Anda di halaman 1dari 7

LGBT dan Pergulatan Identitas Subaltern

***
LGBT: Apa itu Seksualitas yang Abnormal?
Sebelum menjelaskan panjang lebar terkait LGBT, saya ingin mengajukan suatu pertanyaan
sederhana yang mungkin cukup umum terdengar di telinga kita. Apa yang dimaksud dengan
seksualitas yang normal dan abnormal? Siapa yang berhak mendefinisikan normalitas dan
abnormalitas? Bagaimana standar penilaiannya dalam hubungan seks? Hubungan seperti apa
yang diterima dan diakui masyarakat yang kemudian dianggap normal, sedangkan hubungan
di luar itu dianggap menyimpang? Bagaimana kita memahami batas hubungan persahabatan,
hubungan cinta, dan hubungan seks?
Membicarakan tentang LGBT tidak bisa disimplifikasi dalam bentuk upaya Pro-LGBT dan
Kontra-LGBT saja. Ada kompleksitas yang perlu dipahami dalam fenomena LGBT itu
sendiri. Mungkin di suatu tempat tertentu LGBT dianggap sebagai gender dan orientasi
seksual yang eksistensinya tidak perlu dipertanyakan lagi, tetapi di tempat lain ada beberapa
yang belum menerima keberadaan mereka karena alasan norma dan moral yang sudah lama
terbentuk di masyarakat (baca: konstruksi sosial).
Ketimbang pembicaraan soal LGBT mengarah pada dukungan atau penolakan, yang bisa saja
berujung pada bentuk penghakiman, lebih baik kita memahami pluralitas LGBT yang cukup
sulit dan rumit dalam pembicaraan seputar seksualitas dan gender. Ada relasi kekuasaan dan
pengetahuan yang dominan dan hegemonik, yang turut berperan dalam membentuk wacana
orientasi seksual dan identitas LGBT.
Sebagaimana pemahaman konvensional kita tentang gender, seksualitas atau orientasi seksual
juga bukan termasuk sesuatu “yang terberi”, melainkan terbentuk dan lahir dalam konteks
wacana, historis, dan budaya tertentu. Ada wacana ilmu kedokteran barat abad 19 yang
merumuskan dan mendefinisikan konsep seksualitas terutama tentang homoseksualitas—
anggapan Foucault terhadap wacama kedokteran abad 19 yang menciptakan homoseksualitas.
Baginya, para dokter mulai mendefinisikan sebagian hasrat seksual manusia sebagai noomal,
sedangkan bagian yang lainnya dianggap sebagai perversi. Salah satu perversi dalam wacana
kedokteran ini adalah homoseksualitas: hasrat seksual terhadap sesama jenis. Padahal, kalau
kita membicarakan tentang seksualitas, rujukan pertama bukanlah pada definisi atau wacana
ilmu kedokteran itu sendiri, melainkan dengan melacak genealogi konsep seksualitasnya—
kita bisa melacaknya dari zaman Yunani Kuno.
Foucault melacak konsep seksualitas pada zaman Yunani Kuno. Menurutnya, masyarakat
Yunani Kuno tidak mengenal konsep homoseksualitas seperti pemahaman wacana dan
definisi kedokteran abad 19. Hubungan antar laki-laki dianggap sebagai kewajaran dalam
lingkungan dan budaya mereka, tentu saja, dengan adanya ketetapan dan peraturan yang ketat
tentang tindakan seksualnya. Laki-laki yang terhormat memiliki kewajaran—jika tidak
menyebutnya privilese—memiliki seorang istri dan juga melakukan hubungan seks dengan
laki-laki lain terutama laki-laki yang lebih muda. Hal yang diatur adalah seringnya tindakan
seks yang dilakukan (yang dikaitkan dengan kesehatan), dan perbedaan status antara dua laki-
laki yang terlibat hubungan seks (laki-laki yang statusnya lebih tinggi jangan sampai berada
dalam posisi “didominasi” secara seksual oleh laki-laki yang statusnya lebih rendah).
(Saya teringat diskusi bersama teman saya seputar seksualitas. Ia mengatakan bahwa di era
kerajaan nusantara, seorang raja yang memiliki kedudukan tinggi dan terhormat punya
keistimewaan tersendiri dalam berhubungan seksnya. Dalam diskusi itu, temen saya bilang
bahwa raja bukan hanya memiliki dan berhubungan dengan selirnya saja—di luar istrinya—
tetapi juga punya simpanan laki-laki lain untuk berhubungan seks. Sampai saat ini saya masih
belum menemukan kebenarannya, benarkah demikian yang dibicarakan temen saya?
