Anda di halaman 1dari 7

KASUS TOLIKARA PAPUA

HUMAS POLRI BRIGJEN POL AGUS RIANTO - Kasus Tolikara Papua bermula
pada hari Jumat, 17 Juli 2015(1 Syawal 1436 H) saat umat Islam di Karubaga Kabupaten
Tolikara hendak melaksanakan shalat Idul Fitri bertempat di lapangan Koramil. Pendeta
Marthen Jingga dan sdr. Harianto Wanimbo (koorlap) yang menggunakan megaphone
berorasi dan menghimbau kepada jamaah Idul Fitri untuk tidak melaksanakan ibadah
tersebut.
Saat memasuki Takbir ketujuh, massa Pendeta Marthen Jingga dan Harianto wanimbo
(Koorlap) mulai berdatangan dan melakukan aksi pelemparan batu dari bandara Karubaga
dan luar lapangan serta meminta secara paksa pembubaran Shalat Id sehingga
mengakibatkan jamaah panik. Umat muslim yang hendak shalat kaget dan langsung
melarikan diri ke Koramil dan Pos 756/WMS untuk meminta perlindungan. Sepeninggal
umat muslim itu, masjid di Kabupaten Tolikara dibakar umat Nasrani sekitar pukul 07. 00
WIT, Jumat (17/7).
Pada sekitar pukul 07.20 WIT, Aparat keamanan dari kesatuan Brimob dan Yonif 756
yang melakukan pengamanan mencoba mengusir para pelaku hingga mengeluarkan
tembakan peringatan guna membubarkan massa yang melakukan pelemparan ke arah jamaah.
Menurut Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, inti persoalan adalah orang-orang nasrani
merasa terganggu dengan speaker masjid umat Muslim yang akan melakukan shalat Idul
Fitri. Umat Nasrani mengklaim suara speaker yang dipasang di tengah lapangan menggangu
ketenangan umum. Mereka kemudian meminta umat Muslim untuk membubarkan kegiatan
shalat Idul Fitri tersebut. Hal itu berujung pada perang mulut antara kedua kubu. Saat itulah
kelompok nasrani melempari masjid dengan api hingga terbakar. Kepolisian Papua
melaporkan, selain Masjid, enam rumah dan 13 kios dilaporkan ikut terbakar (ROL,
17/7/2015).
Bupati Tolikara, Papua, Usman Wanimbow meminta maaf kepada umat muslim atas
terjadinya insiden penyerangan. "Saya selaku Bupati atas nama seluruh warga Tolikara
mohon maaf atas kejadian yang telah menyakiti umat muslim di Tolikara ini," kata Usman di
Karubaga, Sabtu (18/7/2015). Selain minta maaf Usman juga membantah adanya pembakaran
masjid secara sengaja saat terjadinya insiden tersebut.
Menurutnya yang terjadi adalah sebuah Mushala ikut terbakar ketika massa
membakar rumah dan kios milik warga, dan akibat aksi pembakaran tersebut ada 63 unit
rumah dan kios, 1 musala dan 1 mobil terbakar. Penembakan aparat mengakibatkan 1 warga
sipil meninggal dunia, 2 luka berat, dan 8 luka ringan.
Sebelum kejadian, ada sebuah surat selebaran yang mengatasnamakan Jemaat GIDI
(Gereja Injili di Indonesia) ditujukan kepada umat Islam Kabupaten Tolikara. Isinya
menyatakan bahwa pada tanggal 13-19 Juli 2015 ada seminar dan KKR Pemuda GIDI
Tingkat Internasional. GIDI melarang membuka Lebaran tanggal 17 Juli 2015 di Wilayah
Kabupaten Tolikara (Karubaga). Dilarang kaum muslimat memakai Yilbab (Jilbab). Surat
tersebut ditandatangani oleh Pendeta Mathen Jingga S.Th Ma dan Pendeta Nayus Wenda
S.Th. Surat tertanggal 11 Juli 2015 dan dikirimkan tembusannya kepada Bupati Tolikara,
Ketua DPRD Tolikara, Polres Tolikara, serta Danramil Tolikara.
