Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Norma
Norma berasal dari bahasa latin, yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku,
suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sini kita dapat mengartikan
norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang
dipakai untuk menagtur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang
dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Jadi secara terminology kita dapat
mengambil kesimpulan menjadi dua macam. Pertama, Norma menunjuk suatu teknik.
Kedua, Makna tersebut lebih bersifat normative. Norma yang kita perlukan adalah norma
yang brsifat praktis, norma yang dapat diterapkan pada perbuatan konkret.
Dengan tidak adanya norma, kehidupan manusia akan menjadi brutal. Pernyataan
tersebut dilatar belakangi oleh keinginann manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia
bersifat senonoh. Dengan demikian, dibutuhkan sebuah norma yang lebih bersifat praktis.
Memang secara bahasa norma agak bersifat normative tetapi itu tidak menutup
kemungkinan pelaksanaannya bersifat praktis. Adapun Norma dalam kehidupan, yakni :
1. Norma Agama :
1. Berasal dari Tuhan Yang Maha Esa
2. Tercantum dalam kitab suci setiap agama
3. Pelanggaran terhadap norma agama merupakan dosa
4. Agar setiap orang beriman dan bertakwa terhadap Tuhannya
5. Agar tercipta masyarakat yang agamis, tertib, tentram, rukun, damai dan sejahtera.

2. Norma Masyarakat/sosial :
1. Bersumber dari masyarakat sendiri
2. Pelanggaran atas norma sosial berakibat pengucilan dari masyarakat
3. Tujuan norma sosial supaya tercipta masyarakat yang saling menghormati dan saling
menghargai
3. Norma Kesusilaan :
a. Berasal dari setiap manusia
b. Pelanggaran dari norma ini berakibat penyesalan

1
c. Dalam kehidupan sehari-hari sebaiknya setiap individu berusaha agar setiap sikap,
ucapan dan perilakunya selalu dijiwai oleh nilai-nilai atau norma agama, kesopanan
dan hukum.
4. Norma Hukum :
a. Berasal dari Negara
b. Pelanggran atas norma ini berakibat hukuman sesuai dengan peraturan
c. Pelanggaran norma hukum dalam masyarakat akan memicu berbagai kerusuhan dan
perbuatan amoral yang tidak bertanggung jawab.

B. Pengertian Praktik Budaya


Praktik budaya menurut pengertiannya secara umum adalah norma-norma dalam
kebudayaan yang harus dihormati oleh seorang individu maupun berkelompok, dimana
salah satu ketika seseorang melanggarnya maka ia akan menerima sanksi baik itu secara
halus maupun secara kasar, contohnya seperti di kucilkan, bahkan tak di anggap dari
kelompok budaya tersebut yang dapat membuat orang tersebut di keluarkan dari budaya
tersebut dan di keluarkan dari komunitas budaya itu.
Dimana sebagian dari orang sekelompok masyarakat banyak melangar dari norma
aturan dalam kehidupan, antara lain pergaulan bebas, praktik budaya yang kurang bermutu
dimana sebagian orang banyak yang melakukan penyimpangan seperti saling menyukai
sesama jenis dalam norma-norma kehidupannya yang dalam kenyataan dan kaidahnya
melanggar norma dan hukum agama.

C. Norma dan Praktik Budaya dalam Kehidupan Seksualitas


Norma-norma dan praktik budaya dalam kehidupan seksualitas dimana seseorang
mengalami gangguan dan keterkaitan terhadap suatu kelainan akibat trauma, sehingga
banyaknya jumlah seseorang meningkatkatkan kehidupan seksual yang kurang di hormati
di kalangan masyarakat,baik itu melalui pergaulan bebas di kalangan remaja,
homoseksualitas, dan bahkan kelainan kelainan seksualitas lainnya yang banyak di langgar
oleh sebagian orang.
Secara norma dan praktik kebudayaannya homoseksualitas adalah rasa ketertarikan
romantis atau seksual dalam perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang
sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas yang mengacu pada pola berkelanjutan
atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis secara
eksklusif orang dari jenis kelamin yang sama, diaman homoseksualitas juga mengacu pada

2
pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial berdasarkan pada ketertarikan,
perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam komunitas lain yang berbagi itu.

