KUALITATIF
Joshua Gamson
Ketika kehidupan homoseksual pertama kali terungkap dan diteliti, para peneliti
sosial mengalami kesulitan pragmatis dalam menemukan partisipan penelitian.
Pada masa itu, dimana homoseksualitas menjadi sasaran stigmatisasi sosial yang
keras dengan hukuman yang berat, menemukan homoseks untuk diteliti bukanlah
tugas yang mudah. Tetapi sekitar setengah abad kemudian, ketika hak para lesbian
dan gay mulai dipertimbangkan, subyek yang bersedia untuk diteliti menjadi lebih
mudah untuk ditemukan.
Sejarah penelitian sosial tentang seksualitas memiliki elemen-elemen yang
hampir sama dengan penelitian tentang perempuan, kesukuan dan semacamnya:
yaitu suatu sejarah yang berkaitan dengan politik pergerakan sosial, dimana
kewaspadaan terhadap “sains” digunakan untuk melawan kelompok yang
termarginalisasi, dan oleh karenanya cocok dengan strategi penelitian kualitatif
―yang lebih menekankan pada penciptaan dan kultural, serta pemberian ruang
lebih bagi suara-suara yang selama ini ditekan.
Namun demikian, begitu subyek mulai muncul, secepat itu pula ia
menghilang. Dalam beberapa dekade terakhir, subyek penelitian menjadi hal yang
problematis. Seiring berkembangnya queer theory, subyek lesbian dan gay
menjadi semakin sulit untuk dikenali. Menurut Denzin dan Lincoln (1994: 575),
keberanian untuk memulai penelitian “obyektif” terhadap sekumpulan subyek
kebanyakan justru memberikan kesempatan bagi penganut postmodern untuk
mempertanyakan obytektivitas itu sendiri.
2
ini. Sedangkan queer sendiri merupakan istilah yang lebih menyakitkan, mudah
memicu konflik dan membingungkan, baik sebagai identitas maupun penilai
disipliner (Gamson, 1995). Queer menunjukkan identitas yang mengalami
perubahan terus menerus. Queer theory dan queer studies tidak mengkhususkan
diri pada populasi tertentu seperti dalam proses kategorisasi seksual dan
dekonstruksinya. Masing-masing istilah tersebut muncul dengan sekumpulan
politiknya sendiri.
Gebhard, 1953) ke penelitian milik Masters dan Johnson (1966) pada 1960an dan
1970an, hingga penelitian berdasarkan survey besar-besaran pada 1990an yang
berjudul Social Organization of Sexuality (Laumann, Gagnon, Michael dan
Michaels, 1994). Kontribusi penelitian Kinsey ―gagasan tentang rangkaian
kesatuan seksual, pengungkapan bagaimana penyebaran dari apa yang disebut
dengan praktek-praktek penyimpangan― merevolusionerkan wacana popular
mengenai seksualitas dengan memberikan bukti-bukti ilmiah yang kondusif dan
revaluasi perilaku moral yang konvensional (D’Emilio, 1983: 33), sehingga
masalah seks pra-nikah, perzinahan dan homoseksualitas menjadi topik yang
dapat diterima dalam sebuah percakapan yang sopan (Jones, 1997: 100). Hampir
sama dengan penelitian Kinsey, penelitian milik Evelyn Hooker (1958) yang
membandingkan profil psikologis kaum homoseks dengan non-homoseks juga
membantu mendemonstrasikan normalitas homoseksual (Nardi dan Schneider,
1998: 3).
