitas subjektif menjelaskan proses dimana konsepsi individu tentang realitas dihasilkan dari interaksinya dengan struktur sosial. Ia menulis tentang bagaimana konsep-konsep atau penemuan-penemuan baru manusia menjadi bagian dari realitas kita, yang disebutnya sebagai proses obyektivasi. Dalam proses selanjutnya, realitas ini tidak lagi dianggap sebagai ciptaan manusia melalui proses yang, oleh Berger, disebut sebagai reifikasi. Konsepsinya tentang struktur sosial membahas masalah pentingnya bahasa: "sistem lambang yang paling penting dalam masyarakat manusia," serupa dengan konsepsi Hegel tentang Geist.

Seperti sebagian besar sosiolog agama saat ini, ia salah ketika memprediksi bahwa sekularisasi akan terjadi di seluruh dunia. Dalam beberapa kesempatan, Ia mengakui bahwa data-data justru membuktikan sebaliknya. Pada akhir tahun 1980-an, Berger secara terbuka mengakui bahwa agama (baik lama maupun baru) tidak hanya masih dipraktekkan secara luas, tetapi dalam banyak kasus bahkan dipraktekkan dengan penuh semangat, lebih daripada di masa lalu, terutama di Amerika Serikat.

Karya-karyanya
Tulisan-tulisan sosiologis Berger yang berpengaruh antara lain adalah:

Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective (1963) (bahasa Indonesia: Humanisme Sosiologi, Inti Sarana Aksara, Jakarta, 1985) The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (1966, dengan Thomas Luckmann) (bahasa Indonesia: Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta, 1990) The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (1967) (bahasa Indonesia: Langit Suci Agama sebagai Realitas Sosial, LP3ES, Jakarta, 1991) A Rumor of Angels: Modern Society and the Rediscovery of the Supernatural , 1970 (bahasa Indonesia: Kabar Angin Dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Modern, LP3ES, Jakarta, 1991)

Kini ia menulis tentang sosiologi agama dan kapitalisme:


The Capitalist Spirit: Toward a Religious Ethic of Wealth Creation (editor, 1990). Peter Berger and the Study of Religion, 2001 Homeless Mind : Modernization and Consciousness, 1974 Redeeming Laughter: The Comic Dimension of Human Experience, 1997 Many Globalizations: Cultural Diversity in the Contemporary World , 1974. with Samuel P. Huntington The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics . et al. 1999 Questions of Faith: A Skeptical Affirmation of Christianity (Religion and the Modern World), 2003 A Far Glory: The Quest for Faith in an Age of Credibility, 1992. Heretical Imperative: Contemporary Possibilities of Religious Affirmation The Limits of Social Cohesion: Conflict and Mediation in Pluralist Societies : A Report of the Bertelsmann Foundation to the Club of Rome Other Side of God, 1981, ISBN 0-385-17424-1

PITIRIM A SOROKIN

Kehidupan Pitirim A Sorokin Pitirim Sorokin adalah ilmuwan Rusia yang mengungsi ke Amerika Serikat sejak Revolusi Komunis 1917. Ia lahir di Rusia pada tahun 1889 dan memperoleh pendidikan di Universitas St Petersburg. Kemudian Sorokin mengajar disana yang kemudian Ia mendirikan Departemen Sosiologi. Karir Sorokin terganggu karena adanya Revolusi Komunis, hal ini dikarenakan Ia sebagai pejuang anti komunisme. Ia sempat ditahan dan dijatuhi hukuman mati, yang kemudian hukuman ersebut di ganti dengan hukuman pembuangan ke Cekoslovakia. Stetlah beberapa tahun Ia hidup dipengasingan, pada tahun 1924 Ia kemudian pergi ke Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, Sorokin bergabung dengan Universitas Harvard dan kemudian mendirikan Center for Creative Altruism. Karya-karya Pitirim A Sorokin 1. 2. 3. Social Cultural and Dynamics (1941), The Crisis of Our Age (1941), Society, Culture and Personality (1947).

Teori Siklus Perubahan Sosial Sorokin memusatkan perhatiannya pada tingkat budaya, dengan menekankan pada arti, nilai, norma dan symbol sebagai kunci untuk memahami kenyataan social-budaya. Sorokin juga menekankan adanya saling ketergantungan antara pola-pola budaya. Ia percaya bahwa masyarakat adalah suatu sistem interaksi dan kepribadian individual. Tingkat tertinggi integrasi sistem-sistem sosial yang paling mungkin didasari pada seperangkat arti, nilai, norma hukum yang secara logis dan konsisten mengatur interaksi antara kepribadian-kepribadian yang ada didalam masyarakat. Tingkat yang paling rendah dimana kenyataan sosial-budaya dapat dianalisa pada tingkat interaksi antara 2 orang atau lebih.

