Anda di halaman 1dari 28

EFEKTIVITAS PENYAMPAIAN AJARAN TASAWUF MELALUI KITAB

NAZAM
(Tinjauan Komunikasi Atas Kitab Anni’am Alaa Nadmil Hikam Karya Syeikh
Abdul Wahib Ibn Hudzaifah)

Miftahul Arifin (NIM: 1700018011)


Universitas Islam Negeri UIN Walisongo Semarang
email: m42arivin@gmail.com

Abstrak: Artikel ini menguraikan efektivitas nazam/syair dalam menyampaikan pesan yang difokuskan
pada Kitab Anniam Alaa Nadhmil Hikam (syarah atas al-Hikam Ibnu Atha’illah) karya Syeikh Abdul
Wahid bin Hudzaifah (Kiai Wahid) sebagai ulama sekaligus Mursyid Tarekat Naqsabandiyah
Ahmadiyah Mudhzariyah Gersempal Sampang. Dengan menggunakan pendekatan sosio-histrosis,
artikel ini mengidentifikasi sejauh mana nazam/syair sebagai kemasan dalam menyampaikan ajran-
ajaran tasawuf. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyampaian ajaran tasawuf melalui nazam
sangat efektif karena naẓam dapat dibaca menggunakan lagu atau nada sesuai yang diinginkan
pembaca. Selain itu, tradisi bersyair merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
masyarakat Madura yang sudah berlangsung sejak lama sampai sekarang. Efektivitas penyampaian
ajaran tasawuf melalui nazam didukung oleh kapabilitas Kiai Wahid sebagai ulama yang
berpengaruh sekaligus berpengalaman. Meminjam teori Wilbur Schramm bahwa efektivitas
komunikasi setidaknya dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, bidang pengalaman. Kedua, kerangka
rujukan. Semakin besar lingkaran kesamaan antara sumber dan penerima atas dua hal di atas maka
komunikasi akan mudah dilakukan dan efektivitas komunikasi akan tercapai. Dalam aspek ideologi
keagamaan, ideologi Kiai Wahid sejalan dengan ideologi keagamaan masyarakat Madura secara
umum.

Keywords: Tasawuf, Tarekat, Kitab Anni’am, Komunikasi

0
A. Pendahuluan
Di tengah arus globalisasi yang semakin lama dirasakan menggerogoti nilai
spritualitas, dunia tasawuf mengalami peningkatan. Tingginya spritualitas keimanan
menjadi penanda dari maraknya kajian tasawuf yang mengalami perkembangan
pesat.1 Jika ditelisik lebih dalam, tasawuf pada dasarnya adalah ajaran penyempurna
dalam spiritualitas Islam. Ia merupakan aktualisasi satu dari tiga pilar penting dalam
Islam, yakni iḥsan. Dimulai dari dimensi pertama berupa syariah, kedua adalah
aqidah dan ketiga adalah ihsan. Ihsan merupakan sikap dan perilaku dari seseorang
yang benar-benar menghamba kepada Tuhannya dengan segala bentuk budi pekerti
luhur terhadap sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan. Penghambaan ini
kemudian mengantarkan seseorang pada sebuah jalan yang disebut tasawuf.2
Ajaran tasawuf yang melekat sebagai citra dasar manusia itu telah membumi
tengah-tengah masyarakat muslim tak terkecuali di Indonesia termasuk juga
masyarakat Madura. Peran tasawuf yang cukup dominan di Indonesia telah
berlangsung sejak proses islamisasi di Nusantara. Madura juga menjadi bagian yang
tidak dapat terpisahkan dari proses tersebut. Keberhasilan proses Islamisasi di
Madura berkaitan erat dengan sejarah Islamisasi Jawa3 yang berlangsung Abad ke-13
M di pulau Sapudi. Kemudian menyebar ke Desa Mandaraga, Keles, Bukabu,
Ambunten, Banasare, Bragung, Guluk-guluk, Proppo, Sampang, Pameling (sekarang
Pamekasan) dan Bangkalan pada abat ke-15-17 M. Disebutkan Keberhasilan proses
islamisasi di Madura diawali Ali Musada (Ali Murthadha) adik dari Ali Rahmatullah
atau Sunan Ampel.4 Jika mengacu pada sejumlah penelitian telah menyebutkan
bahwa Islam yang masuk Nusantara bercorak tasawuf, maka dapat dikatakan bahwa
tasawuf di Madura telah hidup sejak awal-awal Islam masuk ke Nusantara.
1
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia: Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi
(Tangerang: Pustaka IIMaN, 2009), hlm. ix.
2
Ahmad Syafii Mufid, Tangklungan, Abangan dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 3.
3
Thomas Stamford Raffles, The History Of Java (Yogyakarta: Narasi, 2008), 430-487.
4
Abdurrachman¸ Sejarah Madura: Selayang Pandang (Sumenep: tnp, 1971), hlm 17.

1
Pada perkembangan selanjutnya, berlangsungnya tasawuf di Madura tidak bisa
dilepaskan dari para tokoh-tokohnya yang juga memiliki jaringan intelektual dan
kekerabatan dengan para wali songo serta jaringan ulama timut tengah yang telah
berlangsung selama berabad-abad. Melalui lembaga pesantren, jaringan intelektual
ulama Nusantara membumikan tasawuf sehingga tasawuf terus tumbuh subur di
tengah-tengah kehidupan masyarakat. Beberapa ulama yang menyuburkan tasawuf
antara lain Syaikh Ahmad Khatib Syambas, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Mahfud
Termas, Syaikh Abdul Karim, Syaikh Kholil Bangkalan, dan Syaikh Hasyim
Asy’ari.5 Bersamaan dengan itu, sejumlah karya-karya berbahasa Arab
diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, diberi syarah dan komentar. Kitab-kitab
tersebut menjadi sarana pengajaran agama kepada santri dan masyarakat sehingga
dapat dipahami dengan mudah.
Syeikh ‘Abdul Wahid bin Hudzaifah merupakan salah satu ulama sekaligus
Musrsyid ke-45 Tarekat Naqsabandiyah Ahmadiyah Muzhairiyah Ghersempal
Sampang yang memiliki kontribusi penting dalam kehidupan tasawuf di Madura.
Selain sebagai mursyid, dia merupakan ulama yang cukup produktif mengarang kitab.
Salah satunya adalah Kitab Anni’am ‘Ala Nadhmil Hikam Lii Syeikh Ibnu Atha’illah,
kitab syarah atau komentar atas Kitab Al-Hikam al-Athaiyyah karya Ibnu Atha’illah
as-Sakandari (648 H/1250 M-1309 M).
Kitab Anni’am ditulis menggunakan arab pegon berbahasa Madura. Berbeda
dengan syarah al-Hikam yang ditulis Kiai Sholeh Darat, Syeikh Abdul Wahid bin
Hudzaifah terlebih dahulu mengubah prosa al-Hikam ke dalam bentuk nazam. Baru
kemudian diberi makna harfiah dan penjelasan-penjelasan ringkas hampir di seluruh
bait-bait nazam.
Zainol Hasan, salah satu Pengurus PCNU Pamekasan dalam artikelnya berjudul
“Mengenal Kitab Al-Ni’am, Karya Kiai Abdul Wahid Hudzaifah PP Darul Ulum
Nangger Sempal Omben Sampang” memberikan komentar bahwa Anni’am

5
Mohammad Takdir, Kontribusi Kiai Kholil Bangkalan dalam Mengembangkan Tasawuf
Nusantara,..hlm. 270-299.

2
merupakan syarah al-Hikam pertama kali yang menggunakan bahasa Madura.6
Penggunaan Bahasa Madura dalam Kitab Anniam tentu tidak bisa lepas dari kontek
sosial dimana kitab tersebut ditulis. Dengan Bahasa Madura, Syeikh Abdul Wahid
ingin agar untaian hikmah Ibnu Atha’illah bisa dipahami dengan mudah oleh
masyarakat Madura. Yang tak kalah penting adalah proses perubahan dari aforisme-
aforisme al-Hikam menjadi nazam-nazam. Pesan-pesan yang disampaikan melalui
nazam memiliki kesan tersendiri di tangan para pembacanya. Artikel ini berusaha
ingin mengungkap efektivitas peyampaian ajaran-ajaran tasawuf melalui nazam
(puisi) yang dilakukan oleh Syeikh Abdul Wahid Ibn Hudzaifah.

