PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seks dan manusia adalah sejarah panjang peradaban. Dalam mempertahankan
hidup, manusia tentu saja harus memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makanan, air,
keamanan, dan juga cinta dan seks. Seks adalah kata yang tidak asing, tetapi anehnya
seringkali seks justru terdengar sangat tabu dan sering dibahas dengan malu-malu,
serta berhati-hati. Pada perkembangannya agar seks dapat didiskusikan dengan bebas
terbuka, maka para ahli bahasa dan ilmuwan pun membuat seks menjadi ilmiah
dengan menambahkan akhiran -tas dan -logi menjadi seksualitas dan
seksologi.
Seksualitas mempunyai arti yang sangat luas, meliputi semua aspek yang
berhubungan dengan seks, seperti emosi, perasaan, orientasi, sikap, dan perilaku.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, seks sebenarnya mempunyai dua arti, yaitu
seks yang berarti jenis kelamin, dan seks yang berarti senggama atau melakukan
aktivitas seksual, yaitu hubungan penyatuan antara dua individu dalam konteks jenis
kelamin di atas. Perlu diketahui bahwa gender menunjukkan suatu status sosial atau
peran yang diberikan oleh masyarakat berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Jadi
berdasarkan pengertian ini, maka pemahaman mengenai seksualitas dan gender dapat
saja berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya, dan dapat berubah dalam kurun
waktu tertentu. Seks telah ada dan turut membentuk struktur kultural sepanjang
ii
peradaban manusia, oleh karena itu konsep seksualitas selalu dibentuk oleh sistem
kekeluargaan, perubahan ekonomi dan sosial, serta berbagai bentuk pengaturan sosial
yang berubah. (Jeffrey Weeks, 1987: 12-15)
Seks adalah hal pertama yang mendefinisikan manusia, dan aspek ini terus
mempengaruhi seseorang sepanjang hidupnya. Hal ini terlihat jelas saat manusia
memiliki kecenderungan untuk melihat diri dari segi jenis seks mereka, melebihi dari
sekian atribut identitas lainnya, seperti ras, kesukuan, kebangsaan, kelas, agama,
umur, pekerjaan. Seks menjadi salah satu identitas paling mendasar, yang mampu
mendefinisikan manusia secara pribadi, sosial, dan moral. (Suryakusuma, 1991: 1)
Pada masa sebelum Freud, manusia hanya memahami seks sebatas jenis kelamin
yang merupakan pemberian kekuatan supranatural, dan berada di luar discourse
manusia. Kemudian saat pengetahuan alam berkembang, seperti biologi, fisika, dan
psikoanalisa, dengan legitimasi ilmiah, seks baru mulai dipahami sebagai suatu yang
inheren dalam manusia. Pembedaan antara heteroseksual dan homoseksual, antara
pria dan wanita, dijelaskan secara ilmiah. Sedangkan seksualitas sebagai bidang studi
ilmu sosial boleh dikatakan baru muncul pada awal abad ke-20, melalui isu
konstruksi sosial atas seksualitas. Manusia mulai menyusun konsep seksualitas, dan
memahami bahwa dunia menciptakan sejarahnya sendiri, serta mulai mendefinisikan
dirinya. (Ismid Hadad, 1991, pengantar redaksi)
Dibalik pentingnya seksualitas dalam kehidupan manusia, hadir juga pandangan
curiga, bingung, jijik, dan bahkan takut, terhadap bahasan seksualitas. Di Indonesia,
iii
potensi seksual telah terintegrasi dalam serangkaian luas konteks sosial masyarakat,
mulai dari hubungan pedagogis ke ritus pubertas, kultus kesuburan, bahkan sampai
pada seprangkat sistem upacara adat dan juga agama. Dalam suatu budaya, hubungan
seksual bisa bermakna sebagai sumber kesenangan, dan kunci pada pemujaan seni
erotis, tetapi dalam budaya lainnya seks justru merupakan sumber bahaya, tabu, dan
aib. Hal ini membuat seksualitas selain bersifat relasional, juga merupakan suatu
kategori sosial, seperti hal nya, kelas, gender, dan agama, yang mampu memberi
seseorang status dan peran. Status dan peran ini tidak bisa dihindari dari pembahasan
sosial, yang kemudian memiliki implikasi tertentu, membatasi dan mengontrol
individu dalam masyarakat.
