Anda di halaman 1dari 9

NAMA : HANIFAH

NIM : 22030041
PRODI : PIAUD

ISU-ISU KONTEMPORER

PEMBAHASAN

LGBT
Pengertian
Banyak istilah-istilah yang dipakai berkaitan dengan isu-isu gender ini,
maka untuk menyamakan persepsi akan diuraikan pengertian masing-
masing. Istilah yang berkaitan dengan LGBT adalah homoseksual, yaitu
seseorang yang cendrung mengutamakan orang yang berjenis kelamin sama
sebagai mitra seksual disebut homoseksual. (Haryanta, 2012)
Senada dengan arti tersebut Oetomo, 2001 mendefenisikan sebagai orientasi
atau pilihan seks yang diarahkan pada seseorang atau orang-orang dari jenis
kelamin sama. Dari dua pendapat ini dapat disimpulkan bahwa homoseksual
merupakan orientasi atau pilihan dari seseorang yang ditujukan pada
individu atau beberapa individu dengan jenis kelamin sama. Homoseksual
laki-laki disebut “gay” sedangkan homoseksual perempuan disebut
“lesbian”.
Biseksual adalah seseorang yang tertarik kepada dua jenis kelamin
sekaligus, tertarik kepada laki-laki dan juga perempuan. Sementara
Transgender merupakan istilah berperilaku atau penampilan tidak sesuai
dengan jenis kelamin, misalnya laki-laki tetapi bertingkahlaku perempuan,
berpakaian seperti pakaian perempuan. Atau sebaliknya perempuan
bertingkahlaku seperti laki-laki dan berpenampilan seperti laki-laki.
Sedangkan transeksual berbeda dengan transgender, transeksual merasa
bahwa dirinya terjebak pada tubuh yang salah. (Imron:80)
 
LGBT dalam tinjauan HAM
Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena
itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Dalam Mukaddimah Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dinyatakan bahwa hak-hak
manusia perlu dilindungi dengan peraturan hukum, supaya orang tidak akan
terpaksa memilih jalan pemberontakan sebagai usaha terakhir guna
menentang kelaliman dan penjajahan.
Dalam sistem hukum di Indonesia, sebagaimana terdapat dalam UUD 1945
dinyatakan“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apa pun”, hal ini sesuai
dengan ketentuan dalam DUHAM Pasal2, 7 dan 22. (Rustam, 2016)
Komnas HAM, Natalius Pigai mengatakan negara mempunyai kewajiban
melindungi rakyat warga negara Indonesia apapun jenisnya, suku, agama,
ras, etnik, atau kaum minoritas dan kelompok rentan (maksudnya rentan
dari kekerasan). Negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan
hak asasi semua warga negara Indonesia tanpa membedakan suku,
agama,termasuk kaum minoritas dankelompok rentan termasuk LGBT.
(Rustam,2016)
Adapun perlindungan, yang harus dijamin dan diberikandalam kenteks
LGBT ini dari perspektif HAM adalah perlindungan hak asasi mereka
dalam bentuk jaminan kesehatan untuk bisa sembuh dari penyakitnya,
sebagaimana termaktub dalam Pasal 25 DUHAM.
Dengan demikian dapat ditarik dipahami bahwa, sudah menjadi keniscayaan
bagi kelompok LGBT untuk mendapatkan hak-hak asasi mereka berupa
jaminan perawatan atau pengobatan terhadap penyakit LGBT tersebut.
Bukan HAM dalam pengakuan atau melegalkan terhadap orientasi seksual
mereka yang menyimpang.
Dari sisi lain, disamping HAM yang dimiliki oleh kelompok LGBT,
sesungguhnya ada juga Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang harus
dipatuhi oleh setiap orang sebagai termakub dalam Pasal 29, ayat (1 dan 2)
DUHAM yaitu:

1. Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat


satusatunya di mana dia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan
bebas dan penuh.
2. Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang
harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh
undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan
orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal
kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat
yang demokratis.

