Anda di halaman 1dari 16

SEKSUALITAS, QUEER THEORY DAN PENELITIAN

KUALITATIF
Joshua Gamson

(Review dari “Sexualities, Queer Theory, annd Qualitative research” in


Handbook of Qualitative Research edited by Norman K Denzin and Yvonna
S.Lincoln, 2000: 347-365).

Ketika kehidupan homoseksual pertama kali terungkap dan diteliti, para peneliti
sosial mengalami kesulitan pragmatis dalam menemukan partisipan penelitian.
Pada masa itu, dimana homoseksualitas menjadi sasaran stigmatisasi sosial yang
keras dengan hukuman yang berat, menemukan homoseks untuk diteliti bukanlah
tugas yang mudah. Tetapi sekitar setengah abad kemudian, ketika hak para lesbian
dan gay mulai dipertimbangkan, subyek yang bersedia untuk diteliti menjadi lebih
mudah untuk ditemukan.
Sejarah penelitian sosial tentang seksualitas memiliki elemen-elemen yang
hampir sama dengan penelitian tentang perempuan, kesukuan dan semacamnya:
yaitu suatu sejarah yang berkaitan dengan politik pergerakan sosial, dimana
kewaspadaan terhadap “sains” digunakan untuk melawan kelompok yang
termarginalisasi, dan oleh karenanya cocok dengan strategi penelitian kualitatif
―yang lebih menekankan pada penciptaan dan kultural, serta pemberian ruang
lebih bagi suara-suara yang selama ini ditekan.
Namun demikian, begitu subyek mulai muncul, secepat itu pula ia
menghilang. Dalam beberapa dekade terakhir, subyek penelitian menjadi hal yang
problematis. Seiring berkembangnya queer theory, subyek lesbian dan gay
menjadi semakin sulit untuk dikenali. Menurut Denzin dan Lincoln (1994: 575),
keberanian untuk memulai penelitian “obyektif” terhadap sekumpulan subyek
kebanyakan justru memberikan kesempatan bagi penganut postmodern untuk
mempertanyakan obytektivitas itu sendiri.
2

Politik Penelitian Seksualitas: Dorongan Kualitatif


Penelitian mengenai seksualitas, terutama homoseksualitas, sejak dulu berkaitan
erat dengan penelitian kualitatif ―sekumpulan praktek penelitian (pengamatan
terlibat dan etnografi, wawancara, analisa tekstual, penelitian historis, dan
semacamnya) yang berbeda dari metode kuantitatif. Dorongan kualitatif sebagian
besar berasal dari konteks politik dimana penelitian tentang seksualitas terbentuk.
Meski terdapat sederetan penelitian ilmu sosial mengenai seksualitas, tetapi
kecurigaan bahwa ilmu positivis dan beberapa profesi ilmiah lainnya berselisih
dengan minat terhadap penegasan homoseksualitas diri justru menjadi semakin
besar. Selain itu, metode kualitatif ini juga cocok dengan tujuan visibilitas,
perubahan kultural dan determinasi sosial.
Sebagian penelitian kualitatif didorong oleh masuknya suara-suara yang
dulunya diam. Denzin dan Lincoln (1994: 7, 9, 11) mengidentifikasi lima moment
penting dalam sejarah penelitian kualitatif, dan penelitian tentang seksualitas ada
diantara kronologi kompleks ini: dari kisah tradisional pengalaman yang
menekankan pada interpretasi yang valid, dapat dipercaya dan obyektif (1900-
1950); ke upaya-upaya modernis untuk memformalisasikan penelitian kualitatif
demi menampilkan narasi sebab akibat (1950-1970); ke periode dimana batasan-
batasan antara ilmu sosial dan kemanusiaan menjadi tidak jelas, dan dimana
peneliti tidak punya hak suara istimewa dalam interpretasi yang ditulis (1970-
1986); ke periode krisis representasi, dimana penelitian menjadi lebih reflektif dan
asumsi bahwa para peneliti kualitatif dapat secara langsung memperoleh
pengalaman nyata dianggap lemah (1986-1990); hingga ke masa postmodern
sekarang ini, dimana baik reori-teori besar maupun konsep peneliti penyendiri
telah sama-sama ditinggalkan. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian kualitatif
memiliki makna yang berbeda-beda pada setiap moment. Dalam kenyataannya,
tidak ada satu moment pun yang dapat bertahan lama.
Istilah lesbi, biseks, gay, homoseks dan transgender umumnya digunakan
untuk menggambarkan identitas seksual dan gender, dan istilah penelitian lesbi
dan gay (atau yang sekarang disebut dengan penelitian lesbi, gay, biseks dan
transgender) umumnya digunakan untuk menunjukkan penelitian atas populasi
3

