Anda di halaman 1dari 19

STUDI KITAB TAFSIR AL-QUR’ANUL ADHIMI

KARYA H. HASAN MUSTOPA

Dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah


“Studi Kitab Tafsir di Dunia Melayu”

DOSEN PENGAMPU: Afriadi Putra, S.Th.I., M.Hum

Disusun Oleh :

1. Muhammad Harfi (12030211215)


2. Rika Frizky Lia (12030226448)
3. Suhairi (12030211249)

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

1445 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji syukur
atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, taufik, dan hidayah-
Nya, sehingga dengan penuh hikmat kami dapat meyelesaikan makalah yang
berjudul “Studi Kitab Tafsir Quranul Adhimi Karya H. Hasan Mustapa”.Makalah
ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin sesuai kamampuan kami, serta
tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
terdapat kekurangan dalam makalah ini, baik dari susunan kalimat, pilihan kata,
tanda baca, maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan dari
makalah ini kami menerima saran dan kritikan dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini dan pembuatan makalah selanjutnya. Akhir kata, kami
berharap semoga makalah Studi Kitab Tafsir Quranul Adhimi Karya H. Hasan
Mustapa ini dapat memberikan manfaat dan motivasi bagi pembaca agar lebih
meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.

Pekanbaru, 25 September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR .......................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 1
C. Tujuan Pembahasan ................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................... 2


A. Alasan dan Latar Belakang Penulisan Kitab Tafsir ................... 2
B. Biografi Hasan Mustapa ............................................................. 2
C. Kajian Metodologi Kitab Tafsir Quranul Adhimi ...................... 4
D. Komentar Ulama Terhadap Kitab Tafsir Quranul Adhimi ......... 12

BAB III PENUTUP .............................................................................. 14


A. Kesimpulan ................................................................................ 14
B. Saran ........................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan tafsir di Indonesia menurut Indal Abror dalam artikelnya yang
berjudul Potret Kronologis Tafsir Indonesia dan Nasrudin Baidan membagi
perkembangan tafsir di Indonesia menjadi 4 periode, yakni periode klasik (VII-
XV), periode abad pertengahan (XV-XVII), periode abad pra modern (XVIII-
XVIIII), periode abad modern (XX).1 Dalam perkembanganya, tercatat bahwa
terdapat salah satu kitab tafsir yang ditulis oleh Haji Hasan Mustapa yaitu berjudul
Quranul Adhimi.
Secara singkat, kitab tafsir Quranul Adhimi karya Haji Hasan Mustapa adalah
sebuah kitab tafsir sufistik berbahasa Sunda yang tidak saja menunjukkan dialog
lintas bahasa yang saling mencerahkan (interilumination) antara bahasa Arab (Al-
Qur'an) dan Sunda, tetapi juga menunjukkan proses dialog antara ajaran tasawuf
dengan kekayaan batin orang Sunda dalam bingkai penafsiran Al-Qur'an.
Untuk membahas lebih lanjut, maka dalam makalah ini dijelaskan secara lebih
lengkap; mulai dari apa alasan Haji Hasan Mustapa menulis kitab tafsirnya,
kemudian biografinya, metodologi kitab tafsir Quranul Adhimi, keunikan yang ada
pada kitab tafsirnya hingga bagaimana pendapat atau komentar-komentar para
ulama terkait kitab tafsir Quranul Adhimi goresan tinta karya dari Haji Hasan
Mustapa ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana alasan Hasan Mustapa menulis kitab tafsir Quranul Adhmi?
2. Bagaimana kajian Metodologi Tafsir Quranul Adhimi karya Hasan Mustapa?
3. Bagaimana pandangan atau komentar ulama terkait Kitab Tafsir?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui alasan Hasan Mustapa menulis kitab tafsir
2. Untuk mengetahui kajian metodologi kitab tafsir Quranul Adhimi
3. Untuk mengetahui komentar ulama terkait kitab tafsir Quranul Adhimi.

1
M. Nurdin Zuhri, Pasar Raya Tafsir Indonesia, (Yogyakarta: Kaukabaka Dipantara,
2001), hlm. 19.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Alasan dan Latar Belakang Penulisan
Haji Hasan Mustapa menulis sebuah kitab tafsir yang beliau berinama
Quranul Adhimi. Penulisan kitab tafsir ini dilatarbelakangi oleh beberapa
fakor, di antara pendukung Haji Hasan Mustapa menulis kitab tafsirnya itu
disebabkan karena beliau merupakan seorang santri sekaligus menak. 2
Kemudian, Latar belakang hidup Haji Hasan Mustopa, yang menyebabkan
karya-karyanya dimungkinkan oleh berbagai hal, Haji Hasan Mustopa adalah
berasal dari keluarga pesantren sekaligus sebagai seorang yang sangat memiliki
hubungan erat dengan kesenian Sunda.3 Inilah faktor yang datang dari
kesadaran diri karena berada pada posisi yang dibutuhkan masyarakat (santri
dan menak4), sehingga Haji Hasan Mustapa menghasilkan sebuah goresan tinta
karya yang fenomenal di kalangannya.
B. Biografi Hasan Mustopa
Haji Hasan Mustapa lahir di Garut pada tanggal 3 juni 1852 M/1268 H, dan
wafat di kota Bandung, pada tanggal 13 Januari 1930 M/1348 H. Ia dikenal
sebagai sosok tokoh tasawuf, sastrawan, tokoh tafsir yang berasal dari kalangan
elit pribumi, yang tidak lain adalah keluarga camat perkebunan di Cikajang,
Garut. Ia pun pernah menjabat sebagai penghulu di Aceh dan di Bandung
sampai beliau pensiun.5 Haji Hasan Mustopa sendiri berhenti dari jabatannya
sebagai penghulu pada tahun 1917 dan ia lebih memilih tinggal di Bandung
dan menutup usianya pada usia 78 tahun atau pada 13 Januari 1930.6 Beliau

