Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Identitas homoseksual baru mulai muncul di kota-kota besar di Indonesia
pada beberapa dasawarsa awal abad ke-20. Sebelumnya, keragaman perilaku
seksual di antara sesama pria diketahui telah dilakukan dalam konteks seni
pertunjukan dan seni bela diri, ritual kebatinan dan perdukunan, ritus bagian
inisiasi atau dalam lingkungan pergaulan sehari-hari khusus pria di banyak
golongan etnis bahasa (etnolinguistik) nusantara, dengan identitas kadang-kadang
dikaitkan pada konteks ini. Dalam kajian pustaka lebih sedikit disebutkan tentang
fenomena ini di kaum wanita, meskipun sesekali dapat dibaca tentang perilaku
seks di antara para wanita di keputren (tempat tinggal para wanita dalam istana)
dan pesantren. Fakta bahwa seksualitas pria dan wanita dapat beragam sementara
terdapat tekanan sangat kuat untuk mendirikan keluarga heteroseksual, artinya
biseksualitas adalah hal yang cukup umum meskipun tidak demikian halnya
dengan identitas biseksual.1
Demikian pula, cerita-cerita legenda tentang dewa interseks cukup dikenal
dan beragam ungkapan dan identitas gender menjadi hal yang umum dan ditolerir
di banyak kelompok etnis dalam konteks budaya yang serupa. Beberapa
kelompok etnis bahasa telah mengatur kemungkinan perubahan transgender dan
memberi peran khusus kepada mereka yang melakukan hal tersebut. Namun
demikian, identitas transgender, yaitu transgender dengan pria menjadi wanita,

yang belum tentu terkait dengan konteks yang telah disebutkan di atas, baru
muncul pada paruh kedua abad kedua puluh dan sekali lagi hanya di kota-kota
besar.1
Dari sudut pandang kebudayaan konteks homoseksualitas sudah dikenal
sejak zaman dahulu kala di berbagai macam daerah di Indonesia. Sebagai contoh
adanya kebudayaan Bissu di

Sulawesi Selatan, tradisi Warok Gemblak di

Ponorogo, Jawa Timur, dan tradisi tarian Rateb Sadati di Aceh, adalah kebudayaan
yang paling berkorelasi dengan homoseksualitas di Indonesia. Kebudayaan
tersebut lebih mencerminkan peran khusus dari kaum homoseksual dan
transgender sebagai perantara antara manusia dan dewa.2
Sedangkan dewasa ini, keberadaan kaum LGBT di Indonesia masihlah
menjadi kontroversi baik dipandang dari segi kebudayaan, hukum dan agama.
Secara umum, keberadaan kaum LGBT belum lah diakui dan diatur oleh Undangundang. Peraturan Undang-undang Indonesia hanya menetapkan dua gender saja,
yaitu pria dan wanita. Hal ini dapat ditafsirkan dari pencantuman tegas tentang
pria dan wanita dalam Undang-undang Perkawinan (UU No. 1/1974) dan
ketentuan serupa mengenai isi kartu penduduk yang ditetapkan dalam Undangundang Administrasi Kependudukan (UU No. 23/2006). Ketentuan ini bagi orang
transgender menjadi masalah, karena perbedaan antara pernyataan gender dengan
penampilan mereka dapat menyulitkan dalam hal memperoleh layanan jasa,
melakukan perjalanan, mengurus izin usaha dan lain sebagainya.
Sedangkan dari sudut pandang agama, kaum LGBT dipandang sebagai
penyimpangan dan pelanggaran terhadap fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan

Tuhan. Oleh karena belum diaturnya status kaum LGBT di Indonesia serta suatu
momok bahwa homoseksualitas adalah penyakit yang berbahaya dan menular
yang berkembang di masyarakat, menjadikan kaum LGBT sering terlibat dalam
berbagai masalah hukum dan sosial, baik sebagai subjek maupun objek dari
masalah tersebut.3 Sebagaimana kita sering mendengar adanya tindak kejahatan
pencabulan yang dilakukan seorang laki-laki dewasa terhadap anak-anak.
Sedangkan, sebagai contoh kaum LGBT menjadi korban dari beberapa masalah
atau kasus hukum adalah dimana kaum LGBT sering kali merupakan korban
kasus kekerasan seksual, kekerasan fisik dan kekerasan emosional karena
keberadaan dan keadaan mereka sebagai kaum LGBT.
Olehkarena banyaknya masalah yang timbul oleh kaum LGBT, maka pada
referat ini akan dibahas mengenai AspekMedikolegal LGBT di Indonesia
1.2 Permasalahan
Bagaimana aspek medikolegal lesbian, gay, biseksual dan trangender
(LGBT) di Indonesia?
1.3 Tujuan
1.3.1

Tujuan Umum
Untuk mengetahui aspek medikolegal lesbian, gay, biseksual dan
trangender (LGBT) di Indonesia

1.3.2

Tujuan Khusus

Untuk mengetahui definisi dan sejarah lesbian, gay, biseksual dan


trangender (LGBT)

Untuk mengetahui aspek medis lesbian, gay, biseksual dan


trangender (LGBT)

Untuk mengetahui aspek hukum lesbian, gay, biseksual dan


trangender (LGBT) di Indonesia

Untuk mengetahui aspek agama lesbian, gay, biseksual dan


trangender (LGBT) di Indonesia

Untuk mengetahui aspek sosial budaya lesbian, gay, biseksual dan


trangender (LGBT) di Indonesia

1.4 Manfaat

Menambah pengetahuan dan wawasan tentang lesbian, gay, biseksual


dan trangender (LGBT) di Indonesia

Dasar penelitian lebih lanjut tentang aspek medikolegal lesbian, gay,


biseksual dan trangender (LGBT) di Indonesia

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Sejarah LGBT


LGBT atau GLBT adalah akronim dari "lesbian, gay, biseksual, dan transgender". Istilah
ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa "komunitas gay" karena istilah
ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan.5
Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman "budaya yang
berdasarkan identitas seksualitas dan gender". Kadang-kadang istilah LGBT digunakan untuk
semua orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual, atau transgender.
Maka dari itu, seringkali huruf Q ditambahkan agar queer dan orang-orang yang masih
mempertanyakan identitas seksual mereka juga terwakili (contoh. "LGBTQ" atau "GLBTQ",
tercatat semenjak tahun 1996).
Istilah LGBT sangat banyak digunakan untuk penunjukkan diri. Istilah ini juga
diterapkan oleh mayoritas komunitas dan media yang berbasis identitas seksualitas dan gender di
Amerika Serikat dan beberapa negara berbahasa Inggris lainnya.5
Tidak semua kelompok yang disebutkan setuju dengan akronim ini. Beberapa orang
dalam kelompok yang disebutkan merasa tidak berhubungan dengan kelompok lain dan tidak
menyukai penyeragaman ini. Beberapa orang menyatakan bahwa pergerakan transgender dan
transeksual itu tidak sama dengan pergerakan kaum "LGB". Gagasan tersebut merupakan bagian
dari keyakinan "separatisme lesbian& gay", yang meyakini bahwa kelompok lesbian dan gay
harus dipisah satu sama lain. Ada pula yang tidak peduli karena mereka merasa bahwa: akronim
ini terlalu politically correct; akronim LGBT merupakan sebuah upaya untuk mengategorikan

