Anda di halaman 1dari 16

TELA’AH KITAB TAFSIR AL AZHAR

Imam Nazeh Purba, Ganda Riono Nadapdap, Harapan Siregar

najehimam@gmail.com,
A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang menuntut kaum
muslimin untuk mengetahui, mendalami dan mengamalkan segala isinya. Di
dalamnya terdapat penjelasan tentang halal-haram, perintah dan larangan, etika
dan akhlak, dan lainnya, yang kesemuanya itu harus dipedomani oleh mereka
yang mengaku menjadikan Al-Qur’an sebagai Kitab Sucinya. Keharusan itu
dapat dipahami, karena memegang-teguh ajaran Al-Qur’an merupakan sumber
kebahagiaan, petunjuk dan kemenangan di sisi Tuhan berupa surga yang penuh
kenikmatan.
Jika demikian halnya, maka aktivitas tafsir Al-Qur’an serta upaya
penjelasan makna-maknanya yang dianggap musykil oleh kebanyakan kaum
Muslimin menjadi suatu keniscayaan, semenjak ia turun pada masa hidup
Rasulullah Saw. dan sepeninggal beliau, bahkan hingga sekarang dan yang akan
datang. Untuk merespon kenisacayaan itu, dalam sejarah perjalanan umat ini
bersama Kitab Sucinya, banyak sudah ulama yang mencurahkan perhatiannya
untuk membidangi tafsir dengan berbagai manhaj, bentuk serta coraknya. Pada
setiap fase waktu dapat kita temukan “peninggalan” tafsir yang sejalan dengan
tuntutan dan dinamika masanya. Kemunculan para mufasir dari satu masa ke
masa berikutnya memperpanjang daftar perbendaharaan rahasia dan ilmu-ilmu
Al-Qur’an. Pergantian zaman, penemuan ilmu-pengetahuan dan kemajuan akal-
pikir manusia semakin memperjelas betapa luasnya samudera hikmah yang
dikandung Al-Qur’an.
Di antara karya tafsir modern Indonesia yang dapat kita jumpai dengan
cukup mudah dan banyak dibicarakan (dikaji) orang adalah Tafsir Al-Azhar.
Tulisan ini akan coba menampilkan sosok tafsir tersebut. Sosok yang
ditampilkan sangat mungkin tidak utuh (karena berbagai pertimbangan). Yang
penulis coba tampilkan dalam makalah ini memang hanya sisi-sisi yang
dianggap penting saja, terutama tentang manhaj yang ditempuh oleh sang
mufasir serta bagaimana penerapannya dalam tafsirnya.

2
A. Sekilas Biografi Mufassir
Hamka adalah nama singkatan Haji ‘Abdul Malik Karim Amrullah. Lahir di
Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908 dan wafat di Jakarta, 24 Juli 1981. 1
Beliau dikenal sebagai seorang tokoh dan pengarang (pujangga) Islam. Ia adalah
putera seorang ulama terkemuka, yang terkenal dengan sebutan Haji Rasul, yang
mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar Mesir dan membawa
pembaharuan dalam soal agama di Minangkabau.
Pendidikan formalnya hanya sampai SD, namun Ketika usia Hamka
mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan dan mengembangkan Sumatera Thawalib
di Padang Panjang. Ditempat itulah Hamka mempelajari ilmu agama dan mendalami
ilmu bahasa arab. Sumatera Ṭawalib adalah sebuah sekolah dan perguruan tinggi
yang mengusahakan dan memajukan macam-macam pengetahuan berkaitan dengan
Islam yang membawa kebaikan dan kemajuan di dunia dan akhirat.. Awalnya
Sumatera Ṭawalib adalah sebuah organisasi atau perkumpulan murid-murid atau
pelajar mengaji di Surau Jembatan Besi Padang Panjang dan surau Parabek
Bukittinggi, Sumatera Barat. Namun dalam perkembangannya, Sumatera Ṭawalib
langsung bergerak dalam bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah dan
perguruan yang mengubah pengajian surau menjadi sekolah berkelas.
Tahun 1924 mulai merantau ke tanah Jawa untuk belajar antara lain kepada
HOS Cokroaminoto, lalu aktif dalam organissi Muhammadiyah. Tahun 1927
berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian menetap di Medan di
mana ia aktif sebagai ulama dan bekerja sebagai redaktur majalah Pedoman
Masyarakat dan Pedoman Islam (1938-1941). Pada waktu itu ia mulai banyak
menulis roman, sehingga timbul heboh karena ada pihak yang tidak setuju kiai
mengarang roman. Di antara roman yang ditulisnya adalah Di Bawah Lindungan
Ka’bah (1938), Merantau ke Deli (1940), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940;
kumpulan cerita pendek), Ayahku (1949; merupakan riwayat hidup dan kisah
perjuangan ayahnya).2
Di zaman Orde Lama pernah meringkuk dalam tahanan beberapa tahun.
Dalam kesempatan itulah ia menyelesaikan Tafsir Al-Azhar-nya. Hamka banyak
1
Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang 1979), Jilid I, 9.
2
Ensikopedi Indonesia, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, cet. I 1990) II, 1217.

