Anda di halaman 1dari 23

STUDI TAFSIR DI INDONESIA

TAFSIR RAUDHAT AL-‘IRFAN FII MA’RIFAT AL-QUR’AN


KARYA K.H. AHMAD SANUSI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Studi Tafsir di Indonesia
Dosen Pengampu: Budi Setiawan, S.Ud., M.Ag.

Disusun Oleh:
Alfiano Wahyu Nurdianata
NIM: 202031003
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-HIDAYAH
BOGOR
TAHUN 2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Muhammad serta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang istiqomah
mengikuti sunnah beliau hingga hari Kiamat kelak.

Makalah ini di buat guna memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah “Sejarah Tafsir di
Indonesia” yang berjudul “Tafsir Raudhatu al-‘Irfan”.

Makalah ini berisikan tentang biografi dari K.H. Ahmad Sanusi dan salah satu karyanya
dalam bidang tafsir yaitu “Tafsir Raudhatu al-‘Irfan”.

Namun terlepas dari itu semua, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan
makalah ini masih terdapat kekurangan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.

Semoga Alloh selalu memberikan kekuatan kepada kita untuk keistiqomahan dalam
menuntut ilmu dan segala kebaikan dan menjauhkan kita dari sifat malas dan segala keburukan.
Aamiin.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................1

A. Latar Belakang ...............................................................................................................1

B. Rumusan Masalah ..........................................................................................................2

C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................................3

A. Biografi K.H. Ahmad Sanusi..........................................................................................3

B. Tafsir Raudhotul Irfan Fii Ma’rifatil Qur’an ............................................................... 14

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 18

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 18

B. Saran ............................................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 20

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tafsir berasal dari kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup.
Karenanya ia dipahami sebagai penjelasan, penyingkapan, serta penampakan makna yang
dipahami akal dari al-Qur`an dengan menjelaskan makna yang sulit atau belum jelas.
Berbeda dengan terjemah yang mengalihbahasakan baik ḥarfiyyah ataupun tafsīriyyah
secara terbatas, tujuan tafsir diorientasikan bagi terwujudnya fungsi utama al-Qur`an
sebagai petunjuk hidup manusia menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.1
Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan
bahasa. Kajian tafsir di dunia Arab berkembang dengan cepat dan pesat karena bahasa Arab
adalah bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk
memahami al-Qur`an. Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan
bahasa Arab. Proses pemahaman al-Qur`an di Indonesia terlebih dahulu dimulai dengan
penerjemahan al-Qur`an ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan
penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu, dapat dipahami jika penafsiran al-
Qur`an di Indonesia melalui proses yang lebih lama dibandingkan dengan di tempat
asalnya.
Salah satu tafsir lokal adalah tafsir al-Qur`an berbahasa Sunda. Sunda adalah suku
dari kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa. Di tatar Sunda sendiri,
belum diketahui bagaimana penerjemahan dan penafsiran al-Qur`an awal ke dalam bahasa
Sunda. Namun, vernakularisasi (proses pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari
bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara) awal setidaknya tampak pada beberapa kosa
kata Arab yang mempengaruhi bahasa Sunda seperti pada naskah Carita Parahiyangan dan
Sri Ajnyana dari abad ke-16 M. Selain itu, dari studi filologi naskah-naskah Sunda abad
ke-18 M, diketahui bahwa hanya terdapat sedikit naskah tentang kajian al-Qur`an
dibanding kajian fiqih,. Ini menunjukkan bahwa Islamisasi hampir selalu diawali berbagai
pembahasan praktik keagamaan (fiqih) dibanding aspek literasi dan intelektual. Ini juga
menunjukkan bahwa kajian al-Qur`an sudah berkembang setidaknya pada abad ke-18 M
seiring dengan menguatnya Islam pasca jatuhnya kerajaan Sunda pada tahun 1579 M.

1
Kajian Al-Qur’an di Tatar Sunda — Jajang A Rohmana 215

1
Dibanding terjemah al-Qur`an, tafsir berbahasa Sunda kiranya berkembang lebih
belakangan. Beragam aksara, dialek bahasa, metode, dan latar ideologis kiranya menghiasi
perkembangan tafsir Sunda. Dibanding tafsir lokal lain di Nusantara, tafsir Sunda kiranya
cukup banyak dengan lebih dari belasan tafsir yang pernah dipublikasikan. 2
Pada awal abad ke-20 M inilah banyak ditemukan karya-karya yang luar biasa dari
para penafsir Sunda, diantaranya adalah tafsir Raudhatul ‘Irfân fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân yang
ditulis dengan aksara pegon oleh K.H. Ahmad Sanusi3, seorang putra Sukabumi yang
pernah berkiprah di panggung nasional di era 1920-an sampai dengan 1950-an, yang
pernah menorehkan tinta emas dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Republik
Indonesia4. Karya dari K.H. Ahmad Sanusi ini menarik untuk kita bahas, hal tersebut
menjadi salah satu dari banyak alasanya penyusun ingin membahas salah satu karya dalam
bidang tafsir al-Qur’an dari K.H. Ahmad Sanusi yang berjudul Raudhatul ‘Irfân fĩ
Ma’rifāti Al-Qur’ân.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi K.H. Ahmad Sanusi?


2. Apa metode dan corak yang digunakan dalam penulisan tafsir Raudhatul ‘Irfân fĩ
Ma’rifāti Al-Qur’ân?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui biografi K.H. Ahmad Sanusi.


2. Mengetahui metode dan corak yang digunakan dalam penulisan tafsir Raudhatul ‘Irfân
fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân.

2
KAJIAN AL-QUR`AN DAN TAFSIR DI INDONESIA 53 & RAGAM TAFSIR NUSANTARA Varian Lokal, Kreativitas
Individual, dan Peran Perguruan Tinggi dan Media Sosial 20
3
Kajian Al-Qur’an di Tatar Sunda — Jajang A Rohmana 215
4
KYAI HAJI AHMAD SANUSI : SEJARAH HIDUP DAN PEMIKIRANNYA DALAM MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN
AGAMA, BANGSA, NEGARA DAN MASYARAKAT 64

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Biografi K.H. Ahmad Sanusi

 Masa Kecil (1888 – 1905)


