Anda di halaman 1dari 9

JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

Shalawatan:
Pembelajaran Akhlak
Kalangan Tradisionalis

Kholid Mawardi *)

*)
Penulis adalah Magister Humaniora (M.Hum.), dosen tetap Jurusan Pendidikan (Tarbiyah) STAIN Purwokerto.

Abstract: Shalawat is welfare pray and honor greeting to Nabi Muhammad SAW. For traditionalist Muslim, shalawatan or
activity to recite shalawat can’t be separated with their paradigm about iman. Shalawatan tradition amongst this community
also has purpose to transform noble akhlak (character) of Nabi Muhammad SAW to their daily activity, both in ibadah (ritual) or
muamalah (worldly activity). Keywords: Shalawat, Islam, Traditionalist, and Ibadah.

Pendahuluan
Shalawat Nabi merupakan satu kesatuan dalam sistem ajaran Islam. Dalam sebagian besar ritual
Islam, penggunaan shalawat menjadi keharusan. Kewajiban-kewajiban itu antara lain terdapat dalam
ritual ibadah mahdlah seperti shalat, khotbah Jum’at, doa, dan sebagainya.
Membaca shalawat bagi sebagian umat Islam telah menjadi tradisi. Tradisi membaca shalawat Nabi
ini banyak terwujud dalam praktik keagamaan kalangan Islam tradisionalis di Indonesia. Dalam
aktivitas yang terlihat profan sekalipun tak terlepas dari pembacaan shalawat Nabi, seperti saat
menunggu dagangan, bekerja di ladang, menidurkan bayi, bahkan untuk yang disebut terakhir terdapat
keyakinan bahwa bacaan shalawat dapat menenangkan seorang bayi yang sedang gelisah atau
menangis.
Tradisi membaca shalawat Nabi di kalangan Islam tradisionalis Indonesia juga telah ditetapkan pada
saat-saat yang ditentukan. Ketetapan ini sekarang lebih meluas seperti pada saat menunggu waktu adzan
dan iqamat, dengan lafadz bacaan shalawat, baik yang berbahasa Arab atau yang berbahasa Jawa. Lafal
shalawat dalam bahasa Jawa dikenal dengan singiran, yang berisi makna bahasa Jawa dari shalawat
Nabi atau syair-syair tentang keagungan Nabi. Adapun pembacaan shalawat Nabi antara adzan dan
iqamat dikenal dengan sebutan puji-pujian.
Shalawat Nabi dalam perkembangannya telah memunculkan banyak variasi dalam bentuk dan
fungsinya. Shalawat yang pada awalnya merupakan doa rahmat dan salam bagi Nabi, kini berkembang
menjadi syair-syair yang berkaitan keagungan pribadi Nabi atau riwayat kehidupan Nabi.
Banyak jenis bacaan shalawat yang berkembang di kalangan Islam tradisionalis. Akan tetapi, yang
paling populer berkenaan dengan syair-syair keagungan Nabi Muhammad SAW adalah kumpulan
shalawat yang terhimpun dalam Majmu’ah Mawalid. Yang disebutkan terakhir dalam literatur kalangan
Islam tradisionalis merupakan tiga serangkai yang harus dibaca dalam perayaan kelahiran Nabi SAW.
Majmu’ah Mawalid terdiri atas tiga himpunan syair tentang maulid Nabi, yaitu kitab Maulid Barzanji

Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi 1 INSANIA|Vol. 14|No. 3|Sep-Des 2009|500-511
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

karya Imam Ja’far al-Barzanji, kitab Maulid Diba’ karya Imam Jalil Abdurrahman adz-Dziba’I, dan
kitab Maulid Burdah karya Syeikh Syarifuddin Abu Abdullah Muhammad Sa’id al-Bushoiri.1
Kitab Barzanji merupakan yang paling terkenal di antara dua kitab maulid yang lain, meskipun
dalam kitab-kitab syarah yang ditulis oleh ulama-ulama tradisionalis selalu digabungkan di antara
ketiganya. Pembacaan kitab Barzanji (termasuk di dalamnya Diba’ dan Burdah) dikenal di kalangan
Islam tradisionalis dengan Berjanjen. Berjanjen ini biasanya dilakukan secara beramai-ramai dan
bergiliran dalam membacanya, masing-masing orang mendapat giliran membaca sebanyak satu ‘athiril
atau satu bab.
Dimensi lain dari membaca berjanjen merupakan barometer bagi seseorang tentang kemahirannya
dalam melafalkan sastra Arab, serta kemerduan suaranya. Dalam bacaan Barzanji disediakan ruang
yang luas bagi kreativitas pembacanya. Dalam konteks ini merupakan pertaruhan gengsi dan harga diri
dari anak-anak muda karena forum ini merupakan kesempatan untuk memperlihatkan kebolehannya
membaca sastra Arab dengan suaranya yang merdu dan iramanya yang asyik.2 Dalam taraf tertentu,
yang terjadi di kampung-kampung lebih mengutamakan kemerduan bacaannya daripada makna yang
terkandung di dalamnya karena kurang mempunyai kemampuan yang memadai dalam penguasaan
bahasa Arab. Di balik itu semua adalah adanya doktrin bahwa yang bernilai ibadah dan berpahala
adalah membacanya dalam bahasa Arab, bukan memaknainya.
Dalam konteks yang lebih umum, shalawat telah menstimulasi munculnya kreativitas dalam
ekspresi seni kalangan Islam tradisionalis Indonesia. Kreativitas dalam ekspresi seni kalangan Islam
tradisionalis kebanyakan sangat diwarnai oleh shalawat seperti kesenian Kubra Siswa, Kuntulan,
Baduwinan, Genjringan, termasuk di dalamnya sebagian dalam pementasan wayang dan jathilan.
Kubra Siswa, Kuntulan, dan Baduwinan, hampir sama pagelarannya. Kesenian ini merupakan
tarian rancak yang diiringi dengan musik tradisional, seperti bedug, seruling, terompet, sebagian juga
menggunakan drum dan kecrek. Tarian rancak ini diiringi oleh lantunan syair-syair shalawat. Dalam
taraf tertentu, kesenian ini dapat disamakan dengan tarian mistik Maulana Jalaludin Rumi, dalam proses
akhir tarian terjadi trance, yaitu penyatuan diri penari dengan Tuhan.
Kesenian (baca: Jathilan) yang sangat populer di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
menggunakan syair-syair shalawat dalam mengiringi tarian yang dimainkan. Jathilan adalah permainan
kuda lumping yang dilakukan oleh penari dengan jumlah antara enam sampai dua belas orang dan
mempunyai banyak variasi baik pakaian, tarian, lagu, dan musik pengiringnya.3
Dari wacana shalawat, sebagaimana yang telah berkembang dalam kalangan Islam tradisionalis
Indonesia dan telah terbekukan menjadi kultur, maka tulisan ini bermaksud untuk melakukan hal
tersebut di bawah ini:
1. Ingin mengetahui makna shalawat dan ritual pembacaan shalawat dalam literatur-literatur yang
digunakan oleh kalangan Islam tradisionalis Indonesia;
2. Mencoba menggunakan pendekatan dari Clifford Geertz, yaitu pendekatan interpretatif untuk
menampilkan tafsir baru atas tafsir-tafsir mengenai shalawat. Paradigma interpretatif digunakan untuk

Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi 2 INSANIA|Vol. 14|No. 3|Sep-Des 2009|500-511
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

memahami gejala-gejala sosial budaya dalam suatu masyarakat, seperti ritual, sengketa, konflik dan
sebagainya. Dengan demikian, teks yang dibaca dan ditafsirkan adalah peristiwa-peristiwa sosial.
Dengan paradigma semacam ini, tugas ilmuwan sosial tidak lagi menjelaskan ataupun mencari
hubungan sebab akibat antarunsur dalam teks atau menetukan hubungan antarteks, tetapi untuk
memahami makna atau memaknai teks sosial budaya yang dihadapi. Tidak ada kebenaran final ataupun
tafsir yang paling benar dalam upaya seperti ini, karena suatu tafsir budaya pada dasarnya adalah sebuah
proses. Apa yang dihasilkan oleh penafsir tidaklah sebuah tafsir pasti, melainkan sebuah pemahaman
yang selalu terbuka, dan selalu siap untuk ditinjau kembali, ditafsir ulang, dan dikembangkan sejalan
dengan pertambahan data dan penajaman perangkat konseptual yang dipakai.4
Asumsi yang penulis gunakan dalam analisis interpretatif adalah sebagai berikut.
1. Syair-syair shalawat sebagai fenomena bahasa adalah totalitas ekspresi perasaan dan fikiran
yang dituangkan dalam simbol, suara, gerak, dan huruf, namun untuk mengetahui secara persis maksud
pembicaraan masih diperlukan penafsiran.
2. Syair-syair shalawat merupakan bahasa agama, sedangkan bahasa agama bersifat preskriptif, di
mana struktur makna yang dikandung di dalamnya bersifat imperatif dan persuasif, yaitu mendekati
pembaca untuk mengikuti pesan pengarang, sebagaimana terformulasikan dalam teks.5 Di sisi lain,
bahasa agama banyak mengandung metafor, bahasa metafor diyakini mempunyai kekuatan yang bisa
membangkitkan imajinasi kreatif untuk membuka wilayah pemahaman baru yang batas akhirnya
belum diketahui.
3. Bahasa agama akan menjadi bermakna ketika diposisikan secara relasional dengan masyarakat
pembaca yang mengimani. Bahasa agama tidak pernah berdiri sendiri, tetapi memiliki kaitan dengan
tradisi dan komunitas beragama yang meresponnya. Ketika bahasa agama dilepaskan dari umatnya,
maka tak akan lagi bermakna.
4. Sebagaimana diungkapkan oleh Clifford Geertz dalam hubungan antara bahasa dan tradisi,
bahwa kehidupan sosial manusia tidak bisa keluar dari jaringan nilai dan makna yang mereka rajut
sendiri, yang kemudian jaringan makna itu terbekukan dalam kultur, maka dunia makna yang dibangun
adalah dunia simbolik.

Seputar Shalawat dan Shalawatan


Shalawat adalah doa keselamatan dan salam penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW.6
Shalawat ada dua macam, yaitu:
1. Shalawat Ma’tsurah, yaitu shalawat yang dibuat oleh Rasulullah sendiri, baik kalimahnya, cara
membacanya, waktu-waktunya serta fadilahnya. Contohnya, allahumma shalli ‘ala muhammadin
nabiyi al-umiyi wa ‘ala alihi wa as-salim atau allahumma shalli ‘alaa muhammadin ‘abdika
warasuulika naibiyyil ummiyyi.

Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi 3 INSANIA|Vol. 14|No. 3|Sep-Des 2009|500-511
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

2. Shalawat Ghairu Ma’tsurah, yaitu shalawat yang dibuat oleh selain Nabi Muhammad, seperti
Shalawat Munjiyat yang disusun oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani, Shalawat Fatih oleh Syaikh Ahmad
at-Tijami, Shalawat Badar, Shalawat Nariyah dan yang lainnya.7
Yang dijadikan dasar bagi adanya shalawat adalah satu ayat al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 56 dan 25
hadits Nabi, dari 25 hadits Nabi yang dijadikan dasar tentang pembacaan shalawat dapat diketahui
adanya 15 faedah bagi yang membacanya.8
Untuk makna shalawatan adalah kegiatan atau aktivitas seseorang atau kelompok dalam membaca
bacaan shalawat. Kegiatan shalawatan sudah merupakan kultur bagi kalangan Islam tradisionalis. Kultur
ini didasarkan kepada ajaran-ajaran transendental.

