Anda di halaman 1dari 13

TEORI PERUBAHAN SOSIAL PITIRIM SOROKIN

MAKALAH
Diajukan untuk mememuhi salah satu tugas mata kuliah Sosiologi Klasik yang
diampu oleh Dra. Hj. Siti Komariah, M.Si., Ph.D

Disusun oleh :

Devi Sri Wahyuni (1600960)


Revi Nurmaola Salam (1603703)
Tiara Aulia Putri (1601025)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Pitirim Sorokin adalah ilmuwan Rusia yang mengungsi ke Amerika


Serikat sejak Revolusi Komunis 1917. Ia lahir di Rusia pada tahun 1889 dan
memperoleh pendidikan di Universitas St Petersburg. Kemudian Sorokin
mengajar disana yang kemudian Ia mendirikan Departemen Sosiologi. Pitirim
menempuh pendidikan di Universitas St Petersburg setelah itu ia mengajar pada
bidang sosiologi dan hukum. Sorokin dipenjarakan tiga kali oleh rezim tsar Rusia
Kekaisaran; selama Revolusi Rusia ia adalah seorang anggota dari Alexander
Kerensky 's Pemerintahan Sementara Rusia.
Setelah Revolusi Oktober dia terlibat dalam kegiatan anti-Komunis, yang
kemudian ia dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah Komunis yang menang pada
saat itu. Namun ia berhasil lari ke pengasingan dan bebas dari hukuman. Pada
1923 ia beremigrasi ke Amerika Serikat dan menetap secara tetap pada tahun
1930. Sorokin adalah profesor sosiologi di University of Minnesota (1924-30) dan
di Universitas Harvard (1930-55), di mana ia mendirikan Departemen Sosiologi.
Karya- karyanya antara lain sebagai berikut :
1. Social Cultural and Dynamics (1941),
2. The Crisis of Our Age (1941),
3. Society, Culture and Personality (1947).
BAB II
TEORI