Terkait surat tersebut, Presiden GIDI, Dorman Wandikbo mengakui memang ada
surat edaran berisi larangan adanya kegiatan Lebaran bagi umat Islam. Namun dia
menegaskan, isi surat tersebut keliru dan sudah diklarifikasi sebelum peristiwa pembakaran
mushala terjadi. "Sudah saya klarifikasi bahwa isi surat itu tidak benar dan salah. Karena
tidak ada yang boleh melarang umat Islam beribadah di hari raya," kata Dorman(Jumat
(17/07). Dorman juga mengaku sudah memberitahukan kepada GIDI Wilayah Tolikara
selaku pembuat dan penanggungjawab keluarnya surat edaran tersebut. "Gereja tidak
melarang kegiatan ibadah umat muslim di Wilayah Tolikara. Ini hanya kesalahfahaman dan
miss komunikasi antara petugas Polres Tolikara," kata Dorman.
Atas kejadian tersebut, Direktur Jenderal Bimas Kristen, Oditha R Hutabarat,
menyatakan, pihaknya telah menghubungi ketua Sinode Gereja Injil di Indonesia (GIDI)
untuk meminta keterangan sekaligus meminta mereka menyampaikan permohonan maaf.
"Saya telah menghubungi ketua Sinode GIDI agar segera membuat surat penjelasan
kronologis kejadian sekaligus pernyataan permohonan maaf kepada umat Islam Indonesia
terkait dengan peristiwa itu," kata Hutabarat, di Jakarta, Jumat (17/7). Diakui bahwa sejak
lama kegiatan misionaris asing tanpa kenal lelah banyak mengunjungi pedalaman Irian
dalam penyebaran agama Kristen.
Tokoh masyarakat yang mewakili umat Islam dan umat Kristen di Kabupaten
Tolikara, Papua, sepakat untuk menyelesaikan secara adat terkait insiden yang menyebabkan
sejumlah kios dan mushala terbakar pada perayaan Idul Fitri beberapa waktu lalu. Umat
Islam dan Kristen di Tolikara sepakat untuk saling memaafkan.
Kesepakatan itu ditandatangani bersama oleh Ustaz Ali Mukhtar (Imam Masjid Tolikara),
Ustaz Ali Usman, Pendeta Nayus Wonda, Pendeta Marthen Jingga, dan Pendeta Imanuel B Genongga
pada Rabu (29/7/2015).
Kesepakatan penandatanganan itu juga disaksikan oleh Ketua NU Provinsi Papua Tonny V M
Wanggai, Presiden Gereja Injili di Indonesia Pendeta Dorman Wandikbo, dan Ketua Forum
Kerukunan Umat Beragama Provinsi Papua Pendeta Lipiyus Biniluk.
Berikut salinan dokumen yang didapat Kompas.com dari Ustaz Ali Mukhtar:
"Kesepakatan Bersama Umat Islam dan Umat Kristen di Karubaga, Kabupaten Tolikara
Pada hari ini Rabu, Tanggal Dua Puluh Sembilan bulan Juli tahun Dua Ribu Lima Belas, kami yang
bertanda tangan di bawah ini, mewakili Umat Islam dan Umat Kristen di Karubaga Kabupaten
Tolikara, dengan ini menyatakan:
1. Insiden pada hari raya Idul Fitri, Jumat 17 Juli 2015 di Karubaga Kabupaten Tolikara bukan
konflik agama, tetapi adanya miskomunikasi di antara kami, dan kami menyatakan rasa duka atas
jatuhnya korban baik jiwa maupun materiil.
2. Kami saling maaf memaafkan dengan tulus.
3. Kami sepakat penyelesaian yang kami tempuh adalah penyelesaian adat sehingga proses hukum
harus dihentikan.
4. Kami sepakat membangun kembali mushalla.
5. Kami sepakat untuk melaksanakan pemantauan kesepakatan secara berkala untuk merawat
kerukunan dan perdamaian.
6. Kami saling menjaga, menghormati, dan menyerukan kepada seluruh umat beragama di Indonesia
agar tetap menghormati Umat GIDI dan Umat Islam untuk bebas menjalankan ibadahnya seperti
biasa.
7. Kami menyerukan kepada pemerintah untuk menjamin kebebasan menjalankan agama dan
keyakinan beserta pendirian rumah ibadah.
