Anda di halaman 1dari 16

Ikmal Fahrurrozi Sagala

2106101010060
Masa Depan Teori Sosial
Mata Kuliah Teori-Teori Sosial 02
Dr. Ruslan, S.Pd., M.Ed

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan


Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Universitas Syiah Kuala
Stephen Park Turner (kelahiran 1 Maret 1951)
adalah seorang peneliti pada bidang praktisi sosial, teori
sosiologi dan politik, dan filsafat sains sosiologis. Ia
merupakan seorang profesor kelulusan Departemen
Filsafat dari University of South Florida, dimana ia juga
menyandang gelar sebagai Profesor Terpandang pada
bidangnya.

Turner lahir di Chicago, Illinois. Ia kelulusan dari University of Chicago Laboratory


Schools pada tahun 1968 dan kemudian kuliah di University of Missouri di Columbia,
Missouri. Ia menerima gelar sarjana dan dua gelar master (satu dalam filsafat dan satu
dalam sosiologi) dan gelar Ph.D. dalam sosiologi, dengan disertasi tentang topik
filosofis, kemudian diterbitkan sebagai Sociological Explanation as Translation (1980)
oleh Cambridge University Press dalam seri Rose Monograph dari American
Sociological Association. Dia kemudian belajar dengan Richard Rorty dan Edward
Shils. Dia memulai afiliasi panjangnya dengan University of South Florida pada tahun
1975. Pada tahun 1987 Turner diangkat sebagai Profesor Riset Pascasarjana di bidang
Sosiologi; sejak tahun 1989 ia telah memegang gelar yang sama, sekarang Profesor
Universitas Terhormat, tetapi dalam Filsafat. Dia telah memiliki janji kunjungan di
Virginia Tech, Universitas Notre Dame, dan Universitas Boston. Dia berada di dewan
redaksi dari sekitar 15 jurnal, dan merupakan "Editor Kolaborasi" terlama dalam
Ilmu Pengetahuan Sosial.

Turner telah menerbitkan di bidang sosiologi dan filsafat yang tumpang tindih,
terutama pada gagasan praktik. Dalam The Social Theory of Practices serta dalam
tulisan-tulisan lain Turner menentang konsep kolektif seperti budaya: apa yang kita
sebut budaya (dan konsep serupa), menurutnya, perlu dipahami dalam hal sarana
transmisinya. Dia telah memperluas argumen ini di berbagai tempat, terakhir dalam
kaitannya dengan gagasan filosofis "normativitas" yang menurutnya merupakan
penjelasan tentang "fakta" yang merupakan produk dari deskripsi ulang yang tidak
perlu dan menghasilkan misteri yang dimotivasi oleh upaya untuk mengambil kembali
dasar dari penjelasan ilmu sosial.
Pembahasan

Masa Depan Teori Sosial


oleh Stephen Turner

TEORI sosial, baik istilah maupun subyeknya, muncul sebelum disiplin sosiologi. Penulis non-
akademis seperti Herbert Spencer (1969[1851];1897[1876]), dan Benjamin Kidd (1894),
akademisi dari bidang lain, seperti ekonom Simon Patten (1896), serta pemikir sosialis, banyak
menulis tentang subyek ini. Beberapa dari “teori sosial” ini tidak pernah menjadi bagian dari
sosiologi. Namun, selama dekade pertama abad ke-20, dalam pembagian ilmu pengetahuan
sosial menjadi berbagai disiplin ilmu di Amerika Serikat, teori sosial memiliki suatu rumah
disipliner. Disiplinerisasi mendesak adanya perumusan teori dalam jenis tertentu: untuk sejarah
dengan teks-teks besar, dan untuk sistematisasi, setidaknya untuk tujuan pengajaran subyek
yang pasti, yang mengharuskan teoritisi untuk saling memerhatikan satu sama lain. Di Amerika
Serikat, hal ini menghasilkan berbagai penelitian tentang sejarah (Barnes 1948; Barnes dan
Becker 1961 [1938]; Becker 1971; Ellwood 1971) dan masa kini teori sosial (House 2004),
hal-hal seperti satu katalog konsep sosiologi yang disusun secara logis, oleh mahasiswa
Universitas Chicago, Earle Edward Eubank (1932), serangkaian disertai tentang tokoh
pendirinya, hingga klasifikasi teori. Eubank, seperti banyak orang Amerika lainnya, adalah
pengagum pembangunan sistem teoritisi sosial Jerman yang dipengaruhi paham neo-Kant dan
menghormati “para ahli sosiologi” ini. Namun, penyadur gaya ini yang paling kuat dan
berpengaruh adalah Talcott Parsons (1937).

Pembagian subyek akademis dalam tradisi universitas nasional lainnya terjadi jauh
sesudahnya -bahkan di Prancis sosiologi tidak dipisahkan dari filsafat sampai tahun 1950-an,
dan perbedaan jalur teori sosial Eropa merefleksikan fakta-fakta institusional ini. Di Eropa,
teori sosial tetap lebih terbuka, lebih filosofis, dan tidak terlalu “ilmiah”. Di Amerika Serikat,
politik persaingan disipliner dan peran kedermawanan Rockfeller menegaskan gagasan tentang
sosiologi sebagai ilmu pengetahuan (Camic 1995). Parsons, yang terpengaruh penulis Harvard
tentang ilmu pengetahuan, seperti penyokongnya L.J Henderson (1970 [1941-1942]),
menggabungkan dorongan terhadap konstruksi sistem konseptual dan survei sistematik tentang
teori masa lalu dengan ambisi untuk menjadikan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan. Parsons
mengutip keyakinan Henderson bahwa setiap ilmu pengetahuan memiliki dan memerlukan
skema konseptual yang tunggal dan menyatu dan ia berencana menciptakan satu skema
tersebut melalui analisis tentang apa yang dinilainya tokoh besar paling penting dalam
sosiologi termasuk Vilfredo Pareto, Emile Durkheim, dan terutama Max Weber, serta ekonom
Alfred Marshall. Pekerjaan besar Parsons, yang mirip dengan berbagai sistem analogis yang
diciptakan oleh rekan Jermannya pada 1930-an yang terpengaruh oleh paham neo-Kant bahwa
skema konsep-konsep yang tertata dan hierarkis adalah kunci untuk menjadi ilmu satu
pengetahuan, tidak banyak yang menandainya selain desakannya bahwa inilah “ilmu
pengetahuan” dalam arti ilmu pengetahuan alam. Namun, keberuntungan sejarah berada di sisi
Parsons. Kampanyenya yang cerdas dan tegas di Harvard menjadikannya tokoh utama saat
Harvard bangkit dari Perang Dunia II sebagai universitas paling berpengaruh di dunia.

