Disusun untuk memenuhi tugas Ulangan Akhir Semester mata kuliah Patologi Sosial
Disusun oleh :
NIM : 3601417042
Rombel : 2
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beren (2013) menyatakan bahwa homoseksualitas terjadi di seluruh lapisan
masyarakat dunia dengan perkiraan 21% pria di dunia adalah kaum gay. Fenomena ini
sudah ada sejak jaman Yunani kuno, bahkan hampir ditemukan dalam setiap budaya
di dunia. Menurut Oetomo (2011) masyarakat Yunani Kuno memiliki mitologi yang
penuh berisi tentang kisah percintaan sesama jenis, seperti antara Zeus dengan
Ganymede, Herakles dengan Iolaus (Hylas), dan Apollo dengan Hyakinthus. Menurut
Oetomo (2001) pada budaya timur, homoseksual diceritakan pada zaman Nabi Luth
yang disebutkan dalam Al-Quran disebut dengan “liwath”, artinya “senggama melalui
dubur”. Hal ini berarti melakukan sesuatu tidak pada tempatnya, hal tersebut
hukumnya zina. Kitab Injil pun menuliskan, pada Roma 1 : 26-27, Paulus
mengingatkan, bahwa praktik homoseksual adalah sebagian dari bentuk kebejatan
moral, yang sebenarnya orang-orang Kristen sudah dibebaskan dan disucikan oleh
Kristus.
Papalia, Old, dan Feldman (2012) menjelaskan bahwa homoseksualitas adalah
fokus ketertarikan seksual, romantis, dan kasih sayang yang konsisten kepada jenis
kelamin yang sama, sedangkan gay adalah sebutan untuk pria yang memiliki
homoseksualitas pria. Pendapat yang selaras pun dikemukakan oleh Nevid, Rathus,
dan Greene (2005) menyatakan bahwa homoseksual adalah kecenderungan orientasi
seksual yang ditandai dengan minat erotis dan keinginan untuk membangun hubungan
romantis terhadap sesama jenis kelaminnya. VandenBos (2007)menjelaskan
homoseksual adalah dorongan seksual, perasaan, atau hubungan yang ditujukan pada
anggota jenis kelamin yang sama.
Papalia, Old, dan Feldman (2011) menjelaskan bahwa faktor pembentuk
homoseksualitas adalah hubungan pola asuh yang terganggu seperti dorongan
orangtua terhadap perilaku lintas-gender dan tidak biasa, imitasi orangtua
homoseksual, peluang untuk belajar melalui rayuan oleh homoseksual.
Dewasa ini, gay menjadi hal yang wajar menurut sudut pandangan masyarakat
Barat yang dibuktikan dengan disahkannya pernikahan sesama jenis pada tanggal 26
Juni 2015 oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat. Disamping itu, pada Desember
1973, jauh sebelum disahkannya pernikahan sesama jenis, Dewan Pengawas Asosiasi
Psikiater Amerika menghapuskan gay (homoseksualitas) dari tatanan resmi gangguan
kejiwaan, “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Second Edition”
(DSM-II). Para ahli menemukan bahwa homoseksualitas tidak memenuhi krtiteria
untuk dianggap sebagai suatu penyakit jiwa. Sarwono (2013) menyebutkan
homoseksualitas telah dimasukkan ke dalam gangguan mental di DSM-1 pada tahun
1952 sebagai gangguan kepribadian sosiopath, dikarenakan dianggap melanggar
norma masyarakat. DSM-II yang diterbitkan pada tahun 1968, menjadikan
homoseksualitas sebagai daftar kelainan seksual, namun tidak dimasukkan sebagai
gangguan kepribadian. Pada PPDGJ pun homoseksualitas sudah dihapuskan sejak
tahun 1983 pada PPDGJ II. Hingga pada revisi terakhirnya, yakni PPDGJ yang
diterbitkan tahun 1993, homoseksualitas dikatakan sebagai sesuatu yang normal
(PPDGJ III).