Sorokin mengemukakan teori yang berlainan, ia menerima teori siklus seperti hukum fatum ala Oswald Spengler dalam karya yang berpengaruhnya Der Untergang des Abendlandes (Decline of the West) atau Keruntuhan Dunia Barat/Eropa. Spengler meramalkan keruntuhan Eropa yang didasarkan atas keyakinan bahwa gerak sejarah ditentukan oleh hukum alam. Dalil Spengler ialah bahwa kehidupan sebuah kebudayaan dalam segalanya sama dengan kehidupan tumbuhan, hewan, manusia dan alam semesta. Persamaan itu berdasarkan kehidupan yang dikuasai oleh hukum siklus sebagai wujud dari fatum. Sorokin menilai gerak sejarah dengan gaya, irama dan corak ragam yang kaya raya dipermudah, dipersingkat dan disederhanakan sehingga menjadi teori siklus. Sorokin menyatakan bahwa gerak sejarah menunjukkan fluctuation of age to age, yaitu naik turun, pasang surut, timbul tenggelam. Ia menyatakan adanya cultural universal dan di dalam alam kebudayaan itu terdapat masyarakat dan aliran kebudayaan. Di alam yang luas ini terdapat 3 tipe yang tertentu, yaitu: a. ideational, mempunyai dasar pemikiran bahwa kenyataan itu bersifat nonmaterial, transenden dan tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Dunia dianggap sebagai suatu ilusi, sementara, dan tergantung pada dunia transenden atau sebagai aspek kenyataan yang tidak nyata , tidak sempurna, tidak lengkap. Kenyataan adalah sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan atau nirwana. Kata kunci adalah kerohanian, ketuhanan, keagamaan, kepercayaan b. sensate, dasar pemikirannya adalah dnia materil yang ada disekitar kita adalah satusatunya kenyataan yang ada. Keberadaan kenyataan yang adi insrawi atau yang trasenden disangkal. Kata kunci adalah serba jasmaniah, mengenai keduniawian, berpusat pada panca indera c. perpaduan antara ideational-sensate, dasar pemikirannya adalah perpaduan antara kedua hal diatas (Ideational dan Sensate). Kata kunci adalah suatu kompromis. ROUCEK DAN WARREN Roucek adalah salah satu tokoh sosiologi dari Amerika Serikat yang bernama asli Joseph Slabey Roucek. Roucek lahir di Prague, Cekoslovakia pada tahun 1902 dan kemudian pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1921 pada saat Perang Dunia I. Beliau pernah mengeyam pendidikan di Occidental, sebuah universitas di Californa dan di Historycal Society of Pennsylvania. Roucek menerima gelar sarjananya dari Universitas New York dan mengajar sosiologi di berbagai universitas Amerika, Kanada, Eropa, dan universitas lainnya Setelah menyelesaikan pendidikannya di Occidental College, kemudian Roucek mulai menjadi seorang sosiolog yang terkenal yang juga dibantu oleh Roland L. Warren, seorang pengarang dan penulis artikel yang banyak hasil karyanya, dan beliau juga

pernah menjadi dosen di Universitas New York. Roucek juga seorang pendiri Delta Tau Kappa. Delta Tau Kappa adalah suatu ilmu sosial internasional masyarakat kehormatan. Beliau wafat pada tahun 1984. Roucek pernah mengungkapkan konsep pengendalian sosial yang pernah digunakan dalam sosiologi pada tahun 1894 oleh Small dan Vincent, yaitu bahwa pengendalian sosial adalah sebuah istilah berusaha untuk suatu proses baik yang terencana maupun tidak terencana, oleh individual yang diajar, dibujuk atau dipaksa untuk menyesuaikan diri terhadap pemakaian dan nilai hidup suatu kelompok yang dapat kita klasifikasikan sebagai proses sosialisasi. Roucek menyebutkan bahwa cara-cara pemaksaan, reformitas, seperti desas-desus, mengolok-olok, mengucilkan dan menyakiti sangat banyak jumlah dan ragamnya dalam cara-cara dan teknik-teknik pengendalian sosial, seperti ideologi, bahasa, seni, rekreasi, organisasi rahasia, cara-cara tanpa kekerasan, kekerasan dan teror, pengendalian ekonomi, pererncanaan ekonomi dan sosial. Warren pernah mengemukakan pengertian suatu komunitas yaitu penempatan populasi yang saling tergantung dalam kehidupan sehari-hari yang dapat mengadakan penyamarataan aktifitas lewat pendirian yang memberikan pelayanan yang baik dari hari ke hari yang diperlukan untuk kelancaran kegiatannya sebagai suatu kesatuan sosial dan ekonomi. Roucek dan Warren lebih banyak menekankan sosiologi di bidang sosial yang diantaranya teorinya antara lain : 1. Lembaga sosial adalah pola aktifitas yang dibentuk untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. 2. Status adalah seseorang dalam suatu kelompok sosial. 3. Status sosial adalah posisi seseorang dalam masyarakat. 4. Cara-cara pengendalian sosial dengan pemaksaan, reformitas, perilaku sangat banyak jumlah dan ragamnya. Maka cara-cara dan teknik pengendalian sosial yang diuraikan banyak seperti ideologi, bahasa, seni, kreasi, dan organisasi. 5. Tentang organisasi sosial dan partisipasi masyarakat. Menurut Roucek dan Warren, sosiolog Amerika, ada tiga faktor mempengaruhi pembentukan kepribadian seorang individu, yaitu 1. Faktor biologis/fisik adalah suatu faktor yang timbul secara lahiriah di dalam diri seorang individu. Contoh, seseorang yang dilahirkan dengan cacat fisik atau

penampilannya kurang ideal, pasti ia akan rendah diri, pemalu, sukar bergaul, dan sifat minder lainnya. 2. Faktor psikologi/kejiwaan adalah suatu factor yang membentuk suatu kepribadian yang ditunjang dari berbagai watak, seperti, pemarah, pemalu, agresif, dll. Contoh, temperamen pemarah jika dipaksa atau didesak untuk melakukan sasuatu yang tidak ia sukai, maka akan memuncak amarahnya. 3. Faktor sosiologi/lingkungan adalah suatu faktor yang membentuk kepribadian seorang individu sesuai dengan kenyataan yang nampak pada kehidupan kelompok atau lingkungan masyarakat sekitarnya tempat ia berpijak. Contoh, seseorang yang lahir di lingkungan yang penuh solidaritas, pasti orang tersebut akan mempunyai kepribadian solider atau sikap pengertian terhadap sesama.