B. Teori Efektivitas Komunikasi


Efektivitas secara umum diartikan dengan sampai seberapa jauh tercapainya
suatu tujuan yang sudah terlebih dahulu ditentukan. Pengertian ini sebagaimana
dikemukakan oleh Hidayat, ia menyatakan bahwa evektivitas adalah suatu ukuran
yang menyatakan seberapa jauh target, baik secara kualias, kuantitas, maupun waktu
telah tercapai. Semakin besar prensentase target yang dicapai, maka semakin tinggi
efektivitasnya.7 Sedangkan menurut Emerson, dikutip Handyadiningrat, effectivines
is measuring in term of prescribed goals of objectivers. Efektivitas adalah
pengukuran dalam arti tercapainya sasaran yang telah ditentukan sebelumnya.8
Sedangkan pengertian komunikasi, jika mengacu pada Jenis & Kelly
menyebutkan bahwa komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang
(komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan
tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang lainnya (khalayak). Tak jauh
berbeda dengan yang disampaikan Berelson & Stainer bahwa komunikasi adalah
6
Zainul Hasan, “Mengenal Kitab Al-Ni’am, Karya Kiai Abdul Wahid Khudzaifah PP Darul
Ulum Nangger Sempal Omben Sampang”, tayang di pcnu-pamekasan.or.id pada Tanggal 08 Oktober
2019. Link: https://pcnu-pamekasan.or.id/mengenal-kitab-al-niam-karya-kiai-abdul-wahid-khudzaifah-
pp-darul-ulum-nangger-sempal-omben-sampang/ (diunggah 10 November 2019).
7
Hidayat, Efektifitas dalam Kinerja Karyawan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1986), hlm. 41.
8
Handyadiningrat, Soewarno, Pengantar Study IlmuAdministrasi dan Management, (Jakarta:
Gunung Agung, 1980), hlm. 16

3
suatu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain. Melalui
penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar-gambar, angka-angka, dan lain-
lain.9
Dengan demikian, jika efektivitas dihubungkan dengan komunikasi maka dapat
dimengerti bahwa yang dimaksud efektivitas komunikasi adalah seberapa jauh atau
seberapa lama pencapaian target untuk menyampaikan suatu pernyataan atau pesan
oleh seseorang kepada orang lain.10 Stewart L. Tubbs dan Sylavia Moss menyatakan
bahwa komunikasi yang efektif ditandai dengan adanya pengertian, dapat
menimbulkan kesenangan, mempengaruhi sikap, meningkatkan hubungan sosial yang
baik, dan pada akhirnya menimbulkan suatu tindakan.11
Meminjam Wilbur Schramm, efektivitas dalam komunikasi setidaknya
dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, bidang pengalaman. Kedua, kerangka rujukan.
Semakin besar lingkaran kesamaan antara sumber dan penerima atas dua hal di atas
maka komunikasi akan mudah dilakukan dan efektivitas komunikasi akan tercapai.
Akan tetapi bila lingkaran kesamaan antara bidang pengalaman dan kerangka rujukan
sumber dengan penerima tidak bertemu maka komunikasi tidak mungkin berlangsung
karena pengalaman sumber dan penerima sangat jauh berbeda sehingga akan sulit
menyampaikan makna kepada yang lainnya. 12 Untuk mengetahui sejauh mana
komunikasi dapat dikatakan efektif, maka dapat diukur melalui enam dimensi, yaitu
penerima komunikasi, isi pesan, ketepatan waktu, saluran atau media, format atau
bentuk kemasan pesan, dan sumber.13
C. Biografi Syeikh Abdul Wahid Ibn Hudzaifah

9
Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Cet. II (Jakarta: PT Indeks,
2008) hlm. 25-26.
10
Rany An Nisaa Syabrina, Efektvitas dan Efesiensi Komunikasi Pada Penyelenggaraan
Festival Damar Kurung Gresik Tahun 2017, Jurnal TSK, hlm. 2.
11
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993), hlm.
13.
12
Rany An Nisaa Syabrina, Efektvitas dan Efesiensi Komunikasi Pada Penyelenggaraan
Festival Damar Kurung Gresik Tahun 2017, hlm. 3.
13
Cahyana, dkk, Kajian Komunikasi dan Seluk Beluknya (Surabaya: Airlangga University
Press, 1996), hlm. 192.

4
1. Riwayat Hidup
Syeikh Abdul Wahid bin Hudzaifah al-Furjani atau yang sering dipanggil Kiai
Wahid merupakan mursyid ke-45 Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah
Sampang yang sekarang terkenal dengan Naqsyabandiyah Gersempal dan Pendiri
Pondok Pesantren Darul Ulum, Gersempal Omben, Sampang. 14 Kata "al-furjani" di
belakang nama Kiai Wahid dinisbatkan kepada Desa Prajjan, Camplong, Sampang,
desa tempat kelahiran Kiai Wahid. Kata “al-furjani” sudah di kenal di negeri Arab,
khususnya oleh ulama Arab.15
Kiai Wahid lahir di Desa Prajjan, Campong, Sampang tahun 1929, tepatnya di
Pondok Pesantren Langgar Genting Desa Prajjan, Camplong, Sampang. Ayahnya
bernama KH. Ahmad Khudzaifah Qs. bin KH. Banu Rahmat dan ibunya bernama
Nyai Hj Rahbiyah binti KH. Zainal Abidin. KH. Zainal Abidin merupakan Saudara
dari KH. Ahmad Syabrowi dan Nyai Aisyah. Ketiganya merupakan seorang mursyid
dan mursyidah Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah.16
Kiai Wahid mempunyai nasab yang bersambung kepada Nabi Muhammad saw.
Sambungan nasab Kiai Wahid melalui jalur Sayyid Muhammad Ainul Yaqin atau
Sunan Giri. Salah satu jalur dari KHR. Ahmad Hudzaifah Qs bin KHR. Banu Rahmat
Qs. Bin KHR. Haaibin Qs bin KHR. Ruba'ah Qs bin KHR. Amir Ruwasyi Qs bin
KHR. Abu Syujaa' Qs bin Nyai Hj. Syaibah Qs binti Syaikhona Abdul Allam Qs
Prajjan. Dari jalur lain bisa dirunut dari Syaikhona Abdul Allam Qs sebagai berikut:
KHR. Abdul Wahid Qs. Bin KHR. Ahmad Hudzaifah Qs. Bin Nyai Hj aisyah (istri
14
Anonim, Hadrotus Syeikh Abd. Wahid bin Khudzaifah Qs. Mursyid Silsilah ke-45, Website
Resmi Tarekat Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah, Januari 2015.
Lihat:http://www.naqsyabandiyah-gersempal.org/hadrotus-syeikh-abd-wahid-bin-khudzaifah-qs-
mursyid-silsilah-45.html (Diunduh 20 Januari 2020).
15
Ulama yang di kenal pertama kali berada di Desa Prajjan adalah Syaikhona Abdul Allam bin
Syekh Khotib. Lihat: Hadratus Syaikh KHR Abdul Wahid Khudzaifah al-Furjani Qs, Blog Remis
Tarekaq Naqsabandiyah Mudzariyah Gersempal, 7 Januari 2015. (Lihat:http://naqsabandi-
gersempal.blogspot.com/2015/02/naqshbandi-gersempal-hadratus-syaikh.html#more (20 Januari
2020)).
16
Anonim, Hadratus Syaikh KHR Abdul Wahid Khudzaifah al-Furjani Qs, Blog Remis Tarekaq
Naqsabandiyah Mudzariyah Gersempal, 7 Januari 2015 (Lihat: http://naqsabandi-
gersempal.blogspot.com/2015/02/naqshbandi-gersempal-hadratus-syaikh.html#more (Diunduh 20
Januari 2020))

5
KHR. Banu Rahmat) binti KHR. Alimuddin bin KHR. Shofyan bin KHR. Su'adi bin
KHR. Masajid bin KHR. Abdul Kamal bin Syaikhona Abdul Allam. Dari Syeikh
Abdul Allam inilah nasab Kiai Wahid nyambung ke Sunan Giri melalui jalur
Syaikhona Abdul Allam Prajjan RA bin Syekh Khotib (sawunggaling pangratoh
bumi) RA bin Sayyidah Nyai Tambujung RA binti Sayyid Astamina RA bin Sayyid
Hafifuddin (kiyai kabu kabu) RA bin Sayyidah Nyai Keddi Kakettel RA binti Sayyid
Tamsyi (pangeran kulon) RA bin Sayyid Muhammad Ainul Yaqin/ Raden Paku
(Sunan Giri) RA bin Maulana Ishaq RA.17
Kelahiran Kiai Wahid di masa-masa penjajahan membuat masa-masa kecilnya
sempat mengalami situasi sulit khususnya dalam hal ekonomi. Di masa-masa
kecilnya, Kiai Wahid hanya pernah makan seiris kelapa sebesar jari dengan gula
jawa. Terkadang juga hanya makan segenggam buggul (madura: makanan yang
terbuat dari gaplek yang di tumbuk). Pakaian Kiai Wahid terbuat dari katun kasar
yang hampir sama dengan karung goni, dan itu pun sangat terbatas. Bahkan jika
pakaian yang dipakainya kotor, maka Kiai Wahid kecil mencucinya sambil mandi di
sumber air dan beliau berendam hingga bajunya kering dan bisa dipakai lagi.18
Meski demikian, masa kecil Kiai Wahid sudah terbiasa dengan lingkungan
yang taat beragama dan budaya pesantren. Inilah yang kelak turut menjadi bekal
keilmuannya di bidang agama. Menginjak usia 6 tahun, Kiai Wahid lebih banyak
menghabiskan hidupnya di pesantren hingga akhirnya menikah pada tahun 1954
dengan Nyai Hj. Syafiah, seorang perempuan yang tak lain cucu KH. Sirojuddin,
Pengasuh Pesantren Miftahul Ulum Bettet Pamekasan, tempat Kiai Wahid menuntut
ilmu. Kiai Wahid dinikahkan langsung oleh KH. Sirojuddin. Setelah pernikahan itu,

17
Anonim, Hadratus Syaikh KHR Abdul Wahid Khudzaifah al-Furjani Qs, Blog Remis Tarekaq
Naqsabandiyah Mudzariyah Gersempal, 7 Januari 2015. Lihat http://naqsabandi-
gersempal.blogspot.com/2015/02/naqshbandi-gersempal-hadratus-syaikh.html#more (20 Januari
2020).
18
Kisah ini diceritakan Keponakan Kiai Wahid, Ibnul Karim. Lihat Hadratus Syaikh KHR
Abdul Wahid Khudzaifah al-Furjani Qs.

