Anda di halaman 1dari 58

Peter L.

Berger
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Peter L. Berger

Peter L. Berger pada tahun 2010

Lahir Peter Ludwig Berger

17 Maret 1929

Wina, Austria

Meninggal 27 Juni 2017 (umur 88)

Brookline, Massachusetts, Amerika Serikat

Suami/istri Brigitte Kellner (k. 1959; w. 2015)

Latar belakang akademis

Wagner College
Alma mater
The New School for Social

Research

Dipengaruhi Alfred Schütz

Max Weber

Karya akademis

Disiplin ilmu Sosiologi

teologi
Cabang disiplin ilmu Sosiologi pengetahuan

sosiologi agama

Lembaga The New School for Social

Research
Universitas Rutgers

Boston College

Universitas Boston

Mahasiswa doktoral Os Guinness

James Davison Hunter

Michael Plekon

Uwe Siemon-Netto

Mahasiswa ternama Chaim I. Waxman

Karya terkenal Konstruksi Realitas Sosial (1966)

Peter Ludwig Berger (lahir 17 Maret 1929 – meninggal 27


Juni 2017 pada umur 88 tahun)[1] adalah seorang sosiolog yang dikenal
karena pekerjaannya di bidang sosiologi pengetahuan, sosiologi agama,
penelitian tentang modernisasi dan kontribusi teoretis pada teori
kemasyarakatan. Ia dikenal dengan bukunya, bersama dengan
penulis Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A
Treatise in the Sociology of Knowledge (New York, 1966), yang
dianggap sebagai salah satu buku yang paling berpengaruh dalam
sosiologi pengetahuan dan berperan sentral dalam pengembangan
konstruksionisme sosial. Buku tersebut dijadikan sebagai buku kelima
yang paling berpengaruh yang ditulis di bidang sosiologi selama abad
ke-20 oleh International Sociological Association.[2] Selain buku tersebut,
beberapa buku lain yang ditulis oleh Berger antara lain Invitation to
Sociology: A Humanistic Perspective (1963); A Rumor of Angels:
Modern Society and the Rediscovery of the Supernatural (1969)
dan The Sacred Canopy: Elements of a Social Theory of
Religion (1967).[3][4] Berger menghabiskan waktu untuk bekerja sebagai
pengajar di The New School for Social Research, Universitas
Rutgers dan Universitas Boston. Sebelum pensiun, Berger mengajar
di Universitas Boston sejak tahun 1981 dan menjadi pemimpin Institut
Studi Kebudayaan Ekonomi.[5]
Pada 1949 ia lulus dari Wagner College dengan gelar Bachelor of
Arts. Ia melanjutkan studinya di New School for Social Research di New
York (M.A. pada 1950, Ph.D. pada 1952).
Pada 1955 dan 1956 ia bekerja di Evangelische Akademie di Bad
Boll, Jerman. Dari 1956 hingga 1958 Berger menjadi profesor muda
di Universitas North Carolina; dari 1958 hingga 1963 ia menjadi profesor
madya di Seminari Teologi Hartford. Tonggak-tonggak kariernya yang
berikutnya adalah jabatan sebagai profesor di New School for Social
Research, Universitas Rutgers, dan Universitas Boston.
Sejak 1981 Berger menjadi Profesor Sosiologi dan Teologi
di Universitas Boston, dan sejak 1985 juga menjadi pemimpin Institut
Studi Kebudayaan Ekonomi, yang beberapa tahun lalu berubah
menjadi Institut Kebudayaan, Agama, dan Masalah Dunia [1].

Pemikiran[sunting | sunting sumber]
Berger dikenal luas karena pandangannya bahwa realitas sosial adalah
suatu bentuk dari kesadaran. Karya-karya Berger memusatkan
perhatian pada hubungan antara masyarakat dengan individu. Di dalam
bukunya The Social Construction of Reality, Berger, bersama Thomas
Luckmann, mengembangkan sebuah teori sosiologis: 'Masyarakat
sebagai Realitas Objektif dan Realitas Subjektif'. Analisisnya tentang
masyarakat sebagai realitas subjektif menjelaskan proses dimana
konsepsi individu tentang realitas dihasilkan dari interaksinya
dengan struktur sosial. Ia menulis tentang bagaimana konsep-konsep
atau penemuan-penemuan baru manusia menjadi bagian dari realitas
kita, yang disebutnya sebagai proses obyektivasi. Dalam proses
selanjutnya, realitas ini tidak lagi dianggap sebagai ciptaan manusia
melalui proses yang, oleh Berger, disebut sebagai reifikasi.
Konsepsinya tentang struktur sosial membahas masalah
pentingnya bahasa: "sistem lambang yang paling penting dalam
masyarakat manusia," serupa dengan konsepsi Hegel tentang Geist.
Seperti sebagian besar sosiolog agama saat ini, ia salah ketika
memprediksi bahwa sekularisasi akan terjadi di seluruh dunia. Dalam
beberapa kesempatan, Ia mengakui bahwa data-data justru
membuktikan sebaliknya. Pada akhir tahun 1980-an, Berger secara
terbuka mengakui bahwa agama (baik lama maupun baru) tidak hanya
masih dipraktikkan secara luas, tetapi dalam banyak kasus bahkan
dipraktikkan dengan penuh semangat, lebih daripada pada masa lalu,
terutama di Amerika Serikat.
Karya-karyanya[sunting | sunting sumber]
Tulisan-tulisan sosiologis Berger yang berpengaruh antara lain adalah:

 Invitation to Sociology: A Humanistic


Perspective (1963) (bahasa
Indonesia: Humanisme Sosiologi, Inti
Sarana Aksara, Jakarta, 1985)
 The Social Construction of Reality: A
Treatise in the Sociology of
Knowledge (1966, dengan Thomas
Luckmann) (bahasa Indonesia: Tafsir
Sosial atas Kenyataan Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta,
1990)
 The Sacred Canopy: Elements of a
Sociological Theory of Religion (1967)
(bahasa Indonesia: Langit Suci Agama
sebagai Realitas Sosial, LP3ES, Jakarta,
1991)
 A Rumor of Angels: Modern Society and
the Rediscovery of the Supernatural, 1970
(bahasa Indonesia: Kabar Angin Dari
Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat
Modern, LP3ES, Jakarta, 1991)
Kini ia menulis tentang sosiologi agama dan kapitalisme:

 The Capitalist Spirit: Toward a Religious


Ethic of Wealth Creation (editor, 1990).
 Peter Berger and the Study of Religion,
2001
 Homeless Mind: Modernization and
Consciousness, 1974
 Redeeming Laughter: The Comic
Dimension of Human Experience, 1997
 Many Globalizations: Cultural Diversity in
the Contemporary World, 1974. with
Samuel P. Huntington
 The Desecularization of the World:
Resurgent Religion and World Politics. et al.
1999
 Questions of Faith: A Skeptical Affirmation
of Christianity (Religion and the Modern
World), 2003
 A Far Glory: The Quest for Faith in an Age
of Credibility, 1992.
 Heretical Imperative: Contemporary
Possibilities of Religious Affirmation
 The Limits of Social Cohesion: Conflict and
Mediation in Pluralist Societies: A Report of
the Bertelsmann Foundation to the Club of
Rome
 Other Side of God, 1981, ISBN 0-385-
17424-1

Penghargaan[sunting | sunting sumber]
Berger mendapatkan penghargaan Doktor Honoris
Causa dari Universitas Loyola, Wagner College, Universitas Notre
Dame, Universitas Jenewa, dan Universitas Munchen. Ia juga menjadi
anggota kehormatan dari berbagai perhimpunan ilmiah.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]


 Sosiologi pengetahuan
 Sosiologi agama

Rujukan[sunting | sunting sumber]
1. ^ "RIP: Founding Director of CURA, Prof. Peter
Berger, Dies at 88". Boston University. Diakses
tanggal 28 Juni 2017.
2. ^ ISA – Books of the Century. ToP Ten
3. ^ Berger, Peter (1969). The Sacred Canopy.
Garden City, NY: Doubleday.
4. ^ Aeschliman, M.D. June 2011. A Contemporary
Erasmus: Peter L. Berger. Modern Age, Vol 53, pp.
5–14 http://rpholyc.holycross.edu/ebsco-w-
b/ehost/detail?sid=fe313724-eb88-431c-8812-
1a4ab95a1b57%40sessionmgr114&vid=1&hid=11
7&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl2ZQ%3d
%3d#db=aph&AN=78384571
5. ^ Allan, Kenneth. Contemporary Social and
Sociological Theory: Visualizing Social Worlds.
Sage Publications Inc, 2011, pp. 28–45

 James D. Hunter, Stephen C.


