Anda di halaman 1dari 8

Hak Asasi Manusia dan Kelompok LGBT di Filipina dan Indonesia: Sebuah Studi

Komparasi

Asfrik Thandie Larasati


072111233081
Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Airlangga

Abstrak
LGBT (Lesbian Gay Bisexual and Transgender) semakin menjadi perbincangan dunia. Kelompok ini kemudian
seringkali termarjinalkan oleh masyarakat, sehingga kerap kali hak asasinya terabaikan. Padahal pada marwahnya
Hak Asasi Mavnusia (HAM) merupakan hak yang fundamental dimiliki oleh semua manusia sejak ia dilahirkan
tanpa terkecuali dan tidak dapat dicabut oleh pihak manapun. Artikel ini kemudian akan membahas bagaimana
komparasi pemenuhan HAM pada kelompok LGBT di Indonesia dan Filipina, apa saja kemudian dinamika pada
kedua negara tersebut dalam memenuhi HAM para kelompok LGBT.

Kata Kunci: LGBT; Indonesia; Filipina; HAM

Pendahuluan
HAM dan Manusia merupakan dua hal yang kemudian saling berkaitan erat dan tidak bisa
dipisahkan. Sejak manusia dilahirkan, HAM telah lekat dengan pribadinya yang kemudian harus
dilindungi dan dihormati dan kemudian tidak dapat dicabut atau dihilangkan dari pribadinya.
Manusia sendiri merupakan makhluk yang bebas yang kemudian sebagaimana disampaikan oleh
Jean Jacques Rousseau bahwasanya manusia ketika potensinya berkembang akan merasakan
nilai-nilai kemanusiaan dalam suasana kebebasan. Kebebasan sendiri merupakan sebuah hak
fundamental yang kemudian dimiliki manusia dan termasuk dalam hak asasi manusia. Hak Asasi
Manusia (HAM) marwahnya adalah hak asasi yang melekat pada setiap manusia yang kemudian
berlaku tanpa terkecuali dan universal, termasuk pada kaum ataupun kelompok yang
termarjinalkan seperti halnya kelompok Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT) yang
kemudian seringkali diperlakukan tidak adil dan dipersekusi karena dianggap berbeda dan
seringkali dianggap menyalahi norma moral dan agama.

Perlakuan diskriminatif seringkali menimpa kelompok marjinal termasuk kelompok LGBT,


perlakuan ini seringkali distimulasi oleh nilai-nilai agama seperti halnya LGBT adalah sumber
dosa serta menyalahi kodrat manusia. Persekusi, diskriminasi, serta pengucilan akrab sekali
dengan kelompok LGBT ini. sehingga memunculkan sebuah pertanyaan, apakah Hak Asasi
Manusia yang kemudian disebutkan sifatnya universal ini juga menjamin hak-hak kelompok
LGBT. Artikel ini kemudian akan membandingkan mengenai bagaimana implementasi HAM
pada kelompok LGBT di Filipina dan Indonesia. Membandingkan kedua negara tersebut karena
dirasa keduanya memiliki beberapa variabel yang sama yaitu keduanya merupakan negara yang
berbasis agama, Filipina dengan mayoritas Katolik, serta Indonesia dengan mayoritas Muslim,
kemudian keduanya juga terletak di kawasan Asia Tenggara yang mana tergabung dalam suatu
organisasi regional yaitu ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) yang kemudian
merupakan masyarakat ASEAN yang mempunyai shared norms tertentu.
Metode yang kemudian digunakan dalam penyusunan artikel ini adalah literature review atau
studi literatur, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan beberapa jurnal baik nasional maupun
internasional yang kemudian sesuai dengan topik yang diangkat, serta sumber data juga dapat
diperoleh dari artikel, laporan, undang-undang, maupun video yang kredibel, data-data yang
kemudian juga sesuai dengan tema yang diangkat ini dianalisis secara deskriptif dan normatif
sehingga dapat menjawab beberapa rumusan pertanyaan yang telah disusun, sehingga dapat
melakukan komparasi bagaimana Indonesia dan Filipina dalam mengimplementasikan HAM
serta menjamin HAM bagi kelompok LGBT

