Disusun Oleh :
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas semua
limpahan rahmat dan karunia-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga
makalah Pro Kontra LGBT di Indonesia ini bisa selesai pada waktunya.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada Dr. Warsiman, M.Pd. selaku dosen
pengampu mata kuliah Manusia dan Kebudayaan Indonesia yang telah memberikan
bimbingan selama satu semester ini.
Penyusun
2
Daftar Isi
Kata Pengantar...................................................................................................... 2
Daftar Isi................................................................................................................. 3
Bab I Pendahuluan................................................................................................ 4
A. Latar Belakang................................................................................................. 6
Bab II Pembahasan.............................................................................................. 5
A. LGBT.............................................................................................................. 5
1. Tinjauan Mengenai LGBT............................................................................... 5
2. Perkembangan LGBT di Indonesia.................................................................. 7
B. Kebudayaan dan HAM.................................................................................... 10
1. Pengertian Kebudayaan.................................................................................... 10
2. Tinjauan Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM).............................................. 10
C. Realitas LGBT di Indonesia............................................................................. 13
1. Masyarakat dalam menghadapi Perilaku LGBT............................................... 13
2. LGBT dan Pengaturan di Indonesia.................................................................. 17
Bab III Penutup...................................................................................................... 19
1. Kesimpulan........................................................................................................ 19
2. Saran.................................................................................................................. 19
Daftar Pustaka........................................................................................................ 21
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini, fenomena LGBT telah merebut perhatian publik setelah
beberapa artis papan atas Indonesia terjerat kasus pencabulan sesama jenis. Fenomena
tersebut juga telah mencuat ke permukaan setelah Amerika Serikat dan beberapa
negara Barat dan Asia melegalkan pernikahan sesame jenis. Berdasarkan kasus
tersebut, muncul banyak stigma masyarakat terhadap kaum yang dianggap abnormal
dalam lingkungan sosial tersebut. Tak sedikit dari masyarakat Indonesia yang
menganggap kaum LGBT sebagai kaum yang menyalahi kodrat manusia, kaum
perusak moral, hama, sampah masyarakat, pengundang malapetaka, penyandang
cacat mental, dan sebagai penghancur norma-norma sosial, dan agama
Walaupun Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk yang
berorientasi seksual menyimpang terbanyak ke-5 di dunia, Indonesia merupakan
Negara yang intoleran terhadap fenomena LGBT. Tercatat 26,1% penduduk
Indonesia tidak suka terhadap komunitas LGBT, dan hasilsurvei tersebut menduduki
peringkat nomor 1 dari 10 peringkat komunitas yang paling dibenci oleh warga
Indonesia (Hamdi, 2017).
Jika kita telusuri lebih lanjut kelompok LGBT ini bukanlah suatu penyakit,
mereka memiliki kebebasan untuk mengekspresikan jati diri mereka. Dengan mulai
terbuka pikiran masyarakat dan perlindungan HAM yang lebih mudah di akses,
sehingga kelompok LGBT lebih dapat hidup dengan bebas asalkan tidak sampai ke
tindak kekerasan atau kriminal.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. LGBT
1. Tinjauan mengenai LGBT
LGBT merupakan singkatan dari “lesbian, gay, biseksual, transgender” istilah
ini digunakan sejak tahun 1990-an menggantikan frasa “komunitas gay” karena
istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan. PBB telah
bekerja dengan negara-negara anggota untuk menolak diskriminasi dan
kriminalisasi berdasarkan homofobia dan transphobia bagi LGBT. Hal ini sebagai
bentuk pengakuan hak asasi manusia bagi orang-orang LGBT. Hal ini sebagai
bentuk pengakuan hak asasi manusia bagi orang-orang LGBT dan hasilnya lebih
dari 30 negara telah melegalkan homoseksualitas di 20 tahun terakhir.
Keberadaan LGBT di dunia sudah ada sejak lama, berawal dari waktu terawal
fenomena tersebut ditemukan yaitu abad ke-19an. Pada abad ke-19, American
Psychiatric Assosiation (APA) masih menganggap homoseksualitas sebagai
mental disorder. Seperti pada perkembangan diagnosis para pskiater di Amerika
beserta risetnya, pada tahun 1952 diagnosis asli dan Statistik Manual of Mental
Health (DSM) menetapkan bahwa homoksesual adalah gangguan kepribadian
sosiopat. Seiring berjalannya waktu, komunitas orang-orang LGBT mendapatkan
diskriminasi yang berat dari masyarakat. Mulai dari dikeluarkan dari pekerjaan,
dianggap sebagai orang gila, sebagai kriminal, dan isu-isu diskriminasi lainnya.
