Pendahuluan
Indonesia sebagai sebuah negara bangsa memiliki pandangan hidup (way of life)
yang telah dirumuskan oleh para pendiri (the founding fathers) dalam kesatuan
lima sila yang disebut sebagai Pancasila. Pancasila kemudian secara formal
ditempatkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) agar
Pancasila menjadi landasan kefilsafatan guna mendasari dan menjiwai
penyusunan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang dasar serta seluruh
penyusunan dan penerapan tata hukum di Indonesia.1
*
Disampaikan dalam Sarasehan tentang Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), Dinas Hukum
Angkatan Udara, Graha Bhima Sakti Pancoran, Jakarta, 06 Februari 2020.
1
Lihat Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H., Filsafat Hukum Pancasila, Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian
Pemikiran dalam Dekade Terkahir, Jakarta, PNRI, 2008, hlm. 16
2
Lihat Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, Jakarta, PT.
Gramedia, 1991, hlm. 27
1
Keberadaan LGBT di Indonesia telah menimbulkan polemik karena ada pro dan
kontra yang terjadi dalam masyarakat terkait dengan LGBT tersebut. Penolakan
masyarakat terhadap LGBT antara lain dilandasi argumentasi bahwa: (i) LGBT
bertentangan dengan nilai-nilai agama karena tidak ada satu agama pun yang
membolehkan pernikahan sejenis dan mengizinkan perbuatan-perbuatan
tersebut; (ii) pernikahan sejenis harus ditolak dan tidak dapat dilegalkan sebab
melanggar hukum positif, termasuk apabila hal tersebut dilakukan kepada anak
di bawah umur; (iii) LGBT sebagai sesuatu hal yang menyimpang karena
merupakan penyakit yang menular dan terkait dengan hubungan seksual yang
berisiko; dan (iv) LGBT sebagai penyakit yang harus disembuhkan atau
dipulihkan agar mereka bisa kembali normal seperti masyarakat pada umumnya.
2
hippie. Mereka menyerukan kekuatan cinta dan keagungan seks sebagai bagian
dari hidup yang alami atau natural. Para hippie percaya bahwa seks adalah
fenomena biologi yang wajar sehingga tidak seharusnya dilarang dan ditekan.3
Singkatan dari homoseksual dikenal dengan istilah LGB (lesbian, gay, dan
biseksual). Kata gay dan lesbian berkembang secara luas menggantikan istilah
homoseksual sebagai identitas sosial dalam masyarakat. Kata gay dan lesbian ini
lebih disukai dan dipilih oleh banyak orang karena sederhana dan tidak
membawa kata seks. Istilah biseksual muncul belakangan setelah diketahui
bahwa ada orang yang mempunyai orientasi seksual terhadap sesama jenis dan
lawan jenis. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan psikologi muncul
istilah baru yang tidak termasuk gay, lesbian, dan biseksual, yaitu transgender
sehingga muncul singkatan baru, LGBT. Istilah ini dipakai untuk menerangkan
orientasi seksual non-heteroseksual. Istilah LGBT sudah dikenal dan atau diakui
oleh banyak negara. Sebagian besar gerakan mereka mengatasnamakan HAM
(Sinyo, 2014).4
Cikal bakal advokasi LGBT di Indonesia dimulai pada akhir tahun 1960-an
dengan pendirian Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad), yang difasilitasi oleh
Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Ali Sadikin. Istilah wadam (wanita Adam)
diperkenalkan sebagai pengganti kata ‘banci’ atau ‘bencong’ yang berkonotasi
menghina. Istilah ini kemudian pada tahun 1978 diganti dengan ‘waria’ (wanita
pria) karena Majelis Ulama Indonesia menilai tidak patut nama seorang nabi
(Adam) dijadikan bagian pada istilah untuk kaum laki-laki yang
mengekspresikan jenis kelaminnya dengan cara yang lebih menyerupai
perempuan. Organisasi yang berfungsi sebagai ruang sosial budaya yang aman ini
dengan cepat disusul oleh organisasi serupa di kota-kota besar lain. Beberapa di
antaranya masih eksis hingga sekarang. Banyak yang mendapatkan dukungan
dari pemerintah daerah setempat melalui Dinas Sosial berdasarkan pemahaman
bahwa kaum waria merupakan golongan yang kurang mampu atau cacat
psikologis. Berbagai organisasi ini berusaha mendukung moral dan mata
3