WILLIAM F OGBURN

William F Ogburn lahir di Butler, Georgia pada tanggal 29 Juni 1886. Setelah beliau lulus dari Universitas Penyalur Tekstil, Georgia pada tahun 1905, beliau menginginkan untuk memasuki pekerjaan professional. Ogburn kemudian memulai studinya pada bidang sosiologi. Beliau adalah seorang profesor sosiologi di sebuah Perguruan Tinggi di Portland, Oregon. Selama 4 tahun beliau berda di sana. Kemudian beliau kembali ke Universitas Columbia. Pada tahun 1927, Ogburn dipanggil ke Chicago untuk mengajar pada sebuah Perguruan Tinggi. Beliau menerima gelar akademis kehormatan LL.D dari almamaternya dan juga dari Universitas Carolina Utara. W.F. Ogburn merupakan ilmuwan pertama yang melakukan penelitian terinci mengenai proses perubahan yang sebenarnya terjadi. Beliau telah mengemukakan beberapa teori, suatu yang terkenal mengenai perubahan dalam masyarakat yaitu Cultural Lag (artinya ketinggalan kebudayaan) adalah perbedaan antara tarif kemajuan dari berbagai bagian dalam kebudayaan dari suatu masyarakat. A. Teori teknologi dan ketinggalan budaya (cultural lag) william f. Ogburn Menurut Ogburn, teknologi adalah mekanisme yang mendorong perubahan, manusia selamnaya berupaya memelihara dan meyesuaikan diri dengan alam yang senantiasa diperbaharui oleh teknologi.

a. b. c. d. 1.

Sumbangan dari William F Ogburn yang paling terkenal terhadap bidang sosiologi adalah konsepnya tentang ketinggalan budaya (cultural lag). Konsep itu mengacu kepada kecenderungan dari kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola-pola organisasi sosial yang tertinggal di belakang (lag behind) perubahan kebudayaan materiil.Pemikiran-pemikiran Ogburn dapat digolongkan dalam pendekatan perilaku (behaviorisme). Maka, Ogburn dalam karyanya Social Change with Respect to Culture and Original Nature, mengemukakan: Perilaku manusia merupakan produk warisan sosial atau budaya, bukan produk faktorfaktor biologis yang diturunkan lewat keturunan. Kenyataan sosial pada dasarnya terdiri atas pola-pola perilaku individu yang nyata dan konsekuensi-konsekuensinya. Perubahan-perubahan kebudayaan materiil terbentang mulai dari penemuan awal. Sedangkan kebudayaan nonmateriil, yang akhirnya berkonsekuensi harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan-kebudayaan materiil. Kebudayaan nonmateriil yang tidak mampu mengejar kecepatan perubahan dalam kebudayaan materiil yang terus melaju. Hasilnya adalah suatu ketegangan yang terus meningkat antara budaya materiil dengan nonmateriil. Teori Materialis (Materialist Theory) Ogburn memusatkan perhatian pada perkembangan teknologi dan ia menjadi terkenal karena mengembangkan ide mengenai ketertinggalan budaya dan penyesuaian tak terelakkan dari faktor-faktor kebudayaan terhadap teknologi. Teori ketertingalan kebudayaan ini melibatkan dua variable yang telah menunjukkan penyesuaian pada waktu tertentu. Tetapi karena penciptaan atau penemuan baru, salah satu variabel berubah lebih cepat daripada varuiabel lain. Dengan kata lain, bila laju perubahan bagian-bagian yang saling tergantung dari satu kebudayaan tidak sama, maka kita berhadapan dengan kondisi ketertinggalan kebudayaan, dan penyesuaian selanjutnya kurang memuaskan dengan tujuan yang dicapai mula-mula. Ketidakmampuan menyesuaikan diri yang dikemukakan Ogburn ini berakibat bagi kualitas hidup manusia. Ia menyatakan ada dua jenis penyesuaian sosial. Pertama, penyesuaian antara berbagai bagian kebudayaan. Kedua, penyesuaian antara kebudayaan dan manusia. Masalah penyesuaian manusia terlihat dalam berbagai jenis ketegangan dan perampasan hak, kejahata, pelacuran, dan berbagai masalah sosial lain yang merupakan tanda-tanda ketidakmampuan menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial. Munculnya ketimpangan kebudayaan (cultural lag); kondisi ini terjadi manakala unsur-unsur kebudayaan tidak berkembang secara bersamaan, salah satu unsur kebudayaan berkembang sangat cepat sedangkan unsur lainnya mengalami ketertinggalan. Ketertinggalan yang terlihat mencolok adalah ketertinggalan alam pikiran dibandingkan pesatnya perkembangan teknologi, kondisi ini terutama terjadi pada masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia. Untuk mengejar ketertinggalan ini diperlukan penerapan sistem dan pola pendidikan yang berdisiplin tinggi. Contoh: Akibat kenaikan harga BBM pemerintah mengkonversi bahan bakar minyak menjadi gas dengan cara mensosialisasikan tabung gas ke masyarakat. Namun berhubung sebagian masyarakat belum siap, terkait dengan kenyamanan dan keamanan penggunaan tabung gas maka masyarakat kebayakan menolak konversi tersebut. Kondisi demikian menunjukkan adanya ketertinggalan budaya (cultural lag) oleh sebagian masyarakat terhadap perubahan budaya dan perkembangan kemajuan teknologi.

a. b. c.

2.

a.

Teori Materialis yang disampaikan oleh William F. Ogburn pada intinya mengemukakan bahwa: Penyebab dari perubahan adalah adanya ketidakpuasan masyarakat karena kondisi sosial yang berlaku pada masa yang mempengaruhi pribadi mereka. Meskipun unsur-unsur sosial satu sama lain terdapat hubungan yang berkesinambungan, namun dalam perubahan ternyata masih ada sebagian yang mengalami perubahan tetapi sebagian yang lain masih dalam keadaan tetap (statis). Perubahan teknologi akan lebih cepat dibanding dengan perubahan pada perubahan budaya, pemikiran, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma yang menjadi alat untuk mengatur kehidupan manusia. Oleh karena itu, perubahan seringkali menghasilkan kejutan sosial yang yang apada gilirannya akan memunculkan pola-pola perilaku baru, meskipun terjadi konflik dengan nilai-nilai tradisional. Cara Teknologi Mengubah Kebudayaan William F. Ogburn mengusulkan suatu pandangan mengenai perubahan sosial yang didasarkan pada teknologi. Menurutnya teknologi mengubah masyarakat melalui 5 proses, yaitu: Penciptaan (Invensi) Ogbun mendefinisikan penciptaan sebagai suatu kombinasi unsure dan bahan yang ada untuk membentuk unsure dan bahan yang baru. Kita biasanya hanya memikirkan penciptaan sebagai suatu yang bersifat meteriil seperti computer, namun ada juga yang disebut dengan penciptaan sosial, contoh kapitalisme, birokrasi, korporasi, dll. Sebagaimana telah kita lihat, penciptaan sosial dapat memberikan konsekuensi besar terhadap hubungan dengan orang lain.