berbagai kelompok dalam satu wilayah abu-abu; dan penggunaan akronim ini menandakan
bahwa isu dan prioritas kelompok yang diwakili diberikan perhatian yang setara. Di sisi lain,
kaum interseks ingin dimasukkan ke dalam kelompok LGBT untuk membentuk "LGBTI"
(tercatat sejak tahun 1999). Akronim "LGBTI" digunakan dalam The Activist's Guide of the
Yogyakarta Principles in Action5
Karena budaya rasa malu yang melekat pada homoseksualitas, aktivitas homoseksual
jarang tercatat dalam sejarah Indonesia. Tidak seperti di budaya Asia lainnya seperti India, Cina
atau Jepang, erotika homoseksual dalam lukisan atau patung hampir tidak ada dalam seni rupa
Indonesia. Homoseksualitas hampir tidak pernah direkam atau digambarkan dalam sejarah
Indonesia. Sebuah pengecualian langka adalah catatan abad ke-18 mengenai dugaan
homoseksualitas Arya Purbaya, seorang pejabat di istana Mataram, meskipun tidak jelas apakah
itu benar-benar didasarkan pada kebenaran atau sebuah rumor kejam untuk mempermalukan
dirinya.
Meskipun waria, laki-laki yang berpenampilan seperti wanita, dan pelacur, telah lama
memainkan peran mereka dalam budaya Indonesia, identitas homoseksualitas laki-laki gay dan
perempuan lesbian di Indonesia hanya diidentifikasi baru-baru ini, terutama melalui identifikasi
dengan rekan-rekan gay dan lesbian Barat mereka, melalui film, televisi, dan media. Sebelum
rezim Orde Baru Soeharto budaya lokal Indonesia mengenai gay dan lesbi belum ada.
Pergerakan gay dan lesbian di Indonesia adalah salah satu yang terbesar dan tertua di
Asia Tenggara Aktivisme hak-hak gay di Indonesia dimulai sejak 1982 ketika kelompok
kepentingan hak-hak gay didirikan di Indonesia. " Lambda Indonesia" dan organisasi serupa
lainnya muncul di akhir 1980-an dan 1990-an. Saat ini, ada beberapa kelompok utama LGBT di

negara ini termasuk "Gaya Nusantara" dan "Arus Pelangi". Sekarang ada lebih dari tiga puluh
LGBT kelompok di Indonesia.5
Yogyakarta, Indonesia, menyelenggarakan KTT pada tahun 2006 tentang hak-hak LGBT
yang menghasilkan Prinsip Yogyakarta tentang Penerapan Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional dalam Kaitannya dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender. Namun,
pertemuan puncak pada Maret 2010 di Surabaya disambut dengan kecaman dari Majelis Ulama
Indonesia dan terganggu oleh demonstran konservatif
Di Indonesia, pria homoseksual yang berperilaku kemayu seperti wanita, atau pria yang
berpakaian seperti perempuan disebut sebagai banci, bencong atau waria. Sedangkan lesbian
sering juga dipanggil lesbi atau lines. Pria homoseksual yang berperilaku jantan selayaknya pria
biasa jarang teridentifikasi, akan tetapi jika ditemukan biasanya mereka dipanggil homo atau gay,
sedangkan gigolo homoseksual biasanya dipanggil kucing. Istilah-istilah, banci, bencong, kucing
dan homo memang memiliki makna konotatif yang merendahkan atau menghina, kecuali untuk
istilah waria, gay dan lesbian yang memperoleh persepsi netral. Ejekan, perundungan, dan
serangan terhadap kaum gay biasanya terjadi selama masa-masa remaja, tapi jarang melibatkan
kekerasan fisik, dan terutama hanya dilakukan secara verbal.
Seperti di negara lain, stereotip terhadap kaum homoseksual terjadi cukup umum di
Indonesia. Mereka biasanya mengambil peran, pekerjaan, dan karier tertentu; seperti sebagai
pemilik atau pekerja salon kecantikan, ahli kecantikan, make-up artist, pengamen (musisi
jalanan) berpakaian perempuan, sampai kegiatan cabul seperti menjadi pelacur transeksual.
Namun laki-laki homoseksual yang tidak berpenampilan seperti banci, sulit untuk dideteksi dan
sering berbaur dalam masyarakat.

Dalam budaya tradisional Indonesia, ketika seorang anak laki-laki atau perempuan
mencapai usia pubertas, hubungan dan interaksi antara mereka segera dibatasi. Norma dan moral
tradisional terutama di pedesaan dan wilayah pedalaman menentang kaum remaja berpacaran,
karena dianggap dapat mengarah pada hubungan seks pranikah. Moral tradisional juga
menentang berkumpulnya antara gadis yang belum menikah dengan laki-laki, karena dapat
mengarah pada skandal perzinahan. Hubungan persahabatan yang erat dan ikatan antar laki-laki
justru dianjurkan. Pengalaman homoerotik atau bahkan insiden hubungan homoseksual mungkin
saja terjadi di lingkungan serba laki-laki; misalnya di asrama, pondok pesantren, kamar kost,
hingga barak militer, dan penjara. Terdapat laporan dan desas-desus insiden hubungan
homoseksual di tempat-tempat tersebut, akan tetapi karena kuatnya budaya malu di Indonesia,
insiden semacam ini biasanya langsung ditutupi dan dirahasiakan agar tidak mencemari reputasi
institusi tersebut.
Kaum waria, baik yang berperan sebagai ritualis atau dukun pria yang menjadi
perempuan transgender, sebagai artis, dan pelacur, telah lama memainkan peran dalam budaya
lokal Indonesia. Namun kaum gay dan lesbi belum teridentifikasi sebelum masa Orde Baru.
Ketika pria dan wanita homoseksual akhirnya mengenali diri mereka melalui penggambaran
yang singkat mengenai kehidupan homoseksual asing, mereka akhirnya mencapai kesimpulan
bahwa 'dunia gay' bisa juga ada di Indonesia. Untuk pria gay, dunia mereka berada di berbagai
lokasi, mulai dari taman, diskotek, spa, panti pijat, pusat kebugaran dan kolam renang tertentu,
hingga kamar kost dan kediaman pribadi. Kaum gay lazim berkumpul di tempat 'terbuka' pada
waktu atau hari tertentu, di mana mereka mencari cinta, persahabatan, serta seks. Sedangkan
dunia lesbian umumnya bersosialisasi di rumah dan cenderung tersembunyi. Perbedaan ini
karena budaya yang dikonfigurasi dan didominasi norma hubungan heterogender. Dengan

menerima kategori baru seperti waria, pasangan lesbian dikenal sebagai tomboi atau pemburu
(sebutan lesbian yang bergaya dan berperan sebagai laki-laki), berpasangan dengan perempuan
feminin. Kontras antara pola pergaulan kaum gay dan lesbian mencerminkan dunia budaya yang
paralel: jika laki-laki gay dapat berkumpul dengan bebas relatif tanpa hambatan di taman-taman
terbuka - dan bahkan di rumah bersama keluarga dan orangtua mereka, dunia kaum lesbian
cenderung tertutup dan tersembunyi di rumah atau kediaman pribadi. Hal ini disebabkan
kepatuhan terhadap ideologi jender nasional; membatasi ruang gerak perempuan, dan
mengagungkan persahabatan pria. Hal ini menghalangi pergaulan antara perempuan dan laki-laki
yang belum menikah.
Kerap kali, waria atau transseksual menciptakan sub-budaya yang berbeda dalam corak
sosial Indonesia. Sering berkumpul di salon kecantikan dan lazim dalam bisnis hiburan
Indonesia, sub-budaya waria telah menciptakan bahasa mereka sendiri, Bahasa Binan, yang
sering mempengaruhi tren dialek di Indonesia khususnya di kalangan anak muda.
Tekanan pada pria gay atau lesbian sering kali berasal dari keluarga mereka sendiri. Ada
tekanan dari keluarga untuk segera menikah, dan mereka umumnya memiliki dua pilihan baik
gay dan lesbian dapat memutuskan untuk menikah, hanya untuk menyenangkan keluarga, atau
mereka lari dari keluarga dan mencari kehidupan yang bebas di luar.Perbedaan lain dalam
kehidupan homoseksual di Indonesia dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Barat adalah;
gay dan lesbian Indonesia lebih berkomitmen pada pernikahan heteroseksual. Sebagian besar
laki-laki gay mengaku berencana kelak akan menikahi wanita, atau bahkan sudah menikah, tetapi
masih menjalani kehidupan homoseksual secara diam-diam.
2.2 Perkembangan LGBT
2.2.1