Pada masa ini sosiologi di Inggris hanya memiliki suatu pengaruh akademis yang tidak
signifikan dan sosiologi di bagian lain Eropa, kecuali Prancis, mengalami satu kemandekan
radikal sebagai akibat munculnya fasisme dan Nazisme. Contoh universitas Amerika ditiru
secara luas dalam pendirian kembali universitas yang tercemar oleh politik di Eropa, dan
beragam sistem yang menentukan kunjungan ilmuwan dan mahasiswa ke Amerika Serikat juga
diterapkan. Sosiologi merupakan penerima yang diuntungkan dari perubahan ini serta dari
lembaga pendanaan Amerika dalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial, yang sebagian didorong
oleh keinginan untuk menciptakan suatu alternatif bagi komunisme. Sebagai akibatnya,
gagasan Parsons menjadi lebih berpengaruh di luar Amerika Serikat dibandingkan di dalam
negeri (dimana gagasan tersebut sering kali ditolak karena hubungannya dengan keangkuhan
Ivy League, suatu perkumpulan yang melindungi didikannya secara agresif dari populasi
mahasiswa Harvard), dan menciptakan suatu bahasa perantara untuk mengajarkan dan
membahas tentang apa yang saat ini disebut Robert Merton (1967) sebagai “teori sosiologis,”
atau bahkan “sosiologi teoretis.” Terdapat sejumlah “teori” lain yang sama berpengaruhnya
seperti Parsons: Interaksionisme simbolis, fenomenologi, teori pertukaran, dan berbagai bentuk
Marxisme. Dan di sisi tertentu pengaruh Parsons bahkan melegitimasi pesaingnya ini dari sudut
pandang sosiologi empiris.

Pada 1960-an apresiasi publik dan ketertarikan mahasiswa terhadap sosiologi


mengalami peningkatan pesat. Parsons, dan “positivisme” atau aspirasi terhadap ilmu
pengetahuan, diserang oleh kritisi di dalam dan di luar sosiologi, namun serangan yang paling
berbahaya adalah dari siswa yang radikal, dan berbagai bentuk sosiologi kiri, seperti teori kritis,
meningkat pengaruhnya. Pada awal 1970-an pengaruh Parsons runtuh. Namun, di Jerman
masih terjadi beberapa perdebatan, di mana Niklas Luhmann (1970) menciptakan berbagai
karya menarik dalam bahasa yang mengandalkan gagasan sistematik mirip Parsons serta
semacam perdebatan antara Luhmann dan Jurgen Habermas, tokoh besar mahzab Frankfurt
kedua. Habermas, dalam karyanya The Theory of Communicative Action (1984), menciptakan
suatu alternatif sistematik terhadap karyanya yang mirip karya Parsons yang menyebar dan
berorientasi pada peraturan Structure of Social Action (1973). Dengan karya-karya besar Marx,
Durkheim, Weber, dan G.H Mead yang direvisi, semakin banyak teori yang diciptakan, di
mana gerakan seperti realisme di Inggris dan Etnometodologi menuntut haknya.

Namun, di sini kisahnya menjadi rumit. Beberapa perubahan penting terjadi secara
kurang lebih bersamaan selama dua dekade berikutnya, yang mengarah pada penggantian peran
terdahulu teori dalam hubungannya dengan sosiologi. Tatanan institusional penting adanya
untuk memahami hal ini. Setelah popularitasnya meningkat tajam pada 1960-an dan beralihnya
perhatian publik serta gerakan mahasiswa pada akhir 1960-an, sosiologi dan teori sosial
mengalami mati suri pada 1970-an ketika minat mahasiswa menjadi semakin terarah dan
sosiologi dituduh sebagai penyebab berbagai ekses dan kegagalan negara kesejahteran untuk
memenuhi janjinya menyelesaikan masalah seperti kemiskinan. Akhir dari gerakan mahasiswa
adalah suatu fenomena mendunia, dan menurunkan minat mahsiswa di berbagai tempat. Di
Amerika Serikat, jumlah mahasiswa yang mendaftar ke jurusan sosiologi turun drastis dan
jumlah gelar sarjana yang diberikan turun menjadi kurang dari sepertiga jumlah terbanyak yang
dicapainya pada awal 1970-an.

