h. Zoophilia
Merupakan kelainan dimana orang akan senang dan
terangsang melihat hewn melakukan hubungan seks dengan hewan.
Hewan tersebut disetubuhi atau dilatih untuk merangsang secara
seksual orang yang bersangkutan. Dasar penyebabnya karena
kekurangan untuk melakukan hubungan seks dengan manusia. Hewan
lebih dipandang rendak, lebih mudah dikuasai dan dikendalikan
sehingga kepuasan terasa sempurna. (Fachry, 1986: 26)
i. Geronthopiliia
Geronthopiliia adalah suatu perilaku penyimpangan seksual
dimana sang pelaku jatuh cinta dan mencari kepuasan seksual kepada
orang yang sudah berusia lanjut. Kasus Geronthopilia mungkin jarang
terdapat dalam masyarakat karena umumnya si penderita malu untuk
berkonsultasi kepada pakar seksual, dan tidak jarang mereka adalah
anggota masyarakat biasa yang juga memiliki keluarga serta dapat
menjalankan tugas-tugas hidupnya secara normal. (Brook, 2001: 119)
j. Urophilia/Urophagia
Urophilia/Urophagia : merupakan orientasi seksual dimana
penderita sangat terobsesi dengan urine. Urophilia adalah kelainan
orientasi seksual dimana kepuasan seksual dapat diperoleh melalui
tindakan aktif seperti mengkencingi atau pasif seperti dikencingi (maaf,
saya sulit menemukan padanan kata dalam bahasa Indonesia yang
lebih sopan). Urophagia adalah tindakan meminum urine baik diri
sendiri ataupun orang lain. Urophagia bukanlah kelainan orientasi
seksual bila ditujukan untuk pengobatan alternatif. Tindakan meminum
atau mengkonsumsi urine menjadi suatu kelainan orientasi seksual bila
tindakan tersebut dimotivasi oleh orientasi yang bersifat seksual.
Konsumsi kadang juga dilakukan oleh segelintir orang untuk alasan
kesehatan. (Anonim, 2015)
k. Coprophilia/Coprophagia
Coprophilia/Coprophagia adalah kelainan orientasi seksual yang
berhubungan dengan obsesi terhadap kotoran (lebih tepatnya : feses).
Persis dengan urophilia dan urophagia, maka coprophagia memiliki
definisi yang hampir serupa, yaitu kelainan orientasi seksual dimana
kepuasan seksual didapatkan melalui feses, atau konsumsi feses.
Memang menjijikan, namun ada banyak penderita coprophilia dan
coprophagia di dunia. ( Anonim, 2015)
2. Kelainan Seksual pada Caranya
a. Sadisme
Definisi tentang sadisme seksual yang ada dalam beberapa
literatur adalah, seseorang yang memperoleh kepuasan seksual
apabila melakukan atau mengadakan penyiksaan terhadap
pasangannya. Baik secara fisik, seperti pukulan (dengan anggota
tubuh pelaku atau dengan benda-benda keras), jambakan, cubitan,
cekikan, tendangan, sampai dengan penggunaan benda-benda tajam.
Maupun bentuk penyiksaan secara psikis, seperti umpatan, bentakan
dengan kata-kata kasar, hinaan, serta ancaman (Kartono, 1989: 26).
b. Masokisme
Masokisme seksual merupakan kebalikan dari sadisme seksual.
Seseorang sengaja membiarkan dirinya disakiti atau disiksa untuk
memperoleh kepuasan seksual. Hal ini karena yang bersangkutan
membutuhkan derita yang lebih besar untuk mencapai kepuasan
seksual atau orgasme.
Masokisme seringkali dapat dikenali sebagai suatu kelanjutan
dari sadisme yang diarahkan kepada diri sendiri setelah mengambil
alih kedudukan objek seksual. Analisis klinis dari kasus-kasus
masokistik ekstrim menunjukkan adanya jalinan faktor-faktor besar
yang diperlukan dan menentukan prilaku seksual yang pasif
(kompleks, pengebirian, rasa bersalah). (Freud, 2003 : 29-30)
c. Sadomasokisme
Sadomasokisme adalah cara memperoleh kenikmatan seksual
dari tindakan yang melibatkan pemberian dan penerimaan rasa sakit
atau rasa malu.19 Sadomasokisme merupakan gabungan dari
sadisme seksual dan masokisme seksual yang melibatkan 2 orang
dalam aktivitas seksual. Disebut sebagai sadomasokisme karena ada
orang yang melakukan peran sebagai seorang yang sadistis (yang
memberikan rasa sakit) serta ada yang berperan sebagai masokistis
(yang menikmati rasa sakit). Namun tidak jarang pasangan yang
berperilaku sadomasokisme sering bertukar peran. Pada satu
kesempatan, suami yang berperan sebagai orang yang memberikan
rasa sakit (sadistis), sedangkan di kesempatan yang lain suami
berperan sebagai orang yang menikmeti rasa sakit (masokistis).