Perkembangan LGBT di Dunia7

Menurut Sinyo (2014) perkembangan dunia homoseksual berkembang pada abad XI


Masehi. Istilah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau yang biasa dikenal
dengan LGBT mulai tercatat sekitar tahun 1990-an. Sebelum masa Revolusi Seksual
pada tahun 60-an tidak ada istilah khusus untuk menyatakan homoseksual. Kata yang
paling mendekati dengan orientasi selain heteroseksual adalah istilah third gender
sekitar tahun 1860-an. Kata revolusi seksual adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan perubahan sosial politik (1960-1970) mengenai seks. Dimulai dengan
kebudayaan freelove, yaitu jutaan kaummuda menganut gaya hidup sebagai hippie.
Mereka menyerukan kekuatan cinta dan keagungan seks sebagai bagian dari hidup yang
alami atau natural.Para
hippie percaya bahwa seks adalah fenomena biologi yang wajar sehingga tidak
seharusnya dilarang dan ditekan.
Singkatan dari homoseksual dikenal dengan istilah LGB (Lesbian, Gay, Biseksual).
Kata gay dan lesbian berkembang secara luas menggantikan istilah homoseksual sebagai
identitas sosial dalam masyarakat. Kata gay dan lesbian ini lebih disukai dan dipilih oleh
banyak orang karena simpel dan tidak membawa kata seks. Istilah biseksual muncul
belakangan setelah diketahui bahwa ada orang yang mempunyai orientasi seksual
terhadap sesama jenis dan lawan jenis. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan
psikologi muncul istilah baru yang tidak termasuk gay, lesbian, dan biseksual, yaitu
transgender. Semakin lengkap istilah sebelumnya menjadi LGBT. Istilah ini dipakai
untuk menerangkan orientasi seksual non-heteroseksual. Istilah LGBT sudah dikenal dan
atau diakui oleh banyak negara. Sebagian besar gerakan mereka mengatasnamakan
HAM (Hak Asasi Manusia) (Sinyo, 2014). Pada abad 18 dan 19 Masehi beberapa negara

10

mengkategorikan aktivitas homoseksual merupakan suatu tindak kriminalitas sebagai


kejahatan sodomi.
Perilaku pada hubungan seks sesama jenis atau yang disebut homoseksual ini tidak
dapat diterima secara sosial dan masyarakat. Situasi dan kondisi ini membuat komunitas
dan kehidupan sosial homoseksual hidup secara rahasia dan tertutup agar tidak diketahui
oleh orang lain dan tidak dianggap dimasyarakat, beberapa orang kemudian mulai
memperjuangkan kaum homoseksual. Salah satunya adalah Thomas Cannon. Ia
diperkirakan menjadi orang pertama yang memulai perjuangan kaum tersebut dengan
buku berjudul Ancient and Modern Pederasty Investigated and Exemplifyd ( Tahun
1749) di Inggris. Tulisannya yaitu tentang gosip dan antologi lelucon yang membela
kaum homoseksual. Cannon dipenjara karena tulisan tersebut yang akhirnya Ia
dibebaskan dengan uang jaminan (Sinyo, 2014).
Jeremy Bentham ( 1785) seorang tokoh filsuf reformis dibidang sosial juga membela
kaum homoseksual. Bentham sering memberikan masukan tentang hukum homoseksual
di Inggris. Pemikiran Bentham menyumbangkan inspirasi perubahan aturan hukum
terhadap kaum homoseksual mengenai homoseksual bukan suatu tindakan kriminal di
Negara Eropa lainnya. Pada tahun 1791 Prancis adalah negara pertama yang menerapkan
hukum bahwa homoseksual bukan termasuk tindakan kriminal (Sinyo, 2014). Gerakan
Free Love yang membangkitkan kaum feminis dan kebebasan hidup juga turut
memperjuangkan kaum homoseksual kepada publik. Gerakan ini kerap memandang
budaya sucinya pernikahan yang dianggap membatasi kebebasan hidup dan pilihan. Pada
masa ini hampir semua negara di Eropa dan Amerika melahirkan tokoh reformis yang

11

membela hak-hak kaum feminis, kehidupan bebas, dan komunitas homoseksual


(Sinyo,2014).
Beberapa gerakan sosial seperti The Black Power yaitu gerakan untuk
memperjuangkan hak kaum berkulit hitam dan Anti-Vietnam War mempengaruhi
komunitas gay untuk lebih terbuka. Masa ini dikenal dengan Gay Liberation Movement
atau gerakan kemerdekaan gay. Pada masa ini terjadi huru-hara yang terkenal dengan
sebutan Stonewall Riots, yaitu keributan sporadis antara polisi dan para pendemo yang
memperjuangkan kebebasan kaum gay. Keributan ini terjadi di Stonewell Inn,
Greenwich Village, Amerika Serikat pada 28 Juni 1969. Kejadian 28 Juni 1969 tersebut
tercatat dalam sejarah sebagai pemicu gerakan perjuangan hak asasi kaum gay di
Amerika Serikat dan dunia, sehingga muncul komunitas-komunitas gay baru seperti Gay
Liberation Front (GLF), The gay ActivitsAllainace ( GAA), dan Front Homosexsual
dAction Revolutionnaire. Pada tanggal tersebut juga dijadikan hari perayaan bagi kaum
LGBT di seluruh dunia dan pada hari tersebut mereka menggelar pawai dijalan utama
untuk menunjukan eksistensi kaum gay (Sinyo, 2014). Tahun 1970 aktivis LGBT protes
kepada American Psychiatric Association (APA) karena menetapkan homoseksual
sebagai bagian dari gangguan jiwa. Hal tersebut tertuang dalam Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders. Banyaknya akan protes karena rasa tidak setuju
tentang hal tersebut. APA secara resmi menghapus homoseksual dari masalah mental
disorders (gangguan jiwa) pada tahun 1974. Tindakan ini kemudian disebarluaskan
kepada hampir semua asosiasi psikiatri di dunia. Setelah itu dengan adanya perbedaan
dalam berkarya dan mendapatkan pekerjaan dalam hal identitas gender dimasyarakat

12

luas, muncul gerakan untuk memperjuangkan hak asasi kaum gay (Gay Rights
Movement).
Pada tahun 1978 dibentuk International Lesbian and Gay Association (ILGA) di
Conventry, Inggris. Institusi ini memerjuangkan hak asasi kaum lesbian dan gay secara
internasional. Pada masa itu dikenal simbol LGBT yaitu berupa bendera pelangi (the
rainbow flag atau pride flag) sebagai simbol pergerakan hak asasi komunitas LGBT.
Awalnya simbol ini hanya untuk komunitas gay di Amerika Serikat, namun sekarang
dipakai secara meluas di seluruh dunia sebagai lambang pergerakan kaum LGBT dalam
meraih hak-hak mereka. Berikut gambar salah satu bendera LGBT.

Gambar 1. Rainbow flag atau bendera LGBT


Gerakan hak asasi kaum gay dimulai pada era tahun 1980-an. penyakit AIDS dan
kaum gay dianggap sebagai penyebar utamanya, Kata queer dikenal sebagai istilah
orang yang berorientasi seksual atau gender minoritas dimasyarakat. Pada masa ini
perjuangan kaum LGBT sudah begitu meluas dengan banyaknya organisasi (legal atau
ilegal) disetiap negara. Salah satunya adalah hilangnya homosexsuality dari international
Classification of Diseases yang dibuat oleh WHO pada tanggal 17 Mei 1990, sehingga
13

pada tanggal tersebut dijadikan sebagai International Day Against Homophobia and
Transphobia (IDAHO).
Komunitas LGBT mencari pengesahan hukum pernikahan di negara-negara yang
telah melegalkan nikah sesama jenis. Belanda merupakan negara pertama yang
melegalkan pernikahan pasangan sesama jenis tahun 2001. Pada tahun 2008 diikuti oleh
Belgia, Kanada, Norwegia, Afrika Selatan, dan Spanyol ( untuk Amerika Serikat ada di
dua negara bagian yaitu Massachusetts dan Connecticut) (Sinyo, 2014).
2.2.2

Perkembangan LGBT di Indonesia


Sinyo (2014) menjelaskan kaum homoseksual mulai bermunculan di kota kota besar
pada zaman Hindia Belanda. Di Indonesia terdapat komunitas kecil LGBT walaupun
pada saat zaman Hindia Belanda tersebut belum muncul sebagai pergerakan sosial. Pada
sekitar tahun 1968 istilah wadam (wanita adam) digunakan sebagai pengganti kata banci
atau bencong yang dianggap bercitra negatif. Sehingga didirikan organisasi wadam yang
pertama, dibantu serta difasilitasi oleh gubernur DKI Jakarta, Bapak Ali Sadikin.
Organisasi wadam tersebut bernama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD).
Pada tahun 1980 karena Adam merupakan nama nabi bagi umat islam maka sebagian
besar tokoh Islam keberatan mengenai singkatan dari Wadam sehingga nama Wadam
diganti menjadi waria (wanita-pria). Organisasi terbuka yang menaungi kaum gay
pertama berdiri di Indonesia tanggal 1 Maret 1982, sehingga merupakan hari yang
bersejarah bagi kaum LGBT Indonesia. Organisasi tersebut bernama Lambda. Lambda
memiliki sekretariat di Solo. Cabang-cabang Lamda kemudian berdiri dikota besar
lainnya seperti Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Mereka menerbitkan buletin dengan
nama G: Gaya Hidup Ceria pada tahun 1982-1984.