Artikel ini kemudian bertujuan untuk membahas mengenai bagaimana keterkaitan antara HAM
dan kelompok LGBT sebagai kelompok yang rentan diperlakukan tidak adil, apakah kemudian
pemerintah di Indonesia dan Filipina dapat menjamin HAM kelompok LGBT ini sehingga
martabat dan harga dirinya tidak dilanggar oleh pihak manapun, serta bagaimana tanggapan
ataupun perspektif dari masyarakat Indonesia maupun Filipina mengenai kelompok LGBT yang
sudah menjadi bagian dari society di negara masing-masing. Kemudian, dari studi komparasi ini
harapannya dapat dilihat mengenai bagaimana HAM di kedua negara diimplementasikan untuk
kemudian menjamin hak-hak kelompok marjinal.

Literature Review

Pengertian dan Konsepsi HAM


Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak kodrati yang kemudian lekat pada diri setiap orang
sejak ia dilahirkan. Hakikat dari HAM ini sendiri adalah tidak dapat dicabut oleh pihak manapun,
selaras dengan yang diargumentasikan oleh C.D. Rover bahwasanya HAM mungkin untuk
dilanggar, namun tidak dapat dihapuskan (Renggong dan Ruslan 2021). HAM serta
kemartabatan manusia saling berkorelasi, HAM sendirii ini juga berlaku secara universal. HAM
sendiri merupakan pondasi keutuhan manusia untuk mewujudkan hidup yang beradab. Sejarah
dari Hak Asasi Manusia secara universal merupakan perjuangan progresif yang inklusif, yang
kemudian memastikan proteksi universal pada hak asasi manusia dan kebebasan fundamental
yang kemudian menjamin siapapun tanpa terkecuali dan bukan hanya milik beberapa kalangan
saja, karena pada dasarnya sifat dari hak asasi manusia yang inklusif dan universal (Ibhawoh
2014).

LGBT
Lesbian Gay Bisexual and Transgender atau kerap kali disingkat LGBT ini terus menerus menuai
perhatian masyarakat luas, lantas sebenarnya apa itu LGBT, LGBT sendiri merupakan
sekelompok orang yang mengientifikasikan dirinya sebagai lesbian, gay, bisexual ataupun
transgender yang kemudian memiliki solidaritas bersama dan saling bertukar pengalaman
mengenai diskriminasi yang mereka alami, konsepsi dari komunitas LGBT sendiri merupakan
komunitas yang terdiri dari sekelompok orang yang mendukung aktivisme LGBT tanpa
memandang bagaimana identitas gender ataupun kultur mereka (Britannica 2023)

Lantas, apakah LGBT merupakan sebuah penyakit, World Health Organization (WHO) pada
tahun 1990 telah resmi menyatakan bahwasanya homoseksual bukan merupakan penyakit
mental, selain itu pada tahun 2019 WHO juga telah mengeliminasi transgender yang dulunya
masuk dalam kategori kelainan mental. Pernyataan WHO ini kemudian menegaskan bahwasanya
LGBT bukan merupakan penyakit mental yang kemudian jika terdapat seseorang LGBT muncul
kemudian persepsi bahwa mereka harus disembuhkan. Namun, terdapat sebuah anomali karena
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI) pada 2015 itu mengkategorikan
bahwasanya homoseksual dan transgender yang merupakan suatu penyakit dan kelainan mental
yang dapat dicegah dan harus disembuhkan.

Perspektif HAM pada LGBT


Hak Asasi Manusia (HAM) sendiri telah disebutkan bahwasanya merupakan hak kodrati yang
kemudian lekat dengan diri setiap orang sejak ia dilahirkan, yang kemudian hak asasi ini tidak
dapat untuk dicabut oleh siapapun termasuk negara. Namun, bagaimana dengan implementasi
HAM pada kaum LGBT yang kerap kali termarjinalkan. Melanjutkan pembahasan mengenai
anomali yang terjadi mengenai pernyataan WHO dan PDSKJI mengenai apakah LGBT sebuah
penyakit mental, namun WHO dan PDSKJI ini memiliki kesamaan pendapat bahwasanya
kelompok LGBT ini berhak untuk berkewarganegaraan dan mendapat hak sesuai undang-undang
yang berlaku. Kemudian, Universal Declaration of Human Right pada artikel 15 tahun 1948
yang kemudian berbunyi (1) Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan; (2) Tidak
seorangpun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk
mengganti kewarganegaraan (Verdianto dkk, 2023).