Kalaupun benar, mungkin itu menjadi hal baru dan menarik untuk menelusuri tentang
pemahaman seksualitas di lingkungan kerajaan).
Dengan demikian, apa yang ditelusuri Foucault tentang konsep seksualitas di zaman Yunani
Kuno tidak pernah mengenal apa itu homoseksual yang diperkenalkan para dokter abad 19
itu. Ini menandakan bahwa orang-orang di zaman Yunani Kuno punya pemahaman tersendiri
terkait seksualitas.
Sangat kontradiktif dengan wacana seksualitas dominan dan hegemoni hari ini yang
merupakan warisan wacana para dokter abad 19. Maka, dengan melakukan pelacakan wacana
seksualitas atau orientasi seksual, kita dapat memahami “kebenaran” tentang seksualitas hari
ini adalah hasil dari konstruksi wacana dan sosial yang sudah dibangun dan dibentuk sekian
lama: merujuk pada wacana dominan yang membelah hasrat orientasi seksual: homo atau
hetero, normal atau abnormal yang dipermanenkan.
Jika kita merujuk pada definisi wacana kedokteran abad 19 itu, maka yang terjadi adalah
bentuk normalisasi orientasi seksual. Misalnya, hubungan seks antara laki-laki dengan
perempuan yang memiliki suami dianggap normal kendati dalam ajaran agama itu dilarang,
sedangkan hubungan seks dengan sesama jenis dianggap perversi, menyimpang, bahkan
dianggap sebagai abnormalitas. Persepsi kita tentang perversi sebagai kelainan bahkan
patologi sosial telah menjadi pemahaman kita atas identitas seksual kita hari ini. Maka,
membicarakan tentang seks berarti bicara tentang politik identitas.
Pemahaman dokter yang mendikotomikan orientasi seksual hari ini terdapat penyimpangan
yang dilakukan beberapa orang dalam berhubungan seks menandakan adanya simtom orang
yang abnormal. Kecenderungan semakin menunjukkan bahwa ada bentuk kelainan seksual
yang permanen padahal identitas seseorang mustahil untuk dibekukan atau dibakukan. Dan
gerakan-gerakan LGBT internasional hari ini masih mendasari pada wacana kedokteran abad
19 tersebut.
Bagaimana kita memahami jika terdapat lingkungan tertentu yang menganggap bahwa
hubungan seksual sesama jenis merupakan kewajaran dan lazim terjadi di lingkungan
mereka? Apakah dasar perjuangan atau pengakuan orientasi seksual yang berbeda oleh
gerakan LGBT itu bisa menjelaskan konteks historis dan budaya sekaligus pemahaman
mereka atas seksualitas dalam lingkungan tersebut?
Kembali pada konteks bahwa seksualitas adalah sebuah konstruksi sosial, maka kita tidak
mungkin menempatkan konteks sosial tertentu untuk memahami keberadaan LGBT itu
sendiri. Kontruksi sosial tidak bersifat universal; bergantung pada nilai-nilai budaya dan
sejarah dalam masyarakat tertentu. Apa yang dianggap dengan “normalitas” adalah sebuah
konstruksi sosial; normalitas dengan begitu dibentuk oleh lintasan sejarah dan budaya yang
lebih spesifik. Maka, diperlukan alternatif lain bahwa terdapat konstruksi sosial yang
berdasar pada budaya dan sejarah seksualitasnya sendiri, sehingga di dalam narasi LGBT
dapat kita lihat bahwa terdapat pluralitasnya. Dalam hal ini, LGBT mesti dilihat dalam narasi
konstektual.
Apa yang dianggap normal bagi orang Jawa belum tentu dianggap normal bagi orang
Amerika dan negara-negara Eropa. Begitu pun sebaliknya. Misalnya, ada lima klasifikasi
gender dan orientasi seksual pada masyarakat Bugis. Pertama adalah Bissu, atau pemuka
agama Bugis kuno pra-Islam yang berperan sebagai penasehat, pengabdi, dan penjaga
Arajang (benda pusaka keramat). Kata Bissu berasal dari kata Bugis “mabessi” yang berarti
bersih.