Ahmad Sanusi dilahirkan pada 12 Muharram 1306 H5. Sementara itu, berdasarkan
keterangan yang terdapat di atas batu nisan makamnya, Ahmad Sanusi dilahirkan pada tanggal
3 Muharam 1306 H. Terkait dengan tanggal kelahiran Ahmad Sanusi dalam tahun masehi, ada
penulis yang menafsirkan kelahirannya pada 18 September 1889 dan juga 18 September 1888
M, akan tetapi Miftahul Falah dalam bukunya menegaskan bahwa kelahiran K.H. Ahmad
Sanusi dalam tahun Masehi lebih tepat pada 18 September 1888 M 6 di Kampung Cantayan
Desa Cantayan Kecamatan Cantayan Kabupaten Sukabumi (daerah tersebut dulunya bernama
Kampung Cantayan Desa Cantayan Onderdistrik Cikembar, Distrik Cibadak, Afdeeling
Sukabumi) putra ketiga dari delapan bersaudara pasangan K.H. Abdurrohim (Ajeungan
Cantayan, Pimpinan Pondok Pesantren Cantayan) dengan Ibu Empok 7. Dan meninggal pada
tanggal 15 Syawal 1369 H (1950) di usia 63 tahun8. K. H. Abdurrohim merupakan seorang
ajengan atau kiyai sekaligus pemilik pesantren Cantayan. Berdasarkan cerita yang
berkembang di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya, K. H. Abdurrahim berasal dari
Sukapura (Tasikmalaya).
Ketika Ahmad Sanusi menginjak usia 7 tahun, dirinya diberi tugas untuk menggembalakan
kambing milik ayahnya.. Tugasnya itu dijalani oleh Ahmad Sanusi sampai ia berusia 10 tahun.
Selama lima tahun kemudian, tepatnya dari usia 10 tahun sampai berusia 15 tahun, Ahmad
Sanusi tetap diberikan tugas menggembala hewan peliharaan oleh orang tuanya, yaitu kerbau.
Menginjak usianya 15 tahun, Ahmad Sanusi disuruh menjaga kuda, kandang kuda, dan
memotong rumput untuk makanan seluruh hewan peliharaan milik ayahnya9.
Di tengah-tengah kesibukannya menggembalakan hewan peliharaannya, Ahmad Sanusi
diberi pendidikan dasar keagamaan oleh orang tuanya. Membaca Al Qur’an dan praktik-

5
KYAI HAJI AHMAD SANUSI : SEJARAH HIDUP DAN PEMIKIRANNYA DALAM MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN
AGAMA, BANGSA, NEGARA DAN MASYARAKAT 65
6
Riwayat Perjuangan K. H. Ahmad Sanusi: Sukabumi pada Pergantian Abad Ke-19 – Abad Ke-20 11-12
7
KYAI HAJI AHMAD SANUSI : SEJARAH HIDUP DAN PEMIKIRANNYA DALAM MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN
AGAMA, BANGSA, NEGARA DAN MASYARAKAT 66
8
Dialektika Modernis dan Tradisionalis ... Al-Qānūn, Vol. 11, No. 1, Juni 2008
9
Riwayat Perjuangan K. H. Ahmad Sanusi: Sukabumi pada Pergantian Abad Ke-19 – Abad Ke-20 19

3
praktik ibadah lainnya secara rutin diberikan kepada Ahmad Sanusi. Keadaan seperti itu yang
kemudian mampu membentuk karakter Ahmad Sanusi sebagai seseorang yang memiliki
landasan keagamaan sangat kuat. Dengan demikian, sejak kecil Ahamad Sanusi telah
mengalami proses internalisasi terhadap masalah-masalah keagamaan. Selain itu, K.H.
Abdurrahim menginginkan anak-anaknya menjadi serang ulama sehingga proses pendidikan
keagamaan telah dilakukan terhadap Ahmad Sanusi, juga kepada saudara kandung lainnya,
sejak usia dini. Keinginan tersebut merupakan fenomena umum yang menghinggapi harapan
para kyai di Pulau Jawa10. Jadi Ahmad Sanusi dibesarkan di lingkungan keluarga yang Islami
di pesantren Cantayan kurang lebih sampai usia 16 tahun11.
 Menuntut Ilmu ke berbagai Pesantren (1905 – 1910)
Ahmad Sanusi mulai melanglang buana ke berbagai pesantren untuk mencari, menimba
dan mendapatkan wawasan keilmuan serta untuk mencari dan mendapatkan keberkahan
(tabarukkan) dari para Ulama yang berpengaruh yang ada di pulau jawa (Jawa Barat) selama
4,5 tahun. Ulama dan pesantren yang pernah ia kunjungi,diantaranya:
1) Ajengan Soleh
2) Ajengan Anwar
Pesantren Selajambe (Cisaat, Sukabumi), lamanya nyantri sekitar 5 bulanan.
3) Ajengan Muhammad Siddiq; Pesantren Sukamantri (Cisaat, Sukabumi), lamanya nyantri
sekitar 2 bulanan.
4) Ajengan Sulaeman
5) Ajengan Hafidz
Pesantren Sukaraja (Sukaraja Sukabumi), lamanya nyantri sekitar 5 bulanan
6) Ajengan Cilaku; Pesantren Cilaku (Cianjur) untuk belajar ilmu Tasawwuf, lamanya nyantri
sekitar 10 bulanan.
7) Ajengan Ciajag; Pesantren Ciajag (Cianjur), lamanya nyantri sekitar 5 bulanan.
8) Ajengan Ahmad Syatibi
9) Ajengan Mohammad Qurtubi
Pesantren Gentur Warung Kondang (Cianjur), lamanya nyantri 6 bulanan.

10
Riwayat Perjuangan K. H. Ahmad Sanusi: Sukabumi pada Pergantian Abad Ke-19 – Abad Ke-20 19-20
11
KYAI HAJI AHMAD SANUSI : SEJARAH HIDUP DAN PEMIKIRANNYA DALAM MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN
AGAMA, BANGSA, NEGARA DAN MASYARAKAT 66

4
10) Ajengan Buniasih; Pesantren Buniasih (Cianjur), lamanya nyantri sekitar 2 bulanan.
11) Ajengan Keresek; Pesantren Keresek Blubur Limbangan (Garut), lamanya nyantri sekitar
6 bulanan.
12) Ajengan Sumursari; Pesantren Sumursari (Garut), lamanya nyantri sekitar 4 bulanan.
13) Ajengan R. Suja’I; Pesantren Gudang (Tasikmalaya), lamanya nyantri sekitar 10 bulanan.
14) Ajengan Affandi; Pesantren Babakan Selaawi Baros Sukabumi. 12
Setelah melanglangbuana ke berbagai pesantren selama 4 ½ tahun sampai dengan tahun
1909 M, akhirnya Ahmad Sanusi kembali ke Sukabumi dan masuk ke Pesantren Babakan
Selaawi. Dipesantren inilah Ahmad Sanusi mengakhiri masa lajangnya setelah bertemu dengan
seorang gadis yang bernama Siti Djuwariyah putri dari Ajengan Affandi yang akhirnya ia
menikahi gadis tersebut.13
 Masa Mukim di Mekkah al-Mukarramah (1910-1915)
Beberapa bulan kemudian pada tahun 1910 Ahmad Sanusi beserta istri berangkat ke
Mekkah al-Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Selanjutnya setelah
selesai menunaikan ibadah Haji ia beserta istri tidak langsung pulang ke kampung halaman,
namun mereka bermukim di Mekkah al-Mukarromah selama 5 tahun untuk memperdalam,
mematangkan dan menambah wawasan keilmuan serta pengalaman dengan melakukan kontak
baik kepada para ulama tingkat Nasional dan Internasional, maupun kepada para tokoh
pergerakan Nasional dan Internasional yang sedang mukim di Mekkah al-Mukarramah dan
Timur Tengah. Para ulama dan tokoh pergerakan, baik yang ia kunjungi untuk ditimba ilmunya
maupun untuk dijadikan teman diskusi dan ikut serta dalam pergumulan pemikiran para tokoh
Pan Islamisme dunia saat itu yang sedang berkembangan pesat di Mekkah al-Mukarramah,
yaitu; Dari Kalangan Ulama, diantaranya:
1) Syeikh Saleh Bafadil; 2) Syeikh Maliki; 3) Syeikh Ali Thayyib; 4) Syeikh Ahmad
Khatib Al-Mingakabawi; 5) Syeikh Zaeni Dahlan; 6) Syeikh Said Jawani; 7) Syeikh Haji
Muhammad Junaedi; 8) Syeikh Haji Abdullah Jawawi; 9) Syeikh Haji Raden Muh. Mukhtar
bin ‘Atharid al-Bughuri, dll.
Dari Kalangan Kaum Pergerakan, diantaranya:

12
KYAI HAJI AHMAD SANUSI : SEJARAH HIDUP DAN PEMIKIRANNYA DALAM MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN
AGAMA, BANGSA, NEGARA DAN MASYARAKAT 66-67
13
Riwayat Perjuangan K. H. Ahmad Sanusi: Sukabumi pada Pergantian Abad Ke-19 – Abad Ke-20 22-23

5
1) K.H Abdul Halim (Tokoh Pendiri PUI Majalengka); 2) Haji Abdul Muluk (Tokoh SI);
3) K.H Abdul Wahab Hasbullah (Tokoh pendiri NU); 4) K.H Mas Mansyur (Tokoh
Muhammadiyyah), dll.
Bergumul dengan dengan para Tokoh Pan Islamisme dunia, diantaranya:
1) Jamaluddin al-Afghani; 2) Muhammad Abduh; 3) Sayid Rasyid Ridho, dll.
Selain Ilmu Agama yang Ia pelajari dan dalami, ia juga mempelajari dan mendalami ilmu-
ilmu umum seperti Ilmu Fisika, Ilmu Kimia, dll. Ahmad Sanusi ikut terlibat dengan jaringan
ulama (Muslim terpelajar) di Haramain (Mekkah dan Madinah). Bahkan di tahun 1913, ketika
Ahmad Sanusi masih berada di Haramain, Ia menjadi salah seorang anggota Partai Syarekat
Islam Indonesia. Fakta-fakta ini menandakan bahwa adanya keterlibatan Ahmad Sanusi dalam
Koneksi Ulama di Asia Tenggara 14.
 Mengabdi di Pesantren Cantayan (1915-1921)
Pada bulan Juli 1915 M, Ahmad Sanusi kembali ke kampung halamannya untuk membantu
ayahnya mengajar di pesantren Cantayan. Gaya mengajar yang ia terapkan kepada santri dan
jama’ahnya berbeda dengan gaya mengajar Kiyai lain pada umumnya, sehingga materi yang
disampaikan dapat diterima dengan mudah oleh santri dan jama’ahnya, maka tidak heran
dalam kurun waktu kurang lebih 4 tahun sejak kepulangannya dari Mekkah, nama Ahmad
Sanusi dengan cepat di kenal oleh masyarakat, sehingga ia mendapat julukan Ajengan
Cantayan. Julukan ini pertama kali diberikan oleh masyarakat kepada ayahnya, yang
selanjutnya ditunjukkan kepada Ahmad Sanusi15.
 Mendirikan pesantren genteng sembari memberikan pencerahan keilmuan kepada
masyarakat (1921-1928)
Sistem mengajar yang dilakukan oleh Ahmad Sanusi dengan menggunakan bahasa yang
sederhana dan menerapkan metode Halaqah, dengan didukung oleh kemampuan berpidato
yang luar biasa dan dengan semakin bertambah ketenarannya, sehingga ber dampak terhadap
semakin banyaknya masyarakat dari berbagai daerah untuk mengikuti pengajian tersebut,

14
KYAI HAJI AHMAD SANUSI : SEJARAH HIDUP DAN PEMIKIRANNYA DALAM MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN
AGAMA, BANGSA, NEGARA DAN MASYARAKAT 67-68
15
KYAI HAJI AHMAD SANUSI : SEJARAH HIDUP DAN PEMIKIRANNYA DALAM MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN
AGAMA, BANGSA, NEGARA DAN MASYARAKAT 69

6
karena disamping menarik dari isi materi yang disampaikannya juga simpati terhadap
perjuangannya16.
Melihat kondsi seperti itu, ayahnya menyarankan kepada Ahmad Sanusi untuk mendirikan
sebuah pesantren. Sesuai dengan saran ayahnya, maka pada tahun 1921, ia mendirikan sebuah
pesantren di Kampung Genteng, Distrik Cibadak Afdeeling Sukabumi. Maka julukan untuk
Ahmad Sanusi bertambah pula, tidak hanya dijuluki Ajengan Cantayan juga dijuluki Ajengan
Genteng.
Karena kedalaman ilmu dan luasnya pengetahuan yang ia miliki, maka tidak heran banyak
masalah-masalah yang dibahas secara tuntas oleh Ahmad Sanusi baik masalah yang
berhubungan dengan masalah pemikiran keagamaan yang berkembang saat itu termasuk yang
menyangkut gerakan-gerakan pembaharuan, maupun masalah-masalah yang berhubungan
dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun memimpin
Pesantren Genteng, pemikiran-pemikiran keagamaannya diterbitkan dalam beberapa buah
kitab. Dengan demikian, maka pemikirannya lebih dikenal lagi oleh khalayak ramai dan
sekaligus menambah harum nama Ahmad Sanusi dimasyarakat luas 17.
 Masa Pembuangan dan berdirinya organisasi Al-Ittihaaddiyatul Islamiyyah (1928-1934)
Pada bulan Agustus 1927 dekat Pesantren Genteng terjadi insiden pengrusakan rel kereta
api dan dua jaringan kawat telepon yang menghubungkan Sukabumi, Bandung dan Bogor.
Peristiwa ini dijadikan sebagai bukti Pemerintah Hindia Belanda untuk menangkap dan
menahannya. Dengan alasan itulah ia mendekam di Penjara Cianjur selama 9 bulan sampai
bulan Mei 1928, terus dipindahkan ke Penjara Kota Sukabumi sampai November 1928.
Selanjutnya sejak bulan November 1928 Ahmad Sanusi diasingkan atau dibuang ke Tanah
Tinggi Senen Batavia Centrum.
Di tempat pengasingan, Ahmad Sanusi menunjukkan dirinya sebagai ulama produktif
dalam menulis kitab-kitab. Kitab yang ia tulis kebanyakan permintaan dari masyarakat untuk
membahas dan mengkaji permasahan yang berkembang di masyarakat dengan berdatangannya
para mujadid yang membahas tentang khilafiyyah dalam keagamaan. Pada tahun 1931 para
pengikutnya mengadakan pertemuan di pesantren Babakan Cicurug yang dipimpin oleh K.H.