Makna Shalawat dalam Tradisi Keagamaan Kalangan Tradisionalis Indonesia


Bagi kalangan Islam tradisionalis, shalawat merupakan hal yang penting dalam kehidupan mereka,
bahkan dapat dikatakan sebagai nafas kehidupan mereka. Dalam posisi tersebut, shalawat merupakan
bagian dari iman terhadap Allah. Tanpa shalawat, nilai keimanan seorang hamba menjadi berkurang
atau rusak. Pandangan-pandangan ini tentu berlandaskan pada nilai-nilai transendental, bahwa Allah dan
malaikat itu selalu bershalawat untuk memberikan rahmat ta’dzim dan memintakan pengampunan dan
keluhuran atas Nabi Muhammad SAW, maka hendaklah orang yang beriman senantiasa membaca
shalawat dan salam atas Nabi Muhammad SAW.9
Membaca shalawat dan salam atas Nabi tentu akan sampai kepada Nabi di manapun orang yang
membacanya berada.10 Bila sekelompok orang yang sedang berkumpul sampai bubarnya kumpulan itu
tanpa berdzikir kepada Allah dan bershalawat kepada Nabi, maka mereka ibarat bangkai yang berbau
busuk.11
Menurut kalangan Islam tradisionalis, berdasarkan ayat dan hadis di atas, membaca shalawat
merupakan setengah dari keutamaan taat kepada Allah dan rasul, dan termasuk sedahsyat-dahsyatnya
ibadah agar dapat berdekatan dengan Allah.12 Siti Aisyah mengatakan barang siapa yang cinta kepada
Nabi tentunya orang itu mau memperbanyak shalawat kepada Nabi, yang balasannya adalah syafaat
dan persahabatan dengan Nabi di dalam surga. Nabi juga mengatakan barang siapa yang mencintai
Nabi, maka nanti orang itu akan bersama-sama dengan Nabi di surga.13
Mengenang Nabi dengan membaca Barzanji, Diba’i, Nadzam Burdah, dan shalawat yang lain, atau
nasihat-nasihat agama serta kisah-kisah kenabian, atau kisah perjuangan Nabi merupakan bukti
kecintaan terhadap Nabi. Dalam konteks ini semua itu merupakan amalan sunnah yang akan
memperoleh pahala. Mengenang Nabi tidak hanya pada bulan Maulud, tetapi bisa dilaksanakan pada
setiap malam Jum’at. Selain merupakan ibadah membaca shalawat, juga termasuk amal shalih dan
sangat dianjurkan dalam agama.14
Doktrin yang dipergunakan adalah melakukan apapun asal tidak haram dan makruh serta diniati
dengan ikhlas, maka akan mendapat pahala, mengagungkan Nabi Muhammad SAW termasuk dalam
konteks ini. Oleh karena itu, sebuah kebahagiaan bagi orang yang mengagungkan Nabi Muhammad

Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi 4 INSANIA|Vol. 14|No. 3|Sep-Des 2009|500-511
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

