Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seks dan manusia adalah sejarah panjang peradaban. Dalam mempertahankan
hidup, manusia tentu saja harus memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makanan, air,
keamanan, dan juga cinta dan seks. Seks adalah kata yang tidak asing, tetapi anehnya
seringkali seks justru terdengar sangat tabu dan sering dibahas dengan malu-malu,
serta berhati-hati. Pada perkembangannya agar seks dapat didiskusikan dengan bebas
terbuka, maka para ahli bahasa dan ilmuwan pun membuat seks menjadi ilmiah
dengan menambahkan akhiran -tas dan -logi menjadi seksualitas dan
seksologi.
Seksualitas mempunyai arti yang sangat luas, meliputi semua aspek yang
berhubungan dengan seks, seperti emosi, perasaan, orientasi, sikap, dan perilaku.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, seks sebenarnya mempunyai dua arti, yaitu
seks yang berarti jenis kelamin, dan seks yang berarti senggama atau melakukan
aktivitas seksual, yaitu hubungan penyatuan antara dua individu dalam konteks jenis
kelamin di atas. Perlu diketahui bahwa gender menunjukkan suatu status sosial atau
peran yang diberikan oleh masyarakat berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Jadi
berdasarkan pengertian ini, maka pemahaman mengenai seksualitas dan gender dapat
saja berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya, dan dapat berubah dalam kurun
waktu tertentu. Seks telah ada dan turut membentuk struktur kultural sepanjang

ii

peradaban manusia, oleh karena itu konsep seksualitas selalu dibentuk oleh sistem
kekeluargaan, perubahan ekonomi dan sosial, serta berbagai bentuk pengaturan sosial
yang berubah. (Jeffrey Weeks, 1987: 12-15)
Seks adalah hal pertama yang mendefinisikan manusia, dan aspek ini terus
mempengaruhi seseorang sepanjang hidupnya. Hal ini terlihat jelas saat manusia
memiliki kecenderungan untuk melihat diri dari segi jenis seks mereka, melebihi dari
sekian atribut identitas lainnya, seperti ras, kesukuan, kebangsaan, kelas, agama,
umur, pekerjaan. Seks menjadi salah satu identitas paling mendasar, yang mampu
mendefinisikan manusia secara pribadi, sosial, dan moral. (Suryakusuma, 1991: 1)
Pada masa sebelum Freud, manusia hanya memahami seks sebatas jenis kelamin
yang merupakan pemberian kekuatan supranatural, dan berada di luar discourse
manusia. Kemudian saat pengetahuan alam berkembang, seperti biologi, fisika, dan
psikoanalisa, dengan legitimasi ilmiah, seks baru mulai dipahami sebagai suatu yang
inheren dalam manusia. Pembedaan antara heteroseksual dan homoseksual, antara
pria dan wanita, dijelaskan secara ilmiah. Sedangkan seksualitas sebagai bidang studi
ilmu sosial boleh dikatakan baru muncul pada awal abad ke-20, melalui isu
konstruksi sosial atas seksualitas. Manusia mulai menyusun konsep seksualitas, dan
memahami bahwa dunia menciptakan sejarahnya sendiri, serta mulai mendefinisikan
dirinya. (Ismid Hadad, 1991, pengantar redaksi)
Dibalik pentingnya seksualitas dalam kehidupan manusia, hadir juga pandangan
curiga, bingung, jijik, dan bahkan takut, terhadap bahasan seksualitas. Di Indonesia,

iii

potensi seksual telah terintegrasi dalam serangkaian luas konteks sosial masyarakat,
mulai dari hubungan pedagogis ke ritus pubertas, kultus kesuburan, bahkan sampai
pada seprangkat sistem upacara adat dan juga agama. Dalam suatu budaya, hubungan
seksual bisa bermakna sebagai sumber kesenangan, dan kunci pada pemujaan seni
erotis, tetapi dalam budaya lainnya seks justru merupakan sumber bahaya, tabu, dan
aib. Hal ini membuat seksualitas selain bersifat relasional, juga merupakan suatu
kategori sosial, seperti hal nya, kelas, gender, dan agama, yang mampu memberi
seseorang status dan peran. Status dan peran ini tidak bisa dihindari dari pembahasan
sosial, yang kemudian memiliki implikasi tertentu, membatasi dan mengontrol
individu dalam masyarakat.
Permasalahan seksualitas dalam kehidupan sosial manusia berawal dari
pemahamanan manusia itu sendiri terhadap seksualitas. Salah satu permasalahan
seksualitas di Indonesia dan bahkan di dunia adalah masalah homoseksual. Menurut
catatan sejarah yang diteliti oleh Colin Spencer, homoseksualitas bukanlah soal yang
baru. Pada masyarakat tradisonal sekalipun, persoalan ini sudah muncul dan terus
berkembang semakin kompleks pada saat sekarang. Perilaku homoseksual mengacu
pada kegiatan atau perilaku seksual antara dua orang yang berjenis kelamin sama.
Homoseksual yang disingkat homo melibatkan individu, baik laki-laki maupun
perempuan yang memiliki orientasi homoseksualnya, sebagai kriteria pokok dalam
mendefinisikan identitasnya. Namun di Indonesia, kata homoseks hanya mengacu
kepada laki-laki homoseksual, sedangkan perempuan homoseksual lebih lazim