Para peneliti sosial seringkali memperlakukan pengetahuan heteroseksis
seperti sebuah mainan, memanfaatkan peralatan dan logika sains untuk menampar
mitos tentang kaum gay: mengadakan penelitian yang membuktikan bagaimana
anak-anak dari kaum lesbian dan gay hanya sedikit berbeda dari mereka yang
anak kaum heteroseks (mis: Patterson, 1992, 1995), membuktikan kebenaran dari
opini publik mengenai antigay dan homofobia, serta kelaziman dan sifat dasar dari
kebenciannya (mis: Herek, 1989, 1997), atau menganalisa keadaan ekonomi kaum
lesbian dan gay (mis: Badgett, 1995). Pada dasarnya ini merupakan penelitian
sosial yang defensif, menguji dan melemahkan hipotesa hipotesa masyarakat
homofobia dengan “fakta-fakta”.3
Respons awal lainnya yang berkaitan dengan hubungan problematis antara
seksualitas dan sains adalah menginvestigasi para “penyimpang” itu sendiri dari
segi metodologis (dan kadang dari segi politis). Meski peneliti semakin dekat
dengan pengalaman subyektif partisipannya, tetapi ia tidak sekonyong-konyong
melompat dari lingkungan politisnya. Penelitian sosiologis kualitiatif mengenai
homoseksualitas pria pada 1970an, misalnya, sebagian besar fokus pada
manajemen stigma (mis: Humphreys, 1970; Leznoff dan Westley, 1956; Reiss,
5
Perubahan konstruksionis
Mengasumsikan kekhususan identitas dan perilaku gay hanya bisa dilakukan
untuk mencari kekhususan lain yang lebih jauh lagi, dan juga untuk
mengelaborasi konstruksi kultural dan historis mereka yang spesifik, yang pada
akhirnya justru meruntuhkan identitas gay yang telah ada (Clough, 1994: 143).
Bidang multidisipliner dari penelitian tentang seksualitas mulai mengental dan
terkonsolidasikan, premis-premis utamanya muncul seketika di bawah serangan-
serangan.
Selama bertahun-tahun, tradisi positivis dari penelitian seksualitas terus-
menerus dikalahkan oleh strategi yang menolak gagasan bahwa alat dan asumsi
ilmu pengetahuan alam cocok untuk penelitian tentang seksualitas. Para peneliti
lesbian dan gay mengkritisi pendekatan positivis yang salah menginterpretasikan
tatanan sosial seksualitas, dan keberatan ini berawal dari peneliti-peneliti sosial
sebelumnya, yang jelas-jelas berada bidang kualitatif, yang mengusulkan adanya
pembedaan antara proses sosial dengan proses interaksional.
Menurut Gagnon dan Simon (1973), seksualitas bukanlah suatu fenomena
stabil yang dapat dipelajari seperti halnya tanaman, melainkan sekumpulan makna
yang melekat pada tubuh dan hawa nafsu individu, kelompok atau masyarakat.
Bertentangan dengan konsep seksualitas dalam biologi, bertentangan dengan
model dorongan seks milik Freud, dan bertentangan dengan obsesi Kinsey
terhadap tabulasi perilaku, para sosiolog menegaskan bahwa makna, identitas dan
kelompok seksual secara subyektif merupakan produk sosial dan sejarah (Epstein,
1996: 145).
Walaupun seringkali bersifat teoretis dalam orientasinya, tetapi
pendekatan konstruksionis memfokuskan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan
yang dianggap tepat dengan pendekatan kualitatif: Bagaimana pengelompokan
seksual tercipta, ditolak, dan apa akibatnya? Bagaimana praktek-praktek seks
sejenis berhubungan dengan identitas yang dibangun, atau tidak dibangun, di
sekeliling mereka? Sementara pendekatan positivis menganggap pengelompokan
7
seksual sudah pasti benar, para siswa yang mempelajari seksualitas mulai
enyelidiki politik, sejarah dan sosiologi dari kelompok dan identitas itu sendiri;
variasi sistem gender/seks memberikan makna bagi tubuh dan kesenangan
menjadi titik krusial (Rubin, 1975). Barbara Ponse (1978), misalnya,
menggunakan metode etnografis untuk meneliti konstruksi sosial identitas dan
maknanya dalam subkultur lesbian. Dengan sifat interpretifnya, metode penelitian
kualitatif ―etnografis, sosiohistoris, dsb― membuat dirinya menjadi mata pisau.5
Dan dengan sifatnya yang antipati terhadap asumsi tentang seksualitas yang
sebgian besar berasal dari pengetahuan seksual, gap antara penelitian kuantitatif
dengan kualitatif menjadi semakin lebar.6
Pada saat yang sama, kategori tertentu diangkat oleh mereka yang
mendefinisikan diri sebagai kelompok di luar identitas kolektif (orang-orang kelas
pekerja, orang-orang kulit berwarna, dsb). Kritik ini ditujukan bagi konstruksi
identitas seksual yang problematis, dekonstruksi minoritas homoseks, dan juga
hubungan antar ras, gender dan identitas sosial (mis: Clarke, 1981; Hemphill,
1991; Seidman, 1993). Menurut konflik ini, siapa diri “kita” bukanlah sesuatu
yang given, melainkan sesuatu yang lebih kompleks daripada yang diasumsikan
oleh penelitian minoritas gay. Pergerakan ini secara bertahap mengarah pada
penelitian kualitatif: Tomas Almaguer, misalnya, mereview tulisan-tulisan
autobiografis dan etnografis untuk memetakan bagaimana homoseks pria Chicano
menjalani hidup mereka melalui dua sistem seksual yang berbeda, sistem Amerika
Eropa yang menekankan poros gay-straight dan sistem Meksiko/Amerika Latin
yang menekankan poros pasif-aktif (Almaguer, 1991).