Pada tahun 1951, Donald Webster Cory menerbitkan The Homoseksual di
Amerika (Cory, 1951), yang menyatakan bahwa laki-laki gay dan lesbian adalah
kelompok minoritas yang sah. Hingga tahun 1950-1970an komunitas pendukung
LGBT memunculkan gerakan meminta ditiadakannya diskriminasi terhadap
komunitas LGBT.
5
Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun 1968 DSM menghapuskan homoseksual
dari daftar sosiopat. Pada akhirnya karena adanya efek politik di dalam tuntutan
komunitas LGBT, tepat tahun 1973, American Psychiatric Association menghapus
homoseksual dari DSM dan menjelaskan bahwa homoseksualitas bukanlah
penyakit mental, melainkan perilaku biasa, keculai orang homoseks tersebut
mengalami kerugian atau ketidaknyamanan hingga harus diterapi.
Sejarah perkembangan pandangan masyarakat terhadap LGBT berawal dari
perspektif Socarides yang menceritakan bagaimana sejarahnya LGBT di Amerika.
Charles W Socarides MD adalah seorang Psikiater dan Psikoanalisis di Amerika
yang meneliti tentang kaum LGBT. Socarides beranggapan bahwa gay itu bukan
merupakan bawaan sejak lahir, dengan kata lain bukan merupakan genetik seperti
yang kaum gay klaim pada masa itu. Menurut Socarides mereka berubah menjadi
gay karena wawasan dan berpikir secara sadar.
Faktor penyebab mengapa American Psychiatric Association menghapus
pernyataannya pada kaum homoseksual sebagai “penyakit mental” adalah
banyaknya aktivis gay yang memprotes konvensi American Psychiatric
Association di San Francisco. Kemudian American Psychiatric Association
semakin tidak nyaman dengan sikap para kaum homoseksual. Lalu American
Psychiatric Association memutuskan homoseksual adalah normal (bukan penyakit
kejiwaan) dengan hasil voting anggotanya 13- 0 dengan 2 abstain. Sekitar 55%
dari anggota American Psychiatric Association yang suka dengan keputusan
tersebut. Jadi, American Psychiatric Association menghapus homoseksual dari
daftar penyakit mental tidak dipicu oleh beberapa terobosan ilmiah melainkan
karena keributan yang terjadi oleh kaum homoseksual pada masa itu sehingga
membuat suara mereka didengar masyarakat. American Psychiatric Association
khawatir hal ini menimbulkan peningkatan perhatian masyarakat terhadap sifat
palsu dari seluruh taksonomi mereka. Kemudian pada saat itu terjadi pula
ancaman-ancaman yang berpotensi menyebabkan tindak kekerasan sehingga
6
American Psychiatric Association menghapus pernyataannya mengenai
homoseksual.
Charles W. Socarides MD beranggapan bahwa gay itu bukan bawaan sejak lahir
atau genetik. Menurutnya mereka berubah karena wawasan dan berpikir secara
sadar. Hal ini sejalan dengan apa yang dipaparkan sebelumnya mengenai beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi seseorang dapat berubah menjadi LGBT. Faktor
biologis tidak begitu dominan dalam hal ini, karena nampaknya lebih ke arah
psikososial atau masa perkembangan yang dialami oleh seorang anak sejak ia
lahir. Namun ini bukan berarti seorang anak lahir dengan kelainan genetik dan
membuatnya menjadi memiliki orientasi seksual sesama jenis seperti yang di
klaim kebanyakan kaum LGBT saat ini. Terbukti dengan adanya faktor
lingkungan yang juga dapat berpengaruh terhadap seseorang untuk menjadi
seorang LGBT. Seperti yang Socarides katakan bahwa LGBT telah berkembang
menjadi gaya hidup alternatif bagi masyarakat. Artinya seseorang dapat menjadi
LGBT dengan adanya informasi dan wawasan yang membuat pola pikir seseorang
berubah dan secara tidak langsung dapat merubah orientasi seksualnya juga.