Pengaruh langsungnya adalah bahwa isu-isu tentang teori dan metodologi, seperti
perdebatan tentang positivisme, menjadi kurang penting: sasaran perdebatan ini adalah
mahasiswa yang mencari identitas intelektualnya, bukan ilmuwan yang matang dan praktisi
penelitian. Namun, berlanjutnya pemisahan antara teori sosial dan sosiologi memiliki penyebab
intelektualnya juga. Salah satu perkembangan penting pada 1970-an dan 1980-an adalah
kembali ke yang klasik, suatu proses yang pada umumnya, yang digambarkan dengan baik
melalui judul “DeParsonizing,” memiliki implikasi penting bagi karakter penulisan dalam teori
sosial. Keklasikan yang ditemukan kembali dalam seluk-beluk historisnya secara menyeluruh
bukanlah “para sosiolog” dalam pengertian paling sempit apa pun dari kata ini, dan bukan
dalam pemahaman sempit dari, misalnya, catatan ringkas Reinhard Bendix yang diterima
secara luas, yang merupakan sorang komentator tentang Weber yang berpengaruh, yang
menulis suatu “gambaran intelektual” tentang Weber yang meniadakan tulisan metodologis
“filosofis” dan tulisan politiknya, menjadikan Weber “sosiolog” yang lebih khusus seperti
halnya Bendix sendiri (1960). Ketika tulisan metodologis dan politis Weber “ditemukan
kembali,” tulisan tersebut menjadi penting bagi pengikut baru Weber dan sejumlah studi baru
tentang Weber. Durkheim tentu berpendidikan sebagai filsuf dan akan sulit dipahami tanpa
acuan ke tradisi filsafat yang melatih dan mendidiknya sejak awal. Citranya sebagai pelopor
tradisi penelitian survei juga berubah. Oleh karenanya, keklasikan “baru” ini bersifat
interdisipliner dan nondisipliner dan keduanya sangatlah mirip dalam hal pemahamannya
tentang teori filsafat dan politik dibandingkan pemikiran lama. Namun dengan dikembalikan
ke konteks historisnya, keklasikan tersebut menjadi kurang relevan untuk sosiologi
dibandingkan dengan yang dipraktikkan sebelumnya.

Proses perubahan citra keklasikan tidaklah menyenangkan dan penuh pertentangan.


Pendukung pandangan ilmiah lama tentang teori, seperti Randall Collins, dan pengikut
Parsons, terus-menerus memprotes artikel tentang “apa yang dimaksud Weber” dan berselisih
dengan keseluruhan gaya dan habitus intelektual spesialis yang terkait dengan pandangan
tersebut. Perselisihan ini mencerminkan sifat subversif sejarah yang baru tentang keklasikan.
Pada masa dominasi Merton/Parsons, unsur-unsur yang berorientasi sistematis, ilmiah, dan
klasik sering kali digabungkan dalam karya satu ilmuwan saja. Unsur-unsur tersebut
menetapkan cara yang dapat diterima untuk mendapat keklasikan, yaitu untuk
memperlakukannya sebagai pendahulu dari rancangan sosiologi teoretis Merton/Parsons.
Alvin Gouldner (Chriss 1999), mahasiswa Merton, mungkin merupakan contoh dari cara-cara
ini, namun tokoh-tokoh lain, seperti Lewi Coser (1975) dan Reinhard Bendix (1960) juga
mengikuti pola ini. Pada 1970-an dan 1980-an, sejumlah tokoh ini melakukan perlawanan, di
mana mereka memanfaatkan kekuasaannya sebagai konsultan editorial untuk menekan studi
terbaru. Perjuangan ini tentunya mengarah pada kaum muda. Menggambarkan kembali
keklasikan sebagai tokoh historis sesungguhnya, bukan sebagai pelopor fungsionalisme
struktural dan penelitian sosiologi adalah suatu perjuangan yang penting. Namun, kemenangan
ini memerlukan terlalu banyak pengorbanan; resikonya adalah dihapuskannya tokoh-tokoh
klasik dari inti pembahasan sosiologi konvensional dan dikesampingkannya studi mereka.

Perubahan besar kedua melibatkan gagasan tentang budaya dan sosiologi kultural.
Sejumlah teoritisi terdahulu, terutama mahasiswa dari mahasiswa Parsons, menyebut dirinya
sendiri sebagai ahli sosiologi kebudayaan. Perubahan ini didorong oleh Clifford Geertz,
seorang antrropolog pengikut Parsons, yang menerbitkan sekumpulan esai yang penting
berjudul The Interpretation of Culture (1973), yang mengubah komitmennya terdahulu
terhadap doktrin Parsons kedalam suatu pandangan Post-Modern tentang “pikiran yang berisi
asumsi-asumsi” yang menghapus peran dari gagasan tentang konsensus, namun memperluas
desakannya untuk adanya signifikansi budaya yang menyebar luas. Desakan ini dikembangkan
melalui peralihan kultural Parsons dalam The Social System (1951), dimana sistem sosial atau
masyarakat adalah subyeknya, namun budaya dan terutama komitmen nilai modern,
merupakan penjelasan utamanya. Maka tidak mengejutkan jika pengikut Parsons, seperti
Robert Bellah, yang hingga saat ini merupakan produk khas sistem pencipta karier Parsons,
muncul kembali sebagai sosiolog kebudayaan pada 1980-an dan 1990-an. Sistem ini
memungkinkan para pengikut Parsons untuk menyingkirkan rintangan dari rancangan rumit
Parsons tentang sistem ini, komitmennya terhadap “teori sistematis,” dan ambisinya terhadap
ilmu pengetahuan, sehingga menghapus unsur kontroversial dalam teorinya.