Akar sosiologis konstruksionisme dan akar politis argumen identitas ganda
dipertemukan dengan pemikiran penting Michael Foucault (1978), sehingga
keduanya banyak terpengaruh olehnya (mis: Greenberg, 1988). Pemikiran
Foucault semakin memperkuat hubungan antara penelitian kualitatif dengan
penelitian tentang seksualitas, dan menandai munculnya fase baru dalam berteori
tentang identitas seksual. Dalam History of Sexuality (1978), Foucault lebih
memusatkan perhatian pada konstruksi sosial wacana seksual, memperkuat
8
politik queer (Berlant dan Freeman, 1993; Cohen, 1997; Duggan, 1992).
Sebagaimana disampaikan oleh Alexander Doty, queerness membuat pemahaman
dan penggunaan kelompok seksual serta gender menjadi keliru (1993: xvii).
Dengan dimasukkannya orang-orang biseksual dan transgender ke dalam kategori
politis queer, biseksualitas dan transgenderisme menjadi subyek yang semakin
penting bagi teori dan penelitian (mis: Epstein dan straub, 1991; Garber, 1995;
Stryker, 1998a).
10
1998)― yang sebelumnya diklaim oleh para peneliti sosial empiris. Inti dari
perubahan posstrukturalis dalam penelitian seksualitas adalah skeptisisme yang
besar mengenai eksistensi subyek-subyek sosial.
Identitas bersifat ganda, saling bertentangan, terpisah-pisah, tidak koheren
dan tidak stabil. Sebagaimana diungkapkan oleh Judith Butler (1993: 21),
identitas adalah kesalahan yang penting. Sementara itu, Michael Warner
beranggapan bahwa populasi lesbian dan gay ditentukan oleh banyak batas yang
membuat pertanyaan tentang siapa yang termasuk dan bukan termasuk diantara
mereka menjadi tidak ambigu. Identitas sebagai lesbian atau gay diberikan dan
dipilih secara ambigu (1993: xxv-xxvi). Oleh sebab itu, identitas tidak dapat
dijadikan sebagai titik awal penelitian sosial.
Pada kenyataannya, menurut kritik queer posstrukturalis, subyek tercipta
melalui proses yang tidak berhubungan satu sama lain ―misalnya penelitian
sosial― dan melalui repetisi jasmaniah gender dan seksualitas. Menurut Butler,
ketidakmungkinan adanya pengakuan penuh menyebabkan ketidakstabilan dan
ketidaksempurnaan pembentukan subyek (1993: 18). Secara lebih sederhana,
Plummer menyatakan bahwa tidak ada obyek penting dalam penelitian. Penelitian
gay dan lesbian “membangun” sebuah obyek penelitian yang lebih bersifat
tersebar, terpisah-pisah, overlap dan ganda (1992: 11).8
Munculnya queer studies penuh dengan konflik, sebagian besar
diantaranya berpusat pada apa yang oleh Plummer disebut dengan overtekstualisai
kehidupan lesbian dan gay dimana analisa wacana menyusul analisa peristiwa
nyata dunia. Terdapat penelitian-penelitian penting yang harus dilakukan di dunia
empiris, dan obsesi terhadap teks memang berbahaya. Inilah saatnya untuk
berpindah dari teks. Sementara penyelidikan mengenai lesbian dan gay “bermain”
lebih fantastis di area puisi, novel dan film, relatif hanya sedikit penelitian yang
eksis dalam mempertanyakan apa yang sedang terjadi di dunia lesbian dan gay
saat ini (1998: 611).
