ZIYÂDAH WA NUQSHÂN
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Qawaid Tafsir II
Disusun oleh :
Kelompok 1
alam, yang Maha Mengetahui, Maha Berkehendak dan Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Atas Qudrah, hidayah serta inayah-Nya kami diperkenankan untuk dapat
menyelesaikan amanah akademis yang tengah diberikan kepada kami berupa pembuatan
makalah ini.
Dalam hal ini, kami berusaha mencoba untuk mengkaji dari beberapa referensi
tentang istilah ziyâdah dan nuqshân dalam Al-Qur’an yang dipahami dalam konteks ilmu
tafsir. Pada kesempatan kali ini kami hendak mengurai pembahasan seputar ta’rif Ziyâdah
dan Nuqshân, contoh-contoh Ziyâdah dan Nuqshân dalam al-qur’an, serta kaidah-kaidah
Sadar betul akan keterbatasan, maka penulis akui dalam penulisan makalah ini
masihlah ada kekurangan, baik dari sisi penulisan, metodologi ataupun penjabarannya,
oleh karena itu penulis mengharapkan sekali kritik dan saran konstruktif dari pembaca,
1
DAFTAR ISI
C. Tujuan ............................................................................................................ 2
2
B. Saran ............................................................. Error! Bookmark not defined.
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah telah menurunkan berbagai kitab suci yang diterima oleh para utusan-Nya.
Tiap kitab yang diturunkan oleh Allah berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan
manusia. Empat kitab tersebut yaitu, Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa, Zabur
yang diturunkan kepada nabi Dawud, Injil yang diturunkan kepada nabi ‘Isa dan Alquran
Dalam tiap-tiap kitab memiliki bahasa tersendiri, seperti Taurat. Ia berbahasa Ibrani
yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Musa. Adapun al Quran, ia berbahasa Arab yang
Alquran yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad sebagai pedoman
atau petunjuk kehidupan bagi umatnya, haruslah dipahami dengan benar. Sesungguhnya
banyaknya kesalahan dalam pemahaman bersebab tidak memahami Alquran dengan baik.
Untuk mengkaji Alquran dengan baik dan benar memerlukan disipilin ilmu. Diantara
sendiri sangat diperlukan, bersebab dalam Alquran terdapat syair, sastra, balaghah,
fashahah, tamsil, bayan ataupun retorik. Menariknya, Alquran yang kaya dengan bahasa
ini, diturunkan ditengah-tengah masyarakat yang ahli dalam bahasa, syair, ataupun
retorik.
1
Oleh karena itu, seseorang yang ingin memahmi Alquran dengan pendekatan
kebahasan, wajiblah ia menguasai seluruh bagian atau cakupan disiplin ilmu bahasa arab.
Diantaranya, terdapat ilmu nahwu, shorof, balaghah, bayan ataupun kaidah-kaidah tafsir.
Dalam kaidah tafsir, terdapat bagian-bagian yang harus dipahami dengan baik,
karena berkaitan pemahaman ayat secara baik dan benar, yaitu Ziyâdah dan Nuqshân.
Walaupun pada hakikatnya dalam Alquran sendiri tidak ada Ziyâdah dan Nuqshân,
namun selintas dapat terlihat, bila kita membandingkan ayat satu dengan yang lainnya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ta’rif Ziyâdah Wa Nuqshân
1. Ta’rif Ziyâdah
Kata Ziyâdah secara etimologi berakar dari huruf د-ي- زyang berarti
tambahan, kelebihan.1 Secara terminologi, ulama berbeda pendapat tentang definisi
al-Ziyâdah yang satu sama lain saling berkaitan, meskipun ada perbedaan yang
signifikan. Perbedaan itu disebabkan tujuan mereka menggunakan al-Ziyâdah. Di
antara ulama tersebut adalah:
al-Ziyâdah adalah penambahan huruf atau lafadz yang mempunyai tujuan dan faidah
1
Abu Al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya. Mu’jam Maqâyis al-Lughah. (Beirut: Dâr al-Fikr,
1979) Juz 3, h. 40
2
Khalid ibn ‘Usman al-Sabt, Qawa’id al-Tafsir; Jam’an wa Dirâsah, (Saudi Arabia: Dar Ibnu
‘Affan, 1997), h. 348.