Kedua, Oroane, yang artinya pria atau lelaki. Biasanya jenis kelamin ini dituntut harus
maskulin dan mampu menjalin hubungan dengan perempuan. Ketiga, Makkunrai atau
perempuan. Makkunrai kerap kali dituntut untuk bersikap feminin, jatuh cinta dan bersedia
menikah dengan lelaki, mempunyai anak dan mengurusnya serta wajib melayani suami.
Keempat, Calalai, yaitu perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki. Calalai biasa juga
disebut perempuan maskulin/tomboy. Kelompok ini mengacu pada orang yang ditugaskan
perempuan saat lahir tetapi mengambil peran laki-laki heteroseksual dalam masyarakat
Bugis. Dan kelima adalah Calabai, laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan. Calabai
umumnya laki-laki secara fisik tapi mengambil peran seorang perempuan heteroseksual
dalam masyarakat Bugis.
Apakah masyarakat bugis mengenal konsep gender dan seksualitas yang diperkenalkan oleh
ilmuwan atau intelektual barat? Saya pikir, mereka memahami gender dan seksualitas sesuai
dengan konteks sejarah dan budaya mereka sendiri. Di sini kita bisa memahami bahwa narasi
tentang LGBT yang ketahui bersama bisa kita lacak melalui penelusuran budaya dan sejarah
kita sendiri. Hal itu dianggap sebagai bentuk normalitas dan lazim dilakukan di lingkungan
mereka. Dan, kita, pada titik tertentu, tidak lagi mencoba mendefinisikan identitas atau
orientasi seksual mereka.
Ini berlaku ketika kita berhadapan dengan seorang teman kita sendiri yang punya hubungan
intim dengan laki-laki lain. Barangkali pengalamn kita dan realitas yang selama ini kita jalani
menemukan secercah perilaku dan tindakan seorang laki-laki yang punya perilaku berbeda
dengan laki-laki pada umumnya atau sejauh pandangan dan pemikiran kita anggap cukup
ganjil.
Apakah mereka mereka—dua laki-laki—memiliki hubungan yang cukup spesial atau intim di
antara keduanya? Atau mungkin mereka hanya bersahabat? Atau mungkin mereka adalah
pasangan gay? Atau bahkan persahabatan yang sekali-kali lebih dekat mereka memiliki
hubungan yang cukup intim? Saya pikir usaha untuk menelusuri definisi orientasi seksual
seperti itu hanya akan berujung pada wacana dominan dan hegemoni bahwa ada seksualitas
yang dianggap normal dan abnormal; yang mendasari pemikiran kita untuk menentukan
orientasi seksual mereka: homo atau hetero.
Singkatnya, yang ingin saya sampaikan, adalah ternyata ada suatu identitas yang tidak perlu
ditegaskan atau setiap manusia memang tidak perlu untuk didefinisikan. Dari sini kita bisa
menangkap subjektivitas kita dalam mengulas identitas yang lebih cair, yang, bagi saya,
cukup menarik untuk mengulas betapa rumit dan sulitnya persoalan orientasi seksual ini.
Bahkan, ini bisa menjadi cara pandang alternatif di mana kita bisa menerobos sifat kekakuan
dan kebekuan kita dalam memahami (politik) identitas seksual.
Berpijak pada persoalan di atas, maka kita tidak lagi melulu menoleh pada konsep-konsep
seksualitas barat, yang penuh dengan relasi kuasa dan pengetahuan, bahwa di wilayah sendiri
terdapat kompleksitas dan keberagaman gender dan seksualitasnya. Dan kita juga tidak perlu
lagi berusaha mendefinisikan identitas atau orientasi seksual orang dengan berpijak pada
konsep seksualitas yang telah diciptakan oleh kedokteran abad 19 itu. Kalau kita masih
berpijak pada konsep tersebut, kita seolah mengabaikan dan mengaburkan konsep seksualitas
yang beragam—bahwa ternyata konsep tersebut itu tidak ada standar yang berlaku secara
universal.
Saya kasih contah lain: Goerg Klauda meneliti soal heteronormalisasi di dunia Islam. Klauda
berpijak pada konsep Foucault dalam melihat fenoma yang terjadi di dunia Islam.
Penelitiannya mengungkap bahwa meski dalam dunia Islam melarang melakukan seks anal,
tetapi dalam pemahaman Islam tidak mengenal konsep homoseksual.