Kesepakatan ini lahir tidak hanya dari keresahan, keprihatinan, dan kecemasan kami, tetapi berakar
dari pengalaman hidup damai dan bermartabat antara umat Kristen dan Islam di Karubaga
Kabupaten Tolikara, selama bertahun-tahun serta harapan yang lebih damai, adil, dan bermartabat
bagi kami.
Jayapura, 29 Juli 2015
Kepala Polri Jenderal Pol Badrodin Haiti meminta Kepala Polda Papua yang baru dilantik,
Brigjen Pol Paulus Waterpaw, untuk mengusut tuntas kasus kerusuhan di Tolikara, Papua. Pengusutan
tuntas kasus itu, demi terciptanya stabilitas keamanan sosial dan politik di Papua jelang pemilihan
umum kepala daerah serentak pada Desember 2015.
Badrodin juga meminta Paulus membangun kerukunan antar-umat beragama melalui tugas
pokok dan fungsi kepolisian. Badrodin ingin agar Papua menjadi contoh yang baik soal kerukunan
antarumat beragama.
Brigjen (Pol) Paulus Waterpauw pun mengaku akan memprioritaskan penyelesaian kasus
kerusuhan di Tolikara. "Saya pikir prioritasnya adalah kasus Tolikara dulu," ujar Paulus di ruang
Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Jumat (31/7/2015). Setelah itu, fokus kerja jajarannya adalah
mempersiapkan pemilihan kepala daerah yang digelar serentak pada Desember 2015.

2. ANALISIS TERHADAP KASUS TOLIKARA PAPUA


Kasus di Tolikara, Papua (17 Juli 2015) berkaitan dengan disintegrasi ideologi, yakni
ideologi Islam dan Nasrani. Konflik seperti ini mungkin sudah tak asing lagi di telinga kita.
Sejak dulu sudah sering terjadi konflik yang mengusung nama agama seperti konflik Ambon
dan Poso, bahkan banyak juga kasus-kasus di di dunia internasional seperti seperti
penembakan Charlie Hebdo di Perancis, penembakan di Texas, kasus ISIS, kasus di Lindt
Cafe terkait dengan agama, yaitu penghinaan Nabi Muhammad dan lain sebagainya. Kasus-
kasus tersebut seperti memojokkan umat muslim.
Menurut Humas Polri Brigjen Pol.Agus Rianto Kasus Tolikara Papua bermula pada
hari Jumat, 17 Juli 2015(1 Syawal 1436 H) saat umat Islam di Karubaga Kabupaten Tolikara
hendak melaksanakan shalat Idul Fitri bertempat di lapangan Koramil. Pendeta Marthen
Jingga dan sdr. Harianto Wanimbo (koorlap) yang menggunakan megaphone berorasi dan
menghimbau kepada jamaah Idul Fitri untuk tidak melaksanakan ibadah tersebut.
Saat memasuki Takbir ketujuh, massa Pendeta Marthen Jingga dan Harianto wanimbo
(Koorlap) mulai berdatangan dan melakukan aksi pelemparan batu dari bandara Karubaga
dan luar lapangan serta meminta secara paksa pembubaran Shalat Id sehingga
mengakibatkan jamaah panik dan melarikan diri ke Koramil dan Pos 756/WMS untuk
meminta perlindungan. Sepeninggal umat muslim itu, masjid di Kabupaten Tolikara dibakar
umat Nasrani sekitar pukul 07. 00 WIT, Jumat (17/7).
Setelah saya amati, jika hanya karena speaker umat muslim di hari raya yang
membuat umat nasrani merasa terganggu mengapa harus sampai terjadi tragedi yang merusak
sarana dan prasarana bahkan hingga menimbulkan korban jiwa ?
Apakah hanya karena hal tersebut umat nasrani sampai marah besar ? Ini sungguh
mengkhawatirkan umat muslim di Tolikara. Menurut saya itu bukanlah inti penyebabnya,
mungkin saja ada sebuah rencana yang dipendam oleh umat nasrani di Tolikara, apakah itu
berawal dari dendam atau memang sudah ada rencana untuk menghancurkan umat muslim.