iv

disebut lesbian. Istilah-istilah ini kemudian cenderung menunjuk pada identitas diri,
seolah-olah perbuatan seksual atau orientasi seksual seseoraang merupakan
segala-galanya yang membentuk pribadinya.
Dalam konstruksi sosial masyarakat, orientasi dan kegiatan yang dianggap
tidak lazim diancam rasa bersalah bagi para pelakunya. Homoseksual yang selama
ini dianggap sebagai salah satu kegiatan seksual yang menyimpang. Diskriminasi dan
rasa bersalah ini lah yang kemudian ditanamkan pada diri homoseksual sehingga
mengakibatkan mereka memilih menutupi orientasi seksualnya, dan berlanjut hingga
jiwa mereka sebagai individu tertekan. Banyak pada akhirnya homoseksual yang
memilih untuk menjalani kehidupan ganda, memilih untuk menikah, memiliki anak,
secara terang-terangan menjadi heteroseksual, dan secara gelap sebagai homoseksual.
Dari data yang ArusPelangi kumpulkan pada tahun 2013 menyatakan bahwa
89.3% LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) di Indonesia pernah mengalami
kekerasan, dimana 79.1% dalam bentuk kekerasan psikis, 46.3% dalam bentuk
kekerasan fisik, 26.3% dalam bentuk kekerasan ekonomi, 45.1% dalam bentuk
kekerasan seksual, dan 63.3% dalam bentuk kekerasan budaya yang dialami LGBT di
Indonesia termasuk pengusiran dari rumah atau kos, dituntut untuk menikah, dan
dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak disukai; dan pelaku utama kekerasan
budaya adalah keluarga (76.4%) dan teman (26.9%). (Data Yayasan Arus Pelangi
2013)
Permasalah seksualitas bukanlah permasalahan yang baru muncul di abad

ke-21 ini. Permasalahan ini sebelumnya telah menyita perhatian beberapa pemikir
barat, salah satu nya yaitu seorang filsuf Perancis, yaitu Michel Foucalut. Foucault
adalah salah satu dari sekian banyak pemikir postmodernisme yang turut
menyumbangkan ide-ide kritisnya dalam sejarah pengetahuan manusia. Analisisnya
tentang sejarah, episteme, wacana, seksualitas, kekuasaan, dan pengetahuan
merupakan sumbangan khas Foucault dalam diskursus postmodernisme, sekaligus
dinilai turut memperteguh bangunan filsafat postmodernisme. Sebagai seorang
pemikir yang hidup pada awal abad ke-19, Foucault menggeluti banyak bidang yang
berbeda-beda, seperti sejarah, psikologi, sosiologi, ilmu kedokteran, dan kritik sastra
serta budaya. Namun yang menyatukan ragam pemikirannya adalah minatnya pada
isu kekuasaan dan bagaimana hal-hal tersebut bekerja. (Lydia Alix Filingham, 1993:
5-6)
Penelitian Michel Foucault mengenai seksualitas dan kekuasaan berkaitan erat
tentang bagaimana kekuasaan bergeser searah dengan dengan strategi yang
dikembangkan oleh wacana. Dalam perspektif ini, kekuasaan sebagai rezim wacana
dianggap mampu menggapai , menembus, dan mengontrol individu sampai pada
kenikmatan-kenikmatan yang paling intim. Caranya menggunakan metode melalui
wacana-wacana yang dirumuskan dalam bentuk penolakan dan pelarangan, namun
juga melalui rangsangan, rayuan, dan intensifikasi (teknik-teknik kekuasaan memiliki
banyak bentuk). (Foucault, 1976: 21)
Sejarah seksualitas bukan merupakan sejarah representasi seksualitas, melainkan

vi

sejarah aturan perilaku. Di dalam kehidupan sehari-hari percakapan tentang seks


sangat dibatasi, sedangkan wacana tentang seks bertambah banyak. Tiba-tiba seks
menjadi objek studi ilmiah, dan objek pengaturan yang saksama oleh banyak lembaga,
seperti sekolah, penjara, rumah sakit, dan rumah sakit jiwa. Semua wacana tersebut
pada akhirnya akan menghasilkan kebenaran-kebenaran mengenai seksualitas, untuk
mendefinisikan seks dan makna-makna budayanya, yang hal ini kemudian disebut
Foucault sebagai Scientia Seksualis. Bagi Foucault, ada banyak sekali wacana dalam
kehidupan manusia mengenai seks yang kemudian berkembang dan hadir sebagai
suatu bentuk dari kekuasaan.
Stanley Hall, seorang Bapak Psikologi remaja menjelaskan bahwa usia remaja
berada pada rentang usia 12-23 tahun. Pada usia ini, seseorang akan melewati masa
badai dan penuh tekanan (storm and stress) yang disebabkan karena terjadinya krisis
identitas/pencarian jati diri. Mahasiswa yang pada umumnya berusia 17-22 tahun
berada pada fase remaja akhir. Pada tahap tersebut, seorang remaja berada pada
proses mencapai kematangan, baik dari segi emosional, mental, seksual, dan fisik.
(Fagan, 2006: 326-333)
Salah satu cirinya ditandai dengan adanya hormon gonadotrofik yang diproduksi
oleh kelenjar hypothalamus yang kemudian menyebabkan munculnya perasaan saling
tertarik pada remaja pria dan wanita. Perasaan tertarik ini bisa meningkat pada
perasaan yang lebih tinggi yaitu cinta romantis (romantic love) yaitu luapan hasrat
kepada seseorang atau orang yang sering menyebutnya jatuh cinta. Pada tahap