Yang menarik adalah bahwa orientasi seksual di dunia Islam itu tidak ditemukan sebagai
ungkapan hasrat seksual tertentu dianggap bersifat abnormal. Konsep homoseksual
bersamaan dengan perasaan homophobia di dunia timur justru diperkenalkan oleh kolonial
eropa di masa kolonialisme. Pengamatan orang eropa terhadap dunia timur (baca: Islam)
diekspresikan secara jijik dan persepsi mereka kelewat permisif terhadap homoerotisme
dalam pergaulan antar laki-laki.
Sejak eropa menguasai hampir 84.3% belahan dunia, para elite-elite lokal mulai terpengaruh
oleh kolonial, meniru, dan mengadopsi kejijikan itu dengan mengubah abab pergaulan antar
laki-laki. Persoalan lain yang diangkat Goerg Klauda adalah peristiwa hukuman gantung oleh
dua laki-laki yang melakukan seks anal di Iran pada 2005 lalu. Peristiwa itu direspon oleh
media dunia hingga organisasi LGBT internasional dan HAM dengan mengecam hukuman
gantung tersebut karena dianggap sebagai bentuk kekerasan dan kekejaman terhadap gay.
Namun, apakah kedua laki-laki tersebut adalah gay?
Menurut pengakuan mereka berdua sendiri, hubungan intim antar laki-laki di lingkungan
mereka sangat lazim. Mereka bahkan tidak memosisikan diri sebagai bagian dari kelompok
minoritas yang memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan kebanyakan orang. Mereka
sendiri tidak mengenal konsep homo-seksualitas. Dengan kata lain, pembelaan dan
representasi perjuangan kaum LGBT terutama politik gay tidak bisa menangkap dan
memahami peristiwa dengan tepat, tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam peristiwa
itu.
Perlu kiranya kita memahami konteks sosial, budaya, dan sejarah lingkungan kita sendiri
tanpa perlu berpijak pada narasi besar perjuangan gerakan internasional LGBT yang
menghendaki pengakuan atas orientasi seksualnya. Apakah benar pemahaman seksual kita
sama seperti yang dibawa oleh barat? Kecenderungan kita dalam memahami konsep
seksualitas barat tidak mampu menjelaskan bahkan menyentuh realitas lingkungan tertentu.
Wacana kedokteran pada abad 19 itu tersebar bersamaan dengan puncak kejayaan
kolonialisme eropa.
Brieck: Awal Perjumpaan
Sekitar tiga tahun lalu, saya bertemu dengan seorang transgender (untuk selanjutnya disebut
waria) yang sampai saat ini masih saya ingat dan membekas dalam pikiran saya. Saya pikir
perjumpaan itu adalah kenangan yang tidak mungkin terlupakan; perjumpaan yang mungkin
membuat saya punya sensibilitas terhadap isu-isu waria. Sosok itu bernama Brieck. Ia adalah
seorang warga negara Filipina yang kebetulan sedang melakukan studi lapangan ke suatu
dusun kecil di bantaran Kali Progo, Kulonprogo, Yogyakarta.
Sejak awal kedatangannya, kesan saya pertama kali bertemu dengan Brieck, terutama pikiran
saya sendiri, adalah ada “sesuatu” yang berbeda dengan dirinya, baik cara ia berpakaian
maupun perilakunya. Saya menyangka bahwa dia adalah seorang waria. Cara identifikasi
saya ini tampak sangat sederhana. Apa yang terlihat dan terekam dalam pikiran saya tentang
waria langsung tertuju pada prasangka saya kepada Brieck. Mungkin, cara pertama orang
mengenali identitas orang yang lain adalah dengan apa yang ia tangkap lewat indera
penglihatannya, yang kemudian terbersit di benaknya untuk mengidentifikasi identitas orang
lain dengan apa yang ia pikirkan. Dan, inilah yang sedang saya alami.
Saya akan kasih contoh sederhana seperti ini: Si A adalah orang sunda karena dilihat dari
logat bahasanya; sedangkan Si B disangka orang jawa hanya karena mimik wajahnya seperti
orang jawa, padahal Si B adalah orang sunda. Kedua percontohan itu menandakan bahwa
subjek yang hadir (present) antara Si A dan Si B terwakilkan dari apa yang dilihat orang lain.