14

Pada tahun 1985 berdiri juga komunitas gay di Yogyakarta mendirikan organisasi
gay. Organisasi tersebut bernama Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY).Tahun 1988 PGY
berubah nama menjadi Indonesian Gay Society (IGS). Tanggal 1 Agustus 1987 berdiri
kembali komunitas gay di Indonesia, yaitu berdirinya. Kelompok Kerja Lesbian dan
Gaya Nusantara (KKLGN) yang kemudian disingkat menjadi GAYa Nusantara (GN).
GN didirikan di Pasuruan, Surabaya sebagai penerus Lambda Indonesia. GN
menerbitkan majalah GAYa Nusantara.
Tahun 90-an muncul organisasi gay dihampir semua kota besar di Indonesia seperti
Pekanbaru, Bandung, Jakarta, Denpasar, dan Malang (Sinyo, 2014). Pada akhir tahun
1993 diadakan pertemuan pertama antar komunitas LGBT di Indonesia. Pertemuan
tersebut diselenggarakan di Kaliurang, Yogyakarta dan diberi nama Kongres Lesbian dan
Gay Indonesia I atau yang dikenal sebagai KLG I. Jumlah peserta yang hadir kurang
lebih 40-an dari seluruh Indonesia yang mewakili daerahnya masing-masing. GAYa
Nusantara mendapat mandat untuk mengatur dan memantau perkembangan Jaringan
Lesbian dan Gay Indonesia ( JLGI). KLG II dilakukan pada bulan Desember 1995 di
Lembang, Jawa Barat.
Peserta yang hadir melebihi dari KLG I dan datang dari berbagai daerah di Indonesia.
Tanggal 22 Juli 1996, salah satu partai politik di Indonesia yaitu Partai Rakyat
Demokratik ( PRD), mencatat diri sebagai partai pertama di Indonesia yang
mengakomodasi hak-hak kaum homoseksual dan transeksual dalam manifestonya.
Kemudian KLG III diselenggarakan di Denpasar, Bali pada bulan november 1997. KLG
III merupakan pertama kalinya para wartawan diperbolehkan meliput kongres diluar

15

sidang-sidang. Hasil kongres ini adalah peninjauan kembali efektivitas kongres sehingga
untuk sementara akan diadakan rapat kerja nasional sebagai gantinya (Sinyo, 2014)
Untuk pertama kalinya Gay Pride dirayakan secara terbuka di kota Surabaya pada
bulan Juni tahun 1999. Acara tersebut merupakan kerja sama antara GN dan Persatuan
Waria kota Surabaya (PERWAKOS). Pada tahun ini juga Rakernas yang rencananya
akan diselenggarakan di Solo batal dilaksanakan karena mendapat ancaman dari Front
Pembela Islam Surakarta (FPIS). Tanggal 7 November 1999 pasangan gay Dr. Mamoto
Gultom (41) dan Hendry M. Sahertian melakukan pertunangan dan dilanjutkan dengan
mendirikan Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN). Yayasan ini bergerak dalam
bidang pencegahan dan penyuluhan tentang penyakit HIV/AIDS dikalangan komunitas
gay di Indonesia.7

2.3 Aspek Medis LGBT


Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi
yang berjenis kelamin sama secara situasional atau berkelanjutan. Pada penggunaan
mutakhir, kata sifat homoseks digunakan untuk hubungan intim dan/atau hubungan sexual
di antara orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi
diri mereka sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas, sebagai suatu pengenal, pada
umumnya dibandingkan dengan heteroseksualitas dan biseksualitas. Istilah gay adalah
suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada pria homoseks. Sedangkan
Lesbian adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada wanita
homoseks.6

16

Definisi tersebut bukan definisi mutlak mengingat hal ini diperumit dengan
adanya beberapa komponen biologis dan psikologis dari seks dan gender, dan dengan itu
seseorang mungkin tidak seratus persen pas dengan kategori dimana ia digolongkan.
Beberapa orang bahkan menganggap ofensif perihal pembedaan gender (dan pembedaan
orientasi seksual).7
Menurut V. Adsley, S.Psi,terdapat tiga aspek homoseksualitas, yaitu:
Orientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang lain
mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender yang sama.
Perilaku seksual melingkupi aktivitas untuk menemukan dan menarik perhatian
pasangan (perilaku mencari & menarik pasangan), interaksi antar individu,
kedekatan fisik atau emosional, dan hubungan seksual dengan gender yang sama
tidak peduli orientasi seksual atau identitas gender.
Identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu kepada
perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual. Aspek ini mengarah pada
identitas seksual sebagai gay atau lesbian.8
Penyebab perilaku homoseksualitas antara lain : Genetik, Traumatik, Pola asuh yang
salah, Lingkungan, Teman dekat, Film, Explorasi. Menurut Prof. DR. Wimpie Pangkahila
(Pakar Andrologi dan Seksologi), beberapa faktor penyebab orang menjadi homoseksual
dapat dilihat dari :
1) Faktor Biologi
Susunan Kromosom
Perbedaan homoseksual dan heteroseksual dapat dilihat dari susunan kromosomnya
yang berbeda. Seorang wanita akan mendapatkan satu kromosom x dari ibu dan satu

17

kromosom x dari ayah. Sedangkan pada pria mendapatkan satu kromosom x dari ibu
dan satu kromosom y dari ayah. Kromosom y adalah penentu seks pria.
Jika terdapat kromosom y, sebanyak apapun kromosom x, dia tetap berkelamin pria.
Seperti yang terjadi pada pria penderita sindrom Klinefelter yang memiliki tiga
kromosom seks yaitu xxy. Dan hal ini dapat terjadi pada 1 diantara 700 kelahiran
bayi. Misalnya pada pria yang mempunyai kromosom 48xxy. Orang tersebut tetap
berjenis kelamin pria, namun pada pria tersebut mengalami kelainan pada alat
kelaminnya.
Ketidakseimbangan Hormon
Seorang pria memiliki hormon testoteron, tetapi juga mempunyai hormon yang
dimiliki oleh wanita yaitu estrogen dan progesteron. Namun kadar hormon wanita ini
sangat sedikit. Tetapi bila seorang pria mempunyai kadar hormon esterogen dan
progesteron yang cukup tinggi pada tubuhnya, maka hal inilah yang menyebabkan
perkembangan seksual seorang pria mendekati karakteristik wanita.
Struktur Otak
Struktur otak pada straight females dan straight males serta gay females dan gay
males terdapat perbedaan. Otak bagian kiri dan kanan dari straight males sangat jelas
terpisah dengan membran yang cukup tebal dan tegas. Straight females, otak antara
bagian kiri dan kanan tidak begitu tegas dan tebal. Dan pada gay males, struktur
otaknya sama dengan straight females, serta pada gay females struktur otaknya sama
dengan straight males, dan gay females ini biasa disebut lesbian.
Kelainan susunan saraf

18

Berdasarkan hasil penelitian terakhir, diketahui bahwa kelainan susunan saraf otak
dapat mempengaruhi prilaku seks heteroseksual maupun homoseksual. Kelainan
susunan syaraf otak ini disebabkan oleh radang atau patah tulang dasar tengkorak.
2) Faktor Psikodinamik, yaitu adanya ganguan perkembangan psikseksual pada masa
anak-anak
3) Faktor Sosiokultural, yaitu adanya adat-istiadat yang memberlakukan hubungan
homoseksual dengan alasan yang tidak benar
4) Faktor Lingkungan, dimana memungkinkan dan mendorong hubungan para pelaku
homoseksual menjadi erat.
Dari keempat faktor tersebut, penderita homoseksual yang disebabkan oleh faktor biologis
dan psikodinamik memungkinkan untuk tidak dapat disembuhkan menjadi heteroseksual.
Namun jika seseorang menjadi homoseksual karena faktor sosiokultural dan lingkungan,
maka dapat disembuhkan menjadi heteroseksual, asalkan orang tersebut mempunyai tekad
dan keinginan kuat untuk menjauhi lingkungan tersebut.9
2.3 Aspek Hukum LGBT
Beberapa dasar hukum yang melarang LGBT di Indonesia diantaranya adalah
sebagai berikut.9

Pasal 289 KUHP


Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan

19

perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.