2
Yahya, Ngalogat di Pesantren Sunda : Menghadirkan yang Dimangkirkan"Sadur Sejarah
Terjemahaan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: KPG. 2009, hlm. 121.
3
Kartini, dkk. Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. 1985, hlm. 145.
4
Kaum menak adalah salah satu kelas social di Tartar Sunda, pada abad 19 dan 20. Kaum
menak dikenal sebagai elite politik tradisional yang memiliki kekuasaan atas rakyat-rakyatnya.
5
Tini Kartini. et. al., Biografi dan Karyaa Pujangga Haji Hasan Mustapa, Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud Jakarta, 1985, him. 13.
6
Jahroni, J. The Life adn Mystical Thouhght of Haji Hasan Mustafa (1852- 1930). (leiden:
Thesis Leiden University. 1999), hlm. 28.

2
lalu dimakamkan di Karang Anyar, Bandung. Sepanjang kehidupanya ia
mendedikasikan dirinya hanya untuk masyarakat, karir, dan sastra Sunda.
Selanjutnya, Perjalanan Pendidikan Haji Hasan Mustapa sendiri diawali
dengan belajar di kota Makkah, ketika beliau pertama kali menginjakkan
kakinya di tanah suci ia masih berusia 8 tahun. Ia pergi kesana dengan ayahnya,
awal mulanya ia pergi kesana untuk menunaikan ibadah haji, lalu bermukim di
sana seraya untuk memperdalam ilmu agama, khususnya untuk memperdalam
bahasa Arab dan membaca Alquran. Setelah sekian lama ia pun pulang ke tanah
air, dan melanjutkan pendidikanya di pesantren Garut dan Sumedang. Ia
mempelajari tentang dasar-dasar ilmu nahwu dan sharaf kepada Rd. H. Yahya,
yang merupakan seorang pensiunan penghulu di Garut. Kemudian dilanjutkan
dengan belajar kepada Abdul Hasan yang merupakan seorang kyai dari daerah
sawah dadap di Sumedang. Dari Sumedang ia kembali lagi ke Garut untuk
melanjutkan pendidikanya ke kyai Muhammad Irja, yang merupakan salah satu
murid dari kyai Abdul Kahar, seorang kyai terkenal dari Surabaya dan murid
dari kyai Khalil Maduram yang merupakan pemimpin Pesantren di Bangkalan,
Madura. Pada tahun 1874, ia berangkat kembali ke kota Makkah, untuk
memperdalam ilmu-ilmu keislaman. Kali ini ia bermukim di kota suci ini
selama 8 tahun lamanya. Saat ia bemukim di Makkah ia pun berkenalan dengan
seorang orientalis dari Belanda yang bernama Christian Snouck Hurgronje,
Christian sedang meneliti masyarakat Islam di Makkah. Pertemuan mereka
membuat hubungan keduanya menjadi akrab.7
Sejarah hidup dari Haji Hasan Mustapa bisa dilihat dari beberapa karyanya
yang menyisipkan juga tentang kehidupanya. Dalam salah satu karyanya
disebutkan bahwa beliau mempunyai kedekatan dengan sosok Christian
Snouck Hurgronje. Sosok dari Haji Hasan Mustapa sudah masuk ke dalam
lingkaran strategi Hurgronje yang menjadikan aristrokasi pribumi sebagai
kelas sosial pertama yang ditarik ke dalam lingkaran kolonial Belanda, ada
beberapa alasan yang menyebabkan Christian Snouck Hurgronje menjadikan