Dalam bentuk baru ini, signifikansi politisnya di balik. Signifikansi tersebut dapat
diciptakan kembali sebagai doktrin kiri, yang diasimilasikan dengan Michael Foucault (1981),
Pierre Bourdieu (1977 [1972]), dan karya tulis yang berpengaruh/tajam, namun jelas
terpengaruh Marxisme ciptaan teoritisi studi kultural Stuart Hall (1997; Hall, Morley, dan Chen
1996). Penjelasan paham Parsons menjelaskan stabilitas yang luar biasa, serta berbagai
kebaikan tentang masyarakat kapitalis modern terkait budaya, terutama nilai “modern.”
Penjelasan sayap kiri menggunakan penjelasan yang sama untuk menguraikan kesadaran salah
yang meluas yang menghasilkan stabilitas, serta berbagai keburukan masyarakat kapitalis
modern. Masalah keadilan adalah contoh sederhana mengenai hal ini: bagi Parsons, dan secara
tidak langsung bagi sosiolog seperti Michael Young (1958), keadilan penting bagi modernitas
dan tentu saja universalisme yang dinilai Parsons sebagai suatu nilai utama masyarakat modern
juga merupakan nilai Pencerahan. Penganut paham kiri, yang meyakini diktum Carl Schmitt
bahwa “kata-kata seperti negara, republik, masyarakat, kelas, seperti halnya kedaulatan, negara
konstitusional, absolutisme, kediktatoran, perencanaan ekonomi, negara netral atau total, dan
sebagainya, sulit dipahami jika tidak diketahui dengan pasti siapa yang dipengaruhi, dilawan,
ditolak, atau dinegasikan oleh istilah-istilah tersebut” (1976 [1932]: 30-31), yang memahami
pandangan tentang Pencerahan ini dengan tepat. Kebaikan jelas merupakan konsep yang
“dipengaruhi, dilawan, ditolak, atau dinegasikan.” Bagi feminis, perempuan tidak termasuk di
dalamnya; bagi Bourdieu, yang menulis tentang "perbedaan” (1977 [1972]), perbedaan itu
diterapkan dalam sistem pendidikan Perancis sebagai suatu alat untuk mengasingkan kelas
pekerja dari posisi kewenangan dalam sistem dan negara. Proses internalisasi nilai yang penting
bagi Parsons digantikan oleh Bourdieu dengan proses reproduksi yang menjamin keberlanjutan
dominasi oleh yang dominan (Bourdieu dan Passeron 1977).
Peralihan kultural juga dibantu oleh meningkatnya konstruksionisme sosial. Buku
Berger dan Luhmann The Social Construction of Reality (1966) adalah buku sosiologi yang
paling banyak dikutip pada saat itu. Istilah tersebut segera diterapkan, yang berlawanan dengan
penolakan khusus para penulis tersebut, tidak hanya pada konsep ilmiah, yang menciptakan
“program kuat” yang sangat berpengaruh dalam sosiologi pengetahuan dan gagasan terkait
lainnya. Istilah ini dengan cepat menyebar ke studi gender, yang mendorong formulasi Judith
Butler, yang terkenal tentang konstruksi sosial perbedaan gender – bahwa setiap orang
mengenakan pakaian yang tidak seharusnya – serta ke bidang seperti studi difabel di mana para
difabel tidak dipandang sebagai difabel namun sebagai kesalahan penyebutan. Terakhir, sudah
banyak diketahui bahwa yang mati pada bagian terakhir abad ke-20 adalah “yang dimaksud
dengan sosial” dan bahwa hubungan-hubungan sosial telah dikuasai. Sejak saat ini, media
harus menjadi kendaraan dan subyek baru bagi teori sosial (cf. Gane 2004).

Peralihan kultural memiliki implikasi-implikasi yang absurd terhadap teori sosial. Di


satu sisi, peralihan ini meningkatkan jumlah peminat teori sosial, yang sekarang menjadi
berbagai jurusan sastra dan humaniora serta penting bagi bidang-bidang baru seperti studi
media dan bagi bidang yang terus berubah seperti komunikasi. Di sisi lain, minat tradisional
terhadap teori sosial berubah dan struktur deskriptifnya yang disederhanakan menjadi contoh
yang relatif mentah dan mudah ditiru, dimana budaya menjadi tidakan dominasi dibawah sadar
di mana yang terdominasi berperan dalam keadaannya yang terdominasi karena menikmati atau
menerima gagasan dan tindakan yang mendorong mereka untuk terdominasi. Meluasnya
peminat teori sosial, yang merambah ke topik tentang budaya, pengimplementasian tema
seperti konstruksi sosial ke ilmu terapan, meluasnya penggunaan gagasan yang diperoleh dari
teori kritis ke ilmu pengetahuan sosial dan kemudian filsafat, kemunculan terkini “teori” pada
studi sastra, serta penggunaan gagasan seperti praktik dan mekanisme tersembunyi penindasan
melalui gerakan sosial yang kesemuanya terjadi secara bersamaan, menciptakan suatu ruang
yang baru dan cukup berbeda bagi teori sosial. Ruang ini sering kali dijauhkan dari sosiologi
disipliner, dan terutama dari penelitian empiris sosiologi, yang, terutama di Amerika Serikat,
berfokus pada analisis data sekunder dan peenyusunan model kausal – sesuatu yang
memerlukan “teori” minimal.

