Anda di halaman 1dari 6

Hak Asasi Manusia

Kami,

(Saya, Posmodernisme, Pancasila dan Hak Asasi Manusia)


Belajar Membaca Indonesia

Manusia secara kodrati semenjak terlahir ke dunia memiliki suatu hak yang tidak
dapat dilanggar dan tidak dapat diserahkan pada manusia lain maupun negara. Hak-hak
tersebut bahkan sudah seharusnya dilindungi oleh negara dan menjadi batasan bagi
kekuasaaan negara yang mutlak. Hak-hak tersebut diantaranya terdiri dari hak untuk hidup,
hak akan kebebasan baik itu untuk memeluk agama, mendapatkan pendidikan dan pekerjaan
serta hak untuk mendapatkan kesamaan dimata hukum maupun kehidupan sosial.

Di balik euphoria akan penghargaan hak asasi manusia setinggi-tingginya, Negara


Indonesia seakan sedang kehilangan pedoman, kehilangan kepercayaan diri untuk
menempatkan penghargaan setinggi-tingginya akan hak-hak manusia yang tertuang dalam
hak asasi manusia. Dewasa ini pengertian, pemahaman dan penerapan akan hak asasi
manusia seakan hanya dijadikan untuk membangun citra Indonesia di mata internasional.
Indonesia memiliki bias pandangan akan pemahaman dan pelaksanaan hak-hak asasi
manusia. Indonesia seakan kebingungan dalam memilih pedoman antara melaksanakan HAM
sesuai UDHR (Universal Declaration of Human Rights) atau berpedoman pada ideologi
bangsa yaitu pancasila.

Kebingungan Indonesia itu dapat saya lihat dari pengamatan saya baik secara
langsung, melalui media massa, baik itu media cetak (koran, majalah dan buku) dan media
elektronik (televisi dan internet). Saya berhenti sejenak untuk merenung dan mencoba belajar
untuk ‘membaca’ Indonesia, hingga pada akhirnya saya seakan mendapat sebuah ‘pisau’
analisa yang sedikit cukup tajam untuk dapat menganalisa permasalahan ini. Dan pisau
analisa tersebut bernama posmodernisme.

Berawal dari sejarah Eropa pada abad XVII-XIX yang memunculkan sebuah konsep
enlightenment dimana keberadaan doktrin dan agama ditantang oleh ilmu pengetahuan
modern dan pandangan-pandangan progresif dimana manusia sebagai makhluk rasional
mempunyai kapasitas untuk menyandarkan diri pada bentuk-bentuk pengetahuan yang
bersifat ilmiah, logis dan rasional dan juga mempercayai bahwa manusia akan menemukan
sebuah kemungkinan dimana di dunia akan ditemukan kebenaran universal. Sejak saat itulah
purwa rupa dari konsep mengenai apa yang kita kenal pada saat ini sebagai hak asasi manusia
mulai tercipta.

Hak asasi manusia kemudian digadang-gadang menjadi sebuah konsep progresif yang
kerap kali dipakai sebagai tameng untuk melindungi apa yang dinamakan ‘value of man’ atau
nilai seorang manusia. Manusia bebas dan berhak untuk mempunyai ide atau gagasan serta
melakukan tindakan sesuai dengan hak asasinya tanpa mendapat pengaruh maupun hambatan
dari pihak lain. Pada awalnya konsep ini memang baik dan banyak melahirkan revolusi-
revolusi yang merombak secara radikal tatanan-tatanan peradaban. Dari konsep inilah
revolusi Perancis yang terkenal dengan semboyan Liberté, égalité, fraternité (kebebasan,
keadilan dan persaudaraan) lahir, dengan konsep ini pulalah terlahir konsep kedaulatan,
kemudian tercipta gelombang penolakan akan penjajahan atas negara-negara di dunia, hingga
berujung pada tercapainya kemerdekaan Indonesia.