(Halgin, 2007: 223)
d. Exhibisionisme
Penderita ekshibisionisme akan memperoleh kepuasan
seksualnya dengan memperlihatkan alat kelamin mereka kepada
orang lain yang sesuai dengan kehendaknya. Bila korban terkejut, jijik
dan menjerit ketakutan, ia akan semakin terangsang. Kondisi seperti
ini biasanya diderita pria, dengan memperlihatkan alat kelaminnya
yang dilanjutkan dengan masturbasi hingga ejakulasi, pada kasus
penyimpangan seksual terdapat pula penderita tanpa rasa malu
menunjukkan alat genitalnya kepada orang lain sekedar untuk
menunjukkannya dengan rasa bangga. (Brook, 2001: 97)
e. Fetishisme
Fatishi berarti sesuatu yang dipuja. Jadi pada penderita
fetishisme, aktivitas seksualnya disalurkan melalui bermasturbasi
dengan BH (breast holder), celana dalam, kaos kaki, atau benda lain
yang dapat meningkatkan hasrat atau dorongan seksual. Sehingga,
orang tersebut mengalami ejakulasi dan mendapatkan kepuasan.
Namun, ada juga penderita yang meminta pasangannya untuk
mengenakan benda-benda favoritnya, kemudian melakukan hubungan
seksual yang sebenarnya dengan pasangannya tersebut dalam hal ini
orientasi seksual diarahkan pada objek kebendaan di sekitar si
penderita. (Brook, 2001: 108)
f. Hiperseks / Hypersexuality
Hiperseks atau hypersexuality merupakan penyimpangan
seksual ditandai dengan tingginya keinginan untuk melakukan
hubungan seksual dan sulitnya mengontrol keinginan seks. Orang
yang mengalami hiperseks memang susah disembuhkan tetapi bukan
berarti tak mungkin. Terlebih kasus itu banyak lebih berkaitan dengan
masalah kejiwaan, ketimbang masalah fisik. Seseorang yang tergolong
pecandu seks adalah orang yang memiliki kelainan dorongan seksual,
dan tidak bisa mengendalikan hasrat tersebut. Dari segi kejiwaan, ada
beberapa sebab yang bisa menimbulkan seseorang yang tergolong
pecandu seks adalah orang yang memiliki kelainan dorongan seksual
dan tidak bisa mengendalikan hasrat tersebut.(Prita, 2008)
g. Voyeurisme
Istilah voyeurisme (scoptophila) berasal dari bahasa Prancis
yang artinya mengintip. Penderita kelainan ini akan memperoleh
kepuasan seksual dengan cara mengintip atau melihat orang lain
sedang telanjang, mandi atau bahkan berhubungan seksual. Setelah
melakukan kegiatan mengintip, penderita tidak melakukan kegiatan
lebih lanjut terhadap korban yang diintip. Ejakulasinya dilakukan
dengan cara bermasturbasi setelah atau selama mengintip korbannya.
Dengan kata lain, kegiatan mengintipnya sebagai rangsangan seksual
untuk memperoleh kepuasan. (Kartono, 1989: 269)
h. Sodomi
Sodomi adalah penyimpangan seksual yang dialami oleh pria
yang suka berhubungan seksual melalui organ anal atau dubur
pasangan seksual baik pasangan sesama jenis (homo) maupun
dengan pasangan perempuan. (Anonim, 2004 :5)
i. Frotteurisme
Frotteurisme merupakan bentuk kelainan seksual dimana
seorang lelaki mendapatkan kepuasan seksual dengan cara
menggesekkan atau menggosokkan alat kelaminnya ke tubuh korban
di tempat publik. (Anonim, 2004: 5)
3. Faktor-faktor Pemicu Penyimpangan Seksual
Penyimpangan-penyimpangan kelainan seksual ini sangat erat
kaitannya dengan penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial adalah
perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan
yang ada di dalam masyarakat. Setiap individu memiliki latar belakang
yang berbeda-beda sehingga menghasilkan perilaku yang berbeda pula.
a. Kesenjangan Sosial
Perbedaan status yang mengarah pada kesenjangan sosial,
terutama antara orang kaya dengan orang miskin yang sangat mencolok,
dapat menimbulkan rasa iri dan dengki sehingga terjadi tindak pencurian,
pembunuhan, dan saling ejek.
b. Nilai dan Norma yang Terlalu Longgar
Seharusnya para perilaku menyimpang haruslah dibina. Namun
ada beberapa masyarakat yang membiarkan begitu saja perilaku
menyimpang itu terjadi. Mungkin karena masyarakat terlalu sibuk dengan
rutinitas atau sudah lelah membina pelaku perilaku menyimpang tersebut.
Sehingga dia semakin menyimpang dari masyarakat. (Sasrawan, 2015)
c. Lingkungan Pergaulan
Pergaulan secara tidak langsung sangat mempengaruhi perilaku
seseorang. Jika tanpa pengetahuan dan kesadaran yang cukup,
seseorang mudah terpengaruh oleh kelompok pergaulannya yang kerap
kali menyimpang. Akibatnya ia juga ikut berbuat perilaku yang
menyimpang.
d. Ketidakpuasan
Ada beberapa individu atau kelompok yang merasa tidak puas
dengan kondisi masyarakat saat ini. Sehingga mereka perlu melakukan
perubahan walaupun yang mereka lakukan itu menyimpang dari norma
masyarakat tersebut. Misalnya ada satu kelompok masyarakat ya ng anti
terhadap pendidikan dan menganggap semua orang yang mengikuti
pendidikan adalah orang yang menyimpang.