Permasalahan seksualitas dalam kehidupan sosial manusia berawal dari
pemahamanan manusia itu sendiri terhadap seksualitas. Salah satu permasalahan
seksualitas di Indonesia dan bahkan di dunia adalah masalah homoseksual. Menurut
catatan sejarah yang diteliti oleh Colin Spencer, homoseksualitas bukanlah soal yang
baru. Pada masyarakat tradisonal sekalipun, persoalan ini sudah muncul dan terus
berkembang semakin kompleks pada saat sekarang. Perilaku homoseksual mengacu
pada kegiatan atau perilaku seksual antara dua orang yang berjenis kelamin sama.
Homoseksual yang disingkat homo melibatkan individu, baik laki-laki maupun
perempuan yang memiliki orientasi homoseksualnya, sebagai kriteria pokok dalam
mendefinisikan identitasnya. Namun di Indonesia, kata homoseks hanya mengacu
kepada laki-laki homoseksual, sedangkan perempuan homoseksual lebih lazim
iv
disebut lesbian. Istilah-istilah ini kemudian cenderung menunjuk pada identitas diri,
seolah-olah perbuatan seksual atau orientasi seksual seseoraang merupakan
segala-galanya yang membentuk pribadinya.
Dalam konstruksi sosial masyarakat, orientasi dan kegiatan yang dianggap
tidak lazim diancam rasa bersalah bagi para pelakunya. Homoseksual yang selama
ini dianggap sebagai salah satu kegiatan seksual yang menyimpang. Diskriminasi dan
rasa bersalah ini lah yang kemudian ditanamkan pada diri homoseksual sehingga
mengakibatkan mereka memilih menutupi orientasi seksualnya, dan berlanjut hingga
jiwa mereka sebagai individu tertekan. Banyak pada akhirnya homoseksual yang
memilih untuk menjalani kehidupan ganda, memilih untuk menikah, memiliki anak,
secara terang-terangan menjadi heteroseksual, dan secara gelap sebagai homoseksual.
Dari data yang ArusPelangi kumpulkan pada tahun 2013 menyatakan bahwa
89.3% LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) di Indonesia pernah mengalami
kekerasan, dimana 79.1% dalam bentuk kekerasan psikis, 46.3% dalam bentuk
kekerasan fisik, 26.3% dalam bentuk kekerasan ekonomi, 45.1% dalam bentuk
kekerasan seksual, dan 63.3% dalam bentuk kekerasan budaya yang dialami LGBT di
Indonesia termasuk pengusiran dari rumah atau kos, dituntut untuk menikah, dan
dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak disukai; dan pelaku utama kekerasan
budaya adalah keluarga (76.4%) dan teman (26.9%). (Data Yayasan Arus Pelangi
2013)
Permasalah seksualitas bukanlah permasalahan yang baru muncul di abad
ke-21 ini. Permasalahan ini sebelumnya telah menyita perhatian beberapa pemikir
barat, salah satu nya yaitu seorang filsuf Perancis, yaitu Michel Foucalut. Foucault
adalah salah satu dari sekian banyak pemikir postmodernisme yang turut
menyumbangkan ide-ide kritisnya dalam sejarah pengetahuan manusia. Analisisnya
tentang sejarah, episteme, wacana, seksualitas, kekuasaan, dan pengetahuan
merupakan sumbangan khas Foucault dalam diskursus postmodernisme, sekaligus
dinilai turut memperteguh bangunan filsafat postmodernisme. Sebagai seorang
pemikir yang hidup pada awal abad ke-19, Foucault menggeluti banyak bidang yang
berbeda-beda, seperti sejarah, psikologi, sosiologi, ilmu kedokteran, dan kritik sastra
serta budaya. Namun yang menyatukan ragam pemikirannya adalah minatnya pada
isu kekuasaan dan bagaimana hal-hal tersebut bekerja. (Lydia Alix Filingham, 1993:
5-6)
Penelitian Michel Foucault mengenai seksualitas dan kekuasaan berkaitan erat
tentang bagaimana kekuasaan bergeser searah dengan dengan strategi yang
dikembangkan oleh wacana. Dalam perspektif ini, kekuasaan sebagai rezim wacana
dianggap mampu menggapai , menembus, dan mengontrol individu sampai pada
kenikmatan-kenikmatan yang paling intim. Caranya menggunakan metode melalui
wacana-wacana yang dirumuskan dalam bentuk penolakan dan pelarangan, namun
juga melalui rangsangan, rayuan, dan intensifikasi (teknik-teknik kekuasaan memiliki
banyak bentuk). (Foucault, 1976: 21)
Sejarah seksualitas bukan merupakan sejarah representasi seksualitas, melainkan
vi
vii
remaja akhir juga ditandai dengan telah matangnya organ-organ seksual pada remaja,
sehingga mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual. Problem tentang
seksual pada remaja biasanya berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan
seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh
dilakukan, adanya perasaan ketidaknormalan yang dialaminya berkaitan dengan
organ-organ reproduksi seperti pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan, aborsi.
