Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ZIYÂDAH WA NUQSHÂN
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Qawaid Tafsir II

Disusun oleh :

Kelompok 1

1. Azizan Zachwa Alfattan : 21.01.1323


2. Hawary Anshorulloh Ash-Shiddiq : 18.01.1080
3. Mochammad Dzikri Fauzi Akbar : 21.01.1278

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSATUAN ISLAM
BANDUNG
2022 M / 1444 H
KATA PENGANTAR

‫اَّللِ الهر ْْحَ ِن الهرِحْيم‬


‫ِبِ ْس ِم ه‬

Alhamdulillâhirabbil’âlamîn, puji serta syukur tercurah kepada Sang Pencipta

alam, yang Maha Mengetahui, Maha Berkehendak dan Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang. Atas Qudrah, hidayah serta inayah-Nya kami diperkenankan untuk dapat

menyelesaikan amanah akademis yang tengah diberikan kepada kami berupa pembuatan

makalah ini.

Dalam hal ini, kami berusaha mencoba untuk mengkaji dari beberapa referensi

tentang istilah ziyâdah dan nuqshân dalam Al-Qur’an yang dipahami dalam konteks ilmu

tafsir. Pada kesempatan kali ini kami hendak mengurai pembahasan seputar ta’rif Ziyâdah

dan Nuqshân, contoh-contoh Ziyâdah dan Nuqshân dalam al-qur’an, serta kaidah-kaidah

Ziyâdah dan Nuqshân.

Sadar betul akan keterbatasan, maka penulis akui dalam penulisan makalah ini

masihlah ada kekurangan, baik dari sisi penulisan, metodologi ataupun penjabarannya,

oleh karena itu penulis mengharapkan sekali kritik dan saran konstruktif dari pembaca,

untuk dapat mengisi kekurang-kekurangan yang telah didapati sekaligus menjadikan

bahan perbaikan dalam penulisan berikutnya.

Bandung, 15 September 2022


Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... 1

DAFTAR ISI .................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2

C. Tujuan ............................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3

A. Ta’rif Ziyâdah Wa Nuqshân........................................................................... 3

1. Ta’rif Ziyâdah ....................................................................................... 3


B. Kaidah Ziyâdah .............................................................................................. 4

1. Tidak ada Ziyâdah dalam Alquran (‫ )ال زائد فى القرآن‬.............................. 4


2. Penambahan bina’ atau model Menunjukkan Adanya Tambahan
Makna, yaitu Kekuatan Lafadzh Karena Kuatnya Makna ( ‫زيا دة البنى تدل‬
‫)على زيادة المعنى قوة اللفظ لقوة المعنى‬............................................................. 4
3. Penggabungan Dua Kata yang Serupa Maknanya Akan Menghasilkan
Makna yang Tidak Ditemukan Ketika Lafadzh Tersebut Terpisah atau
Tersendiri (‫)يحصل بمجموع المترادفين معنى ال يوجد عند انفرادهما‬...................... 5
4. Setiap Huruf yang Ditambahkan dalam Kalimat Arab, Maka Statusnya
sama dengan Pengulangan Kalimat Tersebut ( ‫كل حرف زيد في كالم العرب‬
‫ )فهو قائم مقام اعادة الجملة ةرة أخرى‬................................................................ 5
C. Ziyâdah dalam Alquran .................................................................................. 5

1. Contoh Pertama .................................................................................... 5


2. Contoh Kedua ....................................................................................... 6
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN .......................... Error! Bookmark not defined.

A. Kesimpulan .................................................. Error! Bookmark not defined.

2
B. Saran ............................................................. Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 10

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Allah telah menurunkan berbagai kitab suci yang diterima oleh para utusan-Nya.

Tiap kitab yang diturunkan oleh Allah berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan

manusia. Empat kitab tersebut yaitu, Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa, Zabur

yang diturunkan kepada nabi Dawud, Injil yang diturunkan kepada nabi ‘Isa dan Alquran

yang diturunkan kepada nabi Muhammad.

Dalam tiap-tiap kitab memiliki bahasa tersendiri, seperti Taurat. Ia berbahasa Ibrani

yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Musa. Adapun al Quran, ia berbahasa Arab yang

diturunkan kepada nabi Muhammad untuk umatnya.

Alquran yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad sebagai pedoman

atau petunjuk kehidupan bagi umatnya, haruslah dipahami dengan benar. Sesungguhnya

banyaknya kesalahan dalam pemahaman bersebab tidak memahami Alquran dengan baik.

