Abstrak
Makalah ini mengkaji Singiran Tanpa Waton Gus Dur (STWGD) karya K.H.
Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang berbentuk singir atau nadhoman. Singir
merupakanGrammar of poetry and poetry of grammar yang disenandungkan
dengan rima yang runtut dan padu serta berfungsi sebagai media
dakwah.Metode yang digunakan dalam mengkaji STWGD yaitu metode
hermeneutik sastra dan metode kepustakaan. Hasil kajian menunjukkan bahwa
dalam STWGD terkandung nilai ajaran tasawuf yakni ikhtiar untuk memahami
Islam secara komprehensif yang meliputi penahapan syariat, thariqat, makrifat,
dan hakikat yang terdiri atas empat anasir
1.
2.
3.
4.
Keempat anasir tersebut sebagai cikal bakal pembentukan pribadi yang berbudi
pekerti yang tumbuh dari kesadaran diri (kesalehan diri). Kontribusi STWGD
dalam pembentukan pekerti masyarakat berakar dari kesalehan diri yang
bertransformasi dan terefleksi dalam tata nilai di lingkungan masyarakat
(kesalehan sosial) yang tecermin melalui sikap sosial
1.
2.
3.
4.
toleransi antarsesama,
rukun terhadap sesama,
larangan iri hati terhadap kekayaan tetangga, dan
memuliakan sesama.
Terwujudnya kesalehan diri dan kesalehan sosial sebagai tanda pribadi yang
tuntas dan paripurna (Insan Kamil).
Kata kunci: STWGD, tasawuf, kesalehan diri, kesalehan sosial.
1
1. PENDAHULUAN
Istilah singiran diserap dari bahasa Arab, yakni Syiir yang berarti lagu atau
puisi. Masyarakat Jawa lebih mengenal singir daripada syiir. Hal ini terjadi
karena kebiasan orang Jawa melafalkan huruf hijaiyah Ain dengan ngain,
misalnya, kata ainun menjadi ngainun. Secara historis, sulit dilacak mulai
kapan singir atau singiran ini mulai ada. Dalam serat Centhini yang diciptakan
pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono V, istilah singir sudah muncul.
Pada pupuh 321 (sinom) misalnya diceritakan tentang Sang Adipati Wirasaba
yang bernadzar menanggap sulapan Mas Cebolang setelah putranya lahir
dengan selamat. Diungkapkan bahwa pada saat itu penonton sangat banyak,
termasuk para pembantu dan selir sang Adipati. Dikisahkan bahwa Mas
Cebolang yang tampan wajahnya dihias dengan pakaian indah. Pada saat
bermain rebana, bernyanyi, bersingir suaranya merdu, bening dan mendayudayu. Oleh karena itu, banyak wanita yang jatuh hati (Marsono, 2005: ix dalam
Kusnadi, 2006:233).
Singir yang membudaya dan memasyarakat dalam masyarakat Jawa
digunakan sebagai media dakwah oleh wali sanga untuk menyampaikan pesanpesan keagamaan sehingga ajaran Islam mudah diterima, dihayati, dan dipeluk
oleh masyarakat Jawa pada kala itu. Selain Singir sebagai media dakwah,
singir juga berfungsi sebagai instrumen pembelajaran di pesantren salafiyah
untuk memahami pelbagai kitab untuk disingirkan atau dinadhomkan sehingga
para santri lebih mudah menghafal matan (mata pelajaran). Tradisi singiran
sampai sekarang masih dilestarikan oleh Jamiyah Nahdhiyah Nahdhalatul
Ulama yang berbasis di pedesaan dan perkampungan melalui pesantren
sebagai pelestarinya.
Singir merupakan grammar of poetry gramatika dalam sajak yang
senantiasa disenandungkan yang syarat akan keindahan, kemerduan, dan
keharmonisan serta didalamya terkandung ajaran dan tatanilai. Konsep
gramatika dalam sajak grammar of poetry and poetry of grammar yang
dicetuskan oleh Jakobson terejawantahkan dalam arti yang sebenarnya dalam
singiran meskipun tentu saja Jakobson tidak pernah mengenal singiran atau
nadhoman (Kadarisman, 2010:114). Kegramatikan singiran terletak dari runtut
dan padunya rima yang didendangkan dengan pola yang tetap dan merdu.