b. Penemuan (Discovery) Obgurn mengidentifikasikan penemuan sebagai suatu cara baru melihat kenyataan, sebagai suatu proses perubahan kedua. Kenyataannya sendiri sudah ada, tetapi orang baru melihatnya tetapi orang baru melihatnya untuk pertama kali. Salah satu contohnya adalah penemuan Amerika Utara oleh Columbus, yang membawa konsekuensi besar sehingga mengubah perjalanan sejarah manusia. c. Difusi (Diffusion) Ogburn menekankan bahwa difusi penyebaran suatu penciptaan dan penemuan dari suatu wilayah ke wilayah lain, dapat berakibat besar pada kehidupan orang. Difusi juga mencakup pula penyebaran ide. Sebagaimana ide kewarganegaraan mengubah struktur politik di seluruh dunia. Ide tersebut menggusur raja sebagai sumber otoritas yang tidak dapat digugat. Konsep kesetaraan gender sekarang sedang dikumandangkan di seluruh dunia. Meskipun konsep kesetaraan gender dianggap lazim di beberapa bagian dunia, ide bahwa penolakan hak seseorang atas dasar jenis kelamin adalah suatu tindakan keliru masih merupakan suatu ide yang revolusioner di beberapa kebudayaan. d. Akumulasi Akumulasi dihasilkan dari lebih banyaknya unsur baru yang ditambahkan kepada satu kebudayaan dibanding dengan unsur-unsur lama yang lenyap dari kebudayaan bersangkutan. e. Penyesuaian

Penyesuaian mengacu pada masalah yang timbul dari saling ketergantungan seluruh aspek kebudayaan. Sebagai contoh, penemuan di bidang ekonomi tanpa terelakkan akan mempengaruhi pemerintah menurut cara tertentu, pemerintah terpaksa menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapkan oleh perubahan ekonomi. Atau teknologi baru akan mempunyai dampak terhadap keluarga, memaksa keluarga menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, meskipun penemuan teknologi berkaitan langsung dengan keluarga

Selo Soemardjan
Kanjeng Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan (lahir di Yogyakarta, 23 Mei 1915 meninggal di Jakarta, 11 Juni 2003 pada umur 88 tahun) adalah seorang tokoh pendidikan dan pemerintahan Indonesia.

Biografi
Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya komitmen sosial yang tinggi dan sulit untuk diam. Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana diungkapkan pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut Soedarpo, integritas itu pula yang membuat mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada Selo kalau menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak. Ia seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pantas karena ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang orang bersih yang dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa

praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat. Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto. Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 -- seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, AS -- mengajar sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi. Pendiri FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI dan sampai akhir hayatnya justeru mengajar di Fakultas Hukum UI. Ia dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama aslinya-mendapat pendidikan Belanda. Nama Selo dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai daerahnya masingmasing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya sebagai sosiolog. "Saya adalah camat yang mengalami penjajahan Belanda, masuknya Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali," tuturnya suatu ketika sebagaimana ditulis Kompas. Pengalamannya sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain. Mendiang Baharuddin Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993) menulis, "Pak Selo menggali ilmu langsung dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia menyampaikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan bersama." Lopa menilai Selo sebagai dosen yang mampu mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta menghayati apa yang diajarkannya. "Pendekatan realistis dan turun ke bawah untuk mengetahui keadaan sosial yang sesungguhnya inilah yang dicontohkan juga oleh para nabi dan kalifah," tulis Lopa. Meski lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka "mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal sebagai

orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. "Kalau menjelaskan ilmu ekonomi mudah dimengerti karena selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari kehidupan nyata masyarakat," kenang Baharuddin Lopa. Dalam tulisan Lopa, Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi mudah dimengerti karena memakai bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung kritikan, karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya. Menurut putra sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. "Setiap hari selalu memainkan tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu menganggap bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya," tambahnya. Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.

Pendidikan

HIS, Yogyakarta (1921-1928) MULO, Yogyakarta (1928-1931) MOSVIA, Magelang (1931-1934) Universitas Cornell, Ithaca, New York, AS (Sarjana, 1959 Doktor, 1959)

Karier

Pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1935-1949) Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya (1949-1950) Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri (1950-1956) Sekretaris Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (1959- 1961) Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sekretaris Menteri Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri (1966-1973) Sekretaris Wakil Presiden RI (1973-1978) Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978- 1983) Staf Ahli Presiden RI (1983-sekarang) Guru Besar Universitas Indonesia

Karya Buku

Social Changes in Yogyakarta (1962)

Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963) Desentralisasi Pemerintahan

Penghargaan

Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah 17 Agustus 1994 Gelar ilmuwan utama sosiologi 30 Agustus 1994 Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002

Prof. DR. Soerjono Soekanto, S.H., M.A.