Kewajiban dasar yang dimiliki seseorang (termasuk kelompok LGBT)


sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi orang lain yang dapat pula
diartikan sebagai pembatasan terhadap hak asasi seseorang harus ditetapkan
berdasarkan undang-undang sebagaimana diatur pada Pasal 70 dan 73 UU.
No. 39 Tahun 1999. Berangkat dari ketentuan tersebut, pemerintah sangat
berperan dalam menentukan regulasi dan aturan hukum untuk membatasi
kebebasan HAM LGBT, untuk menjaminpengakuan dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan,
ketertiban umum dan kepentingan bangsa. Dalam konteks LGBT ini
pemerintah dapat mengeluarkan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah,
tentang pelarangan terhadap gerakan atau aktivitas penyimpangan seksual
yang dilakukan oleh kelompokatau komunitas LGBT di Indonesia.
Allah menciptakan manusia sesuai fitrahnya, yaitu makhluk hidup yang
berpasang-pasangan dan mengatur tentang kecenderungan orientasi
seksualnya didasarkan pada pasangannya, dan mengembangkan keturunan
antara suami dan istri melalui pernikahan. Ketentuanini sesuai denganfirman
Allah dalam al-Qur'an surah An-Nisa’ ayat 1:
“ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan Mengawasi kamu.”
 