6
Kiai Wahid diberi kepercayaan untuk mengajar di Pesantren Miftahul Ulum Bettet
selama dua tahun.19
Setelah itu, Kiai Wahid pindah ke Pesantren Al-Bustan Sumber Papan di
Larangan Badung, Pamekasan bersama istirnya. Di sana Kiai Wahid melanjutkan
pesantren ayahnya, KH. Khudzaifah bin KH. Banu Rahmat. Sejak itu, selain
mengajar di pesantren, Kiai Wahid mulai aktif berdakwah ke kampung-kampung.
Masa ini berlangsung sekitar tiga tahun hingga tahun 1959. Kiai Wahid kemudian
pindah ke Desa Gersempal, Kecamatan Omben, Sampang. Perpindahan Kiai Wahid
dari Pamekasan ke Sampang berdasarkan saran para kiai dan permintaan tokoh
masyarakat. Sosoknya Kiai Wahid dibutuhkan masyarakat Omben untuk
mengajarkan agama.20
Desa Gersempal, Omben, Sampang memainkan peran penting dalam kehidupan
Kiai Wahid. Sejak kedatangannya ke Gersempal, Kiai Wahid langsung mengajarkan
ilmu agama kepada masyarakat dengan mendirikan majelis taklim yang saat itu
dikenal dengan istilah Tabligh Jam’iyah. Santri yang belajar agama kepada Kiai
Wahid awalnya hanya 20 orang. Namun lambat laun terus bertambah hingga 400
santri. Seiring berjalannya waktu, Tabligh Jam’iyyah Kiai Wahid berubah menjadi
pondok pesantren yang diberi nama Darul Ulum berdasarkan saran gurunya. Selain
itu, Kiai Wahid tidak hanya fokus mengembangkan pesantren dan mengajar agama
kepada santri. Kiai Wahid kembali berdakwah di tengah-tengah masyarakat
kampung, bahkan hingga ke luar Madura.21

19
Anonim, Hadratus Syaikh KHR Abdul Wahid Khudzaifah al-Furjani Qs, Blog Remis Tarekaq
Naqsabandiyah Mudzariyah Gersempal, 7 Januari 2015. Lihat: http://naqsabandi-
gersempal.blogspot.com/2015/02/naqshbandi-gersempal-hadratus-syaikh.html#more (Diunduh 20
Januari 2020))
20
Anonim, Hadratus Syaikh KHR Abdul Wahid Khudzaifah al-Furjani Qs, Blog Remis Tarekaq
Naqsabandiyah Mudzariyah Gersempal, 7 Januari 2015. Lihat: http://naqsabandi-
gersempal.blogspot.com/2015/02/naqshbandi-gersempal-hadratus-syaikh.html#more (Diunduh 20
Januari 2020))
21
Anonim, Hadratus Syaikh KHR Abdul Wahid Khudzaifah al-Furjani Qs, Blog Remis Tarekaq
Naqsabandiyah Mudzariyah Gersempal, 7 Januari 2015. Lihat: http://naqsabandi-
gersempal.blogspot.com/2015/02/naqshbandi-gersempal-hadratus-syaikh.html#more (Diunduh 20
Januari 2020))

7
Kegiatan dakwah Kiai Wahid semakin intensif setelah dirinya juga aktif di NU
pada 1962. Di NU, Kiai Wahid aktif di kegiatan bahtsul masail dan dinilai cukup
piawai dalam memecahkan persoalan yang dialami masyarakat. Semua permasalahan
status hukum dalam ajaran Islam yang muncul di tengah-tengah masyarakat dikupas
tuntas dan dicarikan solusinya oleh Kiai Wahid. Hal ini cukup beralasan, dibuktikan
dengan puncak karir Kiai Wahid di NU, Kiai Wahid menjadi Rois Syuriyah PCNU
Sampang pada 1980.22
Kiai Wahid dikaruniai tiga orang anak yang kelak ketiganya menjadi pengasuh
pondok pesantren di Gersempal, yaitu Nyai Hj. Salimah, pengasuh Pondok Pesantren
Nahdlatul Tullab Taman Anom, KH. Syafiuddin, pengasuh Pondok Pesantren Darul
Ulum, dan KH. Ahmad Jakfar, pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum II Al-
Wahidiyah. Kiai Wahid meninggal dan dimakamkan di Gersempal tahun 1411
H/1990 M dengan meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Syafi'ah Mansur seorang
putri, Nyai Hj. Salimah, dan dua orang putra, KH. Syafi'uddin, dan KH. Ahmad
Ja'far.23 Setelah Kiai Wahid meninggal, pesantren dan dakwahnya dilanjutkan KH.
Syafiuddin. Kiai Wahid juga mengangkat putranya KH. Ahmad Ja’far sebagai
mursyid ke-46 Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah.24
2. Riwayat Pendidikan
Lingkungan keluarga sangat berpengaruh dalam kehidupan dan keilmuan Kiai
Wahid. Sejak kecil, Kiai Wahid hidup di lingkungan yang taat beragama dan budaya
pesantren. Lingkungan tersebut tentu saja memiliki pengaruh besar dalam perjalannya
memperdalam ilmu agama. Namun secara formal, perjalanan Kiai Wahid
memperdalam ilmu agama dimulai sejak berusia 6 tahun, yakni saat Kiai Wahid
nyantri di Pesantren Prajjan, Camplong, Sampang. Hal ini tidak lepas dari peran Ibu
22
Zainol Hasan, Mengenal Kiai Abdul Wahid Khudzaifah Pendiri PP Darul Ulum Nangger
Sempal Sampang, 6 Oktober 2019. Lihat: https://pcnu-pamekasan.or.id/mengenal-kiai-abdul-wahid-
khudzaifah-pendiri-pp-darul-ulum-nangger-sempal-sampang/ (Diunduh 18 April 2020).
23
Anonim, Hadratus Syaikh KHR Abdul Wahid Khudzaifah al-Furjani Qs.
24
Anonim, Hadratus Syaikh KHR Abdul Wahid Khudzaifah al-Furjani Qs, Blog Remis Tarekaq
Naqsabandiyah Mudzariyah Gersempal, 7 Januari 2015. Lihat:http://naqsabandi-
gersempal.blogspot.com/2015/02/naqshbandi-gersempal-hadratus-syaikh.html#more (Diunduh 20
Januari 2020).

8
Kiai Wahid, Nyai Hj. Salimah, yang masih menjadi bagian dari keluarga besar
Pondok Pesantren di Prajjan. Di pesantren kakeknya inilah Kiai Wahid mulai belajar
ilmu agama, utamanya ilmu alat seperti ilmu Nahwu, Shorof, Bahasa Arab, dan ilmu
lainnya. Bahasa Arab dipalajarinya dari Syeikh Ahmad Mudhar. Sedangkan ilmu
Nahwu dan Sorrof belajar kepada Kiai Syamlawi.25
Selanjutnya, pada usia 17 tahun, Kiai Wahid nyatri di Pondok Pesantren
Miftahul Ulum Bettet, Pamekasan selama 8 tahun. Di pesantren ini, semangat belajar
agama Kiai Wahid terus tumbuh, khususnya di dalam ilmu Nahwu. Bahkan di usia 20
tahun, Kiai Wahid telah mengarang Kitab Bustanus Subban, yakni kitab nahwu
dengan syair seribu bait yang kemudian di perpendek menjadi Kitab Iqomatul
Abniyyah (Sorrof).26 Kemudian pada 1963, Kiai Wahid Wahid memperdalam ilmu
Tarekat Naqsyabandiyah kepada gurunya KH Ali Wafa Muharror di Kecamatan
Ambunten, Sumenep hingga sehingga Kiai Wahid tidak setiap hari ke Sumenep.
Melainkan hanya sepekan sekali karena masih harus mengajar santri di Pesantren
Darul Ulum dan mengisi pengajian.
3. Kiai Wahid dan Terekat
Tahun 1963, Kiai Wahid memperdalam ilmu Tarekat Naqsyabandiyah
Ahmadiyah Mudhzhariyah kepada KH Ali Wafa Muharror di Kecamatan Ambunten,
Sumenep. Namun, Kiai Wahid tidak setiap hari ke Sumenep. Melainkan hanya
sepekan sekali karena masih harus mengajar santri di Pesantren Darul Ulum dan
mengisi pengajian. Kiai Wahid diangkat menjadi mursyid setelah empat tahun
bergabung dengan Tarekat Naqsabndiyah Ahmadiyah Mudhzariyah. Pengangkatan
Kiai Wahid dilakukan oleh Kiai Ali Wafa berlangsung setelah Subuh pada Hari
Jum’at Tanggal 13 Maret 1964 M/28 Syawal 1383 H. Pengangkatan mursyid

25
Anonim, Hadrotus Syeikh Abd. Wahid bin Khudzaifah Qs. Mursyid Silsilah ke-45
26
Anonim, Hadratus Syaikh KHR Abdul Wahid Khudzaifah al-Furjani Qs, Blog Resmi Tarekat
Naqsabandiyah Mudzariyah Gersempal, 7 Januari 2015. Lihat:http://naqsabandi-
gersempal.blogspot.com/2015/02/naqshbandi-gersempal-hadratus-syaikh.html#more. (Diunduh 20
Januari 2020).