Soerjono Soekanto, adalah Lektor Kepala Sosiologi dan Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia , Pernah menjadi Kepala Bagian Kurikulum Lembaga Pertahanan Nasional (1965-1969), Pembantu Dekan Bidang Administrasi pendidikan Fakultas ilmu-ilmu sosial, Universitas Indonesia (1970-1973), dan kini menjadi pembantu Dekan bidang Penelitian dan Pengabdian masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonesia (sejak tahun 1978) yang bersangkutan tercatat sebagai Southeast Asian Specialist pada Ohio Univercity dan menjadi Founding Member dari World Association of Lawyers. Ia mendapat gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Universitas Indonesia (1965), sertifikat metode penelitian ilmu-ilmu sosial dari Universitas Indonesia (1969), Master of Arts dari University of California, Betkeley (1970), Sertifikat dari Academy of American and International Law, Dallas (19972) dan gelar doktor Ilmu Hukum dari Universitas Indonesia (1977). Diangkat sebagai Guru besar sosiologi hukum Universitas Indonesia (1983).

Menurut Soejono Sukamto,Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segisegi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.

Emile Durkheim
Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis 15 April 1858. Ia keturunan pendeta Yahudi dan ia sendiri belajar untuk menjadi pendeta (rabbi). Tetapi, ketika berumur 10 tahun ia menolak menjadi pendeta. Sejak itu perhatiannya terhadap agama lebih bersifat akademis ketimbang teologis (Mestrovic, 1988). Ia bukan hanya kecewa terhadap pendidikan agama, tetapi juga pendidikan masalah kesusastraan dan estetika. Ia juga mendalami metodologi ilmiah dan prinsip moral yang diperlukan untuk menuntun kehidupan sosial. Ia menolak karir tradisional dalam filsafat dan berupaya mendapatkan pendidikan ilmiah yang dapat disumbangkan untuk pedoman moral masyarakat. Meski kita tertarik pada sosiologi ilmiah tetapi waktu itu belum ada bidang studi sosiologi sehingga antara 18821887 ia mengajar filsafat di sejumlah sekolah di Paris. Hasratnya terhadap ilmu makin besar ketika dalam perjalanannya ke Jerman ia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt (Durkheim, 1887/1993). Beberapa tahun sesudah kunjungannya ke Jerman, Durkheim menerbitkan sejumlah buku diantaranya adalah tentang pengalamannya selama di Jerman (R. Jones, 1994). Penerbitan buku itu membantu Durkheim mendapatkan jabatan di Jurusan Filsafat Universitas Bordeaux tahun 1887. DI sinilah Durkheim pertama kali memberikan kuliah ilmu sosial di Universitas Perancis. Ini adalah sebuah prestasi istimewa karena hanya berjarak satu dekade sebelumnya kehebohan meledak di Universitas Perancis karena nama Auguste Comte muncul dalam disertasi seorang mahasiswa. Tanggung jawab utama Durkheim adalah mengajarkan pedagogik di sekolah pengajar dan kuliahnya yang terpenting adalah di bidang pendidikan moral. Tujuan instruksional umum mata kuliahnya adalah akan diteruskan kepada anak-anak muda dalam rangka membantu menanggulangi kemerosotan moral yang dilihatnya terjadi di tengah masyarakat Perancis. Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh serentetan kesuksesan pribadi. Tahun 1893 ia menerbitkan tesis doktornya, The Devision of Labor in Society dalam bahasa Perancis dan tesisnya tentang Montesquieu dalam bahasa Latin (W. Miller, 1993). Buku metodologi utamanya, The Rules of Sociological Method, terbit tahun 1895 diikuti (tahun 1897) oleh hasil penelitian empiris bukunya itu dalam studi tentang bunuh diri. Sekitar tahun 1896 ia menjadi profesor penuh di Universitas Bordeaux. Tahun 1902 ia mendapat kehormatan mengajar di Universitas di Perancis yang terkenal, Sorbonne, dan tahun 1906 ia menjadi profesor ilmu sangat terkenal lainnya, The Elementary Forins of Religious Life, diterbitkan pada tahun 1912. Kini Durkheim sering dianggap menganut pemikiran politik konservatif dan pengaruhnya dalam kajian sosiologi jelas bersifat konservatif pula. Tetapi dimasa hidupnya ia dianggap berpikiran liberal dan ini ditunjukkan oleh peran publik aktif yang dimainkannya dalam membela Alfred Drewfus, seorang kapten tentara Yahudi yang dijatuhi hukuman mati karena penghianatan yang oleh banyak orang dirasakan bermotif anti-yahudi (Farrel, 1997).Durkheim merasa sangat terluka oleh kasus Dreyfus itu, terutama oleh pandangan anti-Yahudi yang melatarbelakangi pengadilannya. Namun Durkheim tidak mengaitkan pandangan anti-Yahudi ini dengan rasialisme di kalangan