SAW karena akan terlaksana semua keinginannya.15 Untuk itu, dalam perspektif ini banyak pengarang
kitab memberikan tanbih.
Tanbih adalah kalimat deskriptif yang berupa peringatan dan nasihat. Tanbih mengenai hal ini berisi
tentang bagi orang yang membaca shalawat, atau Barzanji dan yang lainnya, selain diniatkan untuk
mengagungkan Nabi Muhammad SAW hendaknya juga diniati wasilah memohon kepada Allah agar
berhasil dengan apa yang diinginkan.16
Pandangan kalangan Islam tradisionalis dapat dilihat dari kutipan singiran berikut ini:
Sing sopo wae ngegungke hurmat, marang babare Nabi Muhammad
Bakale nampa besuk kiamat, syafaah saking Nabi Muhammad
Sopo shadaqah aji sak dirham, kanggo muludan prasasat saham
Emas sak gunung nguruni ragad, njunjung agama Islam sak jagad
Sopo shadaqah sak dirham wae, kanggo muludan saking bungahe
Swarga kang dadi ganjarane, sahabat Abu Bakar kancane.
Sopo ngegungaken wiosan babaran, gusti Nabi pungkasan
Ateges ngurip-urip agama, agama Islam rukune lima
Sopo shadaqah ing dirham siji, kanggo muludan maca Barzanji
Prasasat nderek ing perang Badar, lan perang Hunaian merangi kufar
Aweh sak dirham kang kanggo hurmat, babaran kanjeng Nabi Muhammad
Yen seda bakal oleh panduman, paring tetep kagungan iman
Sopo kang gawe narik kumpulan, ing para sanak kadang kenalan
Kerana muludan hurmat babaran, Nabi Muhammad, cawis daharan
Lan ngudi baguse amal makbul, besuk kiamat bakale kumpul
Kumpule sidiqin suhada’ uga, para wong shalih manjing swarga.17
Dari singiran di atas terlihat bahwa shalawat merupakan bagian yang menjadi tiang penyangga
agama Islam. Bacaan shalawat akan mendapat balasan, baik di dunia maupun di akhirat. Balasan di
dunia terwujud dengan terkabulnya keinginan pembacanya dalam kehidupan sehari-hari, bahkan akan
berlipat ganda dari apa yang telah dikorbankan untuk perayaan mengenang Nabi atau membaca
shalawat Nabi. Balasan di akhirat akan mendapat syafaat Nabi Muhammad SAW dan masuk surga
dengan Nabi bersama kekasih-kekasih Allah yang lain.
Dalam konteks di atas, ada sebagian kalangan Islam tradisionalis yang mempercayai shalawat
dengan berbagai variasinya mempunyai kegunaan (fungsional) dalam kehidupan sehari-hari. Shalawat
dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan pembacanya. Shalawat juga dapat dijadikan sebagai alat
untuk mencapai tujuan dengan syarat-syarat tertentu, seperti shalawat yang dibaca atau bilangan dalam
membacanya.
Beberapa faedah yang diperoleh ketika membaca shalawat adalah sebagai berikut: (1) Dapat
memperoleh kesehatan jasmani dan rohani apabila memperbanyak membaca shalawat tertentu; (2)
Barang siapa yang membaca shalawat sebanyak seratus kali, maka Allah akan mendatangkan hajatnya

Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi 5 INSANIA|Vol. 14|No. 3|Sep-Des 2009|500-511
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

seratus hajat; (3) Barang siapa yang membaca shalawat tertentu sesudah waktu Asar di hari Jum’at
sebanyak delapan puluh kali, maka diampunkan dosanya selama delapan puluh tahun; (4) Shalawat
tertentu dapat menghilangkan kesusahan; (5) Shalawat tertentu (tausi’ul arzaaq wa tahsiul akhlaq)
apabila dibaca terus-menerus niscaya diluaskan rizkinya dan diberikan akhlak yang baik; (6) Shalawat
tertentu (kamaliyat) apabila dibaca sekali, maka pahalanya sama dengan membaca shalawat sepuluh
ribu kali. Apabila dibaca tujuh ratus kali, maka menjadi tebusan bebas dari api neraka; (7) Shalawat
tertentu (khusnul khotimah) jika dibaca sepuluh kali setiap ba’da Magrib, maka akan khusnul khotimah,
yaitu mati dengan kesudahan baik dan membawa iman; (8) Apabila membaca shalawat tertentu dengan
sebanyak-banyaknya, maka wabah penyakit akan tertolak; (9) Jika seseorang membaca shalawat
tertentu, maka Allah akan melapangkan kesempitannya, (10) Apabila membaca shalawat tertentu, maka
akan bertemu Nabi Muhammad SAW dalam mimpinya; (11) Shalawat tertentu apabila dibaca akan
banyak mendatangkan rizki; (12) Shalawat tertentu ketika dibaca akan dapat menghilangkan segala
kesusahan; dan (13) Shalawat tertentu ketika dibaca akan memperoleh ketabahan jiwa dan raga.18
Dari uraian di atas, bagi kalangan tradisionalis, shalawat dimaknai sebagai: (1) Shalawat merupakan
bagian integral dari iman, kalau unsur ini tidak ada maka iman seseorang berkurang atau rusak; (2)
Ritual pembacaan shalawat menunjukkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW; (3) Ritual
pembacaan shalawat merupakan ibadah sunah muakad dan merupakan amal shalih; (4) Ritual
pembacaan shalawat akan mendapatkan balasan. Balasan di dunia adalah terwujudnya segala keinginan
yang membacanya, sedangkan balasan di akhirat mendapat syafaat Nabi Muhammad, masuk surga
bersama-sama kekasih-kekasih Allah; dan (5) Dengan keyakinan semacam itu, maka shalawat dapat di-
jadikan alat untuk mencapai tujuan pembacanya dengan syarat-syarat tertentu.