ini. Sedangkan queer sendiri merupakan istilah yang lebih menyakitkan, mudah
memicu konflik dan membingungkan, baik sebagai identitas maupun penilai
disipliner (Gamson, 1995). Queer menunjukkan identitas yang mengalami
perubahan terus menerus. Queer theory dan queer studies tidak mengkhususkan
diri pada populasi tertentu seperti dalam proses kategorisasi seksual dan
dekonstruksinya. Masing-masing istilah tersebut muncul dengan sekumpulan
politiknya sendiri.

Hubungan yang ambivalen terhadap positivisme


Setelah berkembangnya gerakan feminis, lesbi dan gay pada 1960an dan 1970an,
penelitian tentang seksualitas mulai bercampur dengan proyek politis mengubah
status homoseks yang terstigmatisasi (Adam, 1995). Hal ini disebabkan oleh
terlibatnya positivis dan ilmu sosial dalam memunculkan anggapan
homoseksualitas sebagai sebuah penyakit atau penyimpangan.
Pendekatan awal terhadap homoseksualitas terutama dilakukan oleh
peneliti perkelaminan yang sudah terlatih dalam ilmu pengetahuan alam dan
kedokteran. Meski sering diawali dengan tujuan pembebasan ―untuk
menyelamatkan seksualitas dari cengkeraman religi― penelitian ini juga sering
diawali dan diakhiri dengan asumsi bahwa homoseksualitas merupakan sebuah
penyimpangan; tujuannya lebih sering untuk menguraikan sumber-sumber ilmu
patologi (Weeks, 1985). Para peneliti cenderung memberikan gambaran bahwa
homoseks adalah orang yang sakit, berbahaya atau kriminal. 1 Sampai tahun 1973,
homoseks masih dikategorikan sebagai suatu kelainan psikis, tetapi setelah
melalui banyak perjuangan, menghubungkan politik dengan penelitian ilmiah
homoseksualitas dan status sosial homoseks yang terstigmatisasi dan dianggap
penyakit, homoseks tidak lagi dikategorikan demikian (Bayer, 1981).2 Oleh sebab
itu, tidaklah mengherankan jika kemudian pendekatan kualitatif seringkali
dianggap lebih menarik oleh para cendekiawan.
Ada banyak penelitian ilmiah berorientasi kualitatif yang fokusnya pada
masalah perkelaminan sejenis: dari penelitian milik Kinsey pada 1940an dan
1950an (Kinsey, Pomeroy dan Martin, 1948; Kinsey, Pomeroy, Martin dan
4

Gebhard, 1953) ke penelitian milik Masters dan Johnson (1966) pada 1960an dan
1970an, hingga penelitian berdasarkan survey besar-besaran pada 1990an yang
berjudul Social Organization of Sexuality (Laumann, Gagnon, Michael dan
Michaels, 1994). Kontribusi penelitian Kinsey ―gagasan tentang rangkaian
kesatuan seksual, pengungkapan bagaimana penyebaran dari apa yang disebut
dengan praktek-praktek penyimpangan― merevolusionerkan wacana popular
mengenai seksualitas dengan memberikan bukti-bukti ilmiah yang kondusif dan
revaluasi perilaku moral yang konvensional (D’Emilio, 1983: 33), sehingga
masalah seks pra-nikah, perzinahan dan homoseksualitas menjadi topik yang
dapat diterima dalam sebuah percakapan yang sopan (Jones, 1997: 100). Hampir
sama dengan penelitian Kinsey, penelitian milik Evelyn Hooker (1958) yang
membandingkan profil psikologis kaum homoseks dengan non-homoseks juga
membantu mendemonstrasikan normalitas homoseksual (Nardi dan Schneider,
1998: 3).
Para peneliti sosial seringkali memperlakukan pengetahuan heteroseksis
seperti sebuah mainan, memanfaatkan peralatan dan logika sains untuk menampar
mitos tentang kaum gay: mengadakan penelitian yang membuktikan bagaimana
anak-anak dari kaum lesbian dan gay hanya sedikit berbeda dari mereka yang
anak kaum heteroseks (mis: Patterson, 1992, 1995), membuktikan kebenaran dari
opini publik mengenai antigay dan homofobia, serta kelaziman dan sifat dasar dari
kebenciannya (mis: Herek, 1989, 1997), atau menganalisa keadaan ekonomi kaum
lesbian dan gay (mis: Badgett, 1995). Pada dasarnya ini merupakan penelitian
sosial yang defensif, menguji dan melemahkan hipotesa hipotesa masyarakat
homofobia dengan “fakta-fakta”.3
Respons awal lainnya yang berkaitan dengan hubungan problematis antara
seksualitas dan sains adalah menginvestigasi para “penyimpang” itu sendiri dari
segi metodologis (dan kadang dari segi politis). Meski peneliti semakin dekat
dengan pengalaman subyektif partisipannya, tetapi ia tidak sekonyong-konyong
melompat dari lingkungan politisnya. Penelitian sosiologis kualitiatif mengenai
homoseksualitas pria pada 1970an, misalnya, sebagian besar fokus pada
manajemen stigma (mis: Humphreys, 1970; Leznoff dan Westley, 1956; Reiss,
5