Menurut buku pedoman gangguan kejiwaan, baik DSM maupun PPDGJ,
kaum homoseksual khususnya kaum gay merupakan hal yang normal, namun dengan
populasi Indonesia yang sebagian besar beragama. Pandangan negatif yang dimiliki
oleh masyarakat dikarenakan homoseksual merupakan perilaku yang menyimpang
dari norma sosial (Azizah, 2013). Pendapat ini diperkuat oleh sebuah survey yang
dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2007 (Samodra, 2013) menunjukkan
bahwa hanya 3% responden dari Indonesia yang mendukung homoseksualitas, sisanya
menolak keras.
Penolakan masyarakat ini membuat kaum gay melakukan perkumpulan secara
tidak terang-terangan dan kesulitan membuka diri. Proses “membuka diri” ternyata
terkait dengan kemampuan penyesuaian psikologis dalam dirinya. Semakin yakin
akan identitas mereka sebagai gay maka semakin baik kesehatan mentalnya serta
semakin tinggi rasa percaya diri atau penerimaan diri mereka dan mampu melakukan
penyesuaian diri yang baik dalam kehidupannya.
Papu (2002) menjelaskan gay setelah mengidentifikasi diri sebagai
homoseksual akan melakukan pengungkapan diri yang dikenal dengan istilah coming
out. Coming out adalah pemberian informasi tentang diri sendiri kepada orang lain.
Paul (dalam Maulana, 2012) pun menegaskan bahwa coming out adalah suatu
penegaskan bahwa identitas seksual sebagai homoseksual terhadap diri dan orang lain
yang mengandung risiko bahaya. Adanya risiko ini membuat gay untuk siap
menerima label dari individu lain perihal identitas seksual sebagai homoseksual.
Pendapat ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Johnson (dalam
Gainau, 2009) yang menunjukkan bahwa individu yang mampu membuka diri akan
dapat mengungkapkan diri dengan tepat.
Kenyataannya, tidak semua kaum gay tidak diterima oleh masyarakat, seperti
contoh penulis terkenal Dede Oetomo dan perancang busana Oscar Lawalata. Contoh
kasus tersebut memperlihatkan bahwa tidak semua kasus homoseksual ditolak oleh
masyarakat, tetapi juga tidak semua bisa diterima. Penerimaan masyarakat terhadap
kaum homoseksual, khususnya gay, tergantung pada kemampuan individu tersebut
dalam menyesuaikan diri secara sosial. Agar tetap diterima masyarakat, kaum gay
cenderung menutup diri bahkan berusaha menutupi jati dirinya dengan berpura pura
tidak mengalami keabnormalan.
Keadaan yang kontradiktifnya adalah, di dalam komunitas tersebut kaum gay
kompak dengan mempertahankan eksistensi. Kaum gay di Indonesia sudah mulai
menunjukkan identitasnya di tengah masyarakat. Menurut Emka (2015), kaum gay
saat ini memiliki ruang untuk mengekspresikan diri. Bentuk ekspresi diri yang
dilakukan dengan cara menjadi aktivis HIV-AIDS di Indonesia. Meskipun demikian,
menurut Azizah (2013) pun realita keberadaan gay di masyarakat membuat gay sulit
untuk melakukan penyesuaian sosial. Schneider (dalam Mu’tadin, 2002)
mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai kapasitas untuk memberikan respon secara
efektif dan utuh pada realitas sosial, situasi sosial, dan hubungan sosial sehingga dapat
memenuhi kebutuhannya secara sosial dalam cara yang dapat diterima dan
memuaskan. Schneider pun menyatakan individu yang penyesuaian dirinya baik
adalah individu yang memberikan respon yang matang, efisien, bermanfaat dan
memuaskan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah latar belakang para gay melakukan penyimpangan tersebut ?
2. Bagaimana analisis kasus tersebut?
C. Tujuan
1. Untuk mngetahui latar belakang para gay melakukan penyimpangan tersebut
2. Untuk mengetahui bagaimana analisis tersebut
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi-informasi tentang masalah
sosial khususnya fenomena homoseksual.