Pembahasan
LGBT di Indonesia
Latar belakang Indonesia
Sebelum membahas mengenai implementasi HAM pada kelompok LGBT di Indonesia, mari
terlebih dahulu mengetahui latar belakang dari negara Indonesia sendiri. Indonesia merupakan
salah satu negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara yang terkenal sebagai negara
kepulauan karena Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau. Indonesia ini sangatlah beragam,
membentang dari Sabang sampai Merauke yang kemudian tiap daerah memiliki ciri khas
budayanya masing-masing yang sangat beragam. Indonesia juga memiliki semboyan yang khas
dan unik yaitu “ Bhinneka Tunggal Ika” yang bermakna beraneka tapi tetap satu jua yang
merupakan semboyan nasional Indonesia yang tercantum dalam lambang negara Indonesia yaitu
Garuda Pancasila. Menurut sensus, kini warga Indonesia mencapai 273,8 juta jiwa, masyarakat
Indonesia ini juga terdiri atas kurang lebih 300 suku, seperti halnya Batak, Jawa, Sunda, Dayak,
yang kemudian tiap suku memiliki ciri khasnya tersendiri. Indonesia merupakan negara yang
berlandaskan kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, hal ini kemudian dapat dilihat melalui
dasar negara Republik Indonesia yang kemudian dalam Pancasila sila pertama berbunyi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kemudian untuk Indonesia sendiri, mayoritas masyarakatnya
memeluk agama Islam, menurut sensus 2021 penduduk Indonesia berjumlah 273,32 juta jiwa
dengan 86,93 % beragama Islam, 7,47% Kristen Protestan, 3,08% Katolik, 1,71% Hindu, 0,74%
Buddha, 0,05% Konghucu serta 0,03% memeluk agama maupun kepercayaan lainnya.
Kemudian, dari data tersebut dapat dilihat bahwasanya Indonesia merupakan negara yang
berlandaskan mengenai agama (Kemlu 2018).

Sejarah Kelompok LGBT di Indonesia


Kemudian, secara historis bagaimana kelompok LGBT ini ada di Indonesia, jika membahas
secara historis LGBT ini sudah ada sejak tahun 1960-an di Indonesia, kelompok ini kemudian
mulai berkembang pada tahun 1980-an, 1990-an, serta meledak di era 2000-an hingga saat ini.
Kemudian muncul beberapa organisasi dan advokasi mengenai kelompok LGBT di Indonesia,
organisasi mula-mula di Indonesia yaitu ada Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD), kemudian
pada tahun 1982 terbentuklah Lambda Indonesia, pada 1986 berdiri Persatuan Lesbian Indonesia
mulai terbentuk, serta pada tahun yang sama berdiri juga Gaya Nusantara yang merupakan
pelopor organisasi hay yang yang terletak di Indonesa yang terbuka dan bangga akan jati diri
mereka serta mengakui eberagaman seks, genderm sera seksualitas. Kemudian mulai era 90-an
pergerakan LGBT di Indonesia bergerak dengan luar biasa karena adanya dukungan dari
organisasi sekutu mereka.

Perspektif Masyarakat mengenai LGBT


Telah dijelaskan bahwasanya Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi norma
agama, yang kemudian terlihat dalam pancasila sila pertama yang memuat Ketuhanan Yang
Maha Esa yang dapat menjadi bukti bahwasanya Indonesia menjunjung tinggi norma agama.
Lantas, bagaimana tanggapan masyarakat indonesia mengenai kelompok LGBT ini sendiri. Salah
satu platform channel youtube Asian Boss mencoba untuk kemudian wawancara beberapa orang
Indonesia dan meminta pendapat mengenai LGBT, mayoritas dari respon masyarakat Indonesia
adalah cenderung menolak LGBT tersebut karena kerap dianggap melenceng, menyalahi norma
agama, serta tidak sesuai dengan kodrat manusia. Namun, ada beberapa yang kemudian lebih
menerima keberadaan kelompok LGBT ini, namun kebanyakan dari responden beranggapan
bahwa LGBT ini tidak dapat dibenarkan dan kemudian merupakan penyakit yang harus
disembuhkan (Asian Boss 2021).