1961), meneliti homoseksual sebagai bagian dari neraka penyimpangan seksual


(Seidman, 1996: 7). Namun demikian, sebagaimana yang disampaikan oleh
Steven Seidman tersebut, walaupun sebagian besar sosiologi dimaksudkan untuk
menggambarkan homoseks sebagai korban ketidakadilan diskriminasi, tetapi
penelitian-penelitian tersebut memberikan kontribusi bagi pembentukan persepsi
publik bahwa homoseks adalah tipe manusia eksotis, aneh, yang berbeda dengan
kelompok heteroseks.

Pergerakan, penelitian minoritas dan penceritaan (narasi) diri


Pada 1970an dan 1980an, para peneliti yang mengembangkan bidang baru dalam
penelitian lesbian dan gay mulai melaksanakan tugas mereka dalam membongkar
sejarah tersembunyi kaum gay dan lesbian, baik dengan cara meraih kembali masa
lalu mereka (Duberman, Vicinus dan Chauncey, 1989; lihat juga Faderman, 1981;
Katz, 1976), maupun dengan cara mencatat pengalaman mereka di masa kini (mis:
Krieger, 1983; Levine, 1979; Newton, 1972). Sebagian besar penelitian ini
dilakukan melalui penelitian etnografis dan historis yang konvensional, tetapi ada
pula yang penceritaan (narasi) diri (Jay dan Young, 1972).
Usaha penceritaan diri ini memunculkan adanya kritik epistemologis yang
implisit mengenai penelitian ilmiah obyektif. Penelitian tentang lesbian yang
dilakukan oleh seorang lesbian bukan hanya merupakan tantangan bagi
lingkungan yang mencap lesbian sebagai kelompok yang tidak kelihatan dan sakit,
tetapi juga merupakan tantangan bagi penelitian kualitatif dimana obyektivitas
“orang luar” dianggap valid dan dimana peneliti non-aktif mempertahankan
kekuasaan untuk merepresentasikan kisah subyeknya (Denzin dan Lincoln, 1994:
8). Penelitian tentang seksualitas tidak hanya berkembang di tengah-tengah sudut
ambivalen ilmu pengetahuan positivis, tetapi juga memberikan respons terhadap
organisasi kelompok minoritas dalam tradisi politik Amerika. Selain itu,
penelitian kualitatif juga menjadikan kelompok seksual minoritas menjadi sorotan
publik.
6