Dalam khazanah nadhoman ada ilmu khusus yang membahas pola runtut
padunya singir atau nadhom dikenal dengan ilmu arudh.
2
penahapan secara urut dan sistematis. Jadi, penahapan tasawuf dalam STWGD
bermula dari syariat, thareqat, makrifat, dan hakikat. Urutan penahapan ini
berbeda dengan penahapan ajaran tasawuf pada umumnya yang mendahulukan
hakikat setelah itu baru makrifat, sedangkan pola urutan dalam STWGD adalah
makrifat dan hakikat.
Penahapan tersebut bermula dari luar menuju dalam, dari eksoterik
menuju esoteris, dari permukaan menuju ke kedalaman. Seorang penempuh
jalan (salik) tidak boleh terjebak pada satu station, apalagi satu station yang
paling luar, yaitu syariat. Alasan inilah dalam STWGD pada bait IV melarang
umat Islam berhenti hanya pada tahap (maqam) syariat karena hanya mampu
melihat hal-hal permukaan dan dangkal dengan kutipan lengkapnya sebagai
berikut.
Duh bala kanca pria wanita
Aja mung ngaji syariat blaka
Gur pinter ndongeng nulis lan maca
Tembe burine bakal sengsara
(Wahai semua sahabat pria dan wanita
Jangan hanya mengaji syariat saja
Hanya pandai mendongeng menulis dan membaca
Dibelakang hari akan sengsara)
Selain larangan hanya belajar syariat, juga terkandung nilai pencapaian
(optimalisasi) dari tahap syariat yaitu gur pinter ndongeng nulis lan maca
hanya pandai mendongeng menulis dan membaca kecakapan mendongeng,
menulis, dan membaca merupakan simbolik penahapan syariat yang
mempelajari hal yang mendasar sebagaimana anak sekolah dasar belajar
mendongeng, menulis, dan membaca. Manakala sang penempuh jalan (salik)
berhenti di penahapan syariat, Tembe burine bakal sengsara dibelakang hari
akan sengsara. Kesengsaran tersebut bersumber dari kedangkalan pemahaman
dan penahapan yang belum tuntas.
Ajaran untuk memahami Islam secara komprehensif juga ditemukan
dalam bait VII dengan kutipan lengkapnya sebagai berikut.
ritual keagamaan. Ukuran kesalehan diri tecermin melalui perilaku sehariharinya yang mencerminkan kebaikan budi dan hatinya. Ukuran kesalehan
berkait erat dengan pekertinya karena pekerti merefleksikan kebaikan hati.
Dalam STWGD dibahas anasir-anasir atau unsur-unsur pembentuk kesadaran
diri. Dengan rincian pembahasan sebagai berikut.
4.1.1 Kebersihan hati dan pikiran
Dalam ajaran tasawuf terdapat konsep pembersihan sebelum memasuki
penahapan selanjutnya. Penahapan itu berupa pembersihan hati dan pikiran,
penahapan ini juga disebut juga tahap taubat, kembali ke fitrah (Chodjim,
2006:52). Dalam STWGD terdapat ajaran untuk selalu menjaga kebersihan
hati dan pikiran yang terdapat dalam bait V dan VI dengan kutipan sebagai
berikut.
yen iseh kotor ati akale
(Kalau masih kotor hati dan pikirannya)
mula atine peteng lan nistha
(Maka hatinya gelap dan nista)
Dalam ajaran tasawuf kebersihan hati dan pikiran menjadi fokus utama. Kata
akal menurut Mustofa (2009:88) terdiri atas pikiran dan perasaan yang
berperan sebagai sumber getaran atau transmitter yang luar biasa besar
sekaligus receiver atau penerima getaran dengan kekuatan radar yang peka.