Implementasi perlindungan HAM bagi kaum LGBT di Indonesia


Jika ditinjau melalui hukum nasional, kaum LGBT jelas tidak mendapatkan dukungan, hukum di
Indonesia namun tidak secara eksplisit mengatur mengenai kelompok LGBT ini, namun ada
beberapa pasal-pasal dalam hukum nasional Indonesia yang kemudian cenderung tidak
mendukung keberadaan kelompok LGBT ini, seperti halnya (Sofyarto 2018): Pasal 292 KUHP
(Kitab Undang Undang Hukum Pidana) yang menyebutkan bahwasanya melarang hubungan
ersetubuhan sesama jenis, jika melanggar dapat dikenakan sanksi berupa pidaa 5 tahun penjara,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang hanya membolehkan
perkawinan lawan jenis, Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi yang menyebutkan bahwasanya perilaku homoseksual merupakan perilaku yang
menyimpang dari norma yang ada. Kemudian terdapat Pasal 5 ayat (3) Undang-undang
Pornografi pada intinya merupakan pelarangan atas tindakan seksual, penetrasi dan hubungan
seks pada pasangan yang sejenis, hewan, serta orang yang sudah meninggal.Kemudian ada
beberapa peraturan daerah yang kemudian juga kontra terhadap LGBT seperti halnya Perda Kota
Padang Panjang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penindakan
Penyakit Sosial yang memasukkan kelompok LGBT pada penyakit sosial ini. Kemudian, Pasal 1
Perda tersebut memasukkan kelompok LGBT sebagai bagian dari perbuatan pelacuran. Terakhir,
terdapat Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran, pada
Pasal 1 dan 2 juga ditegaskan bahwa homoseksual dikategorikan sebagai perbuatan pelacuran.

Kemudian, dari beberapa undang-undang baik nasional maupun peraturan daerah dapat dilihat
bahwasanya Indonesia masih cenderung menolak atau kontra dengan keberadaan kelompok
LGBT. Namun, kemudian juga ada beberapa pasal yang menjadi payung hukum untuk menjamin
hak asasi bagi kaum LGBT yaitu UU RI No. 39 tahun 1999 yang kemudian menjamin Hak Asasi
Manusia, Pasal 28 E ayat (3) UUD RI 1945 dinyatakan mengenai kebebasan berpendapat dan
berserikat, Pasal 28 I ayat (1) UUD RI 1945 hak dalam keadaan apapun tidak dapat dicabut atau
dikurangi oleh pihak manapun adapun hak yang dijamin berupa hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum. Terakhir, terdapat Pasal 28 J UUD RI Tahun
1945 bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, pada implementasinya,
perlindungan HAM pada kelompok-kelompok marjinal seperti halnya LGBT ini masih belum
terlalu baik, sebab masih ada kasus-kasus pelanggaran HAM yang mana semata-mata disebabkan
seseorang atau suatu kelompok adalah LGBT seperti halnya yang terjadi di Indonesia, yang
mana terjadi pemecatan setidaknya 15 anggota TNI dan Polri karena mereka homoseksual.

LGBT di Filipina
Latar Belakang Filipina
Filipina merupakan negara kepulauan, sama seperti Indonesia yang kemudian memiliki lebih dari
7000 pulau. Negara Filipina ini kemudian mengambil namanya dari Philip II, raja Spanyol,
negara yang pernah menjajah Filipina selama 333 tahun. Oleh karena itu, Filipina memiliki
kedekatan dengan budaya barat. Filipina sendiri merupakan satu-satunya negara kristen di Asia,
yang mana penduduk Filipina 86% nya merupakan pemeluk agama Katolik, 6% merupakan
kultus Kristen yang kemudian dinasionalisasi, serta 2% lainnya merupakan 100 denominasi
Protestan, selain itu terdapat 4% Muslim yang kemudian terkonsentrasi di daerah pulau selatan
Mindanao, Palawan serta Sulu, serta 2% lainnya merupakan kepercayaan lainnya, selain itu di
Filipina terdapat beberapa kepercayaan seperti Buddhisme, Taoisme, serta Konfusianisme (Dolan
1983).