Perubahan konstruksionis
Mengasumsikan kekhususan identitas dan perilaku gay hanya bisa dilakukan
untuk mencari kekhususan lain yang lebih jauh lagi, dan juga untuk
mengelaborasi konstruksi kultural dan historis mereka yang spesifik, yang pada
akhirnya justru meruntuhkan identitas gay yang telah ada (Clough, 1994: 143).
Bidang multidisipliner dari penelitian tentang seksualitas mulai mengental dan
terkonsolidasikan, premis-premis utamanya muncul seketika di bawah serangan-
serangan.
Selama bertahun-tahun, tradisi positivis dari penelitian seksualitas terus-
menerus dikalahkan oleh strategi yang menolak gagasan bahwa alat dan asumsi
ilmu pengetahuan alam cocok untuk penelitian tentang seksualitas. Para peneliti
lesbian dan gay mengkritisi pendekatan positivis yang salah menginterpretasikan
tatanan sosial seksualitas, dan keberatan ini berawal dari peneliti-peneliti sosial
sebelumnya, yang jelas-jelas berada bidang kualitatif, yang mengusulkan adanya
pembedaan antara proses sosial dengan proses interaksional.
Menurut Gagnon dan Simon (1973), seksualitas bukanlah suatu fenomena
stabil yang dapat dipelajari seperti halnya tanaman, melainkan sekumpulan makna
yang melekat pada tubuh dan hawa nafsu individu, kelompok atau masyarakat.
Bertentangan dengan konsep seksualitas dalam biologi, bertentangan dengan
model dorongan seks milik Freud, dan bertentangan dengan obsesi Kinsey
terhadap tabulasi perilaku, para sosiolog menegaskan bahwa makna, identitas dan
kelompok seksual secara subyektif merupakan produk sosial dan sejarah (Epstein,
1996: 145).
Walaupun seringkali bersifat teoretis dalam orientasinya, tetapi
pendekatan konstruksionis memfokuskan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan
yang dianggap tepat dengan pendekatan kualitatif: Bagaimana pengelompokan
seksual tercipta, ditolak, dan apa akibatnya? Bagaimana praktek-praktek seks
sejenis berhubungan dengan identitas yang dibangun, atau tidak dibangun, di
sekeliling mereka? Sementara pendekatan positivis menganggap pengelompokan
7

seksual sudah pasti benar, para siswa yang mempelajari seksualitas mulai
enyelidiki politik, sejarah dan sosiologi dari kelompok dan identitas itu sendiri;
variasi sistem gender/seks memberikan makna bagi tubuh dan kesenangan
menjadi titik krusial (Rubin, 1975). Barbara Ponse (1978), misalnya,
menggunakan metode etnografis untuk meneliti konstruksi sosial identitas dan
maknanya dalam subkultur lesbian. Dengan sifat interpretifnya, metode penelitian
kualitatif ―etnografis, sosiohistoris, dsb― membuat dirinya menjadi mata pisau.5
Dan dengan sifatnya yang antipati terhadap asumsi tentang seksualitas yang
sebgian besar berasal dari pengetahuan seksual, gap antara penelitian kuantitatif
dengan kualitatif menjadi semakin lebar.6
Pada saat yang sama, kategori tertentu diangkat oleh mereka yang
mendefinisikan diri sebagai kelompok di luar identitas kolektif (orang-orang kelas
pekerja, orang-orang kulit berwarna, dsb). Kritik ini ditujukan bagi konstruksi
identitas seksual yang problematis, dekonstruksi minoritas homoseks, dan juga
hubungan antar ras, gender dan identitas sosial (mis: Clarke, 1981; Hemphill,
1991; Seidman, 1993). Menurut konflik ini, siapa diri “kita” bukanlah sesuatu
yang given, melainkan sesuatu yang lebih kompleks daripada yang diasumsikan
oleh penelitian minoritas gay. Pergerakan ini secara bertahap mengarah pada
penelitian kualitatif: Tomas Almaguer, misalnya, mereview tulisan-tulisan
autobiografis dan etnografis untuk memetakan bagaimana homoseks pria Chicano
menjalani hidup mereka melalui dua sistem seksual yang berbeda, sistem Amerika
Eropa yang menekankan poros gay-straight dan sistem Meksiko/Amerika Latin
yang menekankan poros pasif-aktif (Almaguer, 1991).
Akar sosiologis konstruksionisme dan akar politis argumen identitas ganda
dipertemukan dengan pemikiran penting Michael Foucault (1978), sehingga
keduanya banyak terpengaruh olehnya (mis: Greenberg, 1988). Pemikiran
Foucault semakin memperkuat hubungan antara penelitian kualitatif dengan
penelitian tentang seksualitas, dan menandai munculnya fase baru dalam berteori
tentang identitas seksual. Dalam History of Sexuality (1978), Foucault lebih
memusatkan perhatian pada konstruksi sosial wacana seksual, memperkuat
8

skeptisisme mengenai pengetahuan ilmiah, dan mendorong tanya jawab mengenai


kategori seksual.

