Anda di halaman 1dari 26

PROTISTUSI GAY DI KUDUS

Disusun untuk memenuhi tugas Ulangan Akhir Semester mata kuliah Patologi Sosial

Disusun oleh :

Nama : Annisa Isnaini

NIM : 3601417042

Rombel : 2

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Beren (2013) menyatakan bahwa homoseksualitas terjadi di seluruh lapisan
masyarakat dunia dengan perkiraan 21% pria di dunia adalah kaum gay. Fenomena ini
sudah ada sejak jaman Yunani kuno, bahkan hampir ditemukan dalam setiap budaya
di dunia. Menurut Oetomo (2011) masyarakat Yunani Kuno memiliki mitologi yang
penuh berisi tentang kisah percintaan sesama jenis, seperti antara Zeus dengan
Ganymede, Herakles dengan Iolaus (Hylas), dan Apollo dengan Hyakinthus. Menurut
Oetomo (2001) pada budaya timur, homoseksual diceritakan pada zaman Nabi Luth
yang disebutkan dalam Al-Quran disebut dengan “liwath”, artinya “senggama melalui
dubur”. Hal ini berarti melakukan sesuatu tidak pada tempatnya, hal tersebut
hukumnya zina. Kitab Injil pun menuliskan, pada Roma 1 : 26-27, Paulus
mengingatkan, bahwa praktik homoseksual adalah sebagian dari bentuk kebejatan
moral, yang sebenarnya orang-orang Kristen sudah dibebaskan dan disucikan oleh
Kristus.
Papalia, Old, dan Feldman (2012) menjelaskan bahwa homoseksualitas adalah
fokus ketertarikan seksual, romantis, dan kasih sayang yang konsisten kepada jenis
kelamin yang sama, sedangkan gay adalah sebutan untuk pria yang memiliki
homoseksualitas pria. Pendapat yang selaras pun dikemukakan oleh Nevid, Rathus,
dan Greene (2005) menyatakan bahwa homoseksual adalah kecenderungan orientasi
seksual yang ditandai dengan minat erotis dan keinginan untuk membangun hubungan
romantis terhadap sesama jenis kelaminnya. VandenBos (2007)menjelaskan
homoseksual adalah dorongan seksual, perasaan, atau hubungan yang ditujukan pada
anggota jenis kelamin yang sama.
Papalia, Old, dan Feldman (2011) menjelaskan bahwa faktor pembentuk
homoseksualitas adalah hubungan pola asuh yang terganggu seperti dorongan
orangtua terhadap perilaku lintas-gender dan tidak biasa, imitasi orangtua
homoseksual, peluang untuk belajar melalui rayuan oleh homoseksual.
Dewasa ini, gay menjadi hal yang wajar menurut sudut pandangan masyarakat
Barat yang dibuktikan dengan disahkannya pernikahan sesama jenis pada tanggal 26
Juni 2015 oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat. Disamping itu, pada Desember
1973, jauh sebelum disahkannya pernikahan sesama jenis, Dewan Pengawas Asosiasi
Psikiater Amerika menghapuskan gay (homoseksualitas) dari tatanan resmi gangguan
kejiwaan, “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Second Edition”
(DSM-II). Para ahli menemukan bahwa homoseksualitas tidak memenuhi krtiteria
untuk dianggap sebagai suatu penyakit jiwa. Sarwono (2013) menyebutkan
homoseksualitas telah dimasukkan ke dalam gangguan mental di DSM-1 pada tahun
1952 sebagai gangguan kepribadian sosiopath, dikarenakan dianggap melanggar
norma masyarakat. DSM-II yang diterbitkan pada tahun 1968, menjadikan
homoseksualitas sebagai daftar kelainan seksual, namun tidak dimasukkan sebagai
gangguan kepribadian. Pada PPDGJ pun homoseksualitas sudah dihapuskan sejak
tahun 1983 pada PPDGJ II. Hingga pada revisi terakhirnya, yakni PPDGJ yang
diterbitkan tahun 1993, homoseksualitas dikatakan sebagai sesuatu yang normal
(PPDGJ III).
Menurut buku pedoman gangguan kejiwaan, baik DSM maupun PPDGJ,
kaum homoseksual khususnya kaum gay merupakan hal yang normal, namun dengan
populasi Indonesia yang sebagian besar beragama. Pandangan negatif yang dimiliki
oleh masyarakat dikarenakan homoseksual merupakan perilaku yang menyimpang
dari norma sosial (Azizah, 2013). Pendapat ini diperkuat oleh sebuah survey yang
dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2007 (Samodra, 2013) menunjukkan
bahwa hanya 3% responden dari Indonesia yang mendukung homoseksualitas, sisanya
menolak keras.
Penolakan masyarakat ini membuat kaum gay melakukan perkumpulan secara
tidak terang-terangan dan kesulitan membuka diri. Proses “membuka diri” ternyata
terkait dengan kemampuan penyesuaian psikologis dalam dirinya. Semakin yakin
akan identitas mereka sebagai gay maka semakin baik kesehatan mentalnya serta
semakin tinggi rasa percaya diri atau penerimaan diri mereka dan mampu melakukan
penyesuaian diri yang baik dalam kehidupannya.
Papu (2002) menjelaskan gay setelah mengidentifikasi diri sebagai
homoseksual akan melakukan pengungkapan diri yang dikenal dengan istilah coming
out. Coming out adalah pemberian informasi tentang diri sendiri kepada orang lain.
Paul (dalam Maulana, 2012) pun menegaskan bahwa coming out adalah suatu
penegaskan bahwa identitas seksual sebagai homoseksual terhadap diri dan orang lain
yang mengandung risiko bahaya. Adanya risiko ini membuat gay untuk siap
menerima label dari individu lain perihal identitas seksual sebagai homoseksual.
Pendapat ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Johnson (dalam
Gainau, 2009) yang menunjukkan bahwa individu yang mampu membuka diri akan
dapat mengungkapkan diri dengan tepat.
Kenyataannya, tidak semua kaum gay tidak diterima oleh masyarakat, seperti
contoh penulis terkenal Dede Oetomo dan perancang busana Oscar Lawalata. Contoh
kasus tersebut memperlihatkan bahwa tidak semua kasus homoseksual ditolak oleh
masyarakat, tetapi juga tidak semua bisa diterima. Penerimaan masyarakat terhadap
kaum homoseksual, khususnya gay, tergantung pada kemampuan individu tersebut
dalam menyesuaikan diri secara sosial. Agar tetap diterima masyarakat, kaum gay
cenderung menutup diri bahkan berusaha menutupi jati dirinya dengan berpura pura
tidak mengalami keabnormalan.
Keadaan yang kontradiktifnya adalah, di dalam komunitas tersebut kaum gay
kompak dengan mempertahankan eksistensi. Kaum gay di Indonesia sudah mulai
menunjukkan identitasnya di tengah masyarakat. Menurut Emka (2015), kaum gay
saat ini memiliki ruang untuk mengekspresikan diri. Bentuk ekspresi diri yang
dilakukan dengan cara menjadi aktivis HIV-AIDS di Indonesia. Meskipun demikian,
menurut Azizah (2013) pun realita keberadaan gay di masyarakat membuat gay sulit
untuk melakukan penyesuaian sosial. Schneider (dalam Mu’tadin, 2002)
mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai kapasitas untuk memberikan respon secara
efektif dan utuh pada realitas sosial, situasi sosial, dan hubungan sosial sehingga dapat
memenuhi kebutuhannya secara sosial dalam cara yang dapat diterima dan
memuaskan. Schneider pun menyatakan individu yang penyesuaian dirinya baik
adalah individu yang memberikan respon yang matang, efisien, bermanfaat dan
memuaskan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah latar belakang para gay melakukan penyimpangan tersebut ?
2. Bagaimana analisis kasus tersebut?
C. Tujuan
1. Untuk mngetahui latar belakang para gay melakukan penyimpangan tersebut
2. Untuk mengetahui bagaimana analisis tersebut
D. Manfaat