9
disaksikan Kiai Abdul Kholik atau yang tak lain putra Kiai Ali Wafa dan ratusan
santri Kiai Ali Wafa yang waktu itu datang dari berbagai daerah.27
Kiai Wahid menjadi salah satu murid paling terkemuka. Nama Kiai Wahid
semakin berpengaruh dalam Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Madzhariyah
setelah gurunya, Kiai Ali Wafa, meninggal pada 1976. Banyak orang berbaiat kepada
Kiai Wahid. Masa-masa ini sekaligus menandai perpindahan pusat Tarekat
Naqsyabandiyah Ahmadiyah Madzhariyah dari Ambunten Sumenep ke Desa
Gersempal Sampang. Sebenarnya Kiai Ali Wafa telah mengangkat dua orang mursyid
di Sumenep, yaitu Kiai Jamaluddin dari Gading Sumenep dan Kiai Jazuli dari Dasuk.
Namun, keduanya meninggal tak lama setelah mendapat ijazah kemursyidan. Sebab
itu, putuslah silsilah kemursyidan di Sumenep dan Kiai Wahid menjadi mursyid ke-
45 tarekat ini.28
Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Madzhariyah merupakan salah satu
cabang dari Tarekat Naqsabandiyah yang namanya dinisbatkan kepada Syekh
Maulana Muhammad Mudzar Al Ahmadi (w. 1884) dari Madinah. Syeikh Mudzar
merupakan seorang terpelajar dalam ilmu agama dan tasawuf dan dikagumi para
pelajar dari wilayah lain, seperti Daghistan, India, Afrika, Yaman, Damaskus,
Kurdistan, Afghanistan, serta Mesir. Syeikh Mudzhar wafat tahun 1884. Namun,
sebelum itu dia sempat mengangkat sejumlah khalifah. Salah satunya, Syeikh Abdul
Hamid As-Syirwani dan Syeikh Muhammad Shalih Al-Zawawi. Melalui Syeikh
Muhammad Shalih Al-Zawawi, Tarekat Nasyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah
masuk ke Indonesia dan disebarkan muridnya dari Madura dan Riau. Tarekat ini terus
berpengaruh di seluruh wilayah di Indonesia seperti Kalimantan Barat khususnya
Pontianak, Riau, dan Madura dan mendapatkan banyak pengikut dari berbagai
kalangan hingga sekarang.29
27
Dian Kartika Sari, Sejarah Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah
Di Desa Gersempal, hlm. 45.
28
Dian Kartika Sari, Sejarah Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah
Di Desa Gersempal, hlm. 46.
29
Muhammad Karim, Hana Sahira Claudiana, Asal Usul Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah
(Lihat: http://naqsyabandiyahmudzhariyah.blogspot.co.id/2012/01/asal-usul-

10
Di Madura, Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah sudah ada sejak
sejak akhir abad ke-19. Para pengikutnya saat itu tidak mempunyai hubungan
langsung dengan tarekat di Jawa. Tarekat ini mengikuti cabang lain yang dibawa
Syekh Abdul Adzim Bangkalan (w.1335/1916). Syeikh Abdul Adzim merupakan
seseorang ulama yang lama bermukim di Mekkah dan menjadi khalifah langsung
Syeikh Muhammad Shalih Al-Zawawi Al-Maqdi. Syeikh Abdul Adzim kemudian
mengajarkan tarekat ini kepada orang-orang Madura yang menunaikan ibadah haji
dan tinggal sebentar di kota suci Mekah dan Madinah.30 Dari Syekh Abdul Adzim
inilah Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah masuk dan berkembang di
Madura.
Syeikh Abdul Adzim menjadi tokoh sentral pembawa tarekat ini dan
mengajarkan kepada murid-muridnya di Madura. Syeikh Abdul Adzim memiliki tiga
orang murid yaitu Syeikh Muhammad Sholeh dari Toket Pamekasan, Syeikh Zainal
Abidin dari Kwanyar Bangkalan, dan Syeikh Hasan Basuni dari Pakong Galis
Bangkalan. Masing-masing dari murid Syeikh Abdul Adzim memiliki seorang murid
bernama Syekh Ahmad Jazuli dari Tengkinah Pamekasan, Syekh Ahmad Syabrowi
dari Al-furjani Sampang, dan Syeikh Ahmad Sirajuddin dari Kaju, Sampang.
Kemudian Syeikh Ahmad Syabrowi Sampang memiliki seorang murid bernama
Syeikh Hudzaifah dari Sumberpapan Pamekasan. Syeikh Hudzaifah memiliki seorang
murid bernama Syeikh Ali Wafa dari Ambunten Sumenep. Namun, Syeikh Ali Wafa
juga berguru kepada Syeikh Ahmad Jazuli dari Pamekasan dan Syekh Ahmad
Sirajuddin dari Sampang. Syeikh Jazuli tidak sempat mengangkat Syeikh Ali Wafa
sebagai khalifah meninggal terlebih dahulu. Syeikh Ali Wafa kemudian diangkat
menjadi khalifah oleh dua gurunya, yaitu Syeikh Hudzaifah dan Syeikh Ahmad
Sirajuddin. Syeikh Ali Wafa memiliki tujuh orang khalifah yang salah satunya adalah
Syeikh Abdul Wahid Hudzaifah atau Kiai Wahid.31

tarekatnaqsyabandiyah14.html (Diunduh 17 April 2020)).


30
Martin, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 69
31
Dian Kartika Sari, Sejarah Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah
Di Desa Gersempal, hlm. 38-40.

11
Kiai Wahid meneruskan penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah
Madzhariyah ke sejumlah daerah dan pulau-pulau kecil di Madura hingga Desa
Gersempal Sampang menjadi pusat terbesar tarekat ini. Selama bertahun-tahun Kiai
Wahid melakukan kunjungan ke Pulau Sepudi Sumenep sehingga diperkirakan 85
persen penduduk di pulau ini menjadi pengikut Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah
Madzhariyah. Kiai Wahid juga melakukan kunjungan tahunan ke Banyuwangi,
kunjungan bulanan ke Surabaya32, dan kunjungan ke Singaraja (Bali Utara) selama
bertahun-tahun.33 Tahun 1980, Kiai Wahid mengangkat putra bungsunya, Syekh
Ahmad Ja’far atau Kiai Ja’far, sebagai mursyid. Kiai Ja’far baru meneruskan
kepemimpinan Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah, menerima dan
membai’at murid setelah Kiai Wahid meninggal pada tahun 1990 M.34
Kiai Wahid memiliki arti perting dalam perkembangan Tarekat
Naqsyabandiyah Ahmadiyah Madzhariyah Gersempal. Bahkan dapat dikatakan,
karena jasa Kiai Wahid lah Gersempal menjadi pusat tarekat ini setelah sebelumnya
berpusat di Ambunten Sumenep. Bahkan, setelah Syeikh Ali Wafa meninggal, murid-
murid Syeikh Ali Wafa di Sumenep dan Sepudi berbaiat kembali kepada Kiai Wahid.
Martin Van Brunnersen berdasarkan wawancara dengan Kiai Taifur, putra Syeikh Ali
Wafa, menyebut bahwa murid-murid Syeikh Ali Wafa berkiblat ke Kiai Wahid
setelah meninggalnya Syeikh Ali Wafa.35
Kartika Sari (2016) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat Desa
Gersempal sangat dekat dengan Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah.
32
Di Surabaya, Kiai Wahid mendirikan Jam’iyah Murobhatotul Ittihadiyah, kegiatan dzikir dan
shalawat yang dilaksanakan setiap minggu. Kegiatan ini masih berlangsung sampai sekarang dengan
kondisi jama’ah yang terus bertambah. Setelah Kiai Wahid meninggal, kegiatan ini dilanjutkan dan
dibina KH. R. Syafiudin Abd. Wahid, putra Kiai Wahid, yang saat ini menjadi Pengasuh Pondok
Pesantren Darul Ulum Gersempal, Omben, Sampang. Lihat Hadrotus Syeikh Abdul Wahid Hudzaifah
Pendiri Jam’iyah Murobhatotul Ittihadiyah, Website Resmi Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah
Madzhariyah Gersempal, 8 Februari 2015. Lihat:https://www.naqsyabandiyah-gersempal.org/hadrotus-
syeikh-abdul-wahid-hudzaifah-pendiri-jamiyah-murobhatotul-ittihadiyah.html (diunduh 20 Januari
2020).
33
Martin Van Brunnesen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia,.. hlm.
34
Dian Kartika Sari, Sejarah Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah
Di Desa Gersempal, hlm. 46.
35
Martin Van Brunnesen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia….