“Queer Theory” dan Kritik Identitas


Penelitian terhadap seksualitas memasuki fase baru pada awal 1990an seiring
dengan munculnya “queer theory” dan berpisahnya penelitian kuantitatif dengan
kualitatif.7 Queer theory sangat terpengaruh oleh pos-strukturalis, kemunculannya
terutama berasal dari penelitian kultural yang berbasis kemanusiaan, dan ia tidak
terlalu terikat erat dengan politik “queer” yang anti-normatif dan konfrontasional
(Epstein, 1996; Gamson, 1995; Stein dan Plummer, 1996). Queer theory dibangun
dalam pengetahuan konstruksionisme dan Foucault, tetapi juga memberikan
perhatian pada masalah pos-strukturalis dan posmodernis ―kritik identitas dan
politik identitas, penekanan pada wacana dan dekonstruksinya, kecurigaan pada
“narasi besar” (Kellner, 1988; Seidman dan Wagner, 1991). Dengan adanya queer
theory, masa postmodern dalam penyelidikan kualitatif muncul dengan kekuatan
penuh dalam penelitian seksualitas.
Queer theory membawa beberapa perubahan penting dalam penelitian
kualitatif, dan wilayah substantif analisa menjadi semakin luas: Bukan kehidupan
atau identitas gay dan lesbian, konstruksi identitas homoseksual, atau status
minoritas yang perlu mendapat perhatian, melainkan bagaimana perbedaan
homo/hetero itu mendukung segala aspek kehidupan kontemporer. Pemikiran ini
sebenarnya berasal dari teori dan penelitian yang ada sebelum queer theory,
beralih tujuan dari menjelaskan homoseksual modern menjadi mempertanyakan
operasi biner hetero/homoseksual, dari kenikmatan eksklusif dengan
homoseksualitas menjadi fokus pada heteroseksualitas sebagai prinsip pengaturan
sosial dan politis, dan dari politik kepentingan minoritas menjadi politik
pengetahuan dan perbedaan (Seidman, 1996: 9). Dekonstruksi dan kecaman
heteronormativitas dalam berbagai bentuk dan penyemarannya menjadi tujuan
kunci penelitian queer.
Selain itu, queer theory sering memerlukan intervensi-intervensi teoretis
yang serupa dengan semangat dekonstruktif, antinormatif dan antiassimilationist
9

politik queer (Berlant dan Freeman, 1993; Cohen, 1997; Duggan, 1992).
Sebagaimana disampaikan oleh Alexander Doty, queerness membuat pemahaman
dan penggunaan kelompok seksual serta gender menjadi keliru (1993: xvii).
Dengan dimasukkannya orang-orang biseksual dan transgender ke dalam kategori
politis queer, biseksualitas dan transgenderisme menjadi subyek yang semakin
penting bagi teori dan penelitian (mis: Epstein dan straub, 1991; Garber, 1995;
Stryker, 1998a).
10

Wacana, bahasa dan identitas


Bidang penelitian mengenai lesbian, gay, transseksual, biseksual dan sebagainya
secara konsisten menang tipis dari analisa wacana dalam queer studies. Queer
theory mempertanyakan asumsi yang menyatakan bahwa pengalaman nyata dapat
diperoleh dan direpresentasikan secara langsung oleh para peneliti, dan lebih
melihat pada praktek-praktek tekstual dan linguistik (termasuk wacana mengenai
penelitian sosial) yang membentuk subyektivitas seksual. Sebagaimana dijelaskan
oleh Steven Seidman, para teoretikus queer memandang heteroseksualitas dan
homoseksualitas tidak sekedar sebagai identitas atau status sosial, tetapi sebagai
kategori pengetahuan yang membingkai apa yang kita sebut dengan tubuh, nafsu,
seksualitas, identitas. Karena membentuk batasan moral dan hirarki politis, maka
hal ini disebut dengan bahasa normatif. Menurut queer theory, penelitian
mengenai homoseksualitas bukanlah penelitian mengenai minoritas, tetapi
penelitian mengenai praktek-praktek sosial dan pengetahuan yang mengatur
“masyarakat” sebagai keseluruhan (1996: 12-13).
Patricia Clough menyebutkan bahwa bagi para teoretikus queer, gender
(atau seksualitas) bukanlah realitas secara harfiah, bukan pula realitas yang
terkonstruksi secara sosial, tetapi lebih merupakan realitas yang berkaitan dengan
kesusastraan. Oleh sebab itu, toretikus seperti Judith Butler mengajukan mode
baru dalam membaca masyarakat, yang meruntuhkan perbedaan antara fantasi
dengan realitas, fiksi dengan sejarah, polemic dengan wacana akademis, serta
ilmu sosial dengan kritik sastra ―semuanya digambarkan dalam pertentangan
antara homoseksualitas dengan heteroseksualitas (1994: 155).
Secara efektif, Seidman berargumen bahwa sampai pada tingkat dimana
posstrukturalis menurunkan kode-kode kultural menjadi praktek-praktek tekstual,
dan pada tingkat dimana praktek-praktek ini dipisahkan dari konteks-konteks
institusional, kita akan muncul melawan batas-batas posstrukturalis sebagai kritik
sosial (1993: 135). Perspektif teoretis queer telah menegaskan kembali apa yang
dihitung sebagai penelitian kualitatif dengan mempelajari teknik-teknik
kesusastraan ―walaupun bukan tanpa keberatan yang besar (mis: Plummer,
11