16
KYAI HAJI AHMAD SANUSI : SEJARAH HIDUP DAN PEMIKIRANNYA DALAM MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN
AGAMA, BANGSA, NEGARA DAN MASYARAKAT 69-70
17 17
KYAI HAJI AHMAD SANUSI : SEJARAH HIDUP DAN PEMIKIRANNYA DALAM MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN
AGAMA, BANGSA, NEGARA DAN MASYARAKAT 70-71

7
Muh. Hasan Basri. Materi yang dibahas yaitu membicarakan berbagai persoalan keagamaan
dan kemasyarakatan, lebih-lebih dengan munculnya berbagai kritikan dari kelompok mujaddid
tentang masalah khilafiyyah. Dalam pertemuan inilah muncul gagasan yang disepakati
bersama untuk mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Al-Ittihadiyatul Islamiyyah
(AII). Kesepakatan tersebut disampaikan kepada Ahmad Sanusi di Batavia Centrum. Setelah
dipelajari secara seksama, akhirnya ia menyetujui berdirinya organisasi tersebut. Sesuai
dengan sarannya agar mengadakan kembali pertemuan untuk penyusunan kepengurusan, maka
pada tanggal 20-21 November 1931, disepakatilah dalam pertemuan tersebut bahwa Ahmad
Sanusi dikukuhkan sebagai Ketua AII18.
 Menjadi Tahanan Kota (1934- 1942)
Pada tanggal 3 Juli 1934, Gubernur Jenderal de Jonge mengeluarkan keputusan
mengembalikan Ahmad Sanusi ke Sukabumi dengan status tahanan. Maka Ahmad Sanusi
bersama keluarganya menuju Kota Sukabumi, awalnya tinggal di Cipelang Gede, selanjutnya
ia menempati sebuah rumah di De Vogel Weeg No.100 Desa Gunungpuyuh (sekarang Jalan
Bhayangkara No.33 Kelurahan/ Kecamatan Gunungpuyuh Kota Sukabumi) yang tempatnya
tidak begitu jauh dari perbatasan Kota Sukabumi dengan Kabupaten Sukabumi. Pada akhir
tahun 1934, Ahmad Sanusi mendirikan Pondok Pesantren Gunungpuyuh yang lokasinya
berada di belakang rumahnya, dalam perkembangan berikutnya Pondok Pesantren tersebut
diberi nama: Pergoeroean Syamsoel ’Oeloem19.
 Menuju Indonesia Merdeka (1942-1945)
Pada tahun 1942 Jepang menguasai Sukabumi dengan mengambil alih kekuasaan
pemerintah kolonial Belanda melalui mobilisasi militernya, setelah mendapat bantuan dari
Ahmad Sanusi yang memerintahkan anggota AII dan BII (Barisan Islam Indonesia); -
organisasi kepanduan anderbouw dari AII. -Awalnya bernama BAII (Barisan Al-Ittihadiyatul
Islamiyyah)- untuk menunjukkan pusat-pusat pertahanan Hindia Belanda di Sukabumi.
Pada 1 Februari 1943, diadakan latihan Ulama yang diselenggarakan oleh pemerintah
militer Jepang bertempat di Kantor Masjoemi Jalan Imamura No.1 Jakarta. Ahmad Sanusi

18
KYAI HAJI AHMAD SANUSI : SEJARAH HIDUP DAN PEMIKIRANNYA DALAM MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN
AGAMA, BANGSA, NEGARA DAN MASYARAKAT 71-72
19
KYAI HAJI AHMAD SANUSI : SEJARAH HIDUP DAN PEMIKIRANNYA DALAM MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN
AGAMA, BANGSA, NEGARA DAN MASYARAKAT 72

8
menjadi instruktur dalam kegiatan tersebut Bersama-sama H. Agus Salim, Dr. Amrullah, dan
lain-lain.
Pada bulan Oktober 1943, Ahmad Sanusi diangkat menjadi anggota Dewan Penasehat
Daerah Bogor (Giin Bogor Shu Sangi Kai). Namun sebelum menyatakan bersedia ia
mengajukan perysaratan kepada pemerintah militer Jepang, diantaranya agar AII dihidupkan
kembali, karena sebelumnya semua organisasi yang lahir pada jaman pemerintah kolonial
Belanda di bubarkan oleh pemerintah militer Jepang. Persyaratan tersebut dikabulkan oleh
pemerintah militer Jepang yang akhirnya AII hidup kembali, dengan merubah nama yaitu
menjadi Persatoean Oemmat Islam Indonesia (POII).
Pada bulan Januari 1944, untuk menyebar luaskan rasa Nasionalisme dikalangan
masyarakat, maka ia menjadi kepengurusan Jawa Hokokai (Kebangkitan Jawa) mewakili
Masyumi Bersama dengan K.H. Wahid Hasyim dan Djoenaedi.
Sejak Mei 1944, Ahmad Sanusi diangkat menjadi wakil POII dalam Masyumi, bahkan ia
duduk di jajaran kepengurusan Masyumi.
Pada tanggal 2 November 1944, pemerintah militer Jepang akan mengangkat Mr.R.
Syamsuddin untuk menjadi Walikota Sukabumi (Shicho), sebelum diangkat meminta
persetujuannya terlebih dahulu Ahmad Sanusi. Selanjutnya, satu bulan kemudian giliran ia
diangkat menjadi Wakil Residen (Fuku Syucokan) Bogor.
Sesuai dengan harapan pemerintah pada saat itu di Keresidenan Bogor (Bogor Syu), Ahmad
Sanusi membentuk tentara PETA (Pembela Tanah Air), yang disepakati oleh para alim ulama
se-wilayah Bogor (Bogor Shu) ketika mengadakan pertemuan di Pesantren Gunungpuyuh.
Selanjutnya untuk menjadi komandannya disiapkanlah beberapa orang kiyai, diantaranya K.H.
Acun Basyuni dan K.H. Abdullah bin Nuh.
Pada tanggal 1 Maret 1945, Saiko Shikikan (Panglima militer tertinggi), Jenderal Kumakici
Harada mengumumkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan). Pada 28 Mei 1945 BPUPKI diresmikan oleh pemerintah
militer Jepang di Gedung Chou Sangi In, Ahmad Sanusi menjadi anggota BPUPKI Nomor
urut 2 (dua) dengan posisi duduk pada kursi nomor urut 36 (Tiga puluh enam) bersebalahan
dengan R. Soekarjo Wirjopranoto20.