2. Manfaat Praktis
a. Guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Patologi Sosial
b. Menambah pengetahuan bagi mahasiswa
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Gay atau Homoseksual
Banyak orang melakukan aktivitas seksual dalam beberapa cara. Sebagian orang
melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis. Akan tetapi beberapa orang melakukan
hubungan seksual dengan orang yang berjenis kelamin sama. Keanekaragaman perilaku
seksual ini mungkin disebabkan oleh rasa ingin tahu seseorang atau oleh situasi khusus
tertentu. Misalnya keterbatasan seksual seperti yang digambarkan dalam beberapa bentuk
perilaku homoseksual di penjara. Homoseksual adalah istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan kecenderungan umum hubungan seks dengan orang lain yang berjenis
kelamin sama.
Pada dasarnya pola peran dan tingkah laku seksual yang berkaitan dengan
maskulinitas dan feminitas merupakan sesuatu yang dipelajari, bukan sesuatu yang bersifat
biologis. Homoseksualitas dan heteroseksualitas dapat dipahami dengan menggunakan tiga
konsep, yaitu, pertama, pengambilalihan peran seks. Hal ini lebih pad adopsi aktif
terhadap ciri-ciri perilaku seks seseorang terhadap orang lain, bukan hanya keinginan
untuk mengadopsi sejumlah perilaku. Pengambilalihan peran seks ini biasanya disebut
penolakan peran seks atau peran gender. Kedua, kecenderungan peran seks, yaitu
keinginan untuk mengadopsi perilaku yang berhubungan dengan jenis kelamin yang sama
atau berbeda. Ketiga, identifikasi peran seks. Identifikasi peran seks merupakan persatuan
yang nyata antara takdir peran seks dan reaksi tak sadar bahwa takdir itu merupakan ciri-
ciri dari peran seks. Dengan kata lain, seseorang menghayati peran seks tertentu,
mengembangkan konsep dirinya dengan jenis kelamin lain, dan mengadopsi sebagian
besar karakteristik perilaku jenis kelamin lain tersebut (Siahaan, 2009 ; 44).
Dari sudut pandang homoseks, ada kecenderungan perasaan subjektif bahwa orang
yang berjenis kelamin sama lebih secara seksual dibandingkan orang yang berjenis
kelamin berbeda. Sejauh mana seseorang mengkombinasikan pengakuan homoseks yang
tinggi merupakan hasil dari pada partisipasinya pada subkebudayaan tersebut. Sebagian
besar anak-anak secara alami melakukan percobaannya dengan anggota kelompok jenis
kelamin berbeda sulit atau tidak memungkinkan. Pengalaman ini bagimanapun juga tidak
selalu mengarah ke homoseks atau pola perilaku homoseksualitas, karena sejumlah
perilaku seks diantara anak laki-laki itu mungkin hanya disertai dengan sedikit perasaan
emosi. Pengalaman homoseksual yang paling signifikan dapat didefenisikan jika seseorang
melakukannya dengan orang dewasa atau mengulangi perbuatannya dengan orang yang
sama selama setahun atau lebih (Siahaan, 2009 ; 44).
Mengutip kalimat dari Judeo – Christian, menjelaskan bahwa homoseksualitas
perbuatan yang dilarang dan dihukum di negara Eropa sampai Revolusi Perancis meletus,
dimana setelah itu hukum menjadi lebih toleran. Dari sudut pandang penegakan hukum,
terdapat beberapa aktivitas kriminal yang diasosiasikan dengan komunitas homoseksual,
utamanya pada bagian mereka yang mencari mangsa homoseksual, penjebakan, penipuan,
perampokan, pemerasan, dan terkadang hingga terjadi pembunuhan (Hagan, 2013 : 626).
