dan Transgender)
1. Lesbianisme
Lesbianisme dari kata Lesbos = pulau di tengah Lautan Egeis yang pada zaman kuno
dihuni oleh para wanita. Homoseksualitas di kalangan wanita disebut
cinta lesbis atau lesbianism (Kartono, 1989: 249).Pada umumnya, cinta homoseksual
wanita (lesbianisme) itu sangat mendalam, dan lebih hebat daripada cinta heteroseksual,
sungguhpun pada relasi lesbian tersebut sering tidak diperoleh kepuasan seksual
yang wajar.cinta lesbian tadi biasanya juga lebih hebat-ganas daripada cinta homoseksual
di antara kaum pria. Elemen erotic dan nafsu-nafsu dahsyat yang bergelora pada cinta
lesbian itu pada umumnya jauh lebih intensif daripada nafsu heteroseksual.Biasanya
peristiwa perversi heteroseksual (perversi = salah bentuk) berupa lesbianism itu akan
mengarah pada bentuk yang patologis. Gejala perversi tadi antara lain disebabkan karena
:
1. Wanita yang bersangkutan terlalu mudah menjadi jenuh dalam relasi heteroseksual
dengan suaminya atau seorang pria.
2. Tidak pernah merasakan orgasme.
Bisa juga disebabkan oleh pengalaman traumatis dari wanita yang bersangkutan
dengan seorang pria atau suami yang kejam, sehingga timbul rasa benci dan antipasti
terhadap setiap laki-laki. Lalu ia lebih suka melakukan relasi seks dan hidup bercinta
dengan seorang wanita lain. Jadi, relasi heteroseksual tersebut tidak bisa membuat pribadi
wanita tadi menjadi bahagia, sehingga dia ingin melakukan relasi seks dengan seorang
wanita sebagai kompensasi dari rasa tidak bahagia.
Manifestasi lesbianism yang sangat khas ialah kedua partner wanita itu selalu
berganti peranannya yaitu secara bergantian memainkan peran sebagai laki-laki dan
peranan wanita. Biasanya yang melakukan peranan seorang pria bersikap maskulin, aktif
dan sadis, sedangkan partnernya yang memainkan peranan wanita bersikap pasif-
masokhistis feminine. Pemuasan seksual pada cinta lesbian biasanya berlangsung secara
oral (dengan mulut) dan melalui alat kelamin bagian luar. Namun, ada kalanya salah
seorang memakai alat “celana atau gordel atau sabuk yang “berpenis”. Lalu kedua partner
itu berganti-gantian memainkan peranan sebagai laki-laki. (Kartono, 1989: 241-250)
2. Homoseksual (Gay)
Homoseksualitas ialah relasi seks dengan jenis kelamin yang sama atau rasa tertarik
dan mencintai jenis seks yang sama. Jumlah pria yang homoseksual itu diperkirakan 3-4
kali lebih banyak dari pada jumlah wanita homoseksual.
Penjara dan asrama-asrama putra. Tempat para pemuda dan kaum pria yang berdiam
terpisah dari kaum wanita, banyak menelorkan peristiwa homoseksual. Juga relasi
heteroseks (seks dengan lain jenis kelamin) yang tidak memuaskan dan meninggalkan
bekas-bekas pengalaman yang traumatis, banyak mendorong seseorang mencari
pengalaman relasi homoseks.
Homoseksualitas pada pria bisa berlangsung dengan jalan memanipulasikan alat
kelamin partnernya dengan memasukkan penis ke dalam mulut, dan menggunakan bibir,
lidah dan mulut untuk menggelitik.
Ada oral erotism oral = segala sesuatu yang berkaitan dengan mulut). Stimulasi oral pada
penis disebut fellatio (fellare = mengisap). Sedang stimuli oral pada vagina disebut
cunnilingus (cunnilinctus ; cunnus = vulva, linquere = menjilat).
