Anda di halaman 1dari 12

Langkah Double Movement Fazlur Rahman dalam Penafsiran Hamka

Terhadap Q.S. An-Nisa : 2-4

Oleh : Alvita Niamullah1

A. Pendahuluan

Istilah Al-Quran shalih li kulli zaman wa makan (Al-Quran pantas di setiap


masa dan tempat) yang sering terdengar di telinga umat Islam memang benar adanya.
Tidak memandang tempat dan waktu, Al-Quran selalu dapat dibumikan di tempat ia
dijunjung. Allah telah membekali kehidupan manusia dengan menurunkan Al-Quran
sebagai pedoman hidup.Al-Quran merupakan firman Allah berupa ayat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril2 secara
berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun.3 Di dalamnya terdapat beberapa
kandungan yang perlu digaris-bawahi. Pertama, Al-Quran merupakan tuntunan serta
hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia; menjelaskan hal-hal yang halal
dan haram, batasan-batasan dan hukum, syariat dan akhlak yang dapat memberikan
petunjuk bagi seluruh alam, berkah dan kebaikan bagi manusia. Al-Quran merupakan
mukjizat yang berisi penjelasan kepada Nabi Muhammad saw. Kedua, Al-Quran
turun menggunakan lisan Arab yang nyata serta dibaca menggunakan bahasa Arab
pula. Ketiga, Al-Quran adalah sejelas-jelasnya penjelas yang mengandung sebaik-
baik kisah, paling tepat informasinya serta paling berguna jejak masa lampau serta
sejarah umat-umat terdahulu.4 Hal yang perlu dilakukan agar mendapatkan
pemahaman di atas ialah dengan ―membaca‖.

Membaca – sekaligus memahami – kandungan Al-Quran tidak cukup hanya


sekedar membaca teksnya saja. Dalam keilmuan Islam, Al-Quran juga harus dipahami
konteks kejadiannya, yakni yang sering dikenal dengan asbabun nuzul. Selain itu,
dalam membaca dan memahami ayat dengan menggunakan pendekatan-pendekatan,
akan memudahkan seseorang dalam memahami lebih dalam terkait hasil bacaannya.
Begitulah yang dilakukan oleh Hamka, seorang mufasir asal kebangsaan Indonesia

1
Mahasiswi Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir. NIM 2020503214.
2
Moch. Tholchah, Aneka Pengkajian Studi Al-Quran (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara,
2016), h. 7.
3
Munzir Hitami, Pengantar Studi Al-Quran; Teori dan Pendekatan (Yogyakarta: LKiS Pelangi
Aksara, 2012), h. 15.
4
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir Jilid I (Damaskus: Dar el-Fikr, 2009), h. 36-39.
dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Membaca dan memahami ayat-ayat Al-Quran
tidak cukup sekedarnya, harus mengerti ilmu-ilmu yang mendukung seseorang dalam
memahami ayat-ayat tersebut.

B. Biografi dan Latar Belakang Keilmuan

Hamka, nama panggilan yang sudah familiar bagi umat Islam di Indonesia
memiliki nama panjang Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Hamka lahir di Sungai
Batang, Maninjau, Sumatera Barat pada hari Ahad, tanggal 17 Februari 1908 M./13
Muharam 1326 H dari kalangan keluarga yang taat agama. Ia lahir dari pasangan Haji
Abdul Karim Amrullah – atau sering dipanggil Haji Rasul – bin Syekh Muhammad
Amarullah bin Tuanku Abdullah Saleh dengan istrinya yg bernama Siti Shafiyah
Tanjung binti Haji Zakaria. Haji Rasul – sebagaimana panggilan akrabnya –
merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di Makkah, pelopor
kebangkitan kaum muda dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Sedangkan
istrinya juga berasal dari keluarga yang taat beragama. Oleh karena itu, Hamka lahir
dari keluarga yang religius. Selain itu, ia lahir dalam struktur masyarakat
Minangkabau yang menganut sistem matrilineal, sehingga dalam silsilah
Minangkabau, ia berasal dari suku ibunya yakni suku Tanjung.5

Sejak kecil, Hamka menerima pendidikan dasar agama dan mempelajari Al-
Quran langsung pada ayahnya. Pada tahun 1914 ketika usianya 6 tahun, ia dibawa
ayahnya ke Padang Panjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke sekolah
desa yang hanya dienyamnya selama 3 tahun. Karena kenakalannya, ia dikeluarkan
dari sekolah. Selain memperoleh pengetahuan agama dari guru-gurunya, ia juga
banyak memperoleh pengetahuan dengan belajar sendiri. Tidak hanya ilmu agama,
Hamka juga belajar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra,
sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat melalui bacaan-bacaan. 6

Ketika usia Hamka menginjak 10 tahun, ayahnya mendirikan dan


mengembangkan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di tempat itulah Hamka
mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu bahasa Arab. Sumatera Thawalib
adalah sebuah sekolah dan perguruan tinggi yang mengusahakan dan memajukan

5
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang
Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 15-18
6
Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), jilid I, h. 46
macam-macam pengetahuan berkaitan dengan Islam yang membawa kebaikan dan
kemajuan di dunia dan akhirat. Awalnya Sumatera Thawalib adalah sebuah organisasi
atau perkumpulan murid-murid atau pelajar mengaji di surau Jembatan Besi Padang
Panjang dan surau Parabek Bukittinggi, Sumatera Barat. Dalam perkembangannya
pada tahun 1918, Sumatera Thawalib langsung bergerak dalam bidang pendidikan
dengan mendirikan sekolah dan perguruan yang mengubah pengajian surau menjadi
sekolah dengan sistem kelas.

Di samping menempuh pendidikan di Sumatera Thawalib saat usia 10 tahun,


Hamka juga menempuh pendidikan di Diniyyah School saat ia berusia 8-15 tahun.
Hingga saat ia mencapai usia 16 tahun, ia meninggalkan Minangkabau untuk belajar
ke tanah Jawa; Yogyakarta. Di sana ia menemui adik ayahnya, Ja’far Amrullah, untuk
kemudian belajar kepada Ki Bagus Hadikusumo, R.M. Suryopranoto, H. Fachruddin,
HOS. Tjokroaminoto, Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung, Muhammad
Natsir, dan AR. St. Mansur. Di kota ini lah, Hamka mulai berkenalan dengan Serikat
Islam dan ide-ide pergerakannya. Ide-ide tersbut banyak mempengaruhi pembentukan
pemikiran Hamka tentang Islam sebagai sesuatu yang hidup dan dinamis. Di sini dia
melihat perbedaan yang nyata antara Islam yang hidup di Minangkabau yang terkesan
statis dan Islam yang hidup di Yogyakarta yang terkesan dinamis.7

Setelah belajar di kota istimewa tersebut, hamka melanjutkan perjalanan


pemikirannya menuju pekalongan dan belajar kepada iparnya, AR. St. Mansur,
seorang tokoh Muhammadiyah. Di sana ia mulai belajar tentang Islam dan politik
serta berkenalan dengan ide-ide pembaruan, seperti pemikiran Jamaluddin Al-
Afghani, Muhammad Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh yang berupaya
mendobrak kejumudan umat. Dalam perjalanannya ke tanah Jawa selama setahun ini
telah mewarnai pemikirannya. Akhirnya pada tahun 1925 ia kembali ke Maninjau
dengan membawa semangat baru dan menyebarkan setiap kemuhammadiyahan
mengiringi AR. St. Mansur yang menjadi muballigh dan penyebar Muhammadiyah di
Maninjau.8

7
M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensi dan Perilaku Politik Bangsa (Bandung: Mizan,
1993), h. 201-202
8
Rusydi, Hamka Pribadi Dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983), h. 2
Semenjak itu, aktifitas Hamka bertambah seiring naiknya perjalanan karirnya.
Di antaranya Hamka mendirikan sekolah Tabligh School (lalu berganti nama menjadi
Kulliyyatul Muballighin), pendiri majalah Al-Mahdi, anggota Majelis Konsul
Muhammadiyah, Ketua Konsul Muhammadiyah Sumatera Timur, Ketua Majelis
Ulama Indonesia dan masih banyak lagi. Selain itu, Hamka juga aktif menulis banyak
tulisan, baik di majalah maupun tulisan yang dibukukan. Di antaranya ialah Falsafah
Hidup (1950), Pelajaran Agama Islam (1952), Lembaga Hidup (1962), Tafsir Al-
Azhar (1962-1967), Islam dan Adat Minangkabau (1984), dan masih banyak lagi
karyanya.9

C. Tafsir Al-Azhar dan Teori Double Movement

Nama kitab tafsir Al-Azhar ini sebenarnya diambil dari nama sebuah masjid di
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pada mulanya, tafsir ini merupakan rangkaian
kajian kuliah subuh yang disampaikan oleh Hamka di Masjid Agung Kebayoran Baru,
sejak tahun 1959, yang tiap harinya dicetak dalam Koran harian dan di kemudian hari
kajian tafsir tersebut dibukukan. Pada tahun 1960, Muhammad Syaltut, Rektor
Universitas Al-Azhar berkunjung ke Indonesia dan singgah di masjid tersebut. Syaltut
menamakan ulang masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Al-Azhar, sehingga
masjid itu berganti nama menjadi Masjid Agung Al-Azhar. Ia berharap supaya di
Jakarta terdapat kampus Al-Azhar. Penamaan tafsir Hamka dengan nama Tafsir Al-
Azhar berkaitan erat dengan tempat lahirnya tafsir tersebut yaitu Masjid Agung al-
Azhar.10 Hamka menuliskan tafsirnya mulai tahun 1959 hingga tahun 1967. Sebagian
kurun waktu penulisan ia selesaikan saat ia menjadi tahanan di sel, yakni pada tahun
1964 -1967.

Terdapat beberapa faktor yang mendorong Hamka untuk menghasilkan karya


tafsir tersebut, hal ini dinyatakan sendiri oleh Hamka dalam mukadimah kitab
tafsirnya. Di antaranya ialah keinginannya untuk menanam semangat dan kepercayaan
Islam dalam jiwa generasi muda Indonesia yang amat berminat untuk memahami Al-
Quran namun terhalang kemampuan mereka yang tidak sepenuhnya menguasai ilmu
bahasa Arab. Kecenderungannya terhadap penulisan tafsir ini juga bertujuan untuk
memudahkan pemahaman para muballigh dan para pendakwah serta meningkatkan

9
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang
Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 47
10
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Pustaka Nasional PTE LTD Singapura) Jilid I , h. 47-49
kesan dalam penyampaian khutbah-khutbah yang diambil dari sumber-sumber bahasa
Arab. Hamka memulai penulisan Tafsir al-Azhar dari surah al-Mukminun karena
beranggapan kemungkinan beliau tidak sempat menyempurnakan ulasan lengkap
terhadap tafsir tersebut semasa hidupnya.11

1. Metode dan Corak Penafsiran

Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, Hamka menggunakan metode


campuran antara tahlili dan maudhui atau tematik. Metode tahlili terlihat dari urutan
penulisannya yang berurutan mulai Q.S. Al-Fatihah hingga Q.S. An-Nas. Kendati
demikian, Hamka memulai penulisan dari Q.S. Al-Mu’minun, sebab ia khawatir tak
dapat menyelesaikan penafsirannya secara lengkap hingga akhir hayatnya. Walaupun
ternyata, ia dapat merampungkan penafsiran 30 Juz yang terbagi dalam 10 juz.
Sedangkan untuk metode tematik dapat terlihat dari proses pengelompokan ayat
berdasarkan tema dengan tidak melompati urutan ayat dalam satu surah atau beberapa
surah. Pembaca dapat memastikan ini jika melihat bagian daftar isinya.

Hamka menuliskan penafsirannya berdasarkan pengetahuan, keilmuan dan


pengalamannya. Ia mengambil penafsiran riwayat dan dirayat, tidak sekedar riwayat
saja. Menurutnya, jika hanya mengambil penafsiran riwayat saja, sama halnya
―textbook thinking‖ dan tidak ada perkembangan serta relevansinya dengan masa
kini. Ia juga tidak mau hanya mengambil penafsiran pada pendapatnya saja, sebab itu
dapat menimbulkan kesalahpahaman. Oleh karena itu, ia menggabungkan kedua hal
tersebut, yakni antara riwayat, penafsiran terdahulu dan kondisi masa kini. Ia juga
mengutip pendapat ulama-ulama lokal yang tidak disebutkan dalam banyak kitab
tafsir luar. Karena

Hamka memperhatikan perkembangan situasi masa kini, maka corak penafsiran


yang menonjol dalam karyanya ialah corak sosial-kemasyarakatan (adaby-ijtima’i).
Oleh karenanya, Hamka menghindari referensi dari kisah-kisah israiliyat.
Menurutnya, penafsirannya ia tulis di zaman kontemporer, sehingga jika
mencampurkan penafsiran dengan kisah-kisah israiliyat maka penafsirannya tidak
bernilai bagi pembaca zaman ini.12

11
Hamka, Tafsir…, Jilid I, h.59
12
Hamka, Tafsir…, Jilid I, h. 34.
2. Madzhab Mufasir

Hamka tidak terfokus pada madzhab tertentu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-
Quran. Ia beralasan bahwa ia bukanlah orang yang spesialis di bidang tertentu, seperti
halnya Al-Razi yang fokus pada madzhab Syafi’i, Al-Alusi yang fokus pada madzhab
Hanafi, Az-Zamakhsyari yang fokus pada Mu’tazilah dan beberapa mufasir lainnya.
Ia juga menulis penafsiran ini dengan tidak terlalu mendalam, karena ia ingin
penafsirannya dibaca secara luas oleh banyak orang, baik jamaahnya maupun bukan.
Sebab penafsiran yang terlalu mendalam akan rumit dipahami orang-orang awam.
Perkataannya ini rupanya dilatarbelakangi kondisi saat ia menulis penafsiran saat
ditahan dalam sel. Ia mengaku bahwa ia terbayang wajah umat yang dapat membaca
tulisan tafsirannya tersebut, termasuk orang-orang yang berada di tahanan sel.13

3. Teori Double Movement Fazlur Rahman

Teori double movement dipopulerkan oleh hermeneut ternama bernama Fazlur


Rahman. Rahman merupakan seorang pemikir dalam pengkajian teks-teks Al-Quran
untuk dikontekstualkan berdasarkan masa kini. Rahman dilahirkan pada 21 September
1919 di distrik Hazara, Punjab, suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang
sekarang terletak di barat laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam suatu keluarga dengan
tradisi keagamaan mazhab Hanafi yang cukup kuat. Sumbangsih pemikirannya dalam
pengkajian teks-teks Al-Quran dan Hadits ia namakan dengan double movement,
yakni gerakan ganda dalam reinterpretasi teks-teks.14

Sudah diketahui bersama bahwa ada jarak 14 abad antara turunnya ayat-ayat Al-
Quran dan datangnya hadits-hadits Nabi dengan masa kini. Gerakan ganda ini ia
lakukan sebagai terobosan baru dalam memahami teks-teks keagamaan. Oleh
karenanya, Rahman membuat gerakan ganda ini dengan mengambil langkah dari
masa kini kembali ke masa lampau di mana Al-Quran diturunkan, kemudian dari
masa lampau menuju masa tempat pembaca hidup.

Gerakan pertama terdiri dari dua langkah: pertama, orang harus memahami arti
atau makna dari sesuatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis di
mana pernyataan Al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum

13
Hamka, Tafsir…, Jilid I, h. 41-42.
14
Zaprulkhan, Teori Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman dalam Jurnal Noura Vol. 1. No.
1, Juni 2017, h. 23.
mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian
mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat istiadat,
lembaga-lembaga, dan bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia
pada saat kehadiran Islam dan khususnya di sekitar Makkah – dengan tidak
mengesampingkan peperangan-peperangan Persia-Byzantium – akan harus dilakukan.
Jadi, langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna Al-Qur’an
sebagai suatu keseluruhan di samping dalam batas-batas ajaran-ajaran khusus yang
merupakan respons terhadap situasi-situasi khusus.

Langkah kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan


menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-
sosial umum yang dapat ―disaring‖ dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar
belakang sosio-historis dan rationes legis yang sering dinyatakan. Langkah yang
pertama —memahami makna dari ayat spesifik— itu sendiri mengimplikasikan
langkah yang kedua dan membawa kepadanya. Selama proses ini perhatian harus
diberikan kepada arah ajaran Al-Quran sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti
tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang
dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya.

Sedangkan gerakan yang kedua harus dilakukan dari pandangan umum ini ke
pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasi sekarang. Artinya, ajaran-
ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis
yang konkrit di masa sekarang. Sekali lagi, ini memerlukan kajian yang cermat atas
situasi sekarang dan analisis berbagai unsur-unsur komponennya sehingga seseorang
bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang sejauh yang diperlukan
dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai
Al-Quran secara baru pula. Sejauh lingkup seseorang mampu mencapai kedua momen
dari gerakan ganda ini dengan berhasil, maka perintah-perintah Al-Quran akan
menjadi hidup dan efektif kembali.15

Kesimpulannya, seorang penafsir harus memahami benar tujuan dari sebuah


ayat-ayat Al-Quran atau hadits-hadits Nabi dengan mengumpulkan banyak informasi
seputar bunyi teks keagamaan tersebut, terlebih lagi dalam sudut pandang sosio-

15
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2000), h.
8.
historisnya. Sebab, Al-Quran dan hadits turun di tengah-tengah manusia yang
sejatinya manusia memiliki peradabannya masing-masing. Al-Quran dan hadits
memberikan pesan moral terhadap masyarakat yang ada pada saat itu. Pesan moral itu
lah yang harusnya dicari untuk dipertimbangkan di masa kini.

4. Analisis Double Movement Dalam Tafsir Al-Azhar

Ada hal menarik dalam penafsiran Hamka terkait langkah gerakan ganda yang
dirumuskan dan dipopulerkan oleh Rahman. Saat penulis mencoba menganalisis
Tafsir Al-Azhar, ternyata Hamka melakukan gerakan ganda sebagaimana teori yang
dirumuskan oleh Fazlur Rahman. Namun uniknya, saat Tafsir Al-Azhar itu dikajikan
dan ditulis, ternyata masa penulisan tersebut sudah ada sebelum Rahman merumuskan
teori double movement. Dalam mukaddimah Tafsir Al-Azhar, Hamka menulis
penafsiran tersebut dalam kurun waktu 8 tahun antara 1959 hingga 1967. Sedangkan
Rahman membukukan teorinya pada tahun 1984. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya
Hamka sudah mengaplikasikan penafsirannya dengan standar double movement,
walaupun ia tidak menjadikan langkah yang ia gunakan sebagai sebuah teori.

Gerakan ganda ini dapat dianalisis dalam penafsiran Hamka pada Q.S. An-Nisa
: 2-4. Allah berfirman :

ٗ‫ب ۖ َوََل ََتْ ُكلُْٓوا اَ ْم َوا ََلُ ْم آِٰٰل اَ ْم َوالِ ُُ ْم اَِّو‬ِ ِّ‫ث ِِبلطَّي‬ َ ‫اْلَبِْي‬
ْ ‫َوٰاتُوا الْيَ ت ٰٰم ٓى اَ ْم َوا ََلُ ْم َوََل تَتَ بَ َّدلُوا‬
‫اب لَ ُُ ْم ِّم َن‬ ِ ِ ِ ِ
َ َ‫( َوا ْن خ ْفتُ ْم اَََّل تُ ْقسطُْوا ِِف الْيَ ت ٰٰمى فَاَُّْ ُح ْوا َما ط‬٢) ‫َكا َن ُح ْوًِب َكبِْي ًرا‬
ِ ٰ ِ ِ َّ ِ ِ ٰ ِ ۤ ِ
‫ك اَ ْد ٰٰٓن‬ ‫ل‬ ‫ذ‬ ‫م‬ ُ
ُ َّ ‫ا‬‫ْي‬
ْ ‫ا‬ ‫ت‬ َُ ‫ل‬
َ
َ ْ ُ َ َ ْ َ َ َْ َ َ ْ ْ َ َ ْ ُ‫م‬ ‫ا‬‫م‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ة‬
ً ‫د‬ ‫اح‬ ‫و‬ ‫ف‬
َ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ل‬
ُ ‫د‬ ‫ع‬ ‫ت‬ ‫َل‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ت‬ ‫ف‬
ْ ‫خ‬ ‫ن‬
ْ ‫ا‬َ‫ف‬ ۚ ‫ع‬
َ ُ َ َ َ َْ ‫س‬
‫ب‬
ٰ‫ر‬‫و‬ ‫ث‬ ‫ل‬ ‫ث‬
ُ ‫و‬ ‫ٰن‬
ٰ ‫ث‬ ‫م‬ ‫ء‬ ‫ا‬ َ ّ‫الن‬
‫سا فَ ُُلُ ْو ُه‬ ‫ف‬
ْ َّ
َ ‫و‬ ِْ ‫( وٰاتُوا النِّس ۤاء ص ُد ٰقتِ ِه َّن ِ ِْنلَةً فَِا ْن ِطْب لَ ُُم عن َشي ٍء‬٣) ‫اَََّل تَ عولُوا‬
‫ن‬ ‫م‬
ً ُ ّ ْ ْ َ ْ َْ َ ََ َ ْ ُْ
ۤ ۤ
(٤)‫َىنِْيًا َّم ِريًْا‬
Artinya : “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta
mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah
kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan
memakan) itu adalah dosa yang besar.” (Q.S. An-Nisa : 2)

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak
akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya
perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak
berbuat zalim.” (Q.S. An-Nisa : 3)
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah
dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (Q.S. An-Nisa : 4)

Saat menafsirkan ayat 2-4, Hamka terlebih dahulu mengkaji maknanya yang
kemudian menambahkan historis dari ayat-ayat tersebut. Lebih jelasnya ialah sebagai
berikut :

a. Gerakan pertama langkah pertama

Gerakan pertama langkah pertama ialah memahami makna dan mngkaji situasi
yang terkandung di dalamnya. Hamka menjelaskan pemahaman dari ayat tersebut
dengan memulai mengkaji situasi anak-anak yatim yang ditinggal mati oleh orang
tuanya. Ia memaparkan penjelasan bahwa dulu ketika seseorang mati, maka orang-
orang terdekatnya atau saudara-saudaranya akan menguasai harta tersebut, sehingga
sengsaralah istri maupun anak-anaknya si mati. Pada masa-masa itu, laki-laki banyak
yang meninggal sebab banyaknya kejadian perang. Ini menyebabkan meningkatnya
jumlah para janda dan anak yatim serta meningkat pula jumlah perbudakan. Melihat
hal ini, timbullah keinginan orang yang berhati jahat untuk menguasai harta laki-laki
yang meninggal. Anak-anak yatim ini, terlebih yang perempuan, menjadi sengsara
karena hartanya telah banyak ditukar dengan orang yang memiliki pemikiran jahat.
Hartanya dikuasai, mereka dijual sebagai budak hasil tawanan, atau jika mereka
cantik, maka mereka dinikahi oleh si wali, dan jika tidak cantik maka mereka ditahan-
tahan agar tidak menikah. Adapun jika para wali ini menikahi anak yatim, mereka
tidak memberikan mahar yang sewajarnya, karena berpikiran bahwa hartanya akan
menjadi milik mereka juga setelah menikah. Semua ini terjadi karena orang-orang
yang berpikiran jahat ingin menguasai harta anak yatim.

Selain menjelaskan historisnya, Hamka juga menampilkan riwayat-riwayat


terkemuka terkait sebab ayat tersebut turun. Hamka mengemukakan tiga riwayat dari
Aisyah untuk memperkuat penafsirannya. Dari riwayat inilah akhirnya terlihat jelas
rangkaian maksud dari ayat 2-4, mulai perintah memelihara anak yatim hingga
kebolehan memiliki istri sampai batas 4.
b. Gerakan pertama langkah kedua

Setelah menjelaskan histori makro dan mikro dalam ayat tersebut, Hamka mulai
masuk pada tujuan ayat. Menurutnya, ayat ini turun untuk memberikan keadilan
terhadap hak-hak anak yatim dan istri-istri. Pesan moral yang ia sampaikan ialah
pertama, perintah agar wali menjaga harta anak-anak yatim, sebab jika ia bersikap
sewenang-wenang maka itu termasuk dosa besar. Jika ahli waris sudah cukup usianya,
maka harta tersebut harus diserahkan kepada mereka. Kedua, jika mereka tertarik
terhadap kecantikan anak-anak yatim namun khawatir akan berlaku semena-mena,
maka Allah memperbolehkan menikahi perempuan-perempuan merdeka hingga batas
4 atau memiliki budak-budak perempuan, daripada berlaku buruk terhadap anak
yatim. Ketiga, jika memiliki istri lebih satu maka Allah menyuruh mereka untuk
berlaku adil. Namun manusia memiliki sifat yang sulit untuk adil, bahkan adil
perasaan sekalipun. Di sini Allah mengajak mereka merenung bahwa setelah
menghindari kekhawatiran tidak dapat adil terhadap anak yatim, timbul pula
kekhawatiran beristri lebih dari satu. Kelima, lebih baik beristri satu saja untuk
menghindari sikap tidak adil. Keenam, jika khawatir berlaku tidak adil pada para istri,
maka boleh memiliki selir dari kalangan budak, sebab kedudukan budak dengan
kedudukan perempuan merdeka tidaklah sama. Ketujuh, kebolehan beristri melebihi
empat menjadi alternatif pada saat itu yang mana meningkatnya jumlah para janda
sehingga khawatir tidak ada yang melindungi mereka.

c. Gerakan Kedua

Setelah menyampaikan pesan moral-sosial dalam ayat-ayat tersebut, Hamka lalu


mengkontekstualkannya dengan masa kini. Ia memaparkan pesan moral-sosial pada
masa kini dengan beberapa pesan. Pertama, kebolehan menikah lebih dari 4
berangkat dari pembahasan kekhawatiran sikap sewenang-wenang terhadap anak
yatim, jika menikahi anak yatim dengan adanya keyakinan dapat berlaku adil, maka
itu diperbolehkan. Kedua, peperangan sudah tidak ada lagi, sehingga jumlah janda
dan anak yatim sudah menurun dan stabil. Begitu pula perbudakan sudah dihapuskan.
Oleh karenanya, beristri lebih dari empat bukan menjadi kebutuhan dan anjuran,
tetapi dapat menjadi alternatif dalam keadaan darurat. Pilihan ini tidak tertutup dan
tidak pula selalu terbuka. Ia hanya menjadi pintu darurat dalam keadaan terdesak.
Ketiga, perbudakan sudah dihapuskan sehingga yang ada hanyalah orang merdeka.
Maka tidak dapat disamakan kedudukan pembantu-pembantu rumah tangga dengan
kedudukan para budak. Oleh karena itu, mereka tidak bisa sembarangan diperlakukan
sebagaimana para budak. Keempat, walaupun pintu kebolehan poligami tidak tertutup,
namun tetap penting untuk bersikap adil di antara para istri. Oleh karena itu, idealnya
tetaplah menikahi satu istri. Hamka juga mengutip pesan yang diberikan gurunya
kepadanya untuk menikah dengan seorang perempuan saja, sebab gurunya pun sulit
bersikap adil pada dua istri dan banyaknya anak-anaknya. Hamka memberikan nasihat
untuk tidak menikahi perempuan lebih dari satu hanya karena ingin mencoba-coba
atau mempermainkan, sebab perempuan pun adalah manusia, bukan mainan.16

Dari pemaparan dan penerapan langkah yang dikemukakan Fazlur Rahman,


Hamka telah menerapkan double movement terlebih dahulu. Uniknya, Hamka
menerapkan double movement sebelum Rahman membukukan teorinya. Jika menilik
kurun waktu Hamka menuliskan kitab tafsirnya, maka kurun waktunya ialah pada
tahun 1959 hingga 1967, sedangkan Rahman menuliskan dan menerbitkan buku yang
memuat tentang teorinya, Islam and Modernity; Transformation of An Intelectual
Tradition, pada tahun 1982. Memang Rahman pernah menuliskan buku Islamic
Methodology in History dan diterbitkan pada tahun 1965, tapi penulis tidak menduga
keterpengaruhan tulisan Rahman dalam karya Tafsir Al-Azhar. Walaupun demikian,
teori yang dikemukakan Rahman dapat diterapkan untuk menganalisis isi kitab tafsir
Al-Azhar, terlebih pada ayat-ayat ahkam yang bernuansa sosial-kemasyarakatan.

D. Penutup

Hamka merupakan seorang tokoh yang keilmuannya tidak diragukan lagi. Baik
karya dan ilmunya telah mewarnai keilmuan yang ada di tanah air, mulai dari sastra,
filsafat, hukum hingga agama. Karya monumentalnya dalam bidang agama ialah
Tafsir Al-Azhar. Dalam penulisannya, Hamka berusaha mengupas ayat-ayat Al-Quran
melalui kacamata sosial-kemasyarakatan, karena ia melihat itulah kebutuhan
masyarakat saat ini. Hamka berusaha memberikan pemaparan yang mudah dipahami
namun tidak berbicara terlalu mendalam karena ia berharap karyanya mampu
dipahami banyak orang. Saat ia menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, ia berusaha
membawa ayat-ayat yang turun 14 abad silam ke masa kini dan dapat diterapkan oleh
masyarakat kontemporer.

16
Hamka, Tafsir…, Jilid II, h. 1060-1067
Daftar Pustaka

Hamka, Tafsir al-Azhar, (Pustaka Nasional PTE LTD Singapura)


Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
Hamka, Rusydi., Pribadi Dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1983)
Hitami, Munzir., Pengantar Studi Al-Quran; Teori dan Pendekatan (Yogyakarta:
LKiS Pelangi Aksara, 2012)
Nizar, Samsul., Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008)
Rahardjo,M. Dawam., Intelektual Inteligensi dan Perilaku Politik Bangsa (Bandung:
Mizan, 1993)
Rahman, Fazlur., Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka,
2000)
Tholchah, Moch., Aneka Pengkajian Studi Al-Quran (Yogyakarta: LKiS Pelangi
Aksara, 2016)
Zaprulkhan, Teori Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman dalam Jurnal Noura Vol.
1. No. 1, Juni 2017
Az-Zuhaili, Wahbah., Tafsir al-Munir (Damaskus: Dar el-Fikr, 2009)

Anda mungkin juga menyukai