Menurut Clinard & Quinney (1973,h.87) meskipun terdapat banyak variasi namun
perilaku homoseksual ini dapat dibedakan, mereka yang berpartisipasi dalam aktifitas
homoseksual secara sederhana dapat dibedakan dalam dua tipe : pertama, perilaku
homoseksual situasional dan kedua preferensial. Kategori tipe homoseksual situasional
adalah mereka yang memilih aktivitas heteroseksual tapi berpartisipasi dalam aktivitas
homoseksual sebagai cara pengganti atau temporer terhadap gratifikasi erosi atau cara
untuk mendapatkan uang. Kategori tipe homoseksual preferensial mencari gratifikasi
seksual secara dominan dan terus menerus dari jenis kelamin yang sama. Individu seperti
itu cenderung membangun konsep diri homoseksual dan bergabung dengan subkultur gay
atau homoseksual. Pada kenyataanya, ragam peran homoseksual dapat dibedakan,
termasuk terbuka atau tersembunyi, menyesuaikan diri atau tidak menyesuaikan diri,
homoseksual sejati atau situasional, dan primer atau sekunder.
Selanjutnya, Sykes (1958, hal 95- 97) menjelaskan banyak individu yang
berpartisipasi dalam aktivitas homoseksual tapi tidak mengidentifikasikan diri mereka
sendiri sebagai homoseksual. Banyak homoseksualitas situasional terjadi dalam
lingkungan seksual yang terisolasi seperti penjara, sekolah berasrama satu jenis kelamin,
dan lingkungan militer. Dipenjara misalnya, para “serigala”mendesakkan maskulinitas
mereka dengan meminta fellatio (stimulasi oral) pada diri mereka atau menyodomisasi
“ratu” yang mengaku homoseksual, atau “punk” pria lemah yang dipaksa melakukan
pelayanan seksual.
B. Kajian Teori
1. Teori Fenomenologi
Edmund Husserl merupakan tokoh penting dalam filsafat
fenomenologi. Secara khusus Husserl mengatakan bahwa pengetahuan
ilmiah telah terpisahkan dari pengalaman sehari-hari dan dari kegiatan-
kegiatan dimana pengalaman dan pengetahuan berakar, tugas
fenomelogilah untuk memulihkan hubungan tersebut. Fenomenologi
sebagai suatu bentuk dari idealisme yang semata-mata tertarik dengan
struktur-struktur dan cara-cara bekerjanya kesadaran manusia serta dasar-
dasarnya, kendati kerap merupakan perkiraan implisit, bahwa dunia yang
kita diami diciptakan oleh kesadaran-kesadaran yang ada di kepala kita
masing-masing. Tentu saja tidak masuk akal untuk menolak bahwa dunia
yang eksternal itu ada, tetapi alasannya adalah bahwa dunia luar hanya
dapat dimengerti melalui kesadaran kita tentang dunia itu.
Alferd Schutz, seorang murid Husserl mengatakan bahwa sebutan
fenomenologis berarti studi tentang cara dimana fenomena, hal-hal yang
kita sadari muncul kepada kita dan cara yang paling mendasar dari
pemunculannya adalah sebagai suatu aliran pengalaman-pengalaman
inderawi yang berkesinambungan yang kita terima melalui panca-indra kita.
Secara keseluruhan Schurtz memusatkan perhatian pada hubungan
dialektika antara cara individu membangun realitas sosial dan realitas
kultural yang mereka warisi dari para pendahulu mereka dalam dunia
sosial.
2. Teori Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik memandang bahwa manusia bukan dilihat
sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif, tetapi
paling tidak sebagian merupakan aktor-aktor yang bebas. Rumusan yang
paling ekonomis dadri asumsi-asumsi interaksionis datang dari karya
Herbert Blumer:
1) Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna-makna yang
dimilki benda-benda itu bagi mereka
2) Makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam
masyarakat manusia
3) Makna-mkana dimodifikasikan dan ditangani melalui suatu proses
penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam
keterlibatannya dengan tanda-tanda yang dihadapinya.37 Teori ini
menyatakan bahwa tanggapan seseorang tidak dibuat secara
langsung terhadap tindakan lain, tetapi didasarkan pada: makna”
yang diberikan terhadap tindakan orang lain tersebut.