7
Ambary, & Muarif, H. Suplemen Ensiklopedi Islam. Suplemen Ensiklopedi Islam, 2001.
hlm.183-184.

3
Haji Hasan Mustapa sebagai informan penting. Kedudukan dan posisi dari Haji
Hasan Mustapa yang menjadi salah satu penyebab mengapa Christian Snouck
Hurgronje menempatkan ia sebagai salah satu tokoh kunci yang dianggap bisa
memberikan informasi untuk memperoleh pengetahuan tentang Islam Lokal.
Saperti yang di kemukakan oleh Laffan, ia dijadikan sebagai salah satu
informan dari negeri pribumi yang menjadikan jalan kemudahan untuk
memperdalam tentang Islam dan sekaligus dapat memberikan gambaran yang
jelas tentang keislaman di Kawasan Hindia Belanda pada masa itu.8
C. Kajian Metodologis
1. Sistematika Penulisan Tafsir
Dilihat dari formatnya, Quranul Adhimi bukanlah tafsir layaknya tafsir
standar (mu 'tabar). Mustapa hanya menerjemahkan ayat secara bebas atau
menafsirkan ayat sesuai visi spiritualnya. Bisa dikatakan ia merupakan
komentar singkat penuh makna simbolis terhadap 105 ayat seputar akidah
dan akhlak yang menurutnya dianggap cocok untuk alam batin orang
Sunda.9 Ia memberikan alasan mengapa tidak menafsirkan keseluruhan
ayat Al-Qur'an: "Ayat-ayat nu loba-loba mah samar kapake eusina ku
jalma-jalma sambarangan, ... sabab jauh pisan katepina ku prawira
sasmitana bangsa kaula, ilmuna, amalna, tedakna, pakakas basa Arab.10
Dalam Quranul Adhimi, setiap pilihan ayat dan surah tertentu sudah
disesuaikan dengan urutan ayat dan surah. Diawali dari surah Al-Baqarah,
Ali Imran hingga Al-Nas.
Setelah pencantuman ayat tertentu, baru kemudian diberikan komentar
dan penjelasannya. Mustapa sengaja tidak memberikan terjemah Sunda
pada setiap ayat yang dipilihnya. Ia memberikan alasan bahwa urusan
terjemah adalah perkara mudah, tinggal diserahkan kepada anak-anak
(santri) yang kebanyakan sudah bisa menerjemahkan dari bahasa Arab ke

8
Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia. (London: Routledge Curzon. 2012).
hlm. 93.
9
Menurut perhitungan Ajip jumlah sebenarnya adalah 352 ayat dari 56 surah termasuk
ayat-ayat yang hanya sepenggal dihitung satu ayat.
10
Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa Jeng Karya-karyana, hlm. 391.

4
bahasa Sunda (geus seubeuh nyunda-nyundakeun, moal burung loba
barudak titaheun ... ). Mungkin menurutnya, yang terpenting bukanlah
menerjemah ayat, tetapi yang lebih sulit adalah mengungkapkan
kandungan makna batin di balik ayat tersebut. Diujung penjelasan
dicantumkan pula Adab Padikana Al-Qur'an yang menjelaskan beberapa
adab dalam memperlakukan Al-Qur' an.11
2. Sumber Tafsir
Para ulama tafsir umumnya menerima pandangan bahwa Al-Qur'an
memiliki makna zahir dan batin. Al-Qur'an tidak hanya menunjukkan makna
melalui redaksinya, tetapi juga di baliknya tersirat makna yang lebih
mendalam. Makna hakiki tidak berhenti pada redaksi teks. Menurut Goldziher,
pemahaman tersebut tidak lepas dari pengaruh filsafat Hellenisme ke dalam
pemikiran Islam. Idealisme Plato menyebut bahwa alam semesta yang
terpampang merupakan perpanjangan dari akal universal. Di samping makna
material-eksoteris masih ada makna esoteris-spiritual.12
Sebagai seorang mistikus Sunda, Mustapa sedari awal menyadari bahwa
makna zahir dan batin tidak bisa dilepaskan dari Al-Qur'an. Baginya, hanya
ulama yang memiliki cukup ilmu dengan tahap spiritualitas tertentu bisa
menangkap makna keduanya. Ia menyebutnya dengan ahli siki, ahli eusi yakni
ahli isi dan esensi makna batin. Baginya, hanya bujangga yang cerdas dan
bijaksana yang bisa mengungkap rahasia dibalik makna zahir.
Bahasa metafor merupakan bagian tak terpisahkan dari ekspresi spiritual
mistis secara umum. Mempelakukan ayat sebagai metafor merupakan bagian
dari upaya mistikus untuk memudahkannya memberikan tafsir batin atas Al-
Qur' an. Melalui bahasa metaforik pula, dimungkinkan para sufistik
mengeluarkan tafsirannya sebagai hasil dari pengalaman spiritualitasnya.
Untuk memahami makna batin, maka pencarian makna ayat harus didasarkan
pada anggapan bahwa ayat itu penuh dengan metafor. Jadi dapat disimpulkan

11
Jajang A Rohmana, Memahami Makna Batin Kitab Suci: Tafsir Quranuladhimi Haji
Hasan Mustapa (1852-1930), Jurnal Al-Qalam, Vol. 34 No.1 (Januari-Juni 2017), hlm. 118.
12
Ibid., hlm. 119-120.