Namun, sosiologi sendiri banyak berubah selama dua dekade ini dengan cara lain yang
luar biasa. Muncul isu baru yang mendominasi sosiologi: gender. Skema untuk peningkatan
pekerjaan perempuan diterapkan di universitas di Amerika Serikat; negara-negara lain pun
mengikutinya. “Tindakan Afirmatif” dilakukn dengan antusias di sosiologi, sebagian oleh
kelompok yang meyakini (sering kali dengan benar) bahwa mereka diasingkan dari posisi
penting, sebagian oleh penganut paham konservatif yang memandangnya sebagai suatu cara
untuk mengasingkan penentangnya yang lebih muda. Rezim ini diterapkan dengan sangat ketat
pada ilmu pengetahuan sosial, di mana terdapat lebih banyak perempuan. Secara singkat, isu-
isu gender menjadi penting bagi sosiologi, dan ketidaksetaraan gender menjadi subyek
utamanya. Di toko buku, bagian sosiologi digabungkan dengan bagian studi perempuan.
Gerakan studi perempuan dan gerakan “Studi Orang Kulit Hitam” merupakan contoh hubungan
yang harmonis antara subyek akademis dan gerakan sosial yang terbukti dapat ditiru pada
penyebab gerakan lainnya. Di Amerika Serikat, sosiologi mengenai hubungan digabungkan
dengan relita pada program studi orang kulit hitam dan berkembang menjadi bidang yang
berorientasi pada orang Afrika-Amerika di mana orang kulit putih tidak termasuk di dalamnya.
Polanya ditiru di seluruh dunia untuk kelompok terasing lainnya, serta gerakan sosial lainnya,
seperti gerakan gay dan lesbian, yang akan diperlakukan dengan serupa. Hubungan-hubungan
ini menciptakan kelompok baru mahasiswa sosiologi, dan memunculkan peminat baru bagi
karya tulis sosiologi.

Jenis teori yang menarik bagi pembaca ini adalah yang membuktikan gerakan sosial
yang mereka ikuti dan khususnya membenarkan pendapat mereka tentang penindasan. Pada
sebagian besar kasus, pendapat-pendapat ini adalah bahwa prosedur egaliter yang nominal dan
umum pada negara liberal merupakan sumber tersembunyi bentuk-bentuk penindasan yang
berasal dari hal-hal seperti asumsi maskulinis yang dimasukkan ke dalam hukum (Mackinnon
1989) atau bahwa prosedur egaliter dan nominal tanpa memerhatikan ras dan gender negara
liberal menunjukkan penolakan terhadap nilai-nilai etnis dan penerapan kekulitputihan. Nilai-
nilai seperti nilai keibuan, yang memfasilitasi direndahkannya perempuan ke keibuan atau ke
pengasingan diri dari pasar kerja, dapat dipahami dari sisi ini. Pemikir “luka tersembunyi”
seperti Sennett (1977) dan teoritisi yang fokus utamanya adalah praktik penindasan seperti
Foucault, Bourdieu, Dorothy Smith (1990), dan Patricia Hill Collins (2000 [1990]),
“merumuskan teori” penindasan dalam bentuk yang tersembunyi ini dan menjelaskan mengapa
yang ditindas secara tidak sadar menciptakan rencana penindasannya sendiri. Manfaat khusus
ini, suatu manfaat bagi gerakan sosial yang bertujuan mengubah kesadaran, mengakui, dan
melawan “viktimisasi,” memunculkan suatu hubungan yang baru antara teori sosial dan
peminat sosiologi yang saat ini banyak berubah, mahasiswa yang narasi viktimisasinya
berperan penting dalam identitas personalnya.
Manfaat baru ini memiliki keberlanjutan yang nyata dengan Marxisme. Seperti
dinyatakan Michael Burawoy dalam pidato kepresidenannya yang penting dalam Asosiasi
Sosiologi Amerika tentang sosiologi publik, macam hubungan baru ini dengan gerakan sosial
dapat dipahami terkait gagasan Gramsci tentang intelektual organik yang mewakili dan
mengarahkan, namun juga terikat dengan, rakyat jelata (1996). Namun terdapat perpecahan
juga. Gerakan sosial baru biasanya mengabaikan bukan hanya narasi teoretis besar tentang
Marxisme, dengan komitmennya terhadap gagasan tentang misi historis rakyat jelata,
melainkan juga narasi teoretis besar itu sendiri, yang membatasi dirinya, seperti yang dilakukan
Foucault terhadap suatu contoh protes dan penolakan. Pengaruh hubungan pengguna baru
adalah untuk mengabaikan karena ketidak bergunaan dari apa yang biasanya dibahas teori,
sedangkan pada saat yang bersamaan menyepelekan pandangan teoretis, seperti praktik, dan
berbagai versi pemarxisan yang berlawanan dan kesadaran salah yang diganti namanya.

Apakah keterkaitan pengaruh ini dengan teori? Meskipun teoritisi pada generasi yang
lebih muda mengutip penulis ini, mengomentarinya, menjabarkannya, mendukung dan
mengkritiknya, “pembicaraan teori” dan kritik tentang pandangan-pandangan teoretis ini tidak
menarik bagi para pengguna ini, dan tidak diterima dengan baik. Suatu wacana teoretis yang
baru dan cukup berbeda muncul yang pada praktiknya sepenuhnya terpisah dari “pembicaraan
teori”. Para teoritikus social feminis dalam diskusi-diskusinya dengan yang lain berfokus pada
pertanyaan tentang siapa yang sesungguhnya diwakili oleh pandangan mengenai perempuan
ini atau bagaimana untuk menunjukkan pendirian tentang kelompok perempuan tertentu yang
tertindas dengan menggunakan secara luas dan kerap kali sengit, untuk tidak menggunakan
kata-kata kasar seperti makian. Meskipun mereka memperluas gagasan-gagasan tentang laki-
laki dan dominasi kulit putih. Pemikiran ini tidak “membicarakan teori” dan teori yang
digunakan secara tidak kritis – tidak kritis kecuali pada masalah utama terkait manfaat untuk
penyebabnya. Misalnya, konsep tentang praktik yang merupakan subyek dalam perdebatan dan
diskusi panjang pada tahun 1990-an, digunakan oleh feminis tanpa keikutsertaannya dalam,
atau bahkan pengakuan atas perdebatan ini.