Untuk mengkaji Alquran dengan baik dan benar memerlukan disipilin ilmu. Diantara

disiplin ilmu yang diperlukan dalam memahami Alquran ialah tafsir.

Memahami Alquran dengan tafsir sendiri, terdapat beberapa pendekatan,

diantaranya ialah pendekatan kebahasaan. Tafsir Alquran dengan pendekatan kebahasaan

sendiri sangat diperlukan, bersebab dalam Alquran terdapat syair, sastra, balaghah,

fashahah, tamsil, bayan ataupun retorik. Menariknya, Alquran yang kaya dengan bahasa

ini, diturunkan ditengah-tengah masyarakat yang ahli dalam bahasa, syair, ataupun

retorik.

1
Oleh karena itu, seseorang yang ingin memahmi Alquran dengan pendekatan

kebahasan, wajiblah ia menguasai seluruh bagian atau cakupan disiplin ilmu bahasa arab.

Diantaranya, terdapat ilmu nahwu, shorof, balaghah, bayan ataupun kaidah-kaidah tafsir.

Dalam kaidah tafsir, terdapat bagian-bagian yang harus dipahami dengan baik,

karena berkaitan pemahaman ayat secara baik dan benar, yaitu Ziyâdah dan Nuqshân.

Walaupun pada hakikatnya dalam Alquran sendiri tidak ada Ziyâdah dan Nuqshân,

namun selintas dapat terlihat, bila kita membandingkan ayat satu dengan yang lainnya.

Seperti, ‫ الم تر‬,‫أولم تر‬.

Namun, bagaimanakah cara memahami kaidah Ziyâdah dan Nuqshân, agar

memahami Alquran dengan baik dan benar.?

B. Rumusan Masalah

1. Apa ta’rif dari Ziyâdah wa Nuqshân?

2. Kaidah apa saja yang ada dalam kajian Ziyâdah wa Nuqshân?

3. Bagaimana Ziyâdah wa Nuqshân dalam Alquran?

C. Tujuan

1. Mengetahui ta’rif dari Ziyâdah wa Nuqshân

2. Mengetahui kaidah yang terkandung dalam kajian Ziyâdah wa Nuqshân

3. Mengetahui Ziyâdah wa Nuqshân dalam Alquran

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ta’rif Ziyâdah Wa Nuqshân

1. Ta’rif Ziyâdah

Kata Ziyâdah secara etimologi berakar dari huruf ‫د‬-‫ي‬-‫ ز‬yang berarti
tambahan, kelebihan.1 Secara terminologi, ulama berbeda pendapat tentang definisi
al-Ziyâdah yang satu sama lain saling berkaitan, meskipun ada perbedaan yang
signifikan. Perbedaan itu disebabkan tujuan mereka menggunakan al-Ziyâdah. Di
antara ulama tersebut adalah:

a. Ulama Nahwu mengatakan bahwa al-Ziyâdah adalah lafadz yang tidak


memiliki posisi dalam i’rab. Artinya al-Ziyâdah bagi mereka bukan terletak
pada makna, akan tetapi terletak pada lafadz-lafadz tersebut. Begitupun yang
dimaksud oleh ulama tashrif.
b. Ulama Bahasa berpendapat bahwa al-Ziyâdah adalah penambahan huruf
atau lafadz yang tidak mempenyai arti dan faidah sama sekali, hanya sebagai
penghias kata.
c. Ulama Tafsir cenderung berpendapat sama dengan ulama nahwu, terlebih lagi
bahwa al-Ziyâdah tidak mungkin terjadi dalam Alquran jika yang dimaksud
al-Ziyâdah adalah penambahan huruf atau lafadz yang tidak berfaiedah atau
sia-sia. Hanya ulama tafsir memperingatkan agar waspada menggunakan
istilah al-Ziyâdah karena dapat menimbulkan kesalahpahaman dan
kebimbangan dalam masyarakat awam.2

Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam makalah ini, yang dimaksud dengan

al-Ziyâdah adalah penambahan huruf atau lafadz yang mempunyai tujuan dan faidah

1
Abu Al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya. Mu’jam Maqâyis al-Lughah. (Beirut: Dâr al-Fikr,
1979) Juz 3, h. 40

2
Khalid ibn ‘Usman al-Sabt, Qawa’id al-Tafsir; Jam’an wa Dirâsah, (Saudi Arabia: Dar Ibnu
‘Affan, 1997), h. 348.

3
4

tertentu yang tidak didapatkan ketika lafadz tersebut dibuang. Namun jika lafadz

tersebut dibuang, maka makna dasarnya tidak rusak atau berubah.