vii

remaja akhir juga ditandai dengan telah matangnya organ-organ seksual pada remaja,
sehingga mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual. Problem tentang
seksual pada remaja biasanya berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan
seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh
dilakukan, adanya perasaan ketidaknormalan yang dialaminya berkaitan dengan
organ-organ reproduksi seperti pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan, aborsi.
(Santrock, 2003, Hurlock, 1991).
Michel Foucault, dalam bukunya Madness and Civilization, yang meneliti
tentang simbol-simbol yang diciptakan oleh relasi kuasa dengan pengetahuan,
menjelaskan bahwa praktek sosial menyediakan mekanisme yang memungkinkan
relasi kuasa beroperasi. Kuasa ada dimana-mana dan karena itu, kekuasaan bisa
ditemukan dalam segala bidang interaksi manusia: keluarga, politik, ekonomi, sosial,
agama, dan sebagainya. Bahkan Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan ada sampai
pada individu manusia, subjek dalam lingkup yang paling kecil. Kekuasaan menyebar
tanpa bisa dilokalisasi dan meresap ke dalam seluruh jalinan perhubungan sosial. Hal
ini yang kemudian memberi pengaruh besar pada mahasiswa yang berada fase remaja
akhir. Salah satu pengaruhnya yaitu pada cara mereka mengaktualisasikan dirinya
dalam orientasi dan perilaku seksual dalam lingkungan sosialnya. Hal ini disebabkan
karena kekuasaan tersebut beroperasi secara tak sadar dalam jaringan kesadaran
masyarakat, sehingga hadirnya anggapan benar dan salah, baik dan buruk, dalam
aktualisasi seksual seseorang. Homoseksual sebagai salah satu bagian dari orientasi

viii

seksual yang dianggap menyimpang kemudian ikut mendapat pengaruh dari adanya
relasi kekuasaan antara individu dengan lingkungannya
Berdasarkan hal ini, maka penulis akan meneliti dan membahas mengenai
kehidupan homoseksual dikalangan mahasiswa ditinjau dari teori seks dan kekuasaan
Michel Foucault, dengan mengambil data lapangan di salah satu universitas di daerah
Yogyakarta. Pemelihan tempat penelitian ini didasarkan pada kondisi Yogyakarta
sebagai daerah istimewa, yang tercermin dalam suasana harmonisasi antar manusia,
dengan alam semesta, dan dengan Sang Maha Pencipta, antara berbagai macam kutub
yang saling berlawanan terakomodasi di Yogyakarta, seperti ketegangan kreatif antara
modernitas dengan yang tradisional, antara yang pribumi dan asing, antara global dan
lokal, bahkan antara Islam dan non-Islam. Yogyakarta bisa disebut menjadi medan
rekonsiliatif. Disamping itu, Yogyakarta yang juga terkenal dengan predikat kota
pelajar tentu saja akan sangat membantu penulis untuk melakukan penelitian
lapangan untuk mengidentifikasi langsung mengenai kehidupan homoseksual
dikalangan mahasiswa.
Tidak hanya itu, dikalangan mahasiswa di Yogyakarta juga terdapat beberapa
komunitas homoseksual. Hal ini kemudian membuat adanya anggapan bahwa kaum
homoseksual tersebut sudah lebih berani untuk memperkenalkan diri sebagai
homoseksual, baik secara langsung maupun melalui dunia maya. Banyak terdapat
social

network

khusus

untuk

mengakses

perkumpulan-perkumpulan

kaum

homoseksual, seperti facebook khusus kaum homoseksual, chatting room khusus

ix

kaum homoseksual, dan masih banyak lagi situs-situs yang dikhususkan untuk
berkomunikasi antar kaum homoseksual.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada pembahasan latar belakang,
penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.

Bagaiamana Foucault mendeskripsikan dan menjelaskan mengenai


hubungan seks dan kekuasaan?

2.

Bagaimana kehidupan homoseksual dikalangan mahasiswa?

3.

Bagaimana persoalan mahasiswa homoseksual ditinjau dari perspektif


seks dan kekuasaan Foucault?

C. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran dan pengamatan mengenai karya-karya ilmiah di
lingkungan Fakultas Filsafat, di lingkungan Universitas Gadjah Mada, dan di
univeritas lainnya, penulis menemukan karya terkait dengan homoseksualitas yang
ditinjau dari perspektif seks dan kekuasaan Foucault, yaitu:
1.