1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi-informasi tentang masalah
sosial khususnya fenomena homoseksual.
2. Manfaat Praktis
a. Guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Patologi Sosial
b. Menambah pengetahuan bagi mahasiswa
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Gay atau Homoseksual
Banyak orang melakukan aktivitas seksual dalam beberapa cara. Sebagian orang
melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis. Akan tetapi beberapa orang melakukan
hubungan seksual dengan orang yang berjenis kelamin sama. Keanekaragaman perilaku
seksual ini mungkin disebabkan oleh rasa ingin tahu seseorang atau oleh situasi khusus
tertentu. Misalnya keterbatasan seksual seperti yang digambarkan dalam beberapa bentuk
perilaku homoseksual di penjara. Homoseksual adalah istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan kecenderungan umum hubungan seks dengan orang lain yang berjenis
kelamin sama.

Homoseksual dapat dijelaskan dalam beberapa dimensi. Termasuk diantaranya


adalah : sikap untuk mengekspresikan hubungan seksual atau kecenderungan erotis,
kesadaran akan konsep diri homoseksual, atau kenyataan hubungan seks dengan sesama
jenisnya baik laki-laki maupun perempuan. Orang yang menjalani perilaku homoseksual
ini (baik laki-laki maupun perempuan) berasal dari semua kelas sosial, tingkat
pendidikannya bervariasi, mewakili semua jenis pekerjaan dan profesi, mempunyai
bermacam kepentingan dan kegemaran, dan mungkin sudah menikah atau masih single
(Siahaan, 2009 ; 43).

Pada dasarnya pola peran dan tingkah laku seksual yang berkaitan dengan
maskulinitas dan feminitas merupakan sesuatu yang dipelajari, bukan sesuatu yang bersifat
biologis. Homoseksualitas dan heteroseksualitas dapat dipahami dengan menggunakan tiga
konsep, yaitu, pertama, pengambilalihan peran seks. Hal ini lebih pad adopsi aktif
terhadap ciri-ciri perilaku seks seseorang terhadap orang lain, bukan hanya keinginan
untuk mengadopsi sejumlah perilaku. Pengambilalihan peran seks ini biasanya disebut
penolakan peran seks atau peran gender. Kedua, kecenderungan peran seks, yaitu
keinginan untuk mengadopsi perilaku yang berhubungan dengan jenis kelamin yang sama
atau berbeda. Ketiga, identifikasi peran seks. Identifikasi peran seks merupakan persatuan
yang nyata antara takdir peran seks dan reaksi tak sadar bahwa takdir itu merupakan ciri-
ciri dari peran seks. Dengan kata lain, seseorang menghayati peran seks tertentu,
mengembangkan konsep dirinya dengan jenis kelamin lain, dan mengadopsi sebagian
besar karakteristik perilaku jenis kelamin lain tersebut (Siahaan, 2009 ; 44).
Dari sudut pandang homoseks, ada kecenderungan perasaan subjektif bahwa orang
yang berjenis kelamin sama lebih secara seksual dibandingkan orang yang berjenis
kelamin berbeda. Sejauh mana seseorang mengkombinasikan pengakuan homoseks yang
tinggi merupakan hasil dari pada partisipasinya pada subkebudayaan tersebut. Sebagian
besar anak-anak secara alami melakukan percobaannya dengan anggota kelompok jenis
kelamin berbeda sulit atau tidak memungkinkan. Pengalaman ini bagimanapun juga tidak
selalu mengarah ke homoseks atau pola perilaku homoseksualitas, karena sejumlah
perilaku seks diantara anak laki-laki itu mungkin hanya disertai dengan sedikit perasaan
emosi. Pengalaman homoseksual yang paling signifikan dapat didefenisikan jika seseorang
melakukannya dengan orang dewasa atau mengulangi perbuatannya dengan orang yang
sama selama setahun atau lebih (Siahaan, 2009 ; 44).
Mengutip kalimat dari Judeo – Christian, menjelaskan bahwa homoseksualitas
perbuatan yang dilarang dan dihukum di negara Eropa sampai Revolusi Perancis meletus,
dimana setelah itu hukum menjadi lebih toleran. Dari sudut pandang penegakan hukum,
terdapat beberapa aktivitas kriminal yang diasosiasikan dengan komunitas homoseksual,
utamanya pada bagian mereka yang mencari mangsa homoseksual, penjebakan, penipuan,
perampokan, pemerasan, dan terkadang hingga terjadi pembunuhan (Hagan, 2013 : 626).