A. Teori Perubahan Sosial


Pitirim A Sorokin merupakan salah satu sosiolog yang terkenal, pitirim
sendiri lahir di Rusia pada tahun 1889 di rusia dan memperoleh pendidikan di
Universitas St. Petersburg. Setelah mendapatkan kedudukan akademis di sana, ia
kemudian mendirikan Departemen sosiologi, iapun menjadi ketua di departemen
tersebut. Pada awalnya, karier Sorokin terganggu oleh adanya revolusi komunis
pada waktu itu, sebab pitirim merupakan salah satu orang yang anti komunisme.
Oleh karena itu, iapun pernah ditahan dan dijatuhi hukuman mati, akan tetapi
hukuman tersebut akhirnya diubah dan diganti dengan hukuman pembuangan.
Sorokin pun akhirnya dibuang di cekoslowakia. Pada tahun 1924, ia kemudian
pindah ke Amerika Serikaat, di sana ia bergabung dengan Universitas Harvard,
dan beberapa tahun kemudian mendirikan Center For Creative Altruism. Pitirim
juga memiliki banyak karya, diantaraya yaitu: Social Cultural and
Dynamics (1941), The Crisis of Our Age (1941), Society, Culture and
Personality (1947).
Sorokin pun juga menjelaskan beberapa teori teori mengenai sosiologi,
diantaranya yang pertama yaitu tentang teori siklus perubahan sosial. Sorokin
memusatkan perhatiannya pada tingkat budaya, dengan menekankan pada arti,
nilai, norma dan simbol sebagai kunci untuk memahami kenyataan sosial-budaya.
Sorokin juga menekankan adanya saling ketergantungan antara pola-pola budaya.
Ia percaya bahwa masyarakat adalah suatu sistem interaksi dan kepribadian
individual. Tingkat tertinggi integrasi sistem-sistem sosial yang paling mungkin
didasari pada seperangkat arti, nilai, norma hukum yang secara logis dan tetap
mengatur interaksi antara kepribadian-kepribadian yang ada didalam masyarakat.
Tingkat yang paling rendah dimana kenyataan sosial-budaya dapat dianalisa pada
tingkat interaksi antara 2 orang atau lebih. Sorokin mengemukakan teori yang
berlainan, ia menerima teori siklus seperti hukum fatum ala Oswald Spengler
dalam karya yang berpengaruhnya Der Untergang des Abendlandes (Decline of
the West) atau Keruntuhan Dunia Barat/Eropa. Spengler meramalkan keruntuhan
Eropa yang didasarkan atas keyakinan bahwa gerak sejarah ditentukan oleh
hukum alam. Dalil Spengler ialah bahwa kehidupan sebuah kebudayaan dalam
segalanya sama dengan kehidupan tumbuhan, hewan, manusia dan alam semesta.
Persamaan itu berdasarkan kehidupan yang dikuasai oleh hukum siklus sebagai
wujud dari fatum. Sorokin menilai gerak sejarah dengan gaya, irama dan corak
ragam yang kaya raya dipermudah, dipersingkat dan disederhanakan sehingga
menjadi teori siklus. Sorokin menyatakan bahwa gerak sejarah
menunjukkan fluctuation of age to age, yaitu naik turun, pasang surut, timbul
tenggelam. Ia menyatakan adanya cultural universal dan di dalam alam
kebudayaan itu terdapat masyarakat dan aliran kebudayaan. Di alam yang luas ini
terdapat 3 tipe yang tertentu, yaitu pertama, sistem ideasional, yaitu kerohanian,
keagamaan, ketuhanan, dan kepercayaan.kedua yaitu, sistem inderawi, yaitu serba
jasmaniah, mengenai keduniawian, dan berpusat pada pancaindera. Ketiga yaitu,
sistem campuran, yaitu perpaduan dua sistem sebelumnya (idealistic).
B. Teori Integritas Sosial Budaya
Teori kedua yang diungkapkan oleh Sorokin yaitu mengenai Intergrasi
sosial dan budaya. Satu alaasan yang memungkinkan martindale melihat Sorokin
sebagai seorang organisis, dapat dilihat pada tekanan Sorokin pada pemahaman
system sosio-budaya secara keseluruhan. Prespektif organis menekannkan
kenyataan masyarakat yang independen dan tradisi-tradisi budayanya sebagai
suatu sistem yang intregritas. Analisa Sorokin mengenai dinamika sistem-sistem
sosio budaya yang terintregitas secara luas dalam empat karangan utamanya,
Social and Culture Dynamic, sejalan dengan pendekatan ini. Alasan penting
lainnya untuk melihat Sorokin sebagai seorang ahli teori organis tanpa asumsi-
asumsi positivis adalah penolakan Sorokin untuk membatasi konsepnya mengenai
kebenaran pada data empiris, sebaliknya dia menunjukkan suatu kerelaan untuk
menerima suatu konsep mengenai kebenaran dan pengetahuan yang bersifat
multidimensi, dengan data empiris memberikan sebagian pengetahuan. Sejalan
dengan penekanan Sorokin pada arti-arti subyektif, hal itu memisahkan dia dari
kelompok-kelompok positivis yang menekankan pada empiris sebagai satu-
satunya sumber pengetahuan yang sah.
Sorokin sendiri menilai tidak tepat klasifikasi Martindale yang