LGBT dalam Tinjauan Hukum Islam
Syari’at (hukum Islam) bersifat universal, mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, maupun
sesama manusia dan alam. Dalam praktiknya syari’at Islam senantiasa
memperhatikan kemaslahatan manusia, dengan mengajak setiap
pengikutnya untuk mematuhi perintah dan larangannya. Hukum Islam akan
menindak tegas para pelaku yang melanggar ketentuan dan peraturan yang
telah ditetapkan berdasarkan nash al-Qur’an dan hadis. Prinsip ini
merupakan suatu yang esensial dan faktual dalam menangani problem yang
terjadi dalam masyarakat Islam (Syaltut, 1968: 12).
Syari’at Islam berasal dari wahyu Allah Swt. Oleh karena itu, syari’at yang
diturunkannya juga mempunyai satu sistem. Artinya, hukum-hukum yang
dikandung syari’at Islam tersebut tunduk pada satu landasan dan tujuan,
sehingga ketentuan-ketentuannya pun seragam, tidak bertentangan antara
satu dengan lainnya. Dalam hal ini, Islam membawa ajaran yang lengkap,
mencakup seluruh aspek kehidupan.Tidak satupun aspek hidup dan
kehidupan umat manusia yang lepas dari perhatian Islam. Diantara aspek
kehidupan yang sangat penting yang di atur Islam adalah hubungan biologis
atau seks. Seks merupakan suatu hal yang bersifat sakral dan harus
disalurkan secara benar dan bermoral melalui pernikahan. Penyaluran seks
di luar nikah disebut zina yang merupakan pelanggaran yang amat tercela.
Akhir-akhir ini, perilaku seks berupa zina, homoseksual, lesbian, dan
berbagai perilaku aneh dalam hal seks ini, marak dibahas oleh masyarakat
Indonesia, baik melalui media elektronik, cetak, maupun melalui seminar
dan diskusi. Istilah yang berkembang dalam perilaku seks dan perilaku aneh
tersebut dinamakan dengan LGBT (Lesbian, gay, biseksual, dan
transgender).
Perilaku LGBT yang dilakukan sejumlah orang mengundang kontroversi
(pro dan kontra) serta polemik pada kalangan masyarakat luas, baik secara
internasional maupun nasional. Kalangan yang mendukung (pro) LGBT
berdalih pada Hak Asasi Manusia (HAM), sedangkan kalangan yang tidak
mendukung (kontra) berdalih pada aturan agama dan moral. Pro-kontra ini,
bisa jadi diakibatkan karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang hal
ini, padahal persoalan ini justru berkaitan dengan ketentraman masyarakat.
Perilaku gay atau homoseksual telah dikenal masyarakat dari masa ke masa.
Pada kurun waktu tertentu perilaku ini dilakukan oleh kaum Nabi Luth
as.Al-Q ur’an al-Karim telah menggambarkan sifat-sifat kaum Nabi Luth
yang tidak mau mengawini perempua
Ridha (1950:511-513) memaparkan bahwa Nabi Luth di utus Allah Swt
untuk memperbaiki aqidah dan akhlaq kaumnya yang berdiam di negeri
Sadum, Amurah, Adma’, Sabubim, dan Bala’, di tepi laut mati. Nabi Luth
memilih tinggal di negeri yang paling besar dari kelima negeri itu yaitu
Sadum. (Dahlan, 1996:563) Negeri Sadum mengalami kehancuran moral,
kaum laki-laki lebih bersyahwat kepada sesama jenisnya yang berusia muda
dan tidak bersyahwat kepada kaum wanita. Ketika menyaksikan perbuatan
kaumnya yang tidak bermoral tersebut, Nabi Luth menegur dan
memperingatkan kaumnya untuk meninggalkan kebiasaannya. Ia mengajak
untuk menyalurkan naluri seks sesuai dengan fitrah yaitu melalui
perkawinan antara pria dan wanita. Ajakan Nabi Luth ini dijawab oleh
kaumnya dengan mengusir dari masyarakatnya. Sementara itu, mereka terus
melakukan perbuatan keji dan tidak bermaksud meninggalkan kebiasaan
buruk tersebut.
Nabi Luth menganggap perbuatan kaumnya sebagai permusuhan,
kebodohan, berlebihan, rusak, dan dosa. Sikap yang lebih aneh dari mereka
yang telah hilang akal pikirannya, moralnya bejat dan hasrat manusiawinya
telah rusak adalah ketika mereka menyambut tamu Nabi Luth yang tidak
lain adalah malaikat azab. Kaitannya dengan adanya tamu Nabi Luth
tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam QS.Hud (11): 77-82.
              Hukum Islam menyebutkan homoseks antara sesama pria dengan
istilah liwath, sebagai kata yang akar katanya sama dengan akar kata luth.
Perbuatannya disebut dengan liwath karena perbuatan tersebut pernah
dilakukan oleh kaum yang durhaka kepada seruan Nabi Luth as. Homoseks
(liwath) dan yang berkaitan dengannya merupakan perbuatan keji dan
termasuk dosa besar. Homoseks juga termasuk salah satu perbuatan yang
merusak unsur etika, fitrah manusia, agama, dunia, bahkan merusak
kesehatan jiwa. Allah Swt telah mengecam homoseks dengan siksa yang
maksimal. Allah Swt telah membalikkan bumi terhadap kaum Luth yang
telah keterlaluan melakukan homoseks. Dan Allah Swt telah menghujani
batu yang menyala kepada mereka sebagai balasan atas perbuatan mereka
yang menjijikkan tersebut (Sabiq, t.th. : 272).
   Berkaitan dengan hukum homoseksual di atas, ash-Shabuni (1994: 87)
menyatakan perbuatan durjana tersebut adalah puncak dari pada segala
keburukan dan kekejian. Kita hampir tidak mendapatkan seekor binatang
jantan mengawini seekor binatang jantan lainnya. Akan tetapi keganjilan
tersebut justru terdapat di antara manusia. Oleh sebab itu, maka dapatlah
dikatakan bahwa keganjilan tersebut merupakan suatu noda yang
berhubungan dengan moral yaitu suatu penyakit psikhis yang berbahaya
yang mencerminkan suatu penyimpangan dari fitrah manusia, yang
mengharuskan untuk di ambil tindakan yang keras terhadap pelakunya.
Dalam hal ini, para fuqaha berbeda pendapat tentang sanksi (hukuman) bagi
pelaku homoseksual tersebut. Menurut az-Zuhaili (1422 H / 2002 M: 66-67)
terdapat empat kategorisasi pemikiran fuqaha tentang hukuman bagi pelaku
homoseks (liwath) yaitu: 

1. Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan
bahwa tindakan liwath mewajibkan seseorang mendapatkan hukuman hadd.
Karena Allah Swt memperberat hukuman bagi pelakunya dalam kitab-Nya.
Sehingga pelakunya harus mendapatkan hukuman hadd zina karena adanya
makna perzinaan di dalamnya.
2. Imam Abu Hanifah berpendapat, orang yang melakukan liwath hanya di
hukum ta’zir saja. Karena tindakan liwath tidak sampai menyebabkan
percampuran nasab, dan biasanya tidak sampai menyebabkan perseteruan
yang sampai berujung pada pembunuhan pelaku, dan liwath sendiri
bukanlah termasuk zina.
3. Ulama Malikiyah dan ulama Hanabilah mengemukakan bahwa pelakunya
dihukum rajam, baik pelakunya berstatus muhshan (telah menikah) maupun
ghairu muhshan (belum menikah).
4. Ulama Syafi’iyah berpandangan hukuman had bagi pelaku liwath adalah
sama dengan hukuman hadd zina. Jika pelaku berstatus muhshan, maka
wajib di rajam. Sedangkan, jika pelakunya berstatus ghairu muhshan, maka
wajib dicambuk dan diasingkan. Hal ini di dasarkan pada satu hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asyari ra, bahwasanya Rasul Saw bersabda:
“Apabila seorang laki laki mendatangi laki-laki, maka kedua-duanya telah
berzina. Dan apabila seorang perempuan mendatangi perempuan, maka
kedua-duanya telah berzina”.

            Dari pendapat-pendapat yang ada maka dapat  dipahami bahwa


fuqaha telah sepakat atas keharaman liwath, namun berbeda pendapat
tentang jenis hukuman bagi pelakunya, dalam hal ini terdapat tiga jenis
hukuman atau sanksi pagi pelaku perbuatan fahisyahini, yakni:

1. Dibunuh dalam bentuk di hukum rajam(jenis hukuman dalam bentuk


dilempar dengan batu sampai mati) baik dilakukan oleh muhshan maupun
ghairu muhshan). Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud “Jika kamu sekalian mendapati orang yang melakukan perbuatan
kaum Luth, bunuhlah orang yang menjadi subjek (pelakunya) dan yang
menjadi objeknya (yang diperlakukan)”.
2. Sama dengan sanksi bagi pelaku zina, yakni apabila yang melakukan liwath
adalah muhshan, maka pelakunya di hukum rajam, jika pelakunya ghairu
muhshan maka di dera (cambuk) seratus kali.
3. Hukum ta’zir (jenis hukuman yang diserahkan kepada pemerintah atau
hakim). Dengan demikian, berat ringannya sanksi tersebut sangat ditentukan
oleh pemerintah atau hakim.

   Larangan homoseks dan lesbian yang disamakan dengan perbuatan zina


dalam ajaran Islam, bukan hanya karena merusak kemuliaan dan martabat
kemanusiaan, tetapi resikonya lebih jauh lagi, yaitu dapat menimbulkan
penyakit kanker kelamin, AIDS, dan sebagainya. Tentu saja perkawinan
waria yang telah menjalani operasi penggantian kelamin dengan laki-laki,
dikategorikan sebagai praktik homoseksual, karena tabiat kelaki-lakiannya
tetap tidak bisa diubah oleh dokter, meskipun ia sudah memiliki kelamin
perempuan buatan (Mahjuddin, 2003: 28).
Dalam Fatwa  MUI Nomor 57 Tahun 2014 tentang lesbian, gay, sodomi,
dan pencabulan, dengan tegas MUI memfatwakan bahwa pelaku sodomi
(liwāṭ) baik lesbian maupun gay hukumnya adalah haram dan merupakan
bentuk kejahatan, dikenakan hukuman ta'zīr yang tingkat hukumannya bisa
maksimal yaitu sampai pada hukuman mati. Demikian juga dalam hal
korban dari kejahatan (jarīmah) homoseksual, sodomi, dan pencabulan
adalah anak-anak, pelakunya juga dikenakan pemberatan hukuman hingga
hukuman mati.
Berkenaan dengan operasi kelamin atau transgender maka Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II Tahun 1980, telah
mengeluarkan Fatwa tentang Operasi Perubahan/Penyempurnaan kelamin.
Dalam fatwa tersebut ada 3 hal yang diputuskan yaitu:

 Merubah jenis kelamin laki laki menjadi perempuan atau sebaliknya


hukumnya haram, karena bertentangan dengan al-Qur’an surat Annisa’ ayat
19 dan bertentangan pula dengan jiwa syara’.
 Orang yang kelaminnya diganti kedudukan hukum jenis kelaminnya sama
dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.
 Seorang khunthā (banci) yang kelaki lakiannya lebih jelas
bolehdisempurnakan kelaki-lakiannya. Demikian pula sebaliknya, dan
hukumnya menjadi positif (laki-laki).