Ainley. Making Sense of Modern Times:
Peter L. Berger and the Vision of
Interpretive Sociology
 Robert Wuthnow. Cultural Analysis: The
Work of Peter L. Berger, Mary Douglas,
Michel Foucault, and Jurgen Habermas

Pranala luar[sunting | sunting sumber]


 His homepage at Boston University
 Peter L. Berger Room
 A Government of Swedes
Kategori: 
 Tanggal kelahiran 17 Maret
 Kelahiran 1929
 Tanggal kematian 27 Juni
 Kematian 2017
 Meninggal usia 88
 Sosiolog Amerika Serikat
Menu navigasi
 Belum masuk log
 Pembicaraan
 Kontribusi
 Buat akun baru
 Masuk log
 Halaman
 Pembicaraan
 Baca
 Sunting
 Sunting sumber
 Versi terdahulu
Pencarian
Cari Lanjut
 Halaman Utama
 Perubahan terbaru
 Artikel pilihan
 Peristiwa terkini
 Halaman baru
 Halaman sembarang
Komunitas
 Warung Kopi
 Portal komunitas
 Bantuan
Wikipedia
 Tentang Wikipedia
 Pancapilar
 Kebijakan
 Menyumbang
 Hubungi kami
 Bak pasir
Bagikan
 Facebook
 Twitter
Perkakas
 Pranala balik
 Perubahan terkait
 Halaman istimewa
 Pranala permanen
 Informasi halaman
 Kutip halaman ini
 Butir di Wikidata
 Pranala menurut ID
Cetak/ekspor
 Buat buku
 Unduh versi PDF
 Versi cetak
Bahasa lain
 ‫العربية‬
 Deutsch
 English
 Español
 Français
 日本語
 Português
 Русский
 中文
22 lagi
Sunting interwiki
 Halaman ini terakhir diubah pada 3 September 2020, pukul 09.50.
 Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan tambahan
mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.
 Kebijakan privasi

 Tentang Wikipedia

 Penyangkalan

 Tampilan seluler

 Pengembang

 Statistik

 Pernyataan kuki


A.N.L
saatku mulai mengerti hakikat hidup ini, aku tersadar,
betapa sulit bangkit sendiri dalam naungan lumpur…

 BERANDA
 KARYA ABAL-ABALAN

Makalah Peter L. Berger


05OKT2013 Tinggalkan komentar
by annisanurlaila in Uncategorized
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Peter Ludwig Berger dikenal luas karena pandangannya bahwa realitas sosial
adalah suatu bentuk dari kesadaran. Karya-karya Berger memusatkan
perhatian pada hubungan antara masyarakat dengan individu. Di dalam
bukunya The Social Construction of Reality, Berger bersama Thomas
Luckmann, mengembangkan sebuah teori sosiologis: ‘Masyarakat sebagai
Realitas Objektif dan Realitas Subjektif’.1 Analisisnya tentang masyarakat
sebagai realitas subjektif menjelaskan proses dimana konsepsi seorang
individu tentang realitas dihasilkan dari interaksinya dengan masyarakat. Ia
berbicara tentang bagaimana konsep-konsep atau penemuan-penemuan baru
manusia menjadi bagian dari realitas manusia itu sendiri secara berkelanjutan,
yang disebutnya sebagai proses obyektivasi. Dalam proses selanjutnya, realitas
ini tidak lagi dianggap sebagai ciptaan manusia melalui proses, yang oleh
Berger disebut sebagai internalisasi.
Indonesia hari ini adalah Indonesia tanpa sosiologi, dimana dimensi politik
telah mengalami distorsi dalam ranah demokrasi yang juga tinggal sebagai
barang antik dikala modernitas semakin tampil sebagai sosok yang ingin
menjadi benteng kebebasan individu. Dalam situasi negeri yang amat
mencemaskan ini, saat ilmu sosial menjadi begitu meng-angka atau sebaliknya
membatin, maka lahirnya sebuah buku yang memerikan perspektif metateori
pemikiran Peter L. Berger, menjadi sebuah oase yang memberikan sentuhan
aroma kesejukan. Dalam tangan Berger, ilmu social telah dikembalikan pada
induknya, yaitu filsafat.
Dari uraian diatas, penulis kemas makalah ini kedalam sebuah judul : Sintesa
Strukturalisme dan Interaksionalisme Berger, Relevansinya dengan Perubahan
Sosial. Yang berikut akan kami paparkan dalam Pembahasan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat dispesifikasikan dalam bentuk rumusan masalah
sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana biografi Peter Ludwig Berger?
1.2.2 Bagaimana penjelasan teori dari Peter Ludwig Berger?
1.2.3 Bagaimana relevansinya teori konstruksi Berger dengan perubahan
sosial?
1.3 Tujuan Makalah
Adapun tujuan makalah yang kami buat ialah ;
1.3.1 Untuk mengetahui biografi dan latar belakang lahirnya teori sosiologi
Berger.
1.3.2 Untuk memahami asumsi-asumsi Berger
1.3.3 Untuk mengetahui dan memahami sejauhmana relavansinya teori Berger
dengan Perubahan Sosial.
1.4 Metode Penulisan
Data yang penulis butuhkan dan bubuhkan dalam pembahasan ini adalah
menggunakan metode dokumen.
1.5 Kegunaan Penulisan
1.5.1 Bagi Penulis
Dengan adanya pembahasan ini, penulis dapat memenuhi tugas mata kuliah
Perubahan Sosial dan menambah wawasan mengenai Pemikiran Berger dan
relevansinya dengan Perubahan Sosial.
1.5.2 Bagi Pembaca
Dengan adanya pembahasan ini pembaca akan mendapatkan penjelasan dan
menambah pengetahuan mengenai Pemikiran Berger dan relevansinya dengan
Perubahan Sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi dan Latar Belakang Lahirnya Teori dari Peter Ludwig berger
2Berger dilahirkan di Vienna, Austria, kemudian dibesarkan di Wina dan
kemudian beremigrasi ke Amerika Serikat tak lama setelah Perang Dunia II.
Pada 1949 ia lulus dari Wagner Collage dengan gelar Bachelor of Arts. Ia
melanjutkan studinya di New School for Social Research di New York (M.A.
pada 1950, Ph.D. pada 1952).
Pada 1955 dan 1956 ia bekerja di Evangelische Akademie di Bad Boll, Jerman.
Dari 1956 hingga 1958 Berger menjadi profesor muda di Universitas North
Carolina; dari 1958 hingga 1963 ia menjadi profesor madya di Seminari Teologi
Hartford. Tonggak-tonggak kariernya yang berikutnya adalah jabatan sebagai
profesor di New School for Social Research, Universitas Rutgers, dan Boston
College. Sejak 1981 Berger menjadi Profesor Sosiologi dan Teologi di
Universias Boston, dan sejak 1985 juga menjadi direktur dari Institut Studi
Kebudayaan Ekonomi, yang beberapa tahun lalu berubah menjadi Institut
Kebudayaan, Agama, dan Masalah Dunia.
Karya-karyanya
Tulisan-tulisan sosiologis Berger yang berpengaruh antara lain adalah:
• Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective (1963) (bahasa Indonesia:
Humanisme Sosiologi, Inti Sarana Aksara, Jakarta, 1985)
• The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge
(1966, dengan Thomas Luckmann) (bahasa Indonesia: Tafsir Sosial atas
Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta, 1990)
• The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (1967)
(bahasa Indonesia: Langit Suci Agama sebagai Realitas Sosial, LP3ES, Jakarta,
1991)
• A Rumor of Angels: Modern Society and the Rediscovery of the Supernatural,
1970 (bahasa Indonesia: Kabar Angin Dari Langit: Makna Teologi dalam
Masyarakat Modern, LP3ES, Jakarta, 1991)
Kini ia menulis tentang sosiologi agama dan kapitalisme:
• The Capitalist Spirit: Toward a Religious Ethic of Wealth Creation (editor,
1990).
• Peter Berger and the Study of Religion, 2001
• Homeless Mind : Modernization and Consciousness, 1974
• Redeeming Laughter: The Comic Dimension of Human Experience, 1997
• Many Globalizations: Cultural Diversity in the Contemporary World, 1974.
with Samuel P. Huntington
• The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics. et
al. 1999
• Questions of Faith: A Skeptical Affirmation of Christianity (Religion and the
Modern World), 2003
• A Far Glory: The Quest for Faith in an Age of Credibility, 1992.
• Heretical Imperative: Contemporary Possibilities of Religious Affirmation
• The Limits of Social Cohesion: Conflict and Mediation in Pluralist Societies :
A Report of the Bertelsmann Foundation to the Club of Rome
• Other Side of God, 1981, ISBN 0-385-17424-1
Penghargaan
Berger mendapatkan penghargaan Doktor Honoris Causa dari Universitas
Loyola, Wagner College, Universitas Notre Dame, Universitas Jenewa, dan
Universitas Munchen. Ia juga menjadi anggota kehormatan dari berbagai
perhimpunan ilmiah.
2.2 Teori Peter Ludwig Berger
Manusia berbeda dengan binatang. Binatang telah dibekali insting oleh Tuhan,
sejak dilahirkan hingga melahirkan-sampai mati. Manusia secara biologis dan
sosial terus tumbuh dan berkembang, karenanya ia terus belajar dan berkarya
membangun kelangsungannya. Upaya menjaga eksistensi itulah yang
kemudian menuntut manusia menciptakan tatanan sosial. Jadi, tatanan sosial
merupakan produk manusia yang berlangsung terus menerus-sebagai
keharusan antropologis yang berasal dari biologis manusia. Tatanan sosial itu
bermula dari eksternalisasi, yakni; pencurahan kedirian manusia secara terus
menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya (Berger,
1991: 4-5)3.
Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan pelembagaan di dalamnya.
Proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh eksternalisasi yang
dilakukan berulang-ulang sehingga terlihat polanya dan dipahami bersama-
yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Habitualisasi yang
telah berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan
tradisi ini kemudian diwariskan ke generasi sesudahnya melalui bahasa.
Disinilah terdapat peranan di dalam tatanan kelembagaan, termasuk dalam
kaitannya dengan pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman
tersebut. Jadi, peranan mempresentasikan tatanan kelembagaan atau lebih
jelasnya; pelaksanaan peranan adalah representasi diri sendiri. Peranan
mempresentasikan suatu keseluruhan rangkaian perilaku yeng melembaga,
misalnya peranan hakim dengan peran-peran lainnya di sektor hukum.