Menurut Clinard & Quinney (1973,h.87) meskipun terdapat banyak variasi namun
perilaku homoseksual ini dapat dibedakan, mereka yang berpartisipasi dalam aktifitas
homoseksual secara sederhana dapat dibedakan dalam dua tipe : pertama, perilaku
homoseksual situasional dan kedua preferensial. Kategori tipe homoseksual situasional
adalah mereka yang memilih aktivitas heteroseksual tapi berpartisipasi dalam aktivitas
homoseksual sebagai cara pengganti atau temporer terhadap gratifikasi erosi atau cara
untuk mendapatkan uang. Kategori tipe homoseksual preferensial mencari gratifikasi
seksual secara dominan dan terus menerus dari jenis kelamin yang sama. Individu seperti
itu cenderung membangun konsep diri homoseksual dan bergabung dengan subkultur gay
atau homoseksual. Pada kenyataanya, ragam peran homoseksual dapat dibedakan,
termasuk terbuka atau tersembunyi, menyesuaikan diri atau tidak menyesuaikan diri,
homoseksual sejati atau situasional, dan primer atau sekunder.

Selanjutnya, Sykes (1958, hal 95- 97) menjelaskan banyak individu yang
berpartisipasi dalam aktivitas homoseksual tapi tidak mengidentifikasikan diri mereka
sendiri sebagai homoseksual. Banyak homoseksualitas situasional terjadi dalam
lingkungan seksual yang terisolasi seperti penjara, sekolah berasrama satu jenis kelamin,
dan lingkungan militer. Dipenjara misalnya, para “serigala”mendesakkan maskulinitas
mereka dengan meminta fellatio (stimulasi oral) pada diri mereka atau menyodomisasi
“ratu” yang mengaku homoseksual, atau “punk” pria lemah yang dipaksa melakukan
pelayanan seksual.