Dengan demikian, LGBT dapat ditangani dengan terapi untuk merubah pola pikir
mereka.
Socarides pun dulu sebagai pencetus sebuah lembaga psikiater yang menangani
masalah LGBT pada masanya. Pada masa itu Socarides menangani kaum LGBT
yang merasa tidak nyaman dengan kondisinya dan ingin berubah. Socarides
melakukan terapi penetralan dengan cara meredefinisi radikal mengenai
homoseksual itu sendiri. Banyak dari klien Socarides yang sembuh dan menjadi
heteroseksual. Namun LGBT masa kini sudah tidak lagi menganggap dirinya
bermasalah karena sudah sejak lama adanya pencetusan anggapan bahwa LGBT
bukan lagi merupakan “penyakit mental” oleh American Psychiatric Association.
Padahal di sisi lain American Psychiatric Association mengubah ketentuan
mengenai fenomena LGBT tersebut bukan karena terbukti sepenuhnya secara
ilmiah melainkan karena adanya intimidasi dari kaum LGBT pada masa itu
7
sehingga membuat American Psychiatric Association merasa terganggu dengan
berbagai terror yang dilakukan kaum LGBT pada lembaga tersebut.
8
yang kemudian disingkat menjadi GAY NUSANTARA (GN) didirikan di
Pasuruan, Surabaya, sebagai penerus Lambda. Pada bulan Desember 1993,
diadakan Kongres Lesbian & Gay Indonesia pertama (KLGI) di Kaliurang, di
wilayah utara Yogyakarta, kongres tersebut menghasilkan 6 poin ideologis untuk
arah masa depan gerakan gay dan lesbian dalam bahasa Indonesia (Muthmainnah,
2016).
Setelah adanya UDHR 1948, banyak kelompok masyarakat yang membuat
langkah signifikan dalam mengadvokasi hak asasi manusia, tidak terkecuali kaum
LGBT. Mereka berusaha untuk mendapatkan penerimaan universal dari
masyarakat dunia. Di beberapa negara, kampanye hak LGBT banyak yang
dibingkai sebagai bagian dari perjuangan untuk hak asasi manusia yang diakui
secara internasional (Encarnacion, 2014). Fakta bahwa UDHR 1948 tidak secara
khusus menentukan orientasi seksual kepada lawan jenis, memungkinkan hak
LGBT dalam
mengekspresikan orinetasi seksual mereka menjadi hal yang masih dapat
diperdebatkan. Lebih jauh lagi, sebenarnya UDHR 1948 sama sekali tidak
menyebutkan hal-hal mengenai orientasi seksual, hanya beberapa pasal yang
menyangkut hak manusia untuk menikah dan membangun keluarga, namun pasal
tersebut dapat dijadikan dasar sebab pernikahan merupakan cara legal dalam
mengekspresikan orientasi seksual dan menjadi tujuan akhir bagi pasangan,
terutama mengingat hukum dan kultur budaya di Indonesia.
Saat ini, semakin banyak orang yang secara terbuka mengekspresikan orientasi
seksual mereka dan menuntut hak-hak mereka. Berkat kinerja para pelaku dan
pendukungpendukungnya, penerimaan hak LGBT di seluruh dunia semakin
meningkat. Pemerintah di beberapa negara mulai membuat undang-undang yang
menerima LGBT serta undang-undang antidiskriminasi, seperti Belanda, Prancis,
Denmark, dan Inggris. Belanda merupakan salah satu negara yang berhasil
menjadi pelopor di Uni Eropa dalam mempromosikan dan memperjuangkan hak-
hak kaum LGBT dengan membuktikan beberapa program yang pro terhadap kaum
9
LGBT yang didukung oleh negaranegara Uni Eropa. belanda juga berhasil
meningkatkan penerimaan sosial terhadap LGBT (Saskia, David, 2007).
Globalisasi LGBT terus meningkat, sehingga diperkirakan di tahun-tahun
mendatang, akan ada perkembangan isu utama hak-hak LGBT dalam skala global
seperti: Pemberantasan penganiayaan berdasarkan orientasi seksual; Perlindungan
hukum kaum LGBT dari kebencian dan propaganda kebencian; Hak-hak istimewa
yang sama (pernikahan, kemitraan, pengambilan keputusan medis, kehendak,
pengasuhan dan adopsi); serta sosialisasi terhadap orang lain yang cenderung
homofobia dan heteroseksisme (Subhrajit, 2014).
