Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Pelaksanaan HAM Pada Faham Individualisme

Disusun Oleh :

1. Fadlia Nur Asadilla (3301420010)


2. Tri Budiati (3301420022)
3. Yulita Putri Sitta Aulya (3301420078)

JURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini, Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi hal yang sudah tidak asing lagi di
telinga manusia. HAM telah menjadi hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia dan
manusia sebagai makluk Tuhan yang memiliki hak sejak lahir manusia lahir ke dunia sebagai
anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Adapun hakikat HAM menurut Darji Darmodiharjo,
bahwasanya HAM merupakan sekumpulan hak-hak dasar dan hak-hak pokok yang sejak lahir
melekat di setiap diri individu sebagai anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak di dalam
HAM, dikatakan sebagai hak dasar daripada hak-hal dan kewajiban lainnya. Sedangkan,
hakikat HAM yang diatur dalam ketetapan MPR -RI No. XVII/MPR/1998 tentang HAM,
angka 1 huruf D, yang mengemukakan bahwa HAM yaitu hak sebagai anugerah dari tuhan
Yang Maha Esa, yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal, dan abadi,
berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Sehingga, dapat penulis simpulkan
bahwasanya manusia dan HAM memiliki hubungan yang saling berhubungan.
Manusia dan HAM merupakan dua istilah kata yang sulit untuk dipisahkan.
Manusia dapat didefinisikan sebagai mahkuk bebas, dimana manusia mampu mengembangkan
potensinya dan mampu merasakan nilai-nilai kemanusiaan namun dalam suasana kebebasan
alamiah. Kebebasan dapat dimaknai sebagai tuntutan manusia sebagai mahkluk individu.
Namun, pemenuhan hak setiap manusia tidak dapat hanya didapatkan secara individual
melainkan harus bersama-sama atau manusia dapat dikatakan sebagai makhluk sosial.
Kedudukan manusia sebagai makhluk sosial tersebut menjadikan sebagai masalah HAM yang
kompleks. Di dalam hidup manusia sebagai makhluk sosial tersebut, hidup dan kebebasan
manusia diabaikan bagi kelompok. Sejak itulah, telah terampasnya hak yang melekat pada diri
tiap manusia. Pemikiran atas dasar bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial
namun tidak boleh semata-mata hanya diabadikan bagi kelompok yakni dicetuskan oelh pemikir
besar Rusia Nicolai Alexandrenovict Berdyaev. Beliau menambahkan, bahwa kualitas pribadi
manusia mampu bertambah dan hidup dalam kelompok menjadi lebih bermakna. (Fuad Hasan,
1989, 87-88). (Ii, 2012).
Hak Asasi Manusia (HAM) bermakna secara luas, bahkan HAM dikait-kaitkan
dengan pemikiran liberalis, dimana para pemikir aliran liberalis tersebut berpedoman pada faham
diri yang individualisme. Adanya faham individualisme, mendapatkan penolakan dari segi HAM
karena munculnya pemikiran sosialisme yang menekankan kepentingan bersama dan negara.
Hak Asasi Manusia yang dianut di Negara Indonesia yakni bersumber dari Pancasila sebagai
filsafat bangsa dan negara. Pancasila mengandung konseptual HAM manusia sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial. Sedangkan, di dalam faham indivualisme banyak digunakan di
konsep barat liberal yang diartikan manusia sebagai subjek hukum pribadi (perzoonlijk), dimana
adanya hak-hak individual harus dihormati sejak lahir. Sehingga, faham individualism tersebut di
konsep barat menekankan untuk menghargai hak-hak individu dan dihargai sebagai hak yang
harus mendapatkan perlindungan oleh negara dan pemerintah sebagaimana hak tersebut sebagai
wujud penghormatan atas nilai-nilai individualistic kemanusiaan.
Adapun Hak Asasi Manusia (HAM) yang ditekankan dalam faham individualisme
adalah berupa hak-hak alamiah seperti halnya, hak atas hidup (life), hak kebebasan (liberty) dan
hak kepemilikan (property) dan untuk itu maka penguasa harus memerintah dengan persetujuan
rakyat (government by consent). Hak-hak tersebut, bersifat melekat pada setiap diri individu
manusia. Sehingga, hak-hak manusia di dalam faham individualisme di dunia Barat dan Amerika
tersebut memandang bahwa memandang HAM sebagai hak individual yang melekat pada setiap
diri manusia. Adapun, apabila dijabarkan lebih dalam bahwasanya pandangan Hak Asasi
Manusia (HAM) pada konsep Barat sesuai dengan faham kebebasan serta kemerdekaan
individual (freedom and liberty individuale), sedangkan ideologi yang dianut negara tersebut
adalah kapitalis/ liberalisme.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan konsepsi HAM di Indonesia?
2. Bagaimana sejarah munculnya faham individualisme?
3. Bagaimana konsep HAM dalam faham individualisme?
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Perkembangan Konsepsi Hak Asasi Manusia di Indonesia


Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang dimiliki oleh manusia sejak
dilahirkan semata-mata karena dia manusia, bukan diberikan kepadanya oleh masyarakat atau
berdasarkan hukum positif melainkan semata mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Menurut Franz Magnis Suseno dalam bukunya yang berjudul Etika Politik; Prinsip-prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern, berpendapat bahwa suatu hal yang berprinsip dari paham
HAM terletak pada kesadaran bahwa masyarakat atau umat manusia tidak dapat dijunjung tinggi
kecuali bahwa setiap manusia, individu, tanpa diskriminasi, tanpa pengecualian, dihormati
keutuhannya. Kepedulian internasional terkait adanya hak asasi manusia telah ada sebelum
pecahnya Perang Dunia II meskipun masih berupa traktat atau perjanjian-perjanjian internasional
mengenai isu kemanusiaan. Kemudian, HAM mulai berkembang dan dibahas di dalam sistem
internasional baru yang kemudian dimasukkan dalam Piagam Persatuan Bangsa-Bangsa pada
tahun 1945.

Di Indonesia sendiri, sejarah dari perkembangan HAM telah ada sebelum Indonesia
merdeka yang ditandai dengan mulai munculnya pergerakan berupa organisasi-organisasi
Nasional seperti lahirnya organisasi Budi Utomo pada tahun 1908 yang menjadi salah satu aksi
nyata dari adanya perwujudan HAM berupa kebebasan berpikir dan berpendapat di depan umum.
Disamping itu, nilai-nilai HAM yang diupayakan oleh organisasi Budi Utomo adalah hak untuk
merdeka dan menentukan nasibnya sendiri. Selain organisasi Budi Utomo, organisasi lain yang
juga terbentuk pada tahun yang sama adalah organisasi Perhimpunan Indonesia yang didalamnya
terhimpun para mahasiswa yang menghimpun suaranya yang ada di Belanda, yang kemudian
menyuarakan konsep HAM dengan tujuan untuk memperjuangkan hak negara Indonesia untuk
menentukan nasibnya sendiri, salah satunya memperoleh kemerdekaan. Selain kedua organisasi
tersebut, terdapat organisasi-organisasi lain yang muncul seperti Indiche Partij, PKI, Sarekat
Islam, dan lainnya.

Pada saat sidang Badan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),


tepatnya pada tanggal 15 Juli 1945 sempat terjadi perbedaan pandangan oleh para tokoh pendiri
bangsa mengenai perlu tidaknya HAM diberlakukan di Indonesia. Inti dari perbedaan pandangan
mereka adalah terkait dengan isi pokok HAM yang dari masing-masing pihak dikonstruksikan
diantara paham individualisme yang dinilai sebagai karakter dari negara barat dan kolektivitas
yang dinilai sebagai karakter yang bersifat Timur. Soepomo berpendapat bahwa negara tidak
perlu menjamin adanya HAM karena terdapat beberapa alasan seperti diantaranya : (i) HAM
dianggap berlebihan; (ii) dibayangkan berdampak negatif; dan (iii) sebagai hak-hak perorangan,
selalu berada di bawah kepentingan bersama. Menurut Soepomo, HAM tidak membutuhkan
jaminan Grund-und Freiheitsrechthe dari individu contra staat. Individu dipandang sebagai
bagian organik dari staat yang menyediakan penyelenggaraan kemuliaan dari staat, dan
sebaliknya oleh politik yang berdiri di luar lingkungan suasana kemerdekaan seseorang. Menurut
Soepomo yang berpendapat bahwa Indonesia yang merupakan negara integralistik, yang
memiliki makna bangsa yang teratur, sebagai bentuk dari persatuan rakyat yang tersusun maka
pada dasarnya tidak akan ada dualisme”staat” dan individu,serta tidak akan ditemukan dualisme
”staat und staatfreier Gesellschaft” (negara dan masyarakat bebas dari campur tangan negara).