Masyarakat sebagai realitas obyektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi.


Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan
pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif-karena tidak hanya
menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai. Legitimasi berfungsi untuk
membuat obyektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara
subyektif.

Perlu sebuah universum simbolik yang menyediakan legitimasi utama


keteraturan pelembagaan. Universum simbolik menduduki hirarki yang tinggi,
metasbihkkan bahwa semua realitas adalah bermakna bagi individu –dan
individu harus melakukan sesuai makna itu. Agar individu mematuhi makna
itu, maka organisasi sosial diperlukan, sebagai pemelihara universum simbolik.
Maka, dalam kejadian ini, organisasi sosial dibuat agar sesuai dengan
universum simbolik (teori/legitimasi). Di sisi lain, manusia tidak menerima
begitu saja legitimasi. Bahkan, pada situasi tertentu universum simbolik yang
lama tak lagi dipercaya dan kemudian ditinggalkan. Kemudian manusia
melalui organisasi sosial membangun universum simbolik yang baru. Dan
dalam hal ini, legitimasi/teori dibuat untuk melegitimasi organisasi sosial.
Proses ”legitimasi sebagai legitimasi lembaga sosial” menuju ”lembaga sosial
sebagai penjaga legitimasi” terus berlangsung, dan dialektik. Dialektika ini
terus terjadi, dan dialektika ini yang berdampak pada perubahan sosial.

Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas obyektif


ditafsiri secara subyektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah
berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia
untuk ’mengambil alih’ dunia yang sedang dihuni sesamanya (Samuel, 1993:
16). Internalisasi berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik
primer maupun sekunder. Internalisasi adalah proses penerimaan definisi
situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Dengan
diterimanya definisi-definisi tersebut, individu pun bahkan hanya mampu
mamahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu, turut mengkonstruksi
definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif
sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat.

2.3 Relevansi Teori Konstruksi Berger Dengan Perubahan Sosial


Realitas objektif dan subyektif Berger, adalah kenyataan yang terjadi pada
masyarakat itu sendiri. Seperti pendapat Berger yang sepaham dengan
Durkheim, struktur sosial yang objektif memiliki karakteristik sebagai berikut :
– Eksternalisasi (luar), adalah sebuah upaya untuk mengaktifkan atau
mengeksiskan diri (manusia) terhadap dunia luar, salah satunya di dasari pada
sebuah kebutuhan. Atau proses manusia menciptakan sesuatu.
– Objektivasi, usaha untuk mewadahkan objeknya, agar tidak sia-sia dan tidak
musnah.
– Internalisasi (dalam), penyerapan nilai atau norma dalam diri manusia.
Pada sederhananya, teori Berger adalah tentang konstruk sosial, dalam kata
lain adalah membangun masyarakat. Dalam istilah pembangunan itu sendiri,
paradigma kita sudah pasti memahami akan adanya perubahan sosial, karena
akibat dari adanya pembangunan itu sendiri, pasti akan ada perubahan sosial,
baik bersifat fungsi, disfungsi, baik, buruk.
Dalam teorinya, berger menyinggung mengenai penemuan baru yang menjadi
bagian dari realitas manusia itu sendiri secara berkelanjutan, penemuan baru,
cepat atau lambat akan menyebabkan perubahan sosial. Kita angkat sebuah
contoh, mengenai Ponsel atau handphone, yang sebagian besar orang tahu,
bahwa ponsel terkenal atau dikenal masyarakat luas dari lapisan atas hingga
bawah pada tahun 2000 (Abad Milenium)4, anggaplah tahun ini sebagai
penemuan baru menganai ponsel. Perubahan yang terjadi pada masyarakat
setelah penemuan itu dijalankan dengan tiga proses Berger diatas, terdapat
perubahan yang sangat berarti, dari mulai dimudahkannya dalam hal
komunikasi, pekerjaan, informasi, hingga meleburnya tradisi silaturrahmi
secara tatap muka, karena dirasa cukup hanya dengan mengirim pesan singkat
atau menelpon dari ponsel tersebut. Atau lebih terasa lagi saat ini, semua
golongan hampir melahap ponsel, dan merubah tradisi menjadi pribadi
individualistic dan konsumerisme, hal tersebut adalah beberapa bentuk
perubahan sosial yang berhubungan dengan teori Berger.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi, atau eksternalisasi habitualisasi,
dan tradisi, adalah sebuah proses dalam masyarakat5, dimama masyarakat
berjalan dari proses tersebut dalam sebuah keteraturan. Baik realitas objektif
atau subyektif, adalah kenyataan yang terjadi pada masyarakat itu sendiri.
Binatang telah dibekali insting oleh Tuhan, sejak dilahirkan hingga
melahirkan-sampai mati. Manusia diberi akal, yang secara biologis dan sosial
terus tumbuh dan berkembang, karenanya ia terus belajar dan berkarya
membangun kelangsungannya.
Upaya menjaga eksistensi itulah yang kemudian menuntut manusia
menciptakan tatanan sosial. Jadi, tatanan sosial merupakan produk manusia
yang berlangsung terus menerus-sebagai keharusan antropologis yang berasal
dari biologis manusia. Tatanan sosial itu bermula dari eksternalisasi, yakni;
pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik
dalam aktivitas fisis maupun mentalnya (Berger, 1991: 4-5).
Relevansinya dengan perubahan sosial sangat jelas, dimana tiga proses atau
karakteristik realitas sosial yang disinggung diatas, adalah wujud nyata dari
perubahan sosial itu sendiri, yang melahirkan adanya struktur sosial. Struktur
sosial adalah bagian dari perubahan, dimanan terjadi karena adanya
penemuan baru, konsep atau pengetahuan yang baru. Hingga saat ini,
perubahan sosial yang terjadi di Indonesia, bahkan di dunia, telah mengalami
perubahan sosial yang sangat jelas sekali, dari mulai perubahan dalam tatanan
kelembagaan, hukum, politik, pembangunan, dan lainnya.
Endnote :
1http://citrariski.blogspot.com/2010/12/masyarakat-peter.l.berger.html (diaks
es pada tanggal 28 Februari 2013)
2Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003, hal. 299.
3Ritzer, George, Sosiologi; Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta,
1985, hal 51.
4Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi Teori Paradigma dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana : Jakarta, 2006, hal. 115.
DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi Teori Paradigma dan Diskursus


Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana : Jakarta, 2006.
Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003.
Ritzer, George, Sosiologi; Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta,
1985.
http://www.google//wikipedia.com
Share this:
 Twitter
 Facebook

Terkait
Pandangan Emile Durkehim tentang Agama dan MasyarakatDengan 3 komentar
PERILAKU PEDAGANG PASAR TERHADAP KEBERSIHAN (Penelitian di Pasar
Gede Bage Bandung)Dengan 1 komentar
Analisis Teori Konflik dalam Pembangunan
KKNT XIN EX T Analisis
PREVIOUS Teori Konflik
dalam Pembangunan
Tinggalkan Balasan

deretan hari & tanggal


Oktober 2013

S S R K J S M

  1 2 3 4 5 6

7 8 9 10 11 12 13

14 15 16 17 18 19 20

21 22 23 24 25 26 27

28 29 30 31  

« Sep   Jan »

document quu
 September 2015 (1)
 April 2014 (1)
 Maret 2014 (2)
 Januari 2014 (1)
 Oktober 2013 (3)
 September 2013 (2)
 Juli 2013 (2)
 Oktober 2012 (3)
 Mei 2012 (4)
 Maret 2012 (1)
 Desember 2011 (2)
 Agustus 2011 (9)
 Juli 2011 (2)
 Juni 2011 (3)
Twitter
 Aku mh da g ngeyel, gini aja ge bersyukur.. Soalna mun beunghar mah seueur
gogoda, :-Dmy twitt follow 4 years ago
 lama tak bersua.. tau2 udah ada Nafisa,, hehe.. Gadiskuuu..my twitt
follow 4 years ago
 sobat ngabolang.. jadi kangen waktu2 ituuu.. @fauziahkim u'r my dearest
friend.. :-* https://t.co/Jbk7J1QaFXmy twitt follow 4 years ago
 lama tak jumpa twiter,, :-Dmy twitt follow 5 years ago
 Bulan_ke7..7x_Lipat_sayangnyahhh,,,,hehehehemy twitt follow 5 years ago
Pia Kudu Sukses

belajar,, berkarya,, dan terus berusaha!! itu menjadi motto


hidupku.. biar sejelek apapun hasilnya.,

cloud
Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com. •
Tutup dan terima
Privasi & Cookie: Situs ini menggunakan cookie. Dengan melanjutkan
menggunakan situs web ini, Anda setuju dengan penggunaan mereka.
Untuk mengetahui lebih lanjut, termasuk cara mengontrol cookie, lihat di sini: Kebijakan Cookie

https://annisanurlaila.wordpress.com/2013/10/05/makalah-peter-l-berger/
AGAMA DAN PEMBENTUKAN REALITAS DALAM PANDANGAN PETER
LUDWIG BERGER1
Oleh:

Rudy Harold2

ABSTRACT
This paper attempts to peer into the mind of Peter L.Berger in understanding the reality of
religion. With the aim to obtain a description of sociological and t heoretical fuller on how
religion plays a role in the formation and preservation of the human world created for the
benefit of the formation itself as being the "unfinished".