Pikiran dan perasaan akan berfungsi menerima getaran ketuhanan (pesanpesan lembut Tuhan) kalau hati dan pikiranya bersih. Dalam ajaran tasawuf
seorang salik akan menerima wirid untuk membersihkan kerak hati dan
sampah pikiran melalui beragam tirakat. Pikiran dan hati yang bersih akan
senantiasa menerima dan memantulkan nilai-nilai kebaikan. Sebaliknya, hati
dan pikiran yang kotor dan ternoda tidak mampu merefleksikan nilai-nilai
kebaikan. Hal tersebut dalam STWGD disebut dengan atine peteng hati
gelap. Hati yang gelap oleh debu dosa tidak mampu menerima dan
memantulkan nilai-nilai kebaikan.
10
11
mendekatkan diri kepada Allah agar senantiasa berpaut siang dan malam
rangkulan rina wengine. Biasanya dalam pondok pesulukan (zawiyah)
diajarkan beragam tirakat, amalan, ijazahan, tawajuhan, dan pelbagai tirakat
lainya. Pendek kata, pengetahuan spiritualitas (ketuhanan) dan hakikat
spiritualitas hanya bisa dijembatani melalui jalan tirakat.
4. 2 Kesadaran sosial
Dalam STWGD tidak hanya mengajarkan kesalehan diri yang bersifat
personal, tetapi juga mengajarkan kesalehan sosial. Kesadaran sosial akan
tumbuh bila ia telah tuntas dalam kesadaran diri. Kesadaran diri sebagai cikal
bakal tumbuh dan berkembangnya sikap sosial. Seorang penempuh jalan
tasawuf (salik) tidak hanya berorientasi pada realisasi diri saja, tetapi juga
mentransformasikan nilai-nilai ketuhanan dalam spektrum yang lebih luas
yakni masyarakat. Nilai kemanusiaan bisa dipahami ketika semua perilaku
lahir dan batinnya diorientasikan pada Allah dan pada waktu yang sama juga
membawa dampak konkret terhadap upaya meningkatkan nilai-nilai
kemanusiaan. Pendeknya, manusia tidak bisa dipahami tanpa keterkaitannya
dengan Tuhan dan keterkaitanya dengan manusia lain dalam kehidupan sosial
(Hidayat, 2009:32).
Dalam STWGD terdapat ajaran untuk mentransformasikan kesadaran diri
menuju kesadaran sosial banyak ditemukan. Hal ini sebagai tanda bahwa
anasir-anasir kesalehan diri telah terlaksana ketika tecermin melalui pekerti
dalam masyarakat. Teori cermin Al-Ghazali (dalam Hidayat, 2009:35)
aktivitas kemanusiaan yang tidak diterangi cahaya keilahian bagaikan orang
berjalan di lorong yang gelap. Sebaliknya, orang yang sekedar percaya kepada
Tuhan tanpa menumbuhkan sifat-sifat agung Tuhan di dalam dirinya bagaikan
Iblis.
Untuk itu dibawah ini akan diuraikan kontribusi ajaran tasawuf dalam
pembentukan pekerti di masyarakat. Kesalehan diri tersebut tecermin melalui
sikap sosial sebagai berikut.
14
4. 2. 1 Toleransi antarsesama
Seseorang yang telah memahami dan melakoni ajaran tasawuf pastilah ia
mempunyai sikap sosial menghargai antarsesama meskipun beda keyakinan,
beda pemahaman, beda perspektif, beda aqidah sekalipun ia masih tetap
mentolerisasi dan menghargai. Bagi pemahaman seorang penempuh jalan
(salik) selalu teringat sabda nabi Muhammad Saw: barangsiapa yang
mengafirkan saudara yang beragama Islam, justru ialah yang kafir (Man
Kaffara akhahu musliman fahuwa kafirun) (Wahid, 2003:287). Seorang yang
telah memahami ajaran tasawuf selalu berfokus pada kekafiran yang melekat
dalam dirinya, oleh sebab itu ia selalu menghargai antarsesama. Toleransi
antarsesama tersebut tecermin dalam STWGD pada bait V dengan kutipan
sebagai berikut.