memasukkan pendekatannya kedalam suatu prespektif organis. Bukan
mengasumsikan integrasi menyeluruh yang ditekankan Sorokin. Dia menekankan
pentingnya mengetahui tingkat integrasi yang berbeda, dan mengkhususkan
tingkat dimana aspek-aspek yang berbeda dalam kenyataan sosio-budaya itu dapat
dikatakan terintegrasikan. Juga berbeda sekali dengan penekanan kelompok
organis pada pola-pola pertumbuhan dan kemunduran yang tidak berubah yang
dilalui system-sistem budaya. Sorokin menekankan tingkat variabilitas yang
tinggi yang diperlihatkannya. Tema-tema budaya dasar mungkin terulang, tetapi
pengulangan itu menunjukkan pola-pola yang berubah. Setiap tahap sejarah
masyarakat memperlihatkan beberapa unsur yang kembali berulang (artinya,
pengulangan tahap yang terdahulu) dan ada beberapa daripadanya yang unik.
Sorokin mengacu pada pola-pola perubahan budaya jangka panjang yang bersifat
“berulang-berubah” (Varyingly Recurrent ).
Penekanan Sorokin pada berulangnya tema-tema dasar dimaksudkan untuk
linear yang meliputi gerak dalam satu arah saja dalam hal ini Sorokin berbeda dari
Comte yang percaya akan kemajuan yang mantap dalam perkembangan
intelektual manusia.
Pendekatan Sorokin yang bersifat “integralis” itu memungkinkan dia
untuk mengkritik dengan keras gagasan bahwa semua pengetahuan kita akhirnya
berasal dari data empiris. Sebaliknya dia mengemukakan bahwa data empiris
hanya memperlihatkan satu tipe kebenaran. Yakni kebenaran indrawi. Juga ada
kebenaran akal budi dan yang ketiga adalah kebenaran kepercayaan atau
intuisi,yang melampaui data indrawi dan rasional.
C. Teori Mentalitas Budaya
1. Kebudayaan Ideasional
Kebudayaan ini merupakan prinsip atau dasar berpikir yang
menyatakan bahwa Tuhan sebagai realitas tertinggi dan paling benar. Dunia
dipandang sebagai suatu ilusi, sementara dan tak sempurna tergantung pada
alam trasenden. Sorokin membagi lagi kebudayaan ideasional ini menjadi dua
bagian yaitu ideasional asketik dan aktif. Mentalitas kebudayaan ideasional
asketik menunjukan keterikatan pada tanggung jawab untuk mengurangi
sebanyak mungkin kebutuhan duniawi atau material agar mudah terserap ke
dalam alam trasenden, dengan kata lain manusia mengambil jarak terhadap
dunia. Sedangkan, mentalitas budaya aktif selain mengurangi kebutuhan
duniawi juga berusaha mengubah dunia material agar selaras dengan alam
trasenden. Manusia berusaha menyeimbangkan kebutuhan material dengan
kebutuhan spiritual. Secara sederhana, kebudayaan ideasional individu
didalamnya menganggap bahwa spiritual merupakan kebutuhan dasar dan
meyakini bahwa kebenaran diungkapkan oleh Tuhan melalui individu
tertentu, intuisi atau wahyu langsung. Sedangkan mengenai kebebasan
kebudayaan ideasional ini mengartikannya sebagai kemerdekaan batin yang
berakar di dalam penghargaan dan pengendalian hawa nafsu dan hasrat yang
membara.
2. Kebudayaan Inderawi
Kebudayaan ini merupakan dasar berpikir bahwa dunia nyata adalah
realitas dan nilai tertinggi serta satu-satunya kenyataan yang ada. Eksistensi
kenyataan trasenden disangkal. Sorokin membagi mentalitas budaya ini
menjadi tiga bagian yaitu:
a. Inderawi aktif yaitu mendorong usaha aktif manusia guna meningkatkan
sebanyak mungkin pemenuhan kebutuhan material dengan mengubah
dunia fisik sedemikian rupa sehingga menghasilkan sumber-sumber
kepuasan dan kesenangan. Disini manusia berusaha mengendalikan,
menguasai dan bahkan memanipulasi alam. Upaya manusia untuk
eksplorasi alam itulah yang kemudian menjadi dasar pertumbuhan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. Inderawi pasif yaitu hasrat untuk menikmati kesenangan duniawi
setinggi-tingginya. Kebudayaan ini digambarkan oleh Sorokin sebagai
suatu ekploitasi parasit dengan moto “makan, minum dan kawinlah
karena besok kita mati.” Dalam hal ini manusia berusaha mendapatkan
kesenangan dan kepuasan yang sebesar-besarnya dan menghindari
ketidaksenangan.
c. Inderawi sinis yaitu dikejarnya kesenangan tersebut dibenarkan oleh
rasionalisasi ideasional, dengan kata lain mentalitas kebudayaan ini
menunjukan usaha yang bersifat munafik yang membenarkan pencapaian
tujuan material dengan menunjukan sistem nilai trasenden yang pada
dasarnya ditolak. Dalam konteks agama, hal seperti ini dikenal dengan
ekonomisasi agama yang dalam arti lain Tuhan dijadikan komoditas untuk
memperoleh keuntungan secara ekonomi.