5
bahwa sumber yang digunakan Mustapa dalam tafsirnya adalah pergumulan
batinnya tentang makna esoteris-spiritual suatu ayat atau secara sederhananya
tafsir ini bersumber intuisi atau isyari.
3. Contoh Penafsiran
Melihat moderasi beragama menjadi isu yang masih hangat dibicarakan
dalam berbagai media, maka kami mengambil sebuah contoh penafsiran dari
Haji Hasan Mustapa dalam tafsirnya Quranul Adhimi tentang moderasi
beragama. Ayat yang membicarakan moderasi beragama ini terdapat dalam
Q.S al-Baqarah ayat 143:
َ ‫علَ ْيكُ ْم‬
‫ش ِه ْيدًا ۗ َو َما‬ َ ‫الرسُ ْو ُل‬ َّ َ‫اس َويَكُ ْون‬ ِ َّ‫علَى الن‬ َ ‫طا ِلتَكُ ْونُ ْوا شُ َه َد ۤا َء‬ َ ‫َوك َٰذلِكَ َجعَ ْل ٰنكُ ْم ا ُ َّمةً َّو‬
ً ‫س‬
َ ‫ع ٰلى‬
ْ‫ع ِقبَ ْي ِۗه َوا ِْن كَانَت‬ َ ُ‫الرسُ ْو َل مِ َّم ْن يَّ ْنقَلِب‬ َ َ‫َجعَ ْلنَا ا ْل ِق ْبلَةَ الَّتِ ْي كُ ْنت‬
َّ ‫علَ ْي َها ٓ ا ََِّّل ِلنَ ْعلَ َم َم ْن يَّتَّبِ ُع‬
ٌ ‫اس لَ َر ُء ْو‬
‫ف َّرحِ ْي ٌم‬ َ ‫ُض ْي َع اِ ْي َمانَكُ ْم ۗ ا َِّن ه‬
ِ َّ‫ّٰللا بِالن‬ ُ ‫ّٰللا َۗو َما َكانَ ه‬
ِ ‫ّٰللا ِلي‬ ُ ‫علَى الَّ ِذيْنَ َه َدى ه‬ َ ‫لَ َكبِي َْرة ً ا ََِّّل‬
Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan)
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi
Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan
kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar
Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa
yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat
berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak
akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. 13

Penafsiran Hasan Mustopa yang berkaitan dengan ayat ini yaitu: “Ieu ajat
pamoekproek ka Rasoeloellah geura djaga Moehammad djaga, oemat2 na
diaromongkeun koe noe barodo, pokna: “Naha naon noe milikeun kiblat2 noe
geus sakitoe lawasna, dibalik anjar pinanggih?” (Ini merupakan ayat
bimbingan kepada Rasulullah, jagalah Muhammad umat-umatnya yang
dibicarakan oleh orang-orang yang bodoh, mereka berkata: “apa yang
menjadikan dikembalikanya kiblat yang sudah lama digunakan dan menjadi
berpindah kepada yang baru.) Djawab bae koe maneh (Jawab saja oleh mu):

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Badan Litbang


13

dan Diklat Kementerian Agama RI: Jakarta, 2019), hlm. 22.

6
“Masrik magrib kagoengan Allah ta ala, noe ngageuing noedoehkeun kanoe
rahajoe, harajangeun kana djalan djegdjeg bener (Masrik, maghrib adalah
milik Allah yang memperingatkan dan memberikan petunjuk kepada
kebenaran dan kebaikan, semua orang menginginkan jalan yang lurus dan
benar).”14
Sebelum memasuki penjelasan tentang ummatan wasathan, Hasan Mustopa
menjelaskan tentang petunjuk yang lurus dan benar yangmana masih berkaitan
dengan ayat sebelumnya. Term wasathiyyah selain memiliki makna adil dan
paling utama, term ini juga bermakna yang berpendirian tetap berada pada jalan
yang lurus (jalan tengah antara tafrith dan ifrath kaum musyrik). 15 Hal ini
menandakan bahwa penafsiran Hasan Mustopa selaras dengan konsep i’tidal
(lurus) dan tawasuth (jalan tengah) dalam moderasi beragama. Serta selaras
dengan nilai-nilai Islam yang mempunyai pola pikir lurus, pertengahan serta
tidak berlebihan.16
“Djeung deui, oerang njieun maneh oemat2 pertengahan (dan Allah
menjadikan kita sebagai umat pertengahan). soepaja djadi saksi pananjaan
djelema oetoesan Allah ta ala saksina (supaya menjadi saksi bagi para utusan
Allah).” Hasan Mustopa menafsirkan ummatan wasathan sebagai umat
pertengahan. Umat pertengahan ini menjadi umat pilihan, mereka menjadi
saksi. Umat ini menjadi saksi di hari kiamat kelak atas perbuatan-perbuatan
manusia lain yang mengingkari Allah dan Rasulnya.17 Umat Islam dipilih
menjadi saksi karena nilai keseimbanngan (tawazun) yang dipegang. Karena
sikap mereka yang tidak condong, mereka akan mengetahui orang-orang dari
berbagai sisi.18

14
Hasan Mustapa. Tafsir Qur’anul Adhimi. (Bandung: Kenging Ngumpulkeun
Wangsaatmadja. 1920.) hlm. 120.
15
Khaira. Moderasi Beragama (Studi Analisi Kitab Tafsir Al-Muharrar Al-Wajiz Karya
Ibnu Athiyyah). Jakarta: Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ), 2020. hlm. 16.
16
Afrizal Nur, “Konsep Wasathiyyah Dalam Al-Quran; (Studi Komparatif Antara Tafsir
Al-Tahrir Wa At-Tanwir Dan Aisar At-Tafasir).” 2015, Jurnal An-Nur 4(2):205– 25.
17
Ibid.,
18
Abdul Fattah, “Tafsir Tematik Islam Moderat Perspektif Al-Qur’an.” MAGHZA: Jurnal
Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 2020, 5(2):156–72. doi: 10.24090/maghza.v5i2.3125.

