PEMIKIRAN
Banyak filsuf, sosiolog, dan penulis, termasuk Friedrich Nietzsche, Karl Mark,
Ferdinand de Saussure, Sigmund Freud, Charles Baudelaire, dan banyak lainnya.
Dampaknya terjadi pada pemikiran filosofis Foucault. Foucault menggunakan
arkeologi dan genealogy untuk mengungkap mitos pengetahuan. Dia akan
menggunakan kedua metode ini untuk mengeksplorasi kemungkinan dan mencoba
memunculkan ide.
1. Arkeologi pengetahuan
Metodologi arkeologi digunakan oleh Foucault hingga tahun 1970. Dia
mendefinisikan arkeologi sebagai studi tentang berbagai kondisi dunia nyata dan
sejarah tertentu yang digabungkan untuk menetapkan dan menentukan bidang
pengetahuan yang berbeda, yang memerlukan keberadaan seperangkat gagasan
tertentu. Setiap objek historis yang berubah tidak boleh ditafsirkan dalam perspektif
yang sama, sehingga diskursus senantiasa bersifat diskontiniu. Dengan pendekatan
arkeologi, Foucault dalam karyanya, The order of Things, menyelidiki asal usul
ilmu kemanusiaan. Ia membagi sejarah Eropa dalam tiga periode, yakni Renaissans,
klasik dan modern.
Menurutnya ada perbedaan episteme dari ketiga periode tersebut, dan satu
periode bukan merupakan kelanjutan periode yang lain. Karena sejarah bukan
merupakan garis sambung antar periode namun merupakan perjalanan yang
terfragmentasi secara diskontiniu. Jadi pengetahuan bukan sesuatu yang given (ada
dengan sendirinya). Dari sini, muncullah yang disebut dengan episteme. Dengan
kata lain episteme bukan pengetahuan tetapi suatu proses yang membentuk atau
menciptakan pengetahuan. Proses terbentuknya itu sendiri melaui beberapa tahap,
yaitu positivitas, apriori dan arsip.
2. Genealogi Kekuasaan
Tujuan pendekatan genealogis yang diusung Foucault ialah untuk menelusuri
awal pembentukan episteme yang dapat terjadi kapan saja. Genealogi tidak
bermaksud mencari asal-usul melainkan berupaya untuk menggali kedalaman
episteme dan berusaha sedapat mungkin meletakkan dasar kebenaran pada masing-
masing episteme di setiap masa. Geneologi juga bukan sebuah teori tetapi
merupaakn suatu cara pandang atau perspektif untuk membongkar dan
mempertanyakan episteme, praktik sosial dan diri manusia.
Berbicara tentang genealogi Foucault tidak bisa terlepas dari deskripsi kritis.
Karena keduanya saling menggantikan, melengkapi satu sama lain. Sisi kritis
analisa berkaitan dengan segenap sistem yang melingkupi diskursus yang berusaha
memilah-milah prinsip-prinsip penataan, pengecualian, dan kejanggalan dalam
diskursus. Sebaliknya, sisi genealogis dari diskursus berkaitan dengan rangkaian
formasi efektif diskursus yang berusaha menggalinya berdasarkan kekuasan
afirmasinya. Kekuasaaan yang membentuk domain-domain obyek, dimana masing-
masing domain bisa mengafirmasi atau menyanggah kebenaran atau kekeliruan
proposisi-proposisi.
Deskripsi kritis dan Genealogy Foucault tidak dapat dipisahkan. Karena
keduanya saling menggantikan, melengkapi satu sama lain. Analisis aspek kritis
bertujuan untuk mengidentifikasi prinsip-prinsip penataan, pengecualian, dan
kejanggalan dalam wacana dengan menangkap sistem yang melingkupi wacana.
Kekuasaaan yang membentuk domain-domain obyek, dimana masing-masing
domain bisa mengafirmasi atau menyanggah kebenaran atau kekeliruan proposisi-
proposisi. Jadi genealogi ialah kelanjutan dari arkeologi. Bedanya kalua arkeologi
lebih difokuskan untuk menyingkap suatu wilayah praktik diskursif, menemukan
fakta diskontinuitas, sedangkan genealogi ialah usaha untuk mendeskripsikan
sejarah episteme, sejarah tentang asal mula suatu pemikiran untuk menemukan titik
tolak tanpa menghubungkannya dengan hakikat ataupun identitas yang hilang.