Pasal 290 KUHP

Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 291 KUHP

1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya


bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau
umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin:
3. Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas
yang bersangkutan atau kutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan
orang lain.

Pasal 292 KUHP


Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.8

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara tegas


mendefinisikan perkawinan sebagai pemersatuan antara seorang pria dan seorang
perempuan. Belum ada usaha advokasi terpadu yang pernah dilakukan oleh aktivis LGBT
untuk menuntut reformasi undang-undang tersebut. 10
20

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan


-

Pasal 64 Pengisian kolom jenis kelamin seorang warga Negara Indonesia harus
diisi dengan laki-laki atau perempuan. Hal tersebut dapat diartikan bahwa jenis
kelamin yang diakui di Indonesia hanyalah laki-laki dan perempuan, serta belum
mengatur tentang pengakuan status kaum Transgender. 11

Pasal 56 tentang pencatatan peristiwa penting lainnya dimana yang dimaksudkan


antara lain adalah tentang hal perubahan jenis kelamin. Pencatatannya dilakukan
oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan Penduduk yang bersangkutan setelah
adanya penetapan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
11

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana disebutkan bahwa


pernikah yang diakui oleh Negara adalah pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan. 10

Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi memasukkan istilah


"persenggamaan yang menyimpang" sebagai salah satu unsur pornografi. Dalam
penjelasan pengertian istilah ini mencakup antara lain "persenggamaan atau aktivitas
seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual."
Meskipun larangan berlaku terhadap produksi dan penyebaran pornografi, undangundang ini dipahami oleh banyak pria gay dan perempuan lesbian sebagai hukum yang
memidanakan hubungan seks homoseksual. Sekali lagi, cukup menarik bahwa kaum
transgender tidak disebutkan. 12

21

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentangAdopsi secara tegas menetapkan


bahwa orang tua yang mengadopsi tidak boleh berupa pasangan homoseksual. Adopsi
oleh orang yang belum kawin tidak diperkenankan. 13

Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 diatur tentang orang yang disebut
sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial. Di antaranya adalah mereka yang
karena perilaku seksualnya menjadi terhalang dalam kehidupan sosial, yaitu waria (pria
transgender tidak disebutkan), pria gay dan perempuan lesbian. Solusi untuk hal ini
secara kurang jelas disebut sebagai "rehabilitasi." Penyusunan peraturan ini tampaknya
dilakukan tanpa berkonsultasi dengan orang-orang yang dimaksudkan untuk dibantu
dalam ketentuan tersebut. Selain itu masih belum jelas pula tentang pelaksanaannya.
Yang sering terjadi di banyak tempat adalah pelaksanaan razia terhadap orang-orang
seperti itu, yangkemudian dikirim ke pusat-pusat rehabilitasi yang melakukan pembinaan
bagi mereka untuk "berintegrasi ke dalam masyarakat." Seperti yang akan dijelaskan
kemudian, tindakan ini seringkali terkait dengan praktek korupsi oleh aparat penegak
hukum.14
Dalam sebuah penlitian yang dilakukan oleh Widhiatmoko B dan Suyanto E tahun
2013 menyebutkan bahwamenurut undang-undang kependudukan, data kependudukan
tidak dapat dirubah tanpa hak oleh siapapun, bila ada penggantiaan data, misalnya nama
atau karena peristiwa penting lainnya, dapat dilakukan tetapi harus melalui ketetapan
pengadilan negeri.14 Namun, untuk perubahan jenis kelamin tidak dicantumkan secara
khusus dalam undang-undang yang ada. Hal ini menyebabkan kekosongan hukum.
Dengan adanya Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman maka hakim harus membuat sebuah keputusan.

22

Keputusan ini harus didasari pertimbangan yang kuat dan didapat dari berbagai ahli
selain para dokter yang menangani kasus ambiguous genetalia ini. Tindakan pembedahan
untuk menyempurnakan atau menyesuaikan (mengganti) bentuk alat kelamin agar sesuai
kelamin sebenarnya tidak melanggar undang-undang yang ada dan etika kedokteran di
Indonesia
Keputusan hakim mengenai pengambilan putusan mengenai pergantian kelamin
ini didasarkan terhadap dua aspek yaitu aspek hukum dan non-hukum (medik). Aspek
hukum yang dijadikan acuan adalah Pasal 50 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: Hakim dan Hakim Konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
Sedangkan pertimbangan dari aspek medis mengenai penentuan jenis kelamin
seseorang, sekurang-kurangnya ada 5 aspek penting yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
(a) Aspek Kromosom, (b)Aspek alat kelamin primer (organ kelamin dalam yaitu testis
dan ovarium), (c) Aspek alat kelamin sekunder (organ kelamin luar yaitu penis serta
vulva dan vagina), (d)Aspek Hormonal dan (e) Aspek psikologik.
Beberapa Peraturan Daerah mengenai LGBT antara lain sebagai berikut.7

Perda Provinsi tentang Pemberantasan Maksiat Nomor 13 Tahun 2002 di Provinsi


Sumatera Selatan. Perda ini menggolongkan perilaku homoseksual dan anal seks oleh
laki-laki (tanpa menyebutkan apakah bersifat penetratif atau menerima) sebagai
perbuatan tidak bermoral, sebagaimana halnya prostitusi, perzinahan, perjudian dan
konsumsi minuman beralkohol.

23

Perda Kota tentang Pemberantasan Pelacuran Nomor 2 Tahun 2004 di Palembang,


ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Perda ini serupa dengan Perda Provinsi, hanya
menggunakan istilah "pelacuran" dan bukan "maksiat."

Perda Kabupaten tentang Ketertiban Masyarakat Nomor 10 Tahun 2007 di Banjar,


Provinsi Kalimantan Selatan. Perda ini dalam definisinya tentang "pelacur"
menyebutkan perbuatan homoseksual dan heteroseksual yang "tidak normal" (di samping
perbuatan yang "normal"). Tidak ada penjelasan tentang apa yang merupakan perbuatan
"normal" atau "tidak normal." Perda ini juga melarang pembentukan organisasi "yang
mengarah kepada perbuataan asusila" yang "tidak bisa diterima oleh budaya masyarakat
[setempat]." Hal ini kemudian dijelaskan dengan menyebutkan contoh organisasi lesbian
dan gay "dan sejenisnya."

Perda Kota tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang


Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat
Nomor 12 Tahun 2009 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Perda ini melarang perzinahan
dan pelacuran, baik heteroseksual maupun homoseksual.

Perda Kota tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Sosial


Nomor 9 Tahun 2010 di Padang Panjang, Sumatera Barat.