rakyat Perancis. Secara luas ia melihatnya sebagai gejala penyakit moral yang dihadapi masyarakat Perancis sebagai keseluruhan (Bimbaum dan Todd, 1995). Ia berkata : Bila masyarakat mengalami penderitaan maka perlu menemukan seorang yang dapat dianggap bertanggung jawab atas penderitaannya itu. Orang yang dapat dijadikan sebagai sasaran pembalasan dendam atas kemalangannya itu, dan orang yang menentang pendapat umum yang diskriminatif, biasanya ditunjuk sebagai kambing hitam yang akan dijadikan korban. Yang meyakinkan saya dalam penafsiran ini adalah cara-cara masyarakat menyambut hasil pengadilan Dreyfus 1894. keriangan meluap di jalan raya. Rakyat merayakan kemenangan atas apa yang telah dianggap sebagai penyebab penderitaan umum. Sekurang-kurangnya mereka tahu siapa yang harus disalahkan atas kesulitan ekonomi dan kebejatan moral yang terjadi dalam masyarakat mereka; kesusahan itu berasal dari Yahudi. Melalui fakta ini juga segala sesuatu telah dilihat menjadi bertambah baik dan rakyat merasa terhibur (Lukes, 1972:345). Perhatian Durkheim terhadap perkara Dreyfus berasal dari perhatiannya yang mendalam seumur hidupnya terhadap moralitas modern. Menurut Durkheim, jawaban atas perkara Dreyfus dan krisis moral seperti itu terletak di akhir kekacauan moral dalam masyarakat. Karena perbaikan moral itu tak dapat dilakukan secara cepat dan mudah, Durkheim menyarankan tindakan yang lebih khusus, seperti menindak tegas orang yang mengorbankan rasa benci terhadap orang lain dan pemerintah harus berupaya menunjukkan kepada publik bahwa menyebarkan rasa kebendaan itu adalah perbuatan menyesatkan dan terkutuk. Ia mendesak rakyat agar mempunyai keberanian untuk secara lantang menyatakan apa yang mereka pikirkan dan bersatu untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan menentang kegilaan publik (Lukas, 1972:347). Tetapi minat Durkheim terhadap sosialisme juga dijadikan bukti bahwa ia menentang pemikiran yang menganggapnya seorang konservatif, meski jenis pemikiran sosialismenya sangat berbeda dengan pemikiran Marx dan pengikutnya. Durkheim sebenarnya menamakan Marxisme sebagai seperangkat hipotesis yang dapat dibantah dan ketinggalan zaman (Lukes, 1972:323). Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan gerakan yang diarahkan pada pembaharuan moral masyarakat melalui moralitas ilmiah dan ia tak tertarik pada metode politik jangka pendek atau pada aspek ekonomi dari sosialisme. Ia tak melihat proletariat sebagai penyelamat masyarakat dan ia sangat menentang agitasi atau tindak kekerasan. Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan sebuah sistem dimana didalamnya prinsip moral ditemukan melalui studi sosiologi ilmiah di tempat prinsip moral itu diterapkan. Durkheim meninggal pada 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis tersohor. Tetapi, karya Durkheim mulai memengaruhi sosiologi Amerika dua puluh tahun sesudah kematiannya, yakni setelah terbitnya The Structure of Social Action (1973) karya Talcott Parsons

Menurut Emile Durkheim, Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang mengandung cara bertindak, berpikir, berperasaan yang berada di luar individu di mana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu

.MAX WEBER
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864, berasal dari keluarga kelas menengah. Perbedaan penting antara kedua orang tuanya berpengaruh besar terhadap orientasi intelektual dan perkembangan psikologi Weber. Ayahnya seorang birokrat yang kedudukan politiknya relatif penting, dan menjadi bagian dari kekuasaan politik yang mapan dan sebagai akibatnya menjauhkan diri dari setiap aktivitas dan dan idealisme yang memerlukan pengorbanan pribadi atau yang dapat menimbulkan ancaman terhadap kedudukannya dalam sistem. Lagi pula sang ayah adalah seorang yang menyukai kesenangan duniawi dan dalam hal ini, juga dalam berbagai hal lainnya, ia bertolak belakang dengan istrinya. Ibu Marx Weber adalah seorang Calvinis yang taat, wanita yang berupaya menjalani kehidupan prihatin (asetic) tanpa kesenangan seperti yang sangat menjadi dambaan suaminya. Perhatiannya kebanyakan tertuju pada aspek kehidupan akhirat; ia terganggu oleh ketidaksempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia terganggu oleh ketidaksempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia tak ditakdirkan akan mendapat keselamatan di akhirat. Perbedaan mendalam antara kedua pasangan ini menyebabkan ketegangan perkawinan mereka dan ketegangan ini berdampak besar terhadap Weber. Karena tak mungkin menyamakan diri terhadap pembawaan orang tuanya yang bertolak belakang itu, Weber kecil lalu berhadapan dengan suatu pilihan jelas (Marianne Weber, 1975:62). Mula-mula ia memilih orientasi hidup ayahnya, tetapi kemudian tertarik makin mendekati orientasi hidup ibunya. Apapun pilihannya, ketegangan yang dihasilkan oleh kebutuhan memilih antara pola yang berlawanan itu berpengaruh negatif terhadap kejiwaan Weber. Ketika berumur 18 tahun Weber minggat dari rumah, belajar di Universitas Heildelberg. Weber telah menunjukkan kematangan intelektual, tetapi ketika masuk universitas ia masih tergolong terbelakang dan pemalu dalam bergaul. Sifat ini cepat berubah ketika ia condong pada gaya hidup ayahnya dan bergabung dengan kelompok mahasiswa saingan kelompok mahasiswa ayahnya dulu. Secara sosial ia mulai berkembang, sebagian karena terbiasa minum bir dengan teman-temannya. Lagipula ia dengan bangga memamerkan parutan akibat perkelahian yang menjadi cap kelompok persaudaraan mahasiswa seperti itu. Dalam hal ini Weber tak hanya menunjukkan jati dirinya sama dengan pandangan hidup ayahnya tetapi juga pada waktu itu memilih karir bidang hukum seperti ayahnya.

