Anda di halaman 1dari 41

1.

KEDOKTERAN
FORENSIK
SEBAGAI ILMU DAN
PROFESI
Siswo P Santoso

Ilmu Kedokteran Forensik


salah

satu cabang spesialistik ilmu


kedokteran dimanfaatkan untuk
membantu penegakan hukum dan
masalah-masalah di bidang hukum.
Awalnya :
hanya bagi kepentingan peradilan,
Sesuai perkembangan tidak hanya
untuk peradilan

SEJARAH
Sejarah Mesir 2980-2900 SM,
ahli medikolegal pertama, Imhotep yang
merupakan dokter sekaligus hakim bagi Pharaoh Zoser.
zaman Babilonia,
Code of Hammurabi (1700 SM) dan Code of the
Hittites (1400 SM). ketentuan bahwa dokter
mempunyai kewajiban untuk memberi
kesembuhan pasiennya dengan ketentuan
hukuman bagi dokter yang melakukan pengobatan
yang tidak tepat dan ganti rugi bila mengakibatkan
cedera.

SEJARAH

Tahun 44 SM, pemeriksaan medis pertama atas jenasah


Julius Caesar untuk kepentingan publik.

Anthitius, sang dokter Romawi kuno, menyatakan dari 21 luka yang


ditemukan pada tubuh Julius Caecar hanya satu luka saja yang
menembus sela iga ke-2 kiri depan yang merupakan luka yang
mematikan.
Pernyataan tersebut disampaikan di dalam suatu Forum, semacam
institusi peradilan pada waktu itu.
Konon berasal dari Forum inilah nama Forensik dibuat.

Pada tahun 600 M, tulisan medikolegal pertama di Cina,


disebut Ming Yuang Shih Lu,
pada tahun antara 1241-1253 M, diterbitkan buku petunjuk
penyelidikan "kematian yang mencurigakan" di Cina
(terjemahan judulnya :"Record of washing Away of Wrongs).

pada tahun 1302, Autopsi medikolegal


pertama kali dilakukan di Bologna
pada tahun 1823 ,Sidik jari mulai
diperkenalkan.
Abad 18 dan 19 perkembangan IKF di
dunia, terutama di Eropa, baik di bidang
pelayanan maupun di bidang pendidikan.
pada tahun 1958, Patologi forensik
sebagai spesialisasi kedokteran baru
dimunculkan

SEJARAH
masa

akhir kolonial Belanda, Di Indonesia, IKF


mulai dikembangkan di Jakarta dan di Surabaya.
pada akhir abad ke 19.Sebuah buku tentang
kedokteran forensik diterbitkan oleh seorang
dokter Belanda di Jakarta
Setelah dokter-dokter Belanda kembali ke
negerinya, perkembangan IKF di Indonesia berjalan
agak lambat.
tahun 1970-an, bidang ini mulai diangkat
pada tahun 1980- an, sebagai cabang
spesialistik kedokteran.

Lingkup kerja dokter forensik

korban mati dan laboratorium.


korban hidup, (kedokteran forensik klinik)
Kedokteran Forensik Klinik umumnya Rumah
Sakit, bahkan dapat dalam bentuk pelayanan
terpadu untuk jenis kekerasan tertentu.
Di RSCM dibentuk Pusat Krisis Terpadu untuk
Perempuan dan Anak.

Dokter forensik berkontribusi memberdayakan


dokter-dokter dari spesialisasi terkait turut
mengembangkan kedokteran forensik
klinik.bidang medikolegal,
etik kedokteran dan hukum kedokteran di
lingkungan kedokteran, baik dari segi
pendidikan, pelayanan maupun segi penelitian.

PRINSIP KERJA

Sumpah Hippocrates, sebagai dasar sumpah


dokter, memuat banyak hal yang bersifat
larangan.
Dokter Hippocrates bersumpah untuk tidak
meracuni pasien meskipun diminta sendiri
oleh pasien tersebut, tidak melakukan
pengguguran kandungan, tidak membuka
rahasia pasien meskipun diminta oleh
penguasa.

Sumpah yang bersifat negasi ini penting untuk


melindungi karakter dari pelaku profesi, bahwa
ia bukanlah alatnya pasien yang tidak dapat berpikir,
yang dapat menggunakan ilmu pengetahuannya
untuk kepentingan pasien tanpa batasan moral.
Sikap ini menunjukkan dokter tidak mau
melakukan perbuatan yang tidak bermoral atau
tindakan yang di bawah standar
Kebutuhan akan kebebasan membuat keputusan
professional ini sangat essensial bagi praktek
kedokteran pada umumnya, dan terutama bagi
dokter forensik.