7
“Ari ieu kiblat anoe dibalikeun, soepaja kanjahoan noe aranoet ka
Rasoeloellah (kiblat yang dikembalikan dimaksudkan agar diketahui oleh umat
Rasulullah), malik ati ka wiwitan, djeung kaseboet malik kana neroet indit;
djadi basa “ti dinja nja bidjil, ka dinja soeroepna” (hati sanubari kembali
kepada aturan yang pertama yang telah ditetapkan olah Allah dan dikembalikan
kepada asal mula manusia, jadi kata peribahasa dari situ berasal kesana,
kembali).
Wahbah Zuhaili dalam Fattah mengatakan bahwa umat moderat
(pertengahan) menjadi umat pilihan yang mendapat petunjuk bahwa kiblat
mereka dikembalikan sama seperti kiblat Nabi Ibrahim. Sehingga umat Rasul
menjadi saksi bagi umat yang ingkar, dan Rasul menjadi saksi atas umatnya.
Dari dikembalikannya kiblat ini, dapat terlihat juga sikap moderat dan sikap
ekstrem seseorang. Penafsiran Hasan Mustopa bahwa umat yang mengikuti
akan dikembalikan kepada asal manusia. Menunjukkan umat yang kembali
lurus ke jalan Allah. sedangkan yang ekstrem, ia akan membelot dan tidak
mengikutinya.
4. Corak Tafsir
Corak tafsir adalah kecenderungan yang dimiliki oleh masing-masing
penafsir, yang kemudian menjadi pandangan atau trade mark mereka dalam
tafsirnya sekaligus warna pemikiran mereka terhadap ayat-ayat Al-Quran. Oleh
sebab itu, keberadaan corak tafsir tidak bisa ditemukan keberadaanya hanya
untuk tafsir yang menggunakan metode tertentu saja. 19 Berdasarkan pada
definisi corak di atas, dalam sejarah perkembangan tafsir berbahasa indonesia,
kiranya hanya kitab inilah yang memiliki corak penafsiran sufistik. Karya
mustapa termasuk ke dalam periode akhir dari fase perkembangan tafsir
sufistik yang semakin menurun. Pendekatan Tafsir Quranul Adhimi ini kiranya
seringkali dianggap kontroversial karena melibatkan "penyingkapan ruhani"
(kasyaf) penafsir dalam menjelaskan ayat melalui konsep sufistik.

19
Eni Zulaiha, Tafsir kontemporer: Metodologi, Paradigma, dan Standar Validitasnya,
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 1 (Juni 2017), hlm. 87.

8
Berikut contoh penafsiran Mustapa tentang Peralihan kiblat sebagai simbol
kembalinya hati ke esensi sejati menggunakan makna batin Al-Qur'an dengan
pendekatan sufistik. Dari sini tampak jelas bahwa cara pandang Mustapa ketika
membaca ayat senantiasa tidak lepas dari pokok pikirannya sebagai seorang
mistikus Sunda.
Bagi Mustapa, ayat tentang peralihan kiblat shalat (QS. Al Baqarah [2]: 118,
142-145) mesti dilihat sebagai simbol pergeseran spiritualitas kenabian
Muhammad menuju ke kesejatian diri. Secara historis,ayat tersebut diturunkan
ketika Nabi berusia lebih dari empat puluh, sebuah usia yang mencerminkan
kematangan spiritualitas. 20
Dalam pandangan Mustapa, timur dan barat adalah simbol dari perjalanan
usia manusia. Pagi baru berangkat, sore kembali. Orang ahli syariat kadang
bingung memaknai arah ini. Karenanya perjalanan spiritualitas pun menyertai
perjalanan usia ini. Maka ketika terjadi peralihan kiblat, Mustapa menjelaskan
tidak saja tujuannya untuk mengetahui siapa yang malik ati ka wiwitan jeung
kasebut malik kana urut indit atau ti dinya nya bijil ka dinya surupna.
Berbalik pada awal masa mulai beranjaknya spiritualitas, sebagaimana kakek-
kakek yang kembali menjadi anak-anak. Tetapi baginya, peralihan kiblat itu
juga menjadi simbol peralihan hati dan spiritualitas menanjak terus menuju
hakikat diri. Ia misalnya menyebut mashriq sebagai sapeletek sanubari bray
padang ku pancadria. Di tempat lainnya, ia menyebut mashriq sebagai metafor
mekarnya hati dan maghrib berarti kembali lagi ke mashriq yang tadi, yakni
tempat berangkat (masyrik hartina peletik ati, magrib balik kana masyrik deui,
panginditan).21 Bukan timur barat sebagai petunjuk dalil arah kiblat
sebagaimana dipahami kalangan syariat (fiqih). Namun, ini tidak saja sesuai
dengan kematangan usia Nabi Muhammad yang saat itu sudah mencapai usia
antara 40-60 tahun, tetapi juga menjadi petunjuk kematangan spiritual Nabi.
Mustapa menyebutnya sebagai bukti peninggalan (spiritualitas) Rasulullah

20
Haji Hasan Mustapa, Quranul Adhimi Adji Wiwitan Pelikan Ajal Kur 'an Sutji, hlm. 7-
10; Ajip Rosidi. Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana. hlm. 397-399.
21
Ibid., hlm. 417.