12
Kedekatan tersebut tak lain karena popularitas Kiai Wahid yang sangat tinggi. Saat
ini, sekitar 60 persen dari penduduk Gersempal yang berjumlah 4.010 menjadi
penganut tarekat ini. Belum termasuk penduduk Desa Gersempal yang merantau di
luar Madura dan masih ada kaitan dengan Tarekat Naqsabandiyah Gersempal. Pada
masa Kiai Wahid, diperkirakan sepertiga penduduk Gersempal menjadi pengikut
tarekat ini sekaligus menjadi simpatisan. Hal tersebut karena jumlah penduduk yang
masih sedikit dan kondisi rumah yang berjauhan. Pada kesempatan yang sama, Kiai
Wahid tidak hanya berdakwah di Desa Gersempal, tetapi juga di pulau lain di
kawasan Madura.36
4. Karya-Karya
Kiai Wahid dikenal sebagai ulama kharismatik yang tidak hanya alim ilmu
agama dan tasawuf, namun juga dikenal sebagai ulama yang produktif mengarang
kitab. Kiai Wahid sudah mulai mengarang kitab sejak berumur 20 tahun, ketika masih
nyantri di Pondok Pesantren Miftahul Ulum Bettet, Pamekasan. Belum diketahui
secara pasti jumlah kitab yang ditulis Kiai Wahid. Satu sumber menyebutkan, kitab
karangan Kiai Wahid berjumlah 12 buah.37 Namun, Zainol Hasan dalam artikel
berjudul Mengenal Kitab Al-Ni’am, Karya Kiai Abdul Wahid Khudzaifah PP Darul
Ulum Nangger Sempal Omben Sampang menyebut Kiai Wahid mengarang 10 kitab.38
Setelah penulis melakukan perbandingan, ditemukan beberapa perbedaan nama-nama
kitab. Sehingga disimpulkan, karangan Kiai Wahid yang tersimpan berjumlah 13
kitab.
Adapun 13 kitab karangan Kiai Wahid yang berhasil dikumpulkan sebagai
yaitu: 1) Almukoddam Bisyahidi As-Sullam fi Fanni Al-Mantiq 2) Malihu Al-Bayan fi
36
Dian Kartika Sari, Sejarah Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah
Di Desa Gersempal, hlm. 86-88.
37
Anonim, KH. Abd. Wahid Khudzaifah Karang Lebih 12 Kitab, Sebagian Masih Dalam
Bentuk Tulisan Tangan, Website Resmi Tarekat Naqsabandiyah Mudzhariyah Gersempal, 2 Juni 2019.
(Lihat: http://www.naqsyabandiyah-gersempal.org/kh-abd-wahid-khudzaifah-karang-lebih-12-kitab-
sebagian-masih-dalam-bentuk-tulisan-tangan-jawa-pos.html (diunduh 20 Januari 2020)).
38
Zainol Hasan, Mengenal Kitab Al-Ni’am, Karya Kiai Abdul Wahid Khudzaifah PP Darul
Ulum Nangger Sempal Omben Sampang, Website Resmi PCNU Pamekasan, 8 Oktober 2019.
Lihat:https://pcnu-pamekasan.or.id/mengenal-kitab-al-niam-karya-kiai-abdul-wahid-khudzaifah-pp-
darul-ulum-nangger-sempal-omben-sampang/ (20 Januari 2020).

13
Ilmi Al-Bayan (Kitab Ilmu Balaghah) 3) Iqomatu Al-Abniyya fi Al-Qowaidu As-
Sorfiyah (Kitab Ilmu shorof) 4) Qowaidu Al-Fiqh 4) Al-Anwaru As-Satoati fi Bayani
Al-Alatil Ulumi Al- Arba’ati (Kitab Ilmu Balaghah) 5) Risalatu Al-Mustahadah 6)
Taisiru Al-Murodad fi Ilmi Ushuli Al-Fiqh (syarah Kitab Waraqat Ushul Fiqih) 7)
Bustanu As-Syubban (Kitab Ilmu Nahwu) 8) Zahrotu Al-Maidan (syarah Bustan al-
Syubban, Ilmu Nahwu) 9) An-Ni’am ‘ala Nidhami Al-Hikam (Nazam, syarah Kitab
Al-Hikam Ibnu Atha’illah) 10) Alminah al-Ladunniyah (syarah Kitab Faraidul
Bahiyah, Ilmu Qawaid al-Fiqh) 11) Kasyful Ghawamidu (Kitab Ilmu Faroid) 12)
Madzhahibul Arba’ (Kitab Ilmu Fiqh). Kitab Madzahibul Arba’ belum selesai ditulis
Kiai Wahid karena sebelum berhasil menyelesaikan kitab tersebut Kiai Wahid sudah
wafat.39
D. Efektivitas Penyampaian Ajaran Tasawuf Melalui Kitab Anni’am
Kitab Anni’am Alaa Nadhmil Hikam merupakan karya terakhir Kiai Wahid
yang penulisannya rampung ketika masa-masa akhir kehidupan Kiai Wahid. Kiai
Wahid tidak menyebutkan kapan pastinya Kitab Anni’am mulai ditulis. Ia hanya
menulis bahwa kitab tersebut selesai pada pukul 04.10 Tanggal 20 Jumadil Akhir
1410 H/ 17 Januari 1990. Kitab Anni’am adalah kitab syarah atas Kitab al-Hikam
Ibnu Atha’illah Sakandary (648 H/1250 M-1309 M). Berbeda dengan aslinya, Kitab
Anni’am ditulis menggunakan tulisan Arab Pegon berbahasa Madura. Sebelum
memberikan syarah atas al-Hikam, Kiai Wahid mengubah prosa-prosa al-Hikam ke
dalam bentuk nazam terlebih dahulu. Nazam-nazam tersebut kemudian diberi makna
harfiah satu per satu dan penjelasan-penjelasan ringkas di setiap bait-bait nazam.
Anni’am juga berisi bagian kedua kitab al-Hikam tentang surat-menyurat Syaikh Ibnu
Atha’illah. Sehingga keseluruhan nazam Kitab Anni’am berjumlah 512 bait. Menurut
Zainol Hasan, kitab Anni’am merupakan syarah al-Hikam pertama kali yang
menggunakan bahasa Madura.40
39
Zainol Hasan, Mengenal Kitab Al-Ni’am, Karya Kiai Abdul Wahid Khudzaifah PP Darul
Ulum Nangger Sempal Omben Sampang, Website Resmi PCNU Pamekasan, 8 Oktober 2019.
40
Zainul Hasan, “Mengenal Kitab Al-Ni’am, Karya Kiai Abdul Wahid Khudzaifah PP Darul
Ulum Nangger Sempal Omben Sampang”, 08 Oktober 2019.

14
Kitab Anni’am berjumlah 88 halaman dalam bentuk naskah tulisan tangan.
Masing-masing halaman berisi 4-7 nazam. Setiap nazam terdapat makna harfiah dan
penjelasan-penjelasan ringkas atas nazam tersebut. Kecuali nazam bagian awal yang
merupakan nazam pembuka dari Kiai Wahid. Di nazam bagian awal, Kiai Wahid
hanya memberikan makna harfiah, tanpa memberikan penjelasan-penjelasan ringkas.
Kiai Wahid juga menulis catatan pendek di bagian awal yang menerangkan bahwa
kitab tersebut mulai dikaji pertama kali pada Hari Rabu Tanggal 1 Ramadhan 1990 H
pukul 14.00-16.00 dan khatam pada Hari Selasa Tanggal 14 Ramadhan 1990 H.41
Kitab Annia’m dikarang saat Kiai Wahid sudah menetap di pondok pesantren
yang didirikannya. Pada kesempatan yang sama Kiai Wahid sudah dibaiat menjadi
Mursyid ke-45 Tarekat Naqsabandiyah Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah
Mudzhariyah dan memiliki pengaruh besar di dunia tarekat dan di masyarakat.
Alasan penulisan Kitab Anniam disinggung secara singkat oleh Kiai Wahid dalam
beberapa nazam awal kitab Anni’am. Menurut Kiai Wahid, saat itu banyak orang
yang sudah mengikuti tarekat (pada saat kitab tersebut ditulis). Mereka para salik
membutuhkan “pedoman” atau petunjuk jalan yang menuntunnya menuju kepada
Allah. Pada saat yang sama, Kiai Wahid merekomendasikan agar para salik
meluangkan waktu untuk membaca al-Hikam karya Ibnu Atha’illah. Namun para
salik meminta Kiai Wahid untuk menulis nazam dan menjelaskan prosa-prosa Kitab
al-Hikam agar mudah dipahami.42 Kemudian ditulislah kitab tersebut sampai selesai.
Penulisan Kitab Anni’am tentu tidak bisa dilepaskan dari posisi Kiai Wahid
sebagai tokoh agama (ulama) sekaligus posisinya sebagai Mursyid ke-45 Tarekat
Naqsabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah. Dalam Islam, kedudukan ulama sebagai
pewaris para Nabi yang memiliki otoritas dalam keagamaan. Karena itu, seorang
ulama sangat dihormati juga disegani, baik gagasan maupun pemikiran yang

(Lihat:https://pcnu-pamekasan.or.id/mengenal-kitab-al-niam-karya-kiai-abdul-wahid-khudzaifah-pp-
darul-ulum-nangger-sempal-omben-sampang/ Diunggah 10 November 2019)
41
Abdul Wahid, Kitab Anni’am Alaa Nadhmil Hikam, hlm 2.
42
Dikutip dari website resmi Tarekat Naqsabadiyah Ghersempal berjudul “KH. Abd. Wahid
Khudzaifah karang lebih 12 kitab…,

