Anda di halaman 1dari 4

Oleh, Nur Annisa Fitria

FEMINISME; PERJUANGAN PEREMPUAN DALAM KONTEKS DOMESTIK


PERSPEKTIF SIMONE DE BEAUVOIR
Perjuangan perempuan untuk menuntut hak sebagai manusia utuh adalah sebuah
perlawanan terhadap pembagian kerja, yang menetapkan kaum maskulinitas sebagai pihak
yang berkuasa dalam konteks publik. Oleh karena itu, muncul kaum feminisme sebagai
gerakan sosial yang berasumsi pada kaum perempuan yang di marginalisasi dan dieksploitasi.
Sehingga bagaimanapun caranya (feminisme) perempuan berusaha untuk mengakhiri tindakan
tersebut. Kata “feminisme” sudah menjadi acuan publik politik seksualitas dan domestik pada
level personal maupun level publik itu sendiri.

Gerakan perempuan tengah berproses menjadi suatu kekuatan politik yang tangguh,
kuat dan besar. Sehingga dapat menyebar ke seluruh Eropa, Amerika Utara kemudian lahirlah
aliran feminis radikal yang memperjuangkan aspirasinya melalui jalur kampanye dan
demokrasi untuk menformulasikan serta membangun ruang dan waktu bagi kehidupan
perempuan. Kemudian, Feminis sosialis yang lebih menekankan pada pembangunan aliansi
untuk kelompok-kelompok serta kelas yang termarginalisasi, yaitu dengan gerakan anti-
imperialisme, organisasi buruh dan partai-partai politik. Sedangkan feminis liberal merupakan
kelompok kecil yang berfokus pada lobi-lobi pemerintah guna untuk mereformasikan pro-
perempuan dan berusaha untuk mempengaruhi para pengambil hak maupun kebijakan.

Ketiga gerakan feminis tersebut telah menjadi acuan pada perjuangan perempuan di
ranah publik. Tapi disisi lain, gerakan feminis lebih melihat pada posisi perempuan serta
pengalamannya. Gerakan feminisme ini di reformasikan oleh Simone de Behavoir dalam
perspektif feminisme terkait konteks domestik. Bisa juga disebut feminisme eksistensial yang
dimana sebagai kultur untuk pencipataan laki-laki sebagai subyek sementara perempuan
sebagai obyek. Dengan demikian, perjuangan perempuan bisa melalui gerakan individual pada
ranah domestik dan cenderung beda dengan aliran feminisme dalam ranah publik.

Sketsa Biografi Simone de Behavoir

Ia merupakan ahli filsafat Prancis dan tokoh feminisme modern yang terkenal pada
abad ke 20 an. Ia memanifestasikan beberapa gagasan filofisnya melalui media yang tidak
konvensional, seperti dalam sandiwara, roman dan lain sebagainya. Behavoir merupakan anak
perempuan tertua dari salah satu keluarga borjuis di prancis. Pada tahun 1929 ia mengikuti
kursus di Ecole Normale Superieure untuk melakukan ujian agregasi filsafat. Disana ia bertemu
tokoh yang bernama Sartre dan menjadi partner seumur hidupnya tapi keduanya tanpa adanya
ikatan khusus. Pada usia 21 tahun ia merupakan siswa termuda yang lulus ujian agregasi dan
berhasil menjadi guru filsafat termuda di Prancis. Salah satu karya fiksi Behavoir adalah “The
Second Sex” yang berisi tentang etika eksistensialisme sebagai titik fokus perempuan dalam
masyarakat. Sehingga pemikiran dalam karya tersebut memunculkan feminisme
eksistensialisme.

Pemikiran Feminis Eksistensialisme Simone de Behavoir

Dalam epistemologi eksistensi Jean Paul Sartre terdapat dalil eksistensi yang digunakan
dalam skema feminisme eksistensi Behavoir. “etre en soi (berada dalam dirinya)” dan “etre
pour soi (berada bagi dirinya)”. Etre en soi merupakan segala sesuatu yang tidak memiliki
kesadaran dan tidan mampu menyusun tujuan hidupnya, diibaratkan benda mati. Sedangkan
Etre pour soi kebalikannya, yaitu segala sesuatu yang mempunyai kesadaran, yaitu manusia.
dari kedua itu mempunya konsep dalam feminisme eksitensi dalam bentuk pengukuhan atas
hidyp yang absurd dan kenihilan sebagai seorang manusia yang disebut hasrat kesiasiaan.

Mengenai feminisme eksistensialisme dalam psikoanalisis dan materialisme sejarah


bahwa menurut data fakta biologi menyatakan perempuan lebih lemah daripada laki-laki,
karena ototnya kecil, tidak bisa mengangkat beban yang lebih berat dan tentu tidak bisa
mengimbangi kekuatan laki-laki. Fakta tersebut memang tidak bisa disangkal, tetapi juga
terdapat konteks yang signifikan karena kekuatan otot tidak dapat menjadi dasar atau acuan
bagi dominasi. Menurut Behavoir, ilmu bilogi juga tidak cukup untuk memberi jawaban
mengenai eksistensi perempuan.