Lihat Hartanto, Hegemoni dalam Emansipatory: Studi Kasus Advokasi Legalisasi Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Indonesia, Indonesian Perspective, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember
2016, hlm. 31-47
4
Ibid
5
Ibid
3
pencaharian kaum waria dengan menunjukkan bahwa mereka adalah anggota
masyarakat yang berguna. Dengan demikian masyarakat diharapkan dapat
menerima mereka dan memperlakukan secara manusiawi (Laporan LGBT
Nasional Indonesia UNDP, 2014).5
Saat ini, sudah ada beberapa negara yang melegalisasi LGBT dalam bentuk
pernikahan sesama jenis, antara lain sebagai berikut: Norwegia tahun 1993,
Belanda tahun 1996, Belgia tahun 2003, Spanyol & Kanada tahun 2005, Afrika
Selatan tahun 2006, Swedia tahun 2008 Portugal, Meksiko tahun 2009, Islandia,
Argentina, dan Uruguay tahun 2010, Selandia Baru, Prancis, Denmark, Brazil,
Inggris dan Wales tahun 2013, Luksemburg, dan Finlandia tahun 2014, Irlandia,
dan Amerika Serikat tahun 2015.7
6
Ibid
7
Ibid
4
dampak yang sangat besar dalam diskursus legalitas homoseksual dan LGBT
secara umum. Setelah dikeluarkan olah APA dari DSM maka LGBT dianggap
sebagai perilaku yang alamiah dan normal. Berbeda dengan versi APA tersebut,
menurut psikiatri Fidiansyah, Wakil Seksi Religi Spiritualitas dan Psikiatri dari
Perhimpunan Dokter Spasilalis Kejiwaan Indonesia (PDSKJI), bahwa LGBT
termasuk penyakit gangguan jiwa, dan bisa menular kepada orang lain.
Fidiansyah membantah pendapat sebagian masyarakat yang berpendapat bahwa
LGBT bukan sebuah penyakit.8
Selain itu, Psikolog Klinis dan Hipnoterapi, Liza Marielly Djaprie, lulusan
Magister Psikologi Dewasa Universitas Indonesia menjelaskan, dalam ilmu
psikologi dan kamus besar kejiwaan, LGBT tidak masuk dalam gangguan jiwa
yang dialami seseorang. Kondisi yang mereka alami dianggap keunikan pada diri
orang tersebut, sama halnya seperti kepribadian introvert atau ekstrovert, masuk
ke dalam karakter bukan bentuk penyakit.9 Selanjutnya Liza Marielly Djaprie
menyatakan bahwa terbentuknya mereka menjadi LGBT bisa karena pengaruh
lingkungan, bawaan lahir, atau memang karena trauma akibat pengalaman
tertentu. Jika mereka ingin ‘normal’ maka itu semua bisa diperbaiki. Ada orang
yang memang terlahir memiliki bawaan lesbian atau homoseksual, namun
karena lingkungan mereka tidak ada yang demikian, maka mereka menjadi
heteroseksual. Tapi ada pula yang sebaliknya, terlahir sebagai heteroseksual,
namun berada di lingkungan homoseksual, jadi mereka mencari pasangan
sesama jenis.10
8
Lihat Rustam Dahar Karnadi Apollo Harahap, LGBT DI INDONESIA: Perspektif Hukum Islam, HAM,
Psikologi dan Pendekatan Maṣlaḥah, AL-AHKAM, Vol. 26, No. 2, Oktober 2016, hlm. 225 s.d. 226
9
Lihat Liza Marielly Djaprie, Pandangan Psikolog tentang LGBT, dalam Okezone Lifestyle,
http://lifestyle.okezone.com/read/2016/01/26/196/1297603/pandangan-psikolog-tentang-lgbt,
10
Ibid
5
baik secara eksplisit atau implisit tetap memberikan jaminan akan perlindungan
hak-hak asasi manusia.11
Indonesia merupakan negara yang mengakui HAM sebagai sesuatu yang eksis
dan harus dihormati dan dilindungi. Bab XA UUD 1945 merupakan bab yang
secara khusus mengatur tentang HAM di Indonesia secara umum. UUD 1945
secara hirarki merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang
menjadi acuan peraturan perundang-undangan lain di bawahnya, sehingga tidak
akan ada peraturan di Indonesia yang tidak mengakui HAM. Selain itu,
Indonesia juga mengakui UDHR 1948 yang menjadi instrumen HAM
internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa di dunia.12
UDHR 1948 memang tidak menentukan bahwa orientasi seksual pria harus
kepada wanita atau sebaliknya, akan tetapi hal itu tidak secara serta merta
berarti bahwa perilaku kaum LGBT harus diperbolehkan dan didukung. UDHR
1948 juga mengatur pembatasan, dalam Pasal 29 (2) dinyatakan bahwa:
“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only
to such limitations as are determined by law solely for the purpose of
securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others
and of meeting the just requirements of morality, public order and the
general welf re in a democratic society (UDHR 1948).14