20
KYAI HAJI AHMAD SANUSI : SEJARAH HIDUP DAN PEMIKIRANNYA DALAM MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN
AGAMA, BANGSA, NEGARA DAN MASYARAKAT 72-74

9
 Perjuangan pada Masa Kemerdekaan (1945-1950)
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka yang diproklamirkan oleh Bung Karno
dan Bung Hatta. Ahmad Sanusi saat itu berada di Pesantren Gunungpuyuh, karena sejak sidang
BPUPKI usai pada tanggal 16 Juli 1945 dan setelah terbentuknya PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 7 Agustus 1945, maka ia kembali kepesantren untuk
mengajar santri dan masyarakat yang senantiasa menunggu dengan setia untuk mendapatkan
pencerahan tentang ilmu-ilmu ke-Islaman, kenegaraan, kebangsaan, dan lain-lain.
Pada tanggal 22 Agustus 1945, sidang PPKI telah berhasil membentuk dam menetapkan
KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) sebagai lembaga pembantu kepresidenan sampai
terbentuknya MPR hasil Pemilu, dan BKR (Badan Keamanan Rakyat)-sekarang TNI- yang
bertugas membantu korban perang dan menjaga ketertiban serta keamanan umum.
Pada tanggal 29 Agustus 1945, Ahmad Sanusi dipilih menjadi salah satu anggota KNIP,
sehingga ia meninggalkan kembali pesantren untuk menghadiri kegiatan-kegiatan yang di
adakan oleh KNIP. Karena ia termasuk sebagai anggota KNIP, pada saat Pemerintah RI
sepakat dengan NICA (pemerintahan sipil Hindia Belanda) untuk menandatangani perjanjian
Renville pada tahun 1948, -yang salah satu perjanjiannya bahwa pejabat pemerintah RI harus
Hijrah ke Yogyakarta, karena Jawa Barat telah jatuh ke tangan pasukan Belanda,- maka ia
hijrah ke Yogyakarta beserta pejabat pemerintah RI lainnya.
Setelah terbentuk BKR di Nasional dan Jawa Barat, maka di daerah-daerah terbentuk pula
BKR termasuk di Kota dan kabupaten Sukabumi, maka tidak heran apabila Ahmad Sanusi
beserta para tokoh masyarakat dan alim ulama Sukabumi membentuk pula BKR Sukabumi
dengan komandannya ditunjuk Ajengan Acun Basyuni (Anggota AII dan Komandan BII yang
bermarkas di Pesantren Gunungpuyuh).
Sedangkan KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) pada tanggal 27 Agustus 1945,
setelah KNID Keresidenan Bogor terbentuk, maka ia beserta segenap tokoh masyarakat
Sukabumi mem bentuk KNID Kotapraja Sukabumi dengan Ketuanya dr. Abu Hanifah
(Direktur Rumah Sakit St. Ludwina Bunut pada saat itu).
Pada tahun 1949, ada satu keputusan politik yang sangat subtantif yang ia ambil demi
keutuhan NKRI dan mengedepankan kepentingan bangsa dan Negara, yaitu menolak Darul
Islam yang diproklamirkan oleh S.M. Kartosuwiryo, sebab apa yang digariskan oleh
Kartosuwiryo -sebagaimana yang tertera dalam Anggaran Dasar Darul Islam-, dinilai banyak

10
yang tidak sesuai dengan ke-Islaman, seperti adanya hak veto yang di pegang oleh sang Imam
(Kartosuwiryo). Sikap ini nampaknya di ikuti pula oleh hampir seluruh pengikutnya dan bekas
santri-santrinya, termasuk oleh K.H. Yusuf Tauzirie dari Pesantren Cipari Garut, padahal
Yusuf Tauzirie sebelumnya merupakan teman dekat Kartosuwiryo, khususnya sewaktu mereka
sama-sama aktif di PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia).
Ahmad Sanusi bersama sahabatnya K.H. Abdul Halim dari Majalengka bercita-cita ingin
menyatukan organisasi POII (Persatuan Oemmat Islam Indonesia) dan POI (Perikatan Oemmat
yang renacananya sudah dirintis sejak tahun 1935. Namun sang pencipta berkehendak lain,
maka dalam usia 63 tahun ia telah mendahului, dipanggil oleh sang illahi dengan tenang di
Pesantren Gunungpuyuh.
Adapun cita-citanya tersebut ditindaklanjuti oleh murid dan shahabatnya Mr. Syamsuddin
(Wakil Ketua Umum POII) yang pernah menjabat Duta Besar Indonesia di Negara Pakistan,
namun setelah membuat surat tentang keinginan untuk melanjutkan cita-cita Ahmad Sanusi ke
K.H. Abdul Halim ternyata begitu surat sampai ke tangan K.H. Abdul Halim, ia dipanggil oleh
yang maha kuasa di Jakarta. Kemudian cita-cita tersebut dilanjutkan oleh anak, adik dan santri,
Ahmad Sanusi, sehingga terwujud pada tanggal 5 April 1952 di Bogor.
 Penghargaan yang diberikan kepada Ahmad Sanusi
1) Perintis Kemerdekaan dari Pemerintah Republik Indonesia.
2) Tertulis dan tercatat dalam sebuah prasasti di Gedung KAA Bandung sebagai salah satu
anggota BPUPKI
3) Bintang Maha Putra Utama dari Presiden Republik Indonesia; yang di anugerahkan oleh
Presiden Soeharto pada tanggal 12 Agustus 1992.
4) Bintang Maha Putra Pradana dari Presiden Republik Indonesia; yang di anugerakan oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 November 2009.
5) Gelar Pahlawan Nasional; dianugerahkan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara
pada 7 November 20
6) Namanya diabadikan:
a) Oleh Pemerintah Kota Sukabumi:
(1) menjadi nama salah satu jalan di Kota Sukabumi, yang menghubungkan antara jalan
Cigunung sampai dengan Degung, yaitu Jalan K.H.A. Sanusi;