Pemisahan antara ranah diskusi laki-laki dan perempuan mirip dengan sikap yang
cukup berbeda terhadap pelaksanaan perdebatan teoritis. Perempuan mengeluh tentang
pengasingan dan pengabaian oleh teoretisi, dan hal ini sebagian terbukti benar dari sisi tertentu.
Namun, perempuan aktivis tidak terlalu ingin memasuki teori tentang "klub laki-laki" seperti
menginginkan penghargaan dari klub tersebut atas pandangan-pandangan mereka. Berbagai
upaya penyusunan teori yang menyertakan perempuan seringkali ditolak oleh perempuan, dan
selalu mengalami kesulitan, di mana meskipun perempuan berharap agar kontribusi teoritisnya
dihargai, mereka tidak ingin memainkan permainan teori tradisional - yang memungkinkan
mereka untuk mencari kritik dari segala penjuru. Perbedaan gaya ini dilakukan dalam sejumlah
dialog-tunarungu pada pertemuan antara teoritisi dan feminis di mana feminis mengungkapkan
bahwa mereka sangat tersinggung oleh sesuatu yang hanya berupa pertanyaan dan kritik
standar. Sifat bertentangan yang terdapat dalam permintaan ini ditunjukkan pada artikel tentang
studi gender dalam terbitan edisi seabad oleh Craig Calhoun pada sosiologi Amerika. Myra
Marx Ferree dan rekan kerjanya menyebut dirinya feminis yang "tersinggung" dan "tersakiti".
Namun, yang memicu reaksi ini semata-mata adalah kritik tersembunyi menurut sosiolog
empiris. Dihadapkan pada kekritisan pertukaran teori yang lebih parah dan pada Apa yang
disebut dengan kurangnya penghargaan yang tepat oleh teori "klub laki-laki" tidaklah dapat
mereka terima, dan mereka tidak mengakuinya. Namun, isu penghargaan memiliki sisi lain:
laki-laki berulang kali diberitahu bahwa mereka tidak berhak untuk membicarakan isu-isu
perempuan. Dan itu adalah satu alat standar presentasi feminis selama bertahun-tahun dengan
melarang laki-laki untuk berbicara, atau mencegah mereka berbicara hingga semua perempuan
yang ingin berbicara mendapatkan kesempatannya. Apapun yang terjadi, perempuan tidak
memiliki alasan tepat apapun untuk mengikuti diskusi tentang teori. Mereka memiliki peminat
di luar dari peminat teori, suatu hubungan organik terhadap suatu gerakan, dan legitimasi yang
kuat atas gerakan mereka. Dan mereka juga memiliki sesuatu yang tidak dimiliki teori
tradisional setelah menurunnya gerakan mahasiswa: peminat dari kalangan mahasiswa yang
sangat tertarik dan termotivasi secara personal.

"Klub laki-laki" memiliki masalahnya sendiri. Hubungan antara sosiologi empiris


tradisional dan teori, yang baik-baik saja pada masa Robert Merton dan Paul Lazarsfeld, juga
memburuk. Salah satu alasannya adalah semata-mata karena alasan teknis. Merton dan
Lazarsfeld mendukung pandangan tentang pembuatan teori di mana teori-teori jajaran
menengah (middle-range theory) adalah sumber hipotesis yang dapat diuji menggunakan
metode statistik dengan tabel 2x2, yang memerlukan latar belakang pengetahuan (yang
dianggap teoretis) untuk menilai hubungan "kausal" menggunakan metode elaborasi, yaitu
membagi tabel-tabelnya, yang dianggap sebagai hubungan total variabel yang dapat dijadikan
hubungannya palsu atau justru mengubah nilai melalui dimasukkannya variabel "penguji".
Model kausal, yang menggantikan metode ini mengandalkan latar belakang pengetahuan
minimal absolut, yang dianggap sebagai pengetahuan yang remeh atau tidak mendapatkan
pertentangan sehingga hanya membutuhkan "teori" sedikit atau tidak sama sekali, dan jumlah
minimal ini dengan stabil dikurangi melalui pembuatan metode statistik baru untuk mengurangi
hubungan yang palsu dan mendeteksi variabel laten. Perubahan ini menunjukkan bahwa selama
periode ketika "teoretisi" mengalihkan perhatiannya pada keklasikan, pada Foucault, dan pada
budaya, relevansi berbagai jenis "teori" dengan usaha praktis sosiologi empiris menghilang.

Sebagai akibatnya, peran teori dalam pengajaran pun menurun. Situasi terkini mengenai
pengajaran teori di Amerika Serikat, meskipun lebih ekstrem dibandingkan di tempat lain,
menunjukkan situasi di mana tidak banyak teori ditawarkan. Ketua divisi teori pada Asosiasi
Sosiologi Amerika mempertanyakan bagaimana teori diajarkan pada jurusan sosiologi
terkemuka di Amerika, dan oleh siapa, serta menampilkan hasil sejumlah penyelidikan ini pada
situs internet divisinya, yang memunculkan diskusi pada situs divisi ini
(https://www.asatheory.org/). Dalam pembahasan ini terlihat jelas bahwa pada umumnya teori
tidak lagi diajarkan di jurusan sosiologi terkemuka di Amerika karena pernah ditemui bahwa
orang yang mengajarkan teori seringkali adalah orang yang tidak menulis atau merumuskan
teori apapun. Terdapat suatu pandangan yang meluas bahwa lebih baik jika ahli sosiologi
empiris dibandingkan "teoretisi" yang mengajar teori karena ahli sosiologi empiris dapat
menunjukkan lebih baik bagaimana teori dapat digunakan atau dapat dibuat berguna
dibandingkan para teoritisi.