3
sekali menulis buku tentang Islam, seluruhnya ratusan judul. Beliau adalah imam
masjid Al-Azhar Kebayoran. Pernah memimpin majalah Panji Masyarakat yang
terbit sejak 1959. Sementara itu sejak tanggal 21 Mei 1981 Hamka meletakkan
jabatannya selaku ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).3

B. Karya Karya Tafsir dan Lainnya

Hamka; sebagai orang yang berfikiran maju, Hamka banyak memberikan


kontribusi tulisan sebagai bentuk refleksi dakwah keagamaan serta memberikan
orientasi pemikiran yang luas dari pelbagai bidang ilmu. 4 Adapun karya karya
Buya Hamka antara lain yaitu :
1. Filsafat Keagamaan
a.Falsafah Hidup, penerbit Pustaka Panji Masyarakat, tahun 1950
b. Pelajaran Agama Islam, penerbit Bulan Bintang, tahun
1952.
c.Pandangan Hidup Muslim, penerbit Bulan Bintang, tahun 1962.
d. Lembaga Hidup, penerbit Pustaka Nasional, 1999.
e.Lembaga Hikmat, penerbit Bulan Bintang, tahun 1966.
f. Lembaga Budi, penerbit Pustaka Panjimas, 1983.
g. Perkembangan Kebatinan di Indonesia, penerbit Yayasan
Nurul Islam, Tahun 1980.
h. Filsafat Ketuhanan, penerbit Karunia, tahun 1985.
i. Tafsir Al-Azhar Juz I – XXX, penerbit Pustaka Panjimas, tahun
1986.
j. Prinsip-prinsip dan Kebiakan Dakwah Islam, Pustaka Panjimas,
1990.
2. Adat dan Kemasyarakatan
a.Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, penerbit Tekad, tahun
1963.
b. Islam dan Adat Minangkabau, penerbit Pustaka Panjimas,
1984.
3. Kisah Perjalanan
3
Ibid, 1218.
4
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual…, h. 45-46

4
a.Mengembara di Lembah Nil, NV. Gapura, 1951.
b. Mandi Cahaya di Tanah Suci, penerbit Tintamas, 1953.
c.Merantau ke Deli, penerbit Bulan Bintang, tahun 1977.
4. Novel dan Roman
a.Teroris, penerbit Firma Pusaka Antara, tahun 1950.
b. Di Dalam Lembah Kehidupan, penerbit Balai Pustaka,
1958.
c.Di Bawah Lindungan Ka‟bah, penerbit Balai Pustaka, 1957.
d. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, penerbit Bulan
Bintang, tahun 1979.
5. Sejarah Islam
a.Sejarah Umat Islam, penerbit Pustaka Nasional, tahun 1950.
b. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, penerbit Bulan
Bintang, tahun 1974.
6. Artikel Lepas
a.Lembaga Fatwa, Majalah Panji Masyarakat, No. 6, tahun 1972.
b. Mensyukuri Tafsir Al-Azhar, Majalah Panji Masyarakat,
No. 317.
c.Muhammadiyah di Minangkabau, Makalah, Padang, 1975.5
d.