Dokter forensik tidak pernah menjadi advokat


dalam memberikan keahliannya, ia tetap
obyektif ilmiah dan tidak memihak
(impartial).
Apabila ia menerima imbalan finansial dari
salah satu pihak, baik pihak penyidik atau
penuntut umum maupun pihak terdakwa atau
pembelanya, tidak berarti bahwa ia akan
memberikan keterangan yang
menguntungkan bagi pihak yang
membayarnya.
Imbalan tersebut adalah hak bagi dokter
tersebut untuk persiapan, pemeriksaan dan
waktu yang digunakan untuk itu, namun bukan

Sikap

impartialitas tersebut tidak hanya harus


ditunjukkan di sidang pengadilan, namun juga
pada tahap penyidikan dan penuntutan jika
media masa memberikan tekanan keras kepada
dokter untuk mau diwawancarai.
Due process of law dan keterbukaan
membutuhkan kemampuan menahan diri
dalam berhubungan dengan pers dan pihak lain
yang mungkin memberikan informasi tersebut ke
media masa.

Adelson (1974) menganjurkan:


agar dokter forensik tidak bicara terlalu banyak
(talk too much), bicara terlalu dini (talk too
soon), dan bicara dengan orang yang salah
(talk to wrong persons).
dokter forensik juga tetap terikat oleh etika
kedokteran.
harus mematuhi peraturan perundangundangan yang berlaku dalam kaitannya dengan
pemeriksaan barang bukti.

Perbedaan dokter forensik


dengan klinik
Perbedaan dokter forensik dengan dokter klinik
dalam hal memeriksa korban mati (jenasah) untuk
kepentingan peradilan, maka :
hubungan hukum antara dokter dengan
pasien tidak terjadi.
hak-hak pasien tidak ada dan kewajiban
dokter terhadap pasien tidak ada.

Sebagai dokter yang melakukan pekerjaan di


bidang kedokteran, tetap harus mengikuti
etika kedokteran dan standar perilaku
profesi kedokteran
Korban mati : hukum tetap melindunginya
dengan mengharuskan kepada penyidik untuk
memberitahukan rencana pemeriksaan kepada
keluarganya dan memberikan waktu "berpikir"
hingga dua hari (lihat pasal 134 KUHAP)

dokter forensik wajib menyimpan rahasia


tentang apa yang diketahuinya selama
pemeriksaan, sebagaimana diatur dalam :
Pasal 53 Undang-Undang No 23 tahun 1992
tentang Kesehatan,
Pasal 47 dan 48 Undang-Undang No 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran, dan
Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966
tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran

mengajukan pendapat
keahliannya

harus mengikuti batas-batas kemampuan


ilmu kedokteran (reasonable medical
certainty). :
membuat pernyataan yang dapat
dibenarkan oleh ilmu pengetahuan
kedokteran (forensik),
tidak boleh masuk ke bidang yang bukan
bidang pengetahuannya.

Pedoman Etik Kedokteran


Forensik Indonesia

Meskipun standar etik tersebut diatas milik


AAFS, karena wacana etika kedokteran itu
bersifat universal dan bersifat garis besar saja,
maka dapat pula diterapkan di Indonesia.
Disahkan dalam Kongres Nasional
Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia di
Semarang tahun 2004, mengadopsi nilai-nilai
yang terdapat di dalam etik ahli forensik pada
umumnya.

LINGKUP KERJA ILMU


KEDOKTERAN FORENSIK
Guna kepentingan peradilan :
membuat terangnya perkara pidana yang
menimbulkan korban manusia, baik korban
hidup maupun korban mati.
Korban perkara pidana hidup berupa lukaluka, keracunan, atau korban kejahatan seksual.
Dalam penanganan medis korban mungkin akan
melibatkan keahlian klinis lain, seperti dokter
bedah, dokter kebidanan, dokter penyakit dalam,
dokter anak, dokter saraf, dan lain-lain.

Para dokter klinik , dalam menangani korbankorban harus juga menggunakan ilmu
kedokteran forensik untuk membuat
pemeriksaan-pemeriksaan tertentu,
pencatatan dan pembuatan laporan atau visum
et repertumnya.
Dalam hal seorang pasien / korban diperiksa
oleh beberapa orang dokter, maka satu atau
lebih dokter tersebut harus membuat visum et
repertumnya; sebaiknya adalah dokter yang
menjadi penanggung-jawab pasien tersebut.