Pada sekitar pukul 07.20 WIT, Aparat keamanan dari kesatuan Brimob dan Yonif 756
yang melakukan pengamanan mencoba mengusir para pelaku hingga mengeluarkan
tembakan peringatan guna membubarkan massa yang melakukan pelemparan ke arah jamaah.
Bupati Tolikara, Papua, Usman Wanimbow meminta maaf kepada umat muslim atas
terjadinya insiden penyerangan. "Saya selaku Bupati atas nama seluruh warga Tolikara
mohon maaf atas kejadian yang telah menyakiti umat muslim di Tolikara ini," kata Usman di
Karubaga, Sabtu (18/7/2015). Selain minta maaf Usman juga membantah adanya pembakaran
masjid secara sengaja saat terjadinya insiden tersebut.
Menurutnya yang terjadi adalah sebuah Mushala ikut terbakar ketika massa
membakar rumah dan kios milik warga, dan akibat aksi pembakaran tersebut ada 63 unit
rumah dan kios, 1 musala dan 1 mobil terbakar. Penembakan aparat mengakibatkan 1 warga
sipil meninggal dunia, 2 luka berat, dan 8 luka ringan.
Sebelum kejadian, ada sebuah surat selebaran yang mengatasnamakan Jemaat GIDI
(Gereja Injili di Indonesia) ditujukan kepada umat Islam Kabupaten Tolikara. Isinya
menyatakan bahwa pada tanggal 13-19 Juli 2015 ada seminar dan KKR Pemuda GIDI
Tingkat Internasional. GIDI melarang membuka Lebaran tanggal 17 Juli 2015 di Wilayah
Kabupaten Tolikara (Karubaga). Dilarang kaum muslimat memakai Yilbab (Jilbab). Surat
tersebut ditandatangani oleh Pendeta Mathen Jingga S.Th Ma dan Pendeta Nayus Wenda
S.Th. Surat tertanggal 11 Juli 2015 dan dikirimkan tembusannya kepada Bupati Tolikara,
Ketua DPRD Tolikara, Polres Tolikara, serta Danramil Tolikara.
Terkait surat tersebut, Presiden GIDI, Dorman Wandikbo mengakui memang ada
surat edaran berisi larangan adanya kegiatan Lebaran bagi umat Islam. Namun dia
menegaskan, isi surat tersebut keliru dan sudah diklarifikasi sebelum peristiwa pembakaran
mushala terjadi bahwa isi surat itu tidak benar.
Atas kejadian tersebut, Direktur Jenderal Bimas Kristen, Oditha R Hutabarat,
menyatakan, pihaknya telah menghubungi ketua Sinode Gereja Injil di Indonesia (GIDI)
untuk meminta keterangan sekaligus meminta mereka menyampaikan permohonan maaf.
Jika kita cermati, Presiden GIDI terlihat ketakutan saat dibongkar bahwa ada surat
edaran yang melarang umat muslim untuk merayakan Lebaran dan pelarangan memakai
jilbab. Presiden GIDI itu segera menjelaskan bahwa surat edaran itu salah dan telah
diklarifikasi sebelum ada kejadian.Seperti ada kejanggalan dalam sikap dan perilaku GIDI
terhadap tanggapan mereka atas Tragedi Tolikara. Entah apa yang sebenarnya terjadi, dan apa
sebenarnya motif dari perbuatan umat nasrani itu.
Untuk menyelesaikan masalah di Tolikara, tokoh masyarakat yang mewakili umat
Islam dan umat Kristen di Kabupaten Tolikara, Papua, sepakat untuk menyelesaikan secara
adat terkait insiden yang menyebabkan sejumlah kios dan mushala terbakar pada perayaan
Idul Fitri beberapa waktu lalu. Umat Islam dan Kristen di Tolikara sepakat untuk saling
memaafkan.