Namun demikian, apa yang disampaikan oleh Plummer tersebut mungkin
terlalu berlebihan. Pada kenyataannya, banyak penelitian mengenai kehidupan gay
dan lesbian yang tidak “queer”. Penelitian tentang kehidupan gay dalam korporasi
12
(Woods dan Lucas, 1994), tentang perbedaan seksual dalam kultur penduduk
Amerika asli (Williams, 1992), tentang ulasan media terhadap kaum lesbian dan
gay (Alwood, 1996), dan tentang kehidupan kaum muda yang gay dan lesbian
(Herdt dan Boxer, 1993) adalah beberapa diantara penelitian tersebut. Apa pun
kompleksitas identitasnya, masyarakat dan institusi tempat dimana subyek gay,
lesbian, biseksual dan transgender tersebut menjalani kehidupannya selalu bisa
mengenali mereka dengan mudah.
dekonstruksi detil wacana hukumnya (mis: Duggan dan Hunter, 1995). Petunjuk
substantif lainnya juga masih bisa diharapkan karena proses sosial dan institusi
lain tunduk pada analisa yang tidak hanya mempertanyakan bagaimana orang-
orang gay, lesbian, biseksual dan transgender bisa masuk ke dalam gambaran ini,
tetapi juga mempertanyakan bagaimana penelitian institusi tertentu mengenai
heteroseksualitas dan gender bisa memberikan efek.9
Catatan
1. Ini sesungguhnya merupakan cara penting untuk menunjukkan bahwa
penindasan terhadap homoseks berbeda dengan penindasan terhadap
kelompok marginal lainnya: Walaupun perempuan, misalnya, memiliki
stereotype dalam berbagai hal, tetapi mereka tidak kemudian dianggap
sebagai orang sakit atau abnormal; walaupun peneliti yang rasis sering
memperlakukan kaum Afro Amerika sebagai kelompok inferior, tetapi
mereka juga tidak lalu dianggap sebagai kriminal atau orang yang
membutuhkan pengobatan.
2. Menurut Jeffrey Weeks, asosiasi ini telah menjadi konstanta dalam
pengetahuan seksual: Untuk melindungi diri mereka, banyak seksolog
yang menjadi propagandis norma seksual. Penciptaan kumpulan
pengetahuan yang secara ilmiah bersifat netral dapat menjadi sumber
dalam penciptaan definisi normatif yang membatasi perilaku erotis (1985:
79).
3. Penelitian ini sangat bagus dalam mengarahkan perhatian ke
heteroseksisme dan homophobia yang terinstitusionalisasi.
5. Penelitian mengenai faktor-faktor sosial yang menciptakan identitas
homoseks sebagai etnis minoritas baru juga meligitimasi model subkultur
lesbian dan gay sebagai etnis yang seperti minoritas (Seidman, 1996: 9).
6. Telah banyak tulisan mengenai perdebatan esensialis-konstruksionis
(Stein, 1992), dan hal tersebut tidak akan dibahas di sini. Namun
demikian, walaupun esensialisme dan konstruksionisme tidak segaris
dengan metode kuantitatif dan kualitatif, konseptualisasi konstruksionis
mengenai seksualitas cenderung setuju dengan pendekatan kualitatif,
sedangkan konseptualisasi esensialis cenderung lebih dekat ke
pengetahuan positivis, seperti dalam pencarian dasar biologis
homoseksualitas (Burr, 1996).
16