(Santrock, 2003, Hurlock, 1991).
Michel Foucault, dalam bukunya Madness and Civilization, yang meneliti
tentang simbol-simbol yang diciptakan oleh relasi kuasa dengan pengetahuan,
menjelaskan bahwa praktek sosial menyediakan mekanisme yang memungkinkan
relasi kuasa beroperasi. Kuasa ada dimana-mana dan karena itu, kekuasaan bisa
ditemukan dalam segala bidang interaksi manusia: keluarga, politik, ekonomi, sosial,
agama, dan sebagainya. Bahkan Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan ada sampai
pada individu manusia, subjek dalam lingkup yang paling kecil. Kekuasaan menyebar
tanpa bisa dilokalisasi dan meresap ke dalam seluruh jalinan perhubungan sosial. Hal
ini yang kemudian memberi pengaruh besar pada mahasiswa yang berada fase remaja
akhir. Salah satu pengaruhnya yaitu pada cara mereka mengaktualisasikan dirinya
dalam orientasi dan perilaku seksual dalam lingkungan sosialnya. Hal ini disebabkan
karena kekuasaan tersebut beroperasi secara tak sadar dalam jaringan kesadaran
masyarakat, sehingga hadirnya anggapan benar dan salah, baik dan buruk, dalam
aktualisasi seksual seseorang. Homoseksual sebagai salah satu bagian dari orientasi
viii
seksual yang dianggap menyimpang kemudian ikut mendapat pengaruh dari adanya
relasi kekuasaan antara individu dengan lingkungannya
Berdasarkan hal ini, maka penulis akan meneliti dan membahas mengenai
kehidupan homoseksual dikalangan mahasiswa ditinjau dari teori seks dan kekuasaan
Michel Foucault, dengan mengambil data lapangan di salah satu universitas di daerah
Yogyakarta. Pemelihan tempat penelitian ini didasarkan pada kondisi Yogyakarta
sebagai daerah istimewa, yang tercermin dalam suasana harmonisasi antar manusia,
dengan alam semesta, dan dengan Sang Maha Pencipta, antara berbagai macam kutub
yang saling berlawanan terakomodasi di Yogyakarta, seperti ketegangan kreatif antara
modernitas dengan yang tradisional, antara yang pribumi dan asing, antara global dan
lokal, bahkan antara Islam dan non-Islam. Yogyakarta bisa disebut menjadi medan
rekonsiliatif. Disamping itu, Yogyakarta yang juga terkenal dengan predikat kota
pelajar tentu saja akan sangat membantu penulis untuk melakukan penelitian
lapangan untuk mengidentifikasi langsung mengenai kehidupan homoseksual
dikalangan mahasiswa.
Tidak hanya itu, dikalangan mahasiswa di Yogyakarta juga terdapat beberapa
komunitas homoseksual. Hal ini kemudian membuat adanya anggapan bahwa kaum
homoseksual tersebut sudah lebih berani untuk memperkenalkan diri sebagai
homoseksual, baik secara langsung maupun melalui dunia maya. Banyak terdapat
social
network
khusus
untuk
mengakses
perkumpulan-perkumpulan
kaum
ix
kaum homoseksual, dan masih banyak lagi situs-situs yang dikhususkan untuk
berkomunikasi antar kaum homoseksual.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada pembahasan latar belakang,
penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
C. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran dan pengamatan mengenai karya-karya ilmiah di
lingkungan Fakultas Filsafat, di lingkungan Universitas Gadjah Mada, dan di
univeritas lainnya, penulis menemukan karya terkait dengan homoseksualitas yang
ditinjau dari perspektif seks dan kekuasaan Foucault, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
xi
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian mengenai homoseksualitas
di Indonesia ini adalah:
1.