1998)― yang sebelumnya diklaim oleh para peneliti sosial empiris. Inti dari
perubahan posstrukturalis dalam penelitian seksualitas adalah skeptisisme yang
besar mengenai eksistensi subyek-subyek sosial.
Identitas bersifat ganda, saling bertentangan, terpisah-pisah, tidak koheren
dan tidak stabil. Sebagaimana diungkapkan oleh Judith Butler (1993: 21),
identitas adalah kesalahan yang penting. Sementara itu, Michael Warner
beranggapan bahwa populasi lesbian dan gay ditentukan oleh banyak batas yang
membuat pertanyaan tentang siapa yang termasuk dan bukan termasuk diantara
mereka menjadi tidak ambigu. Identitas sebagai lesbian atau gay diberikan dan
dipilih secara ambigu (1993: xxv-xxvi). Oleh sebab itu, identitas tidak dapat
dijadikan sebagai titik awal penelitian sosial.
Pada kenyataannya, menurut kritik queer posstrukturalis, subyek tercipta
melalui proses yang tidak berhubungan satu sama lain ―misalnya penelitian
sosial― dan melalui repetisi jasmaniah gender dan seksualitas. Menurut Butler,
ketidakmungkinan adanya pengakuan penuh menyebabkan ketidakstabilan dan
ketidaksempurnaan pembentukan subyek (1993: 18). Secara lebih sederhana,
Plummer menyatakan bahwa tidak ada obyek penting dalam penelitian. Penelitian
gay dan lesbian “membangun” sebuah obyek penelitian yang lebih bersifat
tersebar, terpisah-pisah, overlap dan ganda (1992: 11).8
Munculnya queer studies penuh dengan konflik, sebagian besar
diantaranya berpusat pada apa yang oleh Plummer disebut dengan overtekstualisai
kehidupan lesbian dan gay dimana analisa wacana menyusul analisa peristiwa
nyata dunia. Terdapat penelitian-penelitian penting yang harus dilakukan di dunia
empiris, dan obsesi terhadap teks memang berbahaya. Inilah saatnya untuk
berpindah dari teks. Sementara penyelidikan mengenai lesbian dan gay “bermain”
lebih fantastis di area puisi, novel dan film, relatif hanya sedikit penelitian yang
eksis dalam mempertanyakan apa yang sedang terjadi di dunia lesbian dan gay
saat ini (1998: 611).
Namun demikian, apa yang disampaikan oleh Plummer tersebut mungkin
terlalu berlebihan. Pada kenyataannya, banyak penelitian mengenai kehidupan gay
dan lesbian yang tidak “queer”. Penelitian tentang kehidupan gay dalam korporasi
12

(Woods dan Lucas, 1994), tentang perbedaan seksual dalam kultur penduduk
Amerika asli (Williams, 1992), tentang ulasan media terhadap kaum lesbian dan
gay (Alwood, 1996), dan tentang kehidupan kaum muda yang gay dan lesbian
(Herdt dan Boxer, 1993) adalah beberapa diantara penelitian tersebut. Apa pun
kompleksitas identitasnya, masyarakat dan institusi tempat dimana subyek gay,
lesbian, biseksual dan transgender tersebut menjalani kehidupannya selalu bisa
mengenali mereka dengan mudah.

Tantangan Bagi Kebutuhan Kualitatif


Rangkaian penelitian dan teori yang telah disebutkan sebelumnya ―penelitian
minoritas lesbian dan gay, penelitian seksualitas konstruksionis, queer theory―
hidup berdampingan dalam ketegangan di dalam penelitian tentang seksualitas.
Walaupun mereka sama-sama memiliki fokus kualitatif terhadap pembentukan
makna, dan sama-sama menaruh perhatian pada hubungan antara penelitian
dengan seksualitas politik, masing-masing memiliki implikasi yang berbeda bagi
penelitian yang dilakukan.