B. Kajian Teori
1. Teori Fenomenologi
Edmund Husserl merupakan tokoh penting dalam filsafat
fenomenologi. Secara khusus Husserl mengatakan bahwa pengetahuan
ilmiah telah terpisahkan dari pengalaman sehari-hari dan dari kegiatan-
kegiatan dimana pengalaman dan pengetahuan berakar, tugas
fenomelogilah untuk memulihkan hubungan tersebut. Fenomenologi
sebagai suatu bentuk dari idealisme yang semata-mata tertarik dengan
struktur-struktur dan cara-cara bekerjanya kesadaran manusia serta dasar-
dasarnya, kendati kerap merupakan perkiraan implisit, bahwa dunia yang
kita diami diciptakan oleh kesadaran-kesadaran yang ada di kepala kita
masing-masing. Tentu saja tidak masuk akal untuk menolak bahwa dunia
yang eksternal itu ada, tetapi alasannya adalah bahwa dunia luar hanya
dapat dimengerti melalui kesadaran kita tentang dunia itu.
Alferd Schutz, seorang murid Husserl mengatakan bahwa sebutan
fenomenologis berarti studi tentang cara dimana fenomena, hal-hal yang
kita sadari muncul kepada kita dan cara yang paling mendasar dari
pemunculannya adalah sebagai suatu aliran pengalaman-pengalaman
inderawi yang berkesinambungan yang kita terima melalui panca-indra kita.
Secara keseluruhan Schurtz memusatkan perhatian pada hubungan
dialektika antara cara individu membangun realitas sosial dan realitas
kultural yang mereka warisi dari para pendahulu mereka dalam dunia
sosial.
2. Teori Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik memandang bahwa manusia bukan dilihat
sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif, tetapi
paling tidak sebagian merupakan aktor-aktor yang bebas. Rumusan yang
paling ekonomis dadri asumsi-asumsi interaksionis datang dari karya
Herbert Blumer:
1) Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna-makna yang
dimilki benda-benda itu bagi mereka
2) Makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam
masyarakat manusia
3) Makna-mkana dimodifikasikan dan ditangani melalui suatu proses
penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam
keterlibatannya dengan tanda-tanda yang dihadapinya.37 Teori ini
menyatakan bahwa tanggapan seseorang tidak dibuat secara
langsung terhadap tindakan lain, tetapi didasarkan pada: makna”
yang diberikan terhadap tindakan orang lain tersebut.
Interaksi antar individu dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol,
interpretasi atau saling berusaha untuk saling memahami maksud dari
tindakan masing-masing individu. Pandangan Goffman mengenai konsep
diri, mengungkapkan bahwa ketaksesuaian antara diri manusia kita dan diri
kita sebagai hasil proses sosialisasi. Goffman membangun konsep
dramaturgi atau pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan
pertunjukan drama, seperti yang ditampilkan di atas pentas. Goffman
berasumsi bahwa saat berinteraksi, aktor ingin menampilkan perasaan diri
yang dapat diterima oleh orang lain. Tetapi, ketika menampilkan diri, aktor
menyadari bahwa anggota audien dapat mengganggu penampilannya.
Karena itu aktor menyesuaikan diri dengan pengendalikan audien, terutama
unsur-unsurnya yang dapat mengganggu.
3. Teori Labelling
Menurut Howard S. Becker tindakan perilaku menyimpang
sesunguhnya tidak ada. Setiap tindakan sebenarnya bersifat “netral” dan
“relatif”. Artinya, makna tindakan itu relatif tergantung pada sudut pandang
orang yang menilainya. Sebuah tindakan disebut perilaku menyimpang
karena orang lain/masyarakat memaknai dan menamainya (labeling)
sebagai perilaku menyimpang. Penyebutan sebuah tindakan sebagai
perilaku menyimpang sangat bergantung pada proses deteksi, definisi, dan
tanggapan seseorang terhadap sebuah tindakan.
Teori labelling menekankan pada pentingnya definisi-definisi sosial
dan sanksi-sanksi sosial negatif yang dihubungkan dengan tekanan-tekanan
individu untuk dalam tindakan yang lebih menyimpang. Analisis tentang
pemberian cap itu dipusatkan pada reaksi orang lain. Artinya orang-orang
yang memberi definisi, julukan, atau pemberian label (definers/ labers)
pada individu-individu atau tindakan yang menurut penilaian orang tersebut
adalah negatif.
Bagi masyarakat umum, menyukai sesama jenis adalah perasaan
yang tidak wajar karena tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku
di masyarakat sehingga orang-orang yang memiliki kecenderungan
menyukai sesama jenis diberi cap atau label negatif. Konsekuensi dari
pemberian label tersebut mungkin akan berakibat serius pada tindakan
penyimpangan yang lebih lanjut, dimana cap menyimpang akan
menghasilkan sutau sosial yang menyimpang juga.
4. Teori Kontrol
Munculnya teori kontrol adalah penyimpangan yang merupakan
hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori dibangun atas
dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada
hukum dan memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum.
40Dalam situasi tertentu manusia mempunyai kecenderungan untuk
melanggar norma-norma yang ada dalam masyarakat. Seperti halnya
seorang homoseksual, meskipun ia menyadari bahwa menyukai sesama
jenis adalah perilaku yang tidak wajar namun ia tetap saja mencari
pasangan dari jenis yang sama dengannya karena kecenderungan untuk
melanggar norma itu ada dan tertanam pada dirinya.
Suatu sistem pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keadaan
damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan/ kesebandingan
41. Norma yang ada dalam masyarakat disosialisaskan kemudian kepada
generasi penerus melalui proses sosialisasi. Adanya norma tentunya
bertujuan untuk mencapai kehidupan yang ideal, namun ketika dalam
prosesnya ada hal yang menyimpang maka diperlukan suatu sistem
pengendalian sosial untuk menanggulangi atau meminimalisir
penyimpangan tersebut. Demikian pula dengan homoseksual, suatu sistem
pengendalian sosial diperlukan untuk mengatasi masalah homoseksual
tersebut.
C. Penelitian Yang Relevan
1. Penelitian dengan judul Kehidupan Kaum Homoseksual di Kabupaten
Bangli oleh Kadek Sri Juniartini mahasiswa program pascasarjana
program studi sosiologi, konsentrasi kebijakan dan kesejahteraan sosial
tahun 2008. Hasil penelitiannya menunjukkkan bahwa terdapat
hubungan negatif antara orientasi homoseksual di Kabupaten Bangli
dengan keberfungsian keluarga. Artinya semakin meningkatnya
keberfungsian sosial keluarga di Kabupaten Bangli dalam
melaksanakan tugas kehidupan, peranan dan fungsinya maka akan
semakin rendah kemungkinan orientasi homoseksualnya. Sebaliknya
apabila keberfungsian keluarga Kabupaten Bangli rendah maka
kemungkinan terjadinya orientasi homoseksual akan semakin tinggi.
Kekerasan dalam rumah tangga juga memberikan pengaruh yang sangat
besar dalam proses seorang individu memiliki orientasi homoseksual.
Di samping itu, penggunan waktu luang yang tidak terarah merupakan
sebab yang dominan bagi remaja untuk melakukan perilaku
menyimpang. Terdapat perbedaan di dalam penelitian Kadek Sri
Juniarti dan penelitian penulis “Fenomena Homoseksual di
Yogyakarta”. Penelitian penulis fokus pada fenomena homoseksual di
Yogyakarta saja, melingkupi alasan menjadikan homoseksual sebagai
pilihan hidup, eksistensinya dan perspektif masyarakat terhadap
homoseksual tidak membahas secara fokus fungsi dan peranan dan
kontribusi keluarga pada anggota keluarganya yang memang
mempunyai kecenderungan sebagai pencinta sesama jenis namun
persamaannya adalah kedua penelitian ini sama-sama berfokus pada
homoseksual.
2. Penelitian dengan judul “Áku Memang Gay” oleh Dody Hartono,
mahasiswa prodi Bimbingan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan UNY
tahun 2006. Penelitian ini menjelaskan konsep diri yang dimiliki kaum
homoseksual dengan konsep lelaki normal serta faktor penyebab menjadi
homoseksual, menjelaskan pula permasalahan-permasalahan yang
dihadapi kaum homoseksual seperti penerimaan masyarakat, kemandiriran
dan ketergantungan, kecemasan dan pelarian. Penelitian ini mempunyai
persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis.
Persamaan terletak dari lokasi dan subyek penelitian. Lokasi yang di ambil
yaitu di Kota Yogyakarta dan subyek penelitiannya adalah kaum
homoseksual itu sendiri. Perbedaan terletak pada fokus penelitian, kedua
penelitian ini memang menggali tentang kehidupan kaum homoseksual,
salah satunya yaitu faktor penyebab menjadi hjomoseksual namun
penelitian yang telah dilakukan ini juga fokus pada konsep diri lelaki
homoseksual sedangkan penelitian yang akan dilakukann ini adalah
memaknai homoseksual dan mendeskripsikan alasan memilih
homoseksual sebagai jalan hidup, eksistensi homoseksual yang melingkupi
tempat berkumpul, kebiasaan-kebiasaan dan keberadaan komunitas
homoseksual tersebut serta perspektif masyarakat terhadap keberadaan
homoseksual.
3. Penelitian dengan berjudul “Resistensi terhadap homophobia (studi
tentang gay di Yogyakarta dalam menghadapi homophobia)” oleh M Noor
Poedjanadi, mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
UGM tahun 2005. Penelitian ini menjelaskan media massa mempunyai
peranan dalam memperkenalkan homoseksualitas ke khalayak umum dan
membantu orang-orang yang homoseksual mengetahui tentang dirinya
meskipun kadang-kadang secara sengaja ataupun tidak media massa turut
dalam menyebarkan stigma tentang homoseksualitas. Penelitian inipun
melihat kecendurungan adanya homophobia yang merupakan sebuah
kekerasan berwujud pemukulan, dikucilkan, stigma, tidak diakui
identitasnya dan sebagainya di mana sumber utama dari homophobia ini
adalah nilai-nilai yang ada di masyarakat seperti nilai budaya yang masih
patriarkhi dan nilai-nilai agama. Selain nilai-nilai tersebut ketidaktahuan
masyarakat akan permasalahan homoseksual termasuk penolakan terhadap
homoseksual menjadi sumber yang lain terjadinya homophobia.
Homophobia ini membawa dampak bagi kaum gay. Bentuk yang paling
nyata dan terlihat secara fisik adalah luka-luka bekas penganiayaan
maupun pemukulan bahkan yang paling parah biasanya sampai kematian.
Dijelaskan pula adanya pendampingan yang dilakukan oleh LSM PKBI
(Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) namun dirasa masih kurang
maksimal karena komunitas gay yang dijangkau oleh LSM ini masih
kurang, karena masih banyak titik-titik dimana ada komunitas gay namun
belum pernah dijangkau.