15
dicetuskannya Seorang ulama dipandang sebagai orang yang selamu memiliki
kebenaran dan kebenaran itu dipegang dan diakui secara ketat bahkan bisa saja
mengikat.43 Kategori, kualifikasi dan ciri khas ulama setidaknya ditentukan oleh tiga
ciri penting, yakni bibit, bebet, dan bobot pengetahuan agamanya. Dalam apek ini
Kiai Wahid telah memenuhi kualifikasi sebagai seorang ulama yang dibuktikan
dengan banyaknya santri dan kiprahnya di tengah-tengah masyarakat. Dari sisi bibit,
Kiai Wahid mempunyai nasab yang bersambung kepada Nabi Muhammad saw
melalui jalur Sayyid Muhammad Ainul Yaqin atau Sunan Giri.44
Kedudukan Kiai Wahid sebagai seorang mursyid menunjukkan bahwa dirinya
bukanlah orang sembarangan. Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani bahkan memberikan
perumpaan seorang rasul dan mursyid. Perbedaan peran rasul dan wali mursyid
menurut Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Menutnya, jika rasul diutus membawa
syari’at sendiri kepada orang umum dan khusus, maka mursyid diutus kepada orang-
orang khusus yang tujuannya untuk menghidupkan kembali perintah agama dan
larangan-larangannya sekaligus menguatkan amal ibadah dan membersihkan pokok
syariat (dari akhlak tercela). Adapun pokok syariat itu adalah hati sebagai pusat
tempatnya ma’rifat.45 Seorang diangkat menjadi mursyid apabila telah memenuhi
sejumlah kualifikasi. Imam Al-Ghazali memberikan kualifikasi seorang mursyid
secara global antara lain: pertama, alim. Alim sendiri dapat diartikan dengan orang
yang mengetahui dasar-dasar ilmu agama. Kealiman dapat memberi petunjuk pada
murid antara yang benar (haq) dan yang salah (bathil). Kedua, kualifikasi mursyid
adalah tidak mudah tergiur kenikmatan dunia dan kedudukan. Seorang mursyid harus
memiliki sikap zuhud. Ketiga, kualifikasi mursyid adalah mengikuti syaikh yang
mempunyai silsilah (transmisi) yang bersambung pada Nabi Muhammad saw. Dalam
tarekat, silsilah dikenal dengan sanad, yakni kesinambungan antara guru mursyid

43
Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan, Pemikiran dan Peranannya dalam Lintasan Sejarah,
(Palembang: UNSRI, 1999), hlm. 4

44
Lihat Bab II.
45
Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar wa Mazhar al Anwar, (tt: 32-33).

16
dengan guru-gurunya sebelumnya sampai kepada Rasulullah. Keempat, seorang
mursyid senang riyadah an-nafs (melatih diri), beberapa di antaranya dengan
menyedikitkan makan, berkata dan tidur serta memperbanyak ibadah shalat,
bersedekah dan berpuasa. Poin ini merupakan bagian dari melatih diri dalam rangka
membersihkan hati dan nafsu guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Kelima,
kualifikasi mursyid adalah mengikuti syaikh yang hidupnya selalu dihiasi dengan
akhlak terpuji (maqam wa hal), seperti sabar, syukur, tawakkal, yaqin, qana’ah, dan
lain-lain46
Dari sudut pandang komunikasi, Kitab Anni’am menjadi salah satu media yang
digunakan Kiai Wahid dalam menyempaikan nilai-nilai atau ajaran-ajaran tasawuf
kepada masyarakat khususnya pengikut tarekat Naqsabdniyah Ahmadiyah
Mudzhariyah. Memang, Kitab Anni’am bukanlah karya yang berangkat dari gagasan
murni Kiai Wahid, melainkan komentar atau syarah atas Kitab al-Hikam karya Ibn
Atha’illah as-Sakandari. Namun pemberian syarah dan perubahan dari bentuk
aforisme-aforisme Kitab al-Hikam ke Ann’am dapat dipahami sebagai salah satu cara
Kiai Wahid untuk memudahkan masyarakat dalam memahami Kitab al-Hikam.
Berkaitan dengan posisi Kiai Wahid sebagai pensyarah atau pengarang dan
masyarakat yang menjadi sasaran Kiai Wahid maka upaya penyampaian ajaran-ajaran
tasawuf merupakan cara yang cukup efektif. Sebagaimana diungkapkan Wilbur
Schramm, efektivitas dalam komunikasi setidaknya dipengaruhi oleh dua hal.
Pertama, bidang pengalaman. Sebagai seorang ulama sekaligus mursyid tarekat, Kiai
Wahid dapat dikategorikan sebagai sosok yang sudah berpengalaman di bidang
tasawuf. Didukung pula oleh sejumlah karya yang telah dicetuskannya, Kiai Wahid
dapat dipadang sebagai sosok yang sudah bepengalaman.
Kedua, kerangka rujukan. Bahwa semakin besar lingkaran kesamaan antara
sumber dan penerima atas dua hal di atas maka komunikasi akan mudah dilakukan
dan efektivitas komunikasi akan tercapai. Kitab Ann’iam sendiri dikarang Kiai Wahid
berangkat dari permintaan murid-muridnya yang ingin memiliki pedoman atau
46
Al Ghazali, Khulasah al-Tasnif fi al Tasawwuf, (1996: 108), hlm. 19

17
petunjuk untuk membimbing mereka menuju ketinggian spiritual dalam dunia
tasawuf. Artinya, ada latar belakang dan tujuan yang sangat spesifik dari penulisan
Kitab Anni’am yaitu orang-orang yang sudah satu lingkaran dengan Kiai Wahid. Hal
ini tentu sangat memungkinkan jika ajaran-ajaran tasawuf dalam Kitab Anni’am akan
lebih mudah diterima oleh pembacanya, khususnya murid-murid Kiai Wahid dan
pengikut Tarekat Naqsabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah.
Meminjam Cahyana, bahwa efektivitas komunikasi dapat diukur melalui enam
dimensi. Salah satunya berkiatan dengan media dan format atau bentuk kemasan
pesan yang disampaikan. Dalam hal ini karya menjadi media yang digunakan Kiai
Wahid untuk terus menyebarkan ajaran tasawufnya. Nazam (puisi) adalah kemasan
yang dugunakan Kiai Wahid untuk memudahkan pembaca dalam menghafal dan
memahami kandungan Kitab Anni’am. Karena dalam naẓam menggunakan lagu atau
nada sesuai yang diinginkan pembaca. Sehingga kitab al-Hikam itu baik, akan tetapi
dalam konteks untuk memudahkan pemahaman atau menghafalkannya maka yang
lebih baik adalah nazamnya.
Secara etimologi nazam berarti menyusun, mengatur dan merangkai. Secara
epistimologi, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia nazam diartikan sebagai syair;
pantun/puisi dua belas baris berima dua-dua dan empat-empat, mengkisahkan
loyalitas hamba sahaya.47 Menurut orang Indonesia, puisi adalah karangan (pendek)
yang terikat oleh irama dan rima.48 Orang Arab menyebut puisi dengan Syi’r yang
berarti kata-kata yang disusun dengan pola tertentu sehingga dapat menjadi ungkapan
yang indah, hasil dari imajinasi seseorang (penyair).49
Meskipun begitu, dalam syair terdapat kata imajinasi (khayal), dimana khayal
adalah daya bayang, daya fantasi, tetapi bukan lamunan. 50 Khayalan juga merupakan
ungkapan jiwa atau batin seorang penyair yang dituangkan dalam bentuk susunan
47
Pius Partanto dan M Dahlan Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Aloka, 2001), hlm. 520
48
Pius Partanto dan M Dahlan Barry, Kamus Ilmiah Populer, hlm. 646
49
Merry Choironi, Arudh Walqawafi, lihat:
http://merrychoironi.wordpress.com/2012/04/19/arudh-walqawafy/ (2 Juli 2020).
50
Ahmad Muzakki, Pengantar Teori Sastra Arab (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2011), hlm.
42.

18
kalimat syair.51 Dari daya khayal inilah kemudian dibedakan antara naẓam dengan
syair. Naẓam lebih ditekankan pada pemikiran ilmiah (pengetahuan), sedangkan syair
lebih memusatkan pada imajinasi (perasaan). Apabila ada suatu kalimat yang ber-
wazan, berqafiyah dan berqashad, tetapi tidak mengandung unsur khayalan, maka
kalimat tersebut tidak bisa dinamakan syair, tetapi dinamakan naẓam, sebab unsur
khayal inilah yang membedakan antara syair dan naẓam.52
Puisi arab/naẓam menjadi satu bab tersendiri dalam ilmu Arud wa Qafiyah.
Dalam puisi arab terdapat bait-bait. Secara etimologi, bait adalah tempat kediaman.
Dan secara terminologi, bait adalah perkataan yang sempurna yang tersusun dari
beberapa taf’ilah dan berakhir dengan qafiyah. Bait itu dibagi menjadi dua bagian
yang di sebut dengan “Syatar”. Syatar yang pertama dinamakan “Shadar” dan yang
ke-2 dinamakan “Ajuz”.53 Berikut ini adalah contoh prosa al-Hikam yang telah
dirubah menjadi nazam oleh Kiai Wahid sebagaimana terdapat dalam Kitab Anni’am:
Prosa ke-2 al-Hikam berbunyi:
‫ب ِمنَ ال َّشـهْـ َو ِة ْال َخفِـيـ َّ ِة‬
ِ ‫في اَْأل ْسبَا‬
ِ ‫ك‬ َ ‫ك الـتَّجْ ِر ْي َد َمـ َع ِإقَا َمـ ِة هَّللا ِ ِإ يَّـا‬
َ ‫ِإ َر ا َد تُــ‬.
‫في الـتَّجْ ِر ْي ِد اِن ِحطَاطٌ ِمنَ ْال ِه َّم ِة ْال َعـلِـيـ َّ ِة‬
ِ ‫ك‬ َ ‫اب َم َع ِإقَا َم ِة هَّللا ِ ِإ يَّـا‬ َ َ‫ك اَْأل ْسب‬َ ‫َو ِإ َرا َد تُـ‬

Artinya:
(Keinginanmu untuk tajrid (tawakkal, berserah diri seutuhnya kepada Allah),
sementara Allah masih menghendaki engkau di dalam asbab (dituntut
melakukan usaha), merupakan syahwah yang tersamar.)
(Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah sudah menghendaki engkau
dalam tajrid, merupakan suatu kemerosotan dari himmah (semangat) yang
membara.)