9
yang mengikuti usia beliau. Banyak orang yang berusaha mengikutinya, tetapi
sayang malah hilang ukuran ruhaninya sendiri. Mustapa menyebutnya bukan
salah yang diukur, tapi gagal mengukumya (moal salah nu diukur, ngan gagal
nungukurna).
5. Ciri Khas Penafsirannya
a. Penggunaan makna batin dalam penafsiran
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa tafsir ini merupakan
salah satu tafsir Nusantara yang memiliki corak penafsiran sufistik serta
sumber penafsiran berupa intuisi atau al-isyari, maka salah satu ciri khas
penafsiran dalam kitab ini adalah pengunaan makna batin di dalamnya.
b. Kepiawaian dalam menggunakan metafor alam kesundaan
Sebagaimana karya sastra terbesarnya berupa dangding sufistik
Sundanya yang juga menunjukkan kuatnya nuansa alam Sunda, ia
seringkali juga menggunakan nuansa alam Sunda itu ketika menjelaskan
makna batin ayat. Bahasa metafor alam Sunda menjadi cara Mustapa
mengekspresikan pemahamannya atas makna batin di balik ayat- ayat Al-
Qur'an itu. Ia mencoba menempatkan tafsirnya dalam lingkungan
kehidupan budaya Sunda. Ia misalnya menggunakan metafor alam seperti
susukan (sungai) dan tumbuh- tumbuhan seperti pohon cau (pisang).22
Metafor susukan (sungai) digunakan Mustapa ketika menafsirkan
QS. Al-Baqarah [2]: 256: La ikraha fiddin. "Taya paksa dina agama.
Asalna oge susukan palid sorangan, laku lampah asalna suka
sorangan, nu matak ditotondenan dina sagala lampahing lampah agama,
make basa lillahi ta 'ala, hartina lampah sukana sorangan, lain hayang
diburuhan." Ungkapan susukan palid sorangan merupakan metafor untuk
menggambarkan ketulusan beragama yang tanpa paksaan. Baginya
beragama harus disertai kesadaran yang muncul dari perasaannya sendiri.
Ibarat aliran sungai yang asalnya sejak dahulu mengalir sendiri, tanpa
diatur untuk dialirkan seperti sekarang (irigasi). Beragamalah

22
Haji Hasan Mustapa, Quranul Adhimi Adji Wiwitan Pelikan Ajat Kur 'an Sutji, Hal. 24:
Ajip Rosidi. Haji Hasan Mustapa jeng Karya-karyana, hlm. 339-429.

10
sebagaimana aliran sungai itu. Itulah makna beragama karena Allah (lillahi
ta 'ala), tanpa pamrih, bukan karena ingin mendapat upah.
c. Pemanfaatan bahasa sastra sunda lama seperti peribahasa, sisindiran, cerita
pantun dan lainnya
Mustapa juga seringkali memanfaatkan bahasa sastra sunda lama
seperti peribahasa, sisindiran, cerita pantun dan lainnya. Ia misalnya
menggunakan sisindiran yang menunjukkan pentingnya menghormati
tamu dalam konteks penafsirannya atas QS. Al-Lahab 1-5 :
Ieu surat kila-kila rek pindah, ninggalkeun Mekah ngalalana
ngabeubeukah. Ieu surat papadikan indit qulhu sumping qulhu; nu kadua
qulhu di pangumbaraan, teu tinggaleun kajaba ngan tuturunan tuturutan
tuturkeuneun turutaneun barudak jaga. Meungpeung aya semah mawa
Quran, saruakeun jeung Quran tuturunan, jadi kakawihan nini-nini
magahan barudak ngora kana someah ka semah, ngarah paninggalanana,
pokna:
Kembang kacang kembang kacang barudak geura heungkeutan. Semah
nganjang barudak geura deuketan// kembang kacang kembang kacang
barudak geura pipitan// semah nganjang barudak geura ciwitan//
kembang kacang kembang kacang barudak geura asakan, semah
nganjang barudak geura asaan.
6. Analisis Sosio Kultural / Politik (ketika tafsir tersebut dibuat)
Suasana sosial-keagamaan di tatar Sunda di penghujung abad 19, kiranya
tidak bisa dinafikan turut pula memberi warna akan kecenderungan pemikiran
sufistik Mustapa. Misalnya tampak saat berkembangnya pemikiran Islam
modernis atau "purisf Muslim" yang puncaknya ditandai dengan lahirnya
gerakan Muhammadiyah (1912) dan Persatuan Islam (1923) yang berupaya
melakukan perubahan budaya melalui pengidentifikasian tradisi Islam standar
ala Timur Tengah yang hendak dijadikan modus operandi dalam masyarakat