Teori yang dihasilkan oleh teoritisi - terdiri dari berbagai hal seperti makalah tentang
apa yang dimaksudkan oleh Weber - pada umumnya dianggap tidak relevan dengan peran yang
dimainkan teori dalam kurikulum: guna memberikan cara untuk memasukkan substansi teoretis
pada studi empiris mahasiswa. Sikap terhadap teori dari non-teoritisi yang mengajar kuliah ini
ditunjukkan dalam satu silabus yang sangat eksplisit, yang menggabungkan berbagai kutipan
yang menggambarkan kesaksian dan tidak bergunanya teori bagi sosiologi. Penyusun silabus
berkomentar bahwa "teori" dapat didefinisikan dalam praktik sebagai Apa yang disebut orang
sesuatu yang dilakukan oleh 'teoritisi', namun juga atau bahkan didefinisikan lebih baik sebagai
pemikiran pemandu yang digunakan oleh sosiolog praktisi untuk memahami dunia.
"Penyusunan silabus yang dikutip disini, Wesley Shrum, menambahkan bahwa "teoretisi
sosiologi tetap berkomitmen untuk mempelajari satu sama lain, bukan mempelajari subjek
yang mereka minati: dunia sosial".

Tidak mengherankan jika kesempatan-kesempatan untuk mempelajari "teori para


teoretisi" berkurang dengan cepat. Judith Butler mengamati dalam suatu wawancara terakhir
bahwa ketika ia menjadi mahasiswa di Yale, sangatlah mungkin untuk memperoleh suatu
pijakan yang kuat pada teori sosial klasik (2004). Ia menyatakan bahwa ini tidak lagi terjadi,
meskipun pada kenyataannya lebih banyak kesempatan di Yale dibandingkan di banyak
jurusan lain di Amerika. Maka dari itu, pemisahan teori para teoritisi dan sosiologi memiliki
konsekuensinya sendiri. Konsekuensi yang paling penting adalah bahwa reproduksi,
pengajaran oleh para teoretisi tentang teori para teoretisi di sosiologi Amerika sudah berhenti.
Mahasiswa sosiologi masih mempelajari beberapa teori di sejumlah jurusan, namun pengajaran
menyeluruh dalam teori umum dari sejumlah teks yang merupakan cara untuk masuk secara
normal bagi mahasiswa yang tertarik pada teori para teoritisi pada 1960-an dan awal 1970-an
tidak lagi ada saat ini. Yang terbaik adalah bahwa teori diperlakukan dengan sangat unik dalam
sejumlah jurusan sosiologi dan segelintir kelompok Teori diantara mahasiswa jurusan tersebut.
Namun, pengajarannya terbatas dan perasaan dalam kelompok yang lebih besar dengan
keyakinan utama, titik acuan dan minat bersama tidak lagi ada dalam sosiologi. Tidak pula
ketertarikan teoretis yang dianggap sebagai satu tiket untuk mendapatkan karir dalam sosiologi.
Kurangnya produksi dalam hal teori dan pensiunnya sejumlah pengajar teori untuk
menunjukkan bahwa terdapat sejumlah permintaan namun permintaan tersebut diisi oleh
sosiolog yang minatnya terhadap teori jelas bukan yang utama. Gambaran di luar Amerika
Serikat seringkali lebih baik, namun tekanan dan persaingannya tidaklah berbeda.

Lalu apa maknanya fakta institusional ini bagi masa depan teori sosial? Fakta tersebut
menunjukkan bahwa hubungan terdahulu dengan sosiologi sebagai suatu bidang semi Mandiri
dari teori sosial yang melakukan diskusi teori, dan memberikan gagasan-gagasan yang dapat
dipelajari secara empiris melalui hal ini, tidak lagi dimungkinkan. Hal ini adalah suatu
hubungan yang bertahan sebagian besar karena terpusatnya gagasan tentang sosiologi ilmiah
berdasarkan pada model fisika, kami aja sehari Rp20.000 yaitu hubungan dengan para peneliti
empiris dan teoretisi dalam dialog yang bermanfaat guna mencapai tujuan bersama tentang
ilmu pengetahuan empiris yang menyeluruh. Tujuan ini tidak lagi memotivasi siapapun, namun
hanya sekelompok sosiolog Amerika yang eksentrik. Penelitian yang memiliki konteks teoretis
dan didorong terutama oleh ketertarikan disipliner memang berlanjut -contohnya adalah
sosiologi ekonomi. Namun, saat ini dorongan intelektual utama dalam penelitian sosiologis
berasal dari hubungan-hubungan yang bersifat organik antara sosiolog dan gerakan sosial, yang
menggunakan gagasan teoretis, namun didorong terutama oleh pandangan-pandangan khusus
tentang penindasan dan luka yang berasal dari pengalaman pribadi dan terkait dengan berbagai
kebijakan dan program.
Namun, teori sosial terus berjalan, di dalam sosiologi dan semakin banyak di luar
sosiologi. Kekuatan-kekuatan yang sama yang mengakibatkan pemisahan antara teori sosial
dan sosiologi empiris telah mendekatkan teori sosial dengan teori politik, dengan topik seperti
kewarganegaraan dan tokoh seperti Arendt dan Schmitt, misalnya, serta dengan cabang
pemikiran lainnya seperti pragmatisme dan studi budaya dalam humaniora. Meskipun teori
dihilangkan dari sosiologi, pokok persoalannya berkembang, dalam berbagai latar belakang
dan bentuk. Durkheim, misalnya, setelah menjauhkan diri dari Parsons, menyatakan dirinya
sebagai teoretisi agama dan budaya: edisi terakhir tentang "mengajarkan tentang Durkheim"
diterbitkan oleh Akademi Agama Amerika, suatu asosiasi studi keagamaan, dan mencakup
bab-bab terkait mengajarkan tentang Durkheim di ruang kelas dari ilmuwan dalam berbagai
bidang - hanya satu di antaranya yang berasal dari jurusan sosiologi. Weber menjadi bagian
dari karya besar tentang teori politik. Bahkan, studi historis dan interpretasi keklasikan
berkembang pesat selama beberapa dekade terakhir dibandingkan dengan ketika keduanya
terikat pada proyek sosiologi ilmiah. Sejumlah pemikiran nya, misalnya pendekatan Chantal
Mouffe yang khas paham Schmitt terhadap teori demokrasi (1985, 1999), terikat dengan
politik. Namun pen dekatan ini juga berkeinginan untuk memperdebatkan dasar dan komitmen
nya dan untuk membandingkan dirinya sendiri dengan tradisi teoretis masa lalu dalam cara
yang tidak dilakukan sosiologi yang bersifat organik.