\
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian


Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu prostitusi gay, maka peneliti
menggunakan metode penelitian kualitatif yang didefinisikan oleh (Bogdan dan
Taylor: 2010; 87), sebagai produsen penelitian yang menghasilkan data deskriptif.
Berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Menurut mereka pendekatan ini diarahkan pada latar atau individu tersebut secara
menyeluruh (holistik). Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau
organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai
bagian dari sesuatu keutuhan.
Menurut (Denzin & Lincoln, dalam Creswell, 2013;58) mengartikan,
Penelitian kualitatif adalah suatu aktivitas berlokasi yang menempatkan penelitiannya
di dunia. Penelitian kualitatif terdiri dari serangkaian praktik penafsiran material yang
membuat dunia menjadi terlihat. Praktik-praktik ini mentrasformasikan dunia. Mereka
mengubah dunia menjadi serangkaian refresentasi, yang mencakup berbagai catatan
lapangan, wawancara, percakapan, foto, rekaman dan catatan pribadi. Dalam hal ini,
penelitian kualitatif melibatkan suatu pendekatan penafsiran yang naturalistik
terhadap dunia. Hal ini berarti bahwa para peneliti kualitatif mempelajari benda-benda
di lingkungan alamiahnya, berusaha untuk memaknai atau menafsirkan fenomena
dalam sudut pandang makna-makna yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka.
Menurut Kirk dan Miller (1997) penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan
pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristiwanya . Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah maksud menafsirkan
fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan maksud menafsirkan fenomena yang ada
dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada, sedangkan metode
yang biasanya dimanfaatkan adalah interview, observasi, dan pemanfaatan dokumen.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian studi kasus. Penelitian studi kasus
adalah suatu penelitian kualitatif yang berusaha menemukan makna, menyelidiki
proses, dan memperoleh pengertian dan pemahaman yang mendalam dari individu,
kelompok, atau situasi (Emzir, 2012: 20).
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Kudus. Kudus
merupakan salah satu kota dengan pendapatan daerah tertinggi, tentunya kota ini
sebagai tumpuan masyarakat, baik dalam segi ekonomi, politik dan budaya, agama
dan lain sebagainya. Banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya di kudus
sebagai tumpuan hidupnya, maka tak jarang Kudus terlihat padat dan transportasi
yang macet dibanding kota sekitarny yang lain. Dari hiruk pikuk kota Kudus
tentunya terdapat berbagai macam masyarakat, salah satunya yaitu kaum gay.
Keberadaan kaum gay adalah fakta. Mereka adalah sebuah realita abad . Kini
mereka mulai berani memunculkan diri di seluruh dunia, tidak terkecuali di
Indonesia
B. Jenis dan Sumber Data
Sumber data disini adalah semua sumber dari mana data penelitian itu
diperoleh. Adapun sumber data yang di pakai penulis dalam penelitian ini adalah
informan, yaitu orang-orang yang dapat memberikan informasi atau keterangan
yang terkait dengan kegiatan penelitian ini. Yang menjadi informan dalam
penelitian ini adalah pelaku dari perilaku menyimpang seksual ini yakni kaum gay.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
observasi, teknik wawancara, dan dokumentasi. Berikut ini akan dijelaskan teknik-
teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti sebagai berikut.
a. Observasi
Menurut Nawawi dan Martini (1992:74), “Observasi adalah
pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap unsur-unsur yang
tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala pada obyek penelitian”.
Adanya observasi peneliti dapat mengetahui kegiatan prostitusi Gay yang
berada di Kudus, dalam kesehariannya melakukan periaku menyimpang
tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
observasi merupakan kegiatan pengamatan dan pencatatan yang dilakukan
oleh peneliti guna menyempurnakan penelitian agar mencapai hasil yang
maksimal.
b. Wawancara
Menurut Sugiyono (2010:194), Pengertian wawancara sebagai
berikut: Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila
peneliti akan melaksanakan studi pendahuluan untuk menemukan
permasalahan yang harus diteliti, dan juga peneliti ingin mengetahui hal-hal
dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya
sedikit/kecil.
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan terstruktur karena peneliti
menggunakan pedoman wawancara yang disusun secara sistematis dan
lengkap untuk mengumpulkan data yang dicari .
Wawancara pada penelitian ini dilakukan pada komunitas Gay,
warga sekitar, dan salah satu pelanggan dari prostitusi tersebut. Metode
wawancara yang digunakan untuk memperkuat dan memperjelas data yang
diperoleh yaitu data tentang profil si waria tersebut di kudus. Wawancara
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan langsung oleh peneliti dan
mengharuskan antara peneliti serta narasumber bertatap muka sehingga
dapat melakukan tanya jawab secara langsung dengan menggunakan
pedoman wawancara.
c. Dokumentasi
Menurut Hamidi (2004:72), Metode dokumentasi adalah informasi
yang berasal dari catatan penting baik dari lembaga atau organisasi maupun
dari perorangan. Dokumentasi penelitian ini merupakan pengambilan
gambar oleh peneliti untuk memperkuat hasil penelitian. Menurut Sugiyono
(2013:240), dokumentasi bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya
monu-mentel dari seseorang.
Dokumentasi merupakan pengumpulan data oleh peneliti dengan
cara meng-umpulkan dokumen-dokumen dari sumber terpercaya yang
mengetahui tentang narasumber, misal LSM. Metode dokumentasi menurut
Arikunto (2006:231) yaitu mencari data mengenai variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
agenda dan sebagainya.
Berdasarkan kedua pendapat para ahli dapat ditarik kesimpulan
bahwa pengumpulan data dengan cara dokumentasi merupakan suatu hal
dilakukan oleh peneliti guna mengumpulkan data dari berbagai hal media
cetak membahas mengenai narasumber yang akan diteleti. Penelitian ini
menggunakan metode dokumentasi untuk mencari data tentang profil dari
waria tersebut di kota Kudu
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
a) Narasumber 1
Nama : Puspa
 Alamat: Desa Jepang pakis kec Jati Kab Kudus (Salon)
 Pekerjaan tetap sekarang adalah membuka Salon
 Umur sekarang 35 thn
 Sejak tahun 2004 mulai melakukan kegiatan protistusi guna menyalurkan
hasrat sesksualnya terhadap sesama jenis.
 Sekaligus mulai menjajaki pekerjaan di salon dengan numpang ikut orang lain
 Sekarang pekerjaan tetapnya ialah pemilik salon sekaligus sebagai tempat
tinggalnya.
 Walaupun pelerjaan utamanya sebagai pemilik salon namun terkadang masih
suka keluar malam untuk menyaluran hasrat dalam berhubungan seksual
terhadap sesama jenis.
 Kini memiliki pacar bapak berumur 47 tahun yang telah berkeluarga dengan 2
anak serta masih beristri.
 Kini Puspa belum berkeluarga.
 Puspa anak ke 6 dari 7 bersaudara