Kesepakatan itu ditandatangani bersama oleh Ustaz Ali Mukhtar (Imam Masjid
Tolikara), Ustaz Ali Usman, Pendeta Nayus Wonda, Pendeta Marthen Jingga, dan Pendeta
Imanuel B Genongga pada Rabu (29/7/2015). Kesepakatan penandatanganan itu juga
disaksikan oleh Ketua NU Provinsi Papua Tonny V M Wanggai, Presiden Gereja Injili di
Indonesia Pendeta Dorman Wandikbo, dan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama
Provinsi Papua Pendeta Lipiyus Biniluk. Isi perjanjian tersebut adalah :
"Kesepakatan Bersama Umat Islam dan Umat Kristen di Karubaga, Kabupaten Tolikara
Pada hari ini Rabu, Tanggal Dua Puluh Sembilan bulan Juli tahun Dua Ribu Lima Belas, kami yang
bertanda tangan di bawah ini, mewakili Umat Islam dan Umat Kristen di Karubaga Kabupaten
Tolikara, dengan ini menyatakan:
1. Insiden pada hari raya Idul Fitri, Jumat 17 Juli 2015 di Karubaga Kabupaten Tolikara bukan
konflik agama, tetapi adanya miskomunikasi di antara kami, dan kami menyatakan rasa duka atas
jatuhnya korban baik jiwa maupun materiil.
2. Kami saling maaf memaafkan dengan tulus.
3. Kami sepakat penyelesaian yang kami tempuh adalah penyelesaian adat sehingga proses hukum
harus dihentikan.
4. Kami sepakat membangun kembali mushalla.
5. Kami sepakat untuk melaksanakan pemantauan kesepakatan secara berkala untuk merawat
kerukunan dan perdamaian.
6. Kami saling menjaga, menghormati, dan menyerukan kepada seluruh umat beragama di Indonesia
agar tetap menghormati Umat GIDI dan Umat Islam untuk bebas menjalankan ibadahnya seperti
biasa.
7. Kami menyerukan kepada pemerintah untuk menjamin kebebasan menjalankan agama dan
keyakinan beserta pendirian rumah ibadah.
Kesepakatan ini lahir tidak hanya dari keresahan, keprihatinan, dan kecemasan kami, tetapi
berakar dari pengalaman hidup damai dan bermartabat antara umat Kristen dan Islam di Karubaga
Kabupaten Tolikara, selama bertahun-tahun serta harapan yang lebih damai, adil, dan bermartabat
bagi kami.
Kepala Polri Jenderal Pol Badrodin Haiti meminta Kepala Polda Papua yang baru dilantik,
Brigjen Pol Paulus Waterpaw, untuk menuntaskan kasus kerusuhan di Tolikara, Papua. Pengusutan
tuntas kasus itu, demi terciptanya stabilitas keamanan sosial dan politik di Papua jelang pemilihan
umum kepala daerah serentak pada Desember 2015.
Apabila pemerintah tidak segera melakukan langkah penenteraman dan mengambil
sikap tegas terhadap para pelaku, maka bisa dimungkinkan muncul aksi pembalasan di daerah
lain. Penyelesaian kasus tidak cukup dengan komentar dan tanggapan pejabat pemerintah
dengan santai agar meningkatkan toleransi beragama, tetapi langkah nyata sangat dibutuhkan.
Perlu diingat bahwa kelompok teroris, JAT ataupun ISIS misalnya bisa memanfaatkan
momentum seperti ini, karena aksi mereka bisa saja di dukung umat Islam lain yang
merasakan dendam
Kesimpulannya, sudah cukup para pejabat bersantai dan berlibur. Kini ada sebuah
percikan berbahaya dari Papua yang harus segera ditangani. Jelas dalam penerapan Pancasila
dan berdemokrasi masyarakat kalangan bawah belum memahaminya dengan betul. Mereka
hanya bersikukuh dengan apa yang dipercayainya dari tokoh-tokoh agamanya masing-
masing. Ini adalah tugas pemerintah beserta partai politik. Tanpa adanya pendidikan dan
pemahaman politik terhadap perkembangan zaman, maka kita akan terbelit dengan konflik-
konflik lokal.
Perlu langkah cepat, antisipatif apalagi pada akhir tahun 2015 kita akan melaksanakan
pilkada serentak. Papua adalah wilayah yang perlu dimonitor karena mudahnya mereka
diprovokasi. Rendahnya pendidikan di sebuah daerah akan sangat mudah memicu aksi
kekerasan

Anda mungkin juga menyukai