10
Kebudayaan merupakan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka memenuhi kehidupan manusia dengan cara belajar.
11
pemberian dari manusia atau negara. Sehingga dari dua pengertian diatas bisa
disimpulkan bahwa HAM adalah hak dasar yang melekat pada setiap individu
sejak dilahirkan kemuka bumi dan bukan merupakan pemberian manusia atau
negara yang wajib dilindungi oleh negara.
Berdasarkan definisi diatas terliht bagaimana posisi HAM dengan hukum
yang dibuat oleh negara. Keberadaan HAM mendahului hukum dengan kata lain
bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia
sepanjang hidupnya sebagai anugrah Tuhan, bersifat universal dan harus
dilindungi secara hukum atau HAM diformalkan kedalam seperangkat aturan
hukum yang ada. Dari posisi tersebut, hokum menjadi condition sine qua non
dalam penegakan HAM, lengkapnya instrument hukum tentang HAM menjadi
salah satu sumber human right law yang menunggu langkah politik pemimpin
dunia dan pemimpin negara untuk menegakkannya.
Isi dari pada hak asasi manusia hanya dapat ditelusuri lewat penelusuran
aturan hukum dan moral yang berlaku dalam masyarakat. John Locke (1632-
1704) yang dikenal sebagai bapak hak asasi manusia, dalam bukunya yang
berjudul “Two Treatises On Civil Government”, menyatakan tujuan negara
adalah untuk melindungi hak asasi mansuia warga negaranya. Manusia sebelum
hidup bernegara atau dalam keadaan alamiah (status naturalis) telah hidup
dengan damai dengan haknya masing masing, yaitu hak untuk hidup, hak atas
kemerdekaan dan hak atas penghormatan terhadap harta miliknya, yang semua
itu merupakan propertinya. Dalam HAM terdapat dua pinsip penting yang
melatarbelakangi konsep HAM itu sendiri yakni prinsip kebebasan dan
persamaan, dimana dua hal tersebut merupakan dasar dari adanya sebuah
keadilan. John Rawis, berpendapat bahwa terdapat tiga hal yang merupakan
solusi bagi problem utama keadilan yaitu:
1. Prinsip kebebasan yang sebesarbesarnya bagi setiap orang (principle of
greatest equel liberty). Prinsip ini mencakup kebebasan untuk berperan serta
dalam kehidupan politik, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebadan
12
memeluk agama, kebebasan menjadi diri sendiri, kebebasan dari penangkapan
dan penahanan yang sewenang wenang, dan hak untuk mempertahankan milik
pribadi.
2. Prinsip perbedaan (the difference principle). Inti dari prinsip ini adalah
perbedaan sosial ekonomi harus diatur agar memberikan kemanfaatan yang besar
bagi mereka yang kurang diuntungkan.
3. Prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality
of opportunity). Inti dari prinsip ini adalah bahwa ketidaksamaan sosial ekonomi
harus diatur sedemikian rupa sehingga membuka jabatan dan kedudukan sosial
bagis semua orang dibawah kondisi persamaan kesempatan.
Berdasarkan prinsip diatas dapat dilihat bahwa ketiga prinsip tersebut
merupakan hal-hal pokok yang ada dalam HAM, dimana HAM tidak melihat
kedudukan ekonomi, sosial dan budaya seseorang, serta tidak melihat bagaimana
kedudukannya sabagai orang sipil maupun kedudukannya dalam hal politik,
semua orang memilki kebebasan dan juga mempunyai kedudukan yang sama.
13
undangan yang diadopsi dan mengakomodir praktik keagamaan. Woodward
(2015:71) menekankan peran sentral agama dalam wacana sosial dan politik di
Indonesia. Meskipun bukan negara agama, namun Indonesia berlandaskan
Pancasila di mana sila pertamanya dengan tegas menunjukkan ketaklifan
terhadap ketuhanan. Tidak ada agama di Indonesia yang memperbolehkan
praktik LGBT. Oleh karena itu, praktik yang dianggap bertentangan dengan nilai
agama tidak dapat diaspirasikan dalam perundangundangan, termasuk
perkawinan sejenis. Senada dengan ini disampaikan pula oleh Komisioner
Komnas HAM RI dalam opininya di Republika tanggal 28 Januari 2016, yang
berbunyi:
“Semua tahu, bahkan homo atau lesbi kelas berat masih santai
pergi ke tempat tempat ibadah… Brasil Mei 2011 melegalkan
perkawinan sesama jenis. Itulah kemenangan besar paham kebebasan.