Tantangan substantif bagi inklusi homoseksual dalam penelitian kualitatif


Seperti halnya bidang lain yang berasal dari perubahan berdasarkan identitas,
penelitian mengenai lesbian dan gay, dan terutama mengenai queer theory,
memiliki tantangan-tantangan yang sistematis terhadap agenda penelitian bidang
pengetahuan yang lebih tradisional. Tantangan substantif yang sekarang diajukan
dari dan untuk penelitian seksualitas tidak hanya untuk “memasukkan” subyek-
subyek gay dan lesbian ke dalam area penelitian yang telah membuat mereka
tidak kelihatan, tetapi secara fundamental untuk mengungkapkan bagaimana arena
sosial terstruktur sebagian oleh dikotomi homo/hetero.
Hal ini mendorong munculnya arah penelitian baru. Lisa Duggan,
misalnya, mencoba untuk “menghilangkan negara” melalui strategi destabilisasi
heteronormativitas, bukan naturalisasi identitas gay (1998: 570). Sementara itu,
para ahli hukum, politikus dan sosiolog mulai menyelidiki bagaimana negara
bergantung pada perpotongan antara sandi-sandi rasial, seksual dan gender
(Alexander, 1991; Eaton, 1994), membongkar heteronormativitas negara melalui
13

dekonstruksi detil wacana hukumnya (mis: Duggan dan Hunter, 1995). Petunjuk
substantif lainnya juga masih bisa diharapkan karena proses sosial dan institusi
lain tunduk pada analisa yang tidak hanya mempertanyakan bagaimana orang-
orang gay, lesbian, biseksual dan transgender bisa masuk ke dalam gambaran ini,
tetapi juga mempertanyakan bagaimana penelitian institusi tertentu mengenai
heteroseksualitas dan gender bisa memberikan efek.9

Dekonstruksi subyek-subyek yang dipersatukan


Queer theory memunculkan pertanyaan-pertanyaan metodologis dan
epistemologis yang mengacaukan penelitian tentang seksualitas. Walaupun
banyak diantara pertanyaan ini yang masih akan tetap ada, tetapi para peneliti
telah mulai memperhitungkan kompleksitas identitas ini. Salah satu strateginya
adalah dengan menjadikan tradisi penciptaan identitas itu sendiri sebagai fokus
penelitian, sambil mengintegrasikan ketidakstabilan, keserbaragaman dan
keberpihakan identitas ke dalam program penelitian dan analisa. Sosiolog Arlene
Stein, misalnya, berdasarkan tulisannya tentang cerita diri Sex and Sensibility,
melakukan interview dimana para wanita saling bercerita mengenai diri mereka
berkaitan dengan pengalamannya masing-masing, dalam hal ini berkaitan dengan
kasus perkembangan identitas lesbian (1997: 7). Pengaruh queer melekat pada
formulasi proyek penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga mempertimbangkan
sifat tak tentu dari identitas dan batas-batas kelompok, yang oleh Stein disebut
dengan model identitas decentered (1997: 201).
Peneliti perubahan sosial berdasarkan seksualitas selalu berada di garis
depan penciptaan identitas kolektif dari subyek revisi empiris dan teoretis. Mereka
meneliti bagaimana batasan-batasan kelompok, minat, kesadaran terbentuk dan
ternegosiasikan (Phelan, 1989; Taylor dan Whittier, 1992). Queerness di sini
menjadi topik sekaligus sumber untuk menyelidiki logika tindakan kolektif.
Kategori identitas tetap merupakan dasar bagi penindasan sekaligus dasar bagi
kekuatan politik. Jika identitas sifatnya memang lebih tidak stabil, lebih berubah-
ubah dan lebih terkonstruksi dibandingkan dengan perubahan yang diasumsikan,
maka apa yang akan terjadi pada perubahan sosial berdasarkan identitas seperti
14

hak-hak gay dan lesbian? Kasus queerness memerlukan adanya teori


pembentukan identitas kolektif yang lebih berkembang (Gamson, 1995: 391).
Gagasan bahwa etnografi gay merupakan sesuatu dimana identitas
etnografer sebagai seorang lesbi atau gay adalah bagian yang eksplisit dan
terpisah teks (Wafer, 1996: 261) tidak cocok dengan gagasan posstrukturalis yang
menyatakan bahwa identitas semacam itu tidak uniter, tetapi tidak pula stabil, ia
menjadi fokus dari etnografi lesbian [dan gay] (Lewin, 1995: 327). Penelitian
etnografi didefinisikan ulang sebagai “konteks lain untuk mendefinisikan
identitas“ (Lewin, 1995: 332).