C. Isi Kandungan Tafsir Al Azhar


Tafsir Al-Azhar menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Quran dengan
ungkapan yang teliti, menjelaskan makna makna yang dimaksud dalam Al-
Quran dengan bahasa yang indah dan menarik dan menghubungkan ayat dengan
realitas soaial dan sistem budaya yang ada.
Buya Hamka di dalam kitab tafsirnya juga membicarakan permasalahan
sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Beliau juga mendemostrasikan keluasan
pengetahuan dan menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh. Beliau juga

5
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual…, h. 45-46.

5
mendialog antara teks Al-qurandengan dengan kondisi umat islam saat Tafsir
Al-Azhar di tulis.

D. Metode dan corak tafsir al azhar


1. Metode
Ditinjau dari metode yang digunakan oleh Tafsir al-Azhar sebagai
karya manumental dari Hamka yang sampai saat ini tetap dipakai dan
menjadi rujukan penting dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Dilihat
dari metode penafsiran yang dipakai, tafsir ini menggunakan metode
tahlili sebagai pisau analisinya, terbukti ketika menafsirkan surat al-
Fatihah ia membutuhkan sekitar 24 halaman untuk mengungkapkan
maksud dan kandungan dari surat tersebut. Berbagai macam kaidah-
kaidah penafsiran dari mulai penjelasan kosa kata, asbab an-nuzul ayat,
munasabat ayat, berbagai macam riwayat hadits, dan yang lainnya
semua itu disajikan oleh Hanka dengan cukup apik, lengkap dan
mendetail.
Dalam menggunakan metode penafsiran, Hamka sebagaimana
diungkapkannya dalam tafsirnya ia merujuk atau “berkiblat” peda
metode yang dipakai dalam tafsir al-Manar yakni metode tahlili
(analitis). Berkiblatnya Hamka dalam menggunakan metode penafsiran
terhadap tafsir al-Manar, membuat corak yang dikandung oleh tafsir al-
Azhar mempunyai kesamaan.
2. Corak
Adapun dilihat dari corak penafsiran, tafsir al-Azhar mempunyai
corak Adab al-Ijtima’iy. Corak ini menitik beratkan penjelasan ayat-ayat
al-Qur’an dengan ungkapan-ungkapan yang teliti, menjelaskan makna-
makna yang dimaksud al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik,
tafsir ini berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah
dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada. 6 Hal tersebut
bisa dilihat ketika Hamka menafsirkan QS: al-Syura: 51-52.

6
Muhammad Husen al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun. III, 213.

6
‫ِح‬ ‫ِس‬ ‫ِء ِح ٍب‬ ‫ِم‬ ‫ِّل َّل ِإ‬ ‫ِل ٍر‬
‫َو َم ا َك اَن َبَش َأْن ُيَك َم ُه ال ُه ال َو ْحًي ا َأْو ْن َو َر ا َج ا َأْو ُيْر َل َرُس وال َفُي و َي‬
‫ِم‬ ‫ِل‬ ‫ِل ِك‬ ‫ِنِه‬
‫)َو َك َذ َك َأْو َح ْيَن ا ِإَلْي َك ُر وًح ا ْن َأْم ِر َن ا َم ا ُك ْنَت‬٥١( ‫ِبِإْذ َم ا َيَش اُء ِإَّن ُه َع ٌّي َح يٌم‬
‫ِد‬ ‫ِد‬
‫َتْد ِر ي َم ا اْلِكَت اُب َو ال اإلَمياُن َو َلِكْن َجَعْلَن اُه ُنوًر ا َنْه ي ِب ِه َمْن َنَش اُء ِم ْن ِعَبا َنا َو ِإَّنَك‬