B. Kaidah Ziyâdah

Berkenaan dengan penetapan kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam pembahasan

Ziyâdah, telah dihimpun pembahasannya dalam kitab Qawâ’id Tafsîr3 yang diantaranya

adalah:

1. Tidak ada Ziyâdah dalam Alquran (‫)ال زائد فى القرآن‬

Terdapat kaidah yang memiki makna bahwa Alquran adalah kitab suci yang terhindar

dari berbagai bentuk kesia-sian, baik dalam struktur bahasa ataupun lafadzh yang

lainnya. Imam Zarkasyi dalam Kitab al Burhan Fii ‘Ulumi Alquran mengatakan

“Setiap huruf atau suatu lafadzh ini zaidah yang memiliki tujuan bahwa setiap huruf

atau lafadzh tersebut jika dibuang tidak akan merusak makna aslinya, akan tetapi

Ziyâdah tersebut bukan berarti tidak memiliki faidah.”

2. Penambahan bina’ atau model Menunjukkan Adanya Tambahan Makna, yaitu

Kekuatan Lafadzh Karena Kuatnya Makna ( ‫زيا دة البنى تدل على زيادة المعنى قوة اللفظ‬

‫)لقوة المعنى‬

Setiap penambahan huruf atau perubahan wazan akan berdampak berubahnya makna

yang dimaksud pada padanan kalimat.

3
Ibid, h. 350
5

3. Penggabungan Dua Kata yang Serupa Maknanya Akan Menghasilkan Makna

yang Tidak Ditemukan Ketika Lafadzh Tersebut Terpisah atau Tersendiri

(‫)يحصل بمجموع المترادفين معنى ال يوجد عند انفرادهما‬

Penggunaan dua lafadzh yang pada dasarnya mempunyai makna yang sama atau

mutaradif memberikan faidah tersendiri dibanding jika lafadzh tersebut sendiri-

sendiri. Faidah yang dapat dihasilkan adalah faidah at Tauqid atau penguat dan

penegas dengan dasar bahwa penambahan huruf saja dapat memberikan suatu makna

tambahan apalagi bila penambahannya berupa lafadzh.

4. Setiap Huruf yang Ditambahkan dalam Kalimat Arab, Maka Statusnya sama

dengan Pengulangan Kalimat Tersebut ( ‫كل حرف زيد في كالم العرب فهو قائم مقام اعادة‬

‫)الجملة ةرة أخرى‬

Pada kaidah ini memilik arahan pada penambahan huruf, fi’il dan isim, namun

penambahan fi’il jarang terjadi atau sedikit sedangkan penambahan isim lebih jarang

terjadi. Artinya, kaidah ini sangat jarang digunakan, melihat struktur kalimat yang

terdapat pada ayat yang dimaksud.

C. Ziyâdah dalam Alquran

1. Contoh Pertama

Dalam Alquran dapat kita temukan beberapa contoh Ziyâdah, diantaranya


pada ayat 151 Surat al-An’am dengan ayat 31 surat al-Isra.

ُ ُ ُ َ ۡ‫َ ح‬ ُ َ َْ ُ َۡ َ
]151 :‫ [ األنعام‬١٥١ …‫ َوَل تق ُتل ٓوا أ ۡول َٰ َدكم م ِّۡن إ ِّ ۡمل َٰ ٖق َّن ُن ن ۡر ُزقك ۡم ِإَويحاه ۡم‬..
6

“Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan
memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka,” (QS. Al-An'am [6]:151)

ُ ُ َ ۡ‫َ َۡ ُ ْ َ َ ُ َ ۡ َ َ ح‬
٣١ … ‫َوَل تق ُتل ٓوا أ ۡول َٰ َدك ۡم خش َية إ ِّ ۡمل َٰ ٖقٖۖ َّن ُن ن ۡر ُزق ُه ۡم ِإَويحاك ۡ ۚۡم‬

]31 :‫[ اإلرساء‬

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah


yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.” (QS. Al-Isra’ [17]
:31)

Kasus kedua ayat ini sama, yakni larangan membunuh anak-anak karena
alasan kemiskinan. Tapi, pada penelitian lebih lanjut, tampak adanya perbedaan dari
segi mukhathab (sasaran pembicaraan). Mukhathab pada ayat pertama adalah orang
miskin, sehingga digunakan redaksi yang berarti karena alasan kemiskinan, atau
tegasnya karena “kalian miskin”. Sementara mukhathab pada ayat kedua adalah
orang kaya, yang berarti takut menjadi miskin. Artinya, pada saat itu mukhathab
sudah kaya.