Dengan demikian, Foucault membuktikan bahwa sejarah ini ialah sejarah yang
terdistorsi, bukan sejarah bahasa dan makna, tetapi sejarah relasi kekuasaan.
Foucault menegaskan bahwa kekuasaan adalah apa yang sejauh ini
membenarkan sesuatu sebagai benar atau salah. Kombinasi kekuatan dan
pengetahuan itu sendiri menghasilkan kebenaran. Kekuasaan menghasilkan
kebenaran emosional, karena mencakup informasi, kemudian, pada titik itu, realitas
menjadi disipliner. Dia ingin menarik kesimpulan bahwa setiap masyarakat
memiliki politik kebenarannya sendiri. Menurut Foucault pengetahuan apapun
bentuknya tidak pernah melampaui rezim kebenaran dan kekuasaannya sendiri.
Akibatnya, dunia postmodern, dalam pandangannya, adalah heterotopia di mana
tidak ada batasan dan tidak ada titik kendali tunggal atas segalanya. Tidak ada
standar luas yang dapat digunakan untuk mengukur, menilai, atau menilai gagasan
dan cara hidup tertentu.
Analisis
Dalam karya dan pemikirannya, Foucault banyak membicarakan hal-hal baru
dan cenderung asing dengan mendefinisikan tentang formasi, positivitas, praktek-
praktek diskursif. Sebaliknya para ahli sejarawan pada umumnya yang
membicarakan sejarah dalam tema-tema umum seperti teori, perkembangan dan
kecenderungan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah. Foucault masuk
ke dalam pemahaman sejarah yang tidak lazim, melihat sejarah dari sudut pandang
mikro. Secara mendasar masuk ke rangkaian pengalaman itu untuk
mengungkapkan kebohongan dan peluang mengendalikan kekuasaan dalam
komposisi yang dapat diverifikasi. Dia ingin menulis ulang sejarah itu dengan cara
baru.
Salah satu yang menonjol adalah penggunaan kata diskontinuitas. Baginya
sejarah bukanlah rangkaian peristiwa yang sambung-menyambung dari suatu titik
ke titik lain yang pasti, melainkan bahwa dalam setiap peristiwa pasti terdapat
diskontinu, yang mana hal ini berbeda jauh dengan para sejarawan pada umumnya.
Foucault menulis sejarah dengan orientasi dan perspektif masa kini, karena sejarah
adalah kebutuhan masa kini, bukan sekedar cerita masa lalu, sementara sejarawan
pada umumnya saat itu berorientasai masa lampau.
Penggunaan kata "diskontinuitas" adalah salah satu yang menonjol. Sejauh
yang dia ketahui, sejarah bukanlah perkembangan peristiwa yang konstan dimulai
dari satu titik ke titik berikutnya yang pasti, tetapi di setiap peristiwa harus ada
kehancuran, yang sama sekali berbeda dari para sejarawan secara keseluruhan.
Foucault menyusun sejarah dengan arah dan sudut pandang saat ini, karena sejarah
adalah kebutuhan masa kini, selain catatan masa lalu, sementara sejarawan pada
umumnya saat itu berorientasai masa lampau. Dalam hal ini, Foucault memang
memilki pemikiran yang lebih visioner, dan sangat memungkinkan memunculkan
ide-ide baru dan menciptakan pembaharuan.
Hal ini menunjukkan bahwa ia memiliki keberanian untuk keluar dari zona
nyaman dengan segenap resiko atau konskuensinya. Yang mana tak sedikit orang
menyebutnya “menyimpang”. Namun harus kita akui bawasanya ke-
penyimpangan-an ini memang justru sesuatu yang nyata adanya, urgent untuk
diangkat ke permukaan, membutuhkan sentuhan dan ketekunan penelitian para
pemikir/ilmuwan/sejarawan. Terbukti dengan ketekunananya dalam mempelajari
tema-tema tabu seperti kegilaan, penjara, dan penyimpangan seksualitas. Tema-
tema tersebut adalah tema-tema yang dianggap tabu, dikekang oleh kekuasaan dan
tradisi. Namun jika kita memandang ilmu pengetahuan secara obyektif tentu
anggapan tabu ini merupakan bentuk diskriminasi. Karena setiap wacana memiliki
potensi yang sama untuk dipelajari, dikuak, dan diangkat ke permukaan. Yang
menjadi bagian dari pengetahuan yang layak diketahui oleh semua orang.