Dengan adanya hak asasi manusia, diyakini manusia akan mencapai kemungkinan
untuk mencapai apa yang dinamakan kebenaran universal. Akan tetapi keyakinan akan
tercapainya kebenaran universal merupakan sebuah keyakinan yang rapuh. Bagaimana
mungkin manusia dapat mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah makhluk yang otonom atau
independen, sedangkan sepanjang sejarah dalam hidup mereka terus berkutat dalam simbol-
simbol kehidupan seperti bahasa, nilai, moral dan kebudayaan yang beragam, jika tidak bisa
dikatakan berbeda satu sama lain. Bagaimana mungkin apabila kemudian manusia sebagai
makhluk yang tidak akan menjadi seorang makhluk yang objektif dapat mengatakan dan
meyakini bahwa suatu saat akan ditemukan suatu kebenaran yang universal, apabila
kebenaran (rightness) maupun kesalahan (wrongness) merupakan sebuah konsep yang tidak
pernah bisa terbebas dari relasi penting (nexus) antara pengetahuan dan kekuasaan. Seperti
yang dikatakan Foucault, “Bagaimana mungkin sejarah memiliki kebenaran, jika kebenaran
itu sendiri memiliki sejarah?”

Bangsa dan negara barat boleh mengklaim bahwa merekalah pencipta peradaban,
merekalah bangsa yang beradab (civilized), dan sudah menjadi tanggung jawab mereka
(white man’s burden) untuk mencerdaskan bangsa-bangsa lain yang masih mereka anggap
sebagai bangsa yang barbar (uncivilized). Akan tetapi bukankah hal tersebut menjadi ironi
tersendiri dimana dengan klaim bahwa barat mempunyai tanggung jawab untuk
memperadabkan non-barat, menjadi sebuah cela dan noda yang mengotori konsep kebebasan
dalam menentukan tujuan hidup yang dijunjung tinggi oleh HAM itu sendiri?

Posmodernisme merupakan pisau yang saya gunakan untuk membedah permasalahan


ini. Posmodernisme jelas menentang adanya gagasan mengenai kebenaran universal dan
pemikiran metanaratif atau pemikiran yang mengklaim kebenaran mengenai dunia sosial1.
Posmodernisme menganggap bahwa liberalisme, marxisme dan fasisme tidak memiliki
perbedaan dimana ketiganya sama-sama mengklaim memiliki alasan bagi penghormatan hak
asasi manusia, namun pada kenyataannya hanya menciptakan sebuah hirarki sosial dan
hubungan kekuasaan baru. Posmodernisme meyakini hal tersebut dimana tidak ada kebenaran
yang tidak dapat diperdebatkan serta tidak ada apa yang disebut fakta-fakta tentang dunia,
yang ada hanyalah penafsiran-penafsiran kita mengenai apa yang disebut realitas.

Mari kita gunakan ‘pisau’ posmodernisme ini untuk menganalisa beberapa realitas
yang bersangkutan dengan HAM yang terjadi di Indonesia, yang diantaranya:

Realitas pertama ialah saat terjadi banyak bentrok kekerasan antar umat beragama di
wilayah Indonesia, seperti bentrok jamaah sunni dengan syiah, ahmadiyah dan banyak
bermunculan aliran sesat dan yang terbaru ialah munculnya gerakan ateisme di wilayah
Indonesia. Maka bagaimana HAM memandang realitas ini? HAM versi UDHR memandang
realitas-realitas tersebut adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari lagi.
Kebebasan manusia untuk memeluk agama dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Namun
kembali lagi bahwa tidak ada sesuatu yang bernama kebenaran universal. Akibat dari adanya
realitas tersebut ialah bentrokan dan kekerasan banyak terjadi di Indonesia. Pemerintah
Indonesia kerap kali menyelesaikan masalah setelah mendapatkan kecaman dari dunia
internasional. Penyelesaian masalah dilakukan hanya untuk menghentikan pertikaian bukan
untuk mencegah dan mencabut akar permasalahannya.

Indonesia harus mempunyai sikap dimana HAM versi UDHR tidaklah secara
keseluruhan dapat cocok untuk diterapkan di Indonesia. HAM versi Pancasila lah yang
sebenarnya dapat mengatasi terjadinya realitas seperti ini. HAM versi pancasila mengatakan
bahwa Indonesia berlandaskan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Baiklah dapat dipahami oleh
kita semua apabila penganut ahmadiyah, jamaah syiah, aliran sesat mempunyai hak untuk