D. Norma dan Praktik Budaya dalam Kemampuan Reproduksi, meliputi:


a. Revolusi seks : seks bebas tidak untuk menghasilkan keturunan. Jika seks tidak untuk
menghasilkan keturunan, maka keturunan tidak harus didapat dari hubungan seksual.
Pemikiran ini mempertajam pemahaman manusia tentang makna prokreasi dan
seksualitas.
b. Gerakan feminisime dan hak gay : jika lelaki dan perempuan tidak saling melengkapi
dan berpengaruh secara generatif, maka bayi tidak harus hadir melalui persatuan ovum
dan sperma. Maka monogami yang diangggap sebagai tempat ideal terjadinya prokreasi
tidak akan terlalu dipandang dalam norma budaya kita. Untuk itu, kloning akan menjadi
pilihan terakhir: orang tua tunggal. Pemikiran ini mempertajam pemahaman tentang
kesetaraan gender.
c. Melalui kloning dihasilkan anak yang diinginkan. Ini menguji pemahaman umum
bahwa anak yang dilahirkan adalah anak yang diinginkan. Pemikiran semacam ini
digunakan untuk menentang aborsi dan kontrasepsi.

E. Etimologi dalam Kehidupan Seksualitas yang Menyangkut Norma dan Praktik


Budaya yang Menyimpang
Kata homoseksual adalah hasil penggabungan bahasa Yunani dan Latin dengan
elemen pertama berasal dari bahasa Yunani homos, 'sama' (tidak terkait dengan kata Latin
homo, 'manusia', seperti dalam Homo sapiens), sehingga dapat juga berarti tindakan
seksual dan kasih sayang antara individu berjenis kelamin sama, termasuk lesbianisme.
Dimana hubungan gay umumnya mengacu pada homoseksualitas laki-laki, tetapi dapat
digunakan secara luas untuk merujuk kepada semua orang LGBT. Dalam konteks
seksualitas, lesbian, hanya merujuk pada homoseksualitas seseorang.
Banyak panduan penulisan modern di Amerika Serikat menyarankan untuk tidak
menggunakan kata homoseksual sebagai kata benda, tapi menggunakan kata pria gay atau
lesbian. Demikian pula, beberapa norma dalam kehidupan seseorang maupun individu di
rekomendasikan untuk sepenuhnya menghindari penggunaan kata homoseksual karena
memiliki sejarah yang buruk dan karena kata tersebut hanya merujuk pada perilaku
seksual seseorang (berlawanan dengan perasaan romantis) dan dengan demikian memiliki
konotasi negatif.

3
F. Sejarah Homoseksual dalam Kehidupan Seksualitas yang Menyangkut Norma dan
Praktik Budaya yang Menyimpang
Kemunculan istilah homoseksual pertama kali ditemukan pada tahun 1869 dalam
sebuah pamflet Jerman tulisan novelis kelahiran Austria Karl-Maria Kertbeny yang
diterbitkan secara anonim, berisi perdebatan melawan hukum anti-sodomi Prusia.Pada
tahun 1879, Gustav Jager menggunakan istilah Kertbeny dalam bukunya, Discovery of The
Soul (1880). Pada tahun 1886, Richard von Krafft-Ebing menggunakan istilah
homoseksual dan heteroseksual dalam bukunya Psychopathia Sexualis. Buku Krafft-Ebing
begitu populer di kalangan baik orang awam dan kedokteran hingga istilah "heteroseksual"
dan "homoseksual" menjadi istilah yang paling luas diterima untuk orientasi seksual.
Dengan demikian, penggunaan istilah tersebut berakar dari tradisi taksonomi
kepribadian abad ke-19 yang lebih luas. Meskipun penulis awal juga menggunakan kata
sifat homoseksual untuk merujuk pada konteks sesama jenis (seperti sekolah khusus
perempuan), sekarang istilah ini digunakan secara eksklusif dalam referensi untuk daya
tarik seksual, aktivitas, dan orientasi. Istilah homososial sekarang digunakan untuk
menggambarkan konteks sesama jenis yang tidak secara khusus bersifat seksual. Ada juga
kata yang mengacu kepada cinta sesama jenis, homofilia.

