Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH UAS KEWARGANEGARAAN

MARAKNYA LGBT DI INDONESIA DALAM PRESPEKTIF HAM

Disusun Oleh:

Nama : INTAN FATIMAH M. U. Y

NIM : 2101020

Kelas : TPK B

KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA INDUSTRI

POLITEKNIK ATK YOGYAKARTA

2022

1
Kata Pengantar

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat allah swt atas segala nikmat dan rahmat -

Nya sehingga makalah yang berjudul “Maraknya LGBT di Indonesia” dapat

terselesaikan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah

Kewarganegaraan. Selain itu makalah ini dapat di jadikan sebagai bahan belajar,

dan diskusi, serta menambah wawasan terkait Maraknya LGBT di Indonesia bagi

pembaca dan juga penulis.

Kami ucapkan terima kasih kepada bapak Risang Pujiyanto, SH., M.P.A. dan

bapak Muhammad Asfan, A.Md. S.Psi. selaku dosen pengampu mata kuliah

Kewarganegaraan dan juga atas bimbingannya sehingga makalah ini dapat

terselesasikan.

Kami menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam makalah ini, maka dari

itu di perlukannya kritik dan saran, sehingga kedepannya dapat kami perbaiki atas

kekurangan di tugas yang lain.

Yogyakarta, 13 Mei 2022

INTAN FATIMAH MARIA U. Y.

2
Daftar Isi

Contents
Kata Pengantar...................................................................................................................................2
Daftar Isi...............................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
Pendahuluan.......................................................................................................................................4
1.1. Latar belakang.....................................................................................................................4
1.2. Permasalahan.....................................................................................................................5
BAB II...................................................................................................................................................6
BAB III................................................................................................................................................10
Penutup..............................................................................................................................................10
Daftar Pustaka...................................................................................................................................11

3
BAB I

Pendahuluan
1.1. Latar belakang
Pada saat ini fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender
(LGBT) menjadi isu yang banyak diperbincangkan di tengah masyarakat
Indonesia dengan maraknya promosi atau iklan kaum LGBT di media sosial.
Propaganda perekrutan oleh kaum LGBT telah menyentuh berbagai media
sosial, bahkan kelompok LGBT juga sudah menjalar ke kampus, sekolah,
dan tempat umum lainnya. Berbagai lembaga survei independen dalam dan
luar negeri menyebutkan bahwa di Indonesia ada 3% kaum LGBT dari total
penduduknya. Maraknya fenomena LGBT di Indonesia sangat terkait dengan
tren negaranegara liberal yang memberikan pengakuan dan tempat bagi
komunitas LGBT di masyarakat. LGBT dianggap sebagai bagian life style
masyarakat modern yang menganggap pandangan heteroseksualitas
sebagai konservatif dan tidak berlaku bagi semua orang. Legitimasi sosial
muncul dengan pembelaan ilmiah dan teologis secara apriori guna
memperkuat klaim tentang eksistensi maupun tujuan sosial mereka. Situasi
itulah yang kemudian membuat gerakan LGBT menyebar demikian pesat
sebagai epidemi sosial. Dalam merespons maraknya aktivitas (gerakan)
komunitas LGBT di Indonesia, secara umum dapat dikelompokkan kepada
tiga perspektif yang menjadi titik penting di dalam perdebatan LGBT di
Indonesia, yaitu perspektif agama (religius), perspektif Hak Asasi Manusia
(HAM) dan perspekti psikologi. Dalam perspektif HAM; Bagi kelompok yang
pro LGBT mengkalim, adalah hak asasi mereka untuk memilih LGBT.
Sebagai hak asasi, mereka menuntut untuk dilindungi hak-hak asasi mereka.
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena
itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun. Dalam Mukaddimah Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dinyatakan “Hak-hak manusia perlu
dilindungi dengan peraturan hukum, supaya orang tidak akan terpaksa
memilih jalan pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang
kelaliman dan penjajahan”.
Permasalahan LGBT di Indonesia banyak menimbulkan pertentangan
pendapat, antara pihak pro dan kontra. Mereka yang pro terhadap LGBT
menyatakan, bahwa negara dan masyarakat harus mengkampanyekan
prinsip non diskriminasi antara lelaki, perempuan, trangender, pecinta lawan
jenis (heteroseksual) maupun pecinta sejenis (homoseksual). Pendukung
LGBT menggunakan pemenuhan hak asasi manusia sebagai dasar tuntutan
mereka dengan menyatakan bahwa orientasi seksual adalah hak asasi
manusia bagi mereka. Sebaliknya, pihak-pihak yang kontra terhadap LGBT,
menilai bahwa LGBT sebagai bentuk penyimpangan, dan tidak masuk dalam
konsepsi HAM. Dalam hal ini, negara dan masyarakat harus berusaha
semaksimal mungkin untuk melakukan upaya preventif terhadap gejala
muncul dan berkembangnya LGBT yang akan membahayakan generasi
masa depan Indonesia. Oleh sebab itulah, posisi stategis pemerintah dalam