C.F Suryo Laksono, 1985. Arkeologi Pengetahuan (Studi tentang


Epistemologi pada Filsafat Strukturalisme Michel Foucaulut). Skripsi.
Fakultas Filsafat. Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini membahas
mengenai ide Foucault tentang kematian manusia dan kedudukannya
dalam ilmu pengetahuan.

2.

Luqman Hakim, 2002. Konstruksi Pendasaran Diri Homoseksualitas


(studi dalam perspektif etika). Skripsi. Fakultas Filsafat. Universitas
Gadjah Mada. Skripsi ini berupa studi kasus mengenai pembelaan kaum
homoseksual dalam meneguhkan keberadaannya dan kedudukan
pandangan mereka, jika dilihat dari sudut pandang etika.

3.

Dewi Ayu Pratiwi, 2004. Drag Queen; Eksistensi Diri Kaum


Homoseksual di Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Filsafat. Universitas
Gadjah Mada. Skripsi ini berupa studi kasus mengenai Draq Queen,
yakni kaum homsoeksual yang berpakaian sebagai wanita dalam sebuah
pertunjukan.

4.

Abd. Azis Ramadhani, 2012. Homoseksual dalam perspektif Hukum


Pidana dan Hukum Islam. Suatu Studi Komparatif Normatif. Skripsi.
Fakultas Hukum. Universitas Hasanudin. Skripsi ini bertujuan untuk
mengetahui perbedaan perspektif antara Hukum Islam dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana tentang perilaku homoseksual serta
perbedaan sanksi antara Hukum Islam dan KUHP terhadap perilaku
tersebut.

5.

Gesti Lestari, 2012. Fenomena Homoseksual di Kota Yogyakarta.


Skripsi.

Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi

ini melakukan penelitian untuk mengetahui apa yang menjadi alasan


seseorang memilih jalan hidupnya sebagai homoseksual dan bagaimana

xi

pandangan masyarakat terhadap keberadaan homoseksual tersebut.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian mengenai homoseksualitas
di Indonesia ini adalah:
1.

Bagi penelitian
Penulis berharap penelitian ini dapat menjadi pemantik bagi peneliti
selanjutnya untuk meneliti permasalahan seksualitas dalam masyarakat,
terutama mengenai isu homoseksualitas, yang selama ini masih
dianggap tabu untuk didiskusikan.

2.

Bagi ilmu pengetahuan


Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman tentang
seksualitas secara umum, dan homoseksualitas secara khusus serta
kaitannya dengan kekuasaan. Di samping itu, penelitian ini diharapkan
mampu menguraikan teori seks dan kekuasaan Michel Foucault untuk
melihat dan menganalisis permasalahan homoseksualitas dikalangan
mahasiswa

3.

Bagi masyarakat
Penulis berharap penelitian ini mampu memberikan pandangan dan
informasi kepada masyarakat luas mengenai kehidupan homoseksual.
Dengan demikian, diharapkan terbentuknya pandangan dan sikap yang

xii

bijaksana dalam menghadapi isu homoseksualitas yang berkembang,


dengan menggunakan perspektif teori seks dan kekuasaan Michel
Foucault.
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab persoalan yang dikemukakan dalam
rumusan masalah, yaitu:
1.

Meneliti tentang kehidupan homoseksual dikalangan mahasiswa.

2.

Memaparkan secara rinci dan jelas mengenai pemikiran dan teori Michel
Foucault mengenai seks dan kekuasaan.

3.

Menganalisis dan merumuskan permasalahan kehidupan homoseksual di


kalangan mahasiswa jika ditinjau melalui perspektif seks dan kekuasaan
Foucault
F. Tinjauan Pustaka

Gary Greenberg (2007: 2) dalam essai nya yang berjudul Gay by Choice? The
Science of Sexual Identity menuliskan bahwa penggunaan kata homoseksual tercatat
pertama kali pada tahun 1869, oleh Karl-Maria Kertbeny. Kertbeny adalah seorang
penulis yang menyuarakan protesnya terhadap ketidakadilan negara yang saat itu
mengontrol seks konsensual antara laki-laki. Ia menganggap hal ini merupakan
bentuk dari pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia. Kertbeny berpendapat
bahwa secara alamiah terdapat 4 tipe seksualitas, yaitu monoseksual (melakukan
masturbasi), heterogenits (berhubungan seks dengan binatang), heteroseksual