Setelah kuliah tiga semester Weber meninggalkan Heidelberg untuk dinas militer dan tahun 1884 ia kembali ke Berlin, ke rumah orang tuanya, dan belajar di Universitas Berlin. Ia tetap disana hampir 8 tahun untuk menyelesaikan studi hingga mendapat gelar Ph.D., dan menjadi pengacara dan mulai mengajar di Universitas Berlin. Dalam proses itu minatnya bergeser ke ekonomi, sejarah dan sosiologi yang menjadi sasaran perhatiannya selama sisa hidupnya. Selama 8 tahun di Berlin, kehidupannya masih tergantung pada ayahnya, suatu keadaan yang segera tak disukainya. Pada waktu bersamaan ia beralih lebih mendekati nilai-nilai ibunya dan antipatinya terhadapnya meningkat. Ia lalu menempuh kehidupan prihatin (ascetic) dan memusatkan perhatian sepenuhnya untuk studi. Misalnya, selama satu semester sebagai mahasiswa, kebiasaan kerjanya dilukiskan sebagai berikut : Dia terus mempraktikkan disiplin kerja yang kaku, mengatur hidupnya berdasarkan pembagian jam-jam kegiatan rutin sehari-hari ke dalam bagian-bagian secara tepat untuk berbagai hal. Berhemat menurut caranya, makan malam sendiri dikamarnya dengan 1 pon daging sapi dan 4 buah telur goreng (Mitzman, 1969/1971:48; Marianne Weber, 1975:105). Jadi, dengan mengikuti ibunya, Weber menjalani hidup prihatin, rajin, bersemangat kerja, tinggi dalam istilah modern disebut Workaholic (gila kerja). Semangat kerja yang tinggi ini mengantarkan Weber menjadi profesor ekonomi di Universitas Heidelberg pada 1896. Pada 1897, ketika karir akademis Weber berkembang, ayahnya meninggal setelah terjadi pertengkaran sengit antara mereka. Tak lama kemudian Weber mulai menunjukkan gejala yang berpuncak pada gangguan safaf. Sering tak bisa tidur atau bekerja, dan enam atau tujuh tahun berikutnya dilaluinya dalam keadaan mendekati kehancuran total. Setelah masa kosong yang lama, sebagian kekuatannya mulai pulih di tahun 1903, tapi baru pada 1904, ketika ia memberikan kuliah pertamanya (di Amerika) yang kemudian berlangsung selama 6,5 tahun, Weber mulai mampu kembali aktif dalam kehidupan akademis tahun 1904 dan 1905 ia menerbitkan salah satu karya terbaiknya. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam karya ini Weber mengumumkan besarnya pengaruh agama ibunya di tingkat akademis. Weber banyak menghabiskan waktu untuk belajar agama meski secara pribadi ia tak religius. Menjelang kematiannya (14 Juni 1920) ia menulis karya yang sangat penting, Economy and Society. Meski buku ini diterbitkan, dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, namun sesungguhnya karya ini belum selesai. Selain menulis berjilid-jilid buku dalam periode ini, Weber pun melakukan sejumlah kegiatan lain. Ia membantu mendirikan German Sociological Society di tahun 1910. Rumahnya dijadikan pusat pertemuan pakar berbagai cabang ilmu termasuk sosiologi seperti Georg Simmel, Alfred, maupun filsuf dan kritikus sastra Georg Lukacs (Scaff, 1989:186:222). Weberpun aktif dalam aktivitas politik dimasa itu. Ada ketegangan dalam kehidupan Weber dan, yang lebih penting, dalam karyanya, antara pemikiran birokratis seperti yang dicerminkan oleh ayahnya dan rasa keagamaan ibunya. Ketegangan yang tak terselesaikan ini meresapi karya Weber maupun kehidupan pribadinya.

Menurut Max Weber, Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.

WILLIAM KORNBLUM

William Kornblum adalah seorang profesor sosiologi di Sekolah Pascasarjana Universitas Kota New York, di mana ia membantu instruktur masa depan kereta api dan peneliti dalam ilmu sosial. Dia juga mengajar mahasiswa di berbagai kampus dari Universitas City, termasuk Queens College, Hunter College dan City College.

Seorang spesialis di perkotaan dan masyarakat studi, Bill Kornblum memulai karir mengajar dengan Korps Perdamaian di awal 1960-an, di mana ia mengajar fisika dan kimia dalam berbahasa Perancis Afrika Barat. Meraih gelar Doktor di bidang Sosiologi dari Universitas Chicago pada tahun 1971. Dia juga mengajar di University of Washington di Seattle dan bekerja sebagai seorang sosiolog penelitian untuk US Department Dalam Negeri. Di Sekolah Pascasarjana CUNY, ia mengarahkan penelitian tentang isu-isu lingkungan dan kebijakan perkotaan. Dengan mitra penelitian lamanya, Terry Williams, ia baru-baru turut menulis The Kids Uptown, potret sosiologis remaja dan dewasa muda yang tumbuh di bertingkat tinggi proyek perumahan rakyat. Dia juga peneliti utama Proyek KATAKAN, sebuah studi longitudinal satu cara di mana komputer rumah dapat meningkatkan kemungkinan hidup kaum muda berisiko putus sekolah. Pada tahun 2005, Kornblum dianugerahi Penghargaan Karir Distinguished untuk Praktek Sosiologi dari American Sociological Association.

Carolyn Smith, seorang penulis lepas, adalah penulis THE AMERICAN ABSEN dan Stranger DI RUMAH, dan co-editor DI LAPANGAN: PEMBACAAN TENTANG

PENGALAMAN PENELITIAN BIDANG. Dia juga meminjamkan keahlian tulisannya untuk pembangunan lainnya psikologi anak teks.

AUGUSTE COMTE Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Prancis tahun 1798, keluarganya beragama khatolik dan berdarah bangsawan. Dia mendapatkan pendidikan di Ecole Polytechnique di Prancis, namun tidak sempat menyelesaikan sekolahnya karena banyak ketidakpuasan didalam dirinya, dan sekaligus ia adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak. Comte akhirnya memulia karir profesinalnya dengan memberi les privat bidang matematika. Namun selain matematika ia juga tertarik memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat terutama minat ini tumbuh dengan suburnya setelah ia berteman dengan Saint Simon yang mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya. Kehidupan ekonominya pas-pasan, hampir dapat dipastikan hidupa dalam kemiskinan karena ia tidak pernah dibayar sebagaimana mestinya dalam memberikan les privat, dimana pada waktu itu biaya pendidikan di Prancis sangat mahal. Pada tahun 1842 ia menyelesaikan karya besarnya yang berjudul Course of Positive Philosophy dalam 6 jilid, dan juga karya besar yang cukup terkenal adalah System of Positive Politics yang merupakan persembahan Comte bagi pujaan hatinya Clothilde de Vaux, yang begitu banyak mempengaruhi pemikiran Comte di karya besar keduanya itu. Dan dari karyanya yang satu ini ia mengusulkan adanya agama humanitas, yang sangat menekankan pentingnya sisi kemanusiaan dalam mencapai suatu masyarakat positifis. Comte hidup pada masa akhir revolusi Prancis termasuk didalamnya serangkaian pergolakan yang tersu berkesinambungan sehingga Comte sangat menekankan arti pentingnya Keteraturan Sosial. Pada tahun 1857 ia mengakhiri hidupnya dalam kesengsaraan dan kemiskinan namun demikian namanya tetap kita kenang hingga sekarang karena kegemilangan pikiran serta gagasannya.