Bagian definisi istilah secara tegas menyebutkan hubungan "homoseksual dan lesbian" dan
selanjutnya melarang hubungan tersebut serta melarang orang yang "menawarkan diri untuk
terlibat dalam hubungan homoseksual maupun lesbian, baik dengan atau tanpa menerima
upah."15
Keempat Perda pertama di atas hanya mengatur tentang hukuman atas perbuatan
asusila tersebut. Secara umum disebutkan tentang "ketentuan perundang-undangan yang

24

berlaku", yang dimaksud sebagai perundang-undang nasional. Namun, Perda kelima secara
tegas menetapkan hukuman bagi berbagai perbuatan asusila sampai setinggi-tingginya tiga
bulan penjara atau denda sebesar Rp 10,000,000 (sekitar USD835). Terdapat Perda lain
tentang perbuatan asusila yang telah disahkan oleh DPRD Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam pada tahun 2009, yang memidanakan seks atas dasar suka sama suka oleh pria
dewasa dan perempuan dewasa, namun rancangan Perda ini belum ditandatangani oleh
Gubernur provinsi tersebut. Menarik untuk perhatikan bahwa waria (perempuan transgender)
sama sekali tidak disebutkan dalam Perda-Perda tersebut. Hal ini tampaknya menjadi
konsekuensi logis dari asumsi keberadaan hanya dua gender saja dalam undang-undang
negara. Menurut Undang-undang Republik Indonesia, mereka tetap dianggap sebagai pria.
Lima Perda diatas dapat dianggap sebagai pengecualian terhadap peraturan yang berlaku
umum. Namun, kalangan aktivis LGBT dan para sekutunya dalam gerakan hak asasi manusia,
baik arus utama maupun feminis, seringkali mengkhawatirkan bahwa tuntutan dari para
anggota legislatif dan kelompok-kelompok penekan berhaluan konservatif dapat menjadi
semakin vokal, dengan berdasarkan penafsiran mereka terhadap syariah Islam. Hal ini dapat
diterjemahkan ke dalam semakin banyak Perda, atau bahkan perundang-undang nasional,
yang serupa.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,
tercantum bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Dimana undang-undang ini membahas tentang perlindungan
anak, yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Seperti yang tertera

25

pada pasal 15 bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual.
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan kepada: Anak korban kejahatan seksual. Setiap Orang dilarang melakukan
Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian
kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul. Tertera bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00. Kemudian apabila pelaku merupakan orang tua atau wali
pelaku, hukum akan dikenakan 1/3 lebih berat dari hukuman awal.15
2.4 Aspek Agama LGBT

Pandangan Agama Islam


Al-Quran diturunkan kepada manusia sebagai pedoman. Diantaranya pernikahan
antar lawan jenis, laki-laki dengan perempuan, tidak semata untuk memenuhi hasrat
biologis namun sebagai ikatan suci untuk menciptakan ketenangan hidup dengan
membentuk keluarga sakinah dan mengembangkan keturunan umat manusia yang
berakhlak mulia. Perkawinan yang dilakukan kaum homoseksual dan lesbian tidak akan
menghasilkan anak, selain itu akan mengancam kepunahan generasi manusia. Ngeseks
sesama jenis semata-mata untuk menyalurkan kepuasan nafsu syahwat yang
menyimpang.16
Lesbian dan Gay telah mengukir sejarah tersendiri dalam perjalanan umat
manusia. Sejarah mengatakan, bahwa seks sesama jenis pada zaman dahulu memang ada
dan menjadi salah satu bagian dari pola seks manusia. Berbagai kitab suci seperti Al-

26

Quran, Injil, dan Taurat telah menjelaskan tentang kaum Nabi Luth AS. Meskipun
perilaku seksual sejenis itu dikutuk, namun pada kenyataannya, banyak masyarakat
mempraktekkan moral bejat tersebut. Sudah barang tentu, dengan latar belakang dan
pelaku yang berbeda, seperti yang dilakukan di hotel, kos-kosan, tempat remang-remang
dan ltempat lain.16
1. Lesbian
LGBT menurut pandangan agama Islam, sebagian besar ulama menjelaskan tentang
hukuman Allah Subhanahu wa Taala terhadap para perempuan kaum Luth bersamaan
dengan para lelaki mereka, yaitu ketika para lelaki merasa cukup dengan kaum lelaki
maka hukumannya pun telah diketahui, tidaklah samar bagi seorang pun. Sesuai
dengan firman Allah Taala:
Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di
atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah
yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan
itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim, (QS. Hud: 82-83).
Bila ditelusuri secara gramatikal, tidak ada perbedaan penggunaan kata antara
homoseksual dan lesbian. Dalam bahasa arab kedua-duanya dinamakan al-liwath.
Pelakunya dinamakan al-luthiy. Namun Imam Al-Mawardi dalam kitabnya al-Hawi
al-Kabir menyebut homoseksual dengan liwath, dan lesbian dengan sihaq atau
musaahaqah. Imam Al-Mawardi berkata, Penetapan hukum haramnya praktik

27

homoseksual menjadi ijma, dan itu diperkuat oleh nash-nash Al-Quran dan AlHadits. 16
2. Gay
LGBT menurut pandangan agama Islam, diantaranya gay adalah salah satu
penyelewengan seksual, karena menyalahi sunnah Allah, dan menyalahi fitrah
makhluk ciptaanNya. Lebih kurang empat belas abad yang lalu, al-Quran telah
memperingatkan umat manusia ini, supaya tidak mengulangi perbuatan kaum Nabi
Luth. Allah Swt berfirman:
Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan
istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orangorang yang melampaui batas, (QS. Asy Syuara: 165-166).
Setelah Rasulullah menerima wahyu tentang berita kaum Luth yang mendapat
kutukan dari Allah dan merasakan azab yang diturunkanNya, maka beliau merasa
khawatir sekiranya peristiwa itu terulang kembali kepada umat di masa beliau dan
sesudahnya. Sebuah kemaksiatan yang menjijikkan daripada zina atau seks bebas.
Rasulullah bersabda, Sesuatu yang paling saya takuti terjadi atas kamu adalah
perbuatan kaum Luth dan dilaknat orang yang memperbuat seperti perbuatan mereka
itu, Nabi mengulangnya sampai tiga kali, Allah melaknat orang yang berbuat seperti
perbuatan kaum Luth; Allah melaknat orang yang berbuat seperti perbuatan kaum
Luth; Allah melaknat orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth, (HR. Ibnu
Majah, Tirmidzi dan Al Hakim). 16
28

3. Biseksual
Biseksualitas merupakan ketertarikan romantis, ketertarikan seksual, atau kebiasaan
seksual kepada pria maupun perempuan. Istilah ini umumnya digunakan dalam
konteks ketertarikan manusia untuk menunjukkan perasaan romantis atau seksual
kepada pria maupun perempuan sekaligus. Istilah ini juga didefinisikan sebagai
meliputi ketertarikan romantis atau seksual pada semua jenis identitas gender atau
pada seseorang tanpa mempedulikan jenis kelamin atau gender biologis orang
tersebut, yang terkadang disebut panseksualitas.
Semua perbuatan LGBT adalah maksiat dan haram, tak ada satu pun yang dihalalkan
dalam agama Islam. Biseksual adalah perbuatan zina jika dilakukan dengan lawan
jenis dan sesama jenis. Jika dilakukan dengan sesama jenis, tergolong homoseksual
jika dilakukan di antara sesama laki-laki, dan tergolong lesbianisme jika dilakukan di
antara sesama perempuan.
LGBT dalam Islam, hukumannya disesuaikan dengan perbuatannya. Jika tergolong
zina, hukumnya rajam (dilempar batu sampai mati) jika pelakunya muhshan (sudah
menikah) dan dicambuk seratus kali jika pelakunya bukan muhshan. Jika tergolong
homoseksual, hukumannya hukuman mati. Jika tergolong lesbian, hukumannya tazir.
16

4. Transgender
Pada dasarnya Allah menciptakan manusia ini dalam dua jenis saja, yaitu laki-laki
dan perempuan, sebagaimana firman Allah SWT:
29

Dan Dia (Allah) menciptakan dua pasang dari jenis laki-laki dan perempuan,
(QS. An Najm: 45).
Wahai manusia Kami menciptakan kamu yang terdiri dari laki-laki dan
perempuan, (QS. Al Hujurat: 13).
Kedua ayat di atas, dan ayat-ayat Al Quran lainnya menunjukkan bahwa manusia di
dunia ini hanya terdiri dari dua jenis saja, laki-laki dan perempuan, dan tidak ada jenis
lainnya. Namun kenyataannya, seseorang tidak mempunyai status yang jelas, bukan
laki-laki dan bukan perempuan. Jika penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang
dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya
sama dengan sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Dari segi waris
seorang perempuan yang melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria tidak
akan menerima bagian warisan pria (dua kali bagian perempuan) demikian juga
sebaliknya.
LGBT menurut pandangan agama Islam pada umumnya menyamakan perbuatan
homoseksual dengan perbuatan zina. Karena itu, segala implikasi hukum yang
berlaku pada zina juga berlaku pada kasus homoseksual. Bahkan pembuktian hukum
pun mengacu pada kasus-kasus yang terjadi pada zina. Sementara operasi kelamin
yang dilakukan pada seorang yang mengalami kelainan kelamin (misalnya
berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan)
dan sesuai dengan hukum akan membuat identitas kelamin tersebut menjadi jelas. 16