From the results of the study found that religion is a means of legitimacy to pe rpetuate the
human nomos varied created that can be received from one generation to the next. The
authors recognize that the thought of Peter L. Berger is also not spared from the
reductionist understandings of the reality of religion, but would not it be reductionist if we
can not accept that religion has contributed greatly to the establishment and maintenance
of the created world humans in daily life -day which takes place
dialectically.

Keywords: Lebenswelt, Externalization, Objectification, Int ernalization, Dialectics, Nomos


and Kosmos.

1
Peter Ludwig Berger lahir pada tanggal 17 Maret1929. Ia adalah seorang sosiolog dan
teolog Amerika. Peter L. Berger dilahirkan di Vienna, Austria, kemudian dibesarkan di Wina dan
kemudian berimigrasi ke Amerika Serikat tak lama setelah Perang Dunia II. Pada 1949, ia lulus
dari Wagner College dengan gelar Bachelor of Arts. Ia melanjutkan studinya di New School for
Social Research di New York (M.A. pada 1950, Ph.D. pada 1952).Pada 1955 dan 1956 ia bekerja
di Evangelische Akademie di Bad Boll, Jerman. Dari 1956 hingga 1958 Berger menjadi profesor
muda di Universitas North Carolina; dari 1958 hingga 1963 ia menjadi profesor madya di
Seminari Teologi Hartford. Tonggak-tonggak kariernya yang berikutnya adalah jabatan sebagai
profesor di New School for Social Research, Universitas Rutgers, dan Boston College. Sejak 1981
Berger menjadi Profesor Sosiologi dan Teologi di Universitas Boston, dan sejak 1985 juga
menjadi direktur dari Institut Studi Kebudayaan Ekonomi , yang beberapa tahun lalu berubah
menjadi Institut Kebudayaan, Agama, dan Masalah Dunia. https://id.wikipedia.org/wiki/Peter_L._Berger ,
diakses pada tanggal 15 Oktober 2015.
2
Staff Pengajar di Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo.
Menyelesaikan Program Studi Sarjana Teologi (S.Th) di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jaffray
Makassar dan kemudian melanjutkan Program Studi Pasca Sarjana Sosiologi Agama (M.Si) di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (rudy_harold@ung.ac.id)
1. PENDAHULUAN
Beberapa tahun belakangan ini, dunia diperhadapkan masalah
radikalisasi ag ama dalam bentuk tindakan te ror, motif para pelakunya
terkait erat dengan ajaran dan keyakinan a gama yang dianut oleh para
pelaku t eror. Maka munculah pertanyaan di benak kita, apakah agama
memang mengajarkan pemeluknya untuk melakukan tindakan -tindakan yang
tidak manusiawi semacam itu.

Esai ini tidak dimaksudkan untuk menganalisa tentang apa yang


melatar - belakangi munculnya tindakan teror yang mengatasnamakan
agama atau radikalisasi agama. Karya tulis ini hanya ingin mengajak para
pembaca yang budiman untuk menelaah bersama keberadaan agama bersama
dengan dogma dan etika di dalamnya, tidak sepenuhnya hanya merupakan
pranata yang “diturunkan dari langit” , suatu entitas yang diwahyukan atau
bersifat adikodrati . Karena faktanya, seiring dengan perubahan
kebudayaan, agama pun juga mengalami proses transformasi. 3 Sebuah
proses yang memungkinkan agama bisa menjadi radikal
atau sebaliknya m embawa pesan-pesan perdamaian,
perlawanan terhadap ketidakadilan, atau keberpihakan kepada kelompok
masyarakat yang termarginalkan. Kenyataan ini membuka
kesadaran bahwa agama tidak cukup bila hanya dikaji dari satu sudut
pandang ilmu, karena pada kenyataa nnya agama menampakkan dirinya
juga sebagai suatu entitas yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan
manusia sebagai

3
Dalam tulisannya yang berjudul, “A Tradition In Process: The Changing Face Of Theology” ,

T. Howland Sanks, seorang guru besar di bidang sejarah dan teologi sistematika di The Jesuit
School of Theology of Santa Clara University di Berkeley, California, mengemukakan bahwa pada
abad ini, teologi Katolik sedang mengalami proses transformasi pasca Konsili Vatikan

II. Bahkan berkembang sebuah diskursus (perdebatan) teologi yang serupadengan


polemik mengenai dogma tentang Kristus yang pernah berlangsung pada masa awal
pembentukan gereja (the early Church). T. Howland Sanks, A Tradition In Process: The
Changing Face Of Theology, American Magazine: The National Catholic Review, vol.
2015, 24 Oktober 2011, diakses pada tanggal 15
Oktober 2015,
http://americanmagazine.org/sites/default/files/issues/cf/pdfs/791_1.pdf .
mahluk yang beriman atau yang memberikan jawaban atau tanggapa n
terhadap Allah yang mewahyukan dirinya .

Dengan kajian lintas ilmu tersebu t semoga akan diperoleh penjelasan


yang lebih utuh untuk memahami agama .4 Dalam hal ini, mengacu pada
pemikiran Peter L. Berger, kolerasi antara perspektif teologi dan sosiologi,
dan atau disiplin ilmu -ilmuempiris lainnya,
akan memungkinkan bagi pengembangan pengetahuan
yang menemukan makna-makna transendensi dalam kenyataan hidup
manusia dengan menggunakan pendekatan dan metode penelitian ilmu
sosiologi, filasafat, antropologi, dan rumpun ilmu pengetahuan humaniora
lainnya. Sekalipun pada akhirnya penelit ian semacam ini akan menggiring
kajian -kajian teologis menjadi lebih terarah pada karya ilmiah antropologis
dari pada teologis.

Tapi itulah jalan yang harus ditempuh , tidak lain karena teorisasi
tentang agama dalam ilmu sosiologi , sebagaimana yang diuraikan dalam
beberapa teori, sejak awal telah mengembangkan pemahaman tentang
agama sebagai suatu yang memproyeksikan atau mengekspresikan
realitas yang dimungkinkan
untuk ditelaah secara rasional. Kalaupun dalam agama terdapat realitas
yang adikodrati, bebera pa ahli berpandangan bahwa realitas tersebut
tidaklah sepenuhnya bersifat adikodrati, Sebagai contoh pemikiran Emile
Durkheim. Ia
menyatakan dalam teorinya tentang agama bahwa keyakinan dan ritual
yang ada dalam agama mengekspresikan tentang sesuatu yang sakral. Dan
menurut pandangannya, yang sakral itu tidak lain dari pada tatanan sosial
yang dibangun oleh manusia sendiri. Dengan kata lain, realitas
seseungguhnya dari fenomena agama tidak lain daripada tatanan sosial
yang dibangun oleh
4
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk meneliti fenomena agama dari berbagai sudut
pandang keilmuan. Secara khusus, tulisan ini hanya dimaksudkan memahami agama sebagai
suatu gejala atau fenomena yang dimungkinkan untuk dianalisa sebagai suatu objek studi
dengan menggunakan pendekatan, teori, dan metode yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu
empirik, khususnya disiplin ilmu sosiologi.
manusia.5 Pendekatan dan pemikiran Durkheim tersebut menuai kritikan
dan dikategorikan sebagai pemahaman yang
reduksionis dalam menelaah fenomena agama
dalam masyarakat. 6

Penelisikan yang lebih dalam mengenai teori sasi agama yang


reduksionis membukakan penjelasan bahwa p emahaman tersebut berakar
pada problem yang muncul dalam memahami realitas sosial. Dalam sejarah
perkembangan pemikiran ilmu filsafat dan sosiologi, cukup lama
diperdebatkan mengenai bagaimanakah memahami hubungan
antara individu dan masyarakat. Terdapat s uatu
diskursus mengenai apakah masyarakat merupakan
suatu kenyataan sui generis , mempunyai wujud dalam dirinya sendiri,
sehingga berdiri sendiri, dan berkembang menurut prinsip dan hukum yang
tidak bergantung pada individu, ataukah tidak demikian. 7

Diskursus ini sudah mulai sejak dari awal kelahiran ilmu sosiologi
modern.8 Dalam teorinya tentang proses evolusi pikiran manusia dan
masyarakat, Auguste Comte 9 menjelaskan tentang masyarakat sebagai
kesatuan yang holistis dan organis, yang dalam perkembangannya tidak
bergantung pada inisiatif dari individu -individu di dalam masyarakat itu,
melainkan pada proses spontan -otomatis dari perkembangan akal budi
manusia. Senada dengan pemikiran Comte, Karl Marx 10 melihat pada sisi
struktur sosial untuk menjelaskan bagaim ana kesadaran manusia

5
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCISOD, 2012).

6
Lebih jelasnya mengenai pemahaman dan kritikan terhadap pendekatan dan pandangan Emile
Durkheim tentang agama dapat dipelajari lebih lanjut dalam buku Seven Theories of Religion
karangan Daniel L. Pals.
7
K.J. Veeger. RealitasSosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam
Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 8-9.
8
Penjelasan lebih lanjut mengenai diskursus pembentukan realitas sosial antar a dua kutub,
individu dan masyarakat bersumber dari pemikiran Irfan M. Noor. Irfan M. Noor, Realitas
Agama dan Problem Studi Ilmiah-Empiris (Kajian Filsafat Ilmu atas Pemikiran Peter L.
Berger), diakses 15 Oktober 2015, http://id.scribd.com/doc/7980498/Aga ma-Dan-Filsafat- Ilmu-
Irfan-Noor.
9
Idem.