Cara lain ialah bergantian melakukan senggama melalui dubur, jadi ada anal erotism
(anal = segala sesuatu yang berhubungan dengan anus atau dubur). Anal erotisme disebut
pula sebagai analisme seks atau sodomi. Intercourse seksualitas atau senggama melalui
anus yang dilakukan terhadap anak laki-laki atau pemuda cilik, disebut pederasty
(paiderastia = cinta pada anak laki-laki). Bisa juga senggama dilakukan dengan jalan
interfemoral coitus. Yaitu memanipulasikan zakar disela-sela celah atau ruangan di
antara kedua paha. (Kartono, 1989: 247-249)
3. Biseksual
4. Transgender
Gambar di atas contohnya, adalah orang yang berpakaian sebagai wanita, tetapi ia
menunjukan tanda pada tangannya bahwa ia memiliki kromosom XY. Hal ini berarti ia
terlahir sebagai pria. ( Harish, 2003: 105)
1. Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang muncul karena adanya dorongan dan kemauan
dari individu itu sendiri. Pribadi manusia dapat dipengaruhi oleh sesuatu, karena itu ada
usaha untuk membentuk pribadi, membentuk watak atau mendidik watak seseorang.
Sejak dahulu diketahui bahwa pribadi tiap individu tumbuh atas dua kekuatan, yaitu
kekuatan dari dalam, yang sudah dibawanya sejak lahir atau bisa disebut juga dengan
kemampuan dasar dan kemampuan dari luar, yang diterima dan dipelajari individu dari
keadaan sekitarnya dia berada. Adapun faktor tersebut diantaranya:
a. Aspek Biologis
Perkembangan biologis merupakan salah satu bentuk ciri-ciri perubahan pada remaja
yang nampak dari luar, sehingga secara langsung perubahan yang terjadi dapat dilihat
oleh orang lain. Dari hal tersebut tentunya akan memiliki dampak apabila remaja yang
mengalami perubahan pada fisiknya atau alat seksualnya (biologis) yang tidak terkontrol
dengan baik. Hal ini dapat memancing pemikiran negatif seseorang terhadap remaja yang
menyalah gunakan perubahan pada alat seksualnya (biologis). Penelitian telah pun dibuat
apakah itu terkait dengan genetika, ras, ataupun hormon. Seorang homoseksual memiliki
kecenderungan untuk melakukan homoseksual karena mendapat dorongan dari dalam
tubuh yang sifatnya menurun/genetik. Penyimpangan faktor genetika dapat diterapi secara
moral dan secara religius.[2] Bagi golongan transgender misalnya, karakter laki-laki dari
segi suara, fisik, gerak gerik dan kecenderungan terhadap wanita banyak dipengaruhi oleh
hormon testeron. Jika hormon testeron seseorang itu rendah, ia bias mempengaruhi
perilaku laki-laki tersebut mirip kepada perempuan.
Di alam medis, pada dasarnya kromosom laki-laki normal adalah XY, sedangkan
perempuan normal pula adalah XX. Bagi beberapa orang laki-laki itu memiliki genetik
XXY. Dalam kondisi ini, laki-laki tersebut memiliki satu lagi kromosom X sebagai
tambahan. Justru, perilakunya agak mirip dengan seorang perempuan (S.Hassan, 2011:
35).