G. Penggunaan Sinonim kata Homoseksual dalam Kehidupan Seksualitas yang


Menyangkut Norma dan Praktik Budaya yang Menyimpang
Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki atau LSL (digunakan di kalangan
medis ketika secara khusus membahas aktivitas seksual), homoerotis (mengacu pada karya
seni), heterofleksibel (mengacu pada orang yang mengidentifikasi diri sebagai
heteroseksual, tetapi terkadang terlibat dalam kegiatan seksual sesama jenis), dan
metroseksual (merujuk pada pria non-gay dengan selera stereotipe gay seperti makanan,
mode, dan desain). Istilah peyoratif dalam bahasa Inggris termasuk queer, faggot, fairy
(peri), poof, dan homo. Dimulai pada 1990-an, beberapa kata telah direklamasi sebagai
kata-kata positif untuk pria gay dan lesbian, seperti dalam penggunaan studi queer, teori
queer, dan bahkan program televisi populer Amerika Queer Eye for the Straight Guy. Kata
homo muncul dalam banyak bahasa lainnya tanpa konotasi penghinaan seperti dalam
bahasa Inggris. Namun, seperti penghinaan etnis dan penghinaan rasial, penyalahgunaan
istilah-istilah ini masih bisa sangat ofensif, kisaran penggunaan yang dapat diterima
tergantung pada konteks dan pembicara. Sebaliknya, gay, kata awalnya dipegang oleh pria

4
homoseksual dan wanita sebagai istilah positif afirmatif (seperti dalam pembebasan gay
dan hak-hak gay), telah meluas dalam penggunaan peyoratif di kalangan muda.

H. Orientasi Seksual, Identitas, Perilaku dalam Norma dan dalam Ruang Lingkup
Kehidupan Bersosial Budaya
American Psychological Association, American Psychiatric Association, dan
National Association of Social Workers menyatakan orientasi seksual "bukan hanya
karakteristik pribadi yang didefinisikan secara tersendiri. Malahan, orientasi seksual
seseorang ditentukan dengan siapa orang tersebut menemukan hubungan yang
memuaskan".
Orientasi seksual umumnya dibahas sebagai karakteristik individu, seperti jenis
kelamin biologis, identitas gender, atau usia. Perspektif ini tidak lengkap karena orientasi
seksual selalu didefinisikan dalam istilah relasional yang harus melibatkan hubungan
dengan orang lain. Tindakan seksual dan atraksi romantis dikategorikan sebagai
homoseksual atau heteroseksual sesuai dengan jenis kelamin biologis individu yang
terlibat di dalamnya dimana kebanyakan orang dalam ruang lingku masyarakat umum
kebanyalkan kurang dapat menerima keadaan tersebut di sekitaran mereka, dimana sesama
gender yang sama bersifat relatif satu sama lain.
Memang individu-individu mengungkapkan heteroseksualitas, homoseksualitas, atau
biseksualitas dengan tindakan atau keinginan mereka terhadap orang lain. Hal ini
mencakup tindakan-tindakan sederhana seperti berpegangan tangan atau berciuman. Jadi,
orientasi seksual secara integral terkait dengan hubungan personal seorang individu yang
dibentuk dengan individu lain untuk memenuhi kebutuhan akan cinta, ikatan, dan
keintiman tampa memikirkan social budaya dan norma-norma hukum di lingkungan
mereka.
Selain perilaku seksual, ikatan ini mencakup kasih sayang fisik non-seksual antara
pasangan, tujuan dan nilai-nilai bersama, sikap saling mendukung, dan komitmen
berkelanjutan antara sesama genders walaupun melangar kaidah dan norma-norma secara
agama.