10
Idem.
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Pemikiran lain yang lebih
cenderung menekankan pengaruh masyarakat terhadap individu adalah
pandangan Emile Durkheim 11 yang menekankan masyarakat sebagai
sesuatu yang riil, berada secara l epas dari individu. Dengan pemikirannya
tentang fakta sosial, ia begitu menekankan keberadaan masyarakat sebagai
suatu entitas yang mengatasi kesadaran subjektif manusia. Pada kutub
pemikiran yang lain, Max Weber mencoba untuk menganalisa dan
memahami moti vasi subjektif untuk memperoleh pemahaman lebih utuh
tentang masyarakat. Berbeda dengan Durkheim yang menekankan tentang
fakta sosial yang bersifat eksternal dan memaksa individu dalam
pembentukan kenyataan sosial, Max Weber justru mengembangkan
pemikirann ya tentang verstehen (pemahaman subjektif) sebagai metode
untuk membedah dan mengetahui berbagai motif dan tindakan sosial
manusia dalam masyarakat. 12

Dalam menanggapi diskursus tersebut di atas, Peter L. Berger


berpandangan bahwa kurang tepat bila kita me mahami persoalan tersebut
semata-mata sebagai persoalan filosofis. Dalam buku yang ditulisnya
bersama Thomas Luckman, “The Social Construction of Reality ”, kita dapat
memperoleh kesimpulan bahwa dalam menganalisa mengenai
bagaimanakah hubungan antara indiv idu dan masyarakat, masalah
tersebut sebaiknya dipandang sebagai suatu kenyataan yang dibangun
secara dialektik. Artinya bahwa eksistensi manusia yang utuh hanya
mungkin ada di dalam masyarakat, dan demikian juga sebaliknya, eksistensi
masyarakat hanya mun gkin ada karena aktifitas manusia sebagai
penciptanya.

Pemikiran Peter L. Berger tentang pembentukan realitas secara


dialektik ini juga yang menjadi alasan mengapa penulis ingin mengajak para
pembaca untuk menelusuri dan merefleksikan pemikiran -pemikiran Peter L.
Berger

11
Idem.
12
Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I. (Jakarta: PT Gramedia, 1988) 216.
mengenai agama dalam konteks bagaimanakah agama ikut berperan
dalam proses pembentukan realitas atau kenyataan yang tidak dapat
dipisahkan dari teoritisisasi Peter L. Berger tentang dialektika pembentukan
realitas.

2. PEMB

AHASAN Realitas

dalam Sosiologi

Pengetahuan

Kenyataan atau realitas 13 bukanlah suatu istilah yang asing bagi kita.
Kata ini sangat sering kita dengarkan atau kita gunakan dalam percakapan
sehari-hari. Dalam percakapan sehari -hari, pemahaman tentang
kenyataan tidaklah serumi t pengertiannya dalam bidang ilmu filsafat yang
mencoba untuk menjawab apakah hakikat paling mendasar dari kenyataan
itu.

Mengenai hal ini, Peter L. Berger berpendirian bahwa sosiologi


memiliki pemahaman tentang kenyataan yang agak berbeda dengan ilmu fil
safat. Dalam konteks sosiologi (khususnya sosiologi pengetahuan sebagai
cabang atau subdisiplin ilmu sosiologi), kenyataan dianalisa untuk
mengetahui bagaimana proses pembentukan kenyataan itu dalam
masyarakat ( social construction of reality ). Itu sebabnya Peter L. Berger
menegaskan bahwa sosiologi, khususnya sosiologi pengetahuan, tidak
bermaksud menganalisa kenyataan untuk menjawab pertanyaan tentang
apakah ultimate status atau hakikat yang paling mendasar dari kenyataan
itu. Dalam tulisannya tentang sosi ologi pengetahuan, Peter L. Berger
menegaskan bahwa persoalan -persoalan filsafat tentang

13
Peter L. Berger menggunakan frasa “kenyataan” dengan makna yang lebih mengacu pada
pengetahuan yang membimbing tindakan manusia dalam kehidupan sehari-harinya. Bila
ditambhakan dengan istilah sosial, maka kata sosial yang mengikuti kata tersebut
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pengetahuan tersebut terbentuk dalam suatu
konteks sosial. Pengetahuan semacam ini dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari salah
satu contohnya wejangan atau petuah-petuah yang diberikan oleh orang tua kepada anak-
anaknya agar dapat menjalani hidup dengan baik.
“kenyataan” dan “pengetahuan” yang menjadi diskursus dalam
perkembangan sosiologi pengetahuan telah mengaburkan apa yang
sesungguhnya menjadi fokus studi dari disiplin ilmu sosiologi pengetahuan.

Namun sebelum lebih jauh bicara soal kekaburan itu, ada baiknya
dijelaskan secara ringkas mengenai sejarah keberadaan dari sosiologi
pengetahuan (Wissenssoziogie) sebagai cabang ilmu sosiologi yang pertama
kali diperkenalkan ol eh seorang filsuf asal Jerman bernama Max Scheler
pada dasawarsa 1920-an14. Dari keterangan ringkas asal mula tersebut
dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa subdisiplin ilmu ini lahir dan
berkembang dalam konteks sejarah pemikiran filsafat Jerman yang meng
alami apa yang disebut Peter L. Berger sebagai vertigo (kepeningan)
relatifitas akibat dari akumulasi ilmu pengetahuan sejarah yang sangat
besar, yakni pada aras empiris meneliti tentang sejauhmana hubungan
yang konkrit antara pemikiran dan situasi histori s. Dari latar belakang
tersebut maka semakin dapat dipahami bila hakikat dan cakupan kajian dari
sosiologi pengetahuan adalah penelitian mengenai hubungan antara
pemikiran manusia dan konteks sosial di mana pemikiran itu timbul.

Kajian mengenai korelasi te rsebut dapat kita temukan dari pemikiran


Karl Marx, Neitzsche, dan paham historisisme. Dalam pemikiran Karl Marx,
sosiologi pengetahuan memperoleh proposisinya dari pemikiran Karl Marx
tentang kesadaran manusia, ideologi, kesadaran palsu, substruktur dan
supersturuktur. Dari Nietzsche, sosiologi pengetahuan memperoleh sumbangan
pemikiran Neitzche yang mengembangkan teorinya sendiri mengenai
kesadaran palsu, yakni kajian terhadap pemikiran manusia sebagai alat
dalam perjuangan mempertahankan kelangsungan hid up dan kekuasaan.
Suatu pemikiran yang telah dikembangkan terlebih dulu oleh Karl Marx.

Sedangkan
14
Tentang sejarah asal-usul dan perkembangan sosiologi pengetahuan, tulisan ini
sepenuhnya mengacu pada uraian perkembangan disiplin ilmu ini sebagaimana yang
dipaparkan oleh Peter L. Berger dalam bukunya “Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan”.
warisan historisme bagi sosiologi pengetahuan tidak lain dari tentang
historitas yang tak terelakkan dari pemikiran manusia, dengan konsep
-konsepnya mengenai “determinasi situasional” dan “kedudukan dalam
kehidupan”, yang keduanya dapat diterjemahkan mengacu pada apa yang
disebut dengan “lokasi sosial” dari pemikiran.

Dalam konteks pemikiran tersebut, Max Scheler mengembangkan


suatu subdisiplin ilmu sosiologi y ang disebutnya dengan istilah sosiologi
pengetahuan (Wissenssoziologie ) yang menganalisa mengenai bagaimana
pengetahuan manusia dibentuk oleh masyarakat. Lebih jelasnya, Scheler
menegaskan bahwa:

“Pengetahuan manusia diberikan oleh masyarakat sebagai suatu a priori


kepada individu-individu dengan memberikan kepadanya tatanan
maknanya. Tatanan ini, meskipun tergantung kepada suatu situasi sosio -
historis tertentu, menampakkan diri kepada manusia sebagai cara yang
sudah sewajarnya untuk memandang dunia (yang d iungkapkan oleh Scheler
dengan istilah “pandangan dunia yang relative -natural” dari
masyarakat)”.15

Selanjutnya perkembangan sosiologi pengetahuan sangat dipengaruhi


oleh pemikiran Karl Manheim, yang juga mempersoalkan mengenai
bagaimana hubungan antara gagasan dengan konteks sosialnya, dan
pertanyaan - pertanyaan epistimologis lainnya dari pemikiran manusia. Hal
ini yang kemudian oleh Peter L. Berger dipandang mengakibatkan
pengertian teoritis dari sosiologi pengetahuan menjadi kabur. Tapi ini bukan
berarti s osiologi pengetahuan mengabaikan pertanyaan
-pertanyaan epistemologis dan metodologis mengenai pengetahuan/
pemikiran manusia, namun pertanyaan - pertanyaan itu bukan merupakan
ruang lingkup kajian yang utama dari disiplin ilmu sosiologi yang empiris,
karena p ertanyaan itu adalah suatu bidang yang termasuk dalam ilmu
filsafat. Dengan tegas Peter L. Berger menyatakan bahwa sosiologi

pengetahuan merupakan bagian dari disiplin ilmu sosiologi empiris


15
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan. (Jakarta: LP3ES,1990), 12
yang pada aras teoritis tidak dimaksudkan untuk melakukan penyeli dikan
terhadap persoalan -persoalan epistemologis dan metodologis. Namun
demikian, Peter L. Berger tidak memungkiri bahwa persoalan -persoalan
epistemologis mengenai pengetahuan manusia memang merupakan salah satu
bagian yang tak terpisahkan dari ruang lingk up kajian sosiologi
pengetahuan, namun itu hanya merupakan salah satu masalah dan juga
bukan merupakan permasalahan utama dari sosiologi pengetahuan.