Prosa tersebut dalam Kitab Anni’am menjadi nazam sebagai berikut:

‫ فى سبب من شهوه خفيته‬# ‫ولن تشا التجريدمح لقامته‬


‫ فى تجريد عن همة عليته‬# ‫ولن تشالالسباب مع مشءته‬

51
Muzakki, Pengantar Teori, hlm. 48
52
Hamid, Mas’an Hamid, Ilmu Arudl Dan Qawafi, (Surabaya: Alpha, 2006), hlm. 44.
53
Hamid, Mas’an Hamid, Ilmu Arudl Dan Qawafi, hlm 178.

19
Lamon sampean sareng Allah e sabe’ neng sabeb, mangka sampean terro neng
tajird, nika anyama nortote pangaterrona napso se samar. Tandhena jhe’ esabe’
neng sabeb panika nika sampean e wekto akasab tak atingghel e’bede dhahir
ben e’bede batin ben cokop se e de’ereh.
Lamon sampean sareng Allah e sabe’ neng e tajrid nika sampean e bektona,
mangka sampean terro neng e sabab nika anyama toron deri cita-cita se tengghi.
Tandhena jhe’ e sabe’ neng tajrid panika sampean e bekto tajrid cokop rizkina
ben ta’ ngarep deri oreng.

(Apabila engkau oleh Allah diletakkan di posisi sabab, maka engkau ingin di
posisi tajrid, ini namanya mengikuti keinginan nafsu yang samar. Tanda bahwa
engkau di posisi sabab ialah engkau pada saat bekerja tidak meninggalkan
ibadah dhahir dan batin dan cukup untuk memenuhi kebutuhan makan.)
(Apabila engkau oleh Allah diletakkan di posisi tajrid, maka engkau ingin di
posisi sabab, ini namanya engkau ingin turun dari cita-cita yang tinggi. Tanda
bahwa engkau di posisi tajrid ialah pada saat engkau tajrid rizkimu cukup dan
tidak mengharap-harap dari orang lain.)
Selain itu, dalam sastra Arab terdiri atas bait-bait yang setiap bait syairnya
terdiri dari dua bagian dengan wazan yang sama. Wazan-wazan ini dalam ilmu sastra
Arab dikenal dengan istilah bahr yang berjumlah 16 (enam belas) macam. Bagian ini
tidak akan dibahas lebih jauh karena tidak termasuk dalam kajian ini.
Secara historis, perubahan dari prosa al-Hikam ke dalam bentuk nadzam tidak bisa
dilepaskan dari konteks Indonesia, khususnya masyarakat Madura. Masuknya Islam
ke Indonesia ini terlihat jelas dengan pola adaptasinya melalui media seni sebagai alat
efektif dalam penyampaian dakwah Islam. Kemudian muncul istilah kejawen yang
banyak versi mengatakan kejawen muncul seiring dengan datangnya para wali
(walisongo) ke tanah jawa dalam menyebarkan agama Islam. 54 Dalam kesenian
tersebut dapat berupa; seni bangunan, yaitu: bangunan masjid, seni ukir atau ragam
hias, seni sastra, baik tulisan maupun lisan yang menjadi salah satu bentuk kesenian
yang digunakan dalam proses Islamisasi.55 Disamping itu, ada pula warisan budaya
54
Petir Abimanyu, Mistik Kejawen; Menguak Rahasia Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta:
PALAPA,
2014), 121.
55
Ismail Hamid, Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam (Jakarta: Al-Husna, 1989), hlm.
2.

20
yang lain berupa naskah yang bermacam-macam bentuk dan ragamnya, yang tersebar
diseluruh indonesia dan yang ditulis dalam berbagai bahasa daerah dan huruf sesuai
dengan bahasanya masing-masing.56
Dalam tradisi masyarakat Madura, tradisi bersyair juga berkembang sejak lama.
Hal ini ditunjukan dengan kekayaan tradisi lisan yang berbentuk syair dan kata-kata
mutiara, atau yang biasa dikenal dengan istilah parébasan (peribahasa), saloka
(Tamsil atau perumpamaan), paparéghan (sejenis gurindam), syi’iran (syair),
kéjhung (kidung) dan beberapa istilah lainnya. Sedangkan karya sastra tulis yang
bergenre puisi dan terkenal disukai masyarakat adalah puisi macapat, yang aturannya
mirip dengan macapat jawa dengan berbagai jenis dan macamnya.57
Di sisi lain, kedudukan syair Arab bagi masyarakat pesantren di kawasan
Madura, khususnya bagian Timur adalah sebagai bagian dari ibadah, karena
penjiwaan para santri terhadap kitab-kitab kuning bergenre nadzam tersebut dengan
cara berupaya menghafal dan memahaminya, menterjemahkannya ke dalam bahasa
lokal dan menjadikannya sebagai kebanggaan sekaligus “mantra”. 58 Penggunaan
kitab-kitab klasik model nazam 1) agar para santri mudah menghafal dan mencerna
maksudnya, 2) memudahkan penerjemahannya (resepsi intertekstual) ke dalam
bahasa sasaran, 3) menjadikannya sebagai kebanggaan dan “mantra” yang
disakralkan.59
Hingga saat ini, tradisi pembacaan syair berbahasa Madura di tengah-tengah
masyarakat tetap terus berlangsung, kendati intensitasnya semakin hari semakin
menurun. Hal tersebut dikarenakan subordinasi bahasa daerah oleh bahasa nasional
(atau bahkan bahasa internasional) dan kecenderungan generasi penuturnya yang
berkembang dinamis. Misalnya, di desa Jambringin Proppo Pamekasan, masih ada

56
Siti Bararah Baried, Pengantar Teori Filologi, (Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi
Fakultas (BPPF), 1994), hlm. 26.
57
Umar Bukhory, Resepsi Pondok Pesantren Di Madura Terhadap Kitab Bergenre Nadzam,
Jurnal OKARA, Vol. II, Tahun 6, November 2011, hlm. 206-207.
58
Umar Bukhory, Resepsi Pondok Pesantren Di Madura Terhadap Kitab Bergenre Nadzam, hlm. 225.
59
Umar Bukhory, Resepsi Pondok Pesantren Di Madura Terhadap Kitab Bergenre Nadzam,
hlm. 225.

21
tradisi Upacara Penghormatan kepada Bhuju’ Lir Saalir pada setiap malam bulan
purnama di bulan Rabi’ul Awwal dengan menyanyikan syair Lir Saalir. Meskipun
untuk saat ini, syair tersebut tidak banyak dimengerti orang karena menggunakan
bahasa Madura era pengarangnya, Bhuju’ Lir Saalir (Abad ke-16 M), yang notabene
sangat berbeda dengan bahasa Madura saat ini.60
Sebagai orang asli madura denga berbekal pengalaman dan keilmuannya, Kiai
Wahid tentu memahami kondisi masyarakat Madura saat Kitab Anni’am ditulis. Kiai
Wahid tidak langsung memberikan penjelasan atas Kitab al-Hikam, melainkan
merubahnya terlebih dahulu ke dalam bentuk nazam. Sebagaimana telah disinggung
di atas, bahwa media dan kemasan dalam komunikasi sangat penting agar komunikasi
dapat berlangsung efektif dan pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima dengan
mudah oleh masyarakat.
Sejarah mencatat bahwa orang yang pertama kali mendapatkan Kitab Anni’am
dan pengajaran langsung dari Kiai Wahid adalah para santri Darul Ulum dan
masyarakat sekitar. Saat itu, beberapa hari sebelum Ramadhan, Kiai Wahid membuat
pengumuman melalui pengeras suara bahwa mulai 1 Ramadhan akan ada pengajian
Kitab Anni’am, sebuah kitab baru yang masih asing di telinga para santri. 1
Ramadhan pun tiba, Kiai Wahid mengajar langsung kitab Anni’am di masjid
pesantren dengan diikuti ratusan santri kelas 3 Madrasah Tsanawiyah (MTs) sampai
kelas 3 Madrasah Aliyah (MA) dan masyarakat umum. Model pengajian dilakukan
sebagaimana pengajian pada umumnya. Kiai Wahid membaca nazam Ann’iam,
kemudian menjelaskan isinya. Pengajian Kitab Anni’am berlangsung setiap hari
mulai sekitar pukul 13.00 hingga pukul 17.00 (mepet adzan maghrib).61

60
A. Sulayman Sadik, Kearifan Lokal dalam Sastra Madura dan Aplikasinya Dalam
Kehidupan Sehari-hari, Jurnal OKARA, vol. I, Tahun 6, Mei 2011, hlm. 99.
61
Abdul Sholeh, salah satu santri yang mengikuti pengajian Kiai Wahid (Wawancara 14 Mei
2020). Dalam ingatan Sholeh ada kejadian unik saat pengajian Anni’am, yakni para santri tertawa saat
Kiai Wahid menggunakan kata “Kita”, kata dari Bahasa Indonesia yang saat itu belum begitu familiar
terdengar oleh santri. Secara sosiologis, hal ini dapat dimaknai bahwa masyarakat Sampang pada
waktu itu masih terbilang sangat tradisional ditandai dengan percakapan bahasa asli daerah dalam
kehidupan sehari-hari. Sementara di sisi lain memperkuar dan menunjukkan luasnya pengalaman Kiai
Wahid dan banyak berinteraksi dengan dunia di luar Sampang.