Kebudayaan inderawi ini memusatkan perhatian pada kebutuhan fisik


dan mencoba memuaskan perasaan dengan memenuhi kebutuhan fisik
tersebut. berkenaan dengan kebenaran maka kebudayaan ini mengatakan
bahwa kebenaran hanya dapat diperoleh melalui perasaan dan kebebasan
merupakan kemampuan individu untuk melakukan apa saja yang
diinginkannya.

3. Kebudayaan Campuran
Gabungan antara kebudayaan ideasional dengan kebudayaan inderawi
aktif. Kultur gabungan mengakui bahwa ada sebagian kebenaran dapat
diperoleh melalui intusisi atau wahyu, dan sebagian lagi diperoleh lewat
perasaan. Begitu pula dengan realitas dan nilai. Ada realitas yang dapat
ditangkap oleh pancaindera dan ada pula yang tidak bisa ditangkapnya. Yang
tidak bisa ditangkap oleh pancaindera itu dapat dijelaskan oleh kultur
ideasional. Singkatnya, Sorokin mengakui sifat multidimensionalitas dari
realitas itu sendiri.
a. Kebudayaan Idealistis
Kebudayaan ini terdiri dari suatu campuran organis dari mentalitas
ideasional dan inderawi sedemikian, sehingga keduanya dapat dilihat
sebagai pengertian-pengertian yang absah mengenai aspek-aspek
tertentu dari kenyataan akhir. Dengan kata lain, dasar berpikir kedua
tipe mentalitas ini secara sistematis dan logis saling berhubungan.
b. Kebudayaan Ideasional Tiruan (Pseudo-Ideational Culture)
Tipe ini khususnya didominasi oleh pendekatan inderawi, tetapi unsur-
unsur ideasional hidup secara berdampingan dengan yang inderawi,
sebagai suatu prespektif yang saling berlawanan. Tidak seperti tipe a
diatas, kedua perspektif yang saling berlawanan ini tidak terintegrasi
secara sistematis, kecuali sekedar hidup berdampingan sejajar satu
sama lain.
Bertautan dengan tipe-tipe budaya di atas, Sorokin mengatakan bahwa
tidak ada keanekaragaman total dalam setiap sistem kebudayaan empiris.
Tidak ada supersistem yang benar-benar memonopoli, dalam arti tanpa
berdampingan secara damai dengan sistem-sistem lain. Selain itu, Sorokin
pun menegaskan bahwa ketiga pola di atas tidak bisa diartikan bahwa sistem
kebudyaan tertentu hanyalah semacam rekapitulasi sistem kebudayaan
terdahulu sehingga lingkaran perubahan akan berarti seolah-olah kultur
inderawi, misalnya akan berputar kembali ke tipe kultur yang ada di zaman
ideasional. Tak ada pola menurut garis lurus dalam sejarah. Proses sosial
ditandai oleh pola perkembangan kebudayaan yang melingkar.

BAB III
KRITIK TEORI PITIRIM SOROKIN
A. Pemikiran William F. Ogburn mengenai perubahan sosial