Fokus utama kajian sosiologi pengetahuan adalah meneliti segala sesuatu


yang dianggap sebagai “pengetahuan” (commonsense)16 dalam
masyarakat. Artinya bahwa sosiologi pengetahuan terutama harus meneliti
apa yang “diketahui” oleh masyarakat sebagai “kenyataan” dalam kehidupan
sehari -hari yang tidak teoritis atau prateoritis. 17 Karena
pemikiran teoritis atau perumusan Weltanschauung hanya
merupakan aktivitas berpikir dari sekelompok
masyarakat yang sangat terbatas jumlahnya. Maka dengan demikian
pemikiran teoritis itu sebagian dari apa yang disebut dengan sebagai
“pengetahuan” dalam masyarakat, yang tanpa “pengetah uan” itu sebagai
jaringan makna, tak satupun masyarakat dapat eksis. 18 Karena
“pengetahuan” itulah yang membimbing perilaku manusia dalam kehidupan
sehari -harinya dan yang membentuk “kenyataan” atau dalam bahasa
Jerman disebut dengan istilah lebenswelt (ter jemahan bahasa Inggris life-
world).

16
Konsep ini bertautan erat dengan pemikiran Alfred Schutz mengenai sturuktur dunia akal
sehat dalam kehidupan sehari-hari. Ibid., 22
17
Pengetahuan prateoritis tidak lain dari apa yang disebut dengan istilah commonsense. Ini
adalah sejenis pengetahuan yang dihasilkan tanpa melalui kajian secara ilmiah . Lebih
jelasnya sebagai contoh yakni pemahaman tentang gereja. Bagi seorang teolog, gereja tidak
hanya dipahami berdasarka analisa data atau informasi yang diperoleh melalui pengamatan
terhadap kemengadaan gereja yang nampak tetapi pemahamannya merupakan suatu hasil
analisa atau kajian dengan menggunakan suatu pendekatan, teori, dan metode tertentu
untuk menghasilkan suatu pemahaman tentang gereja yang ilmiah dan bersesuaian dengan
paham teologi yang dianut oleh teolog itu sendiri.
18
Idem.
Agama dan Pembangunan Dunia

Pada awal kajian tentang agama dalam masyarakat, Peter L. Berger


menuliskan bahwa setiap masyarakat merupakan suatu usaha untuk
membangun dunia.19 Dan agama memiliki apa yang disebutnya sebaga i “a
distinctive place in this enterprise”. Untuk lebih memahami peran agama
dalam usaha pembangunan dunia tersebut, ada baiknya bila kita mencoba
untuk terlebih dulu memahami apa yang Berger maksudkan dengan
pernyataan bahwa tiap masyarakat adalah suatu u saha untuk membangun
dunia.

Dalam terminologi paham fenomenologi, kata “dunia” tersebut tidak


lain dari apa yang disebut dengan istilah lebenswelt . Sebagaimana kita
ketahui, istilah lebenswelt (terjemahan dalam bahasa Indonesia, “dunia
kehidupan”) merupakan salah konsep utama dari mazhab pemikiran filsafat
fenomenologi, yang pertama kali diperkenalkan oleh Edmund Husserl.
Konsep ini dapat kita pahami sebagai ‘dunia’ atau ‘semesta’ yang terdiri
atas lingkungan fisik dan sosial manusia yang dipahami oleh manu sia
hanya dengan menggunakan akal sehat (commonsense) tanpa
menggunakan perspektif dari ilmu alam dan sosial.20

Menurut Berger, kenyataan atau dunia kehidupan menyatakan


eksistensinya sebagai sesuatu yang sangat mempengaruhi kesadaran manusia
dengan cara yang paling masif, mendesak, dan mendalam, sehingga
sangat

19
Dalam buku yang diberi judul “The Sacred Canopy” , Berger mengemukakan bahwa istilah
dunia yang digunakan dalam pernyataannya tersebut mengandung pengertian yang khusus,
karena itu kata tersebut semestinya ditulis dalam tanda petik.Kekhususan makna kata ini,
karena kata dunia tersebut oleh Berger dipahami berdasarkan pada pemikiran filsafat
fenomenologi dan sosiologi pengetahuan.Dunia yang dibentuk tersebut, berdasarkan
paradigma fenomenologi, rupanya menunjuk pada kesadaran manusia terhadap fenomen-
fenomen yang diakui memiliki keberadaan dan tidak bergantung pada kehendak manusia. Peter
L. Berger, Langit Suci (Jakarta: LP3ES,1991), 3.
20
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 24-27.
sukar bagi manusia untuk mengabaikannya. 21 Tidak lain karena kenyataan
itu sudah diobjektifikasi 22 sedemikian rupa sebagai sesuatu yang telah
ditata sebelum keberadaan seorang individu.

Lebih lanjut Berger menjelaskan bahwa kenyataan itu menghadirkan


dirinya kepada individu sebagai sesuatu yang bersifat intersubjektif, suatu
dunia atau kenyataan yang dapat dialami dan dipahami secara bersama
-sama dengan individu-individu yang lain.
Sekalipun mungkin ad a perbedaan pemahaman tentang
kenyataan tersebut namun kenyataan tersebut adalah sesuatu yang telah
membentuk kesadaran/ pengetahuan akal sehat
(commonsense knowledge) dari semua individu yang mengalaminya.

Menurut Berger, terbentuknya lebenswelt bagi manusia, erat


kaitannya dengan kondisi manusia sebagai mahluk hidup yang dalam
proses menjadi manusia berhubungan secara timbal balik dengan
lingkungannya, baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan manusia (suatu
tatanan budaya dan sosial, yang diperoleh mela lui orang-orang yang
berpengaruh dalam hidup tiap individu).23Berbeda dengan mahluk
menyusui lainnya, manusia dilahirkan dalam kondisi struktur biologi dan
naluri yang masih perlu untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya.
Sebagaimana yang dikemukak an oleh Berger,

“Perkembangan organ yang penting, yang pada binatang telah mencapai


penyelesaiannya dalam rahim induknya, pada bayi manusia berlangsung

21
Peter L. Berger, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan (Jakarta: LP3ES,1990), 31-32.
22
Objekstifikasi merupakan konsep yang digunakan oleh Peter L. Berger untuk
mengungkapkan tentang keberadaan dari segala sesuatu yang manusia ciptakan (fisik maupun
mental) sebagai suatu realitas atau kefaktaan yang berhadapan, berbeda, dan berada di
luar diri manusia sebagai pihak yang telah memproduksi realitas tersebut. sehingga dengan
demikian, melalui objektifikasi, masyarakat, sebagai salah satu ciptaan manusia, menjadi suatu
realitas yang “sui generis” . Peter L. Berger, Langit Suci (Jakarta: LP3ES, 1991), 5.
23
Ibid., 68
setelah ia keluar dari kandungan. Tetapi pada masa ini, bayi manusia itu
tidak hanya sudah berada dalam dunia luar; ia juga mempunyai hubungan
timbal balik dengannya, dengan sejumlah cara yang kompleks.” 24

Karena kondisi inilah, maka dapat dikatakan bahwa menjadi manusia


secara fundamental berarti mengada ( to exist ).25 Dan karena itu, mengutip
pandangan Berger, ”eksternalisasi 26 adalah suatu keharusan antropologis.
Manusia tidak bisa dibayangkan tanpa pencurahan dirinya (eksternalisasi)
secara terus menerus ke dalam dunia yang dihuninya”. 27 Tidak lain
penyebabnya karena manusia dilahirkan dengan struktur naluri / instiktual
yang belum diarahkan atau disesuaikan dengan suatu lingkungan yang
khas bagi spesiesnya. Manusia harus membentuk lingkungannya, dunianya
sendiri (dunia manusia), dan mengutip pendapat Peter L. Berger, dunia itu
tidak lain dari pada kebudayaan. 28 Berdasarkan pemikiran
Berger mengenai eksternalisasi tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan ciptaan manusia,
yang diciptakan oleh manusia dalam proses pembentukan dirinya.

Namun pemikiran Berger tidak hanya sampai di situ dalam mengan


alisa fenomena kebudayaan. Kenyataan bahwa dunia yang manusia
ciptakan itu merupakan sesuatu yang eksis di luar kesadaran manusia

memunculkan
24
Idem.

25
Irfan M. Noor, op.cit., 8

26
Peter L. Berger menggunakan konsep eksternalisasi untuk mengungkapkan bahwa
manusia adalah mahluk hidup yang secara terus menerus mencurahkan, mengungkapkan,
mengekspresikan dirinya ke dalam dunia sekelilingnya, baik itu dalam bentuk aktivitas fisik
maupun mental. Menurut Berger, eksternalisasi diri manusia ke dalam dunia sekelilingnya
merupakan suatu keharusan antropologis karena homosapiens menempati posisi yang istimewa
karenan memiliki keistemewaan dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan maupun
dengan lingkungan atau dunia disekelilingnya. Tidak seperti binatang menyusui tingkat tinggi
lainnya, yang dilahirkan dengan kondisi organisme yang pada pokoknya sudah lengkap, manusia
sebaliknya “belum selesai” ketika dia dilahirkan. Lebih lanjut penjelasan tentang konsep
eksternalisasi dapat dibaca dalam buku “Langit Suci” dan “Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan”.
27
Ibid., 5.