F. Hukum Ta’zir Bagi Pelaku LGBT


Dalam konsep hukum pidana Islam (jināyah), terdapat tiga jenis hukum,
yaitu, hukuman had (batasan hukuman yang telah ditentukan dalam Alquran
dan Hadis, seperti potong tangan bagi pencuri, dan hukum cambuk bagi
pezina atau menuduh zina), qishah (hukuman setimpal) dan diat (ganti rugi),
serta hukuman ta‟zīr (hukuman pendidikan).
Kata ta‟zīr secara bahasa mengandung arti mencegah dan menolak, bisa
juga berarti mendidik. (Ibrahim Unais, al-Mu‟jām al-Waṣīṭ, dalam Mahrus
Munajat, h. 177)
Menurut Istilah atau terminologi, terdapat beragam rumusan. Di antaranya
seperti yangdijelaskan oleh Wahbah Zuhaili,bahwa ta’zīr sebagai bentuk
pencegahan dan menolak suatu perbuatan pidana, karena ia dapat mencegah
pelaku agar tidak mengulangi perbuatan ta’zīr-nya. Ta’zīr diartikan sebagai
bentuk pendidikan, dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku
agar ia menyadari perbuatan jarimahnya, kemudian meninggalkan dan
menghentikannya. (WahbahZuhaili, h. 208)
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa jarimah ta‟zīrmenurut
hukum pidana Islam merupakan tindakan yang berupa edukatif (pengajaran)
terḥadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada sanksi ḥaddan kifaratnya.
Dengan kata lain, jarimah ta‟zīradalah hukuman yang bersifat edukatif dan
hukumannya ditentukan oleh hakim, atau pelaku tindak pidana atau pelaku
perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh syariat.
Menurut Abdul Qadir Audah, ta’zīr yaitu suatu tindak pidana yang
diancamkan dengan satu atau beberapa hukuman ta‟zīr. Hukum Islam tidak
menentukan macam-macam hukuman untuk tiap-tiap tindakpidana ta’zīr,
tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang paling ringan
sampai yang paling berat. Dalam hal ini, hakim diberi kebebasan untuk
memilih hukuman-hukuman yang sesuai dengan macam tindak pidana ta’zīr
serta keadaan sipelaku. (Abdul QadirAudah, At-Tasyrī‟ al-Jinā’i, h.99)
Keterangan yang sama juga dinyatakan oleh Said Hawwa, bahwa hukuman
ta‟zīr merupakan sejumlah hukuman yang tidak ditetapkan kadarnya, mulai
dari nasehat, peringatan sampai pada hukuman yang lebih keras seperti
penjara dan dera, bahkan terkadang sampai kepada hukuman mati dalam
kejahatan yang sangat berbahaya. Penetapannya diserahkan kepada hakim
untuk memilih hukuman yang cocok untuk kejahatan, keadaan atau kondisi
pelaku dan segala hal yang mendahuluinya. (Said Hawwa, al-Islām. H. 726)
Dari beberapa penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hukuman ta‟zīrtidak
mempunyai batas-batas hukuman tertentu, karena syara‟hanya menyebutkan
sekumpulan hukuman, mulai dari yang seringan-ringannya sampai yang
seberat-bertanya. Dengan kata lain, hakim yang berhak menentukan macam
tindak pidana beserta hukumannya, karena hukumannya belum
ditentukanoleh syara’.
Yusuf al-Qardhawi misalnya, dalam kitabnya yang berjudul: “al-Ḥalāl wa
al-Ḥarām fī al-Islām”, menyebutkan bahwa satu permasalahan penting yang
diatur dalam Islam yaitu gharizah(seksual) yang menyimpang. Beliau
menyatakan bahwa ahli-ahli fikih berbeda pendapat tentang hukuman bagi
orang yang berbuat kemungkaran homoseksual. Apakah harus disamakan
seperti hukuman zina atau tidak (dalam arti sebaliknya dikenakan hukuman
ta’zīr).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelasan beberapa pendapat ulama dan sahabat
Rasul tentang hukuman bagi pelaku homoseks.( Ibnu Qayyim al-Jauziyyah,
2013,h. 385-386) Pendapat tersebut dibagi ke dalam tiga bagian yaitu:

1. Hukum lebih besar dari zina


Pendapat dari Abu Bakar Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid,
Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas, Malik, sebagian dari pendapat
Imam Syafi’i, serta Imam Ahmad, menyatakan bahwa hukuman atas
perbuatan homoseksual (liwaṭ) itu lebih besar dari hukuman zina, yaitu
hukuman mati bagi pelakunya, baik sudah menikah atau belum. Ibnu Jauzi
juga mengatakan bahwa pelaku homoseksbaik dalam arti gay dan lesbian,
dihukum dengan bunuh, seperti yang terjadi pada kaum Nabi Luth. Beliau
mengutip beberapa hadis Rasulullah yang memberi petunjuk tentang jenis
hukuman yang ditimpakan kepada kaum homoseks.
2. Hukuman sama dengan zina
     Menurut sebagian ulama lainnya, seperti Atha’bin Abi Rabah, Ibrahim
bin Nakha’i, Auza’i, Syafi’i berdasarkan lahiriah mazhab beliau, Imam
Ahmad berdasarkan riwayat yang kedua, menyatakan bahwa homoseksual
dihukum sama seperti hukuman zina. Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa
Imam Malik, asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad, berpendapat keharusan
menghukum pelaku homoseks (liwaṭ) dengan hukuman hadzina, karena
dalam perbuatan ini terkandung makna perzinaan di dalamnya.
Namun, dalam riwayat lainnya, ulama Malikiyah dan Hanabillah berbeda
dengan ulama Syafi’iyah tentang hukuman hadini. Menurut Ulama
Malikiyyah dan Hanabillah, hadbagi pelaku homoseks adalah dirajam, baik
bagi pelaku belum maupun sudah menikah. Sedangkan menurut ulama
Syafi’iyyah, hukuman had-nya sama seperti had zina, yaitu jika pelaku
belum menikah maka wajib dicambuk dan diasingkan. Sedangkan bagi
pelaku yang sudah menikah wajib dikenakan hukuman rajam (dibunuh).
3. Hukum Ta’zir
     Menurut al-Hakim dan Abu Hanifah, hukumannya adalah lebih ringan
dari zina, yaitu dihukum dengan hukuman ta’zīr. Karena, perbuatan
homoseksual tidak dijelaskan secara eksplisit hukumannya dalam syara’,
untuk itu pemerintah berwenang menetapkan hukumannya. Khusus
mengenai pendapat terakhir ini,beralasan bahwa jenis dan kadar sanksi
perbuatan tersebut tidak dijelaskan secara eksplisitdalam Alquran dan hadis.
Menariknya, pendapat terakhir ini nampaknya tidak memandang adanya
ketentuan yang pasti terkait jumlah hukuman maupun batasan hukumnya.
Hal ini dapat dipahami berdasarkan keharusan pemerintah dalam
menetapkan batasan hukuman bagi pelaku.
Wahbah Zuhaili juga menyebutkan dengan mengutip pendapat Imam Hanafi
dan ulama yang sependapat dengannya berpendapat, bahwa hukuman
pelaku homoseks adalah lebih rendah dari had zina, yaitu hukuman ta’zīr.
Terkait dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyatakan
palaku homoseks akan dikenakan hukuman ta’zīr, di mana pemerintah
berwenang dalam menetapkan jenis dan batasan-batasan hukumannya.
Pendapat ketiga yang menyatakan pelaku homoseks harus diberi sanksi
berupa ta’zīr pertama kali dikemukakan oleh Abu Hanifah. Penetapan
hukuman secara tazīr terhadap homoseks oleh Hanafiyah berdasarkan
pemikirannya bahwa homoseks tidak membawa akibat yang lebih
berbahaya bila dibandingkan dengan zina. Homoseks tidak akan
membuahkan keturunan dan tidak pula merusak garis keturunan seseorang.
Karena itu, homoseks tidak dapat dihubungkan dengan zina, dan tidak
diperoleh dalil dari al-Qur’an dan hadis mengenai ketetapan hukumannya.
Masalah ini diserahkan kepada hakim.

Anda mungkin juga menyukai