Interaksi antar individu dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol,
interpretasi atau saling berusaha untuk saling memahami maksud dari
tindakan masing-masing individu. Pandangan Goffman mengenai konsep
diri, mengungkapkan bahwa ketaksesuaian antara diri manusia kita dan diri
kita sebagai hasil proses sosialisasi. Goffman membangun konsep
dramaturgi atau pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan
pertunjukan drama, seperti yang ditampilkan di atas pentas. Goffman
berasumsi bahwa saat berinteraksi, aktor ingin menampilkan perasaan diri
yang dapat diterima oleh orang lain. Tetapi, ketika menampilkan diri, aktor
menyadari bahwa anggota audien dapat mengganggu penampilannya.
Karena itu aktor menyesuaikan diri dengan pengendalikan audien, terutama
unsur-unsurnya yang dapat mengganggu.
3. Teori Labelling
Menurut Howard S. Becker tindakan perilaku menyimpang
sesunguhnya tidak ada. Setiap tindakan sebenarnya bersifat “netral” dan
“relatif”. Artinya, makna tindakan itu relatif tergantung pada sudut pandang
orang yang menilainya. Sebuah tindakan disebut perilaku menyimpang
karena orang lain/masyarakat memaknai dan menamainya (labeling)
sebagai perilaku menyimpang. Penyebutan sebuah tindakan sebagai
perilaku menyimpang sangat bergantung pada proses deteksi, definisi, dan
tanggapan seseorang terhadap sebuah tindakan.
Teori labelling menekankan pada pentingnya definisi-definisi sosial
dan sanksi-sanksi sosial negatif yang dihubungkan dengan tekanan-tekanan
individu untuk dalam tindakan yang lebih menyimpang. Analisis tentang
pemberian cap itu dipusatkan pada reaksi orang lain. Artinya orang-orang
yang memberi definisi, julukan, atau pemberian label (definers/ labers)
pada individu-individu atau tindakan yang menurut penilaian orang tersebut
adalah negatif.
Bagi masyarakat umum, menyukai sesama jenis adalah perasaan
yang tidak wajar karena tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku
di masyarakat sehingga orang-orang yang memiliki kecenderungan
menyukai sesama jenis diberi cap atau label negatif. Konsekuensi dari
pemberian label tersebut mungkin akan berakibat serius pada tindakan
penyimpangan yang lebih lanjut, dimana cap menyimpang akan
menghasilkan sutau sosial yang menyimpang juga.
4. Teori Kontrol
Munculnya teori kontrol adalah penyimpangan yang merupakan
hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori dibangun atas
dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada
hukum dan memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum.
40Dalam situasi tertentu manusia mempunyai kecenderungan untuk
melanggar norma-norma yang ada dalam masyarakat. Seperti halnya
seorang homoseksual, meskipun ia menyadari bahwa menyukai sesama
jenis adalah perilaku yang tidak wajar namun ia tetap saja mencari
pasangan dari jenis yang sama dengannya karena kecenderungan untuk
melanggar norma itu ada dan tertanam pada dirinya.
Suatu sistem pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keadaan
damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan/ kesebandingan
41. Norma yang ada dalam masyarakat disosialisaskan kemudian kepada
generasi penerus melalui proses sosialisasi. Adanya norma tentunya
bertujuan untuk mencapai kehidupan yang ideal, namun ketika dalam
prosesnya ada hal yang menyimpang maka diperlukan suatu sistem
pengendalian sosial untuk menanggulangi atau meminimalisir
penyimpangan tersebut. Demikian pula dengan homoseksual, suatu sistem
pengendalian sosial diperlukan untuk mengatasi masalah homoseksual
tersebut.
C. Penelitian Yang Relevan
1. Penelitian dengan judul Kehidupan Kaum Homoseksual di Kabupaten
Bangli oleh Kadek Sri Juniartini mahasiswa program pascasarjana
program studi sosiologi, konsentrasi kebijakan dan kesejahteraan sosial
tahun 2008. Hasil penelitiannya menunjukkkan bahwa terdapat
hubungan negatif antara orientasi homoseksual di Kabupaten Bangli
dengan keberfungsian keluarga. Artinya semakin meningkatnya
keberfungsian sosial keluarga di Kabupaten Bangli dalam
melaksanakan tugas kehidupan, peranan dan fungsinya maka akan
semakin rendah kemungkinan orientasi homoseksualnya. Sebaliknya
apabila keberfungsian keluarga Kabupaten Bangli rendah maka
kemungkinan terjadinya orientasi homoseksual akan semakin tinggi.