1
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2009, hal. 303
memeluk agama mereka tanpa tekanan dan perlawanan dari pihak lain, akan tetapi bukan
disini tempatnya, bukan di Indonesia. Indonesia mengakui (dengan segala hormat) bahwa ada
beberapa agama yang memiliki hak untuk dianut dan berkembang di Indonesia yaitu Islam,
Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Sejauh ini diantara keenam agama tersebut
tingkat toleransi antar umat beragamanya sangat tinggi, jarang sekali terjadi pertikaian akibat
interaksi antar agama tersebut. Bagaimana mungkin bisa dikatakan bebas beragama, apabila
keberadaan mereka (agama selain yang 6) justru menimbulkan penistaan dan menyakiti
perasaan para pemeluk agama-agama yang sudah lama eksis dan diakui di Indonesia. Maka
jelas, akar permasalahan tidak terletak pada Indonesia yang tidak menjunjung tinggi HAM,
akan tetapi Indonesia sangat menjunjung tinggi HAM versi pancasila, dan pihak manapun
yang tidak menghendaki sikap Indonesia yang seperti itu, maka hendaknya mereka
menginsyafi bahwa Indonesia bukanlah tempat yang tepat untuk mereka bernaung. Atau
meminjam istilah yang dikatakan oleh Jeremy Menchik, bahwa ini yang dinamakan
Productive Intolerance.

Untuk permasalahan mengenai gerakan ateisme yang berkembang di Indonesia,


adalah tepat untuk mengatakan bahwa, hak asasi manusia bukanlah hak mereka. Mengutip
pendapat John Locke yang mengatakan bahwa “ Hak Asasi Manusia ialah hak yang diberikan
oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati” dan hal ini sesuai
dengan hak asasi manusia versi Pancasila yang mengatakan Indonesia berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka bagaimana mungkin seseorang atau sekelompok orang
yang tidak mempercayai eksistensi Tuhan dapat menjadikan diri mereka sebagai pihak yang
juga berhak mendapatkan hak istimewa yang berupa hak asasi manusia tersebut.

Realitas kedua menyangkut kesetaraan gender. Kesetaraan gender tidak hanya


melingkupi kesetaraan gender di bidang ekonomi dan politik saja. Akan tetapi juga di bidang
sosial. Namun kesetaraan gender juga harus memiliki batasan, batasan yang telah lama dianut
dan dipegang teguh oleh bangsa Indonesia. Kasus yang saya angkat ialah mengenai
kedatangan Irshad Manji ke Indonesia. Salah satu tokoh feminis dunia tersebut menyuarakan
bahwa wanita berhak untuk memiliki sikap untuk tidak menikah dengan laki-laki atau untuk
memiliki orientasi seksual menyukai sesama jenis (lesbian).

Agak menarik saat kita mengangkat realita ini menggunakan HAM dan
membedahnya dengan pisau posmodernisme. Kaum posmodernis menyanjung tinggi konsep
kelainan (otherness) seperti ini. Karena adalah sebuah kebebasan bagi manusia untuk
memilih pasangan hidup mereka seperti sikap yang ditunjukkan oleh saudari Irshad Manji
tersebut. Akan tetapi patut dicatat. Bahwa bentuk kelainan tidak hanya seperti itu.
Disorientasi seksual seperti ekshibisionisme dan fetishisme juga termasuk dalam satu bentuk
kelainan. Maka bagaimana bisa konsep kebebasan bisa diakui dalam disorientasi seksual
lesbian akan tetapi para wanita masih memandang bahwa disorientasi seksual
ekshibisionisme dan fethisisme dianggap sebagai bentuk pelecehan pria terhadap wanita?
Bukankah wanita juga berhak untuk melakukan disorientasi seksual ekshibisionisme dan
fetishisme tersebut tanpa harus merasa hanya menjadi objek dari disorientasi seksual tersebut.
Apabila berpedoman pada prinsip kesetaraan gender versi UDHR maka jawabnya adalah YA.
Akan muncul standar ganda apabila wanita masih menangis dan merasa dilecehkan, sudah
saatnya mereka menjadi subjek dan bebas untuk melakukan hal tersebut kepada tiap lelaki
yang mereka inginkan. Itu apabila Indonesia menghendaki untuk menyandarkan diri pada
HAM versi UDHR. Dan apabila tidak, maka kesimpulannya jelas dan tegas, sosok-sosok
seperti Irshad Manji tidak mempunyai tempat di Indonesia.

