Anda di halaman 1dari 10

LGBT Dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia

Oleh: Harry Ponto*

Pendahuluan

Indonesia sebagai sebuah negara bangsa memiliki pandangan hidup (way of life)
yang telah dirumuskan oleh para pendiri (the founding fathers) dalam kesatuan
lima sila yang disebut sebagai Pancasila. Pancasila kemudian secara formal
ditempatkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) agar
Pancasila menjadi landasan kefilsafatan guna mendasari dan menjiwai
penyusunan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang dasar serta seluruh
penyusunan dan penerapan tata hukum di Indonesia.1

Menurut Soerjanto Poespowardojo, Pancasila sebagai dasar falsafah negara


memiliki nilai universalitas yang karenanya lalu mengatasi dimensi ruang dan
waktu, namun tidak lalu berarti bahwa kebenaran itu eksklusif. Sebagai falsafah,
Pancasila mengakui bahwa kebenaran adalah dialogal dan tidak dapat
dieksplisitkan secara tuntas. Sikap terbuka ini menghindarkan stagnasi dalam
pemikiran ideologis dan sebaliknya dengan sikap terbuka, kebenaran akan
semakin menampakkan diri.2

Memasuki usia 75 tahun kemerdekaan, Bangsa Indonesia sebagai anggota


masyarakat dunia turut mengalami dinamika perkembangan globalisasi. Tidak
dapat dipungkiri bahwa derasnya arus globalisasi nyata-nyata telah mendorong
perubahan cara berpikir termasuk nilai-nilai yang dianut masyarakat Indonesia.
Salah satu fenomena global yang menjadi polemik dan menguji falsafah
kehidupan bernegara adalah keberadaraan Lesbian, Gay, Bisexual, &
Transgender (“LGBT”).

*
Disampaikan dalam Sarasehan tentang Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), Dinas Hukum
Angkatan Udara, Graha Bhima Sakti Pancoran, Jakarta, 06 Februari 2020.
1
Lihat Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H., Filsafat Hukum Pancasila, Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian
Pemikiran dalam Dekade Terkahir, Jakarta, PNRI, 2008, hlm. 16
2
Lihat Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, Jakarta, PT.
Gramedia, 1991, hlm. 27

1
Keberadaan LGBT di Indonesia telah menimbulkan polemik karena ada pro dan
kontra yang terjadi dalam masyarakat terkait dengan LGBT tersebut. Penolakan
masyarakat terhadap LGBT antara lain dilandasi argumentasi bahwa: (i) LGBT
bertentangan dengan nilai-nilai agama karena tidak ada satu agama pun yang
membolehkan pernikahan sejenis dan mengizinkan perbuatan-perbuatan
tersebut; (ii) pernikahan sejenis harus ditolak dan tidak dapat dilegalkan sebab
melanggar hukum positif, termasuk apabila hal tersebut dilakukan kepada anak
di bawah umur; (iii) LGBT sebagai sesuatu hal yang menyimpang karena
merupakan penyakit yang menular dan terkait dengan hubungan seksual yang
berisiko; dan (iv) LGBT sebagai penyakit yang harus disembuhkan atau
dipulihkan agar mereka bisa kembali normal seperti masyarakat pada umumnya.

Sedangkan, masyarakat yang mendukung LGBT menyampaikan argumentasi


sebagai berikut: (i) setiap orang memiliki hak asasi termasuk untuk menentukan
pilihan orientasi seksualnya; (ii) meskipun bertentangan dengan nilai agama,
namun tidak berarti negara bebas untuk menghukum atau mengkriminalisasi
LGBT sebab sulitnya batasan moral yang menjadi pembahasan dalam
mengungkapkan persoalan tersebut; (iii) LGBT adalah sebagai orang-orang
berbeda yang tidak bisa bebas karena terkekang oleh masyarakat yang masih
kuat memegang nilai-nilai ajaran agama; (iv) LGBT tidak harus dipulihkan
karena bukan penyakit dan itu adalah kondisi alami yang muncul akibat faktor
biologis atau bawaan sejak lahir. Sebaliknya, masyarakatlah yang harus diberi
pengertian dan pemahaman agar bisa lebih menerima LGBT.