)٥٢( ‫َلَتْه ِدي ِإىَل ِص َر اٍط ُمْس َتِق يٍم‬


“dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir
atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya
Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Dan Demikianlah Kami
wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami.
sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Quran) dan
tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al
Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami
kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu
benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”

Hamka dalam menafsirkan ayat tersebut mengkontekstualisasikan


dengan berkomentar tentang KB, menurutnya boleh atau tidaknya KB
tergantung dengan alasan yang dipakai atau kuantitas dari mudharatnya.
7
Dan pada ayat 28 surat yang sama,
)٢٨( ‫وُهَو اَّلِذ ي ُيَنِّز ُل اْلَغْيَث ِم ْن َبْع ِد َم ا َقَنُطوا َو َيْنُش ُر َر ْح َم َتُه َو ُهَو اْلَو ِلُّي اْلَحِم يُد‬
“dan Dialah yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan
menyebarkan rahmat-Nya. dan Dialah yang Maha pelindung lagi Maha
Terpuji.”

ia menafsirkan “turunnya hujan setelah masa kekeringan” bukan hanya


hujan secara fisik tetapi menurutnya adalah datangnya kelonggaran
setelah masa kesusahan atau kesempitan, seperti yang terjadi pada

7
Hamka, Tafsir al-Azhar. XXV: 44.

7
bangsa Indonesia yang sebelumnya dijajah kini telah merdeka dan
terbebas dari penjajah.8 Demikian pula ketika ia menafsirkan QS: Al-
Dukhan: 16,

“(ingatlah) hari (ketika) Kami menghantam mereka dengan hantaman


yang keras. Sesungguhnya Kami adalah pemberi balasan.”

ia menafsirkan dengan mengaitkan peristiwa yang terjadi pada waktu itu


yaitu tragedi pengeboman yang terjadi di Hirosima dan Nagasaki
Jepang.9 Dan masih banyak penafsiran ayat-ayat lainnya yang beliau
kaitkan dengan kondisi yang terjadi ketika tafsir ini disusun oleh
penulisnya yakni Hamka.

Buya Hamka juga banyak menekankan pada pemahaman ayat secara


menyeluruh. Oleh karena itu dalam tafsirnya Hamka lebih banyak
mengutip pendapat para ulama terdahulu. 10 Sikap tersebut diambil oleh
Hamka karena menurutnya menafsirkan al-Qur’an tanpa melihat terlebih
dahulu pada pendapat para mufassir dikatakan tahajjum atau ceroboh dan
bekerja dengan serampangan.11

E. Sistematika Penafsiran
Sebagai suatu kitab tafsir hasil karya manusia, sistematika tafsir al-Azhar
tidak jauh berbeda dengan kitab tafsir yang lain yang menggunakan metode
tahlili yakni menafsirkan Alquran berdasarkan urutan surah yang ada dalam
Alquran tersebut. Secara umum dapat dilihat bahwa Hamka dalam menafsirkan
ayat Alquran lebih mengaitkan dengan memberikan perhatian penuh terhadap

8
Ibid, 29.
9
Ibid, 99.
10
Muhammad Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad Ke-20, (Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Qur’an, Volume III, No.4, 1992), 57.

11
Hamka, Tafsir al-Azhar. I: 38.

8
sejarah dan peristiwa-peristiwa kontemporer, kemudian penyajiannya
memaparkan mengenai pengungkapan kembali teks-teks dan maknanya serta
penjelasan istilah-istilah agama yang menjadi bagian-bagian tertentu dari teks
serta penambahan dengan materi pendukung lain untuk membantu pembaca
memahami materi apa yang dibicarakan dalam surah-surah tertentu dalam
Alquran, sehingga dalam tafsir al-Azhar tersebut, Hamka seakan
mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya pada hampir semua disiplin
bidang-bidang ilmu agama Islam, ditambah pengetahuan-pengetahuan
nonkeagamaannya yang begitu kaya dengan informasi. Dalam menjelasakan
persoalan-persoalan ayat-ayat yang telah ditafsirkan, ia tidak terlepas dari atsar-
atsar sahih dan pendapat atau pandangan yang kuat dan benar dari para ulama.