Meneliti dan berteori tentang hubungan wacana-institusi


Tantangan terakhir dan mungkin paling produktif bukan berasal dari queer theory
dan penelitian gay dan lesbian itu sendiri, tetapi dari perbedaan antara mereka dan
usaha-usaha untuk merekonsiliasikan mereka. Steven Seidman menyatakan bahwa
baik pada pembela politik identitas maupun kritik posstruktural, sama-sama
memiliki keasyikan dengan diri dan politik representasi. Analisa institusional dan
historis serta pandangan politis integratif nampak sudah tidak ada lagi. Ia
mendesak adanya perubahan dari keasyikan dengan diri dan karakteristik
representasi politik identitas dan posstrukturalisme ke analisa yang menanamkan
diri itu sendiri ke dalam praktek-praktek institusional dan kultural (1993: 136-
137).
Ketegangan yang kompleks antara penelitian lesbian dan gay yang
berorientasi analisa kualititatif secara institusional dengan queer theory yang
berorientasi secara diskursif dapat dijadikan sebagai sumber bagi arah baru
penelitian kualitatif. Tindakan kolektif, yang mengatur proteksi melawan
diskriminasi berdasarkan kategori sosial “gay” dan “lesbian” dan “biseksual” dan
“transseksual”, memerlukan adanya penyelidikan yang rumit. Pada tahun-tahun
mendatang, para peneliti sosial kualitatif akan memiliki peran penting dalam
menutup gap antara teks dengan pengalaman, atau antara wacana dengan institusi,
bukan dengan menyelesaikan persaingan antara ketidakstabilan queer dengan
15

soliditas gay, tetapi dengan mentransformasikan ketegangan dimana penelitian


seksualitas dibangun, ke sumber-sumber baru produktivitas.

Catatan
1. Ini sesungguhnya merupakan cara penting untuk menunjukkan bahwa
penindasan terhadap homoseks berbeda dengan penindasan terhadap
kelompok marginal lainnya: Walaupun perempuan, misalnya, memiliki
stereotype dalam berbagai hal, tetapi mereka tidak kemudian dianggap
sebagai orang sakit atau abnormal; walaupun peneliti yang rasis sering
memperlakukan kaum Afro Amerika sebagai kelompok inferior, tetapi
mereka juga tidak lalu dianggap sebagai kriminal atau orang yang
membutuhkan pengobatan.
2. Menurut Jeffrey Weeks, asosiasi ini telah menjadi konstanta dalam
pengetahuan seksual: Untuk melindungi diri mereka, banyak seksolog
yang menjadi propagandis norma seksual. Penciptaan kumpulan
pengetahuan yang secara ilmiah bersifat netral dapat menjadi sumber
dalam penciptaan definisi normatif yang membatasi perilaku erotis (1985:
79).
3. Penelitian ini sangat bagus dalam mengarahkan perhatian ke
heteroseksisme dan homophobia yang terinstitusionalisasi.
5. Penelitian mengenai faktor-faktor sosial yang menciptakan identitas
homoseks sebagai etnis minoritas baru juga meligitimasi model subkultur
lesbian dan gay sebagai etnis yang seperti minoritas (Seidman, 1996: 9).
6. Telah banyak tulisan mengenai perdebatan esensialis-konstruksionis
(Stein, 1992), dan hal tersebut tidak akan dibahas di sini. Namun
demikian, walaupun esensialisme dan konstruksionisme tidak segaris
dengan metode kuantitatif dan kualitatif, konseptualisasi konstruksionis
mengenai seksualitas cenderung setuju dengan pendekatan kualitatif,
sedangkan konseptualisasi esensialis cenderung lebih dekat ke
pengetahuan positivis, seperti dalam pencarian dasar biologis
homoseksualitas (Burr, 1996).
16

7. Pemisahan tersebut terjadi dengan cukup ekstrim.


8. Seperti yang disampaikan oleh Plummer (1992), kesulitan pemahaman
obyek analisa melekat pada argumen konstruksionis, yang mendahului dan
kemudian masuk ke dalam queer theory. Selain itu, queer theory juga
mempermasalahkan peran penelitian gay dan lesbian itu sendiri.
9. Contoh aplikasi pendekatan ini pada media hiburan dapat dilihat di Freaks
Talk Back: Tabloid Talk Shows and Sexual Nonconformity (Gamson,
1998).

Anda mungkin juga menyukai