LGBT Kajian Historis

Perkembangan LGBT di Dunia dan di Indonesia

Menurut Sinyo (2014) LGBT berawal dari perkembangan dunia homoseksual


yang berkembang pada abad-11. Sedangkan istilah LGBT mulai muncul sekitar
tahun 1990-an. Sebelum masa “Revolusi Seksual” pada tahun 1960-an tidak ada
istilah khusus untuk menyatakan homoseksual. Kata yang paling mendekati
dengan orientasi selain heteroseksual adalah istilah “third gender” sekitar tahun
1860-an. Revolusi Seksual adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
perubahan sosial politik mengenai seks pada tahun 1960-1970. Dimulai dengan
kebudayaan freelove, yaitu jutaan kaum muda menganut gaya hidup sebagai

2
hippie. Mereka menyerukan kekuatan cinta dan keagungan seks sebagai bagian
dari hidup yang alami atau natural. Para hippie percaya bahwa seks adalah
fenomena biologi yang wajar sehingga tidak seharusnya dilarang dan ditekan.3

Singkatan dari homoseksual dikenal dengan istilah LGB (lesbian, gay, dan
biseksual). Kata gay dan lesbian berkembang secara luas menggantikan istilah
homoseksual sebagai identitas sosial dalam masyarakat. Kata gay dan lesbian ini
lebih disukai dan dipilih oleh banyak orang karena sederhana dan tidak
membawa kata seks. Istilah biseksual muncul belakangan setelah diketahui
bahwa ada orang yang mempunyai orientasi seksual terhadap sesama jenis dan
lawan jenis. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan psikologi muncul
istilah baru yang tidak termasuk gay, lesbian, dan biseksual, yaitu transgender
sehingga muncul singkatan baru, LGBT. Istilah ini dipakai untuk menerangkan
orientasi seksual non-heteroseksual. Istilah LGBT sudah dikenal dan atau diakui
oleh banyak negara. Sebagian besar gerakan mereka mengatasnamakan HAM
(Sinyo, 2014).4

Cikal bakal advokasi LGBT di Indonesia dimulai pada akhir tahun 1960-an
dengan pendirian Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad), yang difasilitasi oleh
Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Ali Sadikin. Istilah wadam (wanita Adam)
diperkenalkan sebagai pengganti kata ‘banci’ atau ‘bencong’ yang berkonotasi
menghina. Istilah ini kemudian pada tahun 1978 diganti dengan ‘waria’ (wanita
pria) karena Majelis Ulama Indonesia menilai tidak patut nama seorang nabi
(Adam) dijadikan bagian pada istilah untuk kaum laki-laki yang
mengekspresikan jenis kelaminnya dengan cara yang lebih menyerupai
perempuan. Organisasi yang berfungsi sebagai ruang sosial budaya yang aman ini
dengan cepat disusul oleh organisasi serupa di kota-kota besar lain. Beberapa di
antaranya masih eksis hingga sekarang. Banyak yang mendapatkan dukungan
dari pemerintah daerah setempat melalui Dinas Sosial berdasarkan pemahaman
bahwa kaum waria merupakan golongan yang kurang mampu atau cacat
psikologis. Berbagai organisasi ini berusaha mendukung moral dan mata

3
Lihat Hartanto, Hegemoni dalam Emansipatory: Studi Kasus Advokasi Legalisasi Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Indonesia, Indonesian Perspective, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember
2016, hlm. 31-47
4
Ibid
5
Ibid

3
pencaharian kaum waria dengan menunjukkan bahwa mereka adalah anggota
masyarakat yang berguna. Dengan demikian masyarakat diharapkan dapat
menerima mereka dan memperlakukan secara manusiawi (Laporan LGBT
Nasional Indonesia UNDP, 2014).5

Gerakan LGBT global mendapat angin segar setelah keluarnya putusan


Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) yang melegalkan perkawinan sesama
jenis di seluruh negara bagian pada 27 Juni 2015. Kemudian menyusul Prancis,
Jerman, Vietnam, dan Israel yang telah lebih dahulu mengakui LGBT.
Kontroversi kemudian menyebar di berbagai penjuru dunia. Para pendukung
LGBT merayakannya dengan suka cita. Bahkan Marck Zuckenberg, sang pemilik
Facebook memfasilitasi pengguna situs itu dengan fitur foto profil berwarna
pelangi sebagai simbol kemenangan komunitas LGBT. Sebelumnya, dunia baru
saja digemparkan dengan kabar hasil referendum di Irlandia. Negara dengan
mayoritas penduduk Katolik memutuskan untuk melegalkan perkawinan
sejenis.6