Pandangan Agama Kristen

30

Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa Allah merancang agar hubungan seks
dilakukan hanya di antara pria dan perempuan, dan hanya dalam ikatan perkawinan.
(Kejadian 1:27, 28; Imamat 18:22; Amsal 5:18, 19) Alkitab mengutuk percabulan, yang
mencakup perilaku homoseksual maupun heteroseksual terlarang. (Galatia 5:19-21). 17
2.5 Aspek Sosial Budaya LGBT
Banyak orang tahu tentang konsep orientasi seksual yang beragam, namun tidak
banyak yang mengenal orang yang secara terbuka homoseksual atau orang yang merasa
dirinya tertarik atau melakukan hubungan seks dengan orang dengan gender
sejenis.Secara sepintas, orang transgender terutama waria, mendapatkan toleransi dan
dapat ditemukan di banyak lingkungan pergaulan masyarakat. Yang tidak disadari adalah
keadaan bahwa banyak orang seperti ini mungkin dapat "ditoleransi" tetapi belum tentu
mereka diterima oleh keluarga sendiri.Penerimaan berarti orang transgender dapat
mengikuti seluruh kegiatan keluarga dan masyarakat tanpa rasa enggan atau ragu-ragu.
Sedangkan toleransi biasanya diberikan secara kurang rela atau karena suatu keharusan.2
Demikian pula, segelintir orang yang dikenal sebagai lesbian, gay atau biseksual oleh
orang-orang di sekitar mereka cenderung ditolerir oleh orang yang belum tentu dapat
menunjukkan toleransi yang sama bagi anggota keluarga mereka sendiri. Namun secara
konseptual, banyak orang Indonesia akan menyatakan bahwa mereka menentang
homoseksualitas. Laporan Global Attitudes Project oleh Pew Research mengenai sikap
terhadap homoseksualitas menunjukkan adanya penolakan terhadap homoseksualitas oleh
93% responden survei di dalam negeri dan hanya ada 3% yang bersikap menerima. Di
lain pihak, semakin banyak orang yang bersikap progresif dan liberal serta memahami
prinsip-prinsip hak asasi manusia, atau pernah membaca tentang keragaman identitas dan

31

ekspresi gender serta orientasi seksual, dan dapat menerima keragaman dalam segala
aspeknya.2
2.6 Aspek Psikologi LGBT
Dalam PPDGJ III kaum LGBT masuk dalam salah satu gangguan jiwa yaitu F66
Gangguan Psikologis dan Perilaku yang Berhubungan dengan Perkembangan dan Orientasi
Seksual dengan kode lima karakter :
F66.x0 = Heteroseksualitas
F66.x1 = Homoseksualitas
F66.x2 = Biseksualitas
F66.x8 = Lainnya, termasuk pra pubertas
Homoseksualitas dengan sinonim gay untuk laki-laki dan lesbian untuk perempuan. Kata
homoseksual mempunyai konotasi medik dan pengertian kurang baik. Kelompok
homoseksual dan biseksual dalam PPDGJ III tidak berdiri sendiri sebagai suatu kelainan.
Kelompok ini telah dihapus sebagai kelainan jiwa sejak 1973 di USA oleh American
Psychiatric Association. Di Indonesia mereka ini tidak termasuk gangguan jiwa lagi sejak
1983. Dalam PPDGJ II homoseksualitas telah dikeluarkan sebagai gangguan jiwa. Mereka
masih ada dalam bentuk ego-distonik artinya tidak merasa identitas diri mereka sebagai
homoseks kurang atau tidak cocok.4
Dalam penelitian Kinsey tahun 1953 mendapatkan bahwa diantara orang-orang heterohomoseksual terdapat banyak varian dan adanya mereka ini tersebar menurut skala Kinsey.
Skala 0 dikhususkan untuk kelompok yang murni heteroseksual dan skala 0 untuk merek
yang murni homoseksual. Diantara mereka terdapat skala 1 sampai dengan 5, mereka yang
berada diantaranya dengan makin mendekati skala 6 terdapat mereka yang mempunyai

32

campuran orientasi heteroseksual dan lebih banyak orientasi homoseksualnya. Makin dekat
ke titik 0 terdapat mereka yang lebih banyak orientasi heteroseksnya. Di tengah-tengah
terdapat mereka yang biseksual, artinya sama banyak orientasi homo maupun heteroseksnya.
Mereka ini termasuk titik 3 dan 4.

0 = heteroseksual semata-mata (eksklusif)

1 = heteroseksual lebih menonjol, homoseksual hanya kadang-kadang

2 = heteroseksual predominan, homoseksual lebih kadang-kadang

3 = heteroseksual dan homoseksual sama banyaknya

4 = homoseksual predominan, heteroseksual lebih kadang-kadang

5 = homoseksual predominan, heteroseksual kadang-kadang saja

6 = homoseksual semata-mata18

Menurut Soetjiningsih (2004), tipe-tipe homoseksual berdasarkan konflik psikis dapat


dibedakan menjadi dua tipe diantaranya sebagai berikut:
1. Homoseksual egosintonik (sinkron dengan egonya)
Seorang homoseksual yang merasa tidak terganggu oleh orientasi seksualnya, tidak ada
konflik bawah sadar yang dialami, serta tidak ada desakan atau dorongan atau keinginan
untuk mengubah orientasi seksualnya. Orang homoseksual egosintonik mampu mencapai
status pendidikan, pekerjaan dan ekonomi sama tingginya dengan orang-orang
heteroseksual. Pada perempuan lesbi yang masuk dalam tipe homoseksual egosintonik
akan lebih terbuka, mandiri, fleksibel, dan dapat mencukupi kebutuhannya sendiri.
Kelompok ini mampu menjalankan fungsi sosial dan seksualnya secara efektif, karena
individu tersebut tidak mengalami kecemasan dan kesulitan psikologis dibandingkan
dengan lesbi yang menutupi orientasi seksual (non-coming out).14
33

2. Homoseksual egodistonik (tidak sinkron dengan egonya)


Homoseksual yang mengeluh dan merasa terganggu akibat adanya konflik psikis.
Seorang perempuan yang termasuk dalam homoseksual egodistonik akan senantiasa tidak
atau terangsang oleh lawan jenis (laki-laki) dan hal ini menghambatnya untuk memulai
dan mempertahankan hubungan heteroseksual yang sebetulnya didambakannya, namun
perempuan tersebut juga menjalankan hubungan dengan sesama perempuan dan
kemungkinan adanya konflik bawah sadar yang dialami. Konflik psikis tersebut
menyebabkan perasaan bersalah, tertutup, kesepian, malu, cemas dan depresi, sehingga
homoseksual ego distonik dianggap sebagai gangguan psikososial. Penyebab perilaku
homoseksualitas antara lain : Genetik, Traumatik, Pola asuh yang salah, Lingkungan,
Teman dekat, Film, Explorasi.14
2.7 Dampak LGBT
Menjadi seorang homoseksual rentan terhadap berbagai resiko, hal ini dapat dilihat dari
dua sudut pandang yaitu berdasarkan sumber resiko dan jenis resiko.
1. Sumber Resiko2
a) Resiko yang harus dihadapi dari lingkungan eksternal
Keberadaan kaum homoseksual di tengah masyarakat dalam berinteraksi/
bersosialisasi dengan lingkungan senantiasa dihadapkan pada hukum, norma, nilainilai, dan aturan tertulis maupun tidak tertulis, serta stereotipe yang berlaku di
masyarakat. Misalnya saja hukum negara yang tidak memperbolehkan terjadinya
pernikahan antara sesama jenis kelamin, norma agama yang tidak memperbolehkan
hubungan homoseksual, aturan tidak tertulis yang berlaku di masyarakat untuk
menghindari relasi dengan kaum homoseksual, menutup kesempatan bagi kaum