Perilaku LGBT ini telah ada sejak remaja. Masa remaja merupakan masa dimana
seorang anak mulai dihadapkan pada realita kehidupan. Pada saat inilah jiwa seoarang
remaja mengalami peralihan dari jiwa kekanak-kanakan kearah pendewasaan. Dalam
masa peralihan ini tentunya akan banyak mengalami peristiwa baru yang selama ini
belum pernah dialami pada masa sebelumnya. Peralihan keadaan inilah yang dapat
memicu timbulnya dorongan untuk mencoba hal-hal baru yang selama ini belum pernah
mereka coba, tentunya tanpa pemikiran yang matang tentang akibat-akibat yang bisa
ditimbulkan karena keterbatasan pemikiran pada usia dewasa. Sarwono (dalam Darmasih
2009:13) yang menjelaskan bahwa motivasi adalah dorongan bertindak untuk memuaskan
suatu kebutuhan, dorongan dalam motivasi diwujudkan dalam bentuk tindakan. Dalam
hal ini perilaku seks menyimpang antara perempuan dan perempuan melakukan hubungan
seks (Lesbian) dengan tujuan untuk menjaga keutuhan hubungan yang telah mereka jalin
bersama dengan pasangan masing-masing. Anggapan mereka bahwa dengan melakukan
seks dapat menjaga keutuhan hubungan merupakan hal yang keliru. Tetapi pendapat
tersebut justru mereka tolak, karena adanya ledakan perasaan yang berlebihan kepada
pasangan mereka. Hal ini yang membuat kedua informan tidak bisa berpikir secara logika
bahwa apa yang telah mereka lakukan merupakan hal yang salah. Keadaan tersebut sesuai
dengan pendapat Darmasih (2009:32) yang menjelaskan bahwa apabila orang- orang yang
terlibat saling mencintai ataupun saling terikat menganggap bahwa hubungan seks
sebelum menikah dianggap “benar”.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar individu, yang dapat
mendorong mahasiswa untuk melakukan seks bebas. Dalam hal ini dapat dikemukakan
beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi fenomena yang terjadi, diantaranya :
a. Aspek Keluarga
Di dalam keluarga jelas dibutuhkan adanya komunikasi terutama orang tua dengan
anak-anaknya, karena hal tersebut dapat memberikan kehangatan dan hubungan yang
baik antara orang tua dan anak. Dengan adanya komunikasi orang tua dapat memahami
kemauan dan harapan anak, demikian pula sebaliknya. Sehingga akan tercipta adanya
saling pengertian dan akan sangat membantu di dalam memecahkan atau mencari jalan
keluar dari persoalan yang dihadapi anaknya. Komunikasi merupakan hal yang penting
dalam keluarga, karena dengan komunikasi dalam suatu keluarga terlihat adanya
interaksi, hubungan yang akrab antar keluarga. Berbeda halnya ketika seorang anak
berada pada keluarga yang kurang adanya komunikasi antara orang tua dengan anak. Hal
ini dapat mengakibatkan anak akan merasa kesepian di dalam keluarga. Kartono
(1988:286) yang menjelaskan bahwa keluarga memiliki pengaruh yang luar biasa
besarnya dalam pembentukan watak dan kepribadian anak. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Taris dan Senim yang berpendapat bahwa remaja yang tidak memiliki hubungan
erat dan pengawasan dengan orang tua cenderung terlibat dalam hubungan seksual
pranikah.
Pengalaman atau trauma di masa anak-anak misalnya: Dikasari oleh ibu/ayah hingga
si anak beranggapan semua pria/perempuan bersikap kasar, bengis dan panas bara yang
memungkinkan si anak merasa benci pada orang itu. Predominan dalam pemilihan
identitas yaitu melalui hubungan kekeluargaan yang renggang. Bagi seorang lesbian
misalnya, pengalaman atau trauma yang dirasakan oleh para wanita dari saat anak-anak
akibat kekerasan yang dilakukan oleh para pria yaitu bapa, kakaknya maupun saudara
laki-lakinya. Kekerasan yang dialami dari segi fisik, mental dan seksual itu membuat
seorang wanita itu bersikap benci terhadap semua pria. Selain itu, bagi golongan
transgender faktor lain yang menyebabkan seseorang itu berlaku kecelaruan gender
adalah sikap orang tua yang idamkan anak laki-laki atau perempuan juga akan
mengakibatkan seorang anak itu cenderung kepada apa yang diidamkan. (Ameenah &
Zafar, 2003:85)
b. Aspek Pergaulan
Bagi remaja seorang teman merupakan suatu kebutuhan, sehingga terkadang teman
dianggap sebagai “orang tua kedua” bagi remaja. Dorongan untuk memiliki teman dan
membentuk suatu kelompok juga dapat dipandang sebagai usaha agar tidak tergantung
dengan orang yang lebih dewasa atau sebagai tindakan nyata dalam interaksi sosial. Maka
didalam lingkungan pergaulan remaja selalu kita temukan adanya kelompok teman
sebaya. Pergaulan dengan teman sebaya dapat membawa seseorang kearah positif dan
negatif. Aspek positifnya adalah tersedianya saluran aspirasi, kreasi, pematangan
kemampuan, potensi dan kebutuhan lain sebagai output pendidikan orang tua dan
potensinya. Akan tetapi jika yang dimasukinya adalah lingkungan yang buruk maka akan
mendorong mereka kepada hal negatif. Pergaulan dengan teman sebaya yang di dalamnya
terdapat keakraban dan adanya intensitas pertemuan yang tinggi dapat memberikan
pengaruh terhadap individu lain di dalam kelompok tersebut. A. Islami (2012: 22-23)
menjelaksan bahwa dengan adanya ikatan secara emosional dalam kehidupan peer group
akan mendapatkan berbagai manfaat dan pengaruh yang besar bagi individu yang berada
dalam kelompok tersebut. Misalnya timbul rasa penasaran dan keinginan untuk mencoba
kebiasaan yang dilakukan oleh salah satu individu dalam kelompok tersebut. Hal tersebut
akan berdampak positif ketika individu di dalam kelompok pergaulan meniru kebiasaan
yang dilakukan oleh salah satu teman kelompoknya yang melakukan perbuatan positif.