Sejarah Kelompok LGBT di Filipina


Kelompok LGBT diperkirakan mulai masuk ke Filipina sekitar tahun 1521, yang mana diawali
dengan pertemuan yang terjadi antara penduduk asli Filipina dan conquistadores yang kemudian
terjadi persilangan gender dan transvestisme yang dicontohkan oleh figur babaylan yang mana
merupakan seorang pemimpin agama, yang kemudian berkonotasi dengan perempuan, meskipun
dikonotasikan perempuan, namun ada babaylan laki-laki yang kemudian berpenampilan seperti
perempuan serta berpura-pura berjati diri sebagai perempuan, bersikap seperti perempuan yang
kemudian bertujuan agar arwah mendengarkan doa mereka. Babaylan laki-laki ini juga diberi
pengakuan sosial sebagai "perempuan yang agak", ada beberapa dari babaylan laki-laki tersebut
juga menikah dengan laki-laki (Garcia 2008).

Kemudian, pada era 1960-an merupakan dimulainya sejarah budaya konseptual gay dari Filipina,
yang mana pada era ini mulai digunakan bahasa subkultural khas pria gay yang kemudian
merupakan campuran dari bahasa Inggris, Spanyol, secara Tagalog (Ricordeau 2009) yang
kemudian tulisan-tulisan ataupun pers yang kemudian menulis mengenai homoseksual mulai
diterbitkan (Gracia 2008). Kemudian, pada era 1980-an hingga 1990-an ini banyak dinamika
terkait kelompok LGBT, salah satunya adanya Ladlad pada 1994 yang merupakan antologi
tulisan gay Filipina yang kemudian berjudul A Different Love: Being Gay in the Philippines,
Margarita Go-Singco Holmes yang dibuat pada tahun 1993. Perlu dicatat bahwasanya titik balik
bagi aktivisme LGBT di Filipina adalah pada saat Kolektif Lesbian ikut serta pada pawai Hari
Perempuan Internasional yang kemudian dilaksanakan Maret 1992 (Mohideen 1996).

Perspektif Masyarakat Filipina Terhadap Kelompok LGBT


Terdapat survey, a new Pew Research yang kemudian menyebutkan bahwasanya 73% warga
Filipina berpendapat bahwasanya homoseksual seharusnya diterima oleh masyarakat, survey ini
diadakan dua kali di 2019 dan di 2013 yang kemudian mendapatkan hasil yang sama, yang mana
73% warga Filipina berpendapat bahwasanya homoseksual seharusnya diterima oleh masyarakat.
Survey yang diadakan di tahun 2013 menuai hasil 73% diantaranya setuju bahwasanya kelompok
homoseksual seharusnya diterima oleh masyarakat, 26% diantaranya tidak setuju, serta 1%
diantaranya abstain, kemudian survey kedua yang diadakan pada tahun 2019 menuai hasil 73%
setuju bahwasanya kelompok homoseksual seharusnya diterima oleh masyarakat, 24%
diantaranya tidak setuju, serta 3% diantaranya menyatakan abstain (Abad 2019)
Tercatat bahwasanya kelompok LGBT di Filipina hingga kini masih melakukan perjuangan
untuk mewujudkan perlindungan HAM serta kesetaraan hak bagi kelompok LGBT dari berbagai
institusi, tercatat di sekolah siswa kelompok LGBT masih saja termarjinalkan dan mengalami
serangkaian intimidasi ataupun diskriminasi yang erat kaitannya dengan kekerasan fisik dan
kekerasan seksual (Human Rights Watch 2017). Namun , di Filipina sendiri mengenai
pernikahan LGBT masih menuai polemik, Pernikahan LGBT yang kemudian diadakan dan
diberkati di Gereja Kristen LGBT ini menuai kecaman dari Kelompok-kelompok Katolik- The
Marriage Encounter Couple in Christ (MECC) dan kelompok katekis Keluarga Kudus - yang
kemudian mengeluarkan kecaman lewat pernyataannya yang secara tegas menolak pernikahan
sesama jenis (). Namun, disisi lain Filipina yang kemudian berbasis negara dengan penduduk
Katolik terbesar di Asia kemudian langsung memberikan respon setelah Paus mengeluarkan
pernyataan mendukung untuk pembuatan landasan hukum mengenai hubungan sesama jenis
(CNN Indonesia 2020).