Mereka masuk lewat tontonan, bacaan, menumpang lewat kehidupan
glamor para publik fgur. Masyarakat dibiasakan melihat sesuatu yang
sebenarnya mengikis kehadiran agama.”
Persoalan LGBT tidak dapat dilihat dari sudut pandang pelaku LGBT
semata, karena mereka akan berinteraksi dengan masyarakat luas juga.
Meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai keberadaan LGBT sekaligus
menimbulkan
kesadaran mengenai dampaknya terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat.
Salah satunya adalah timbulnya ketakutan masyarakat mengenai pola
perilaku yang mengabaikan praktik umum dalam tatanan sosial kita. Akibat
perilaku tersebut menyebabkan gangguangangguan, misalnya permasalahan
kesehatan. Ketakutan masyarakat bukannya tidak beralasan. Dalam laporan
USAID dan UNDP (2014:4) disebutkan bahwa mobilisasi gerakan LGBT
semakin mendapatkan dorongan dengan maraknya HIV pada tahun 1990-an,
termasuk pembentukan berbagai organisasi di lebih banyak lokasi. Gay dan pria
yang berhubungan dengan pria di negara-negara ekonomi lemah dan menengah
14
terus memikul beban infeksi HIV dibandingkan populasi umum (Arreola dkk.,
2015:228).
HIV pertama kali muncul dari kasus 270 kasus defsiensi imunitas kalangan
pria gay. Pada bulan September 1982 Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) menyebutnya dengan istilah AIDS (Acquired Immune
Defciency Syndrome), yang merujuk pada gejala rusaknya sistem kekebalan
tubuh akibat infeksi virus HIV. Meskipun pada tahun-tahun berikutnya diketahui
bahwa penyebaran AIDS juga dapat terjadi pada heteroseksual, jumlah penderita
AIDS (ODHA) terus meningkat.
Kementerian Kesehatan telah mengkalkulasikan jumlah ODHA pada tahun
2013 dan menemukan bahwa homoseksual menyumbang 19.57% dari estimasi
jumlah ODHA yang ada di Indonesia. Jumlah ini ditambah dengan ODHA waria
sebesar 1,36%, sehingga diperkirakan pelaku LGBT yang menderita HIV/AIDS
pada tahun 2016 mencapai 164.499 orang.
Selanjutnya dalam laporan Pusdatin Kemenkes disebutkan kelompok
berisiko AIDS terbesar dipegang oleh kelompok heteroseksual (61,5%),
pengguna narkoba injeksi (IDU) sebesar 15,2%, dan homoseksual (2,4%)
(Kemenkes RI, 2014:5). Perlu diingat pula bahwa dari hasil pengamatan
Kemenkes sejak tahun 1987 hingga September 2014 kasus AIDS di Indonesia
lebih banyak terjadi pada kelompok laki laki (54%) atau hampir 2 kali lipat
dibandingkan pada kelompok perempuan (29%) (Kemenkes RI, 2014:4).
Selain itu, semakin meningkat ketakutan terkait kasus kriminal terkait
aktivitas seksual sesama jenis. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa LGBT
sering dianggap berkonotasi dengan penyimpangan seksual, sehingga tidak salah
jika kita mengasosiasikannya dengan banyaknya kasus pelecehan seksual
terhadap anak di masyarakat. Kasus kekerasan seksual pada sesama jenis menjadi
perhatian masyarakat pada tahun 2015 lalu, karena bukan hanya dilakukan
kepada sesama jenis (terutama laki-laki) tapi juga kepada anak-anak. Wajar jika
Ketua Komisi Perlindungan Anak, Asrorun Ni’am menegaskan bahwa 33%
15
kriminal disumbangkan oleh perilaku LGBT. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) mencatat 17.000 anak LGBT tersebar di Jawa Barat (Jabar).