Saat ini, sudah ada beberapa negara yang melegalisasi LGBT dalam bentuk
pernikahan sesama jenis, antara lain sebagai berikut: Norwegia tahun 1993,
Belanda tahun 1996, Belgia tahun 2003, Spanyol & Kanada tahun 2005, Afrika
Selatan tahun 2006, Swedia tahun 2008 Portugal, Meksiko tahun 2009, Islandia,
Argentina, dan Uruguay tahun 2010, Selandia Baru, Prancis, Denmark, Brazil,
Inggris dan Wales tahun 2013, Luksemburg, dan Finlandia tahun 2014, Irlandia,
dan Amerika Serikat tahun 2015.7

LGBT Kajian Psikologis

Pada awalnya di dalam DSM I (Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorder) dan DSM II, homoseksualitas dianggap sebagai penyimpangan yang
termasuk kedalam gangguan jiwa. Namun, setelah beberapa kali mendapat
kritikan, pada tahun 1973 APA (American Psychiatric Association) dalam DSM
III, mengeluarkan homoseksual dari salah satu kelainan jiwa atau kelainan seks.
Perubahan paradigma psikologi dalam melihat homoseksualitas ini memiliki

6
Ibid
7
Ibid

4
dampak yang sangat besar dalam diskursus legalitas homoseksual dan LGBT
secara umum. Setelah dikeluarkan olah APA dari DSM maka LGBT dianggap
sebagai perilaku yang alamiah dan normal. Berbeda dengan versi APA tersebut,
menurut psikiatri Fidiansyah, Wakil Seksi Religi Spiritualitas dan Psikiatri dari
Perhimpunan Dokter Spasilalis Kejiwaan Indonesia (PDSKJI), bahwa LGBT
termasuk penyakit gangguan jiwa, dan bisa menular kepada orang lain.
Fidiansyah membantah pendapat sebagian masyarakat yang berpendapat bahwa
LGBT bukan sebuah penyakit.8

Selain itu, Psikolog Klinis dan Hipnoterapi, Liza Marielly Djaprie, lulusan
Magister Psikologi Dewasa Universitas Indonesia menjelaskan, dalam ilmu
psikologi dan kamus besar kejiwaan, LGBT tidak masuk dalam gangguan jiwa
yang dialami seseorang. Kondisi yang mereka alami dianggap keunikan pada diri
orang tersebut, sama halnya seperti kepribadian introvert atau ekstrovert, masuk
ke dalam karakter bukan bentuk penyakit.9 Selanjutnya Liza Marielly Djaprie
menyatakan bahwa terbentuknya mereka menjadi LGBT bisa karena pengaruh
lingkungan, bawaan lahir, atau memang karena trauma akibat pengalaman
tertentu. Jika mereka ingin ‘normal’ maka itu semua bisa diperbaiki. Ada orang
yang memang terlahir memiliki bawaan lesbian atau homoseksual, namun
karena lingkungan mereka tidak ada yang demikian, maka mereka menjadi
heteroseksual. Tapi ada pula yang sebaliknya, terlahir sebagai heteroseksual,
namun berada di lingkungan homoseksual, jadi mereka mencari pasangan
sesama jenis.10

LGBT Dalam Perspetif HAM

Di Indonesia, instrumen hukum yang berlaku serta berperspektif HAM tidaklah


sedikit. Sebut saja UUD 1945, UU HAM No. 39/1999, UU Ketenagakerjaan No.
13/2003, Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948 dan lain
sebagainya. Beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,

8
Lihat Rustam Dahar Karnadi Apollo Harahap, LGBT DI INDONESIA: Perspektif Hukum Islam, HAM,
Psikologi dan Pendekatan Maṣlaḥah, AL-AHKAM, Vol. 26, No. 2, Oktober 2016, hlm. 225 s.d. 226
9
Lihat Liza Marielly Djaprie, Pandangan Psikolog tentang LGBT, dalam Okezone Lifestyle,
http://lifestyle.okezone.com/read/2016/01/26/196/1297603/pandangan-psikolog-tentang-lgbt,
10
Ibid

5
baik secara eksplisit atau implisit tetap memberikan jaminan akan perlindungan
hak-hak asasi manusia.11