Implementasi perlindungan HAM bagi kaum LGBT di Filipina


Seperti yang dikatakan bahwasanya HAM merupakan hak asasi yang kemudian seharusnya
didapat oleh semua manusia tanpa terkecuali dan tidak dapat dicabut oleh pihak manapun,
implementasi perlindungan HAM bagi kaum LGBT ini juga berkaitan erat dengan politik.
Adapun partai politik pertama yang kemudian berafiliasi dengan kelompok LGBT yaitu Partai
Aksi Warga Akbayan, perjuangan politik partai ini kemudian menciptakan kelompok lobi LGBT
pertama yang kemudian disebut sebagai Jaringan Advokasi Legislatif Lesbian dan Gay
(LAGABLAB), pada tahun 1999. LAGABLAB ini kemudian juga mengungkapkan
ketidakpuasan kelompok lGBT terhadap Undang-Undang Hak Lesbian dan Gay tahun 1999.
Kemudian LAGABLAB ini juga yang kemudian memperjuangkan RUU Anti Diskriminasi pada
tahun 2000 yang kemudian melarang diskriminasi yang disebabkan orientasi seksual (UNDP,
USAID 2014)

Kemudian adapun beberapa undang-undang yang kemudian menjamin hak asasi manusia yang
dimiliki oleh Filipina yaitu (UNDP, USAID 2014):
1. Konstitusi Filipina 1987 Pasal 2 Bagian 11 menyatakan bahwa “Negara menghargai
martabat setiap manusia dan menjamin penghormatan penuh terhadap hak asasi
manusia.”
2. Konstitusi Filipina 1987 Pasal 3 Bagian 1 Tidak seorang pun dapat dirampas kehidupan,
kebebasannya, atau harta bendanya tanpa proses hukum yang semestinya, juga tidak
seorang pun dapat diingkari perlindungan hukum yang setara.
3. Senat Bill 2814, berjudul Anti-Ethnic or Racial Profiling and Discrimination Act of 2011,
yang mendefinisikan diskriminasi yang melanggar hukum sebagai “pembedaan,
pengucilan, pembatasan atau preferensi yang dibuat atas dasar etnis, ras, agama atau
kepercayaan, jenis kelamin, jenis kelamin, orientasi seksual , identitas gender, bahasa,
kecacatan atau status lain yang memiliki efek atau tujuan merusak atau meniadakan”
Dari beberapa undang-undang di atas dapat dilihat bahwasanya Filipina sangat menjunjung hak
asasi manusai, serta kesetaraan dalam implementasi hak asasi manusia bagaimana hak asasi
harus menjamin semua warga negara tanpa terkecuali, namun memang pada praktiknya tidak
bisa sesuai dengan normatif tentu masih ada penyimpangan dari normatifnya

Simpulan
HAM dan Manusia merupakan kedua hal yang tidak dapat dipisahkan, HAM sendiri atau hak
asasi manusia merupakan hak yang tidak dapat lepas dari keberadaan seorang manusia, dan
diperoleh sejak ia dilahirkan ke dunia dan tidak dapat dicabut haknya oleh pihak manapun
termasuk pemerintah. HAM sendiri merupakan hak asasi manusia yang kemudian berlaku secara
universal dan menjamin hak asasi manusia tanpa terkecuali sama halnya dengan kelompok
LGBT yang kerap kali termarjinalkan. Artikel studi komparasi ini membandingkan perlindungan
HAM bagi kelompok LGBT di Indonesia yang mana merupakan negara berbasis agama
mayoritas Islam yang masih kurang menerima keberadaan LGBT, dan dengan beberapa
undang-undangnya yang masih menolak keberadaan LGBT, masyarakat Indonesia juga masih
sangat tertutup dengan komunitas atau kelompok LGBT. Kemudian berbeda halnya dengan di
Filipina, di Filipina masyarakatnya lebih menerima LGBT, dengan survey yang menunjukkan
bahwasanya 73% dari masyarakat Filipina menerima bahwasanya kelompok LGBT harus
diterima keberadaannya, lalu untuk undang-undangnya juga terdapat undang-undang yang
kemuidan secara spesifik menjamin ham bagfi orang-orang dengan homoseksualitas.

Anda mungkin juga menyukai