Berbeda halnya ketika individu tersebut meniru perbuatan yang negatif dari salah satu
teman di dalam kelompoknya, maka kemungkinan besar individu tersebut akan meniru
perbuatan negatif dari temannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Adamassasmita (dalam
A.Islami 2012:69) yang menjelaskan bahwa remaja yang terlibat dengan tingkah laku
delinquent akan mengarah kepada tingkah laku delinquent yang dibawa oleh teman-teman
sebayanya. Keadaan ini disebabkan karena tingkat keakraban yang dekat dan intensitas
pertemuan yang tinggi.
Dampak yang ditimbulkan oleh media massa bisa beraneka ragam diantaranya,
misalnya terjadinya perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial atau nilai-nilai
budaya yang ada. Pengaruh media massa baik televisi, majalah, handphone dan internet
sering kali di salah gunakan oleh kaum remaja dalam berperilaku sehari-hari, misalnya
saja remaja yang sering melihat tontonan kebudayaan barat, mereka melihat perilaku seks
itu menyenangkan dan dapat diterima dilingkungannya. Kemudian dari hal tersebutlah
kaum remaja mulai mengimitasikan pada pola kehidupan mereka sehari-hari. Adanya
dorongan dan motivasi dari film barat yang mereka tonton bersama menimbulkan
tindakan untuk mencotoh apa yang telah mereka anggap sebagai perwujudan rasa
romantis dalam mengungkapkan cinta dan sayang kepada pasangannya. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Jones dalam Singarimbun (1997:210) yang menjelaskan bahwa
media massa seperti film, musik, bacaan dan televisi telah mengajarkan kepada mereka
bahwa seks itu romantis, merangsang dan menggairahkan.
Kesehatan mental dalam versi psikatri adalah terhindarnya orang dari gejala-gejala
gangguan jiwa (neurosis) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psikosis). (Daradjat, 1988:
11)
ODMK berbeda dengan ODGJ. ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) adalah orang
yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi
dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta
dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai
manusia.
Kajian homoseksualitas memiliki arah baru dengan kehadiran Sigmund Freud (1856-
1939) dan pengikutnya dengan pendekatan psikoanalisis. Freud menawarkan pendekatan
yang tidak berdasarkan asumsi degeneracy theory yang berkaitan erat dengan
Darwinisme. Psikoanalisis yang ia bangun menawarkan pandangan baru tentang
homoseksualtias. Di dalam karyanya Three Essays on the Theory of Sexuality Freud
menyatakan bahwa manusia pada dasarnya biseksual, apabila ia gagal berkembang
karena masalah psiko-seksual, maka ia akan menjadi seorang homoseksual. Ia
menjadikan sifat feminin pada para pelacur laki-laki sebagai bukti penguat argumennya
tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menganggap homoseksualitas sebagai suatu
penyakit. Teori Freud ini belakangan ditantang oleh para psikoanalis sendiri. Tiga
psikoanalis terkenal yang meyakini bahwa homoseksual adalah penyakit yang harus
disembuhkan adalah Sandor Rado (1940), Irving Beiber (1962), dan Charles Socarides.
Dari kaca mata psikoanalisis, mereka menjelaskan bahwa homoseksualitas adalah bentuk
penyakit mental sehingga perlu ada terapi untuk mengobatinya (Nordenfelt, 1995:133).