Disamping itu, Soekarno berpendapat bahwa keberadaan HAM di Indonesia dapat


berdampak buruk dikarenakan didalamnya terdapat kaitannya dengan paham individualime.
Menurutnya, dengan memberikan hak-hak kepada warga negara, hal ini berarti bertentangan
dengan kebebasan negara yang berdaulat. Soekarno bahkan dengan yakin menyatakan bahwa
jika negara ini dibangun dengan filsafat yang berpaham individualis-liberalis, maka negara
Indonesia penuh dengan konflik. Berbeda dengan Moh.Hatta, menurutnya sangat berbahaya
apabila dalam suatu negara tidak mencantumkan HAM maka akan mengkhianati UUD. Adapun
hak warga negara yang dimaksud adalah hak untuk berkumpul, bersidang,menyurat, dan lainnya.
Tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya Indonesia tidak menjadi negara kekuasaan,
melainkan negara berdasarkan kedaulatan rakyat. Hal yang sama disampaikan oleh Moh Yamin
yang pro dengan pendapat yang disampaikan Moh Hatta. Setelah melalui proses yang panjang
HAM yang masuk dalam UUD 1945 adalah HAM yang dicurigai sebagai Barat yang
individualistik yang mana harus diwaspadai keberadaannya. Pencantuman HAM dalam UUD
1945 bersifat terbatas. Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih
lanjut akan diatur oleh undang-undang, tetapi juga dalam arti konseptual. negara ditempatkan
sebagai guardian of human rights sebagaimana ditempatkan oleh sistem Perlindungan
Internasional HAM.
Setelah kemerdekaan, perjuangan terkait HAM di Indonesia semakin terlihat jelas.
Terutama pada masa orde lama sistem politik di Indonesia yang mulai dipengaruhi oleh sistem
liberalisme dan parlementer, sehingga perkembangan dari adanya hak asasi manusia ikutserta
terpengaruh. Kemudian, tepatnya pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden, yang berdampak pada sistem politik yang mana kebebasan untuk berpendapat,
berkumpul, dan menyampaikan pemikiran dengan tulisan sangat dibatasi.

Selanjutnya, pada masa orde baru terjadi bebrapa kasus pelanggaran hak asasi manusia
seperti Peristiwa Tanjung Priok (1984), G 30 S (1965) dan lain-lain. Pada masa orde baru,
adanya HAM masih dianggap sebagai buah pemikiran dari negara Barat dan dinilai sebagai
penghambat proses pembangunan Indonesia yang merupakan negara yang baru merdeka yang
berlawanan dengan pemikiran dan perspektif mayoritas masyarakat yang merasa bahwa HAM
bersifat terbuka. Hingga akhirnya setelah melalui proses yang panjang, pada tahun 1993 dibentuk
lembaga mandiri yang bernama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM.

Memasuki era Reformasi, perkembangan mengenai hak asasi manusia berlangsung cukup
pesat yang terbukti dari dilahirkan TAP. MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Pemerintah
memberikan perhatian besar dengan dirubahnya amandemen terhadap UUD 1945 untuk
menjamin dari adanya hak asasi manusia. Setelah itu, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
1.2 Sejarah Munculnya Faham Individualisme

Istilah Renaisans, berasal dari bahasa latin re dan born, yang berarti “dilahirkan kembali”
(born again). Istilah ini biasanya digunakan oleh para sejarawan untuk menunjukkan berbagai
periode kebangkitan intelektual, terutama yang terjadi di Eropa, khususnya di Italia. Selama abad
ke-15 dan ke-16 istilah ini digunakan oleh sejarawan terkenal seperti Michelet, yang kemudian
dikembangkan oleh J. Burckhardt untuk konsep sejarah individualisme dan sebagai periode yang
bertentangan dengan periode abad Tengah. Adapun hakikat dari abad pertengahan adalah abad di
mana pikiran sempit dari gereja, dalam keadaan demikian kebebasan berpikir sangat terbatas dan
perkembangan filsafat sulit, bahkan dapat dikatakan manusia tidak lagi menemukan dirinya.
Renaissance adalah periode perkembangan yang terletak setelah abad pertengahan sampai
munculnya zaman modern.