11
(2) menjadi nama terminal Type A di Sukabumi, yaitu Terminal Type A K.H. Ahmad
Sanusi.
b) Oleh YASPI Pondok Pesantren Syamsul’Ulum Gunungpuyuh Sukabumi, menjadi nama
Auditorium yang terletak di Kompleks Pondok Pesantren Syamsul’Ulum Gunungpuyuh
Sukabumi, yaitu Auditorium K.H. Ahmad Sanusi.
7) Hasil buah karyanya yang monumental yakni Tafsir Raudhotul Irfan Fii Ma’rifatil Qur’an,
diabadikan oleh mantan Gubernur Jawa Barat (Dr. K.H. Ahmad Heriawan, Lc, M.Si)
menjadi nama sebuah Masjid Raya Provinsi Jawa Barat yang terletak di Jalan Jalur Lingkar
Selatan Cibolang Sukabumi, yaitu Masjid Raya Raudhotul Irfan.
 Karya-karyanya
Ahmad Sanusi yang produktif terhadap pemahaman bidang studi agama, ia di pandang
sebagai ulama, mufasir, pemikir, politisi, penggagas dalam organisasi, terbukti ia banyak
menghasilkan karya tulis diberbagai bidang keilmuan21. Kitab-kitab karangan Ahmad Sanusi
yang berbahasa Sunda memiliki beberapa bidang di antaranya:
1) Bidang Tafsir:
a) Tamsiyyat al-Muslimīn fī Kalāmi Rabb al-‘Âlamīn (Perjalanan Muslimin dalam Firman
Tuhan Rabb Al‟Alamiin) 1937,
b) Raudhatul Irfān fī Ma’rifaātil Al-Qur’an (Taman Ilmu Pengetahuan) 1935.
c) Maljau at-Thâlibīn fī Tafsīr Kalâm Rabb al-‘Âlamīn.
d) Kashf al-Auhâm wa al-Zunūn fī Bayân Qaulih Ta’âlâ Lâ Yamassuhū illa al-
Muthohharūn.
e) Ushul al-Islâm fī Tafsīr Kalâm al-Muluk al-‘Alam fi Tafsīr Sūrah al-Fâtihah
f) Tafriju Qulūbil al-Mu’minîn (dua faedah Yaasin 1936
g) Tafsīr Sūrah Yāsīn 1936,
h) Tafsīr Sūrah Kahfi
i) Tafsīr Al-Qurân, 1940
j) Hidayâh Qulūb as Shibyan fi Fadlail Sūrah Tabârak al-Mulk min al-Qurân
k) Kasyf as-Sa’âdah fī Tafsīr Sūrah Wâqi’ah
l) Silâhu al-Irfân
2) Bidang ilmu Fiqih;

21
Wawan Hernawan, Seabad Persatuan Ummat Islam (1911-2011) hlm.79-85,

12
a) Tahdzir al-‘Awam fi Mufiariyat (Cahaya Islam)
b) Al-Mufhamât fi Daf’I al-Khayalat
c) At-Tanbīh al-Mahir fi al-Mukhalith
d) Tarjamah Fiqh al-Akbar as-Syafi’i
e) Al-Jauhar al-Mardliyah fi Mukhtar al-Furu as-Syafī’iyah
f) Nūrul Yaqin fi Mahwi Madzhab al-Li’ayn wa al-Mutanabbi’īn wa al-Mubtadi’īn.
g) Tasyfif al-Auham fi ar-Radd’an at-Thaqham
h) al-Isyārah (Membedakan antara dhiyafah dan Shadaqah),
i) Bab Taraweh,
j) bab kematian,
k) Bab Hadiyah Fath al- Muqlatain (tentang pendirian jum’ah) 23
l) Kitab bab Tiung (kerudung),
m) Al-Suyūfu al-Sarimah (menolak macam-macam bid’ah),
n) Al Hidāyah (Menerangkan Hadits-hadits kitab Safinah),
o) Bab Zakāt dan Fitrah.
3) Bidang Tasawuf:
a) Matli’ Anwâr (Bab Istighfar 1936),
b) Al-Tamsyiyah al-Islâm fi Manaqib al-Aimmah (Imam empat)
c) Fakhr al-Albāb fi Manaqib (Wali-wali)1938
d) Sirâj al-Adzkiyâ fī Tarjamah al-Azkiyâ
e) Al-Audiyah as-Syafi’iyah fi Bayân Shalat al-Hajah wa al-Istikhârah
f) Siraj al-Afkâr
g) Dalil as-Sairin
h) Jauhar al-Bahiyah fi Adâb al-Mar’ah al-Mutazawwiyah
4) Bidang Ilmu Tauhid;
a) Tauhid Al Muslimīn 1936,
b) Mandumat al-Rizāl (Tawasul kepada Auliya),
c) Nur al-Yaqîn (penolakan terhadap Ahmadiyah Qadiyan dan Lahore),
d) Al Mufhimât, (menerangkan perbid’ah an dan Ijtihad, 1932)
e) Nūr al-ḹman (cahaya Iman ),
f) kitab Al-Asmāul Husna

13
g) Siraj al- Wahaj (Kitab Mi‟raj 1937),
h) Miftah al-Rahmah dan lain-lain22.

B. Tafsir Raudhotul Irfan Fii Ma’rifatil Qur’an

 Latar Belakang Penulisan


Tidak diketahui secara pasti kapan tafsir Rawdat al-‘Irfan ini ditulis, akan tetapi menurut
Maman Abdurrahman, tafsir ini ditulis oleh Ahmad Sanusi pada tahun 1935, dibantu oleh
kedua muridnya yaitu Ajengan Misbah dan Ajengan Kosasih, pada saat itu beliau baru kembali
dari pengasingan di Batavia Centrum kurang lebih 7 tahun sebagai tahanan politik oleh
kolonial Belanda.
Pada awalnya Tafsir Raudat al-‘Irfan ini ditulis oleh Ahmad Sanusi per juz, kemudian
diterbitkan. Namun sampai pada juz ke-16 penulisan tafsir tersebut terhenti dengan
meninggalnya beliau menghadap Sang Khaliq. Sedangkan juz ke-29 dan juz ke-30 telah selesai
ditulisnya juga lebih awal diterbitkan, karena banyaknya permintaan dari para kyai setempat
untuk segera menerbitkan juz terakhir ini. 23
Setelah beliau wafat yakni pada tahun 1950 M. penulisan tafsir Raudat al-‘Irfan pun
terhenti. Kemudian dilanjutkan kembali penulisannya pada taun 1982 M oleh putra pertama
beliau, yaitu Ahmad Zarkasih, ia menulis mulai juz ke-16 sampai juz ke-18, dan juz ke-26
sampai juz ke-29. Lalu kedua oleh Badri Sanusi, ia menulis mulai juz ke-19 sampai juz ke-25
yang dibantu oleh sekretarisnya yaitu Maman Abdurrahman. 24
Penulisan dan juga penyusunan tafsir ini selesai genap 30 juz pada tahun 1987, kurang
lebih menghabiskan waktu 5 tahun, dengan total 1255 halaman termasuk do’a penutup
sebanyak 5 halaman lebih yang terbagi dua jilid. Jilid yang pertama, mulai dari juz ke-1 sampai
juz ke-15, yakni mulai dari surat al-Fatihah sampai dengan pertengahan surat al-Kahfi,
sedangkan jilid yang kedua, mulai dari juz ke-16 sampai dengan juz ke-30, yakni dari
pertengahan surat al-Kahfi sampai dengan surat an-Nas.