xiii

(hubungan seksual dengan lawan jenis), dan homoseksual (ketertarikan dengan jenis
kelamin yang sama).
Tom Boellstorf (2005: 28) seorang antropolog berkebangsaan Amerika
memulai penelitiannya mengenai homoseksualitas di Indonesia sejak tahun 1992.
Dalam penelitian ini, Tom Boellstorf melakukan penelitian tentang kebudayaan dan
kehidupan sehari-hari orang gay Indonesia. Pada bukunya yang berjudul The Gay
Archipelago, Tom menjelaskan bahwa seksualitas selalu diciptakan dengan pengaruh
dari gender, bangsa, ras, kelas, dan banyak kategori sosial lainnya.
Colin Spencer (2004 : 1) dalam bukunya yang berjudul Sejarah
Homoseksualitas, menyebutkan bahwa aktivitas homoseksual dalam sejarah bisa
dibagi dalam tiga jenis yang berbeda, pertama adalah hubungan dengan jarak usia
yang berbeda, yaitu antara laki-laki dewasa dengan anak muda, seorang wanita
dewasa dengan seorang gadis. Jadi hubungan ini meliputi dimensi permulaan (inisiasi)
atau ritus peralihan dari masa muda menuju dunia orang yang dewasa. Kedua yakni
kasus hubungan non-egaliter dimana pasangan homoseks tidak dipengaruhi oleh
perbedaan kelas. Sedangkan yang terakhir yakni yang melintasi penghalang rasial.
Maka apa yang kemudian disebut homoseksualitas adalah peristiwa sosial yang
konstan dalam semua lapisan masyarakat.
Lebih lanjut Collin Spencer menjelaskan bahwa riset dan penelitiannya ini
menjelaskan bahwa pada Zaman Kuno aktivitas seksual tidak dibedakan antara orang
yang berjenis kelamin sama dengan yang berjenis kelamin berbeda, sehingga tida

xiv

terdapat kutukan terhadap bentuk seks apapun. Pada Zaman Renaisans, bahkan
sesudahnya, sodomi tidak pernah mengacu kepada apapun kecuali maskulin, dan
biseksualitas secara sosial yang cenderung masih dapat diterima. Namun
perlahan-lahan menjelang abad ke XVIII muncul perubahan tertentu, bahwa orang
mulai menganggap laki-laki yang cenderung menghargai seksnya sendiri adalah
kriminal dan banci, demikianlah maka lahir masyrakat yang homofobia. Alasan
perubahan ini bersifat kompleks sebab bersinggungan dengan mutasi-mutasi besar
sosial yang dimulai pada awal abad XVIII.
Suryakusuma (1991: 1) dalam tulisannya berjudul Kontruksi Sosial
Seksualitas, menuliskan bahwa seksualitas dapat diekspresikan melalui kontak fisik
langsung, tetapi bisa juga secara sugestif atau simulatif, sebagai contoh nya yaitu
seksualitas yang terpancar dalam tarian jaipongan, pertunjukan Madonna, atau
berbagai bentuk sendi rupa, film, bahkan sekedar cara bergerak seseorang. Dalam hal
yang lebih lanjut, kemudian dalam masyarakat luas norma ikut menentukan dan
mempengaruhi perilaku seksual, seperti adanya anggapan bahwa perempuan harus
perawan, sedangkan laki-laki dianjurkan untuk mencari pengalaman, laki-laki lebih
memiliki dorongan seksual yang dominan, sedangkan perempuan lebih cenderung
pasif dan reseptif. Tidak sampai disitu, kegiatan seksual yang tidak dalam kerangka
batasan sosial yang lazim pun akan diancam rasa bersalah, sehingga homoseks
dalam hal ini seolah-olah tidak mempunyai hak seksual.
Dede Oetomo (1991: 84-96) dalam tulisannya berjudul Homoseksualitas di

xv

Indonesia yang dimuat dalam majalah Prisma menulis bahwa homoseksualitas


mengacu pada rasa tertarik secara perasaan (kasih sayang/hubungan emosional)
ataupun secara erotik, baik secara predominan (lebih menonjol) maupun eksklusif
(semata-mata) terhadap orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa
hubungan fisik. Homoseksual dan heteroseksual bersifat not mutually exclusive,
maksudnya pada diri seseorang mungkin terdapat perasaan baik homoseksual maupun
heteroseksual, dengan perbandingan yang berbeda-beda. Perbandingan ini dapat
berubah-ubah bergantung pada konteks waktu dan suasana.
Masih dalam tulisan yang sama, Dede Oetomo menjelaskan bahwa
homoseksual mengacu pada orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang memiliki
orientasi homoseksualnya sebagai kriteria pokok dalam mendefinisikan identitasnya.
Meskipun di Indonesia kata homoseks oleh awam hanya dipakai untuk mengacu pada
laki-laki homoseksual, sedangkan perempuan homoseksual lebih lazim disebut
lesbian. Istilah-istilah ini kemudian cenderung mengacu pada identitas diri,
seoalah-olah perbuatan seksual atau orientasi seksual seseorang merupakan
segala-galanya yang membentuk pribadinya.