3
4
tertentu yang tidak didapatkan ketika lafadz tersebut dibuang. Namun jika lafadz
B. Kaidah Ziyâdah
Ziyâdah, telah dihimpun pembahasannya dalam kitab Qawâ’id Tafsîr3 yang diantaranya
adalah:
Terdapat kaidah yang memiki makna bahwa Alquran adalah kitab suci yang terhindar
dari berbagai bentuk kesia-sian, baik dalam struktur bahasa ataupun lafadzh yang
lainnya. Imam Zarkasyi dalam Kitab al Burhan Fii ‘Ulumi Alquran mengatakan
“Setiap huruf atau suatu lafadzh ini zaidah yang memiliki tujuan bahwa setiap huruf
atau lafadzh tersebut jika dibuang tidak akan merusak makna aslinya, akan tetapi
Kekuatan Lafadzh Karena Kuatnya Makna ( زيا دة البنى تدل على زيادة المعنى قوة اللفظ
)لقوة المعنى
Setiap penambahan huruf atau perubahan wazan akan berdampak berubahnya makna
3
Ibid, h. 350
5
Penggunaan dua lafadzh yang pada dasarnya mempunyai makna yang sama atau
sendiri. Faidah yang dapat dihasilkan adalah faidah at Tauqid atau penguat dan
penegas dengan dasar bahwa penambahan huruf saja dapat memberikan suatu makna
4. Setiap Huruf yang Ditambahkan dalam Kalimat Arab, Maka Statusnya sama
dengan Pengulangan Kalimat Tersebut ( كل حرف زيد في كالم العرب فهو قائم مقام اعادة
Pada kaidah ini memilik arahan pada penambahan huruf, fi’il dan isim, namun
penambahan fi’il jarang terjadi atau sedikit sedangkan penambahan isim lebih jarang
terjadi. Artinya, kaidah ini sangat jarang digunakan, melihat struktur kalimat yang
1. Contoh Pertama
ُ ُ ُ َ َۡ ح ُ َ َْ ُ َۡ َ
]151 : [ األنعام١٥١ … َوَل تق ُتل ٓوا أ ۡول َٰ َدكم م ِّۡن إ ِّ ۡمل َٰ ٖق َّن ُن ن ۡر ُزقك ۡم ِإَويحاه ۡم..
6
“Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan
memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka,” (QS. Al-An'am [6]:151)
ُ ُ َ َۡ َۡ ُ ْ َ َ ُ َ ۡ َ َ ح
٣١ … َوَل تق ُتل ٓوا أ ۡول َٰ َدك ۡم خش َية إ ِّ ۡمل َٰ ٖقٖۖ َّن ُن ن ۡر ُزق ُه ۡم ِإَويحاك ۡ ۚۡم
Kasus kedua ayat ini sama, yakni larangan membunuh anak-anak karena
alasan kemiskinan. Tapi, pada penelitian lebih lanjut, tampak adanya perbedaan dari
segi mukhathab (sasaran pembicaraan). Mukhathab pada ayat pertama adalah orang
miskin, sehingga digunakan redaksi yang berarti karena alasan kemiskinan, atau
tegasnya karena “kalian miskin”. Sementara mukhathab pada ayat kedua adalah
orang kaya, yang berarti takut menjadi miskin. Artinya, pada saat itu mukhathab
sudah kaya.