Indonesia merupakan negara yang mengakui HAM sebagai sesuatu yang eksis
dan harus dihormati dan dilindungi. Bab XA UUD 1945 merupakan bab yang
secara khusus mengatur tentang HAM di Indonesia secara umum. UUD 1945
secara hirarki merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang
menjadi acuan peraturan perundang-undangan lain di bawahnya, sehingga tidak
akan ada peraturan di Indonesia yang tidak mengakui HAM. Selain itu,
Indonesia juga mengakui UDHR 1948 yang menjadi instrumen HAM
internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa di dunia.12

Meskipun tidak semua masyarakat menolak, sikap “diskriminasi” yang dirasakan


oleh kaum LGBT dianggap sebagai pelanggaran HAM. Karena kaum LGBT hidup
hampir di setiap bagian belahan dunia, mereka adalah bagian dari anggota
masyarakat, etnis, dan agama tertentu. Mereka juga adalah manusia yang harus
dihormati haknya, akan tetapi di beberapa negara (termasuk Indonesia) mereka
mengalami diskriminasi yang disebabkan oleh identitas dan orientasi seksual
(Badgett, Nezhad, Waaldijk, dan Rodgers, 2014).13

UDHR 1948 memang tidak menentukan bahwa orientasi seksual pria harus
kepada wanita atau sebaliknya, akan tetapi hal itu tidak secara serta merta
berarti bahwa perilaku kaum LGBT harus diperbolehkan dan didukung. UDHR
1948 juga mengatur pembatasan, dalam Pasal 29 (2) dinyatakan bahwa:

“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only
to such limitations as are determined by law solely for the purpose of
securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others
and of meeting the just requirements of morality, public order and the
general welf re in a democratic society (UDHR 1948).14

11
Lihat Roby Yansyah, Rahayu, Globalisasi Lesbian, Gay, Biseksual, Dan Transgender (LGBT): Perspektif
HAM Dan Agama Dalam Lingkup Hukum Di Indonesia, Jurnal Law Reform Program Studi Magister
Ilmu Hukum, Vol. 14, No 1, 2018, hlm. 137
12
Ibid
13
Ibid
14
Ibid 138

6
Sementara itu, UDHR juga menjamin hak setiap orang untuk percaya pada
ajaran agamanya, dan mempraktekkan ajaran agama itu dengan baik. Seni. 18
dari UDHR 1948 menyatakan bahwa:

“Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion;


this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom,
either alone or in community with others and in public or private, to
manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and
observance.”15

LGBT dari Perspektif Agama di Indonesia

Agama yang diakui di Indonesia sama sekali tidak memperbolehkan perilaku dan
hubungan seksual yang menyimpang. Sebagaimana disebutkan dalam Al- quran:
“Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada
mereka), bukan kepada wanita, maka kalian ini adalah kaum yang melampaui
batas” (Q.S. Al- A’raaf: 81) (Sayyid, 2002). Dalam Islam, LGBT adalah tindakan
yang sangat hina, hal itu ditunjukkan dalam sebuah surat "Luth", dalam surat
tersebut, diceritakan bagaimana Allah marah besar dan menghukum sekelompok
orang yang melakukan tindakan homoseksual. Alkitab juga menyatakan dengan
jelas bahwa Allah merancang bahwa seks dilakukan hanya antara pria dan
wanita, dan hanya dalam ikatan perkawinan (Kejadian 1:27, 28; Imamat 18:22;
Amsal 5:18, 19), Alkitab mengutuk perzinahan, yang termasuk perilaku
homoseksual serta heteroseksual terlarang (Gal 5: 19-21).16

Hukum menjamin hak setiap orang untuk beragama dan menjalankan kewajiban
sesuai tuntunan agamanya. Ajaran agama Islam contohnya, seorang muslim
bukan diperintahkan untuk melaksanakan kewajiban saja tetapi juga mencegah
kemungkaran. Jika terjadi sebuah penyimpangan terhadap ajaran agama (LGBT)
terutama jika dilakukan oleh yang juga beragama Islam, maka sesuatu yang wajar
jika mereka menolak pelaku dan perilaku seksual menyimpang LGBT.
Berdasarkan pandangan agama, LGBT merupakan sebuah penyimpangan dari

15
Ibid
16
Ibid 139

7
kehendak Tuhan, bahwa seharusnya lelaki berpasangan dengan wanita dan
begitu juga sebaliknya.17