Makna Shalawat dalam Majmu’ah Mawalid


Dalam tulisan ini yang dimaksudkan shalawat juga termasuk di dalamnya adalah unsur-unsur yang
terdapat dalam kitab Majmu’ah Mawalid seperti Barzanji, Diba’i, dan Nadzam Burdah.
Dari paparan dalam kitab Majmu’ah Mawalid, pemahaman kalangan Islam tradisionalis terhadap
syair-syair yang terdapat di dalamnya dapat dikategorikan sebagai berikut:
Pertama, syair-syair tersebut merupakan suatu keindahan sekaligus keagungan dalam sastranya.
Syair-syair yang tertulis dalam bahasa Arab tersebut mempunyai gaya bahasa dan bentuk penulisan
yang indah, seperti akhir bait yang selalu sama. Oleh karena itu, ketika menerjemahkan harus
mempunyai rasa keindahan dan keagungan yang sama dengan yang berbahasa Arab. Dalam hal ini,
ulama-ulama tradisionalis ketika menerjemahkan syair-syair yang terdapat dalam Majmu’ah Mawalid
lebih merupakan tafsir atas syair-syair yang berbahasa Arab tersebut. Tafsir dari syair-syair tersebut
selalu diusahakan untuk memenuhi kriteria keindahan dalam bahasa Jawa. Hal ini terlihat dengan
perbedaan yang mencolok antara terjemahan dalam bahasa Indonesia dan terjemahan berbahasa Jawa
sehingga untuk memenuhi tuntutan keindahan tersebut ulama-ulama tradisionalis hanya menyebut

Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi 6 INSANIA|Vol. 14|No. 3|Sep-Des 2009|500-511
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

esensi makna dari syair-syair tersebut. Pada kaitan ini, untuk tetap mendapatkan pahala terjemahan itu
disusun dalam bahasa Jawa meskipun ditulis dalam aksara Arab, yang dikenal dengan Arab Pegon.
Kedua, khusus dalam Nadzam Burdah disusun dengan not bahar basit, yaitu not yang
menggunakan wazan mustaf’ilun faa’ilun empat kali. Seperti mustaf’ilun faa’ilun mustaf’ilun faa’ilun-
huwa al-habibu aladzi turja syafa’atuhu. Oleh karena itu, dalam menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa
menyesuaikan dengan wazan tersebut, paling tidak dalam susunan nadzam.19
Ketiga, syair-syair dalam Majmu’ah Mawalid akan mempunyai faedah-faedah yang banyak apabila
seseorang mau meresponnya.20
Keempat, untuk menambah faedah-faedah yang terdapat dalam kitab tersebut, maka perlu
ditambahkan nadzam-nadzam pujian lain yang juga mashur karena di dalamnya ada pujian dan doa
keselamatan kepada Nabi yang juga berisi nasihat-nasihat.21