2. Contoh Kedua
Terdapat pada surat Ali Imran ayat 126 dan Al-Anfal ayat 10 :
4
M. Yudhie Haryono, Nalar Alquran (Jakarta: Nalar, 2002), h.170
7
]126-126: [ آل عمران١٢٦
“Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai
khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan
kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Ali 'Imran [3] : 126)
َ ٱَّللِّ إ حن ح
ٌ ٱَّلل َعز
ٌ يز َحك ح ۡ ك ۡم َو َما ٱنلح ۡ ُ ح
ُ ُ ُُ ۡش َٰ َ ۡ َ ح َ ۡ ُ ٱَّلل إ ِّ حَل ب
ُ َو َما َج َعلَ ُه ح
ِّيم ِّ ِّ ۡۚ ۡص إَِّل مِّن عِّن ِّد ۡۚ ى وِلِّ َطمئِّن بِّهِّۦ قلوب
]10-10: [ األنفال١٠
“Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai
kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu
hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al-Anfal [8] : 10)
Analisis
Jika diperbandingkan kedua redaksi ayat di atas jelas terlihat redaksi yang
pertama mirip dengan redaksi yang kedua. Namun di dalam kemiripan itu terdapat
perbedaan kecil dari sudut susunan kalimatnya. Paling tidak ada tiga hal yang
membedakan redaksi ayat pertama dari redaksi ayat kedua.
8
a. Pada surat Ali Imran Ayat 126 terdapat lafal ( )ْلَ ُكمsesudah lafal ( ;)بُ ْشرىdan pada
c. Perbedaan ketiga tampak dalam pemakaian kalimat ()ِبِه. Kalau pada surat Ali
Imran Ayat 126 kalimat tersebut ditempatkan sesudah ()ْقُلُ ْوبُ ُكم, maka pada surat
Al-Anfal Ayat 10 tempatnya sebelum ( )ْقُلُ ْوبُ ُكمitu. Kasus yang terakhir ini
sebenarnya masuk kategori taqdim dan ta’khir, tapi karena kaitannya erat
sekali dengan pembahasan ayat ini maka ketiga permasalahan itu akan dikaji
di sini.5
Yang menjadi permasalahan dalam ayat ini ialah, mengapa perbedaan yang
disebutkan itu timbul?? Apakah sekedar seni berbahasa, atau dibalik perbedaan itu
ada pesan khusus yang dikandungnya.
Jika dilihat dari sudut historis turun ayat, ternyata ayat al-Anfâl disepakati
oleh ulama sebagai ayat yang berbicara tentang turunnya malaikat pada Perang
Badar. Sedang ayat Ali 'Imran turun dalam konteks janji turunnya malaikat dalam
Perang Uhud. Dalam perang tersebut malaikat tidak jadi turun karena kaum muslimin
tidak memenuhi syarat kesabaran dan ketakwaan yang ditetapkan Allah ketika
menyampaikan janji itu (sebagaimana tersebut di ayat 125).
5
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Alquran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.83.
9
sebelumnya umat Islam belum punya pengalaman dalam peperangan serupa itu. Jadi,
secara lahiriah umat Islam berada dalam kondisi yang amat labil jika dibandingkan
dengan kondisi mereka pada waktu perang Uhud. Mengingat kondisi yang demikian,
maka pada penutup ayat 10 surah Al-Anfal Allah memakai huruf ta’kid ( )َّإنuntuk
memperkuat keyakinan umat Islam bahwa Allah Yang Maha Perkasa bersama
mereka. Sebaliknya, di dalam ayat 126 dari Ali Imran tak diperlukan huruf ta’kid
tersebut karena kondisi mereka telah makin baik dan kuat. Jadi, dalam kondisi begini
tak diperlukan huruf ta’kid karena kondisi mereka telah makin baik dan kuat.
Demikian pula penempatan kalimat ( )قلوبكمsebelum ( )بهmemberikan indikasi akan
pentingnya menenangkan jiwa mereka; sedangkan di dalam Ali Imran: 126, cukup
menempatkannya sesudah ()قلوبكم.
6
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, (Ciputat: Lentera
Hati, 2000), h. 194-195
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, Quraish. 2000. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an. Ciputat:
Lentera Hati
al-Sabt, Khalid ibn ‘Usman. 1997. Qawa’id al-Tafsir; Jam’an wa Dirâsah. Saudi Arabia:
Zakariya, Abu Al-Husain Ahmad bin Faris bin. 1979. Mu’jam Maqâyis al-Lughah. Beirut:
Dâr al-Fikr.
10