Alasan menjadi Gay atau Waria sebagai berikut:


 Merasa hal tersebut merupakan faktor takdir dari hati nuraninya.
 Sejak umur 6 tahun sudah berpikiran ingin menjadi wanita.bermain.
 Suka bermain dengan perempuan dan memainkan permainan
perempuan(masak-masakan),merasa hasrat kewanitaanya yang begitu dominan
, serta rasa ketertarikan dengan laki-laki yang semakin tumbuh dalam dirinya.
 Sebagai penyalur hasratnya dalam berhubungan seksual dengan sesama jenis,
Puspa melakukan kegiatan protistusi tersebut. Dan hingga kini beliau terkadang
masih suka keluar malam(melakukan kegiatan tersebut) untuk menyalurkan
hasratnya.

Tanggapan Keluarga
 Awalnya malu dan sangat menentang namun dengan beriringan waktu pun
Puspa berhasil menyakinkan keluarga agar bisa menerima kondisi beliau
tersebut yang telah memutuskan menjadi wanita seutuhnya dengan mengubah
dirinya baik secara berpakaian,pekerjaan,penampilan fisik dengan
menumbuhkan payudara,hingga hasratnya kepada sesama jenis.
 Meyakinkan keluarga dengan alasan bahwa “selama itu tidak merugikan orang
lain,karena pekerjaan tersebut dilakukan oleh dua belah pihak yang saling
setuju dan suka,tidak menjadi masalah bagi narasumber Puspa.
 Beliau merasa nyaman dengan apa yang dilakukannya hingga kini.
 Dan beliau sering mengirimkan uang kepada keluarganya walaupun bukan
sebagai tulang punngung keluarga.

Tanggapan beliau terhadap masyarakat yang mengucilkan beliau dan golongannya


:
a. Bahwa itu merupakan hak asasi manusia dalam kebebasan untuk memilih
mau seperti apa dirinya,selama itu dilakukan oleh pihak yang saling suka
sama suka antara penjual dan pembeli serta tidak merugikan orang lain”.
b. Mempasrahkan atas tindakan-tindakan masyarakat tersebut dengan
beranggapan pandangan masyarakat indonesia yang seperti itu( peneliti
menyimpulkan pandangan masyarakat yang erat sangkutannya dengan nilai
agama dan nilai adat masyarakat indonesia)
b) Narasumber 2
Nama: Mitha

 Alamat Kampung Kb Desa Jati Wetan Kec Jati Kab Kudus ( KOS )

 Pekerjaan : Protistusi,Orkes (Serabutan),design kebaya.

 Umur sekarang 31tahun

 Sudah bekerja dan memutuskan menjadi guy selama 5 tahunan

 Sejak 2014 melakukan pekerjaan tersebut dan ditambah dengan kerja serabutan
orkes serta design kebaya (sasarannya teman-teman dan masyarakat sekitar)

 Belum berkeluarg
Alasan menjadi Gay atau Waria sebagai berikut

 Merasa hal tersebut merupakan faktor takdir.

 Mengikuti kata hati.

 Merasa nyaman.

 Sudah ada ketertarikan dengan laki-laki semenjak SMP.

 Sehingga tahun 2014 berani mengambil keputusan untuk menjadi waria dengan
pekerjaannya sekarang ini.
 Selama itu tidak merugikan orang lain dimana atas suka sama suka,setuju sama
setuju.
 Dia sudah merasa nyaman mejadi wanita.

Tanggapan keluarga
 Awalnya sangat menetang, hingga sekarang masih menentang namun tidak
separah awal.
 Narasumber Mitha mempasrahkan keluarga untuk menganggapnya sebagai anak
atau tidak.
 Suka mengirimkan uang ke keluarga
 Bukan sebagai tulang punggung
 Anak ke 5 dari 6 bersaudara

Peran pemerintah
 Pada masa jabatan Bupati Kudus bernama Musthafa yang telah menjabat pada
tahun 2008-2013 dan 2013-2018 pernah menjanjikan untuk membantu masyarakat
golongan mereka baik itu pengalihan fungsi tempat tinggal dan pekerjaan namun
tidak ada tindak nyata
 Pernah ada bina sosial seperti pemeriksaan psikologis namun hasilnya pun tidak
ada masalah( kata narasumber)

Harapan narasumber Mitha


“Masyarakat golongan mereka (Guy/waria) bisa lebih bebas dalam berkegiatan
sehingga tidak ada lagi kucilan dari masyarakat,serta ingin membuka lapangan kerja
bagi golongan mereka,memakmurkan golongan mereka”.
c) Narasumber 3
Nama: Elma
 Umur 32 tahun
 Alamat: Pati,sekarang menetap di Jati Wetan,Kudus
 Pekerjaan utama sekarang: Potong rambut di salon kecantikan
 Dulu pernah jadi Pekerja Seks Komersial dipinggir jalan tanpa
mucikari,dengan sistem bebas individu dimana pelanggan yang datang bebas
orang yang diinginkan untuk diajak seks

Alasan menjadi Guy atau Waria sebagai berikut


 Faktor ekonomi,karena ketika dewasa terdapat kebingungan untuk bekerja,
kemudian terlilit hutang,namun tidak mau bekerja berat,dan ketika melihat
peluang bekerja protistusi yang lumayan biayanya mendorong narasumber saat
itu untuk menjadi pilihannya jalan keluar atas alasan diatas tersebut.
 Awalnya sifat kelakian nya masih dominan namun akibat faktor ekonomi yang
mendorong beliau untuk menjadi pekerja malam,memberikan dampak dalam
kepribadiannya terbentuk menjadi guy atau waria hingga saat sekarang.
 Dan beriringan waktu merasa nyaman menjadi wanita hingga sekarang.
 Biaya dari satu pelangan sekitar 15-20 rb hingga 50 rb,namun kini biaya
tersebut sudah jarang akibat minat terhadap pekerja seks komersial perempuan
asli lebih tingi.
 Kenyamanan narasumber menjadi guy membentuk kepribadiannya untuk
merubah secara total baik penampilan dan hasratnya sesama jenis berkembang
matang
 Karena faktor utamanya ialah ekonomi,maka ketika mendapatkan tawaran
untuk bekerja di salon temannya yang lebih mendapatkan gaji yang menjamin
dan lumayan besar dibandingkan bekerja malam, menarik perhatian Elma guna
memenuhi kebutuhannya seperti membayar kos.