Berikut beberap sistematika penyusunan di kitab tasir al azhar :


1. Dalam juz pertama dikemukakan pada pendahuluan untuk kitab Tafsir al-
Azhar secara keseluruhan (30 juz) yang berisi penjelasan tentang ilmu yang
harus dimiliki oleh para mufassir seperti tentang Alquran dan ilmu-ilmu
Alquran itu sendiri serta penafsiran Alqurana, dan penggunaan ilmu-ilmu
yang mendukungnya baik yang berkaitan dengan agama maupun
nonkeagamaan. Kemudian menjelasakan sejarah penyusunan kitab tafsir al-
Azhar tersebut serta menjelaskan haluan atau mazhab yang dimiliki oleh
Hamka dalam menafsirkan ayat Alquran.
2. Tafsir al-Azhar terdiri dari 30 juz (jilid), di awali surat pertama (al-fatihah)
sampai kepada surah yang terakhir (an-Nas). Setiap juz diawali dengan
muqaddimah, dalam muqaddimah tersebut dijelaskan tentang Makkiyah dan
Madaniyahnya, kemudian menjelaskan secara umum isi kandungan dan
makna atau pesan Ilahiyah dari setiap surah-surah yang terdapat dalam juz
tersebut. Kemudian dalam setiap surah juga didahului oleh muqaddimah
yang menjelaskan secara luas tentang nama surah tersebut baik dari aspek
kebahasahan maupun aspek sejarah disertai dengan riwayat-riwayat yang
sahih.
3. Dalam setiap surah, Hamka mencantumkan ayat-ayatnya dan
menterjemahnya sendiri secara harfiyah dan yang menarik ia

9
mengklafikasikan urutan ayat dengan secara tersusun (menurut mushaf
Usmani) kemudian menyebutkan pokok atau topik pembahasan dari
klasifikasi ayat-ayat dalam setiap surah tersebut, (sehingga kadang terlihat
sebuah surah terpotong penjelasannya pada satu juz dan bersambung pada
juz berikutnya). kemudian menafsirkannya, dengan menggunakan berbagai
tehnik interpretasi: dilihat dari tehnik interpretasi tekstual (intertekstual)
tehnik inilah yang lebih menonjol dalam tafsir Hamka, khususnya dari segi
munasabah ayat, sebagai contoh dapat dilihat misalnya ketika menafsirkan
Q.S. al-Zukhruf 36 Hamka menghubungkannya dengan Q.S. al-An’am 61
dan Q.S. al-Fushilat 30-31. Model yang sama juga terlihat ketika Hamka
menafsirkan ayat Q.S. al-Zukhruf 35 menghubungkannya dengan ayat Q.S.
al-Qashash 76-83. Dan masih banyak lagi.

F. Pemikiran Tafsir
Dalam pengantarnya, Hamka menyebutkan bahwa ia memelihara sebaik-
baiknya hubungan diantara naql dan akal (riwayah dan dhirayah). Penafsir tidak
hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat orang yang terdahulu,
tetapi mempergunakan juga tinjauan dari pengalaman sendiri. Dan tidak pula
semata-mata menuruti pertimbangan akal sendiri, seraya melalaikan apa yang
dinukil dari orang terdahulu. Suatu tafsir yang hanya menuruti riwayat dari
orang terdahulu berarti hanya suatu “Textbox thinking”.
Sebaliknya, jika hanya memperturutkan akal sendiri besar bahanya akan
keluar dari garis tertentu yang digariskan agama, sehingga dengan disadari akan
menjauh dari maksud agama.12
Mazhab yang dianut oleh penafsir ini adalah mazhab salaf, yaitu mazhab
Rasulullah dan sahabt-sahabat beliau dan ulama’-ulama’ yang mengikuti jejak
beliau. Dalam hal aqidah dan ibadah semata-mata taslim, artinya menyerah
dengan tidak banyak tanya lagi. Tetapi dalam hal yang menghendaki pemikiran
(fiqhi), penulis tafsir ini tidaklah semata-mata taqlid kepada pendapat manusia,
melainkan meninjau mana yanag lebih dekat kepada kebenaran untuk didikuti,
dan meninggalkan mana yang jauh menyimpang.