Logat dan mimik wajah menjadi representasi identitas dalam benak orang lain. Maka, dengan
melihat kasus saya di atas, saya mengidentifkasi identitas Brieck (subjek yang hadir) adalah
waria karena sepintas representasi (cara berpakaian dan perilakunya) yang saya lihat.
Hari demi hari saya semakin akrab dengan Brieck. Dia menganggap diri saya adiknya sendiri
di Filipina karena mimik wajah yang mirip dengannya. Saya sempat tidak percaya kalau
wajah saya mirip dengan adiknya. Mungkin karena ketidakpercayaan saya ini, ia langsung
menunjukkan akun Facebook milik adiknya—dengan menunjukkan foto profilnya. Ya, saya
pikir ada sedikit kemiripan. Namun, anehnya, pikiran saya teringat dengan perkataan guru
agama saya ketika SMP dulu bahwa di dunia ini ada tujuh orang yang mirip dengan kita
meski tidak sepenuhnya.
Saya tidak mengira akan seakrab itu dan, pada titik tertentu, keakraban saya itu, membuat
saya tidak lagi memikirkan identitasnya: apakah dia waria atau bukan. Pikiran itu hilang
begitu saja. Meski demikian, pikiran itu muncul dengan tiba-tiba saat forum akan berakhir.
Entah apa yang menimbulkan pertanyaan itu datang kembali, seperti ada rasa penasaran yang
tak terbendung saja.
Meskipun saya mengira dia adalah waria namun saya tidak cukup punya keberanian untuk
menanyakan langsung kepada Brieck. Apa yang saya pikirkan hampir sama dengan orang-
orang yang ada di sekitar yang kebetulan berada dalam forum tersebut. Hingga akhirnya, saat
rangkaian acara forum tersebut selesai, saya memberanikan diri untuk menanyakan identitas
kediriannya. Ya, ia dengan sangat mudah dan tampak biasa saja menjawab pertanyaan saya.
Tidak ada keraguan dalam dirinya untuk menjawab identitasnya secara terbuka.
Forum itu hanya berlangsung selama tiga hari dua malam di bantaran Kali Progo.
Pengalaman dan perjumpaan saya dengan Brieck sangat berarti dalam hidup saya. Mungkin
jika saya tidak bertemu dengannya, saya tidak akan mendapat banyak pengetahuan darinya.
Saya tidak begitu mengerti kenapa setiap perjumpaan yang berkesan ada sebuah momen
perpisahan? Waktu memang tidak bisa diulang, tetapi recalling memory kejadian itu tidak
akan hilang dalam ingatan saya.
Perpisahan berakhir dengan pelukan Brieck kepada saya yang memecah udara dingin dan
desir angin bantaran Kali Progo. Rasanya sangat tidak mungkin untuk bertemu kembali.
Kalaupun bertemu, pasti ia butuh waktu yang cukup lama untuk mengingat saya, atau ia
sebenarnya tidak akan mengenali lagi bahkan melupakan saya? Mungkin itu tidak penting.
Yang pasti, saya tidak akan melupakannya!
Mereka yang Tercampak: Pergulatan Identitas Subaltern Waria
Dalam sub judul ini, saya akan menjelaskan bagaimana identitas subaltern waria dalam relasi
sosialnya. Perlu kiranya saya mendudukkan akar perkaranya kenapa waria saya sebut sebagai
identitas subaltern? Bagaimana posisi waria yang termasuk dalam keanggotaan sebuah
komunitas waria? Apakah di dalam komunitas waria ada bentuk marginalisasi tersendiri
sebagaimana kita melihat bahwa dalam kehidupan sosial yang lebih luas waria juga kerap
terpinggirkan? Mari kita telusuri bersama.
Membicarakan identitas berarti juga membicarakan tentang konstruksi sosial dan
representasi. Konstruksi sosial berfungsi untuk pembedaan identitas orang/kelompok (self)
dengan yang-lain (the other). Dari sini, kita akan menemukan cara identifikasi identitas lewat
representasi dari subjek yang hadir. Representasi adalah apa yang mewakili kehadiran itu
sendiri. Maka, melalui representasi, orang/kelompok tertentu akan memberikan definisi,
batasan, atau penanda dan makna sebagai upaya identifikasi identitasnya dengan yang-lain.
Dengan kata lain, representasi adalah hasil dari konstruksi sosial di antara orang/kelompok
yang saling berinteraksi, yang berguna untuk mengenali satu sama lain.