Desakan teori sosial dan kebertahanannya di luar sosiologi tidak perlu dijelaskan lagi.
Hal itu menunjukkan bahwa tradisi teori sosial lebih dalam dan lebih kaya dibandingkan
disiplin sosiologi yang menjadi tempatnya dengan penerapan norma-norma. Pemikiran ini
berkaitan terutama dengan Hobbes dan cenderung menggunakan konsep abad ke-18 beserta
argumen-argumen matematis yang kompleks untuk meng hasilkan analisis yang jelas dan
formal secara konseptual terkait masalah konvensi, norma, dan tatanan bersama. Dengan
berkembangnya gaya tekno etnis ini, permasalahan tambahan dalam filosofi politik mulai
dipertimbang. kan, dan mulai berasimilasi dan bahkan mengandalkan karya empiris dalam ilmu
sosial, terutama psikologi sosial, dengan cukup janggal. Ironisnya, teori sosial yang secara
konseptual sangat lemah ini dapat mengeluarkan lebih banyak ilmu pengetahuan sosial empiris
kontemporer daripada teori sosial itu sendiri, yang hampir tidak pernah menggunakan
penelitian seperti ini.

Rangkuman
Ulrich Beck mengatakan bahwa ide inti dari tradisi teori sosial adalah "zombie". konsep”
(2004: 152), bertahan tanpa berpikir dan tidak relevan dengan masa kini, dan dia menyerukan
revolusi konseptual: tidak begitu banyak teori sosial baru yang memperluas masa lalu sebagai
pengganti lengkap untuk itu. Jika skeptis seperti Beck benar, tidak ada menunjukkan
ekstrapolasi dari masa lalu pra-disiplin teori sosial: teori sosial seperti yang diketahui sampai
sekarang benar-benar mati. Jika skeptis seperti Shrum benar, akhir dari perannya dalam
kaitannya dengan sosiologi akan menjadi tujuan akhir. Tapi para skeptis salah. Dikatakan
bahwa di halaman komentar Financial Times, sebuah surat kabar dibaca paling rajin oleh elit
internasional, Weber secara rutin dipanggil - jauh lebih sering daripada sosiologi empiris, dan
lebih sering daripada semacam "sosiologi publik" yang bercita-cita untuk mempengaruhi opini
publik. Penonton dari Financial Times tertarik untuk memahami dunia dan tunduk pada disiplin
yang ditimbulkan oleh Aron. Fakta bahwa teks-teks berusia seabad membantu mereka
melakukannya adalah bukti cukup bahwa konsep teori sosial klasik, jauh dari Zombie, adalah
sering berguna seperti biasa, dan bahwa kebutuhan tetap ada. Teori sosial berubah dalam
menghadapi tantangannya. Tapi itu perlu banyak berubah.

Daftar Pustaka

Alexander, J. (2006) The Civil Sphere. New York: Oxford University Press.
Aron, R. (1990) Memoirs: Fifty Years of Political Reflection, trans. G. Holoch. New York:
Holmes & Meier.
Barnes, H. E. (ed.) (1948) An Introduction to the History of Sociology. Chicago: University
of Chicago Press.
Barnes, H. E., and Becker, H. (1961 [1938]) Social Thought from Lore to Science, 3rd edn.
New York: Dover Publications.
Bauman, Z. (2000) Liquid Modernity. Cambridge: Polity.
Beck, U. (2004) “The Cosmopolitan Turn,” in N. Gane (ed.), The Future of Social Theory.
London: Continuum.
Becker, E. (1971) The Lost Science of Man. New York: G. Braziller.
Bendix, R. (1960) Max Weber: An Intellectual Portrait. Garden City, NY: Doubleday.
Berger, P. L., and Luhmann, T. (1966) The Social Construction of Reality: A Treatise in the
Sociology of Knowledge. Garden City, NY: Doubleday.
Bicchieri, C. (2006) The Grammar of Society: The Nature and Dynamics of Social Norms.
Cambridge: Cambridge University Press.
Bourdieu, P. (1977 [1972]) Outline of a Theory of Practice, trans. R. Nice. Cambridge:
Cambridge University Press.
Bourdieu, P., and Passeron, J.-C. (1977) Reproduction in Education, Society and Culture,
trans. R. Nice. London: Sage.
Burawoy, M. (2005) “For Public Sociology.” Address to the American Sociological Associa-
tion, San Francisco, Aug. 15, 2004. American Sociological Review 70(1): 4–28.
<http://
www2.asanet.org/pubs/2004PresidentialAddressASR.pdf>.
Butler, J. (2004) “Reanimating the Social,” in N. Gane (ed.), The Future of Social Theory.
London: Continuum.

Anda mungkin juga menyukai