5. Ketidaksanggupan Menyerap Norma-Norma
Orang yang tidak sanggup menyerap norma-norma yang ada di
dalam masyarakat akan tidak mampu membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk menurut masyarakat. Hal tersebut terjadi akibat proses
sosialisasi yang tidak sempurna atau terjadi keretakan dalam keluarga.
e. Penyalahgunaan Narkotika
Orang yang tidak pernah melakukan penyimpangan sosial, jika
diberi narkotika (narkoba dan obat-obat terlarang), maka ia akan
mengalami penyimpangan sosial. Itu dikarenakan sifat aditif narkotika
yang membuat para pecandunya rela melakukan apa saja untuk
mendapatkan narkotika.
f. Sikap Mental
Sikap mental yang tidak pernah malu membuat kesalahan juga
menjadi pemicu seseorang berbuat hal yang menyimpang. Jika sikap
mental ini diarahkan ke hal yang positif, maka dia bisa saja
menjadi pemimpin yang hebat.
g. Keluarga
Keluarga yang tidak mampu membahagiakan anaknya juga dapat
membuat anak tersebut mengalami penyimpangan sosial. Itu dikarenakan
ia berusaha mencari sumber kebahagiaan dan kasih sayang yang lain.
Anak juga akan mencari perhatian dengan cara berbuat hal yang tidak
baik.
h. Intelegensi
Intelegensi atau tingkat kecerdasan juga mempengaruhi perilaku
seseorang. Biasanya orang yang memiliki keterbelakangan mental
cenderung berbuat hal-hal yang menyimpang. Sebaiknya jika orang
tersebut cerdas, maka ia akan lebih mudah memahami norma-norma
yang berlaku di masyarakat.
i. Media Massa
Media massa juga dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Ada
beberapa media massa yang cenderung provokatif dan menebar
kebencian. Akibatnya dia terjerumus dan berusaha untuk membasmi
orang/kaum yang ia benci. Perbuatan tersebut seringkali menyimpang dari
norma.
j. Proses Belajar yang Menyimpang
Seseorang yang terlalu sering belajar dengan tokoh idolanya yang
kerap melakukan hal yang menyimpang, maka ia akan terjerumus dan
terinspirasi untuk melakukan hal yang sama. Buku yang isinya
menyimpang juga dapat menjerumus seseorang.
k. Sosialisasi Subkebudayaan yang Menyimpang
Hal ini terjadi ketika budaya luar masuk ke dalam masyarakat lokal
dan beberapa kebudayaan luar tersebut menyimpang dengan norma yang
ada pada masyarakat lokal. Salah satu contohnya adalah budaya secks
bebas dan kata-kata kasar.
l. Keinginan Untuk Dipuji
Banyak sekali orang yang memiliki sikap gila pujian. Terutama
mereka yang kurang mendapat perhatian dan pujian dari keluarga. Dia
rela berbuat apa saja supaya dipuji oleh kelompoknya meskipun
menyimpang. Misalnya, ada sebuah kelompok yang suka merokok dan
satu orang yang tidak merokok, orang tersebut kurang mendapat
perhatian dari keluarganya, sehingga ia merokok untuk mendapatkan
pujian dari kelompoknya tersebut.
m. Ketegangan Antara Kebudayaan dan Struktur Sosial
Terjadinya ketegangan antara kebudayaan dan struktur sosial
dapat meyebabkan terjadinya perilaku menyimpang. Ketegangan terjadi
jika seseorang berupaya mencapai suatu tujuan namun tidak memperoleh
peluang sehingga ia akan mengupayakan peluang itu sendiri dengan cara
yang menyimpang. Contohnya adalah jika setiap penguasa sama saja
menindas rakyat maka rakyat akan berani memberontak terhadap
penguasa. Ada yang memberontak dengan cara perlawanan dan ada pula
yang terselubung seperti menunggak atau mempermainkan pajak.
n. Ikatan Sosial yang Berlainan
Setiap orang biasanya berhubungan dengan beberapa kelompok
yang berbeda. Hubungan tersebut akan membuat seseorang lama-
kelamaan akan mengidentifikasikan diri dengan kelompok yang paling
dihargainya. Jika perilaku kelompok tersebut menyimpang, maka
kemungkinan besar ia juga terjerumus ke dalam penyimpangan sosial
tersebut.
o. Labelling
Pemberian labelling atau julukan negatif pada seseorang yang
walaupun hanya sekali melakukan tindakan menyimpang juga dapat
memberikan dampak buruk. Ia merasa terganggu dengan label barunya
tersebut dan cenderung akan mengulanginya lagi karena sudah terlanjur.
Misalnya jika seseorang ketahuan mencuri, maka dia akan dicap pencuri
oleh masyarakat, padahal ia hanya sekali melakukan pencurian.
(Sasrawan, 2015)
DAFTAR PUSTAKA