Sorokin menawarkan teori siklus yang imajinatif dan mengesankan


yang didukung oleh data dalam kurum waktu yang cukup panjang. nilai
penting dari karyanya terletak dari usaha beliau untuk melakukan pendekatan
historis terhadap studi perubahan sosial. ia membicarakan perubahan sebagai
sesuatu yang normal daripada sebagai sejenis penyimpangan. selain itu,
sorokin tetap optimis terhadap masa depan sosio kultur manusia. bagi
sorokin, kehancuran sistem sosio – cultural tidak berarti kembali ke tingkat
barbarism, tetapi merupakan awal kehidup baru. kematian kultur indrawi,
misalnya berarti bahwa kita akan menuju ke arah dalam “punack
kecemerlangn kultur ideasional atau kultur gabungan baru”, dan karena itu
missi kultur dan budaya masyarakat barat yang kreatif itu akan terus
berlanjut.
kendatipun demikian ada beberapa hal yang patut dikritisi secara
cermat, pertama, Sorokin kurang memperhaikan faktor sosial psikologis dan
mengabaikan kebutuhan manusia untuk berprestasi. kebutuhan manusia untuk
berprestasi iyulah yang mendorongnya untuk maju dan berkembang termasuk
cara berpikir dan cara memandang dunia. Dengan kemampuan manusia maka
manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
melakukan inovasi sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman.
Berkaitan dengan gambaran profesinya mengenai berakhirnya kultur
barat di masa depan terkesan simplitis dan terlalu berlebihan. Gagasan-
gagasan sorokin cenderung hanya interpretasi atas peristiwa-peristiwa empiris
menurut model perubahan sosio-budaya yang bersifat umum daripada
menganalisis peristiwa-peristiwa tersebut.
Demikian halnya ahli-ahli lain pun bisa melakukan hal yang sama
seperti yang dilakukan sorokin. tetapi hasil interpretasi atas peristiw-peristiwa
itu tidak mesti percis sama. karena menginterpretasi suatu peristiwa tidak bisa
dilepaskan dari latar belakang seseorang, cara berpikirnya, nilai yang
dianutnya, dan kepentingannya, termasuk ideologi. sorokin ketika
menginterpretasi budaya barat tidak terlepas dari hal-hal semacam itu.
Berkaitan dengan pendekata historis yang digunakannya. dalam
menganalisis perubahan sosial budaya, sorokin menggunakan model teoretis
untuk melihat data dan menafsirkan data itu berdasarkan model yang telah
dibuatnya. akibatnya sulit sekali untuk membayangkan bagaimana data yang
sama dapat dipakai untuk mendukung suatu model tertentu adalah bahwa data
itu bisa jadi menyimpang dari model yang digunakan untuk menafsirkannya,
jadi, ada semacam kecenderungan umumdalam analisis sorokin, terutama
mengenai derajat integrasi budaya dalam kurun waktu yang reltif stbil, untuk
terlampau ditekankan dan terlampu menarik garis putus antara tahap-tahap
yang berbeda.
Sorokin cenderung menyeragamkan mentalitas budaya atau cara
berpikir dalam suatu tahap dan secara tidak langsung mematikan mentalitas
budaya atau cara berpikir rakyat biasa atau massa. Melebih-lebihkan
mentalitas budaya akan menimbulkan mala pelaka untuk masyarakat
kebanyakan yang dalam hal ini mentalitas budaya elit lah yang cenderung
lebih ditonjolkan khususnya dalam 3 tahap mentalitas kebudayaan.