Oleh karena itu setiap dokter lulusan Indonesia


telah memperoleh pendidikan di bidang
kedokteran forensik dengan cukup memadai,
baik dalam bentuk ilmu pengetahuan maupun
dalam bentuk pelatihan ketrampilan.
Dokter diharapkan dapat memberikan keterangan
tentang luka atau cedera apa yang dialami oleh
korban dan apa penyebab luka atau kecederaan
tersebut, serta seberapa jauh luka atau kecederaan
tersebut mempengaruhi kesehatan korban
(derajat luka atau kualifikasi luka).

Apabila kemudian korban meninggal dunia,


maka ia juga akan diperiksa oleh dokter
forensik.
Dalam hal ini harus ada kesinambungan
pemeriksaan atau kesinambungan
informasi pemeriksaan medis antara
sewaktu masih hidup dengan setelah
meninggal.
Informasi tersebut sangat dibutuhk oleh dokter
forensic untuk dapat memberikan arahan
dalam melakukan pemeriksaan forensik
terhadap jenasah tersebut dan pembuatan
kesimpulan.

Berbagai tindakan medis yang dilakukan dokter


klinik dan lamanya perawatan sangat
mempengaruhi orisinalitas mayat tersebut
sebagai barang bukti.
Pelimpahan informasi dari klinik ke forensik
dapat dianggap sebagai pengejawantahan dari
konsep chaln of custody.(rentang pengawasan
barang bukti )

Korban perkara pidana yang mati diperiksa


oleh dokter forensik, atau apabila tidak terdapat
dokter forensik , dilakukan oleh dokter lain.
Dokter diharapkan untuk dapat memberikan
keterangan tentang luka atau cedera yang
dialami korban, tentang penyebab luka atau
cedera tersebut, serta tentang penyebab
kematian dan mekanisme kematiannya.

Dalam beberapa kasus, untuk dapat


memperkirakan cara kematian dan faktorfaktor lain yang mempunyai kontribusi terhadap
kematiannya.
Bahan yang diperiksa oleh dokter ; bentuk
manusia utuh, berupa potongan tubuh
manusia, kerangka, ataupun bahan biologis
yang berasal dari manusia atau diduga berasal
dari manusia.
bidang kerja ilmu kedokteran forensik yang
tidak selalu untuk kepentingan peradilan,
seperti pemeriksaan bercak semen (air mani),
bercak darah, penentuan paternitas, dan lainlain.

PERANAN DALAM
PENEGAKAN HUKUM
Di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,
ilmu kedokteran forensik, menyumbangkan ilmu
pengetahuan dan teknologinya untuk
memperoleh pembuktian "sesuatu perihal"
secara ilmiah.
Pembuktian ilmiah ini dituangkan ke dalam
konsep alat bukti sah di dalam KUHAP.
Para ahli forensik dapat memberikan
keterangan ahli untuk memperjelas suatu
perkara di persidangan maupun di dalam
tahap pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum (pasal 186 KUHAP).

Mereka juga bisa melakukan pemeriksaan


forensik terhadap sesuatu barang bukti dan
kemudian menuangkannya di dalam suatu
alat bukti sah surat (pasal 187 KUHAP).
Kedua alat bukti sah tersebut sangat
bermanfaat bagi hakim dalam membentuk
keyakinannya tentang peristiwa / perkara
pidana yang ditanganinya untuk dapat
membuat putusan yang adil.

Permintaan pemeriksaan
forensik

Permintaan harus dilakukan oleh penyidik


secara resmi (tertulis) kepada ahli forensik,
dengan mengingat tetap terjaganya rentang
pengawasan barang bukti (chain of custody).
Barang bukti yang akan diperiksa harus di dalam
keadaan disegel, terjamin keutuhannya, dan
dibuatkan berita-acaranya.
Pemeriksaan barang bukti berupa manusia
merupakan kekhususan, baik ditinjau dari ahli
pemeriksanya maupun penanganan barang
buktinya

Permintaan pemeriksaan
forensik

Pemeriksaan barang bukti pada umumnya didasarkan


kepada pasal 120 KUHAP, pemeriksaan barang bukti
manusia didasarkan atas pasal 133 KUHAP.
Pasal 133 KUHAP (1) : Dalam hal penyidik untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban balk luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, is berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.

Didalam pasal tersebut disebutkan dokter ahli


kedokteran kehakiman (baca:forensik) atau dokter
atau ahli lainnya sebagai pemeriksa barang bukti
manusia (korban) tersebut.

Permintaan pemeriksaan
forensik

Perlu diingat bahwa meskipun pasal tersebut


mencantumkan kata "ahli lainnya", janganlah
diartikan bahwa seorang ahli yang bukan dokter
secara tersendiri dapat melakukan pemeriksaan
terhadap korban manusia.
Pada dasarnya pemeriksaan terhadap korban
manusia harus dilakukan oleh dokter,
sedangkan ahli yang bukan dokter harus
dianggap sebagai ahli pendukung
pemeriksaan, seperti ahli toksikologi, ahli
balistik, dll.