Contoh dari sudut pandang yang terdapat pada psikoanalisis perempuan dianggap
mencemburui penis sebagai alter ego pada laki-laki. Tetapi menurut Behavoir perempuna itu
bukan ingin memiliki penis justru perempuan ingin memiliki keuntungan material dan
psikologis yang diperoleh dari sang pemilik penis tersebut. Kemudian, ia mengkritik
persoalan mengenai jenis pekerjaan yang akan dibagi bukan berdasarkan jenis kelamin jika
kapitalisme dijatuhkan. Tetapi, terdapat perubahan kapitalisme ke sosialisme yang tidak akan
akan secara otomatis mengubah perluasan relasi perempuan dan laki-laki. Karena
materialisme sejarah juga tidak mampu memberikan jawaban eksisntensi pada perempuan.

Behavoir mengungkapkan fakta dibelakang penindasan perempuan dalam sejarah


yang berkembang dalam kebudayaan secara bersamaan, laki-laki menganggap mereka dapat
menguasai perempuan dengan menciptakan mitos tetang perempuan. Laki-laki selalu mencari
sosok perempuang yang ideal untuk dijadikan pelengkap kebutuhannya. Hal ini sulit untuk
menjadi dewasa bagi perempuan yang menjadi status individu dan takdir feminitasnya. Ada
beberapa oknum yang menganggap bahwa perempuan itu “jenis kelamin yang tersesat”.
Membahas tentang feminisme eksistensialisme lebih meilhat sosok perempuan sebagai
sejarah dan mitos pada perempuan serta membuat pemikiran yang berbeda dari aliran
feminisme lainnya, yaitu dengan memberi penghargaan atas diri (perempuan) sebagai
manusia yang utuh dan meninggalkan laki-laki yang menghalangi suatu kebebasan menjadi
hak eksistensi seorang perempuan.

Bentuk Perjuangan Feminisme Eksistensialisme di Ranah Domestik

Dari perspektif Beauvoir dalam peran sosial sejalan dengan mekanisme utama yang
dilakukan oleh diri sebagai subjek untuk menguasai liyan (perempuan) sebagai objek.
Berdasarkan pengalaman Beauvoir sebagai perempuan borjuis Prancis, ketika masa kecilnya
nyaris karena tidak mampu untuk berpikir bahwa dirinya dibedakan secara seksual sejauh ia
eksis di dalam dan bagi dirinya. Dimana anak laki-laki sejak kecil didorong untuk
mewujudkan diri dalam usaha yang kompeten dan anak perempuan selalu diperkuat dalam
menjadikan dirinya sebagai sebuah objek. Contoh, perempuan diberi mainan boneka yang
harus dirawat otomatis ia membayangkan dirinya sebagai boneka tersebut dan memunculkan
sikap narsis sebagai perempuan.

Saat pubertas, perempuan menyadari perbedaan tubuhnya dengan laki-laki.


Kemudian, perempuan dipaksa untu menerima dan menginternalisasi tubuhnya sebagai liyan
(sosok yang lain bagi laki-laki), sehingga kata liyan menghubungkan kita pada pernikahan
dan menjadi istri. Peran tersebut sebenarnya dapat membatasi kebebasan dan menyulitkan
perempuan dalam menentukan takdirnya. Tetapi disisi lain, perempuan pekerja juga tidak
dapat melepas diri dari batasan feminitas, dikarenakan perempuan pekerja juga punya
kewajiban untuk bersikap sebagai perempuan berpenampilan menarik.

Status perempuan dan laki-laki memang tidak perna setara dimanapun, menurut
feminisme eksistensialisme perjuangan perempuan di ranah domestik memiliki prinsip yang
harus diperjuangkan adalah menjadi “perempuan bebas”. Ada tiga jenis perempuan yang
semena-mena dimainkan peran perempuannya hingga puncak menjadi “bebas”, yaitu
perempuan narsis, perempuan dalam cinta, dan perempuan mistis. Perempuan narsis
merupakan perempuan yang obsesif dengan dirinya, ketika memiliki perasaab akan menjadi
subjek dan objek secara bersamaan. Perempuan dalam cinta memberikan segalanya pada
kekasihnya, meskipun pada kenyataannya ia bukanlah segalanya untuk laki-laki, tetapi ia
berusaha bahwa dirinya akan dibutuhkan. Perempuan mistis yang ingin menjadi objek
sempurna dari subjek sempurna pulam sehingga perempuan mistis ini tidak bisa membedakan
antara Tuhan dan laki-laki. Ketiga jenis perempuan yang ingin menjadi “bebas” untuk
mengejar suatu eksistensi diri melalui narsisme, cinta dan mistis itu hanyalah sia-sia. Bahkan
mereka tetap menjadi objek karena tidak menjadi dirinya sendiri. karena betuk-bentuk
perjuangan untuk menjadi “perempuan bebas” adalah perempuan yang bisa menentukan
pondasi dirinya sendiri.

Perempuan seharusnya punya potensi diri yang penuh dengan kesadaran untuk
menentukan pilihan bebasnya, bahkan perempuan bisa bekerja sesuai keinginannya, menjadi
seorang intelektual dan menolak dirinya untuk menjadi liyan. Perempuan bahkan punyak hak
untuk bebas menolak berbagai aturan tuhan serta nilai, norma dalam masyarakat yang di
kategorikan membelenggu pada dirinya. Karena feminisme eksistensialisme dalam konteks
domestik ini mengajarkan agar perempuan tidak menjadi suatu objek yang tertindas dalam
tiga kategori, yaitu narsis, cinta dan mistis. Begitu pula dalam feminisme eksistensial bahwa
menjadi bebas adalah bentuk dari subjektivitas.

Anda mungkin juga menyukai