5
I. Perkembangan identitas seksual Di Ruang Lingkup Budaya Masyarakat "proses
coming-out”
Dimana banyak orang yang merasakan ketertarikan kepada anggota jenis kelamin
sama memiliki fase "coming out" dalam kehidupan mereka. Umumnya, coming out
digambarkan dalam tiga fase. Fase pertama adalah fase "mengenali diri", dimana muncul
kesadaran seseorang untuk terbuka dengan suatu hubungan bahkan mulai mencoba keluar
melalui norma hukum suatu kebudayaan dengan menggambil suatu rasiko tampa disadari
ketika di mana sebagian orang mencoba hubungan sesama jenis. Fase ini sering
digambarkan sebagai coming out yang bersifat internal. Tahap kedua melibatkan
keputusan untuk terbuka kepada orang lain, misalnya keluarga, teman, atau kolega. Tahap
ketiga mencakup hidup secara terbuka sebagai orang LGBT yang pada umumnya identitas
hubungan yang mereka jalani tidak dapat di terima oleh masyarakat sekitar, norma yang
berlaku bahkan budaya maupun agama yang mereka anut.
Di Amerika Serikat keadaan seperti ini sering di temui dengan identitas sesual
"come out" di mana, seorang remaja usia sekolah menengah atas atau kuliah ketika
orientasi mereka tidak diterima di masyarakat. Terkadang keluarga mereka sendiri bahkan
tidak diberitahu.

J. Konstruksi sosial dan Norma Etika Homoseksual


Orientasi homoseksual bersifat kompleks dan multi-dimensi, beberapa akademisi
dan peneliti, terutama dalam studi Queer, berpendapat bahwa homoseksual adalah
konstruksi sejarah dan sosial. Pada tahun 1976 sejarawan Michel Foucault berpendapat
bahwa homoseksualitas sebagai identitas yang tidak ada pada abad ke-18. Orang-orang
pada masa itu berbicara tentang "sodomi" yang mengacu kepada tindakan seksualdalam
ruang lingkup merampas hak bela diri seseorang dan moral etika, sehingga sodomi saat itu
merupakan kejahatan yang sering diabaikan oleh beberapa orang yang berprilaku
menyimpang, sehingga mereka terkadang dijatuhi hukuman berat, karena di anggap orang
yang melanggar hukum itu merupakan orang yang berperilaku menyimpang yang kurang
memahami etika, dan peraturan-peraturan terhadap norma-norma kemanusian dan kurang
dapat menghargai struktur ikatan budaya social yang ada di suatu daerah atau negara
tertentu.