4
hal ini sangat diperlukan untuk menangani polemik LGBT secara langsung
agar tak terjadi disintegrasi bangsa. Situasi yang terjadi di Indonesia terkait
fenomena LGBT tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari gejolak
fenomena LGBT yang terjadi di tingkatan dunia internasional. Pada tahun
2011, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengeluarkan resolusi pertama
tentang pengakuan atas hak-hak LGBT, yang diikuti dengan laporan dari
Komisi Hak Asasi Manusia PBB yang mendokumentasikan pelanggaran hak-
hak dari orang-orang LGBT, termasuk kejahatan kebencian, kriminalisasi
homoseksualitas, dan diskriminasi. Menindaklanjuti laporan tersebut, Komisi
Hak Asasi Manusia PBB mendesak semua negara untuk memberlakukan
hukum yang melindungi hak-hak LGBT. Dasar aturan yang digunakan oleh
PBB adalah dalam perspektif Universal Declaration of Human Rights
(Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia), Dewan Hak Asasi Manusia
PBB mensyahkan resolusi persamaan hak yang menyatakan bahwa setiap
manusia dilahirkan bebas dan sederajat dan setiap orang berhak untuk
memperoleh hak dan kebebasannya tanpa diskriminasi apapun.
Resolusi tentang pengakuan atas hakhak LGBT adalah resolusi PBB
yang pertama yang secara spesifik mengangkat isu pelanggaran HAM
berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Resolusi tentang
pengakuan atas hak-hak LGBT inilah yang dijadikan sebagai landasan
tuntutan bagi kaum LGBT dalam menuntut hak-hak mereka dengan
mengatasnamakan hak asasi manusia. Namun demikian, tentunya berbicara
mengenai hak asasi manusia, maka tidak akan terlepas dari hukum dan
falsafah yang dianut suatu Negara. Bagi negara Indonesia, yang
berlandaskan atas hukum dan Pancasila, maka negara akan menghargai
hak-hak setiap warga negara dan penegakkan HAM pun akan disesuaikan
dengan nilai-nilai dan falsafah yang dianut bangsa Indonesia

1.2. Permasalahan

 Pandangan lgbt secara universal dan ralativisme budaya


 Bagaimana masyarakat menggambarkan tentang LGBT, bersikap dan
penanganan masalah LGBT
 Bagaimana konsep LGBT dalam hukum indonesia

5
BAB II
Pembahasan

1. LGBT dari Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)


Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat
pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau
dirampas oleh siapapun. Dalam Mukaddimah Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) dinyatakan bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi dengan
peraturan hukum, supaya orang tidak akan terpaksa memilih jalan pemberontakan
sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penjajahan. Dalam sistem
hukum di Indonesia, sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 dinyatakan “hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apa pun”, hal ini sesuai
dengan ketentuan dalam DUHAM Pasal 2, 7 dan 22.
2. LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) di Indonesia
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) ini merupakan fenomena yang
telah mendapat pertentangan sangat keras di dunia Internasional, hal ini
dikarenakan stigma negative yang terbangun terhadap LGBT. Penggambaran
fenomena LGBT secara sosial. “Bagaimanakah bentuk hubungan sesama jenis
kelamin? Seperti halnya dengan hal - hal lain dalam kehidupan, pasangan -
pasangan ini tidak dapat disamaratakan. Jenis kelamin merupakan salah satu
kategori yang paling mendasar dalam kehidupan sosial” (Freidman dan Sears:
1985:219). Sejak tahun 1973 dalam daftar Diagnotic and Statistical Manual of
Mentar menyatakan bahwa LGBT bukanlah penyakit atau kelainan mental
(American P s y c h i a t r i c A s s o c i a t i o n ) dan pada tahun 1992 W o r l d H e
a l t h O r g a n i z a t i o n (WHO) juga menetapkan hal yang sama . Tetapi pada
dasarnya hal tersebut merupakan perbuatan menyimpang dari nilai-nilai kehidupan
masyarakat sekitar. Perkembangan LGBT dalam usaha untuk tetap bisa beraktivitas
kini telah merambah melalui media sosial. Berbagai aktivitas yang dilakukan seperti
melakukan literasi tentang gay, Gerakan sosial, pengugkapan orientasi dan berbagi
keintiman. Sejauh ini di Indonesia berdasarkan data sampai akhir tahun 2013
terdapat dua jaringan nasional organisasi LGBT yang terdiri dari 119 organisasi
berlokasi di 28 provinsi dari 34 provinsi di negara Indonesia. Sedangkan yang
terbanyak berada pada provinsi Sumatra Barat, berdasarkan dari hasil penelitian
perkembangan penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired
Immuno Deviciency Syndrom (AIDS), jumlah LGBT DI Sumatra Barat sebanyak
18.000 orang. Jumlah LGBT Indonesia merupakan yang terbesar ke 5 di dunia
setelah China, India, Rusia dan Amerika dengan total 37% sejak tahun 2009. Jumlah