12
Hamka, Tafsir al-Azhar,juz I.(jakarta: Panjimas,1982), hal. 36.

10
G. Sejarah Serta Latar Belakang Penafsiran
Kitab Tafsir al-Azhar adalah salah satu karya karya Buya Hamka dari
Sekian banyak karya karyanya. Tafsir al-Azhar berasal dari ceramah atau kuliah
Subuh yang disampaikan oleh Hamka di Masjid Agung al-Azhar sejak tahun
1959. Hamka menulis ini tiap-tiap pagi waktu subuh sejak akhir tahun 1958,
Namun sampai Januari 1964 belum juga tamat. Diberi nama Tafsir al-Azhar,
sebab Tafsir ini timbul didalam Masjid Agung al-Azhar, yang nama itu
diberikan oleh Rektor Universitas al-Azhar Mesir, Syeikh Mahmud Syaltut.13
Riwayat penulisan Tafsir al-Azhar memang sangat menarik.
HamkaSendiri mengakui dalam pendahuluan penulisan tafsirnya ini sebagai
hikmah Ilahi.Pada awalnya tafsir ini ia tulis dalam majalah Gema Islam sejak
Januari 1962Sampai Januari 1964. Namun baru dapat dinukil satu setengah juz
saja, dari juz 18 Sampai juz 19.14
Kegiatan Hamka dalam menafsirkan al Qur’an di Masjid Agung al-
Azhar Terpaksa dihentikan dengan tertangkapnya Hamka oleh penguasa Orde
Lama. Ia Ditangkap pada hari Senin, 27 Januari 1964, tidak beberapa lama
setelah Menyampaikan kuliah Subuh kepada sekitar seratus jama’ah wanita di
Masjid Agung al-Azhar.
Namun penahanan Hamka ini tidak menghentikan kegiatan Hamka
dalam Penulisan Tafsir al-Azhar. Status tahanan penguasa Orde Lama justeru
membawa Hikmah tersendiri dan memberi kesempatan yang lebih luas bagi
Hamka untuk Merampungkan penulisan Tafsir al-Azhar.
Dengan tumbangnya Orde Lama dan munculnya Orde Baru, Hamka
Memperoleh kembali kebebasannya. Ia dibebaskan pada tanggal 21 Januari 1966
Setelah mendekam dalam tahanan sekitar dua tahun. Kesempatan bebas dari
Tahanan ini digunakan sebaiknya oleh Hamka untuk melakukan perbaikan dan
Penyempurnaan penulisan Tafsir al-Azhar, yang telah digarapnya di sejumlah
Tempat tahanan. Ketika perbaikan dan penyempurnaan itu dirasakan memadai,
Barulah kemudian buku Tafsir al-Azhar diterbitkan.

13
Ibid. Hal. 66
14
Ibid. Hal. 53

11
H. Analisis Contoh Penafsiran Buya Hamka
ini adalah langkah-langkah yang dilakukan oleh HAMKA dalam menafsirkan
suatu ayat:
1. Al-Qur’an dengan al-Qur’an
Bunyi potongan surah Al fatihah ayat....7

‫َغرْي ِ اْلَم ْغض وبِ َعَلْيهْم‬


“Bukan jalan mereka yang dimurkai atasnya”
Tafsirannya: Siapakah yang dimurkai Tuhan? Ialah orang yang telah
diberi kepadanya petunjuk, telah diutus kepadanya Rasul-Rasul telah
diturunkan kepadanya kitab-kitab wahyu, namun ia masih saja
memperturutkan hawa nafsunya. Telah ditegur berkali-kali, namun
teguran itu tidak diperdulikannya. Ia merasa lebih pintar daripada Allah,
Rasul-rasul dicemoohnya, petunjuk Tuhan diletakkannya ke samping,
perdayaan setan diperturutkannya. Ayat tersebut ditafsiri dengan Surah
Ali ‘Imrân ayat 77:

‫ُاوٰلٓٮَِٕك اَل َخ اَل َق ُهَل ۡم ىِف الٰۡاِخ َر ِة َو اَل ُيَك ِّلُم ُه ُم الّٰل ُه َو اَل َي ۡنُظُر ِاَل ۡيِه مۡ َيوَۡم الِق ٰي َم ِة َو اَل ُيَز ِّك ۡيِه مۡ ۖ َو ُهَلمۡ َعَذ اٌب َا‬
‫ِل‬
‫يٌۡم‬
“Itulah orang yang tidak ada bagian untuk mereka di akhirat dan
tidaklah Allah akan bercakap dengan Mereka dan tidak akan
memandang kepada mereka di hari kiamat dan tidak Dia akan
membersihkan Mereka, dan bagi mereka azab yang pedih”.
Dan seperti itulah, tidak diajak bercakap oleh Tuhan, tidak dipandang
oleh Tuhan, Seakan-akan Tuhan dalam bahasa umum “membuang
muka” apabila berhadapan dengannya. Begitulah nasib orang yang
dimurkai.15
2. Al-Qur’an dengan Hadis
‫ِق‬ ‫ِا ِد ِا‬
‫ْه َن الِّص َر اط اْلمْس َت ْيَم‬
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”.
Menurut riwayat Ibn Hatim dari Ibn ‘Abbas, menurut beliau dengan
meminta Ditunjuki jalan yang lurus, tafsirnya ialah mohon ditunjuki
agama-Mu yang benar. Menurut beberapa riwayat dari ahli hadis, dari
Jabir bin ‘Abdullah bahwa yang Dimaksud shirâth al-mustaqîm adalah
agama Islam. Dan menurut riwayat yang lain, Ibn Mas‘ud Mentafsirkan
bahwa yang dimaksud adalah kitab Allah (al-Qur’an).
3. Al-Qur’an dengan qaul sahabat atau tabi’in
15
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 111-112.

12
‫ِق‬ ‫ِد ِا‬
‫اْه َن الِّص َر اَط ِ اْلمْس َت ْيَم‬
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”.
Buya HAMKA memaparkan pendapat salah seorang ulama’ yaitu
Fudhail bin ‘Iyadh, ia Mengatakan kalau yang dimaksud shirâth al-
mustaqîm adalah jalan pergi naik haji, yakni Menunaikan haji sebagai
rukun Islam yang kelima, dengan penuh keinsafan dan kesadaran
Sehingga mencapai haji yang mabrur.16
4. Al-Qur’an dengan riwayat dari kitab tafsir al-Mu’tabarah

‫وَاَل لَّضالَنْي‬
“Dan bukan jalan mereka yang sesat”.
Sayyid Rasyid Ridha di dalam kitab tafsirnya al-Manar menguraikan
penafsiran Gurunya Syaikh Muhammad Abduh tentang orang yang
tersesat, terbagi atas empat tingkat, Yaitu:
a. Yang tidak sampai kepadanya dakwah, atau ada sampai tetapi hanya
didapat dengan Panca indra dan akal, tidak ada tuntutan agama.
b. Sampai kepada mereka dakwah, atas jalan yang dapat membangun
pikiran. Mereka Telah mulai tertarik oleh dakwah itu, sebelum
sampai menjadi keimanannya, ia pun Mati.
c. Dakwah sampai kepada mereka dan mereka akui, tetapi tidak mereka
pergunakan Akal buat berpikir dan menyelidiki dari pokoknya, tetapi
mereka berpegang teguh juga Kepada hawa nafsu atau kebiasaan
lama atau menambah-nambah.
d. Yang sesat dalam beramal, atau memutar-mutarkan hukum dari
maksud yang Sebenarnya.Kesesatan orang-orang ini timbul dari
kepintaran otak tetapi batinnya kosong Daripada iman. Diruntuhkan
agamanya, tetapi dia sendiri yang hancur.17