Pembelajaran Akhlak Karimah Tafsir Baru atas Shalawatan


Islam memosisikan al-akhlak al karimah (budi pekerti yang mulia) pada tempat yang sangat tinggi.
Seakan-akan Nabi Muhammad SAW diutus hanya untuk membina akhlak mulia.22 Hal ini didasarkan
pada hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia.23
Akhlak merupakan watak, tabiat yang tampak secara spontan, tanpa perhitungan untung rugi dan
yang lainnya. Kegiatan membina akhlak di kalangan tradisionalis dilakukan dengan mengintegrasikan
ke dalam setiap kegiatan baik organisasi, kegiatan kemasyarakatan, serta dalam kegiatan peribadatan.24
Dalam penanaman akhlak karimah, tidak hanya dengan nasihat-nasihat, tetapi langsung dilakukan
dengan perbuatan. Kalangan tradisionalis ingin menjadikan akhlak sebagai garam kehidupan yang
memberikan rasa kepada makanan, bahkan menjadikannya ragi yang dapat mengubah rasa, warna dan
bentuk makanan.25
Pembelajaran akhlak karimah yang didasarkan pada aktivitas shalawatan dapat dirumuskan dalam
hal-hal sebagai berikut:
1. Menanamkan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Rasa cinta kepada Rasulullah ini
dibangun di setiap kesempatan, anjuran-anjuran untuk membaca shalawat selalu disampaikan, bahkan
sampai dalam kegiatan-kegiatan yang dipandang sebagai kegiatan dunia harus dihiasi dengan bacaan
shalawat, seperti dalam kegiatan berdagang, menimang-nimang anak dan sebagainya. Selain
perwujudan rasa cinta kepada Nabi yang dilaksanakan dalam hal-hal profan, shalawat juga dibaca
dalam ritual-ritual keagamaan. Pada esensinya, shalawatan bagi kalangan Islam tradisionalis adalah
wujud rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW;
2. Menggelorakan kemauan berkorban untuk yang dicintai. Rasa cinta yang tertanam mendalam
akan selalu memunculkan kemauan untuk berkorban bagi yang dicintai. Cinta yang telah tertanam
kepada Nabi Muhammad SAW menyebabkan kalangan Islam tradisionalis tidak ragu-ragu lagi untuk
mengorbankan sesuatu yang mereka miliki untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan

Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi 7 INSANIA|Vol. 14|No. 3|Sep-Des 2009|500-511
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

dengan mengenang Nabi Muhammad SAW seperti ritual berjanjen ataupun yang lain. Semangat untuk
mau berkorban ini juga selalu digelorakan oleh ulama-ulama tradisionalis dengan menyitir baik ayat al-
Qur’an atau al-Hadis tentang faedah-faedah yang akan didapatkan apabila seorang muslim mau
berkorban untuk Nabi Muhammad SAW. Shalawatan adalah kemauan berkorban untuk yang dicintai.
3. Meneladani Nabi Muhammad. Setelah mencintai dan kemauan berkorban maka taraf
selanjutnya adalah mau meneladani, dan mengikuti laku-laku yang disanjung dan dicintai. Dengan
shalawat yang berisikan tentang kisah hidup Nabi, seperti Barzanji, Diba’ dan Nadzam Burdah,
keagungan akhlak karimah Nabi dalam syair-syair itu dapat tercermin juga dalam kehidupan keseharian
kalangan Islam tradisionalis.

Penutup
Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa makna shalawatan bagi kalangan tradisonalis
tidaklah dapat dipisahkan dari unsur keimanan. Iman seorang hamba akan sempurna tatkala di
dalamnya selain Allah juga ada rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Kegiatan shalawatan di
kalangan tradisionalis secara esensial sebetulnya adalah proses pembelajaran akhlak karimah, yakni
proses transformasi keagungan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW ke dalam keseharian kalangan
muslim tradisionalis, baik ibadah maupun muamalah.