G. Landasan Teori
Penelitian mengengai kehidupan homoseksual dikalangan mahasiswa ini dapat
dimasukan dalam kajian teori sosial postmodernisme. Hal ini sesuai dengan semangat
postmodernisme yang diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk

xvi

narasi besar; penolakan terhadap filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk
pemikiran yang mentotalisasi, seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme.
Postmodernisme menolak pemikiran yang totaliter, dan menghaluskan kepekaan
manusia terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi terhadap
kenyataan yang tak terukur.
Michel Foucault adalah seorang pemikir post-modernisme yang mengkritik
modernitas tersebut, menolak grand naratives dengan mulai memberi tempat bagi
narasi narasi kecil, lokal, tersebar, dan beraneka ragam untuk untuk bersuara dan
menampakkan dirinya. Salah satu narasi kecil yang menarik perhatian Foucault
adalah mengenai institusi sosial, terutama psikiatri, kedokteran dan sistem penjara,
serta karya karyanya tentang riwayat seksualitas yang memiliki relasi dengan
kekuasaan, serta tidak terlepas dari narasi tentang seks menyimpang.
Pelaksanaan kekuasaan menurut Foucault, tidak pertama-tama melalui
kekerasan atau masalah persetujuan seperti yang dijelaskan oleh Hobbes dan Locke,
melainkan seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan
lain melalui rangsangan, rayuan, atau melalui paksaan, dan larangan. Kekuasan juga
tidak diawali oleh represi seperti yang dipercayai oleh Freud dan Reich, atau
pertarungan kekuatan yang digagas oleh Machiavelli, bahkan juga bukan fungsi
dominasi suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi atau manipulasi
ideologi seperti yang dipercayai Karl Marx. Bagi Foucault, kekuasaan harus dipahami
sebagai beragam dan banyaknya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada

xvii

bidang hubungan-hubungan tersebut dan organisasinya. Dan permainan kekuasaan


akan mampu mengubah, memperkuat, membalikkan hubungan-hubungan itu melalui
perjuangan dan pertarungan terus menerus. (Foucault, 1976: 121-122)
Jean-Louis Chevreau dalam bab pengantar buku History of Sexuality
menuliskan bahwa kekuasaan bukan sekedar apa yang dilarang, atau sesutu yang
berkata tidak, atau bahkan sesuatu yang mengucilkan. Hubungan antara seks dan
kekuasaan pada dasarnya tidak menindas. Pada kenyataannya, justru keduanya
menghasilkan suatu wacana tentang seksualitas yang terus menerus bertambah
banyak dan meluas, sesuai dengan semangat postmodernisme yang meberikan ruang
pada seks untuk terus berkembang.
Michel Foucault (Foucault 1976: 76) dalam bukunya History of Sexuality,
menjelaskan bahwa dalam seksualitas dibangun perlengkapan atau mesin yang
diperuntukan untuk memproduksi kebenaran, artinya wacana kekuasaan memiliki
fungsi untuk menampung atau menyembunyikan kebenaran. Seks kemudian tidak
hanya mengenai sensasi dan kenikmatan, atau hukum dan larangan, tetapi di dalam
seks juga dipertaruhkan masalah benar dan salah. Dan mengetahui apakah seks itu
benar atau berbahaya membuka peluang dominasi dalam interaksi kekuasaan yang
kemudian akan berubah menjadi narasi-narasi besar.
Foucault, masih dalam bukunya History of Sexuality jilid I, menegaskan
bahwa kekuasaan bertentangan dengan tafsiran kekuasaan sebagai asas pemersatu
atau sebagai asas yang terpancar dari satu sumber. Bagi Foucault, kekuasaan

xviii

berfungsi sebagai suatu model strategis yang canggih dalam masyarakat tertentu,
yang dibentuk dari kekuasaan-kekuasaan mikro yang terpisah-pisah. Foucault
mengartikan kuasa sebagai nama yang diberikan kepada situasi strategis yang rumit
dalam masyarakat tertentu. Kuasa tidaklah terpusat di satu titik, namun tersebar,
berpencar dan hadir dimana-mana. Ia beroperasi melalui hegemoni norma, teknologi,
politik, dan pembentukan tubuh-jiwa.
Seno Joko Suyono (2002 : 494) dalam bukunya yang berjudul Tubuh yang
Rasis mengatakan dalam pemikiran Foucault terdapat paradigma prasangka
prasangka bahwa seks adalah instinctual disturbance, penyebab laten segala
penyimpangan yang mungkin terjadi pada diri individu pasangan suami istri, anak,
dan keluarga. Uraian Foucault tersebut merupakan ujung dari pendapatnya di dalam
buku The History of Sexuality jilid I, bahwa seksualitas di zaman modern bukan
sesuatu yang natural given lagi, melainkan suatu bentuk kontruksi. Kemudian masih
dalam buku yang sama, Seno Joko Suyono menyimpulkan bahwa tubuh merupakan
tempat paling esensial untuk mengamati penyebaran dan beroperasinya kekuasaan
dalam masyarakat barat modern. Tubuh adalah tempat dimana praktek-praktek sosial
yang paling lokal dan mikro mempertatutkan dirinya dengan sirkulasi kekuasaan
impersonal dalam skala besar. Bahkan lebih jauh, tercapai suatu kejelasan bagaimana
suatu

tubuh

sampai

digolong-golongkan,

dikontitusi,

ditematisasikan,

dan

dimanipulasi oleh kekuasan.