Tanggapan orang tua:


 Membiarkan,tidak mempermasalahkan serius.
 Narasumber pun juga mengirimkan uang kepada orang tua untuk membantu
keluarga.
 Setiap lebaran pulang dengan wujud asli laki-laki normal
Peran Pemerintah
 Pernah ada janji dari bupati Kudus bernama Musthafa,jika terpilih maka para
waria akan dialokasikan serta diberikan modal untuk membuat usahayang lebih
layak,namun kenyataanya tidak terlaksanakan

Harapan narasumber Elna


 Keinginannya untuk menjadi wanita sepenuhnya dengan melakukan operasi
dan menikah dengan cowok
 Pelanggannya menengah ke bawah,akibat pekerja seks komersial wanita lebih
mahal
 Mangkal dulu di Gedung DPR namun akibat ada protes dari masyarakat serta
terjadi pengalihan fungsi bupati berdampak pada para waria yang biasa
mangkal disana sehingga mereka pun berpencar.
B. Analisis Kasus
Para pelaku protistusi tentunya meiliki latar belakang mengenai penyebab
ataupun pendorong mereka mau melakukan perbuatan tersebut. Berdasarkan
observasi yang telah dilakukan,narasumber bernama Puspa dan Mitha memutuskan
untuk menjalani pekerjaan ini karena takdir serta mengikuti kata hati nya. Mereka
menyatakan bahwasanya sejak kecil telah merasakan jiwa kewanitaan yang begitu
dominan dalam dirinya hal tersebtu tercemin dengan perilaku mereka semasa kecil
lebih suka bermain dengan anak perempuan dengan permainan perempuan seperti
memasak,menari,bernyanyi dan lainnya.
Faktor emisonal yakni perasaan terus mengahantui mereka hingga tumbuh
membentuk mindset bahwa mereka seharusnya menjadi perempuan dan beriring
waktu tumbuh rasa ketertarikan dengan sesama jenis. Pernyataan dari Puspa dan
Mitha sangat mirip dengan dasar Teori Sendiri(The self Theories) dimana Seorang
ahli bernama Edward Wells menyatakan pendapatnya tentang teori ini terdapat
kesulitan emosional dan penyimpangan perilaku yang dihipotesiskan agar terjadi
diantara bayangan sendiri baik itu permintaan atau keinginan sendiri.
Sedangkan Elna melakukan aktivitas protistusi akbat dorongan kebutuhan
ekonomi yang mendesak diantaranya kelilit hutang,belum mendapatkan
pekerjaan,dan tidak ingin bekerja berat. Mentalitas mereka yang seperti itulah yang
mendorong mereka kedalam jurang protistusi. Saat itu kegiataan protistusi menjadi
satu-satu jalan keluar bagi mereka untuk mengatasi permasalahannya,dengan
wujud kepribadian masih jiwa pria seutuhnya. Lingkuan pergaulan kehidupannya
yang terus tumbuh dalam sehari-hari secara tidak sadar dan langsung membentuk
kepribadian mereka menjadi seoerti seorang waria sesungguhnya. Pernah ada kata
bijak yang biasa orang dewasa katakan ialah,”janganlah sekalu-kali mencoba maka
hal tersebut akan membuatmu terjerumus kedalam perkara”. Kalimat tersebut
biasanya disampaikan orang dewasa kepada anak-anak dan remaja untuk tidak
mencoba-coba menggunakan narkoba yang kelak berakibatkan ketagihan,namun
kita bisa kita gunakan pula dalam kasus protistusi. Yang awalanya hanya sebagai
kebutuhan ekonomi namun kini berdampak terhadap mindset dan kepribadian Elna
dan Ana yang telah nyaman menjadi sosok seperti wanita. Kasus tersebut dapat
dikatakan masuk dalam Strain Theory (Teori Tegang atau Teori Anomi),karena
terdapat kejadian dimana hancurnya keteraturan sosial akibat hilangnya tombak
nilai-nilai norma .
Kehidupan kini semakin sulit,persaingan dan kerasnya hidup begitu terlihat.
Dengan adanya setiap individu yang berusaha berjuang bertahan hidup meski harus
merelakan harga dirinya dan hidup tidak sesuia kondrat diri dari tuhan. Para pelaku
gay yang pernah mecoba asam asin nya kehidupan protistusi yang harus mereka
kerjakan dan jalani semabari mendapatkan penilaian negatif dari masyarakat terus
saja mereka berlari tanpa menghiraukan perkataan-perkataan yang mungkin bisa
dikatakan menyakitkan hati mereka.
Mereka yang awalnya hanya karena kebutuhan ekonomi saja,namun kini
berubah sepenuhnya menjadi waria akibat labeling masyarkat serta perasaan
terkucilkan bersama semua para pekerja protistusi sehingga secara tidak langsung
memperkuat hubungan keterkaitan mereka satu sama lain akibat merasakan
perasaan yang senasib,dan itupun tidak mengurangi keragukan mereka dalam
mempertahankan keputusan yang telah mereka buat.
Dalam kehidupan sehari-hari kini mereka terbiasa menggunakan pakaian
perempuan sekaligus berdandan. Mereka berupuaya merubah dirinya sesempurna
mungkin untuk terlihat dan menjadi wanita seutuhnya.
Operasi yang merupakan suatu tindak medis yang awalnya begitu
memberikan gambaran menakutkan bagi masyarakt,namun tidak bagi mereka yang
sudah tak asing atas tindak operasi. Operasi yang mereka inginkan untuk merubah
100% jati dirinyaa itu. Bahkan mereka rela menghabiskan pengeluaran besar demi
mimpinya tersbut. Biasanya mereka akan melakukan operasi pembentukan
payudara hingga pembentukan alat kelamin bar serta penanaman rahim agar bisa
memenuhi hasrat mereka sepenuhnya.
C. Solusi
Pada periode tahun 2008-2013 dan 2013-2018 jabatan Bupati Kudus
berhasil dijabat oleh Musthafa. Berdasarkan pernyataan narasumber bahwasanya
beliau pernah menjanjikan bagi kaum waria kelak dimasa kepemerintahaanya akan
dibantu oleh pemerintah dengan dialokasikan pekerjaannya melalui pendanaan
guna membuka lapangan usaha. Janji-janji itulah yang hingga kini masih diingat
oleh kaum waria atau guy. Janji itu hanya omong kosong dan pemanis beliau agar
beliau menang dalam pemilihan bupati tersebut.
Berdasarkan pernyataan Mitha,beliau pernah melakukan pemeriksaan
psikologis dan kesehatan bagi orang-orang golongannya dari dinas sosial,dan hasil
yang didapatkan dia pun baik-baik saja,itulah lontaran yang ia katakan.
Bagi para waria ataupun guy baik yang melakukan kegiataam protistusi
secara terang-terangan maupun tidak merupakan jalan pilihan hiudp mereka yang
telah mereka tetapkan. Karena mereke berprisnsip,setiap orang memiliki jalan
kehidupannya sendiri-sendiri,ada rejekinya masing-masing,dan kegiatan tersebut
dilakukan atas dasar sukam sama suka,setuju sama setuj dan mereka beranggapan
bahwa itu tidak merugikan orang lain yang padahal dibalik itu banyak orang yang
dirugikan dari keputusan mereka walaupun pelanggan mau namun ada sisi lain
yang merasa kecewa.
Baik dari dampak di bidang kesehehatan berupa timbulnya penyakit
kelamin,tidak memperoleh keturanan sedarah,hingga penyakit parah yakni HIV
and AIDS. Sedangkan dalam bidang sosial kemasyakaratan,timbulnya
penyimpangan sosial yang semakin besar jika dibiarkan saja,maka kebiasaan itu
akan menjadi virus yang menyebar luas dengan cepat jika tidak ditanggulangi
segera. Kebahagian yang murni sepasang sebagai sepasang kekasih pria-wanita
tidak bisa pelaku rasakan. Dalam segi hukum banyak yang melanggar diantaranya
norma kesusilaan,norma agama,dan lainnnya. Dan yang paling vital yakni
melanggar perintah dan larangan tuhan. Disetiap agama melarang adanya
hubungan sesama jenis baik yang belum terikat dalam pernikahan maupun sudah
terikat dalam pernikahan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tindakan protistusi yang identik dengan tindakan penmyimpangan sosial
yang berakibat fatal melanggaran aturan agama secara terpampang nyata.Kegiatan
perzinahan yang sudah menjadi biasa dilakukan baik sebelum menikah baupun
sesudah menikah terus mendapatkan penolakan dari masyarakat.
Penolakan yang sangat bertentang dari masyarakat tersebut mendorong
timbulnya padangan mengenai pelanggaran hak asasi manusia dalam bebas
menentukan pilihannya.Sudut pandang dari pelaku yakni waria atau guy sangat
merugikan bagi mereka,karena ativitas protistusi ini sebagai sumber rejeki
sekaligus ladang pelampiasan hasrat seksual mereka terhadap sesama jenis.
Kasus yang dialami oleh narasumber didasari oleh penyebab yang
berbeda,namun intinya kegiatan yangmere kerjakan tersebut sudah menjadi selimut
bagi mereka sehingga keinginan untuk berubah menjadi wanita seutuhnya sangat
diinginkan oleh para pelaku waria atau guys.
Dalam peristiwa LGBT yang gencar ditentang oleh masyarakat indonesia
sangat mencuri perhatian masyarakat. Karena negara-negara lainnya seperti
australia dan barat telah mensahkan hubungan perkawainan sesama jenis. Dasar
hukum indonesia yang kental dengan hukum islam akibat 80% populasi penduduk
beragama islam sangat menentang kebijakan tersebut jika diterapkan di indonesia.
Penentangan tersebut tentunya didasari dengan argumen yang kuat,dima terdapat
banyak mudarat atau kejelekan yang didapatkan dari adanya hubungan sesama
jenis,diantaranya mudah terjadi penyakit kelamin,HIV AIDS,tidak adanya
keturunan,hingga melarang kodrat yang tuhan telah berikan.
B. Saran
1. Sebaiknya pemerintah lebih proaktif dalam menjalankan tugasnya dan
kewajibannya
2. Sebaiknya pemerintah berusaha mencari jalan keluar yang bisa
menguntungkan semua pihak dan sesuai dengan peraturan perundang-
udangan
3. Dari pihak waria, janganlah kalian terlalu acuh dengan kritikan
masyarakat,karena sesungguhnya kita semua hidup bermasyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Jamaludin, Adon Nasrullah. 2016. Dasar-Dasar Patologi Sosial. Bandung: CV Pustaka Setia