28
Ibid., 8.
pemahaman tentang objektifikasi dari semua yang dihasilkan oleh manusia
dalam proses eksternalisasi. Jadi objektif ikasi adalah transformasi dari hasil
pencurahan diri manusia dalam proses eksternalisasi sehingga apa yang
dihasilkan tersebut kemudian menjadi sesuatu yang menghadapi manusia
sebagai fakta di luar diri manusia. Salah satu bukti dari objektifikasi tersebut
adalah peralatan -peralatan yang manusia ciptakan biasanya memaksakan
logika keberadaannya kepada manusia sebagai pemakai peralatan
tersebut. 29

Selanjutnya masyarakat, dan produk -produk budaya (material


maupun bukan material) manusia lainnya yang terobjekti fikasi tersebut
diserap ke dalam kesadaran subjektif individu, proses inilah yang disebut
dengan internalisasi. 30 Sedangkan yang dimaksud dengan sosialisasi,
menurut Peter L. Berger, adalah proses mendidik individu agar hidup
bersesuaian dengan program-program kelembagaan masyarakat dari satu
generasi ke generasi lainnya.31 Dalam proses internalisasi , individu tidak
hanya mengalami apa yang disebut dengan proses belajar tetapi lebih dari
itu, individu menyerapnya dan menjadikan sebagai miliknya sendiri, bahka n
dapat mengekspresikannya. Namun sekalipun manusia adalah mahluk yang
“belum selesai” dan terbuka pada dunia sekitarnya dalam pembentukan
dirinya, tapi itu bukan berarti bahwa manusia hanya bersikap pasif. Pada
kenyataannya, manusia itu tidak lembam (diam), justru sebaliknya manusia
berpartisipasi secara aktif dalam proses pembentukan jati dirinya dan
pembentukan dunia ciptaannya. Dan hal ini menunjukkan pada kita bahwa
manusia secara terus menerus akan memberikan tanggapan terhadap dunia
yang diciptakan d an membentuknya

29
Bahkan alat itu (misalnya telepon selular) dapat mengara hkan aktifitas para pemakainya.
30
Ibid., 19.

31
Sosialisasi dibedakan dari internalisasi. Mengacu pada pemikiran Berger dan Luckmann,
internalisasi merupakan aktifitas individu (subjek) dalam menyerap produk -produk budaya yang
dihasilkan oleh masyarakat. Sedangkan sosialisasi adalah aktifitas di luar individu yang bertujuan
untuk mendidik individu agar hidup bersesuaian dengan program-program kelembagaan
masyarakat.
dan karenannya juga manusia dituntut untuk harus terus memelihara dunia
ciptaan itu.

Dalam proses pemeliharan dunia ciptaan manusia inilah, kita sudah


dimungkinkan untuk mempercakapkan tentang agama. Karena setelah tiba
pada penjelasan tersebut kita sudah bisa menarik kesimpulan,
sebagaimana yang diutarakan Peter L. Berger, bahwa masyarakat sebagai
suatu aktivitas membangun dunia terutama adalah merupakan aktivitas
penataanpengalaman secara kognigtif maupun normatif, atau yang biasa
juga di sebut dengan istilah nomisasi. Dalam proses pembentukan nomos
tersebutlah, agama memainkan suatu peran khusus di dalam pembangunan
dan pemeliharaan dunia 32 yang berlangsung secara dialektik.

Agama Sebagai Sumber Legitimasi


Nomos Yang Adiluhung

Untuk memahami nomos33 lebih mendalam, kita perlu kembali melihat


kondisi manusia yang secara biologis tidak mempunyai suatu mekanisme
penataan diri sebagaimana yang melekat pada species mahluk hidup
lainnya. Itu sebabnya manusia harus menciptakan sendiri suatu mekani sme
penataan pengalaman dan dunia di sekitarnya. Penataan itulah yang
disebut dengan nomos yang kemudian menjadi referensi/ pedoman bagi
manusia dalam mengatur tingkah lakunya sehari -hari. Tanpa tatanan yang
bermakna terhadap setiap pengalaman tersebut, man usia tidak akan dapat
bertahan hidup karena akan dirundung kecemasan tenggelam dalam dunia
yang tanpa makna, kacau,
32
Dunia yang dimaksudkan di sini adalah ciptaan manusia dan itu juga dapat dipahami
sebagai kebudayaan yang merupakan hasil karya manusia dalam rangka menjalankan
wewenangnya sebagai mandataris Allah di dalam dunia ciptaan-NYA.
33
Istilah nomos diambil dari pemikiran Emile Durkheim mengenai konsep nomos yang
dikontradiktifkan dengan konsep anomi, sebagaimana yang dikemukakannya dalam
tulisannya tentang Suicede (bunuh diri)
tidak berperasaan dan gila. 34 Itulah sebabnya, mengutip pendapat Peter L.
Berger,

“Berada dalam masyarakat berarti “waras” dalam pengertian t erlindungi


dari “kegilaan” purna dalam kecemasan anomik tersebut.Anomi itu tidak
tertanggungkan sehingga bisa saja individu merasa lebih baik mati daripada
mengalaminya.Sebaliknya eksistensi di dalam suatu dunia nomik mungkin
sangat diidamkan dengan member ikan segala pengorbanan dan menanggung
segala derita –dan bahkan berkorban jiwa, jika individu itu yakin, bahwa
pengorbanan itu membawa makna nomik.” 35

Jadi ketiadaan nomos adalah suatu bencana terbesar bagi manusia,


baik secara individual maupun kolektif. Apapun ragam historis dan
kebudayaannya, nomos merupakan suatu keharusan dalam dunia yang
manusia bentuk. Karena lawan dari nomos adalah anomi, suatu kondisi
kehidupan yang tentunya tak diinginkan. Secara individual, anomi berarti
keterasingan dari dunia s osial di sekitarnya, bahkan dalam kondisi yang
paling ekstrem, individu akan kehilangan “rasa” dan identitas dirinya sendiri.

Namun malang tak dapat ditolak, tiap nomos yang dibentuk oleh
manusia secara sosial tersebut selalu diperhadapkan pada ancaman ker
untuhan dan menciptakan gangguan anomik bagi manusia. 36 Situasi anomik
ini nampak misalnya ketika suatu negara menetapkan undang -undang yang
melegalkan pernikahan sesama jenis kelamin.Sebagian orang melihat itu
sebagai suatu situasi anomik tapi ada juga yan g beranggapan justru
sebaliknya, bahwa peraturan negara itu telah menciptakan
suatu tatanan dunia yang memungkinkan bagi
mereka untuk menemukan realitas dan identitas diri

34
Ibid., 27-28

35
Ibid., 28

36
Nomos yang dimaksudkan di sini adalah bentukan manusia. Mengenai nomos yang
diyakini bersumber dari wahyu tentu akan timbul silang pendapat. Dan dalam hal sil ang
pendapat tersebut, tulisan ini tidak dapat berbicara banyak karena tujuan karya tulis ini
hanyalah untuk mengulas pemikiran Berger mengenai kontribusi agama dalam
pembentukan realitas. Tapi walaupun demikian, berharap melalui tulisan ini dapat beroleh
kesempatan untuk bertukar pikiran dan menimba pengetahuan teologis tentang hal
tersebut .
mereka. Perubahan tatanan norma tersebut menunjukkan betapa rentannya
suatu nomos yang dibangun oleh manusia secara sosial terhadap
kehancuran. Peter L. Berger menjelaskan bahwa, “semua dunia yang dibangun
secara sosial, secara inheren adalah rawan. Karena didukung oleh aktivitas
manusia, maka dunia-dunia tersebut terancam oleh fakta kepe ntingan diri
dan kebodohan manusiawi. Program -program kelembagaan disabot oleh
individu -individu yang memiliki kepentingan yang bertentangan.” 37 Untuk itu
nomos memerlukan sumber peneguhan agar dapat bertahan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya dan dalam hal inilah agama memainkan
perannya.

Tapi sebelum membicarakan tentang bagaimana peran agama


tersebut, terlebih dulu perlu untuk dijelaskan tentang bagaimana
pemahaman Peter L. Berger sendiri tentang agama. Senada dengan
pemikiran beberapa ilmuwan filsafat dan sosiologi lainnya, menurut Peter L.
Berger, agama itu merupakan hasil dari pantulan, refleksi, atau proyeksi
yang dilakukan oleh manusia. 38 Bila demikian apakah fenomena yang
manusia proyeksikan di dalam dan melalui agama ? Peter L. Berger
menjawa b bahwa manusia mengeksternalisasikan agama karena manusia
diperhadapkan pada ancaman -ancaman anomik dalam dunia yang merupakan
hasil dari aktifitas manusia itu sendiri melalui proses eksternalisasi,
objektifikasi, dan internalisasi. Dalam menanggulangi
kecemasan manusia terhadap situasi anomik, masyarakat telah
menciptakan instrumen-instrumen semacam sosialisasi dan
kontrol sosial, namun tampaknya instrumen
itu tidak cukuplah memadai untuk menegasikan ancaman-ancaman

terciptanya kondisi anomik, baik secara individu maupun kolektif. Karena itu,
demi untuk memperkokoh tatanan sosial maka manusia
37
Ibid., 36

38
Inilah salah satu pemahaman yang menjadi sumber perdebatan antar ilmu teologi dan
sosiologi dalam menelaah fenomena agama. Tulisan tidak cukup memadai untuk menelaah
perdebatan tersebut. Lebih lanjut untuk mendiskusikan mengenai bagaimana dialog antara
kedua disiplin ilmu tersebut dapat dipelajari dalam tulisan Peter L. Berger mengenai
“Perspektif-Perspektif Sosiologis dan Teologis” yang merupakan lampiran dalam bukunya “The
Sacred Canopy” . Buku tersebut telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh LP3ES dengan
judul “Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial” .
secara kolektif menciptakan proses legitimasi 39, dalam proses legitimasi
inilah agama memainkan perannya sebagai universum simbolik yang
menjadi lambaran bagi dunia sosial dan biografi manusia yang ada di
dalamnya.