11
Lihat Roby Yansyah, Rahayu, Globalisasi Lesbian, Gay, Biseksual, Dan Transgender (LGBT): Perspektif
HAM Dan Agama Dalam Lingkup Hukum Di Indonesia, Jurnal Law Reform Program Studi Magister
Ilmu Hukum, Vol. 14, No 1, 2018, hlm. 137
12
Ibid
13
Ibid
14
Ibid 138
6
Sementara itu, UDHR juga menjamin hak setiap orang untuk percaya pada
ajaran agamanya, dan mempraktekkan ajaran agama itu dengan baik. Seni. 18
dari UDHR 1948 menyatakan bahwa:
Agama yang diakui di Indonesia sama sekali tidak memperbolehkan perilaku dan
hubungan seksual yang menyimpang. Sebagaimana disebutkan dalam Al- quran:
“Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada
mereka), bukan kepada wanita, maka kalian ini adalah kaum yang melampaui
batas” (Q.S. Al- A’raaf: 81) (Sayyid, 2002). Dalam Islam, LGBT adalah tindakan
yang sangat hina, hal itu ditunjukkan dalam sebuah surat "Luth", dalam surat
tersebut, diceritakan bagaimana Allah marah besar dan menghukum sekelompok
orang yang melakukan tindakan homoseksual. Alkitab juga menyatakan dengan
jelas bahwa Allah merancang bahwa seks dilakukan hanya antara pria dan
wanita, dan hanya dalam ikatan perkawinan (Kejadian 1:27, 28; Imamat 18:22;
Amsal 5:18, 19), Alkitab mengutuk perzinahan, yang termasuk perilaku
homoseksual serta heteroseksual terlarang (Gal 5: 19-21).16
Hukum menjamin hak setiap orang untuk beragama dan menjalankan kewajiban
sesuai tuntunan agamanya. Ajaran agama Islam contohnya, seorang muslim
bukan diperintahkan untuk melaksanakan kewajiban saja tetapi juga mencegah
kemungkaran. Jika terjadi sebuah penyimpangan terhadap ajaran agama (LGBT)
terutama jika dilakukan oleh yang juga beragama Islam, maka sesuatu yang wajar
jika mereka menolak pelaku dan perilaku seksual menyimpang LGBT.
Berdasarkan pandangan agama, LGBT merupakan sebuah penyimpangan dari
15
Ibid
16
Ibid 139
7
kehendak Tuhan, bahwa seharusnya lelaki berpasangan dengan wanita dan
begitu juga sebaliknya.17
Pandangan dari sisi agama, yang kebebasan beribadah dan menjalankan perintah
Tuhan-nya dijamin oleh hukum nasional, LGBT merupakan perilaku yang tidak
dapat diterima. Argumen penolakan berkutat pada dalil kitab suci dan ajaran
agama yang tidak dapat “ditawar” karena merupakan perintah Tuhan.18
Di sisi lain adalah memungkinan bagi orang yang telah menjalani operasi
perubahan kelamin untuk mengajukan perubahan gender di pengadilan. Hal ini
berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus perubahan gender secara legal atas
seorang transseksual pria menjadi wanita, yaitu Vivian Rubianti (lahir dengan
nama Iwan Rubianto) pada tahun 1973.
17
Ibid
18
Ibid 141
19
Lihat Laporan LGBT Nasional Indonesia - Hidup Sebagai LGBT di Asia, USAID-UNDP, hlm. 25
8
Selain itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 54/2007 tentang Adopsi secara
tegas menetapkan bahwa orang tua yang mengadopsi tidak boleh berupa
pasangan homoseksual.
KUHP merupakan hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia pada saat ini.
Dan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengandung asas
legalitas bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan
ketentuan perundangan-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.
“Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun.”
Oleh karena itu, KUHP belum dapat menjerat perbuatan homoseksual laki-laki
dewasa dengan laki-laki dewasa.
9
Kesimpulan
Hukum positif yang berlaku di Indonesia hanya mengatur 2 (dua) jenis gender,
yaitu pria dan wanita. Dan meskipun KUHP tidak secara spesifik menentukan
sanksi pidana terhadap orientasi seksual LGBT, hal itu tidak berarti aktivitas
LGBT dapat ditafsirkan sah secara hukum. Apalagi penegakan HAM yang diakui
dalam sistem hukum Indonesia adalah berdasarkan Pancasila dan disertai dengan
pembatasan bahwa setiap orang yang memiliki HAM juga harus menghormati
HAM orang lain, menghormati pembatasan yang ditentukan oleh UU,
memenuhi persyaratan moral, etika, tata tertib kehidupan masyarakat,
berbangsa dan bernegara, nilai-nilai agama, serta menjaga keamanan dan
ketertiban umum masyarakat demokratis.
10