Realitas berikutnya terjadi dalam dunia pendidikan. Akses dan sarana pendidikan
yang diharapkan dan dicitakan untuk dapat dirasakan semua warga negara tanpa terkecuali,
menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk dapat merealisasikannya. Kecenderungan
pemerintah untuk memprioritaskan hal tersebut dapat kita lihat dari peningkatan kuantitas
alokasi dana APBN untuk pendidikan yang meningkat menjadi 20 persen. Tapi apakah
pekerjaan rumah pemerintah selesai disitu? Ternyata tidak. Pemerintah dalam hal ini hanya
memfokuskan diri untuk membenahi permasalahan yang tampak di permukaan. Peningkatan
jumlah anggaran memang dapat menunjang kelancaran terjadinya proses belajar mengajar.
Akan tetapi beberapa masalah lain yang sebenarnya sudah disadari ada sejak dahulu yang
kerap kali menjangkiti dunia pendidikan kita ialah distribusi pendidikan baik itu kualitas
maupun distribusi sarana penunjang antar wilayah-wilayah di seluruh Indonesia
menimbulkan kesenjangan yang sangat jauh. Sekolah di kota besar terbiasa dengan
penyediaan sarana yang seakan tanpa batas sedangkan sekolah di pelosok seakan bernapas
dalam lumpur, hidup segan, mati tinggal menunggu waktu. Selain itu sistem pendidikan di
Indonesia seakan diciptakan hanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Tidak dengan
mempertimbangkan prospek jangka panjang untuk berinvestasi pada para intelektual-
intelektual muda yang akan menjadi tulang punggung bagi bangsa dan negara Indonesia di
masa depan. Selain itu sistem pendidikan diciptakan secara kaku dan terkesan asal jadi,
sehingga hanya menghasilkan pribadi-pribadi yang terlatih, namun tidak terdidik. Daya cipta
dan bakat alamiah para pelajar seakan dikesampingkan karena hanya mengincar penilaian
secara permukaan saja. Saya sedikit teringat dengan kutipan dari lagu milik Pink Floyd “we
don’t need no, education. We don’t need no thought control” jika pendidikan hanya dijadikan
alat untuk mengontrol pikiran para pelajar dan membatasi daya cipta dan bakat mereka
dibanding untuk menggali dan menyalurkannya, maka kegunaan lembaga pendidikan yang
ada pada saat ini dapat dipertanyakan?

Realitas berikutnya datang dari dunia kerja. Saya mendapati di sebuah laman internet,
mengenai berita tentang seorang penyiar yang bernama Sandrina Malakiano. Dia sudah
menetapkan dirinya untuk teguh dalam mengenakan jilbab dan akan tetap berusaha
seprofesional mungkin dalam pekerjaannya. Tapi apa yang terjadi? Pihak tempat dia bekerja
seakan memberikan hambatan baginya untuk dapat bekerja dengan tetap berpegang teguh
pada prinsipnya untuk mengenakan jilbab. Di lain pihak HAM digadang-gadang oleh pihak
yang menuntut kebebasan dalam berbusana dan berekspresi, walaupun itu harus tanpa sehelai
benang pun menutupi tubuh mereka, tapi disisi lain ada pihak yang menginginkan
mengenakan jilbab, tapi yang ada baginya adalah penolakan dan diskriminasi. Maka dimana
letak HAM sebagai sebuah jalan untuk mencapai kebenaran universal?

Pancasila yang menjadi ideologi luhur bangsa Indonesia dapat dijadikan pedoman
dalam pelaksanaan HAM di Indonesia, akan tetapi Pancasila bukanlah sesuatu yang rigid
(kaku) dan bukan tanpa kekurangan. Pancasila juga harus bisa menerima tantangan zaman
dimana permasalahan multidimensional yang semakin pelik juga membutuhkan penafsiran-
penafsiran tambahan dalam proses untuk menjadikan manusia menjadi manusia seutuhnya
(memanusiakan manusia).

Setelah beberapa huruf kita lewati dalam upaya membaca Indonesia, kini tiba saatnya
kita untuk mulai berupaya menjadi Indonesia. Menjadi Indonesia bukanlah menjadi negara
dan bangsa yang sempurna. Menjadi Indonesia adalah menjadi negara dan bangsa yang
terus menerus belajar. Menjadi Indonesia bukanlah menjadi negara dan bangsa yang
sempurna. Menjadi Indonesia adalah menjadi negara dan bangsa yang seimbang.

Anda mungkin juga menyukai