Permintaan pemeriksaan
forensik

Dalam hal korban adalah manusia yang masih


hidup, maka korban tidak akan disegel
(dibungkus dan diberi label), namun cukup
diantar oleh petugas polisi guna memberikan
kepastian identitas korban yang akan diperiksa.
Keharusan diantar oleh petugas hingga saat ini
belum didukung oleh peraturan perundangundangan, dan di dalam praktek sehari-hari
sangat mungkin sukar dipatuhi sebagai akibat
situasi-kondisi.

Permintaan pemeriksaan
forensik

Apabila ditemukan oleh masyarakat seseorang


korban dengan luka-luka, maka tentu saja
korban akan dibawa ke dokter atau ke rumah
sakit tanpa menunggu kedatangan petugas
polisi.
Dengan demikian tampak bahwa ketentuan
adanya petugas pengantar korban hidup lebih
mudah diterapkan pada kasus-kasus yang tidak
mengalami luka-luka seperti pada penganiayaan
ringan dan korban pemerkosaan yang tidak
terluka.

Permintaan pemeriksaan
forensik

Dokter akan memeriksa korban secara


lengkap dan , mencatat temuannya ke dalam
rekam medisnya, juga secara lengkap.
Setelah pemeriksaan selesai dokter akan
membuat visum et repertum yang berisi
uraian tentang keadaan medis korban dan
pendapatnya tentang kualifikasi lukanya atau
sebab kematiannya.
Pendapatnya tersebut dibuat berdasarkan
temuannya yang obyektif ilmiah dengan
menggunakan dasar keilmuannya.

Permintaan pemeriksaan
forensik

Pembuktian secara ilmiah sangat dibutuhkan dalam


dunia peradilan di era melajunya perkembangan
iptek akhir-akhir ini.
Sebuah survei yang dilakukan di Amerika
Serikat pada tahun 1975 terhadap para hakim dan
para penasehat hukum, dan menyimpulkan bahwa
85% diantara mereka meyakini bahwa bukti
ilmiah memiliki kredibilitas yang lebih tinggi
dari kesaksian orang awam, dan 92%
berpendapat bahwa bukti ilmiah harus
digunakan lebih sering di dalam perkaraperkara pidana (Curran, 1980)

AUTOPSI

Autopsi adalah pemeriksaan medis terhadap mayat


dengan membuka rongga kepala, leher, dada, perut dan
panggul serta bagian tubuh lain bila diperlukan, disertai
dengan pemeriksaan jaringan dan organ tubuh di
dalamnya, baik secara fisik maupun dengan dukungan
pemeriksaan laboratorium.
. Di Indonesia autopsi forensik tidak merupakan
keharusan bagi semua kematian, namun sekali
diputuskan oleh penyidik perlunya autopsi maka tidak
ada lagi yang boleh menghalangi pelaksanaannya
(perhatikan pasal 134 KUHAP dan pasal 222 KUHP), dan
tidak membutuhkan persetujuan keluarga terdekatnya

Autopsi Forensik
Autopsi forensik ditujukan untuk menemukan:
Identitas korban
Sebab kematian
Sifat dan jumlah luka atau cedera
Saat kematian
Adanya racun
Adanya penyakit sebagai faktor kontribusi
penyebab kematian
Interpretasi cedera
Interpretasi hal-hal lain, termasuk kemungkinan
adanya malpraktek medis.

Autopsi forensik dapat saja mengenai mayat


yang mati karena sebab alami (wajar), tetapi
cara kematiannya pada saat dilakukannya
autopsi belum diketahui (sudden natural death).

Autopsi klinik
AUTOPSI KLINIK.
Autopsi ini dilakukan terhadap pasien yang
meninggal dunia setelah dirawat di rumah
sakit dan sebab kematiannya belum
diketahui, atau sebab kematiannya
diketahui tetapi memerlukan konfirmasi,
atau untuk menemukan luasnya kelainan atau
berbagai hal lain yang ingin diketahui untuk
kepentingan akademik, pendidikan dan
penelitian.

Hal penting lain adalah bahwa cara kematian


pasien ini telah diketahui, yaitu mati wajar
atau alami.
Pelaksanaan autopsi tidak membutuhkan
permintaan dari polisi penyidik, melainkan yang
penting adanya persetujuan dari keluarga
terdekatnya

SEKIAN

Anda mungkin juga menyukai