Pada abad Renaisans mulai muncul dengan munculnya pembebasan otoritas gerejawi,
yang mendukung pertumbuhan individualisme ke titik anarki. Disiplin, intelektual, moral, dan
politik dihubungkan oleh pemikiran manusia Renaisans dengan filsafat skolastik dan kekuatan
gerejawi. Jadi salah satu ciri utama Renaisans adalah individualisme, sehingga dapat dipisahkan
dari agama, yang artinya masyarakat tidak mau lagi diperintah oleh agama. Pada saat itu,
masyarakat Barat memiliki hak individu dan hak-hak tersebut merupakan jaminan yang mutlak
dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Revolusi Perancis dan Amerika adalah peristiwa sejarah di
Barat yang menunjukkan pengakuan terhadap nilai-nilai individualisme. Sejarah munculnya
demokrasi dan penghormatan terhadap HAM tidak dapat dipisahkan darinya, bahkan dalam
semangat individualisme. Oleh karena itu, pada filsafat modern tetap mendukung kecenderungan
individualistis dan subjektif masing-masing individu. Ciri ini paling nyata dalam diri Dekrates,
yang membangun semua pengetahuan dan kepastian keberadaannya sendiri, menerima kejelasan
dan ketajaman, yang subjektif, sebagai kriteria kebenaran.

Paham individualistis ini seringkali dikenal juga dengan paham liberalisme (kebebasan)
yang dikenalkan oleh John Locke dan Jan Jaques Rousseau dan dikutip oleh Max Boli Sabon
dalam bukunya Hak Asasi Manusia (hal. 87) adalah paham yang mengatakan bahwa manusia
sejak dalam kehidupan alamiah (status naturalis) telah mempunyai hak asasi, termasuk hak-hak
yang dimiliki secara pribadi. Hak manusia meliputi hak hidup, hak kebebasan dan kemerdekaan,
serta hak milik (hak memiliki sesuatu).
Individualisme sendiri berdasarkan KBBI berarti “Paham yang menghendaki kebebasan
berbuat dan menganut suatu kepercayaan bagi setiap orang; paham yang mementingkan hak per-
seorangan di samping kepentingan masyarakat atau Negara”. Dapat disimpulkan anak yang
bertindak egois terhadap orang tuanya termasuk dalam penganut paham individualisme dan
merupakan seorang individualis. Individualisme merupakan satu filsafat yang memiliki
pandangan moral, politik atau sosial yang menekankan kemerdekaan manusia serta kepentingan
bertanggung jawab dan kebebasan sendiri. Seorang individualis akan melanjutkan percapaian
dan kehendak pribadi. banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk menganut paham
individualisme. Perkembangan teknologi, globalisasi, westernisasi dan paham liberalisme
membuat orang di zaman ini lebih memperdulikan diri sendiri.
1.3 Konsep HAM Dalam Paham Individualisme

Negara barat dalam perjalanan sejarah kemanusiaan telah menganut paham


individualisme, yang artinya manusia sebagai subjek hukum pribadi (perzoonlijk) memiliki hak-
hak individual yang sudah seharusnya dihormati sebagai hak yang telah dimiliki sejak lahir.
Dalam konsep negara barat, hak-hak individulis sangat dihor mati dan dihargai sebagai hak yang
mendapat perlindungan negara, terutama dari pemerintah karena dijadikan sebagai bentuk
perwujudan penghormatan atas nilai-nilai individualistik dari kemanusiaan.
Miriam Budiardjo (2008:213), mengatakan bahwa gagasan pemikiran tentang
penghormatan dan penghargaan HAM di Eropa, terutama di Eropa Barat bermula pada abad
XVII dengan munculnya konsep tentang hukum alam (natural law) dan hak-hak aIamiah (natural
right). Beberapa abad sebelum itu di Inggris (abad pertengahan) masalah tentang hak sudah
mulai ramai dibicarakan. Di negara Inggris pada tahun 1215 yang dipimpin oleh Raja John telah
menandatangani suatu piagam perjanjian dengan kaum bangsawan yang dikenal dengan Magna
Charta. Di negara Inggris pada waktu itu yang bersifat feodal absolut, telah dipaksa oleh kaum
bangsawan untuk mengakui hak-hak dari golongan bangsawan sebagai kompensasi untuk
dukungan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan perang di kala itu.
Hak yang dijamin oleh raja sebagaimana tertuang dalam Piagam Perjanjian (Magna
Charta), adalah hak politik dan sipil yang mendasar, seperti hak untuk diakui kepemilikannya
atas tanah dan hak untuk diperiksa di muka hakim (habeas corpus). Meskipun awalnya hak-hak
itu hanya dinikmati oleh kaum bangsawan, akan tetapi dalam perkembangannya kemudian hak-
hak itu juga menjadi bagian dari hak semua warga negara. Memasuki abad XVII sampai abad
XVIII pemikiran tentang hak asasi mengalami kemajuan pesat di Eropa, di mana konsep tentang
kekuasaan raja yang diperolehnya berdasarkan pemberian Tuhan atau wahyu Ilahi (Devine Right
of Kings) atau hak suci raja sebagai dasar legitimasi kekuasaan absolutisme raja mulai
dipertanyakan dan digugat, oleh karena banyaknya raja yang bertindak sewenang-wenang.