6
K. Pengendalian terhadap Ruang Lingkup Seksual yang mencangkup Norma – Norma
dan Prakik Sosial Budaya
1. Membuat norma – norma baru dalam luang kehidupan
Dimana dibuatnya norma – norma atau peraturan bagi setiap kelompok masyarakat atau
individu agar tidak adanya melakukan kejahatan seksual seperti halnya kekerasan dan
juga sodomi hingga menyebabkan penyelimpanagan sesual sesama jenis semangkin
meningkat dari tahun ke tahun.
2. Memperketat aturan Norma Budaya
Dimana suau budaya memulai menjelaskan mengenai penyelimpangan-
penyelimpangan dan hal apa saja yang akan terjadi apabila dilakukannya
penylimpangan, dan menjelaskan juga mengenai apa yang dilarang oleh Budaya
setempat maupun Agama yang diyakini sehingga menyadarkan sebagian orang agar
menghindari penyelimpangan tersebut.
3. Rehabilitasi bagi para homoseksual
Dimana peran masyarakat, keluarga, orang terdekat juga seperti sahabat maupun teman
memberikan support mendalam kepada pelaku homoseksual agar pelaku menyadari
kesalaan yang telah di lakukannya sedikit demi sedikit dan mencoba membantu
menyadarkan agar belajar untuk kembali menjadi manusia yang normal tampa
melakukan adanya penyimpangan social lagi dalam hubungan yang tidak semestinya,
yang melanggar norma hukum dan melanggar dari social budayayang telah tertanam
kuat di lingkungan atau Negara itu sendiri.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Seksualitas sebagai bagian pribadi semua orang yang terintegrasi dalam tatanan sosial.
Sementara individu mengalami seksualitasnya melalui kehidupan mereka dengan cara
yang bervariasi tergantung dengan faktior internal dan eksternal, hak asasi manusia yang
berhubungan dengan seksulitas, perlindungan dan promosi hak seksual seharusnya
menjadi bagian dari keberadaan keseharian semua individu di manapun.
      Hak-Hak Seksual sebagai hak manusia lainnya mungkin dapat menjadi subjek bagi
keterbatasan yang ditentukan oleh hukum sebagai tujuan dari perlindungan akan
penghargaan dan penghormatan bagi hak dan kemerdekaan bagi lainnya dan kesejahteraan
umum dalam lingkungan demokrasi, kesehatan masyarakat dan urutan publik, sesuai
dengan hukum hak asasi manusia. Keterbatasan harusnya tidak diskrimintif, penting dan
proporsional untuk pencapaian tujuan yang legitimate. Pelaksanaan Hak-hak seksual harus
membimbing kesadaran hubungan yang dinamis antara minat sosial dan pribadi,
pengakuan keberadaan pluralitas visi, dan kebutuhan untuk menjamin kesetaraan, harga
diri dan penghargaan akan keberbedaan.
Homoseksualitas bukanlah penyakit kejiwaan dan bukan penyebab efek psikologis
negatif. Namun merupakan suatu Prasangka terhadap kaum biseksual dan homoseksual
yang menyebabkan efek semacam itu. Meskipun begitu banyak sekte-sekte agama dan
organisasi "mantan-gay dan lesbi" serta beberapa asosiasi psikologi memandang bahwa
kegiatan homoseksual adalah dosa atau kelainan. Namun bertentangan dengan
pemahaman umum secara ilmiah homoseksual adalah berbagai sekte dan organisasi
homoseksual adalah sesuatu yang menggambarkan bahwa homoseksualitas yang
merupakan "pilihan" dari suatu kaum baik itu perorangan maupun kelompok yang bersifat
melanggar norma dan kultur adat mengenai hubungan mendasar yang bersifat normal
antara wanita dan pria.
Dengan demikian disimpulkan bahwa seorang homoseksual berpemikiran modern
dan individualisme manusia, diamana mereka masing- masing individu berusaha
membentuk diri masing-masing “not only as self-made man but also manmade selves”.
Manusia tidak lagi berpikir bahwa ia semata-mata ditentukan oleh tradisi dan nenek
moyangnya.

8
B. Saran
 Meningkatkan komunikasi yang lancer dengan sebutan sharing dapat membantu
sebagian orang homoseksual yang menyimpang untuk dapat menumbuhkan dan
menunjukkan hasrat manusia untuk mengontrol masa depannya dengan sebaik – baiknya
dari kontrol pribadi, sehingga manusia atau makhluk social tersebut tidak mudah untuk
kehilangan keterpesonaannya atas misteri alam dan kehidupan yang dijalanin
 Kita harus selektif dalam menghadapi segala budaya-budaya yang telah lama
berkembang dalam masyarakat
 .Budaya yang berkembang dalam masyarakat tidak selamanya merugikan bagi dunia
kesehatan ,adapula yang bermanfaat maka dari itu perlunya bagi kita untuk melestarikan
budaya-budaya yang bermanfaat dan memberikan dampak positif bagi masyarakat.
 Perbedaan budaya-budaya dalam masyarakat janganlah di jadikan sekat pemisah antar
masyarakat.
 Sebagai tenaga kesehatan yang langsung terjun ke masyarakat hendaknya kita
memperhatikan adat istiadat dan budaya yang berkembang di sekitar kita. Hal ini
bermanfaat bagi bidan untuk melakukan pendekatan kepada masyarakat sehingga
masyarakat dengan mudah percaya dan menerima apa yang diberikan oleh bidan. Karena
terkadang sebagai tenaga kesehatan, bidan mengalami kesulitan dalam memberikan
pelayanan yang bertentangan dengan adat istiadat dan budaya setempat.

Anda mungkin juga menyukai