6
tersebut dimungkinkan akan terus meningkat. Dalam pasal 292 KUHP diatur
mengenai pandangan negatif terhadap LGBT, yaitu bahwa perbuatan LGBT
merupakan perbuatan cabul sesama jenis yang menyangkut mengenai perbuatan
norma kesusilaan [4]. Meskipun begitu dimasyarakat Indonesia saat ini juga
berkembang mengenai komunitas homoseksual, gay maupun lesbian. Selain itu
meski di dalam peraturan hukum Indonesia mengatakan bahwa LGBT merupakan
perbuatan cabul, tetapi sampai saat ini belum adanya aturan resmi mengenai sanksi
yang diberikan kepada LGBT itu sendiri, oleh sebab itu dapat dikatakan jika
Indonesia mengalami kekosongan hukum. Meskipun begitu perbuatan ini juga bisa
dikategorikan sebagai criminal extra ordinaria/mala in se, yaitu suatu perbuatan yang
dianggap jahat dan merugikan oleh masyarakat. Begitu pula telah melanggar
ideologi Pancasila.
3. Teori Relativitas Budaya Hak Asasi Manusia
Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan
merupakan satusatunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral. Selain itu pada
kenyataannya relativisme budaya juga dianggap sebagai sebuah ide yang sedikit
banyak dipaksakan, hal tersebut tak lain karena adanya keragaman budaya disetiap
daerah yang menimbulkan perbedaan pandangan antar budaya satu sama yang
lainnya, dan tentu akan selalu ada pihak yang tidak setuju dengan beberapa budaya
yang berbeda dengan budayanya. Kondisi ini menimbulkan persepsi bahwa HAM
tidak dapat bersifat universal. Permasalahan mengenai persepsi penerapan hukum
yang melanggar HAM dalam sebuah negara oleh negara lain atau bahkan warga
negaranya sendiri sebetulnya bukan semata-mata dilihat dari sumber hukum yang
diterapkan oleh negara tersebut terhadap pelaku perbuatan menyimpang atau
dianggap kejahatan. Setelah ditelisik lebih dalam sebetulnya alasan terjadinya
perbedaan pandangan tersebut adalah terjadi karena perbedaan cara pandang
seseorang atau sebuah negara dalam mengartikan HAM dan dalam menerapkan
HAM. Pada dasarnya ada sebuah negara yang menjalankan HAM secara universal
dan ada pula negara yang menjalankan HAM sesuai dengan kekhasan negara itu
sendiri, maksudnya adalah sesuai dengan kondisi sosial dan budaya negara itu.
Dalam hal ini keduanya adalah benar, sehingga tidak ada yang bisa menolak atau
mengecam sebuah negara hanya karena perbedaan pandangan dari penerapan
HAM yang diterapkan oleh negara itu. Sejak disahkannya DUHAM (Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia) pertama kali hingga sekarang tidak semua negara
menyetujui mengenai pengertian HAM yang telah disahkan, hal ini membuktikan
bahwa sebenarnya manusia tidak benar-benar bisa memuaskan keinginan semua
pihak, dan hanya bisa berusaha yang terbaik. Hal ini juga berlaku pada praktik HAM
yang dilaksanakan tiap sekelompok orang atau bahkan negara, tidak jarang negara
yang menentang praktik HAM yang dijalankan oleh sebuah negara hanya karena
berbeda dengan negara tersebut. DUHAM yang dianut PBB adalah HAM secara
universal, sedangkan Indonesia menganut HAM dengan kekhasan, maksudnya
adalah HAM yang diterapkan di Indonesia sesuai dengan kharakteristik bangsa
Indonesia. Contohnya adalah Indonesia memberikan otonomi khusus kepada
wilayah Aceh melaksanakan otonomi daerahnya sesuai dengan budaya
masyarakatnya, termasuk hukum yang diterapkan yaitu hukum Islam. Oleh sebab itu