Kajian para psikolog terhadap homoseksualitas dari awal abad ke-19 hingga awal
abad ke-20 mengarah pada tiga perubahan besar dalam memandang fenomena
homoseksualitas. Pertama, penelitian-penelitian tersebut meskipun memiliki kesimpulan
yang beragam, semuanya mempertegas perubahan paradigma masyarakat Barat terhadap
homoseksualitas. Fenomena tersebut tidak lagi dilihat dari perspektif teologis tapi murni
sebagai objek kajian sains dan medis. Perubahan ini bisa dilihat sebagai cerminan
sekulerisasi masyarakat Barat yang kian menguat. Kedua, kajian-kajian tersebut
menciptakan kategori orientasi seks bernama homoseksualitas yang sebelumnya tidak
diakui. Secara tidak langsung, hal ini memberikan identitas bagi orang-orang yang
memiliki kecenderungan seks di luar heteroseksual. Ketiga, stigma negatif yang
diarahkan kepada kaum homoseksual perlahan pudar. Kajian-kajian tersebut membuang
stigma amoral dan pendosa dari diri kaum homoseks. Citra yang terbentuk kemudian
adalah bahwa mereka adalah orang-orang yang sakit dan perlu pengobatan. Ketiga
perubahan ini pada gilirannya akan mengantar kepada perubahan yang lebih radikal di
pertengahan abad ke-20, yakni normalisasi homoseksualitas. Fenomena ini akan
didiskusikan pada bagian selanjutnya.
Menurut pendapat Sigmund Freud dalam Maslim (2001), gangguan jiwa terjadi
karena tidak dapat dimainkan tuntutan id (dorongan instinctive yang sifatnya seksual)
dengan tuntutan super ego (tuntutan normal social). Orang ingin berbuat sesuatu yang
dapat memberikan kepuasan diri, tetapi perbuatan tersebut akan mendapat celaan
masyarakat. Konflik yang tidak terselesaikan antara keinginan diri dan tuntutan
masyarakat ini akhirnya akan mengantarkan orang pada gangguan jiwa. Manusia
bereaksi secara keseluruhan, secara holistik, atau dapat dikatakan juga secara somato-
psiko-sosial.
Perdebatan para ahli pasca deklasifikasi homoseksualitas dari DSM berpusat pada dua
poin utama. Pertama, sebab (etiologi) homoseksualitas. Aktivis prohomoseksual
berpendapat berdasarkan penelitian ilmiah terutama oleh LeVay (2010) bahwa
homoseksualitas adalah pengaruh hormone (Simon LeVay:2010). Dengan demikian,
mereka berargumen bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang terdeterminasi secara
biologis. Argumen ini sesungguhnya adalah penguat kesimpulan Kinsey seperti yang
telah dijelaskan di atas. Kedua adalah apakah orientasi seksual bisa berubah atau tidak.
APA, sesuai garis kebijakannya yang mendukung homoseksual, telah mengeluarkan
pernyataan bahwa tidak ada satupun penelitian yang menunjukan bahwa orang-orang
homoseksual bisa dirubah orientasi seksualnya melalui terapi. Perdebatan ikutan juga
meliputi akibat dari homoseksualitas, menurut aktivis progay, homoseksual tidak
menimbulkan kerusakan bagi masyarakat.Bagaimanapun, ada banyak peneliti yang bebas
dari kepentingan pro-gay mengemukakan hasil penelitian yang berbeda. Neil N.