B. Pemikiran William F. Ogburn mengenai perubahan sosial

Perubahan sosial yaitu yang mencakup unsur-unsur kebudayaan baik material


maupun immaterial yang menekankan adanya pengaruh besari dari unsur-unsur
kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Kebudayaan materiil disini
sumber utama kemajuan. Aspek kebudayaan non-materiil harus menyesuaikan diri
dengan perkembangan kebudayaan materiil, jurang pemisah antara keduanya akan
menjadi suatu permasalahan sosial. Ogburn pun berpendapat bahwa teknologi
merupakan mekanisme yang mendorong perubahan, dimana manusia akan
selamanya berupaya memelihara dan menyesuaikan diri dengan alam yang
senantiasa diperbaharui oleh teknologi. Ogburn memusatkan perhatian pada
perkembangan teknologi dan ia menjadi terkenal karena mengembangkan ide
mengenai ketertinggalan budaya dan penyesuaian tak terelakkan dari faktor-faktor
kebudayaan terhadap teknologi.
Teori Materialis yang disampaikan oleh William F. Ogburn pada intinya
mengemukakan bahwa:
1. Penyebab dari perubahan adalah adanya ketidakpuasan masyarakat karena
kondisi sosial yang berlaku pada masa yang mempengaruhi pribadi mereka.
2. Meskipun unsur-unsur sosial satu sama lain terdapat hubungan yang
berkesinambungan, namun dalam perubahan ternyata masih ada sebagian yang
mengalami perubahan tetapi sebagian yang lain masih dalam keadaan tetap
(statis). Hal ini juga disebut dengan istilah cultural lag, ketertinggalan
menjadikan kesenjangan antar unsur-unsur yang berubah sangat cepat dan
yang berubah lambat. Kesenjangan ini akan menyebabkan kejutan sosial pada
masyarakat. Ketertinggalan budaya menggambarkan bagaimana beberapa
unsur kebudayaan tertinggal di belakang perubahan yang bersumber pada
penciptaan, penemuan dan difusi. Teknologi, menurut Ogburn, berubah
terlebih dahulu, sedangkan kebudayaan berubah paling akhir. Dengan kata lain
kita berusaha mengjar teknologi yang terus menerus berubah dengan
mengadaptasi adat dan cara hidup kita untuk memenuhi kebutuhan teknologi.
Teknologi menyebabkan terjadinya perubahan sosial cepat yang sekarang
melanda dunia.
3. Perubahan teknologi akan lebih cepat dibanding dengan perubahan pada
perubahan budaya, pemikiran, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma yang
menjadi alat untuk mengatur kehidupan manusia. Oleh karena itu, perubahan
seringkali menghasilkan kejutan sosial yang yang apada gilirannya akan
memunculkan pola-pola perilaku baru, meskipun terjadi konflik dengan nilai-
nilai tradisional.

BAB IV
KESIMPULAN
Pitirim A Sorokin merupakan salah satu sosiolog yang terkenal, pitirim
sendiri lahir di Rusia pada tahun 1889 di rusia dan memperoleh pendidikan di
Universitas St. Petersburg. Sorokin pun juga menjelaskan beberapa teori teori
mengenai sosiologi, diantaranya yang pertama yaitu tentang teori siklus
perubahan sosial. Sorokin memusatkan perhatiannya pada tingkat budaya, dengan
menekankan pada arti, nilai, norma dan simbol sebagai kunci untuk memahami
kenyataan sosial-budaya. Sorokin juga menekankan adanya saling ketergantungan
antara pola-pola budaya.
Teori kedua yang diungkapkan oleh Sorokin yaitu mengenai Intergrasi
sosial dan budaya. Satu alaasan yang memungkinkan martindale melihat Sorokin
sebagai seorang organisis, dapat dilihat pada tekanan Sorokin pada pemahaman
system sosio-budaya secara keseluruhan. Prespektif organis menekannkan
kenyataan masyarakat yang independen dan tradisi-tradisi budayanya sebagai
suatu sistem yang intregritas. Sorokin pun mengelompokkan pola-pola mentalitas
budaya ke dalam tiga bagian yaitu kebudyaan ideasional, kebudayaan inderawi
dan kebudayaan campuran.
Sorokin cenderung menyeragamkan mentalitas budaya atau cara berpikir
dalam suatu tahap dan secara tidak langsung mematikan mentalitas budaya atau
cara berpikir rakyat biasa atau massa. Melebih-lebihkan mentalitas budaya akan
menimbulkan mala pelaka untuk masyarakat kebanyakan yang dalam hal ini
mentalitas budaya elit lah yang cenderung lebih ditonjolkan khususnya dalam 3
tahap mentalitas kebudayaan.

DAFTAR PUSTAKA

Benford, Robert D. (1998). Social Issues. New York: MacMillan Compedium


Gardner, Roberts. (2000). Social Theory: Continuity and Confrontation: A reader.
Ontario: View Press.
Johnson, Doyle Paul. (1990). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta:
Gramedia.
Lauer, Robert H. (2001). Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka
Cipta
McClelland, David. (1987). Memacu Masyarakat Berprestasi. Terj. Siswo Siyanto
& W.W. Bakowatun. Jakarta: Intermedia.
Ritzer, George. (1992). Sociological Theory. Third Edition. New York: McGraw-
Hill

Anda mungkin juga menyukai