7
tidaklah berhak suatu negara atau seseorang menganggap penghakiman yang
dilakukan di Aceh adalah melanggar HAM. Misalnya hukum cambuk bagi pezina.
Hal ini dikarenakan telah disesuaikan dengan budaya daerah yang dianggap benar.
Pemahaman orang Barat mengenai HAM adalah lebih kepada “dominasi kultural”
yang bisa diartikan jika kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok dominan maka
juga baik untuk semuanya. Namun, konsep tersebut bertentangan dengan konsep
Asia yang mana lebih mengutamakan kepentingan kelompok di atas kepentingan
Individu. Hal ini mendapat pertentangan dari para Pemimpin Asia dan mereka
menyebutnya sebagai imperialism budaya nilai-nilai Barat dan menyangka bahwa
orang Barat telah berupaya untuk memelihara budaya kolonial dengan memaksakan
suatu konsep hak yang tidak mencerminkan budaya Asia. Joshua Preiss, seorang
profesor filosofi dari Minnesota State University, sebagaimana dikutip oleh Pranoto
Iskandar, menyebutkan karakter dari teori relativisme budaya, antara lain:
1. Tiap budaya yang berbeda memiliki kode moral yang berbeda pula
2. Tiada standar obyektif yang dapat digunakan untuk menilai kode sosial yang
satu lebih baik dari yang lain
3. Kode moral dari masyarakat kita tidak memiliki status yang lebih baik, tapi
hanyalah sebagai salah satu kode yang ada
4. Tidak ada kebenaran universal dalam etika yakni tiada kebenaran moral yang
berlaku bagi semua orang pada tiap waktu
5. Kode moral dari sebuah budaya hanya berlaku dalam lingkungan budaya
tersebut
6. Adalah sebuah arogansi ketika kita mencoba menghakimi tindakan orang lain.
Kita harus bersikap toleran terhadap berbagai praktik yang hidup di berbagai
kebudayaan.
Setiap masyarakat negara memiliki budaya yang mereka yakini benar. Hal
tersebut yang akan menciptakan kebiasaan yang dijadikan sebagai standar hidup
untuk mewujudkan keselarasan masyarakatnya. Didalamnya juga terdapat aturan
dan sanksi untuk menegaskannya.
Konsep HAM Lesbian, Guy, Biseksual, dan Transgender dalam Hukum
Indonesia Dalam KUHP Indonesia pasal 292 KUHP, pengertian mengenai LGBT
atau perbuatan cabul merupakan tindak pidana, namun belum ada sanksi yang
mengaturnya. Selain itu pengertian mengenai perbuatan cabul juga masih belum
menjurus kepada perbuatan cabul itu sendiri, karena aturan di dalamnya hanya
mengenai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dewasa dengan yang
belum dewasa dan sesama jenis, padahal perbuatan tersebut bisa dilakukan oleh
semua orang dari kalangan manapun, sehingga hal ini juga perlu diatur kembali
dalam RKUHP. Perbuatan LGBT telah melanggar sila pertama dalam Pancasila
yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mana negara Indonesia adalah negara
beragama, sehingga perbuatannya diatur dalam agama. Agama manapun yang
diyakini Indonesia tidak membenarkan perbuatan LGBT sehingga perbuatan mereka
telah melanggar ideologi bangsa dan agama. Berdasarkan data dari Kementerian