Whitehead adalah seorang ahli biokimia yang telah meneliti “gay gen” selama empat
puluh tahun. Dari hasil studinya tersebut ia mengkritisi pendapat mereka yang
menerapkan determinasi biologis bagi orientasi seksual seseorang. Hasil penelitiannya
pertama kali diterbitkan pada tahun 1999 berjudul My genes made me do it!, lalu direvisi
dengan penambahan bukti kemudian terbit lagi pada tahun 2013 dengan judul My Genes
Made Me Do It! Homosexuality and the Scientific Evidence. Bukti terkuat menurut
Whitehead adalah penelitian Twin studies. Secara sederhana twin studies adalah
penelitian yang dilakukan terhadap orang-orang homoseksual yang memiliki saudara
kembar. Apabila homoseksual adalah pengaruh gen, maka dua orang kembar seharusnya
sama-sama berorientasi homoseksual sebab secara gen mereka identik. Namun demikian,
penelitian yang dilakukan secara ekstensif terhadap kembar identik menunjukan bahwa
dari sembilan pasangan kembar yang salah satunya homoseksual, hanya satu dari
sembilan yang pasangannya juga homoseksual. Menurut Whitehead, hasil studi ini tidak
hanya menafikan aspek genetik, tapi semua aspek biologis lainnya (Neil dan Briar
Whitehead, 2013:177). Sehingga, hal ini menunjukkan bahwa faktor terpenting yang
mempengaruhinya adalah pola asuh pada keluarga dan lingkungannya.Bantahan lainnya
mengenai perubahan orintasi seksual. Menurut APA orientasi seksual ini tidak bisa
berubah. Pada perubahan orientasi seksual, ada beragam faktor yang perlu diperhatikan.
Salah satu faktor yang paling besar dalam perubahan orientasi seksual adalah motivasi
orang-orang homoseksual tersebut. Motivasi tersebut akan sangat kuat bila berasal dari
dorongan keimanan. Dadang Hawari, psikolog kenamaan dari Universitas Indonesia
menegaskan bahwa seorang homoseks bisa berubah asalkan ia memiliki kemauan yang
kuat. Selain itu juga perlu diperhatikan dukungan keluarga, lingkungan, kuat lemahnya
kadar homoseksual, dan libido. Faktor iman, ternyata menempati posisi yang penting.
Temuan Spitzer tentang 200 orang homoseksual yang berhasil melewati terapi adalah
kebanyakan berasal dari kalangan religius, “the vast majority (93%) of the participants
reported that religion was “extremely” or “very” important in their lives. Hasil temuan
ini sejalan dengan upaya psikolog berlatar belakang agama yang baik seperti Dadang
Hawari untuk melakukan terapi spritual, selain biologis, sosial, dan psikologis. (Hawari,
2009: 62).
2. Perspektif Kesehatan Mental Versi Umum
Kesehatan mental dalam versi umum adalah orang yang memiliki kemampuan
untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta
lingkungan dimana ia hidup (Daradjat, 1988:11). Lalu apakah pelaku LGBT memiliki
kemampuan beradaptasi ini?
Dari segi kehidupan sosialnya, ada gay dan pelaku LBT yang lebih terbuka
dalam pengungkapan jati dirinya di depan masyarakat umum. Pada awalnya, mereka
akan mulai terbuka dengan orang terdekatnya terlebih dahulu sebelum dengan
masyarakat di sekitarnya. Respon yang biasanya didapat oleh para gay dapat berupa
penerimaan atas keadaan dirinya ataupun juga berupa ejekan dari orang-orang yang
belum bisa menerima keadaan mereka sebagai seorang gay (Bunch, 2007, dikutip
secara on-line dari Pesta Gay). Untuk itulah kaum LGBT memiliki tantangan yang
berat dalam proses penyesuaian dirinya dengan lingkungan, khususnya dalam
lingkungan masyarakat Indonesia. Penyesuaian diri merupakan aspek yang penting
dalam kehidupan individu maupun kehidupan sosial. Dalam psikologi, penyesuaian
diri tersebut biasa disebut dengan strategi coping. Strategi coping adalah suatu proses
atau cara untuk mengelola dan mengolah tekanan atau tuntutan baik secara eksternal
maupun internal, yang terdiri dari usaha, baik tindakan nyata maupun tindakan dalam
bentuk intrapsikis (Lazarus, Launier, dan Folkman dalam Taylor, 1999). Strategi
coping yang merupakan respon individu terhadap tekanan yang dihadapi secara garis
besar dibedakan dalam dua bentuk (Lazarus dan Folkman dalam Smeet, 1994)
yaitu Problem Focused Coping (PFC) dan Emotional Focused Coping (EFC).