Haryatmoko (2012: 2) dalam tulisannya yang berjudul Kekuasaan-

xix

Pengetahuan sebagai Rezim Wacana menjelaskan bahwa tubuh adalah sasaran


kekuasaan, dengan tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan, kepatuhan demi
produktivitas. Kekuasaan ingin membentuk individu-individu yang berdisiplin agar
menjadi tenaga yang produktif. Maka tekanan terhadap normalisasi dan pendisiplinan
tubuh menjadi bagian dari strategi kekuasaan dan kebenaran. Oleh karena itu,
kekuasaan kemudian membutuhkan format wacana yang mengatur hubungan
kekuasaan dan seks seperti larangan, sensor, atau penafikan.
Masih dalam tulisan yang sama, Haryatmoko menerangkan bahwa sejarah
seksualitas ingin membangun sejarah mengenai lembaga-lembaga yang terlibat dalam
memproduksi kebenaran dan perubahan-perubahan yang berlangsung dalam lembaga
tersebut. Maka kemudian orang berbicara tentang seks dari tempat dan sudut pandang
tertentu akan menunjukan sebarapa besar kepentingan yang terlibat. Hal ini kemudian
membuat rasa ingin tahu dapat dilokalisir untuk menentukan benar atau salah suatu
perilaku seksual. Oleh karena itu, kemudian banyak institusi yang memiliki
kepentingan untuk mengatur seks.
Wacana kebenaran tentang seks mengungkap cara bagaimana ingin tahu
tidak terlepas dari seks, sehingga ada banyak lembaga yang kemudian bekerja
mengatur kehidupan. Disiplin tubuh dan regulasi penduduk adalah cara lembaga
kekuasaan atas kehidupan berjalan. Tubuh menjadi mesin yang diarahkan ke
peningkatan kemampuan, perkembangan kegunaan, kepatuhan, integritas ke dalam
sistem pengawasan yang efektif fan ekonomis. Semua hal ini dijamin oleh prosedur

xx

kekuasaan yang ditandai dengan disipilin. Pada akhirnya tubuh diarahkan pada proses
biologis, kelahiran, kematian, tingkat kesehatan, harapan hidup, singkatnya mulai
mengarah pada biopolitik penduduk. Hidup menjadi bagian arena kontrol
pengetahuan dan campur tangan kekuasaan, tanggung jawab atas kehidupan memberi
akses kekuasaan masuk sampai pada tubuh. Tubuh adalah politik karena seks.
(Foucault 1976: 188)
Masih dalam bukunya History of Sexuality, Foucault menjelaskan bahwa
perlahan-lahan telah muncul spesifikasi baru individu-individu yang disebabkan oleh
perburuan terhadap seksualitas yang menyimpang dari aturan kekuasaan. Sodomi,
sebagaimana yang dikenal pada saat itu dalam hukum perdata ataupun hukum agama,
adalah salah satu jenis dari tindakan terlarang. Pada abad ke-19, homoseksual sudah
menjadi tokoh yang memiliki suatu masa lalu suatu kisah pengalaman dan suatu masa
kanak-kanak, suatu sifat, suatu gaya hidup, suatu morfologi, berikut anatomi yang
berani, dan mungkin fisiologi yang penuh misteri. Namun seksualitas tidak pernah
terpisahkan dari sosok homoseksual dan lebih merupakan kodrat khasnya daripada
kebiasaan yang mengandung dosa. (Foucault, 1976; 52)
H. Metode Penelitian
1.

Metode Penelitian
Berdasarkan buku Metode Penelitian Filsafat (Bakker dan Zubair,

1990) model yang diterapkan dalam penelitian ini adalah penelitian


pandangan filosofis di lapangan (model 4). Model ini dirasa sesuai dengan

xxi

objek material penelitian, yakni penelitian terhadap masalah aktual, dan


bersifat penelitian langsung di lapangan, yakni mengenai

kehidupan

homoseksual dikalangan mahasiswa. Hal ini berkaitan dengan pemahaman


yang mungkin telah terungkap secara fragmentaris, namun masih bersifat
implisit, sehingga masih tersembunyi dalam gejala-gejala hidup bersama.
Penelitian tentang kehidupan homoseksual ini menggunakan metode
penelitian filsafat fenomenologi, yang beranjak dari keberadaan kebenaran
fenomena yang tampak, namun sangat meyakini bahwa pada fenomena yang
tampak tersebut terdapat makna tersembunyi dan perlu untuk diungkap.
Disamping itu, setelah melakukan penelitian lapangan, akan dilanjutkan
pengolahan

data

dengan

menggunakan

metode

penelitian

sistematis-refleksif (model 5). Metode ini akan membantu peneliti untuk


melakukan analisis data yang telah didapatkan dalam penelitian lapangan.

2.

Bahan dan Materi Penelitian


Data Primer
a.

Foucault, Michel, 1997, Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan,


Gramedia, Pustaka Utama: Jakarta (judul asli La Volonte de Savoir,
Hostorie de la Sexualite, 1976, Gallimard: Paris)
Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini berupa buku, tulisan,

xxii

artikel, jurnal atau makalah, yang terkait dengan perkembangan


homoseksualitas di Indonesia dalam perspektif Michel Foucault. Data
sekunder tersebut antara lain :
a.