akeh kang apal Quran Hadise
seneng ngafirke marang liyane
kafire dewe gak digatekke
yen iseh kotor ati akale
(Banyak yang hafal Quran dan Hadist
Senang mengkafirkan orang lain
Kafirnya sendiri tidak diperhatikan
Kalau masih kotor hati dan pikirannya)
4. 2. 2 Rukun terhadap sesama
Seseorang yang merasakan kehadiran Allah di setiap waktu, memancarkan
aura kesejukan dan kedamaian. Hal itu tercermin melalui sikap sosial yang
mengedepankan kerukunan daripada perselisihan. Kerukunan terhadap sesama
merupakan manifestasi dari pancaran kedamaian dalam hati. Perselisihan
adalah cerminan dari kesemrawutan hati. Untuk itu, pribadi yang tersinari
dengan ajaran tasawuf senantiasa menjaga kerukunan kepada teman, saudara,
handai tolan, tetangga, sahabat karib, dan seluruh makhluk hidup tanpa
terkecuali. Rukun terhadap sesama juga disunahkan oleh nabi Muhammad.
Dalam STWGD, sikap sosial rukun terhadap sesama ditemukan dalam bait
XIII dengan kutipan lengkapnya sebagai berikut.
15
meskipun ia dari strata bawah dan rendah segi lahirnya misalnya tukang sapu,
pemulung, orang cacat (difable), pelacur, pezina, dan gelar kenistaan yang
disandang manusia lainnya. Ia memuliakan semuanya. Baginya kemuliaan
derajat terletak pada derajat ketaqwaan; derajat kedekatan hamba kepada
khaliqnya. Karena hal ini tidak bisa distandarkan; tidak dapat diukur melalui
identitas yang tampak dan melekat, memuliakan sesama adalah pilihan bijak.
Derajat kemuliaan dan ketaqwaan seseorang hanya Allahlah yang tahu. Ajaran
memulikan sesama dalam STWGD tecermin dalam bait XIV dengan kutipan
sebagai berikut.
Allah kang bakal ngangkat derajate
senajan asor tata dhahire
ananging mulya maqam derajate
Allah yang akan mengangkat derajatnya
Meskipun rendah tata lahirnya
Tetapi mulia kedudukannya
5. Insan Kamil
Manunggalnya kesalehan diri dan kesalehan sosial merupakan terwujudnya
sosok paripurna yaitu Insan Kamil. Insan Kamil secara leksikal berarti manusia
yang sempurna, manusia yang mempunyai budi pekerti luhur, mempunyai
akhlaqul karimah (pekerti mulia). Tugas kenabian Kanjeng Nabi Muhammad
pun untuk membangkitkan makarim al-akhlaq, budi pekerti mulia, dalam
bahasa Inggris disebut noble characteristics atau noble traits of character
(Chodjim, 2007:19). Kemulian dan keluhuran pekerti merupakan capaian
terluar yang berangkat dari yang terdalam.
Kepurnaan dan kesempurnaan dalam pencapaian penahapan dalam hidup
merupakan pencapain prestasi spiritualitas. seseorang yang telah mencapai
puncak pendakian spiritual, telah mempunyai bekal untuk menghadap Sang
Khaliq. Perjalanan hidupnya telah menemukan Jalan kembali pada-Nya.
Dalam STWGD pentingnya bekal menghadap Allah tercermin dalam bait VII
larik 28 dengan kutipan sebagai berikut baguse sangu mulya matine sebaiknya
bekal (dalam menghadapi) mati dengan mulia. Secara implisit, ajaran tasawuf
mengajarkan pentingnya bekal-bekal untuk kembali kepada-Nya. Dalam
17
penutup, STWGD ditutup dengan penegasan ketika jasad dan ruh terpisah atau
meninggal dunia ia mengetahui jalan menghadap Sang Khaliq, perjalanan ruh
tidak tersesat karena ia telah terbiasa meniti jalan tersebut. Tidak heran dalam
mistik Jawa terdapat ungkapan mati sakjeroning urip, urip sakjeroning mati
mati di dalam hidup, hidup di dalam mati yang mencerminkan esensi hidup
dan mati dalam derap langkah dan helaan napas yang beriring.