Pandangan dari sisi agama, yang kebebasan beribadah dan menjalankan perintah
Tuhan-nya dijamin oleh hukum nasional, LGBT merupakan perilaku yang tidak
dapat diterima. Argumen penolakan berkutat pada dalil kitab suci dan ajaran
agama yang tidak dapat “ditawar” karena merupakan perintah Tuhan.18

LGBT Dalam Perspektif Hukum Positif Khususnya KUHP Di Indonesia

Peraturan perudangan-undang yang berlaku saat ini hanya menetapkan dua


jenis gender, yaitu pria dan wanita. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1/1974) Jo. Undang-Undang Administrasi
Kependudukan (UU No. 23/2006). Berdasarakan UU No. 1/1974, telah
ditegaskan bahwa perkawinan adalah sebagai pemersatuan antara seorang pria
dan seorang wanita.

Di sisi lain adalah memungkinan bagi orang yang telah menjalani operasi
perubahan kelamin untuk mengajukan perubahan gender di pengadilan. Hal ini
berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus perubahan gender secara legal atas
seorang transseksual pria menjadi wanita, yaitu Vivian Rubianti (lahir dengan
nama Iwan Rubianto) pada tahun 1973.

Undang-Undang Pornografi (UU No. 44/2008) memasukkan istilah


"persenggamaan yang menyimpang" sebagai salah satu unsur pornografi. Dalam
penjelasan pengertian "persenggamaan yang menyimpang" tersebut mencakup
antara lain "persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat,
binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual." Meskipun larangan ini
berlaku terhadap produksi dan penyebaran pornografi, undang-undang ini
dipahami oleh banyak pria gay dan wanita lesbian sebagai hukum yang
memidanakan hubungan seks homoseksual.19

17
Ibid
18
Ibid 141
19
Lihat Laporan LGBT Nasional Indonesia - Hidup Sebagai LGBT di Asia, USAID-UNDP, hlm. 25

8
Selain itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 54/2007 tentang Adopsi secara
tegas menetapkan bahwa orang tua yang mengadopsi tidak boleh berupa
pasangan homoseksual.
KUHP merupakan hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia pada saat ini.
Dan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengandung asas
legalitas bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan
ketentuan perundangan-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.

KUHP sendiri tidak mengatur secara spesifik mengenai LGBT. Ketentuan


perbuatan homoseksual yang dapat dijatuhkan pidana adalah perbuatan
homoseksual yang dilakukan oleh orang dewasa dengan seorang anak yang
sejenis. Hal ini sebagaimana dimaksud pada Pasal 292 KUHP menyatakan
bahwa:

“Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun.”

Oleh karena itu, KUHP belum dapat menjerat perbuatan homoseksual laki-laki
dewasa dengan laki-laki dewasa.

Namun, perbuatan homoseksual laki-laki dewasa dengan laki-laki dewasa yang


dilakukan dengan kekerasan dan pemaksaan dapat dijatuhkan pidana. Hal ini
sebagaimana dimaksud pada Pasal 289 KUHP menyatakan bahwa:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa


seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan
kesusilaan dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”

Berdasarkan uraian di atas, KUHP belum mengatur secara tegas mengenai


larangan terhadap LGBT. Namun hal ini tidak dapat ditafsirkan apabila orientasi
seksual LGBT dapat disimpulkan sebagai perbuatan yang legal karena
bertentangan dengan filsafat hidup Bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila.

9
Kesimpulan

Hukum positif yang berlaku di Indonesia hanya mengatur 2 (dua) jenis gender,
yaitu pria dan wanita. Dan meskipun KUHP tidak secara spesifik menentukan
sanksi pidana terhadap orientasi seksual LGBT, hal itu tidak berarti aktivitas
LGBT dapat ditafsirkan sah secara hukum. Apalagi penegakan HAM yang diakui
dalam sistem hukum Indonesia adalah berdasarkan Pancasila dan disertai dengan
pembatasan bahwa setiap orang yang memiliki HAM juga harus menghormati
HAM orang lain, menghormati pembatasan yang ditentukan oleh UU,
memenuhi persyaratan moral, etika, tata tertib kehidupan masyarakat,
berbangsa dan bernegara, nilai-nilai agama, serta menjaga keamanan dan
ketertiban umum masyarakat demokratis.

10

Anda mungkin juga menyukai