34

homoseksual untuk berkarya / bekerja, bersekolah atau pun kesempatan untuk


mendapat pelayanan kesehatan yang sama dengan yang lain.
Situasi di atas

berpotensi menghasilkan reaksi dari lingkungan, ada yang

bersikap biasa, ada yang memandang sebelah mata, ada pula yang

hingga

memberikan perlakuan yang tidak menyenangkan seperti dikucilkan, disisihkan/


dijauhi oleh keluarga, teman, dan lingkungan kerja, serta masyarakat. Tidak menutup
kemungkinan ada kaum homoseksual yang menghadapi situasi dan respon berbeda
dari masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan hukum dan budaya yang
berlaku antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
b) Resiko yang berasal dari perilaku sendiri / lifestyle
Seorang homoseksual sering berhadapan dengan adanya realitas gaya hidup
tertentu yang berlaku di kalangan kaum homoseksual. Gaya hidup ini meliputi cara,
perilaku, dan kebiasaan tertentu baik itu dalam mengekspresikan orientasi seksual,
bersosialisasi, maupun menjalani hidup sehari-hari.
Gaya hidup tertentu pada kaum homoseksual dapat beresiko buruk terhadap
kesehatan fisik maupun mental & emosional, seperti: berganti-ganti pasangan dalam
berhubungan seksual (berhubungan intim), melakukan hubungan seksual yang tidak
aman (tidak menggunakan kondom), melakukan anal seks, minum-minuman keras dan
narkoba.
Gaya hidup demikian beresiko terhadap terganggunya kesehatan fisik, seperti:
STI's (Sexual Transmitted Infections) / STD's (Sexual Transmitted Diseases) termasuk
HIV-AIDS, dan terganggunya kesehatan mental dan emosional, seperti: kecemasan
berlebihan, depresi, merusak / menyakiti diri sendiri, dan sebagainya.4

35

2. Jenis Resiko2.3
a) Resiko sehubungan dengan kesehatan mental dan emosional
Resiko gangguan kesehatan mental dan emosional yang dapat terjadi terhadap
homoseksual, seperti: depresi, gangguan mental, gangguan kecemasan, gangguan
perilaku (melakukan penganiayaan-kekerasan seksual atau fisik / sexual or physical
abuse), menyakiti / melukai diri sendiri, hingga perilaku bunuh diri.
Penyebab terjadinya gangguan kesehatan mental dan emosional pada homoseksual :

Tekanan psikologis terhadap penderitaan / kondisi yang tidak menyenangkan,


seperti: homophobia; HIV-AIDS; non HIV STD's seperti: Syphilis, Anal Cancer,
Gonorrhoea, Chlamydia, Herpes, Genital Warts; masalah body image. Tekanan
psikologis dapat membuat seorang homoseksual menjadi stres dan ketika ia tidak
mampu menghadapi stres ini (distress), dirinya menjadi tidak terkendali dan tidak
mampu mengkontrol dirinya sendiri. Dalam situasi demikian orang ini dikendalikan
sepenuhnya oleh emosi-emosi negatif di dalam dirinya seperti: depresi, kecemasan /
ketakutan yang berlebihan, mengasihani diri sendiri, amarah, iri hati, dan lain-lain.

Negative self image. Negative self image terjadi ketika seseorang memandang dan
meyakini dirinya sendiri tidak berharga, rendah diri, dan tidak berdaya (internalised
homophobia). Negative self image terbentuk pada seorang homoseksual ketika ia
dihadapkan pada: pengalaman masa lalu yang menyakitkan (ditolak dan dianiaya /
disakiti baik fisik maupun emosional oleh keluarga, teman-teman bermain di masa
kecil, ataupun di sekolah); perlakuan yang tidak menyenangkan dari masyarakat
(homophobia) seperti dengan: memberlakukan stereotipe tertentu mengenai
homoseksual, men-cap atau memberikan label negatif tertentu, memberikan

36

tekanan / memaksakan nilai-nilai, sikap, atau tindakan tertentu; serta faktor


diskriminatif dalam hal beberapa hal seperti hukum, norma, nilai-nilai, dan aturanaturan tertentu.

Terlibat dalam melakukan hubungan seksual (hubungan intim) homoseksual.


Persepsi dan sikap seorang homoseksual terhadap hubungan seksual yang
dilakukan memiliki konsekuensi terhadap kesehatan mental dan emosionalnya.
Ketika ia menaruh persepsi dan sikap negatif terhadap hubungan seksual yang
dilakukannya maka perasaan-perasaan tidak menyenangkan akan hadir dalam
dirinya dan mengganggunya. Persepsi dan sikap negatif ini bisa berwujud guilt
(perasaan bersalah), fear (ketakutan), shame (rasa malu) karena keyakinan bahwa
hubungan seksual yang dilakukannya tersebut tidaklah baik, keyakinan bahwa
hubungan seksual yang dilakukannya bukanlah atas kehendak bebasnya sendiri,
keyakinan bahwa hubungan seksual yang dilakukannya tidak membawanya pada
apapun, tidak memberikan sesuatu yang berarti, atau tidak akan ada ujungnya,
menjadikan hubungan seksual sebagai sebuah pelarian atau pelampiasan atas
emosi-emosi negatif yang dirasakannya. Akibatnya, setiap habis mengecap
kenikmatan sesaat, dirinya malah terluka oleh rasa tidak berguna, rasa kesepian
yang dalam, kehampaan, rasa bersalah, rasa berdosa, dan sebagainya.
Akhirnya terbentuk mata rantai yang patologis (tidak sehat), melakukan
hubungan seksual kemudian merasa terluka, akhirnya menyakiti diri sendiri lantas
mencari pleasure / hal-hal yang dapat menyenangkan dirinya (mengobati dari rasa
sakit) dengan melakukan hubungan seksual lagi dan kemudian berulang lagi dan
demikianlah seterusnya.

37

b) Resiko sehubungan dengan kesehatan fisik / biologis


Perilaku seksual tertentu dapat beresiko mengganggu kesehatan fisik / biologis
pada kaum homoseksual. Seperti: melakukan hubungan seksual bebas / berganti-ganti
pasangan bahkan dengan orang yang tidak dikenal; melakukan hubungan seksual yang
tidak aman seperti: tidak menggunakan kondom dan tidak mengetahui diagnosis atau
status kesehatan seksual (HIV-AIDS, penyakit kelamin) pasangan main; dan
melakukan anal seks adalah perilaku-perilaku seksual yang beresiko besar
mengganggu kesehatan fisik / biologis kaum homoseksual.
Resiko-resiko gangguan kesehatan yang dapat dialami dari perilaku seksual
tidak sehat tersebut adalah sebagai berikut:

HIV-AIDS

Anal Cancer

STI's / STD's lainnya, seperti: chlamydia trachomatis, cryptosporidium, giardia


lamblia, herpes simplex virus, human papilloma virus (HPV) or genital warts,
isospora belli, microsporidia, gonorrhea, viral hepatitis types B & C and syphilis.

c) Resiko yang sehubungan dengan kedua-keduanya (kesehatan mental dan emosional


dan kesehatan fisik / biologis)
Perilaku dibawah ini menyangkut resiko rusaknya kondisi fisik, terganggunya
kesehatan fisik / biologis serta terganggunya kondisi mental dan emosional seorang
homoseksual. Kedua faktor ini saling terhubung satu sama lain.
o Domestic Violence / Sex - Physical - Emotional Abuse
Hubungan di antara sesama homoseksual seringkali diwarnai dengan
kekerasan baik itu kekerasan seksual, fisik, maupun emosional. Motif dibaliknya

38

seringkali dikarenakan masalah / gangguan mental dan emosional pada diri si


pelaku homoseksual.
o Substance Abuse / Penyalahgunaan NAPZA ( Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif) / Narkoba
Kondisi mental dan emosional yang bermasalah serta lifestyle kaum homoseksual
dapat mempengaruhi seseorang untuk menggunakan narkoba dan minum minuman
keras. Penyalahgunaan zat-zat aditif ini meliputi narkoba (ectasy, putauw / heroin,
ganja, morfin, kokain / shabu-shabu, cannabis), dan minuman keras. Penyalahgunaan
zat demikian dapat mempengaruhi kesehatan tubuh seperti (gangguan otak, saraf,
hati), juga dapat mempengaruhi kesehatan mental dan emosional (menjadi lebih
emosional, lebih numb / tidak merasakan apapun, paranoid, delusi, halusinasi).
Penyalahgunaan narkoba dan minum-minuman keras membuat seseorang berada
dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, dan dalam keadaan demikian orang tersebut
tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Pada saat demikian, banyak sekali resiko
yang harus siap dihadapi.

39

Anda mungkin juga menyukai