Konteks Sosial dan Lingkungan Intelektual


Untuk memahami pemikiran Auguste Comte, kita harus mengkaitkan dia dengan faktor lingkungan kebudayaan dan lingkungan intelektual Perancis. Comte hidup pada masa revolusi Perancis yang telah menimbulkan perubahan yang sangat besar pada semua aspek kehidupan masyarakat Perancis. Revolusi ini telah melahirkan dua sikap yang saling berlawanan yaitu sikap optimis akan masa depan yang lebih baik dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebaliknya sikap konservatif atau skeptis terhadap perubahan yang menimbulkan anarki dan sikap individualis. Lingkungan intelektual Perancis diwarnai oleh dua kelompok intelektual yaitu para peminat filsafat sejarah yang memberi bentuk pada gagasan tentang kemajuan dan para penulis yang lebih berminat kepada masalah-masalah penataan masyarakat. Para peminat filsafat sejarah menaruh perhatian besar pada pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah sejarah memiliki tujuan, apakah dalam proses historis diungkapkan suatu rencana yang dapat diketahui berkat wahyu atau akal pikiran manusia, apakah sejarah memiliki makna atau hanyalah merupakan serangkaian kejadian yang kebetulan. Beberapa tokoh dapat disebut dari Fontenelle, Abbe de St Pierre, Bossuet, Voltaire, Turgot, dan Condorcet. Para peminat masalah-masalah penataan masyarakat menaruh perhatian pada masalah integrasi dan ketidaksamaan. Tokoh-tokohnya antara lain Montesquieu, Rousseau, De Bonald. Dua tokoh filusuf sejarah yang mempengaruhi Comte adalah turgot dan Condorcet. Turgot merumuskan dua hukum yang berkaitan dengan kemajuan. Yang pertama berisi dalil bahwa setiap langkah berarti percepatan. Yang kedua adalah hukum tiga tahap perkembangan intelektual, pertama, orang pertama menemukan sebab-sebab adanya gejala-gejala dijelaskan dalam kegiatan mahluk-mahluk rohaniah, kedua, gejala-gejala dijelaskan dengan bantuan abstraksi dan pada tahap ketiga orang menggunakan matematika dan eksperimen. Menurut Condorcet, Studi sejarah mempunyai dua tujua, pertama, adanya keyakinan bahwa sejarah dapat diramalkan asal saja hukum-hukumnya dapat diketahui (yang diperlukan adalah Newton-nya Sejarah). Tujuan kedau adalah untuk menggantikan harapan masa depan yang ditentukan oleh wahyu dengan harapan masa depan yang bersifat sekuler. Menurut Condorcet ada tiga tahap perkembangan manusia yaitu membongkar perbedaan antar negara, perkembangan persamaan negara, dan ketiga kemajuan manusia sesungguhnya. Dan Condorcet juga mengemukakan bahwa belajar sejarah itu dapat melalui, pengalaman masa lalu, pengamatan pada kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan peradaban manusia, da menganalisa kemajuan pemahaman manusia terhadap alamnya. Dan penulis yang meminati masalah penataan masyarakat, Comte dipengaruhi oleh de Bonald, dimana ia mempunyai pandangan skeptis dalam memandang dampak yang ditimbulkan revolusi Perancis. Baginya revolusi nii hanya menghasilkan keadaan masyarakat yang anarkis dan individualis. De Bonald memakai pendekatan organis dalam melihat kesatuan masyarakat yang dipimpin oleh sekelompok orang yang diterangi semangat Gereja. Individu harus tunduk pada masyarakat.

Comte dan Positivisme


Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis. Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri. Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet). Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu : 1. 2. 3. 4. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup Metode ini berusaha ke arah kepastian Metode ini berusaha ke arah kecermatan.

Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.

Hukum Tiga Tahap Auguste Comte


Comte termasuk pemikir yang digolongkan dalam Positivisme yang memegang teguh bahwa strategi pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivus percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial da[at digunakan sebagai dasar untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.

Comte juga melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organisk yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung. Dan untuk mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu metode penelitian empiris, yang dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Untuk itu Comte mengajukan 3 metode penelitian empiris yang biasa juga digunakan oleh bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu pengamatan, dimana dalam metode ini [eneliti mengadakan suatu pengamatan fakta dan mencatatnya dan tentunya tidak semua fakta dicatat, hanya yang dianggap penting saja. Metode kedua yaitu Eksperimen, metode ini bisa dilakukans ecara terlibat atau pun tidak dan metode ini memang sulit untuk dilakukan. Metode ketiga yaitu Perbandingan, tentunya metode ini memperbandingkan satu keadaan dengan keadaan yang lainnya. Dengan menggunakan metode-metode diatas Comte berusaha merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu, pertama, Tahap Teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia, dan dalam periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politheisme, muncul adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupannya atau gejala alam. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa mulai digantikan dengan yang tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya Khatolisisme. Kedua, Tahap Metafisik merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi. Ketiga, Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat uniformitas. Comte mengatakan bahwa disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsensus yang mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain sutau masyarakat dikatakan telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, ada suatu kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial. Pada tahap teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan, dalam tahap metafisik kekuatan negara-bangsa (yang memunculkan rasa nasionalisme/ kebangsaan) menjadi suatu organisasi yang dominan. Dalam tahap positif muncul keteraturan sosial ditandai dengan munculnya masyarakat industri dimana yang dipentingkan disini adalah

sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lain Comte mengusulkan adanya Agama Humanitas untuk menjamin terwujudnya suatu keteraturan sosial dalam masyarakat positif ini).

Anda mungkin juga menyukai