Jumlah itu termasuk 151 anak yang menjadi korban prostitusi gay Yang paling
mengkhawatirkan adalah pengaruh sosial terhadap gaya hidup masyarakat. Orang
tua perlu meningkatkan kesadaran mengenai pola perilaku LGBT yang tidak
sesuai dengan nilainilai Pancasila.
Masa kanak-kanak merupakan waktu yang paling mudah untuk
menumbuhkan nilai-nilai. Keterlibatan anak dalam aktivitas yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai positif kebangsaan dikhawatirkan akan menumbuhkan perilaku
yang buruk di masa akan datang. Pembentukan sikap manusia dilakukan dengan
pembelajaran sosial (Baron & Byrne, 2004:122). Oleh karena itu, penting
memastikan kondisi sosial yang kondusif untuk mengembangkan nilainilai yang
dianggap positif oleh masyarakat.
Orientasi seksual tampaknya sedikit sekali bersifat genetik (Papalia, Old, &
Feldman,2008:596). Banyak penelitian menyebutkan bahwa orientasi
seksual disebabkan hubungan parental yang terganggu; dorongan orang tua
terhadap perilaku lintas-gender dan tidak biasa; imitasi orang tua homoseksual;
peluang untuk belajar melalui rayuan oleh homoseksual (Papalia, Old, &
Feldman, 2008:595).
Orang tua yang menolak status anak disebabkan karena bertentangan dengan
nilai-nilai yang selama ini dianutnya. Selain merasa malu, anggota keluarga
terutama orang tua menumbuhkan rasa sesal karena dianggap ‘gagal’ mendidik
anaknya. Tidak ada orang tua yang mendidik anaknya menjadi pelaku LGBT.
Rasa bersalah orang tua ini juga ditekankan LaSala (2013:269). Ia menyimpulkan
bahwa orang tua yang memiliki anak gay merasa khawatir akan kesejahteraan
anak, takut bahwa ia akan kesulitan mencapai kehidupan yang membahagiakan
(LaSala, 2013:269)
Ketika anak LGBT menjadi orang dewasa, ia dihadapkan pada tekanan
untuk memperlihatkan perilaku untuk memenuhi tugas perkembangan orang
16
dewasa di lingkungannya. Mereka ‘terpaksa’ menikah dengan lawan jenis
sebagai kamufase pilihan seksual mereka yang sebenarnya. Hal ini menyebabkan
ketidakbahagiaan dalam pernikahan, apalagi jika pelaku LGBT juga mencari
hubungan sejenis di luar pernikahan. Laki-laki homoseksual berpasangan dengan
wanita untuk berbagai alasan. Beberapa mungkin tidak sadar akan
nonheteroseksualitasnya sampai lama. Yang lain berpasangan dengan wanita
untuk alasan relijiusitas, tekanan keluarga, keinginan untuk memiliki anak, atau
cinta tulus kepada wanita tersebut (Bozett,1982, dalam Zimmerman, 2013: 2).
Setelah ia menyadari dan membuka diri tentang preferensi seksualnya, banyak
hubungan ini berakhir, namun sebagian tetap berjalan (Zimmerman, 2013: 2).
Persoalan hubungan yang bersatu atau tidak sama-sama terjadi pada orang
heteroseksual dan homoseksual. Yang jelas, dalam budaya Indonesia bergonta-
ganti pasangan selalu dikonotasikan secara negatif.
17
memengaruhi kualitas kesehatan jiwanya. Dukungan yang dibutuhkan pelaku
LGBT berasal dari hubungan yang diperoleh, yaitu dari teman; serta dari
hubungan yang terberi, yaitu dari keluarga. Menurut Ryan et al. (2010: 205),
remaja LGBT yang diterima oleh keluarganya memiliki kesehatan mental dan
fsik yang positif. Penelitian ini senada dengan hasil riset Bariola et al. (2015:
2112) yang menyimpulkan bahwa dukungan keluarga lebih signifkan untuk
menjaga tekanan psikologis pelaku
LGBT.
Jika seseorang mendapatkan diskriminasi dalam jangka waktu panjang, ia
rentan memperoleh masalah kesehatan jiwa. Hal ini menyebabkan perbedaan
prevalensi masalah kejiwaan antara pelaku LGBT dan heteroseksual (D’Augelli
& Grossman, 2001; Leonard et al., 2012, dalam Tinney et al., 2015: 1411).
Depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan zat terjadi 1,5 kali lebih banyak pada
pelaku LGBT dibandingkan individu heteroseksual (Tinney et al., 2015: 1411).
Kondisi di atas menempatkan pelaku LGBT sebagai kelompok masyarakat
yang rentan terhadap masalah kejiwaan. Oleh karena itu, mereka berhak atas
perlindungan, baik yang umum sebagaimana telah diakomodir dalam UUD
NKRI 1945, UU HAM, atau KUHP, maupun perlindungan jiwa secara spesifk.
Mereka digolongkan sebagai subjek yang dilindungi dalam Undang-Undang
No.18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Dalam UU tersebut dijelaskan
pelayanan kesehatan jiwa bagi setiap orang dan jaminan hak Orang Dengan
Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) belum
dapat diwujudkan secara optimal. Mereka juga dilindungi haknya, antara lain
untuk mendapatkan informasi yang tepat mengenai kesehatan jiwa; mendapatkan
pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah
dijangkau; mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa sesuai dengan standar
pelayanan kesehatan jiwa; mendapatkan informasi yang jujur dan lengkap
tentang data kesehatan jiwanya termasuk tindakan yang telah maupun yang akan
diterimanya dari tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang kesehatan jiwa;
18
mendapatkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan jiwa; dan
menggunakan sarana dan prasarana yang sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan jiwa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kehadiran LGBT di Indonesia merupakan bagian dari keragaman gaya hidup
yang penuh dinamika. Pelaku dan aktivis LGBT menuntut 2 hal, yaitu kebebasan dari
kekerasan dan diskriminasi (termasuk legalitas pernikahan sesama jenis). Masih
terjadinya kekerasan terhadap kelompok masyarakat ini disebabkan lemahnya
penegakan hukum oleh pemerintah. Padahal, seharusnya pemerintah melindungi
setiap warga negara sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sebaliknya, keinginan
pelaku LGBT untuk mendapatkan legalisasi pernikahan bertentangan dengan hukum
yang dijalankan di Indonesia. Meningkatnya kasus HIV dan kejahatan sesama jenis
jelas membuat resah masyarakat. Tidak ada orang tua yang ingin anaknya menjadi
pelaku LGBT dan berusaha membentuk karakter yang baik selama proses tumbuh
kembang.
Sesuai dengan rumusan American Psychiatric Assosiation (APA) yang
menyerahkan klasifkasi homoseksual pada budaya lokal, maka LGBT dianggap
abnormal di Indonesia. Oleh karena itu, LGBT tidak akan bisa diakomodir
eksistensinya dalam tatanan kenegaraan.
B. Saran
19
Seiring dengan itu, sosialisasi dan pendidikan perlu diberikan kepada
masyarakat dalam memperkuat kebinekaan dan menghindari praktik praktik
diskriminasi. Instansi pendidikan perlu mengenalkan lingkungan yang multikultur
untuk membangun perilaku saling menghargai. Orang tua juga harus semakin
berwawasan dan siaga melindungi anak dari berbagai gerakan negatif. Selain itu,
penegakan hukum yang dilakukan pemerintah harus dilaksanakan tanpa memihak.
Semua pelanggaran atas hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam
berbagai peraturan harus dapat diimplementasikan secara optimal. Pengawasan oleh
DPR RI dapat menjadi kunci pelaksanaan perlindungan tersebut. Secara konkret perlu
penguatan lembaga atau media yang berdiri independen sebagai tempat aduan bagi
perbuatan melanggar hak asasi manusia.
20
DAFTAR PUSTAKA
21
Pratama, Muhammad Rizki Akbar, Rahmaini Fahmi, dan Fatmawati. 2018
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender: Tinjauan Teori Psikoseksual, Psikologi
Islam dan Biopsikologi. Jurnal Psikologi Islami Vol.4 No. 1 Juni 2018: 27-34.
Diambil dari:
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/psikis/article/download/2157/1569/ . Diakses
pada 20 Desember 2020.
W, M. Argin P, 2018. LGBT dalam Perspektif Agama dan Budaya Nusantara.
Diambil dari: https://bemfisipol.umy.ac.id/2018/04/20/lgbt-dalam-perspektif-agama-
dan-budaya-nusantara/ . Diakses pada 20 Desember 2020
22