Selanjutnya, pada ayat pertama, dhamir mukhatab didahulukan dengan


maksud untuk menghilangkan kekhawatiran si miskin bahwa ia tidak akan mampu
memberikan rizki kepada anak-nya: yakni, Allah akan memberikan rizki kepadanya
agar ia mam-pu menafkahi anaknya. Maksud ayat akan menjadi lebih jelas jika
dibandingkan dengan ayat kedua. Di sini dhamir anak-anak muk-hatab didahulukan
untuk memperingati si kaya bahwa Allah yang memberi rizki kepada anak-anak itu,
dan bukan si kaya. Kesimpulannya, yang satu bersifat menumbuhkan keyakinan,
sementara yang satu bersifat memberi peringatan.4

2. Contoh Kedua

Terdapat pada surat Ali Imran ayat 126 dan Al-Anfal ayat 10 :

4
M. Yudhie Haryono, Nalar Alquran (Jakarta: Nalar, 2002), h.170
7

َ ۡ ‫ٱَّللِّ ٱلۡ َعزيز‬


‫ٱۡلكِّي ِّم‬
‫ح‬ ‫ََ ح ۡ ُ ح‬
‫ۡص إَِّل م ِّۡن عِّن ِّد‬
ُ ُ ُ ُ ‫َ َ َ َ َ ُ ح ُ ح ُ ۡ َ َٰ َ ُ ۡ َ َ ۡ َ ح‬
‫وبكم بِّهِّۗۦ وما ٱنل‬ ‫وما جعله ٱَّلل إَِّل بۡشى لكم وِلِّ طمئِّن قل‬
ِّ ِّ

]126-126:‫ [ آل عمران‬١٢٦

“Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai
khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan
kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Ali 'Imran [3] : 126)

َ ‫ٱَّللِّ إ حن ح‬
ٌ ‫ٱَّلل َعز‬
ٌ ‫يز َحك‬ ‫ح‬ ۡ ‫ك ۡم َو َما ٱنلح ۡ ُ ح‬
ُ ُ ُُ ‫ۡش َٰ َ ۡ َ ح‬ َ ۡ ُ ‫ٱَّلل إ ِّ حَل ب‬
ُ ‫َو َما َج َعلَ ُه ح‬
‫ِّيم‬ ِّ ِّ ۡۚ ‫ۡص إَِّل مِّن عِّن ِّد‬ ۡۚ ‫ى وِلِّ َطمئِّن بِّهِّۦ قلوب‬

]10-10:‫ [ األنفال‬١٠

“Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai
kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu
hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al-Anfal [8] : 10)

Analisis

Jika diperbandingkan kedua redaksi ayat di atas jelas terlihat redaksi yang
pertama mirip dengan redaksi yang kedua. Namun di dalam kemiripan itu terdapat
perbedaan kecil dari sudut susunan kalimatnya. Paling tidak ada tiga hal yang
membedakan redaksi ayat pertama dari redaksi ayat kedua.
8

a. Pada surat Ali Imran Ayat 126 terdapat lafal (‫ )ْلَ ُكم‬sesudah lafal (‫ ;)بُ ْشرى‬dan pada

surat Al-Anfal Ayat 10 tidak dijumpai lafal (‫)لَ ُكم‬.

b. Pada surat Al-Anfal Ayat 10 ditempatkan (‫ )َإِن هللا‬sesudah (‫ ;)ِمِ ْن ِع ْندِهللا‬sedangkan

ayat pertama tidak memakainya.

c. Perbedaan ketiga tampak dalam pemakaian kalimat (‫)ِبِه‬. Kalau pada surat Ali

Imran Ayat 126 kalimat tersebut ditempatkan sesudah (‫)ْقُلُ ْوبُ ُكم‬, maka pada surat

Al-Anfal Ayat 10 tempatnya sebelum (‫ )ْقُلُ ْوبُ ُكم‬itu. Kasus yang terakhir ini

sebenarnya masuk kategori taqdim dan ta’khir, tapi karena kaitannya erat

sekali dengan pembahasan ayat ini maka ketiga permasalahan itu akan dikaji

di sini.5

Yang menjadi permasalahan dalam ayat ini ialah, mengapa perbedaan yang
disebutkan itu timbul?? Apakah sekedar seni berbahasa, atau dibalik perbedaan itu
ada pesan khusus yang dikandungnya.

Jika dilihat dari sudut historis turun ayat, ternyata ayat al-Anfâl disepakati
oleh ulama sebagai ayat yang berbicara tentang turunnya malaikat pada Perang
Badar. Sedang ayat Ali 'Imran turun dalam konteks janji turunnya malaikat dalam
Perang Uhud. Dalam perang tersebut malaikat tidak jadi turun karena kaum muslimin
tidak memenuhi syarat kesabaran dan ketakwaan yang ditetapkan Allah ketika
menyampaikan janji itu (sebagaimana tersebut di ayat 125).

Itu berarti masing-masing redaksi mempunyai kasus yang berbeda, sebab


situasi dan kondisi yang dihadapi umat Islam dalam kedua peperangan itu tidak sama.
Ketika perang Badar misalnya, kaum Muslimin belum sekuat ketika perang Uhud
terjadi karena jumlah personil mereka amat kecil (sekitar 300 orang), sebaliknya
kekuatan personil musuh lebih tiga kali lipat (sekitar 1000 orang). Disamping kondisi
yang demikian, perang Badar ini tercatat sebagi perang pertama dan amat besar,

5
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Alquran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.83.
9

sebelumnya umat Islam belum punya pengalaman dalam peperangan serupa itu. Jadi,
secara lahiriah umat Islam berada dalam kondisi yang amat labil jika dibandingkan
dengan kondisi mereka pada waktu perang Uhud. Mengingat kondisi yang demikian,
maka pada penutup ayat 10 surah Al-Anfal Allah memakai huruf ta’kid (‫ )َّإن‬untuk
memperkuat keyakinan umat Islam bahwa Allah Yang Maha Perkasa bersama
mereka. Sebaliknya, di dalam ayat 126 dari Ali Imran tak diperlukan huruf ta’kid
tersebut karena kondisi mereka telah makin baik dan kuat. Jadi, dalam kondisi begini
tak diperlukan huruf ta’kid karena kondisi mereka telah makin baik dan kuat.
Demikian pula penempatan kalimat (‫ )قلوبكم‬sebelum (‫ )به‬memberikan indikasi akan
pentingnya menenangkan jiwa mereka; sedangkan di dalam Ali Imran: 126, cukup
menempatkannya sesudah (‫)قلوبكم‬.

Adapun ditempatkannya kalimat (‫ )ْلَ ُكم‬secara eksplisit di dalam ayat 126


surat Ali Imran sesuai dengan hasil yang dicapai dalam Perang Uhud. Dimana umat
Islam mengalami kekalahan dalam perang tersebut. Namun demikian kegembiraan
tetap berada di pihak umat Islam, bukan untuk orang-orang kafir, sekalipun orang-
orang kafir menang karena Nabi selamat dan para sahabat terkemuka seperti Abu
bakar, Umar, Utsman, Ali dan lain-lainnya masih hidup untuk melanjutkan
perjuangan. Sebaliknya di dalam redaksi ayat 10 surah al-Anfal tidak perlu
mencantumkan kalimat (‫ )ْلَ ُكم‬secara eksplisit, karena bantuan Allah sudah jelas barada
di pihak umat Islam, bahkan mereka telah berhasil memenangkan perang.

Dengan uraian itu, jelaslah bahwa masing-masing redaksi mempunyai


konteks yang berbeda karena itu pola susunan kalimat dan kata-kata yang digunakan
oleh masing-masing redaksi itu harus pula berbeda agar setiap redaksi itu dapat
membawa pesan kepada alamatnya secara jitu dan mengenai sasaran yang dimaksud
dengan tepat dan akurat.6

6
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, (Ciputat: Lentera
Hati, 2000), h. 194-195
DAFTAR PUSTAKA

Haryono, M. Yudhie. 2002. Nalar Alquran. Jakarta: Nalar

Baidan, Nashruddin. 2002. Metode Penafsiran Alquran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Shihab, Quraish. 2000. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an. Ciputat:

Lentera Hati

al-Sabt, Khalid ibn ‘Usman. 1997. Qawa’id al-Tafsir; Jam’an wa Dirâsah. Saudi Arabia:

Dar Ibnu ‘Affan,

Zakariya, Abu Al-Husain Ahmad bin Faris bin. 1979. Mu’jam Maqâyis al-Lughah. Beirut:
Dâr al-Fikr.

10

Anda mungkin juga menyukai