Pencapaian seseorang terhadap hakikat kehidupan dari asal hingga akhir
seperti itu berarti bahwa Ia telah mengetahui tempat surga yang sesungguhnya.
Cerminan sosok pribadi tersebut pastilah memendarkan nilai-nilai ketuhanan
yang dipancarkan dalam nilai-nilai luhur di masyarakat. Penuntasan
pencapaian tersebut terdapat dalam STWGD bait XV
lamun palastra ing pungkasane
ora kesasar ruh lan sukmane
den gadang Allah suwarga manggone
utuh mayite ugo ulese
Ketika ajal telah tiba pada akhir hayatnya
Tidak tersesat jiwanya
Dinanti-nanti Allah di surga tempatnya
Masih utuh jasad dan kain kafannya
Larik utuh mayite ugo ulese masih utuh jasad dan kain kafannya merupakan
keistimewaan atau karamah yang diberikan Allah kepada hamba-hambanya
yang telah menemukan jalan kembali kepada-Nya. Kekaramahan tersebut
tidak dapat diminta dan dicita-citakan. Ia bukan wilayah pengihtiaran (reach
out), melainkan wilayah pinaringan (given). Secara hakiki STWGD
mengajarkan hidup dan kehidupan serta menjalani hidup dengan peta yang
digariskan-Nya.
18
6. Simpulan
Dari pembahasan dan pemaparan di atas, dapat ditarik simpulan sebagai
berikut.
1. Dalam STWGD terdapat ajaran tasawuf dengan empat penahapan yaitu
syariat, thareqat, marifat dan hakikat.
2. Ajaran tasawuf berfokus pada pembenahan kesadaran diri yang mempunyai
empat anasir
a. kebersihan hati dan pikiran,
b. zuhud terhadap dunia,
c. kesabaran dan keikhlasan, dan
d. menerima ketetapan Allah.
3. Kesadaran diri yang telah mencapai kematangan tecermin dalam sikap
sosial sebagai berikut
a. toleransi antarsesama,
b. rukun terhadap sesama,
c. larangan iri hati terhadap kekayaan tetangga, dan
d. memuliakan sesama.
4. Manunggalnya perwujudan kesadaran diri dan kesalehan sosial lahirlah
sosok berbudi pekerti atau sosok insan kamil yang mempunyai kesalehan
diri dan kesalehan sosial.
Daftar Pustaka
Alwi, dkk.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka.
A.W., Munawir.1984. Al-Munawwir: Kamus Arab- Indonesia. Yogyakarta:
Pondok Pesantren al-Munawwir.
Burhani, Ahmad Najib.2002. Tarekat Tanpa Tarekat. Jakarta: Serambi.
Braginsky.1998. Yang Indah Berfaedah dan Kamal, Sejarah Sastra Melayu
Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.
Chasanah, Ida Nurul.2006.Tradisi Sufisme dalam Karya-Karya
K.H.Mustofa Bisri dalam majalah Basis Edisi Sufisme.No 03-04, tahun
ke-55, Maret-April.
Chodjim, Achmad.2007. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta:
Serambi.
19
20
BIODATA
DATA PRIBADI
1. Nama Lengkap
2. Tempat dan tanggal lahir
3. Jenis Kelamin
4. Kewarganegaraan
5. Agama
6. Status
7. Alamat
Lowokwaru, Malang.
8. Telepon/Hp
9. Alamat Email
: Wahyu Widodo
: Ngawi, 22 April 1984
: Laki-laki
: Indonesia
: Islam
: menikah
: Jalan Ikan Tombro, Kel Tunjungsekar,
: (********************)
: (********************)
INSTANSI
Universitas Brawijaya
Fakultas Ilmu Budaya
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jalan Veteran Malang 65145
Telp/Fax (0341) 575822 (direct)
E-mail:fib_ub@ub.ac.id">fib_ub@ub.ac.id
http://www.fib.ub.ac.id
PENDIDIKAN
1. Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang
tahun 2007.
2. Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS)
Surakarta, Program Studi Linguistik minat utama Linguistik Deskriptif
21