22
Wawan Hernawan, Seabad Persatuan Ummat Islam (1911-2011), Jawa Barat:YMSI, 2014, hlm.79-85.
23
Abdullah al-Mahdi, Skripsi “Rawdhat al-Irfan fi Ma’rifat al-Qur’an”, (UIN Syarifhidayatullah, 2007), 30
24
Abdullah al-Mahdi, Skripsi “Rawdhat al-Irfan fi Ma’rifat al-Qur’an”, (UIN Syarifhidayatullah, 2007), 30

14
Nama Raudhatul Irfān fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân, jika diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia yakni Taman Ilmu untuk Memahami Al-Qur’an, 25 kitab ini terdiri dari ayat Al-
Qur’an sebagai matan, terjemahan dan syarah. Syarah disini yaitu menjelaskan teks atau matan
ayat Al-Qur’an.26 Jika melihat bagian depan sampul dari depan jilid satu dan dua dengan
bahasa Sunda dalam tulisan bahasa Arab “Kebon rupa-rupa elmu jeung ngayanhokeun
maksudna Qur’ân dikarang jeung dianggit ku kaula anu ajhal khôdim Talabat al-‘Ilm Haji
Ahmad Sanusi bin Haji Abdurrahim Gunungpuyuh Sukabumi qaryah Cantayan mansyâan”.27
 Karakteristik penafsiran
Penafsiran Ahmad Sanusi yang global dalam kitab ini menjadi ciri tersendiri dalam model
metode penafsiran yang dilakukan, yaitu dengan menafsirkan sesuai susunan ayat-ayat di
dalam mushaf lalu memberikan arti dan ditafsirkan secara ringkas juga to the point,
menjadikan tafsir ini menggunakan metode ijmali (global). Hal tersebut dapat terlihat dari
susunan penafsirannya yang mirip dengan tafsir Jalalayn yang mengikuti susunan didalam
Mushaf.
Tafsir Raudhat al-Irfan Fi Ma’rifat al-Qur’an dapat digolongkan kepada tafsir bi al-ra’yi,
yakni tafsir ayat-ayat al-Quran yang berasal dari upaya seorang mufassir dalam mencurahkan
pemikirannya untuk menafsirkan. Hal ini dapat diketahui dengan tanpa adanya riwayat yang
beliau cantumkan dalam kitab tafisrnya Raudhat al-Irfan Fi Ma’rifat al-Qur’an.
Terkait corak penafsiran.
Corak penafsiran yang digunakan oleh Ahmad Sanusi dalam tafsir Rawdat al-‘Irfan Fi
Ma’rifat al- Qur’an ini bersifat umum. Artinya penafsiran yang diberikan tidak didominasi
oleh suatu warna tertentu, semua menggunakan pemahaman ayat secara netral tanpa membawa
pesan khusus, seperti aqidah, fiqih, dan tasawuf. Tetapi menjelaskan ayat-ayat yang
dibutuhkan secara umum dan proporsional, misalnya ayat-ayat tentang hukum fiqih dijelaskan
jika terjadi kasus-kasus fiqhiyyah seperti shalat, zakat, puasa, haji, dll.
Pada kitab tafsir ini Ahmad Sanusi tidak memperlihatkan kecenderunga mazhabnya, ia
menafsirkan ayat secara umum sehingga sulit untuk menemukan kecendrungan pemikirannya

25
Fadil Munawar Manshur, Tradisi Penciptaan dan Penafsiran Kitab Klasik di Pesantren: Tinjauan Sekilas atas Salah
Satu Karya Kiai Haji Ahmad Sanusi dalam Jurnal Humainora 1/1995 hlm. 9.
26
Fadil Munawar Manshur, Tradisi Penciptaan dan Penafsiran Kitab Klasik di Pesantren: Tinjauan Sekilas atas Salah
Satu Karya Kiai Haji Ahmad Sanusi dalam Jurnal Humainora 1/1995 hlm. 10.
27
KH. Ahmad Sanusi, Raudhatul Irfān fĩ Ma’rifāti al-Qurān, (Sukabumi: Gunungpuyuh, t.th) bagian sampul

15
dalam tafsir Raudhatul ‘Irfân fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân ini. Hal ini dapat kita lihat ketika Ahmad
Sanusi menjelaskan surat Al-Fatihah:
“Hukumna maca bismillah ceuk mazhab Syafi‟I, Hambali wajib. Ceuk mazhab Hanafi,
Maliki henteu wajib. Maca fatihah ceuk mazhab Syafi‟I, Maliki, Hambali eta wajib dina
sholat, ceuk Hanafi meunang maca ayat sejen.”28
Akan tetapi dalam surat lain dapat kita analisa terkait kecenderungan mazhab fiqh Ahmad
Sanusi, yaitu dalam menafsirkan ayat yang menerangkan hukum ‘iddah istri yang ditalak
dalam keadaan haid di surat al-Baqarah ayat 288,

(228 :‫والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثالثة قروء اآلية) البقرة‬


228. wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Ahmad Sanusi memaparkan penafsiran ayat di atas dengan kata-kata, “Nerangkeun
‘iddahna anu sok hed eta tilu sucian.”29 Artinya, ayat ini menjelaskan ‘iddahnya seorang yang
haid ialah tiga kali bersuci. Penafsiran kata quru’ yang oleh penafsir diartikan sebagi bersuci,
mengantarkan kepada pemahaman kita bahwa kecenderungan mazhab fiqih beliau adalah
Syafi’i. Karena madzhab al-Syafi’i mengartikan kata quru’ sebagai bersuci. Sedangkan, imam
madzhab yang lainnya mengartikannya sebagai haid.
Kecenderungan mazhab Ahmad Sanusi juga dapat kita jumpai dengan jelas pada kitab
tafsir beliau yang lain; Malja’ Al-Thalibin Fi Tafsir Kalam Rabb Al-‘Alamin. Dalam karya
beliau yang satu ini, kita dapat mengetahui bahwa aliran fiqh beliau menganut madzhab
Syafi’i.
 Langkah penafsiran
Kitab tafsir ini terdiri dari ayat-ayat al-Quran, terjemahan matan berbahasa sunda di bawah
ayatnya langsung, dengan tafsirannya di sisi kiri dan kanan tiap-tiap ayat menggunakan bahasa
sunda yang ditulis dalam bentuk arab pegon. Adapun langkah-langkah Ahmad Sanusi dalam
menulis tafsir Raudhatul ‘Irfân fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân adalah sebagai berikut:
1) Menerjemahkan secara harfiyah/perhuruf ke dalam bahasa sunda yang ditulis dibawah
matan al-Qur’an yang ditulis dalam bentuk arab pegon.
2) Menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan tartib Utsmani.