Pengidentifikasian ini bisa dilihat dari berbagai varian, misalnya, pola pikirnya, budayanya,
maupun bentuk fisiknya. Semua itu, apa yang dilihatnya, adalah representasi yang melekat
pada identitas diri orang/kelompok. Bagi Hall, identifikasi adalah upaya konstruksi identitas
dengan penekanan subjektifitas pada praktif diskursif: identitas sebagai entitas yang melekat
tidak mungkin bisa dibekukan atau dibakukan, tidak dianggap sebagai sesuatu yang final—
senantiasa berubah sesuai praktif diskursif yang berlangsung. Ada juga upaya memperkuat
identitas kedirian dengan yang-lain untuk menujukkan “kekhasan” yang ada dalam dirinya.
Konstruksi sosial masyarakat kita selama ini mengenal dua identitas gender: laki-laki dan
perempuan.
Siapa yang tidak mengenal Dorce Gamalama dan Lucinta Luna? Adalah dua sosok artis yang
hilir-mudik menghiasi kancah pertelevisian Indonesia. Sekilas kita melihat ada perbedaan
tampilan dan perilaku dalam diri mereka. Saya kira jagad sosial media memahami akan hal
itu. Bisa dibilang Dorce dan Lucinta adalah seorang waria yang kariernya cukup melejit.
Coba kita bandingkan dengan kasus waria yang mengalami prank oleh seorang youtuber.
Di saat penyebaran virus Covid-19 belum terkendali, bersamaan dengan masuknya bulan
Ramadan, bantuan sembako atau kebutuhan dasar sangat diharapkan oleh para waria yang
berada dalam taraf hidup rendah. Sayangnya, bantuan oleh youtuber itu hanya dijadikan
konten prank yang sangat tidak manusiawi terhadap waria. Kejadian ini mendapat kecaman
banyak orang terutama di media sosial dan dilaporkan ke pihak kepolisian agar si pelaku
ditangkap dan diadili dengan hukuman yang setimpal.
Ada perbedaan antara Dorce dan Lucinta dengan para waria lainnya yang bekerja secara
informal. Bisa dilihat bahwa waria yang memiliki akses dan jaringan luas, hidupnya akan
lebih nyaman dan aman karena secara ekonomi mereka cukup mapan. Ini sangat berbeda
dengan waria yang berkerja di lampu merah, mengamen secara keliling, dan yang paling
mudah diasosiasikan dengan pekerjaan warian, adalah penata rias atau salon. Meski sama
mengalami stigmatisasi dan eksklusi sosial. Kendati Dorce dan Lucinta adalah waria, dan
mendapat kecaman dari beberapa pihak, bentuk eksklusi sosial terhadapnya sangat minim
bahkan cenderung menempati ruang publik (baca: pertelevisian) dan akses sumberdaya
ekonomi.
Ambivalensi Identitas Diri Waria
Dalam sub judul ini saya mencoba mengurai realitas waria dalam suatu pondok pesantren di
Kotagede Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Falah. Definisi kita secara konvensional tentang
pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam “tradisional” di Indonesia
yang usianya relatif cukup tua dan lama. Kendati demikian, dalam perkembangannya, pondok
pesantren telah mengalami perubahan dengan hadirnya pondok pesantren yang lebih modern.
Maksudnya, sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren modern
menerapkan dan mengembangkan kurikulum ilmu pengetahuan umum selain ilmu-ilmu
agama Islam; dalam teknik manajamen pengelolaan juga hampir meniru sistem pendidikan
modern barat.
Penjelasan terkait pondok pesantren konvensional ini sangat berbeda dengan pondok
pesantren Al-Falah di Kotagede. Pesantren ini berisikan atau beranggotakan santri waria yang
ingin mempelajari agama dan mengenal Tuhannya. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan
pesantren ini seperti belajar mengaji, sholat berjamaah, dan membentuk keterampilan mereka
sebagai upaya alternatif dalam bekerja, misalnya, penata rias. Selama ini kita mengetahui
bahwa pekerjaan waria sering diasosiasikan dengan mengamen di jalanan bahkan menjadi
pekerja seks. Pekerjaan inilah yang menimbulkan beberapa pandangan atau strereotip
masyarakat terhadap waria yang identik sebagai orang

Anda mungkin juga menyukai