Bagi penelitian
Penulis berharap penelitian ini dapat menjadi pemantik bagi peneliti
selanjutnya untuk meneliti permasalahan seksualitas dalam masyarakat,
terutama mengenai isu homoseksualitas, yang selama ini masih
dianggap tabu untuk didiskusikan.
2.
3.
Bagi masyarakat
Penulis berharap penelitian ini mampu memberikan pandangan dan
informasi kepada masyarakat luas mengenai kehidupan homoseksual.
Dengan demikian, diharapkan terbentuknya pandangan dan sikap yang
xii
2.
Memaparkan secara rinci dan jelas mengenai pemikiran dan teori Michel
Foucault mengenai seks dan kekuasaan.
3.
Gary Greenberg (2007: 2) dalam essai nya yang berjudul Gay by Choice? The
Science of Sexual Identity menuliskan bahwa penggunaan kata homoseksual tercatat
pertama kali pada tahun 1869, oleh Karl-Maria Kertbeny. Kertbeny adalah seorang
penulis yang menyuarakan protesnya terhadap ketidakadilan negara yang saat itu
mengontrol seks konsensual antara laki-laki. Ia menganggap hal ini merupakan
bentuk dari pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia. Kertbeny berpendapat
bahwa secara alamiah terdapat 4 tipe seksualitas, yaitu monoseksual (melakukan
masturbasi), heterogenits (berhubungan seks dengan binatang), heteroseksual
xiii
(hubungan seksual dengan lawan jenis), dan homoseksual (ketertarikan dengan jenis
kelamin yang sama).
Tom Boellstorf (2005: 28) seorang antropolog berkebangsaan Amerika
memulai penelitiannya mengenai homoseksualitas di Indonesia sejak tahun 1992.
Dalam penelitian ini, Tom Boellstorf melakukan penelitian tentang kebudayaan dan
kehidupan sehari-hari orang gay Indonesia. Pada bukunya yang berjudul The Gay
Archipelago, Tom menjelaskan bahwa seksualitas selalu diciptakan dengan pengaruh
dari gender, bangsa, ras, kelas, dan banyak kategori sosial lainnya.
Colin Spencer (2004 : 1) dalam bukunya yang berjudul Sejarah
Homoseksualitas, menyebutkan bahwa aktivitas homoseksual dalam sejarah bisa
dibagi dalam tiga jenis yang berbeda, pertama adalah hubungan dengan jarak usia
yang berbeda, yaitu antara laki-laki dewasa dengan anak muda, seorang wanita
dewasa dengan seorang gadis. Jadi hubungan ini meliputi dimensi permulaan (inisiasi)
atau ritus peralihan dari masa muda menuju dunia orang yang dewasa. Kedua yakni
kasus hubungan non-egaliter dimana pasangan homoseks tidak dipengaruhi oleh
perbedaan kelas. Sedangkan yang terakhir yakni yang melintasi penghalang rasial.
Maka apa yang kemudian disebut homoseksualitas adalah peristiwa sosial yang
konstan dalam semua lapisan masyarakat.
Lebih lanjut Collin Spencer menjelaskan bahwa riset dan penelitiannya ini
menjelaskan bahwa pada Zaman Kuno aktivitas seksual tidak dibedakan antara orang
yang berjenis kelamin sama dengan yang berjenis kelamin berbeda, sehingga tida
xiv
terdapat kutukan terhadap bentuk seks apapun. Pada Zaman Renaisans, bahkan
sesudahnya, sodomi tidak pernah mengacu kepada apapun kecuali maskulin, dan
biseksualitas secara sosial yang cenderung masih dapat diterima. Namun
perlahan-lahan menjelang abad ke XVIII muncul perubahan tertentu, bahwa orang
mulai menganggap laki-laki yang cenderung menghargai seksnya sendiri adalah
kriminal dan banci, demikianlah maka lahir masyrakat yang homofobia. Alasan
perubahan ini bersifat kompleks sebab bersinggungan dengan mutasi-mutasi besar
sosial yang dimulai pada awal abad XVIII.