Kekerasan dalam rumah tangga juga memberikan pengaruh yang sangat
besar dalam proses seorang individu memiliki orientasi homoseksual.
Di samping itu, penggunan waktu luang yang tidak terarah merupakan
sebab yang dominan bagi remaja untuk melakukan perilaku
menyimpang. Terdapat perbedaan di dalam penelitian Kadek Sri
Juniarti dan penelitian penulis “Fenomena Homoseksual di
Yogyakarta”. Penelitian penulis fokus pada fenomena homoseksual di
Yogyakarta saja, melingkupi alasan menjadikan homoseksual sebagai
pilihan hidup, eksistensinya dan perspektif masyarakat terhadap
homoseksual tidak membahas secara fokus fungsi dan peranan dan
kontribusi keluarga pada anggota keluarganya yang memang
mempunyai kecenderungan sebagai pencinta sesama jenis namun
persamaannya adalah kedua penelitian ini sama-sama berfokus pada
homoseksual.
2. Penelitian dengan judul “Áku Memang Gay” oleh Dody Hartono,
mahasiswa prodi Bimbingan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan UNY
tahun 2006. Penelitian ini menjelaskan konsep diri yang dimiliki kaum
homoseksual dengan konsep lelaki normal serta faktor penyebab menjadi
homoseksual, menjelaskan pula permasalahan-permasalahan yang
dihadapi kaum homoseksual seperti penerimaan masyarakat, kemandiriran
dan ketergantungan, kecemasan dan pelarian. Penelitian ini mempunyai
persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis.
Persamaan terletak dari lokasi dan subyek penelitian. Lokasi yang di ambil
yaitu di Kota Yogyakarta dan subyek penelitiannya adalah kaum
homoseksual itu sendiri. Perbedaan terletak pada fokus penelitian, kedua
penelitian ini memang menggali tentang kehidupan kaum homoseksual,
salah satunya yaitu faktor penyebab menjadi hjomoseksual namun
penelitian yang telah dilakukan ini juga fokus pada konsep diri lelaki
homoseksual sedangkan penelitian yang akan dilakukann ini adalah
memaknai homoseksual dan mendeskripsikan alasan memilih
homoseksual sebagai jalan hidup, eksistensi homoseksual yang melingkupi
tempat berkumpul, kebiasaan-kebiasaan dan keberadaan komunitas
homoseksual tersebut serta perspektif masyarakat terhadap keberadaan
homoseksual.
3. Penelitian dengan berjudul “Resistensi terhadap homophobia (studi
tentang gay di Yogyakarta dalam menghadapi homophobia)” oleh M Noor
Poedjanadi, mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
UGM tahun 2005. Penelitian ini menjelaskan media massa mempunyai
peranan dalam memperkenalkan homoseksualitas ke khalayak umum dan
membantu orang-orang yang homoseksual mengetahui tentang dirinya
meskipun kadang-kadang secara sengaja ataupun tidak media massa turut
dalam menyebarkan stigma tentang homoseksualitas. Penelitian inipun
melihat kecendurungan adanya homophobia yang merupakan sebuah
kekerasan berwujud pemukulan, dikucilkan, stigma, tidak diakui
identitasnya dan sebagainya di mana sumber utama dari homophobia ini
adalah nilai-nilai yang ada di masyarakat seperti nilai budaya yang masih
patriarkhi dan nilai-nilai agama. Selain nilai-nilai tersebut ketidaktahuan
masyarakat akan permasalahan homoseksual termasuk penolakan terhadap
homoseksual menjadi sumber yang lain terjadinya homophobia.
Homophobia ini membawa dampak bagi kaum gay. Bentuk yang paling
nyata dan terlihat secara fisik adalah luka-luka bekas penganiayaan
maupun pemukulan bahkan yang paling parah biasanya sampai kematian.