28
Ahmad Sanusi, Rawdat al-Irfan Fi Ma’rifat al-Qur’an, (Sukabumi: Yayasan Asrama Pesantren Gunung Puyuh), 2
29
KH Ahmad SAnusi, Raudhatul Irfan Fi Ma’arifati al-Qur’an juz 1-15. (Sukabumi: pesantren Gunung Puyuh.)

16
3) Tafsir ditulis di sisi kanan dan kiri matan teks ayat al-Qur’an dan terjemahan dengan
menggunakan Bahasa sunda beraksara arab pegon.
4) Mengemukakan asbab al-nuzul, jumlah ayat, serta huruf-hurufnya.
 Contoh penafsiran
Terkait contoh penafsiran Ahmad Sanusi, dikarenakan kurangnya penyusun dalam
memahami Bahasa sunda secara mendalam terlebih dalam bentuk arab pegon. Maka penyusun
mengambil contoh penafsiran yang terdapat didalam jurnal. Yaitu penafsiran Ahmad Sanusi
dalam surat Thaha ayat 5,

‫ٱلرحْ َٰمن‬
َّ ‫ستو َٰى ٱ ْلع ْرش على‬
ْ ‫ٱ‬
“(Dia) Maha Pengasih, bersemayam diatas ‘Arasy.” (Thaha: 5)
Ahmad Sanusi menerjemahkan dalam kitab tafsirnya secara harfiyyah/lafadz
menggunakan Bahasa sunda, “Ari Pangeran kana Arasy eta ngurus mantenna”. Kemudian
beliau menafsirkan, “Ari Pangeran kana Arasy eta ngurus mantenna”.30
Dan masih banyak lagi contoh penafsiran Ahmad Sanusi yang tidak penyusun sebutkan
pada makalah ini dikarenakan kurangnya perangkat penyusun untuk memahami kitab
Raudhatul Irfān fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân.

30
KH Ahmad Sanusi, Raudhatul Irfan Fi Ma’arifati al-Qur’an juz 16-30. (Sukabumi: pesantren Gunung Puyuh.) 551

17
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1. Ahmad Sanusi; ajengan cantayan; ajengan genteng, dilahirkan pada 12 Muharram 1306 H
bertepatan pada 18 September 1888 M di Kampung Cantayan Desa Cantayan Kecamatan
Cantayan Kabupaten Sukabumi. Pada masa kecilnya Ahmad Sanusi ditugaskan untuk
menggembala kambing, kerbau, dan kuda sekaligus belajar di pesantren milik ayahnya.
Beranjak dewasa Ahmad Sanusi menuntut ilmu ke berbagai pesantren di tatar sunda selama
4 ½ tahun lamanya. Ahmad Sanusi bermukim di Makkah selama 5 tahun setelah
menunaikan ibadah Haji. Ketika kembali ke tanah air, Ahmad Sanusi mengabdi di
pesantren ayahnya Cantayan kemudian mengajar dengan menggunakan metode yang ia
pelajari ketika ia bermukim di Makkah yaitu halaqah. Ahmad Sanusi merupakan pejuang,
pahlawan, dan pemikir nasional yang pernah ditahan oleh koloni belanda. Ia juga tergabung
dalam BPUPKI yang ikut andil dalam merumuskan Pancasila. Ahmad Sanusi pernah
tergabung dalam SI, juga ditunjuk menjadi ketua umum organisasi Al-Ittihadjiatoel
Islamijjah (AII) -yang sekarang bekembang menjadi PUI-. Ahmad Sanusi juga dikenal
sebagai salah satu ahli tafsir Nusantara. Diantara karya tafsir beliau adalah Malja’ Al-
Thalibin Fi Tafsir Kalam Rabb Al-‘Alamin dan Raudhatul ‘Irfân fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân. Ia
juga memiliki banyak karya dalam bidang Aqidah, Fiqh, dan Tasawwuf.
2. Penafsiran Ahmad Sanusi dalam kitab ini menggunakan metode ijmali. Sumber yang
digunakannya adalah bi al-ra’yi. Corak penafsiran yang digunakan oleh Ahmad Sanusi
dalam tafsir Rawdat al-‘Irfan Fi Ma’rifat al- Qur’an ini bersifat umum. Yaitu tidak
didominasi oleh suatu warna tertentu, semua menggunakan pemahaman ayat secara netral
tanpa membawa pesan khusus, seperti aqidah, fiqih, dan tasawuf. Tetapi menjelaskan ayat-
ayat yang dibutuhkan secara umum dan proporsional, misalnya ayat-ayat tentang hukum
fiqih dijelaskan jika terjadi kasus-kasus fiqhiyyah seperti shalat, zakat, puasa, haji, dll.

B. Saran

Makalah ini telah mencoba dengan sedemikian rupa membahas tentang biografi K.H.
Ahmad Sanusi dan karya tafsirnya Rawdat al-‘Irfan Fi Ma’rifat al- Qur’an. Akan tetapi

18
penulisan makalah ini masih menggunakan perangkat pemahaman penulis yang terbatas. Maka
dari itu, penulis memberi saran untuk menguasai perangkat untuk memahmi pembahasan ini
secara mendalam sebelum menelitinya, sehingga pembahasan yang masih belum jelas dalam
penulisan makalah ini dapat diteliti dan dibahas lebih baik lagi untuk kemudian dipublikasikan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sanusi, KH. Raudhatul Irfan Fi Ma’arifati al-Qur’an juz 16-30. Sukabumi: Pesantren
Syamsul ‘Ulum Gunung Puyuh. TT

Rohmana, J. A. (2013). Kajian Al-Qur’an di Tatar Sunda: Sebuah Penelusuran Awal. Jurnal
Suhuf, 6(1), 1-18.

Devy, S. (2021). Ragam Tafsir Nusantara: Varian Lokal, Kreativitas Individual, dan Peran
Perguruan Tinggi dan Media Sosial.

Maryati, M. (2014). Peran KH Ahmad Sanusi dalam Pendidikan Islam.

Suryana, Y. (2008). Dialektika Modernis dan Tradisionalis: Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia
(Pemikiran Hukum Islam KH. Ahmad Sanusi 1888-1950). Al-Qanun: Jurnal Pemikiran
dan Pembaharuan Hukum Islam, 11(1 Juni), 44-71.

Hernawan, W. (2014). Seabad Persatuan Ummat Islam (1911-2011). Yayasan Masyarakat


Sejarawan Indonesia (YMSI) Cabang Jawa Barat dan PUI Jawa Barat.

Abdullah, A. M. Rawdhat al-irfan fi mar'rifat al-qur'an: telaah atas metodologi penafsiran KH


Ahmad Sanusi.

Manshur, F. M. (1995). Tradisi Penciptaan dan Penafsiran Kitab Islam Klasik di Pesantren:
Tinjauan Sekilas atas Salah Satu Karya Kiai Haji Ahmad Sanusi. Humaniora, (1).

20

Anda mungkin juga menyukai