22
Setelah kajian pertama yang diampu langsung Kiai Wahid, Kitab Anni’am
dipatenkan menjadi mata pelajaran bagi santri putri Darul Ulum, dan berlangsung
sampai sekarang. Sedangkan santri putra hanya dianjurkan untuk mengoleksinya.
Setiap tahun santri putri diwajibkan memfoto-copy kitab tersebut. Berdasarkan
penuturan laporan Niam, cucuk Kiai Wahid, jumlah santri putri kelas 1 Madrasah
Aliyah di Darul Ulum tidak kurang dari 30 santri setiap tahunnya.62 Jika dihitung rata-
rata 30 eksempelar setiap tahun, maka selama 20 tahun terakhir ( dari tahun 1990
sampai tahun 2020) kitab Anni’am yang dicetak santri putri di Darul Ulum tidak
kurang dari 600 ekspemplar.
Pada masa-masa berikutnya, Kitab Anni’am juga digunakan sebagai mata
pelajaran wajib di Pesantren Darul Ulum II, pondok pesantren yang didirikan Kiai
Ja’far Shodiq (adik Kiai Wahid) pada tahun 2003. Tidak ada laporan cetak secara
tertulis, namun hal ini dapat diperkirakan berdasarkan jumlah rata-rata santri setiap
tahun. Menurut satu sumber, Kitab Anni’am di Pondok Pesantren Darul Ulum II
digunakan untuk santri kelas 1 Madrasah Aliyah yang jumlahnya setiap tahun tidak
kurang dari 20 santri dan tidak lebih dari 30 santri. Jika dirata-rata ada 25 santri setiap
tahun, maka jumlah cetakan Kitab Anni’am di Pondok Pesantren Darul Ulum sekitar
400 eksemplar, mulai tahun 2003 sampai 2019.63

E. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas menunjukkan bahwa meskipun Kiai Wahid telah
meninggal dunia, kitab Anni’am masih dapat digunakan dan menjadi salah satu media
tersebarnya ajaran-ajaran tasawuf di Madura. Reaksi positif atas Kitab Anni’am yang
masih terus berlangsung sampai sekarang dengan didukung kapabilitas Kiai Wahid
sedikit banyak telah menunjukkan adanya komunikasi yang efektif antara penyampai
pesan yaitu Kiai Wahid dan penerima pesan yaitu masyarakat umum, para santri dan
para pengikut Kiai Wahid dalam Tarekat Naqsabdniyah Ahmadiyah Mudzhariyah.

62
Ni’am, Cucu Kiai Wahid (Wawancara 14 Mei 2020)
63
Irsyad, Pengurus Pondok Pesantren Darul Ulum II (Wawancara 1 Juni 2020.

23
Daftar Pustaka

Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia: Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi
(Tangerang: Pustaka IIMaN, 2009).
Ahmad Syafii Mufid, Tangklungan, Abangan dan Tarekat: Kebangkitan Agama di
Jawa (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006)
Thomas Stamford Raffles, The History Of Java (Yogyakarta: Narasi, 2008).
Abdurrachman¸ Sejarah Madura: Selayang Pandang (Sumenep: tnp, 1971).
Dian Kartika Sari, Sejarah Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah
Muzhariyah Di Desa Gersempal Kecamatan Omben Madura Tahun 1964
– 2015 M, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel 2016.

24
Martin, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992).
Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan, Pemikiran dan Peranannya dalam Lintasan
Sejarah, (Palembang: UNSRI, 1999).
Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar wa Mazhar al Anwar, (tt: 32-33).
Al Ghazali, Khulasah al-Tasnif fi al Tasawwuf, (1996: 108).
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet.1, jilid IV, (Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 1993).
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan,
1999).
Badri Yatim, Perubahan Sosial Politik di Hijaz 1800-1925 dan Pengaruhnya
Terhadap lembaga dan Kehidupan Keagamaan (Jakarta, UIN Syarif
Hidayatullah, 1998).
Victor Danner, Sufisme Ibn Atha’illah: Kajian Kitab Hikam, Surabaya: Risalah
Gusti, 2003: 36-42).
Mohammad Takdir, Kontribusi Kiai Kholil Bangkalan dalam Mengembangkan
Tasawuf Nusantara, Jurnal ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016.
Hidayat, Efektifitas dalam Kinerja Karyawan, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1986).
Handyadiningrat, Soewarno, Pengantar Study Ilmu Administrasi dan Management,
(Jakarta: Gunung Agung, 1980).
Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Cet. II (Jakarta: PT
Indeks, 2008).
Rany An Nisaa Syabrina, Efektvitas dan Efesiensi Komunikasi Pada
Penyelenggaraan Festival Damar Kurung Gresik Tahun 2017, Jurnal
TSK.
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1993)
Rany An Nisaa Syabrina, Efektvitas dan Efesiensi Komunikasi Pada
Penyelenggaraan Festival Damar Kurung Gresik Tahun 2017.
Cahyana, dkk, Kajian Komunikasi dan Seluk Beluknya, (Surabaya: Airlangga
University Press, 1996).
Pius Partanto dan M Dahlan Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Aloka, 2001).
Ahmad Muzakki, Pengantar Teori Sastra Arab (Malang: UIN-MALIKI PRESS,
2011).
Hamid, Mas’an Hamid, Ilmu Arudl Dan Qawafi, (Surabaya: Alpha, 2006).

25
Petir Abimanyu, Mistik Kejawen; Menguak Rahasia Hidup Orang Jawa,
(Yogyakarta: PALAPA, 2014).
Ismail Hamid, Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam (Jakarta: Al-Husna,
1989).
Siti Bararah Baried, Pengantar Teori Filologi, (Yogyakarta: Badan Penelitian dan
Publikasi Fakultas (BPPF), 1994).
Umar Bukhory, Resepsi Pondok Pesantren Di Madura Terhadap Kitab Bergenre
Nadzam, Jurnal OKARA, Vol. II, Tahun 6, November 2011.
A. Sulayman Sadik, Kearifan Lokal dalam Sastra Madura dan Aplikasinya Dalam
Kehidupan Sehari-hari, Jurnal OKARA, vol. I, Tahun 6, Mei 2011

Website
Zainul Hasan, Mengenal Kitab Al-Ni’am, Karya Kiai Abdul Wahid Khudzaifah PP
Darul Ulum Nangger Sempal Omben Sampang, tayang di pcnu-pamekasan.or.id pada
Tanggal 08 Oktober 2019. Link: https://pcnu-pamekasan.or.id/mengenal-kitab-al-
niam-karya-kiai-abdul-wahid-khudzaifah-pp-darul-ulum-nangger-sempal-omben-
sampang/ (diunggah 10 November 2019).
Anonim, Hadrotus Syeikh Abd. Wahid bin Khudzaifah Qs. Mursyid Silsilah ke-45,
Website Resmi Tarekat Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah, Januari
2015. Lihat:http://www.naqsyabandiyah-gersempal.org/hadrotus-syeikh-abd-wahid-
bin-khudzaifah-qs-mursyid-silsilah-45.html (Diunduh 20 Januari 2020).
Zainol Hasan, Mengenal Kiai Abdul Wahid Khudzaifah Pendiri PP Darul Ulum
Nangger Sempal Sampang, 6 Oktober 2019. Lihat:
https://pcnu-pamekasan.or.id/mengenal-kiai-abdul-wahid-khudzaifah-pendiri-pp-
darul-ulum-nangger-sempal-sampang/ (Diunduh 18 April 2020).
Muhammad Karim, Hana Sahira Claudiana, Asal Usul Tarekat Naqsyabandiyah
Muzhariyah (Lihat: http://naqsyabandiyahmudzhariyah.blogspot.co.id/2012/01/asal-
usul-tarekatnaqsyabandiyah14.html (Diunduh 17 April 2020)).
Anonim, KH. Abd. Wahid Khudzaifah Karang Lebih 12 Kitab, Sebagian Masih
Dalam Bentuk Tulisan Tangan, Website Resmi Tarekat Naqsabandiyah Mudzhariyah
Gersempal, 2 Juni 2019. (Lihat: http://www.naqsyabandiyah-gersempal.org/kh-abd-
wahid-khudzaifah-karang-lebih-12-kitab-sebagian-masih-dalam-bentuk-tulisan-
tangan-jawa-pos.html (diunduh 20 Januari 2020)).

26
Abdul Moqsith Ghazali, Tasawuf Ibn Atha’illah al-Sakandari: Kajian terhadap Kitab
al-Hikam al-‘Atha’iyah. Islamlib.com
Admin, Pengajian perdana Kitab “ An-Ni’am Fi Nadhmil Hikam akan Dimulai
SITQON Surabaya, Website Resmi Tarekat Naqsabandiyah Mudzhariyah Gersempal,
2016. Lihat : https://www.naqsyabandiyah-gersempal.org/pengajian-perdana-kitab-
an-niam-fi-nadhmil-hikam-akan-dimulai-sitqon-surabaya.html

Merry Choironi, Arudh Walqawafi, lihat:


http://merrychoironi.wordpress.com/2012/04/19/arudh-walqawafy/ (2 Juli 2020).

27

Anda mungkin juga menyukai