Dijelaskan pula adanya pendampingan yang dilakukan oleh LSM PKBI
(Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) namun dirasa masih kurang
maksimal karena komunitas gay yang dijangkau oleh LSM ini masih
kurang, karena masih banyak titik-titik dimana ada komunitas gay namun
belum pernah dijangkau.
\
BAB III
METODE PENELITIAN
Tanggapan Keluarga
Awalnya malu dan sangat menentang namun dengan beriringan waktu pun
Puspa berhasil menyakinkan keluarga agar bisa menerima kondisi beliau
tersebut yang telah memutuskan menjadi wanita seutuhnya dengan mengubah
dirinya baik secara berpakaian,pekerjaan,penampilan fisik dengan
menumbuhkan payudara,hingga hasratnya kepada sesama jenis.
Meyakinkan keluarga dengan alasan bahwa “selama itu tidak merugikan orang
lain,karena pekerjaan tersebut dilakukan oleh dua belah pihak yang saling
setuju dan suka,tidak menjadi masalah bagi narasumber Puspa.
Beliau merasa nyaman dengan apa yang dilakukannya hingga kini.
Dan beliau sering mengirimkan uang kepada keluarganya walaupun bukan
sebagai tulang punngung keluarga.
Alamat Kampung Kb Desa Jati Wetan Kec Jati Kab Kudus ( KOS )
Sejak 2014 melakukan pekerjaan tersebut dan ditambah dengan kerja serabutan
orkes serta design kebaya (sasarannya teman-teman dan masyarakat sekitar)
Belum berkeluarg
Alasan menjadi Gay atau Waria sebagai berikut
Merasa nyaman.
Sehingga tahun 2014 berani mengambil keputusan untuk menjadi waria dengan
pekerjaannya sekarang ini.
Selama itu tidak merugikan orang lain dimana atas suka sama suka,setuju sama
setuju.
Dia sudah merasa nyaman mejadi wanita.
Tanggapan keluarga
Awalnya sangat menetang, hingga sekarang masih menentang namun tidak
separah awal.
Narasumber Mitha mempasrahkan keluarga untuk menganggapnya sebagai anak
atau tidak.
Suka mengirimkan uang ke keluarga
Bukan sebagai tulang punggung
Anak ke 5 dari 6 bersaudara
Peran pemerintah
Pada masa jabatan Bupati Kudus bernama Musthafa yang telah menjabat pada
tahun 2008-2013 dan 2013-2018 pernah menjanjikan untuk membantu masyarakat
golongan mereka baik itu pengalihan fungsi tempat tinggal dan pekerjaan namun
tidak ada tindak nyata
Pernah ada bina sosial seperti pemeriksaan psikologis namun hasilnya pun tidak
ada masalah( kata narasumber)
Masland, R.P. dan Estridge, D. 2004. Apa yang ingin diketahui Remaja tentang Seks. Alih
Bahasa: Windy, M. T. Jakarta: Bumi Persada
Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Dody Hartanto. 2006. Aku Memang Gay (Studi Kasus Tentang Konsep Diri Homoseks Di
Kota Yogyakarta). Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Oetomo, Dededkk. 2016. Tinjauan Terhadap Lesbian Gay Biseksual dan Transgender
(LGBT) Dari Perspektif Hukum Pendidikan Dan Psikologi.Lampung: Lampung:
STAIN Jurai Siwo Metro Lampung
Gallo Ajeng Yusinta Dewi, Endang Sri Indrawati. 2017. PENGALAMAN MENJADI GAY
(Studi Fenomenologi pada Pria Homoseksual Menuju Coming Out). Jurnal Empati.
Volume 7. Nomor 3 Halaman 116 - 126
Wahyu Rahardjo, Irfan Irwansyah Hutagalung. 2016. Harga Diri Seksual, Kompulsivitas
Seksual, dan Perilaku Seks Berisiko pada Orang dengan HIV/AIDS. Jurnal Psikologi
Universitas Gadjah Mada
DOKUMENTASI
Narasumber 1 : Puspa
Narasumber 2: Mitha
Narasumber 3: Elna
(Tidak ingin dilampirkan fotonya)