8
Kesehatan tahun 2012 ada sekitar 1.095.970 lakilaki yang berperilaku menyimpang,
dan kenaikan ini dimulai sejak tahun 2009 sebesar 37%. Ada sekitar 600.000 orang
Indonesia yang terjangkit penyakit HIV dan 50% darinya adalah seorang
homoseksual. Hal ini pula yang menyebabkan LGBT dilarang di Indonesia. Populasi
LGBT di Indonesia sebesar 3% dari penduduk Indonesia atau sekitar 7.5 juta orang
dari 250 juta penduduk di Indonesia. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai
negara dengan populasi LGBT terbanyak ke-5 di dunia setelah China, India, Eropa
dan Amerika. Jika diperbandingkan dengan 100 orang yang sedang berkumpul
bersama maka sekitar 3 orang diantaranya adalah LGBT. Hal ini di dasarkan atas
survey CIA pada tahun 2015. Masalah LGBT di Indonesia menjadi semakin serius
dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu pada tahun 2015 MUI sempat mengeluarkan
fatwa yang menyatakan bahwa hukuman cambuk hingga hukuman mati bisa
diterapkan kepada pelaku homo seksual. Menurut Hasanuddin AF, fatwa ini
dikeluarkan karena penyimpangan seksual semakin meningkat bahkan telah
menyusup ke sekolah-sekolah. Sedangkan menurut Asrorun Ni’am Sholeh, sodomi
lebih buruk daripada perzinaan dan seks di luar nikah dan dihukum dengan
hukuman lebih keras.

9
BAB III

Penutup

Kesimpulan
Fenomena LGBT di Indonesia dibedakan kepada dua entitas. Pertama: LGBT
sebagai penyakit yang dimiliki seseorang sebagai individu, disebabkan oleh faktor
medis (biologis/ genetik) dan faktor sosiologis atau lingkungan. Adapun entitas
kedua: LGBT sebagai sebuah komunitas atau organisasi yang memiliki gerakan dan
aktivitas (penyimpangan perilaku seksual). Perspektif hukum Islam dan HAM
terhadap LGBT pada level entitas pertama, mereka harus dilindungi dan ditolong
untuk diobati. Dari perspektif psikologi, ada dua cara penyembuhan LGBT, yaitu
terapi hormonal di rumah sakit untuk mereka yang mengalami karena faktor hormon
(biologi/medis) dan terapi psikologis untuk mereka yang terpengaruh karena faktor
lingkungan. Sedangkan terhadap LGBT pada level entitas kedua, menurut hukum
Islam dan HAM, gerakan LGBT harus dilarang dan diberi hukuman berupa hukuman
ta’zīr (hukuman yang ditentukan oleh pemerintah). Oleh karena itu, Pemerintah dan
DPR RI., segera menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur aktivitas
dan gerakan LGBT, untuk mencegah meluasnya penyimpangan orientasi seksual di
masyarakat dengan melakukan layanan rehabilitasi bagi pelaku dan disertai dengan
penegakan hukum yang keras dan tegas. Pada perkembangan HAM secara
kontemporer telah dibentuk oleh pemikiran Barat dan dalam hal ini, banyak konsep
yang sering digunakan dalam perdebatan politik, seperti: demokrasi, keadilan,
kebebasan, kesetaraan dan martabat manusia. Dengan demikian, sebagai upaya
untuk menghentikan penggunaan kata-kata tersebut agar tidak secara otomatis
diasosiasikan dengan konsep HAM, maka tugas kita sebagai orang Indonesia yang
memiliki tata nilai dan tata kelakuan yang berbeda dengan bangsa Barat adalah
dengan melonggarkan konsep-konsep HAM dari belenggu modernitas Barat dan
merekonstruksi konsep-konsep HAM berdasarkan pemikiran dan nilai-nilai bangsa
Indonesia. Bila kita menilik istilah HAM yang menjunjung ide-ide dan nilai-nilai
kemanusiaan serta berlaku secara universal, tampaknya dalam hal ini HAM
beresonansi lintas budaya dan tradisi, sehingga HAM merupakan seruan penting
bagi mereka yang mencari keadilan dan perdamaian di dunia secara berkelanjutan.

10
Daftar Pustaka

 Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama.

 Efendi, Masyur. & Sukmana, Taufani E. 2007. HAM: Dalam Dimensi /


Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, Bogor: Ghalia Indonesia.

 Meriam Budiardjo. 1980. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia.


Naming, Ramblon. 1982. Gatra Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.

 Subawa, I Made. 2008. Hak Asasi Manusia Bidang Ekonomi Sosial dan
Budaya Menurut Perubahan UUD 1945. Jurnal Kertha Patrika vol. 33 no. 1,
Januari 2008.

 Rhona K.M. Smit Dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: 2008.

 Ristinawati, Yuli, (Aktivis LGBT), "LGBT Marak, Apa Sikap Kita?" dalam
sebuah diskusi Indonesian Lawyer's Club (ILC) di TV.ONE, Selasa16
Februari, 2016.

11

Anda mungkin juga menyukai