Dijelaskan bahwa proses legitimasi ini merupakan semacam


“pengetahuan” yang diobyektifikasi secara sosial yang berfungsi untuk
menjelaskan dan membenarkan suatu tatanan sosial. 40 Dalam proses legitimasi,
semua pertanyaan – pertanyaan yang menyangsikan suatu tatanan sosial
mendapatkan jawabannya. Jawaban-jawaban tersebut bukan hanya merupakan
suatu yang bersifat kognigtif lebih dari itu “pengetahuan” atau jawaban -
jawaban dalam proses legitimasi itu juga bersifat normatif.

“Merupakan suatu kesalahan besar bila mengidentifikasikan legitimasi


dengan ideasi teoritis. “Gagasan -gagasan”, memang diperlukan bagi
kepentingan legitimasi. “Namun apa yang bisa dianggap sebagai
“pengetahuan” dalam masyarakat sama sekali tidak identik dengan
kesatuan “gagasan-gagasan” yang ada dalam masyarakat. Sebagian orang
memiliki minat terhadap “gagasan -gagasan”, biasanya mereka tidak lebih
dari suatu minoritas yang agak kecil. Jika legitimasi itu selalu harus terdiri
dari dalil -dalil yang secara teoritis bisa dipahami, maka legitimasi itu akan
mendukung tatanan sosial terutama bagi minoritas intelektual yang
memiliki minat -minat teoritis seperti itu – ini jelas bukan suatu program
yang sangat praktis. Akibatnya banyak legitimasi yang bersifat prateoritis.
”41

Pemikiran ini juga yang melatar belakangi konstruksi pemikiran Peter


L. Berger mengenai sosiologi pengetahuan sebagai suatu perspektif yang
lebih

39
Legitimasi di sini dipahami sebagai “pengetahuan” yang bertujuan untuk menjawab setiap
pertanyaan yang mempertanyakan keabsahan dari suatu tatanan sosial. Sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya, objektifikasi dunia yang dibangun oleh manusia sebenarnya telah
menunjukkan bahwa dengan sendirinya semua “pengetahuan” yang manusia ciptakan
terkandung adanya legitimasi di dalamnya. Namun, legitimasi- legitimasi tambahan masih
diperlukan untuk mewariskan “pengetahuan” tersebut dari generasi ke generasi untuk
menjawab pertanyaan yang pasti timbul dalam alam berpikir generasi-generasi yang baru.
40
Idem.

41
Ibid., 37.
diarahkan untuk menelaah “pengetahuan akal sehat” dalam masyarakat dari
pada menelaah konstruksi teoritis dari kalangan intelektual. 42

Lalu bagaimana hubungan atau peran agama dalam proses legitimasi.


Bila kita mengamati dalam masyarakat, semua legitimasi yang dibangun
menjelaskan keberadaan nomos itu secara sosial dan empirik. Sementara
agama melegitimasi nomos dengan sangat efektif karena menghubungkan
bentukan-bentukan dunia sosial (yang didalamnya terdapat nomos) dengan
realitas purna, realissimum keramat, yang menurut definisinya berada di luar
kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari makna -makna manusiawi dan
aktivitas -aktivitas manusia. 43 Sebagai contoh, kita dapat menemukannya dalam
pengetahuan yang menjelaskan keberadaan dari lembaga ataupun jabatan -
jabatan keagamaan. Hampir semua pengetahuan itu menghubungkan lembaga
dan jabatan keagamaan tersebut dengan realitas yang sakral, semacam
pengetahuan yang diwahyukan. Di antara pengetahuan tersebut, sebagai
contoh, adalah gereja sebagai “tubuh” Kristus, dan dengan demikian, gereja
tidak dapat hanya dipandang sebagai suatu lembaga yang terbentuk k arena
dibangun oleh manusia secara kolektif dalam suatu konteks sosial budaya
tertentu. Dalam hal inilah, agama menunjukkan dirinya sebagai sumber
legitimasi tatanan sosial yang adiluhung.

Keampuhan legitimasi agama ini terkait erat dengan pemahaman


tentan g agama sebagai konstruksi pengetahuan manusia dalam memahami
tentang alam semesta, atau yang biasa disebut dengan istilah kosmos.
Menurut Peter L. Berger, agama juga dapat dipahami sebagai usaha
manusia membentuk suatu kosmos keramat. Adapun kata “keramat ” atau
sakral di sini mengandung arti suatu kualitas kekuasaan yang misterius dan
menakjubkan, bukan berasal dari manusia dan yang diyakini berada dalam
objek -objek pengalaman tertentu. 44

42
Idem.

43
Ibid., 40
44
Ibid., 32
Lebih lanjut dijelaskan bahwa kualitas tersebut dapat disematkan pada
berbagai berbagai objek alami atau buatan (artifisial), mahluk, roh, dewa,
hingga kekuatan atau asas purna yang menciptakan dan mengatur kosmos
yang tidak lagi dibayangkan dalam kerangka personal. Kosmos yang
konstruksi oleh agama ini, bagi manusia merupa kan suatu realitas yang
transenden (di luar lingkaran kemengadaan manusia dalam dunia) tapi
sekaligus juga imanen (melingkupi) kehidupan manusia dan menjadi
tatanan bermakna bagi manusia dalam membentuk kebudayaan dan
peradabannya.

Dan rupanya ada kecender ungan yang dapat kita temukan,


khususnya dalam masyarakat pra modern, nomos yang terbentuk kemudian
dipadukan dengan makna-makna fundamental dalam semesta sebagaimana
yang menjadi pemahaman kosmologi suatu masyarakat. Sebagaimana yang
dikemukan oleh Peter L. Berger, dalam masyarakat lama, nomos sering kali
tampak sebagai refleksi mikrokosmos, sehingga dengan demikian, nomos
yang dibangun dalam masyarakat kemudian menjadi suatu penjelasan
tentang “hakikat sesuatu” yang dipahami secara kosmologis dan antropol
ogis.45 Keterpaduan inilah yang menciptakan keajegan suatu nomos karena
sumber legitimasinya berasal dari sumber-sumber pengetahuan yang lebih
kuat bila dibandingkan dengan usaha - usaha historis manusia dalam
melegitimasi suatu nomos.

3. KESIMPULAN
Mengulang kembali apa yang dikemukakan oleh Peter L. Berger
bahwa setiap masyarakat merupakan suatu usaha untuk membangun dunia
dan agama memiliki apa yang disebut sebagai a distinctive place in this
enterprise . Pemikiran ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk me ngawali
pemahaman kita tentang bagaimana analisa Peter L. Berger terhadap
fenomena agama dalam

45
Ibid., 31-32
masyarakat. Lebih jelasnya ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan
dalam memahami pemikiran Peter L. Berger mengenai agama, yakni :

1. Agama tidak dapat dipisahka n dari proses pembentukan berbagai


realitas atau “dunia” yang manusia ciptakan yang melalui tiga
momentum yakni eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi.

2. Peran utama agama dalam pembentukan dan pemeliharaan “dunia”


tersebut terletak pada kekuatan ag ama untuk
membenarkan/ meligitimasi nomos yang menata kehidupan manusia
dalam “dunia” ciptaannya sendiri. Sehingga terbuka kemungkinan
yang besar untuk melanggengkan tatanan tersebut dari satu
generasi ke generasi selanjutnya.
https://ejournal.uksw.edu/cakrawala/article/download/500/334/

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Peter L. 1991. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial . Jakarta: LP3ES.

Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah
Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan . Jakarta: LP3ES.

Pals, Daniel L. 2012. Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling
Komprehensif. Yogyakarta: IRCISOD.

Johnson, Doyle Paul. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I . Jakarta: PT
Gramedia.
Noor, Irfan. Realitas Agama dan Problem Studi Ilmiah -Empiris (Kajian Filsafat Ilmu
atas Pemikiran Peter L. Berger) , diakses 15 Oktober 2015,
http:// id.scribd.com/ doc/ 7980498/ Agama -Dan-Filsafat -Ilmu-Irfan-
Noor.

Sanks, T. Howland. A Tradition In Process: The Changing Face Of T heology,


American Magazine: The National Catholic Review, vol. 2015, 24 Oktober
2011, diakses pada tanggal 15 Oktober2015,
http:/ / americanmagazine.org/ sites/ default/ files/ issues/ cf/ pdfs/ 791_1.

pdf

Veeger, K.J. 1988. RealitasSosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu
Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi . Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1988.

Anda mungkin juga menyukai