11
lokal. Mustapa memberikan respons dengan meneguhkan resistensinya dalam
mempertahankan identitas Islam lokal melalui dangding sufistik Sunda. 23
Corak pemikiran Haji Hasan Mustapa, meskipun sangat kental cakrawala
Islamnya, pengaruh religi lokal terhadap pemikirannya nampak, baik secara
implisit maupun eksplisit. Kultur religi masyarakat Sunda, seperti Juga
kelompok masyarakat lainnya di lndonesia, sangat kuat memegang tradisi
warisan leluhurnya. Namun, pengaruh budaya lokal tersebut, digunakan Haji
Hasan Mustapa sebagai medium (al-Wasilah) dalam mengungkap pesan-pesan
Islam. Terutama bahasa Sunda dan beberapa bahasa lainnya, seperti Melayu,
Jawa dan Arab.

D. Komentar Ulama Terhadap Kitab Tafsir


Tafsir Quranul Adhimi termasuk ke dalam tafsir fufi atau isyiiri.
Pendekatan pemikiranya seringkali dianggap kontroversial karena melibatkan
"penyingkapan ruhani" (kasyaf) penafsir dalam menjelaskan ayat melalui
konsep sufistik. Ia berusaha menakwilkan makna ayat-ayat Al-Qur'an secara
esoteris dan mistis atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh
seorang sufi dalam suluk-nya. 24
Dibanding tafsir sufi lainnya, Quranul Adhimi kiranya menunjukkan
karakteristik lokal tafsir yang lahir dari latar penulisnya dan lingkungan alam
budaya Sunda. Tetapi tema besar tasawuf yang menjadi pemikiran pokok
Mustapa kiranya menghubungkan dengan tradisi tafsir sufi. Karenanya pada
bagian ini penting kiranya menunjukkan pandangan dasar Mustapa tentang
makna batin Al-Qur'an untuk kemudian diungkapkannya dengan menggunakan
metafor alam kesundaan dan nuansa sastra Sunda dalam tafsir.
Makna batin dalam kisah dan mukjizat Dalam beberapa kisah mukjizat
para Nabi, Mustapa juga memberikan penafsiran secara batin. Ia kiranya tidak
mengacu pada makna mukjizat sebagai suatu anugerah Allah kepada para Nabi-

23
Jajang A Rohmana, Sastra Sufistik Sunda dan Peneguhan Identitas Islam Lokal:
Kontribusi Dangding Haji Hasan Mustapa (1852-1930), hlm.25
24
Hamid Abu Zaid, Tekstualitas AI-Qur 'an: Kritik terhadap 'Ulum al-Qur 'an, terj.
Khoiron Nahdliyyin. (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 252.

12
Nya untuk melemahkandan mengalahkan upaya lawanlawannya. Tetapi
baginya, mukjizat dimaknai sebagai metafor suasana hati N abi saat berhadapan
dengan penentangnya. Penafsiran secara metaforik atas makna mukjizat
digunakan Mustapa, misalnya atas kisah pembakaran Nabi Ibrahim dalam QS.
Al-Hajj (22]: 78:
"Jeu lautan agama dunya kabarahmaan dijimatan ku Muhammad, jejeg
timbang tarajuna, papakemna tigin anasir, bibitna mudal lea pancadriana, nu
matak jadi mukjizat, batur tutung ku seuneu Namrud. Ibrahim henteu tutung.
Teukahartieun. seuneu Ibrahim di ati, henteu teurak ku kasawat rajawisuna
antaran ti pancadria. Sundana mah maakasiksa ku banda, atuh jamak iman
Islam kitu. Para Nabi. para wali. para mu 'min nu baga sabar tawekal jadi
humul mujlihunna.25
Dalam ayat tersebut para ulama tafsir umumnya memahami secara. uhir
sesuai dengan bunyi ayat tersebut, yakni betul-betul Ibrahim dibakar oleh
Namrud. Tetapi Mustapa memahaminya sebagai metafor bahwa kekuatan ( api)
Ibrahim ada di hatinya, tentu tidak akan kalah (terbakar) oleh napsu Namrud
yang keluar dari pancaindranya. Kisah ini dimaknai sebagai pertempuran antara
hati melawan nafsu. Dalam kisah Nuh (QS. Nuh: 26-28), Mustapa juga
menafsirkan bahwa doa Nuh agar tidak menyisakan siapapun yang tidak beriman
kepadanya di muka bumi, sebagai metafor bahwa untuk mencapai ketauhidan
(penyatuan esensi diri) hams didahului dengan meninggalkan apapun yang bisa
mengganggu ruhaninya (bibilasan). Bahkan sampai merasakan 'kebanjiran dan
topan.'
Paneda Nabi Enuh ka Gusti Allah: Ulah nyesakeun hiji age nu teu
percayaeun ka kuring satungkebing bumi, kuriak baranahan. Mugi Gusti
ngahampura ka kuring, ka indung bapa kuring, ka mu 'min-mu 'min. Jeu ayat
silaka rek katohidan bibilasan heula, caritana tepi ka kabanjiran, topan.26