5. Al-Qur’an dengan pendapat (ra’y) sendiri


Pemakaian kalimat “Tuhan” dalam kata sehari-hari terpisah menjadi
dua; Tuhan Khusus untuk Allah dan tuan untuk menghormati sesama
manusia. Untuk raja disebut Tuanku. Yang terpenting terlebih dahulu
adalah memupuk perhatian yang telah ada dalam Dasar jiwa, bahwa Zat
Yang Maha Kuasa itu mustahil berbilang. Adapun tentang pemakaian
bahasa terhadap-Nya dengan nama apa Dia mesti disebut, terserahlah
kepada perkembangan bahasa itu sendiri.
Selain dari pemakaian bahasa Melayu tentang Tuhan itu, sebagian
bangsa kitapun memakai juga kalimat lain untuk Allah itu. Dalam bahasa

16
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 106-107.
17
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 114-115.

13
Jawa terhadap Allah disebut dengan Gusti Allah, padahal dalam bahasa
Melayu Banjar, Gusti adalah gelar orang bangsawan. Demikian juga
kalimat Pangeran untuk Allah dalam bahasa Sunda, padahal di daerah
lain Pangeran adalah gelar bangsawan atau anak raja. Dalam bahasa
Bugis dan Makassar disebut Poang Allah Ta‘âlâ. Padahal kepada raja
atau orang tua yang dihormati mereka pengucapkan Poang juga.18

18
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 91.

14
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Buya HAMKA adalah seorang tokoh Islam Indonesia, pemimpin,
pujangga, pengarang, Sejarawan, dan pendidik yang begitu berjasa bagi
perkembangan khazanah keilmuan yang ada di Indonesia khususnya untuk dunia
Islam yang ada di Indonesia. Tafsirnya yang berjudul al-Azhar Merupakan
sebuah karya yang sangat monumental diantara banyak dari karya-karyanya.
Menurut sumbernya, tafsir ini dikategorikan ke dalam tafsîr bi al-
ma’tsûr. Untuk susunan Penafsirannya, HAMKA menggunakan metode tahlîlî
karena dimulai dari Surah al-Fâtihah hingga Surah al-Nâs. Adapun menurut cara
penjelasannya, HAMKA menggunakan metode muqârin yaitu Tafsir berupa
penafsiran sekelompok ayat-ayat yang berbicara dalam suatu masalah dengan.
Perbandingan. Menurut keluasan penjelasannya, HAMKA menggunakan metode
tafshîlî yaitu tafsir Yang penafsirannya terhadap al-Qur’an berdasarkan urutan-
urutan ayat secara ayat per ayat, dengan Suatu uraian yang terperinci tetapi jelas.
Corak yang mendominasi Tafsir al-Azhar adalah adâbî ijtimâ’î dengan
keindahan bahasa Melayu yang disajikan berdasarkan konteks sosial
kemasyarakatan di masanya. Teknik bahasa yang Digunakan dalam
mengembangkan tafsirnya pun begitu beragam dan merupakan corak bahasa
yang Biasa digunakan dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga relatif mudah
bagi pembacanya yang Mayoritas warga Indonesia untuk memahami maksud
dari tafsirnya

15
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zahabi, Muhammad Husen. Al-Tafsir wa al-Mufassirun.

Hamka, R. (1983). Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr.Hamka. Jakarta: Pustaka
Panjimas

Yusuf, Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar. Jakarta: Permadani, 2004.

Hamka. Mensyukuri Tafsir Al-Azhar. Majalah Panji Masyarakat, No. 317.

Hashim, Rosnani (ed), “Hamka Intellectual and Social Transformation of the Malay
World”, in Conversation Islamic Intellectual Traditionin the Malay Archipelago,
ed. Rosnani Hashim. Kuala Lumpur, Pustaka Perdana, 2010.

Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1990.

Federspiel, Howard M. Kajian al-Qur’an di Indonesia. Terj. Tajul Arifin. Bandung:


Penerbit Mizan, 1996.

16

Anda mungkin juga menyukai