Endnote
1
Fatihuddin Abdul Yasin, Maulid Diba’ (Surabaya: Terbit Terang, 1997), lihat juga Syarif Tamjani, Majmu’ah Mawalid
(Bandung, Syirkah Ma’arif, TT), lihat juga Muhyiddin, Majmu’ah Mawalid Tsalatsah al-Musytamalah ‘ala Maulidi Nabi
Shalallahu’alaihi wa as-Salam Lidiba’i wa al-Burdah (Magelang: Al-Mukhtar, 1989).
2
Saifudin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren (Yogyakarta, LKiS, 2002).
3
Kesenian ini banyak muncul di daerah-daerah agraris di pulau Jawa terutama di DIY dan Jateng, kesenian ini awalnya
adalah tarian-tarian sebagai bentuk syukur kepada pencipta pasca panen. Kesenian ini juga telah banyak bersentuhan
dengan pesantren-pesantren di daerah-daerah pedalaman sebagai rasa apreasiasi pesantren terhadap budaya dan
kesenian lokal, seperti dilakukan oleh Pesantren Al-Qodir Cangkringan, setiap kegiatan akhiru sannah selalu menampilkan
festival jathilan.
4
Ahimsa Putra, HS, Peringatan, Cobaan, dan Takdir: Politik Tafsir Bencana Merapi (Masyarakat Indonesia, XXVI,1) hal.
27-52.
5
Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta, Paramadina, 1996).
6
Q.S. Al-Ahzab: 56.
7
Faqih Dalil, Aneka Bacaan Shalawat Beserta Guna dan Manfaatnya (Surabaya, Appolo,1997), hal. 13-14.
8
Ibid., hal. 15-31.
9
Q.S. Al-Ahzab:59.
10
H.R. Abu Ya’li.
11
H.R. Baihaqi.
12
Muhyiddin, Op. Cit., hal. 1.
13
Ibid., hal. 2.
14
Ibid.
15
Ibid.

Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi 8 INSANIA|Vol. 14|No. 3|Sep-Des 2009|500-511
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN

16
Ibid.
17
Ibid., hal. 4-5.
18
Usman, Do’a-do’a Rasulullah dilengkapi dengan Shalawat Nabi dan Khasiatnya (Jakarta: UP. Firdaus, 1997), hal. 11-
18.
19
Muhyiddin, Op. Cit., hal. 31.
20
Ibid.
21
Ibid.
22
Abdul Muchith Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama (Surabaya: Khalista, 2006), hal. 41.
23
H.R. Ahmad dan Baihaqi.
24
Abdul Muchith Muzadi, Op.Cit., hal. 42.
25
Ibid., hal. 43.

Daftar Pustaka
Dalil, Faqih. 1997. Aneka Bacaan Shalawat Beserta Guna dan Manfaatnya. Surabaya: Apolo.
Hidayat, Komarudin. 1996. Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina.
HS, Ahimsa Putra, Peringatan, Cobaan, dan Takdir: Politik Tafsir Bencana Merapi. Masyarakat Indonesia.
Muhyiddin. 1989. Majmu’ah Mawalid Tsalatsah al-Musytamalah ‘ala Maulidi Nabi Shalallahu’alaihi wa as-Salam
Lidiba’i wa al-Burdah. Magelang: Al-Mukhtar.
Muzadi, Abdul Muchith. 2006. Mengenal Nahdlatul Ulama. Surabaya: Khalista.
Tamjani, Syarif. TT. Majmu’ah Mawalid. Bandung: Syirkah Ma’arif.
Usman. 1997. Do’a-do’a Rasulullah dilengkapi dengan Shalawat Nabi dan Khasiatnya.Jakarta: UP. Firdaus.
Yasin, Fatihuddin Abdul. 1997. Maulid Diba’. Surabaya: Terbit Terang.
Zuhri, Saifudin. 2002. Guruku Orang-orang dari Pesantren. Yogyakarta: LKiS.

Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto | Kholid Mawardi 9 INSANIA|Vol. 14|No. 3|Sep-Des 2009|500-511

Anda mungkin juga menyukai