Dimana Problem Focused Coping (PFC) adalah stategi yang dilakukan oleh individu
dengan cara menghadapinya secara langsung sumber penyebab masalah, sedangkan
Emotional Focused Coping (EFC) adalah strategi yang dilakukan individu untuk
menghadapi masalah yang lebih berorientasi pada emosi individu yang disebabkan
dari tekanan-tekanan yang muncul dari lingkungan sosialnya, dalam hal ini tekanan
muncul dari masyarakat Indonesia yang sangat kental dengan adat ketimuran.
Masyarakat Indonesia pada umumnya, saat ini dihadapkan dengan makin meluasnya
fenomena LGBT.
Di Indonesia menganut pemahaman seksual esensialism.
Kelompok esensialism meyakini bahwa jenis kelamin, orientasi seksual, dan identitas
seksual sebagai hal yang bersifat terberi dan natural sehingga tidak dapat mengalami
perubahan. Kelompok ini berpandangan bahwa jenis kelamin hanya terdiri dari 2 jenis
yaitu laki-laki dan perempuan; orientasi seksual hanya heteroseksual; dan identitas
gender harus selaras dengan jenis kelamin (perempuan-feminin; laki-laki- maskulin)
menyebabkan kelompok yang berada di luar mainstream tersebut dianggap sebagai
abnormal. Berbeda dengan paham seksual dalam pandangan social
constructionism, bukan hanya gender, namun juga seks/jenis kelamin, orientasi
seksual maupun identitas gender adalah hasil konstruksi sosial. Sebagai sebuah
konstruksi sosial, seksualitas bersifat cair, dan merupakan suatu kontinum sehingga
jenis kelamin tidak hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan namun juga intersex
dan transgender/transeksual, orientasi seksual tidak hanya heteroseksual namun juga
homoseksual dan biseksual (Definisi WHO dalam Ardhanary Institute dan HIVOS).
1. Gangguan terhadap perasaan, yaitu munculnya rasa cemas, iri hati, sedih,
merasa rendah diri, pemarah, ragu;
2. Gangguan pikiran;
3. Gangguan terhadap perilaku;
4. Gangguan terhadap kesehatan badan (Daradjat, 1988: 15).
Kekerasan seksual
Kekerasan fisik
Kekerasan emosional
Keharmonisan antara fungsi jiwa dan tindakan tegas itu dapat dicapai antara lain dengan
keyakinan akan ajaran agama, keteguhan dalam mengindahkan norma-norma sosial,
hukum, moral, dan sebagainya.
Perlu diingat bahwa kesehatan mental itu adalah relatif, dimana keharmonisan yang
sempurna antara seluruh fungsi-fungsi tubuh tidak ada. Yang dapat diketahui adalah
berapa jauh jaraknya seseorang dari kesehatan mental yang normal.
DAFTAR PUSTAKA
Darmasi, Ririn. 2009. Faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Harish, D., and B. R. Sharma. “Medical Advances in Transsexualism and the Legal
Implications.” American Journal of Forensic Medicine and Pathology 24, No. 1 (2003): 100–
05.
Hassan, Syed. 2011. Kenapa Berlakunya Kecelaruan Jantina. Jurnal al-Islâm: May 201, hlm.
35.
Hawari, Dadang. 2009. Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual. Jakarta: Balai Penerbitan
FKUI.
http://books.google.co.id Dra. Sri Habsari, Bimbingan dan Konseling SMA, diakses pada 05
Mei 2016 pukul 11.11 WIB.
Kartono, kartini, 1989. Psikologi Abnormal & Abnormalitas Seksual. Bandung: PT. Mandar
Maju.
Kartono, Kartini. 1981. Patologi Sosial 3 Gangguan-Gangguan Kejiwaan. Jakarta: CV.
Rajawali.
LeVay, Simon. 2010. Gay, Straight, And The Reason Why: The Science Of Sexual
Orientation. Inggris: Oxford University Press.
Maslim, R. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: FK-
Atmajaya.
Nordenfelt, Lennart. 1955. On the Nature of Health. Springer Science & Business Media.
Philips, Ameenah &.Zafar Khan. 2003. Islam dan Homoseksual. Jakarta: Pustaka Zahra.
Whitehead, Neil L & Briar. 2013. My Genes Made Me Do It! Homosexuality and the
Scientific Evidence. Inggris: Whitehead Associates.
Oleh :
WAHYU NURBIYANTORO
( 010113a121 )