Suryakusuma (1991: 1) dalam tulisannya berjudul Kontruksi Sosial
Seksualitas, menuliskan bahwa seksualitas dapat diekspresikan melalui kontak fisik
langsung, tetapi bisa juga secara sugestif atau simulatif, sebagai contoh nya yaitu
seksualitas yang terpancar dalam tarian jaipongan, pertunjukan Madonna, atau
berbagai bentuk sendi rupa, film, bahkan sekedar cara bergerak seseorang. Dalam hal
yang lebih lanjut, kemudian dalam masyarakat luas norma ikut menentukan dan
mempengaruhi perilaku seksual, seperti adanya anggapan bahwa perempuan harus
perawan, sedangkan laki-laki dianjurkan untuk mencari pengalaman, laki-laki lebih
memiliki dorongan seksual yang dominan, sedangkan perempuan lebih cenderung
pasif dan reseptif. Tidak sampai disitu, kegiatan seksual yang tidak dalam kerangka
batasan sosial yang lazim pun akan diancam rasa bersalah, sehingga homoseks
dalam hal ini seolah-olah tidak mempunyai hak seksual.
Dede Oetomo (1991: 84-96) dalam tulisannya berjudul Homoseksualitas di
xv
G. Landasan Teori
Penelitian mengengai kehidupan homoseksual dikalangan mahasiswa ini dapat
dimasukan dalam kajian teori sosial postmodernisme. Hal ini sesuai dengan semangat
postmodernisme yang diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk
xvi
narasi besar; penolakan terhadap filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk
pemikiran yang mentotalisasi, seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme.
Postmodernisme menolak pemikiran yang totaliter, dan menghaluskan kepekaan
manusia terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi terhadap
kenyataan yang tak terukur.
Michel Foucault adalah seorang pemikir post-modernisme yang mengkritik
modernitas tersebut, menolak grand naratives dengan mulai memberi tempat bagi
narasi narasi kecil, lokal, tersebar, dan beraneka ragam untuk untuk bersuara dan
menampakkan dirinya. Salah satu narasi kecil yang menarik perhatian Foucault
adalah mengenai institusi sosial, terutama psikiatri, kedokteran dan sistem penjara,
serta karya karyanya tentang riwayat seksualitas yang memiliki relasi dengan
kekuasaan, serta tidak terlepas dari narasi tentang seks menyimpang.
Pelaksanaan kekuasaan menurut Foucault, tidak pertama-tama melalui
kekerasan atau masalah persetujuan seperti yang dijelaskan oleh Hobbes dan Locke,
melainkan seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan
lain melalui rangsangan, rayuan, atau melalui paksaan, dan larangan. Kekuasan juga
tidak diawali oleh represi seperti yang dipercayai oleh Freud dan Reich, atau
pertarungan kekuatan yang digagas oleh Machiavelli, bahkan juga bukan fungsi
dominasi suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi atau manipulasi
ideologi seperti yang dipercayai Karl Marx. Bagi Foucault, kekuasaan harus dipahami
sebagai beragam dan banyaknya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada
xvii
xviii
berfungsi sebagai suatu model strategis yang canggih dalam masyarakat tertentu,
yang dibentuk dari kekuasaan-kekuasaan mikro yang terpisah-pisah. Foucault
mengartikan kuasa sebagai nama yang diberikan kepada situasi strategis yang rumit
dalam masyarakat tertentu. Kuasa tidaklah terpusat di satu titik, namun tersebar,
berpencar dan hadir dimana-mana. Ia beroperasi melalui hegemoni norma, teknologi,
politik, dan pembentukan tubuh-jiwa.