Alix Fillingham, Lydia, 1993, Foucault untuk Pemula. Kanisius:


Yogyakarta

b.

Suyono, Seno Joko, 2002, Tubuh yang Rasis, Pustaka Pelajar:


Yogyakarta.

c.

Spencer, Colin, 2004, Sejarah Homoseksualitas: dari Zaman Kuno


hingga Sekarang, Kreasi Wacana Offset: Yogyakarta.

d.

Boellstorf, Tom., 2009, The Gay Archipelago: Seksualitas dan


Bangaa di Indonesia, Q-Munity: Jakarta.

3.

Jalan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:


a. Pengumpulan data kepustakaan, yaitu mengumpulkan literatur yang
berkaitan dengan tema penelitian.
b. Penelitian di lapangan menggunakan metode kualitatif dengan sistem
wawancara langsung

dengan

5-10

orang

sample mahasiswa

homoseksual.
c. Pengolahan data, yaitu mengelompokkan data yang telah didapatkan
dari studi kepustakaan, dan dipadukan dengan data penelitian
lapangan pribadi, kemudian melakukan analisis terhadap data yang

xxiii

terkumpul.
d. Penyusunan hasil penelitian berdasarkan data yang diperoleh melalui
ketiga tahap sebelumnya, yang dilakukan secara sistematis, analitis,
serta melakukan verifikasi dan koreksi.
4.

Analisis Data
a. Interpretasi
Dilakukan interpretasi terhadap data penelitian lapangan dan
membaca fenomena-fenomenanya menggunakan konsepsi filosofis yang
paling dasar mengenai kehidupan homoseksual dikalangan homoseksual.
b. Induksi.
Dilakukan dalam pengumpulan data yang empiris, sesuai dengan
objeknya, untuk menemukan prinsip umum atau pandangan fundamental
yang

berhubungan

dengan

kehidupan

homoseksual

dikalangan

mahasiswa. Dalam proses ini, peniliti akan menerima kenyataan apa


adanya, namun tetap sekaligus melibatkan diri dalam pandangan hidup
dan konsepsi yang diselidiki (participant observation)
c. Koherensi internal
Pada

tahap

ini,

data

hasil

penelitian

diselidiki

kaitannya

menggunakan teori seks dan kekuasaan Michel Foucault, untuk


menyelidiki keselarasan dan keterkaitannya dengan teori tersebut.
d. Holistika

xxiv

Semua unsur pikiran dan konsepsi filosofis dilihat dalam


keseluruhan rangka, sehingga mampu memberikan makna definitif dan
refleksif terhadap kehidupan dan fenomena yang terjadi.
e. Heuristika
Berdasarkan data-data baru dan refleksif metodis yang telah
dilakukan, diusahakan dapat memperlihatkan pandangan baru mengenai
dinamika kehidupan homoseksual dikalangan mahasiswa.
f. Deskripsi
Pandangan hidup kelompok disajikan secara konkret, berdasarkan
kehidupan yang dijalani oleh mahasiswa homoseksual sehingga segala
dinamika kehidupan, pahit getir, penerimaan atau penolakan oleh
lingkungannya, dapat dirasakan secara menyeluruh bergerak dalam
deskripsi yang sistematis dan refleksif.
g. Refleksi peneliti pribadi

xxv

h. Peneliti akan memberikan konsepsi pribadi tentang kehidupan


homoseksual dikalangan mahasiswa sesuai dengan keaslian penelitian
pandangan hidup sample yang telah diteliti, menggunakan teori seks dan
kekuasaan Michel Foucault. Hal ini akan direfleksikan sesuai dengan
model penelitian sistematis-refleksif (model 5).
5.

Hasil yang Diharapkan


a.

Terumuskannya kehidupan homoseksual dikalangan mahasiswa


homoseksual di Yogyakarta.

b.

Terumuskannya pemikiran Michel Foucault mengenai teori seks dan


kekuasaan.

c.

Terumuskannya kehidupan homoseksual dikalangan mahasiswa


ditinjau melalui perspektif seks dan kekuasaan Foucault.
I.

Sistematika Penulisan

Penulisan dari penelitian ini terdiri dari lima bab, dengan perincian
masing-masing sebagai berikut:
BAB I berisi latar belakang masalah dilakukannya penelitian, rumusan
masalah yang hendak dijawab, keaslian penelitian, manfaat dan tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang
digunakan, hasil yang diperoleh, serta sistematika penulisan.
BAB II berisi tentang riwayat hidup, karya-karya Michel Foucault,
mengenai

teori seks dan kekuasaan, yang menjadi isu sentral pemikiran

xxvi

Michel Foucault.
BAB III berisi tentang uraian mengenai hasil penelitian kehidupan
homoseksual dikalangan mahasiswa berdasarkan wawancara
BAB IV berisi analisis kritis tentang kehidupan homoseksual dikalangan
mahasiswa dalam perspektif teori seks dan kekuasaan Michel Foucault
BAB V berisi kesimpulan yang merupakan ringkasan dari bab-bab
sebelumnya serta saran dari penulis sebagai rujukan bagi penelitian
selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai