najehimam@gmail.com,
A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang menuntut kaum
muslimin untuk mengetahui, mendalami dan mengamalkan segala isinya. Di
dalamnya terdapat penjelasan tentang halal-haram, perintah dan larangan, etika
dan akhlak, dan lainnya, yang kesemuanya itu harus dipedomani oleh mereka
yang mengaku menjadikan Al-Qur’an sebagai Kitab Sucinya. Keharusan itu
dapat dipahami, karena memegang-teguh ajaran Al-Qur’an merupakan sumber
kebahagiaan, petunjuk dan kemenangan di sisi Tuhan berupa surga yang penuh
kenikmatan.
Jika demikian halnya, maka aktivitas tafsir Al-Qur’an serta upaya
penjelasan makna-maknanya yang dianggap musykil oleh kebanyakan kaum
Muslimin menjadi suatu keniscayaan, semenjak ia turun pada masa hidup
Rasulullah Saw. dan sepeninggal beliau, bahkan hingga sekarang dan yang akan
datang. Untuk merespon kenisacayaan itu, dalam sejarah perjalanan umat ini
bersama Kitab Sucinya, banyak sudah ulama yang mencurahkan perhatiannya
untuk membidangi tafsir dengan berbagai manhaj, bentuk serta coraknya. Pada
setiap fase waktu dapat kita temukan “peninggalan” tafsir yang sejalan dengan
tuntutan dan dinamika masanya. Kemunculan para mufasir dari satu masa ke
masa berikutnya memperpanjang daftar perbendaharaan rahasia dan ilmu-ilmu
Al-Qur’an. Pergantian zaman, penemuan ilmu-pengetahuan dan kemajuan akal-
pikir manusia semakin memperjelas betapa luasnya samudera hikmah yang
dikandung Al-Qur’an.
Di antara karya tafsir modern Indonesia yang dapat kita jumpai dengan
cukup mudah dan banyak dibicarakan (dikaji) orang adalah Tafsir Al-Azhar.
Tulisan ini akan coba menampilkan sosok tafsir tersebut. Sosok yang
ditampilkan sangat mungkin tidak utuh (karena berbagai pertimbangan). Yang
penulis coba tampilkan dalam makalah ini memang hanya sisi-sisi yang
dianggap penting saja, terutama tentang manhaj yang ditempuh oleh sang
mufasir serta bagaimana penerapannya dalam tafsirnya.
2
A. Sekilas Biografi Mufassir
Hamka adalah nama singkatan Haji ‘Abdul Malik Karim Amrullah. Lahir di
Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908 dan wafat di Jakarta, 24 Juli 1981. 1
Beliau dikenal sebagai seorang tokoh dan pengarang (pujangga) Islam. Ia adalah
putera seorang ulama terkemuka, yang terkenal dengan sebutan Haji Rasul, yang
mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar Mesir dan membawa
pembaharuan dalam soal agama di Minangkabau.
Pendidikan formalnya hanya sampai SD, namun Ketika usia Hamka
mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan dan mengembangkan Sumatera Thawalib
di Padang Panjang. Ditempat itulah Hamka mempelajari ilmu agama dan mendalami
ilmu bahasa arab. Sumatera Ṭawalib adalah sebuah sekolah dan perguruan tinggi
yang mengusahakan dan memajukan macam-macam pengetahuan berkaitan dengan
Islam yang membawa kebaikan dan kemajuan di dunia dan akhirat.. Awalnya
Sumatera Ṭawalib adalah sebuah organisasi atau perkumpulan murid-murid atau
pelajar mengaji di Surau Jembatan Besi Padang Panjang dan surau Parabek
Bukittinggi, Sumatera Barat. Namun dalam perkembangannya, Sumatera Ṭawalib
langsung bergerak dalam bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah dan
perguruan yang mengubah pengajian surau menjadi sekolah berkelas.
Tahun 1924 mulai merantau ke tanah Jawa untuk belajar antara lain kepada
HOS Cokroaminoto, lalu aktif dalam organissi Muhammadiyah. Tahun 1927
berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian menetap di Medan di
mana ia aktif sebagai ulama dan bekerja sebagai redaktur majalah Pedoman
Masyarakat dan Pedoman Islam (1938-1941). Pada waktu itu ia mulai banyak
menulis roman, sehingga timbul heboh karena ada pihak yang tidak setuju kiai
mengarang roman. Di antara roman yang ditulisnya adalah Di Bawah Lindungan
Ka’bah (1938), Merantau ke Deli (1940), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940;
kumpulan cerita pendek), Ayahku (1949; merupakan riwayat hidup dan kisah
perjuangan ayahnya).2
Di zaman Orde Lama pernah meringkuk dalam tahanan beberapa tahun.
Dalam kesempatan itulah ia menyelesaikan Tafsir Al-Azhar-nya. Hamka banyak
1
Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang 1979), Jilid I, 9.
2
Ensikopedi Indonesia, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, cet. I 1990) II, 1217.
3
sekali menulis buku tentang Islam, seluruhnya ratusan judul. Beliau adalah imam
masjid Al-Azhar Kebayoran. Pernah memimpin majalah Panji Masyarakat yang
terbit sejak 1959. Sementara itu sejak tanggal 21 Mei 1981 Hamka meletakkan
jabatannya selaku ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).3
4
a.Mengembara di Lembah Nil, NV. Gapura, 1951.
b. Mandi Cahaya di Tanah Suci, penerbit Tintamas, 1953.
c.Merantau ke Deli, penerbit Bulan Bintang, tahun 1977.
4. Novel dan Roman
a.Teroris, penerbit Firma Pusaka Antara, tahun 1950.
b. Di Dalam Lembah Kehidupan, penerbit Balai Pustaka,
1958.
c.Di Bawah Lindungan Ka‟bah, penerbit Balai Pustaka, 1957.
d. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, penerbit Bulan
Bintang, tahun 1979.
5. Sejarah Islam
a.Sejarah Umat Islam, penerbit Pustaka Nasional, tahun 1950.
b. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, penerbit Bulan
Bintang, tahun 1974.
6. Artikel Lepas
a.Lembaga Fatwa, Majalah Panji Masyarakat, No. 6, tahun 1972.
b. Mensyukuri Tafsir Al-Azhar, Majalah Panji Masyarakat,
No. 317.
c.Muhammadiyah di Minangkabau, Makalah, Padang, 1975.5
d.
5
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual…, h. 45-46.
5
mendialog antara teks Al-qurandengan dengan kondisi umat islam saat Tafsir
Al-Azhar di tulis.
6
Muhammad Husen al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun. III, 213.
6
ِح ِس ِء ِح ٍب ِم ِّل َّل ِإ ِل ٍر
َو َم ا َك اَن َبَش َأْن ُيَك َم ُه ال ُه ال َو ْحًي ا َأْو ْن َو َر ا َج ا َأْو ُيْر َل َرُس وال َفُي و َي
ِم ِل ِل ِك ِنِه
)َو َك َذ َك َأْو َح ْيَن ا ِإَلْي َك ُر وًح ا ْن َأْم ِر َن ا َم ا ُك ْنَت٥١( ِبِإْذ َم ا َيَش اُء ِإَّن ُه َع ٌّي َح يٌم
ِد ِد
َتْد ِر ي َم ا اْلِكَت اُب َو ال اإلَمياُن َو َلِكْن َجَعْلَن اُه ُنوًر ا َنْه ي ِب ِه َمْن َنَش اُء ِم ْن ِعَبا َنا َو ِإَّنَك
7
Hamka, Tafsir al-Azhar. XXV: 44.
7
bangsa Indonesia yang sebelumnya dijajah kini telah merdeka dan
terbebas dari penjajah.8 Demikian pula ketika ia menafsirkan QS: Al-
Dukhan: 16,
E. Sistematika Penafsiran
Sebagai suatu kitab tafsir hasil karya manusia, sistematika tafsir al-Azhar
tidak jauh berbeda dengan kitab tafsir yang lain yang menggunakan metode
tahlili yakni menafsirkan Alquran berdasarkan urutan surah yang ada dalam
Alquran tersebut. Secara umum dapat dilihat bahwa Hamka dalam menafsirkan
ayat Alquran lebih mengaitkan dengan memberikan perhatian penuh terhadap
8
Ibid, 29.
9
Ibid, 99.
10
Muhammad Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad Ke-20, (Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Qur’an, Volume III, No.4, 1992), 57.
11
Hamka, Tafsir al-Azhar. I: 38.
8
sejarah dan peristiwa-peristiwa kontemporer, kemudian penyajiannya
memaparkan mengenai pengungkapan kembali teks-teks dan maknanya serta
penjelasan istilah-istilah agama yang menjadi bagian-bagian tertentu dari teks
serta penambahan dengan materi pendukung lain untuk membantu pembaca
memahami materi apa yang dibicarakan dalam surah-surah tertentu dalam
Alquran, sehingga dalam tafsir al-Azhar tersebut, Hamka seakan
mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya pada hampir semua disiplin
bidang-bidang ilmu agama Islam, ditambah pengetahuan-pengetahuan
nonkeagamaannya yang begitu kaya dengan informasi. Dalam menjelasakan
persoalan-persoalan ayat-ayat yang telah ditafsirkan, ia tidak terlepas dari atsar-
atsar sahih dan pendapat atau pandangan yang kuat dan benar dari para ulama.
9
mengklafikasikan urutan ayat dengan secara tersusun (menurut mushaf
Usmani) kemudian menyebutkan pokok atau topik pembahasan dari
klasifikasi ayat-ayat dalam setiap surah tersebut, (sehingga kadang terlihat
sebuah surah terpotong penjelasannya pada satu juz dan bersambung pada
juz berikutnya). kemudian menafsirkannya, dengan menggunakan berbagai
tehnik interpretasi: dilihat dari tehnik interpretasi tekstual (intertekstual)
tehnik inilah yang lebih menonjol dalam tafsir Hamka, khususnya dari segi
munasabah ayat, sebagai contoh dapat dilihat misalnya ketika menafsirkan
Q.S. al-Zukhruf 36 Hamka menghubungkannya dengan Q.S. al-An’am 61
dan Q.S. al-Fushilat 30-31. Model yang sama juga terlihat ketika Hamka
menafsirkan ayat Q.S. al-Zukhruf 35 menghubungkannya dengan ayat Q.S.
al-Qashash 76-83. Dan masih banyak lagi.
F. Pemikiran Tafsir
Dalam pengantarnya, Hamka menyebutkan bahwa ia memelihara sebaik-
baiknya hubungan diantara naql dan akal (riwayah dan dhirayah). Penafsir tidak
hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat orang yang terdahulu,
tetapi mempergunakan juga tinjauan dari pengalaman sendiri. Dan tidak pula
semata-mata menuruti pertimbangan akal sendiri, seraya melalaikan apa yang
dinukil dari orang terdahulu. Suatu tafsir yang hanya menuruti riwayat dari
orang terdahulu berarti hanya suatu “Textbox thinking”.
Sebaliknya, jika hanya memperturutkan akal sendiri besar bahanya akan
keluar dari garis tertentu yang digariskan agama, sehingga dengan disadari akan
menjauh dari maksud agama.12
Mazhab yang dianut oleh penafsir ini adalah mazhab salaf, yaitu mazhab
Rasulullah dan sahabt-sahabat beliau dan ulama’-ulama’ yang mengikuti jejak
beliau. Dalam hal aqidah dan ibadah semata-mata taslim, artinya menyerah
dengan tidak banyak tanya lagi. Tetapi dalam hal yang menghendaki pemikiran
(fiqhi), penulis tafsir ini tidaklah semata-mata taqlid kepada pendapat manusia,
melainkan meninjau mana yanag lebih dekat kepada kebenaran untuk didikuti,
dan meninggalkan mana yang jauh menyimpang.
12
Hamka, Tafsir al-Azhar,juz I.(jakarta: Panjimas,1982), hal. 36.
10
G. Sejarah Serta Latar Belakang Penafsiran
Kitab Tafsir al-Azhar adalah salah satu karya karya Buya Hamka dari
Sekian banyak karya karyanya. Tafsir al-Azhar berasal dari ceramah atau kuliah
Subuh yang disampaikan oleh Hamka di Masjid Agung al-Azhar sejak tahun
1959. Hamka menulis ini tiap-tiap pagi waktu subuh sejak akhir tahun 1958,
Namun sampai Januari 1964 belum juga tamat. Diberi nama Tafsir al-Azhar,
sebab Tafsir ini timbul didalam Masjid Agung al-Azhar, yang nama itu
diberikan oleh Rektor Universitas al-Azhar Mesir, Syeikh Mahmud Syaltut.13
Riwayat penulisan Tafsir al-Azhar memang sangat menarik.
HamkaSendiri mengakui dalam pendahuluan penulisan tafsirnya ini sebagai
hikmah Ilahi.Pada awalnya tafsir ini ia tulis dalam majalah Gema Islam sejak
Januari 1962Sampai Januari 1964. Namun baru dapat dinukil satu setengah juz
saja, dari juz 18 Sampai juz 19.14
Kegiatan Hamka dalam menafsirkan al Qur’an di Masjid Agung al-
Azhar Terpaksa dihentikan dengan tertangkapnya Hamka oleh penguasa Orde
Lama. Ia Ditangkap pada hari Senin, 27 Januari 1964, tidak beberapa lama
setelah Menyampaikan kuliah Subuh kepada sekitar seratus jama’ah wanita di
Masjid Agung al-Azhar.
Namun penahanan Hamka ini tidak menghentikan kegiatan Hamka
dalam Penulisan Tafsir al-Azhar. Status tahanan penguasa Orde Lama justeru
membawa Hikmah tersendiri dan memberi kesempatan yang lebih luas bagi
Hamka untuk Merampungkan penulisan Tafsir al-Azhar.
Dengan tumbangnya Orde Lama dan munculnya Orde Baru, Hamka
Memperoleh kembali kebebasannya. Ia dibebaskan pada tanggal 21 Januari 1966
Setelah mendekam dalam tahanan sekitar dua tahun. Kesempatan bebas dari
Tahanan ini digunakan sebaiknya oleh Hamka untuk melakukan perbaikan dan
Penyempurnaan penulisan Tafsir al-Azhar, yang telah digarapnya di sejumlah
Tempat tahanan. Ketika perbaikan dan penyempurnaan itu dirasakan memadai,
Barulah kemudian buku Tafsir al-Azhar diterbitkan.
13
Ibid. Hal. 66
14
Ibid. Hal. 53
11
H. Analisis Contoh Penafsiran Buya Hamka
ini adalah langkah-langkah yang dilakukan oleh HAMKA dalam menafsirkan
suatu ayat:
1. Al-Qur’an dengan al-Qur’an
Bunyi potongan surah Al fatihah ayat....7
ُاوٰلٓٮَِٕك اَل َخ اَل َق ُهَل ۡم ىِف الٰۡاِخ َر ِة َو اَل ُيَك ِّلُم ُه ُم الّٰل ُه َو اَل َي ۡنُظُر ِاَل ۡيِه مۡ َيوَۡم الِق ٰي َم ِة َو اَل ُيَز ِّك ۡيِه مۡ ۖ َو ُهَلمۡ َعَذ اٌب َا
ِل
يٌۡم
“Itulah orang yang tidak ada bagian untuk mereka di akhirat dan
tidaklah Allah akan bercakap dengan Mereka dan tidak akan
memandang kepada mereka di hari kiamat dan tidak Dia akan
membersihkan Mereka, dan bagi mereka azab yang pedih”.
Dan seperti itulah, tidak diajak bercakap oleh Tuhan, tidak dipandang
oleh Tuhan, Seakan-akan Tuhan dalam bahasa umum “membuang
muka” apabila berhadapan dengannya. Begitulah nasib orang yang
dimurkai.15
2. Al-Qur’an dengan Hadis
ِق ِا ِد ِا
ْه َن الِّص َر اط اْلمْس َت ْيَم
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”.
Menurut riwayat Ibn Hatim dari Ibn ‘Abbas, menurut beliau dengan
meminta Ditunjuki jalan yang lurus, tafsirnya ialah mohon ditunjuki
agama-Mu yang benar. Menurut beberapa riwayat dari ahli hadis, dari
Jabir bin ‘Abdullah bahwa yang Dimaksud shirâth al-mustaqîm adalah
agama Islam. Dan menurut riwayat yang lain, Ibn Mas‘ud Mentafsirkan
bahwa yang dimaksud adalah kitab Allah (al-Qur’an).
3. Al-Qur’an dengan qaul sahabat atau tabi’in
15
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 111-112.
12
ِق ِد ِا
اْه َن الِّص َر اَط ِ اْلمْس َت ْيَم
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”.
Buya HAMKA memaparkan pendapat salah seorang ulama’ yaitu
Fudhail bin ‘Iyadh, ia Mengatakan kalau yang dimaksud shirâth al-
mustaqîm adalah jalan pergi naik haji, yakni Menunaikan haji sebagai
rukun Islam yang kelima, dengan penuh keinsafan dan kesadaran
Sehingga mencapai haji yang mabrur.16
4. Al-Qur’an dengan riwayat dari kitab tafsir al-Mu’tabarah
وَاَل لَّضالَنْي
“Dan bukan jalan mereka yang sesat”.
Sayyid Rasyid Ridha di dalam kitab tafsirnya al-Manar menguraikan
penafsiran Gurunya Syaikh Muhammad Abduh tentang orang yang
tersesat, terbagi atas empat tingkat, Yaitu:
a. Yang tidak sampai kepadanya dakwah, atau ada sampai tetapi hanya
didapat dengan Panca indra dan akal, tidak ada tuntutan agama.
b. Sampai kepada mereka dakwah, atas jalan yang dapat membangun
pikiran. Mereka Telah mulai tertarik oleh dakwah itu, sebelum
sampai menjadi keimanannya, ia pun Mati.
c. Dakwah sampai kepada mereka dan mereka akui, tetapi tidak mereka
pergunakan Akal buat berpikir dan menyelidiki dari pokoknya, tetapi
mereka berpegang teguh juga Kepada hawa nafsu atau kebiasaan
lama atau menambah-nambah.
d. Yang sesat dalam beramal, atau memutar-mutarkan hukum dari
maksud yang Sebenarnya.Kesesatan orang-orang ini timbul dari
kepintaran otak tetapi batinnya kosong Daripada iman. Diruntuhkan
agamanya, tetapi dia sendiri yang hancur.17
16
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 106-107.
17
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 114-115.
13
Jawa terhadap Allah disebut dengan Gusti Allah, padahal dalam bahasa
Melayu Banjar, Gusti adalah gelar orang bangsawan. Demikian juga
kalimat Pangeran untuk Allah dalam bahasa Sunda, padahal di daerah
lain Pangeran adalah gelar bangsawan atau anak raja. Dalam bahasa
Bugis dan Makassar disebut Poang Allah Ta‘âlâ. Padahal kepada raja
atau orang tua yang dihormati mereka pengucapkan Poang juga.18
18
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 91.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Buya HAMKA adalah seorang tokoh Islam Indonesia, pemimpin,
pujangga, pengarang, Sejarawan, dan pendidik yang begitu berjasa bagi
perkembangan khazanah keilmuan yang ada di Indonesia khususnya untuk dunia
Islam yang ada di Indonesia. Tafsirnya yang berjudul al-Azhar Merupakan
sebuah karya yang sangat monumental diantara banyak dari karya-karyanya.
Menurut sumbernya, tafsir ini dikategorikan ke dalam tafsîr bi al-
ma’tsûr. Untuk susunan Penafsirannya, HAMKA menggunakan metode tahlîlî
karena dimulai dari Surah al-Fâtihah hingga Surah al-Nâs. Adapun menurut cara
penjelasannya, HAMKA menggunakan metode muqârin yaitu Tafsir berupa
penafsiran sekelompok ayat-ayat yang berbicara dalam suatu masalah dengan.
Perbandingan. Menurut keluasan penjelasannya, HAMKA menggunakan metode
tafshîlî yaitu tafsir Yang penafsirannya terhadap al-Qur’an berdasarkan urutan-
urutan ayat secara ayat per ayat, dengan Suatu uraian yang terperinci tetapi jelas.
Corak yang mendominasi Tafsir al-Azhar adalah adâbî ijtimâ’î dengan
keindahan bahasa Melayu yang disajikan berdasarkan konteks sosial
kemasyarakatan di masanya. Teknik bahasa yang Digunakan dalam
mengembangkan tafsirnya pun begitu beragam dan merupakan corak bahasa
yang Biasa digunakan dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga relatif mudah
bagi pembacanya yang Mayoritas warga Indonesia untuk memahami maksud
dari tafsirnya
15
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zahabi, Muhammad Husen. Al-Tafsir wa al-Mufassirun.
Hamka, R. (1983). Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr.Hamka. Jakarta: Pustaka
Panjimas
Yusuf, Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar. Jakarta: Permadani, 2004.
Hashim, Rosnani (ed), “Hamka Intellectual and Social Transformation of the Malay
World”, in Conversation Islamic Intellectual Traditionin the Malay Archipelago,
ed. Rosnani Hashim. Kuala Lumpur, Pustaka Perdana, 2010.
16