Seno Joko Suyono (2002 : 494) dalam bukunya yang berjudul Tubuh yang
Rasis mengatakan dalam pemikiran Foucault terdapat paradigma prasangka
prasangka bahwa seks adalah instinctual disturbance, penyebab laten segala
penyimpangan yang mungkin terjadi pada diri individu pasangan suami istri, anak,
dan keluarga. Uraian Foucault tersebut merupakan ujung dari pendapatnya di dalam
buku The History of Sexuality jilid I, bahwa seksualitas di zaman modern bukan
sesuatu yang natural given lagi, melainkan suatu bentuk kontruksi. Kemudian masih
dalam buku yang sama, Seno Joko Suyono menyimpulkan bahwa tubuh merupakan
tempat paling esensial untuk mengamati penyebaran dan beroperasinya kekuasaan
dalam masyarakat barat modern. Tubuh adalah tempat dimana praktek-praktek sosial
yang paling lokal dan mikro mempertatutkan dirinya dengan sirkulasi kekuasaan
impersonal dalam skala besar. Bahkan lebih jauh, tercapai suatu kejelasan bagaimana
suatu
tubuh
sampai
digolong-golongkan,
dikontitusi,
ditematisasikan,
dan
xix
xx
kekuasaan yang ditandai dengan disipilin. Pada akhirnya tubuh diarahkan pada proses
biologis, kelahiran, kematian, tingkat kesehatan, harapan hidup, singkatnya mulai
mengarah pada biopolitik penduduk. Hidup menjadi bagian arena kontrol
pengetahuan dan campur tangan kekuasaan, tanggung jawab atas kehidupan memberi
akses kekuasaan masuk sampai pada tubuh. Tubuh adalah politik karena seks.
(Foucault 1976: 188)
Masih dalam bukunya History of Sexuality, Foucault menjelaskan bahwa
perlahan-lahan telah muncul spesifikasi baru individu-individu yang disebabkan oleh
perburuan terhadap seksualitas yang menyimpang dari aturan kekuasaan. Sodomi,
sebagaimana yang dikenal pada saat itu dalam hukum perdata ataupun hukum agama,
adalah salah satu jenis dari tindakan terlarang. Pada abad ke-19, homoseksual sudah
menjadi tokoh yang memiliki suatu masa lalu suatu kisah pengalaman dan suatu masa
kanak-kanak, suatu sifat, suatu gaya hidup, suatu morfologi, berikut anatomi yang
berani, dan mungkin fisiologi yang penuh misteri. Namun seksualitas tidak pernah
terpisahkan dari sosok homoseksual dan lebih merupakan kodrat khasnya daripada
kebiasaan yang mengandung dosa. (Foucault, 1976; 52)
H. Metode Penelitian
1.
Metode Penelitian
Berdasarkan buku Metode Penelitian Filsafat (Bakker dan Zubair,
xxi
kehidupan
data
dengan
menggunakan
metode
penelitian
2.
xxii
b.
c.
d.
3.
Jalan Penelitian
dengan
5-10
orang
sample mahasiswa
homoseksual.
c. Pengolahan data, yaitu mengelompokkan data yang telah didapatkan
dari studi kepustakaan, dan dipadukan dengan data penelitian
lapangan pribadi, kemudian melakukan analisis terhadap data yang
xxiii
terkumpul.
d. Penyusunan hasil penelitian berdasarkan data yang diperoleh melalui
ketiga tahap sebelumnya, yang dilakukan secara sistematis, analitis,
serta melakukan verifikasi dan koreksi.
4.
Analisis Data
a. Interpretasi
Dilakukan interpretasi terhadap data penelitian lapangan dan
membaca fenomena-fenomenanya menggunakan konsepsi filosofis yang
paling dasar mengenai kehidupan homoseksual dikalangan homoseksual.
b. Induksi.
Dilakukan dalam pengumpulan data yang empiris, sesuai dengan
objeknya, untuk menemukan prinsip umum atau pandangan fundamental
yang
berhubungan
dengan
kehidupan
homoseksual
dikalangan
tahap
ini,
data
hasil
penelitian
diselidiki
kaitannya
xxiv
xxv
b.
c.
Sistematika Penulisan
Penulisan dari penelitian ini terdiri dari lima bab, dengan perincian
masing-masing sebagai berikut:
BAB I berisi latar belakang masalah dilakukannya penelitian, rumusan
masalah yang hendak dijawab, keaslian penelitian, manfaat dan tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang
digunakan, hasil yang diperoleh, serta sistematika penulisan.
BAB II berisi tentang riwayat hidup, karya-karya Michel Foucault,
mengenai
xxvi
Michel Foucault.
BAB III berisi tentang uraian mengenai hasil penelitian kehidupan
homoseksual dikalangan mahasiswa berdasarkan wawancara
BAB IV berisi analisis kritis tentang kehidupan homoseksual dikalangan
mahasiswa dalam perspektif teori seks dan kekuasaan Michel Foucault
BAB V berisi kesimpulan yang merupakan ringkasan dari bab-bab
sebelumnya serta saran dari penulis sebagai rujukan bagi penelitian
selanjutnya.