Foucault melahirkan pemikiran kekuasaan yang dianggap lebih berkembang.
Berbeda dengan pandangan sejarawan/ilmuwan sebelumnya yang membatasi
kekuasaan pada bidang-bidang ekonomi, politik, dan hukum, kekuasaan dalam
pandangan kolonialisme dan kapitalisme.. Foucault berpendapat bahwa kita adalah
sumber kekuatan kita sendiri, yang dapat dilihat dan diekspresikan dalam pikiran
dan tindakan kita sedemikian rupa sehingga dapat mempengaruhi cara kita
memperlakukan lingkungan, termasuk aspek-aspek yang dianggap tidak ada atau
menyimpang.
Karena belum tersentuh ilmuwan lain, beberapa hal yang dikupas dan diteliti
Foucault bisa dianggap orisinal. Terlepas dari kenyataan bahwa pemikirannya
sangat dipengaruhi oleh filsuf lain, namun ini hanya berfungsi sebagai pengantar
wawasan dan kekristisannya saja. Menang benar adanya bahwa Foucault tidak ingin
disebut dirinya sebagai sejarawan. Karena ia tidak hanya mempelajari dan meneliti
tentang sejarah meskipun dia memiliki peranan yang penting dalam perkembangan
sejarah, namun ranah keilmuannya mencakup banyak bidang, berbagai paradigma
ilmu pengetahuan. Psikologi, sosial, gender, politik, dan sejarah hanyalah salah
satunya. Sehingga bisa dikatakan bahwa Foucault adalah filosof yang ahli sejarah.
Namun, jika dilihat ke belakang pada pribadi Foucault, pemikiran dan
penelitiannya tidak bisa dikataan seratus persen obyektif. Kecenderungannya untuk
menguak hal-hal yang menyimpang dan tabu tidak lepas dari kepribadiannya
sendiri. Seperti halnya dengan seksualitas, bisa saja ia tertarik menguak seksualitas
tersebut karena itu berkenaan dengan dirinya yang memang seorang gay. Sehingga
MUNGKIN ada hasrat pribadi untuk mencari pembenaran (agar dianggap tidak
menyimpang) atas penyimpangannya. Yang mana pada saat itu khususnya
homoseksuaial adalah sesuatu yang sangat tabu. Akan tetapi, secara keseluruhan
pemikiran Foucault cukup menarik dan fresh. Menantang untuk dicermati dan
penting untuk dibicarakan.
DAFTAR PUSTAKA
Foucault, Michel. Arkeologi Pengetahuan.(edisi baru) 2012. Yogyakarta:IRCiSoD.
Kali, Ampy. Diskursus Seksualitas Michel Foucault. 2013. Maumere:Ledalero.
Umanailo, M. C. B. (2014) ‘Pierre Bourdieu; Menyikap Kuasa Simbol’, OSF. doi:
10.31235/osf.io/4txzu.
Yanti, Syafieh. Pengetahuan dan Kekuasaan dalam Perspektif Foucault.
http://syafieh.blogspot.com/2013/03/pengetahuan-dan-kekuasaan-dalam.html
diunduh tanggal 5 Januari 2014
Umanailo, M. C. B. (2018) ‘Studi pada Masyarakat Desa Waimangit Kabupaten
Buru’, SOCA, 12(12), pp. 63–74. doi: 10.24843/SOCA.2018.v12.i01.p05.
Umanailo, M. C. B. (2015) Masyarakat Buru Dalam Perspektif Kontemporer
(Kajian Kritis Perubahan Sosial di Kabupaten Buru), Mega Utama. doi:
10.31219/osf.io/6d2g8.