Dampak dari kemajuan-kemajuan ekonomi rakyat dan meningkatnya taraf pendidikan


rakyat memunculkan golongan baru yaitu Borjuis (golongan ekonomi mapan dan
berpendjdikan), maka golongan bangsawan, golongan Borjuis bersekutu dan menyatu dengan
rakyat menghendaki agar legitimasi kekuasaan king dan hubungannya dengan rakyat supaya
didasarkan ata s sesuatu yang rasional. Karenanya harus ada kontrak sosial dan politik antara
king dengan rakyat.

Pemikiran-pemikiran pembaharuan tersebut, tercermin dalam gagasan dari Filsuf-filsuf


masa reinans (pencerahan) atau “(Enlightenment) yang menganut paham liberalisme, seperti
Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon Locke (1632-1704), De la Montesquieu (1689-1755), JJ.
Rousseau (1712-1778), sekalipun mereka tersebut berbeda dalam interpretasi, namun semuanya
membayangkan suatu masa lalu di mana manusia hidup dalam keadaan alami (nature). Dalam
keadaan alam ini semua manusia sama martabatnya (equal) tunduk pada hukum alam, dan
memilikj hak-hak alam yang dalam perkembangannya mengharuskan manusia untuk
menggunakan rasio dalam menata kehidupan bernegara, sehingga diperlukan adanya kontrak
antara penguasa dengan rakyat yang kemudian melahirkan teori kontrak sosial dan Teori
Rasionalitas (Miriam Budiardjo,2008:212).

Hak-hak alamiah manusia dimaksudkan, adalah hak atas hidup (life), hak kebebasan
(liberty) dan hak kepemilikan (property) dan untuk itu maka penguasa harus memerintah dengan
persetujuan rakyat (government by consent). Hak-hak ini, sifatnya melekat secara individual
pada manusia. Karenanya dapat dikatakan bahwa dunia Barat dan Amerika umumnya
memandang HAM sebagai hak individual yang melekat secara interen pada diri manusia.
Konsep Barat tentang HAM adalah individualistik, sesuai dengan paham kebebasan dan
kemerdekaan individual (freedom and liberty individuale), yang menjadi ideologi negaranya,
sehingga kapitalis/liberalisme tumbuh subur di Eropa Barat pada umumnya dan Amerika.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
HAM telah menjadi hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia dan manusia
sebagai makluk Tuhan yang memiliki hak sejak lahir manusia lahir ke dunia sebagai
anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Hak Asasi Manusia yang dianut di Negara
Indonesia yakni bersumber dari Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara. Pancasila
mengandung konseptual HAM manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Konsep konsep HAM yang Ada di Indonesia saling terkait dan terhubung antar satu
dengan yang lain sehingga perpaduan konsep HAM tersebut menghasilkan suatu
kesinambungan dalam masyarakat walaupun dalam pengimplementasinya tidak berjalan
seperti yang diharapkan, sedangkan korelasi antara konsep HAM paham liberalisme dan
komunisme adalah paham tersebut saling berkaitan yaitu paham komunisme sebagai
pemerjuang HAM masyarakat dan paham liberalisme sebagai pemerjuang HAM dalam
kebebasan berpendapat, kebebasan memeluk agama, dan terpenuhinya tuntutan tuntutan
HAM. Faham indivualisme banyak digunakan di konsep barat liberal yang diartikan
manusia sebagai subjek hukum pribadi (perzoonlijk), dimana adanya hak-hak individual
harus dihormati sejak lahir.
Daftar Pustaka

Gatra, Phalita. 2019. “Konsep Hak Asasi Manusia yang Digunakan Di Indonesia”
Perbawati, Candra. 2019.Konstitusi dan Hak Asasi Manusia. Bandarlampung; Pusat kajian
konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Radjab, Suryadi. 2002. Dasar-dasar Hak Asasi Manusia. Jakarta: PBHI.
Sahid, Panji Muhammad. 2018. “Tiga Generasi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya Dalam
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”.
Suyahmo. 2015. Demokrasi Dan HakAsasiManusia. Yogyakarta : Magnum PustakaUtama
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2007. Hak Asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan
Pengertiannya dari Masa ke Masa. Jakarta : ELSAM.

Anda mungkin juga menyukai