25
. Haji Hasan Mustapa, Quranul Adhimi Aqji Wiwitan Pelikan Ajal Kur'an Sutji, hlm. 23;
Ajip Rosidi, Haji Hasan Muslapa jeung Karya-karyana, him. 410-411.
26
Ibid., hlm. 416-417.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Haji Hasan Mustapa menulis sebuah kitab tafsir yang beliau berinama
Quranul Adhimi. Penulisan kitab tafsir ini dilatarbelakangi oleh beberapa
fakor, di antara pendukung Haji Hasan Mustapa menulis kitab tafsirnya itu
disebabkan karena beliau merupakan seorang santri sekaligus menak. Hasan
Mustapa atau lebih dikenal dengan sebutan Haji Hasan Mustapa dilahirkan di
Cikajang Garut (1852-1930). Sejak kecil, ia tidak pernah mengenyam
pendidikan formal, tetapi dibesarkan di lembaga pesantren, meskipun anak
seorang camat. Namun, di usia 7 tahun, Haji Hasan Mustapa sudah dikirim oleh
orang tuanya ke Mekkah untuk belajar Agama Islam. Kemudian kembali ke
kampungnya dan belajar di beberapa pesantren.
Sebagai seorang mistikus Sunda, Mustapa sedari awal menyadari bahwa
makna zahir dan batin tidak bisa dilepaskan dari Al-Qur'an. Baginya, hanya
ulama yang memiliki cukup ilmu dengan tahap spiritualitas tertentu bisa
menangkap makna keduanya. Ia menyebutnya dengan ahli siki, ahli eusi yakni
ahli isi dan esensi makna batin. Baginya, hanya bujangga yang cerdas dan
bijaksana yang bisa mengungkap rahasia dibalik makna zahir.
Berdasarkan pada definisi corak di atas, dalam sejarah perkembangan tafsir
berbahasa indonesia, kiranya hanya kitab inilah yang memiliki corak
penafsiran sufistik. Karya mustapa termasuk ke dalam periode akhir dari fase
perkembangan tafsir sufistik yang semakin menurun. Pendekatan Tafsir
Quranul Adhimi ini kiranya seringkali dianggap kontroversial karena
melibatkan "penyingkapan ruhani" (kasyaf) penafsir dalam menjelaskan ayat
melalui konsep sufistik.
B. Saran
Dari penulisan makalah ini, penulis menyadari akan banyaknya kekurangan.
Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Demi
kesempurnaan makalah ini kedepannya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fattah, “Tafsir Tematik Islam Moderat Perspektif Al-Qur’an.” MAGHZA:


Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 2020, 5(2):156–72. doi:
10.24090/maghza.v5i2.3125.
Afrizal Nur, “Konsep Wasathiyyah Dalam Al-Quran; (Studi Komparatif Antara
Tafsir Al-Tahrir Wa At-Tanwir Dan Aisar At-Tafasir).” 2015, Jurnal An-
Nur 4(2):205– 25.
Ajip Rosidi. Haji Hasan Mustapa jeung karyana karyana, Bandung: Pustaka. 1989.
Ambary, & Muarif, H. Suplemen Ensiklopedi Islam. Suplemen Ensiklopedi Islam,
2001.
Eni Zulaiha, Tafsir kontemporer: Metodologi, Paradigma, dan Standar
Validitasnya, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 1 (Juni
2017), hlm. 87.
Haji Hasan Mustapa, Quranul Adhimi Adji Wiwitan Pelikan Ajal Kur 'an Sutji, hlm.
7-10; Ajip Rosidi. Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana. hlm. 397-
399.
Hamid Abu Zaid, Tekstualitas AI-Qur 'an: Kritik terhadap 'Ulum al-Qur 'an, terj.
Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta: LKiS, 2001.
Hasan Mustapa. Tafsir Qur’anul Adhimi. Bandung: Kenging Ngumpulkeun
Wangsaatmadja. 1920.
Jajang A Rohmana, Memahami Makna Batin Kitab Suci: Tafsir Quranuladhimi
Haji Hasan Mustapa (1852-1930), Jurnal Al-Qalam, Vol. 34 No.1 (Januari-
Juni 2017).
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Seka/ah, Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, Jakarta: LP3ES. 1991.
Kartini, dkk. Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. 1985.
Khaira. Moderasi Beragama (Studi Analisi Kitab Tafsir Al-Muharrar Al-Wajiz
Karya Ibnu Athiyyah). Jakarta: Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ), 2020.

15
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI: Jakarta, 2019.
Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia. London: Routledge Curzon.
2012.
M. Nurdin Zuhri, Pasar Raya Tafsir Indonesia. Yogyakarta: Kaukabaka Dipantara,
2001.
Tini Kartini. et. al., Biografi dan Karyaa Pujangga Haji Hasan Mustapa, Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud Jakarta, 1985.
Yahya, Ngalogat di Pesantren Sunda : Menghadirkan yang Dimangkirkan"Sadur
Sejarah Terjemahaan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: KPG. 2009.

16

Anda mungkin juga menyukai