Kartono, Kartini. 1999. Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Burlian, Paisol. 2016. Patologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara

Sarwono, S. W. 2000. Psikologi Remaja. Jakarta: CV Rajawali

Masland, R.P. dan Estridge, D. 2004. Apa yang ingin diketahui Remaja tentang Seks. Alih
Bahasa: Windy, M. T. Jakarta: Bumi Persada

Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Dody Hartanto. 2006. Aku Memang Gay (Studi Kasus Tentang Konsep Diri Homoseks Di
Kota Yogyakarta). Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Oetomo, Dededkk. 2016. Tinjauan Terhadap Lesbian Gay Biseksual dan Transgender
(LGBT) Dari Perspektif Hukum Pendidikan Dan Psikologi.Lampung: Lampung:
STAIN Jurai Siwo Metro Lampung

Gallo Ajeng Yusinta Dewi, Endang Sri Indrawati. 2017. PENGALAMAN MENJADI GAY
(Studi Fenomenologi pada Pria Homoseksual Menuju Coming Out). Jurnal Empati.
Volume 7. Nomor 3 Halaman 116 - 126

Wahyu Rahardjo, Irfan Irwansyah Hutagalung. 2016. Harga Diri Seksual, Kompulsivitas
Seksual, dan Perilaku Seks Berisiko pada Orang dengan HIV/AIDS. Jurnal Psikologi
Universitas Gadjah Mada
DOKUMENTASI
Narasumber 1 : Puspa

Narasumber 2: Mitha

Narasumber 3: Elna
(Tidak ingin dilampirkan fotonya)

Anda mungkin juga menyukai