Anda di halaman 1dari 12

TATA PERGAULAN

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadis IV Pada


Jurusan Ilmu Quran Tafsir Sekolah Tinggi Agama Persatuan
Islam
Bandung

Oleh:
Muthia Rahayu 21.01.1247
Ratna Juwit 19.01.1132
Sheny Indri Septiani 21.01.1234

SEKOLAH TINGGI AGAMA PERSATUAN ISLAM


BANDUNG
1442 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat,
taufik, hidayah dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul “Tata Pergaulan” dengan hadirnya makalah ini dapat
memberikan informasi bagi para pembaca seputar tata pergaulan yang dituangkan
dalam beberapa hadis.
Maksud penulis membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hadis IV yang diamanatkan oleh Bapak Saepudddin selaku dosen dalam mata
kuliah ini. Makalah ini kami buat berdasarkan sumber referensi yang kami dapatkan
dan untuk mempermudahnya kami juga menyertai berhubungan dengan kemajuan
kedepan. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak sekali
kekurangannya baik dalam cara penulisan maupun dalam isi.
Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini. Mudah- mudahan
makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis yang membuat dan umumnya
bagi yang membaca makalah ini. Aamiin

Bandung, 11 April 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR ............................................................................................................. 2

DAFTAR ISI ......................................................................................................................... 3

BAB I ..................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ................................................................................................................. 4

1.1 Pengertian Aturan Pergaulan ........................................................................................... 4

BAB II ................................................................................................................................... 5

PEMBAHASAN .................................................................................................................... 5

2.1 Larangan Berduaan Tanpa Muhrim .................................................................................. 5

2.1.1. Terjemahan Hadis ............................................................................................ 5

2.1.2 Penjelasan Hadis .............................................................................................. 5

2.1.3 Fiqh Hadis ......................................................................................................... 7

2.2 Sopan Santun dan Duduk dijalan ...................................................................................... 7

2.2.1. Terjemahan Hadis ............................................................................................ 7

2.2.2 Penjelasan Hadis .............................................................................................. 8

2.2.3 Fiqh Hadis ......................................................................................................... 9

2.3 Menyebarluaskan Salam .................................................................................................. 10

2.3.1. Terjemahan Hadis ............................................................................................ 10

2.3.2 Penjelasan Hadis .............................................................................................. 10

BAB III ................................................................................................................................ 11

PENUTUP ............................................................................................................................ 12

3.1 Kesimpulan ..................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 13

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  PENGERTIAN ATURAN PERGAULAN
Pergaulan memiliki makna yang sama dengan etika. Jadi menurut hemat penulis,
pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah "Ethos", yang berarti watak
kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan
moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu "Mos" dan dalam bentuk jamaknya
"Mores", yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan
perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.
Namun demikian, sebagai umat Islam, kita tentu mengetahui dengan baik hakikat
bahwa Allah SWT telah menetapkan batas-batas dalam pergaulan kerana fitrah manusia tidak
lepas dari kesalahan, dosa, dan kekhilafan. Untuk itu perlu rujukannya dalam bertingkah laku.
Rujukan tersebut diantaranya adalah sunnah Rasulullah SAW, karena risalah pertama yang
disampaikan kepada umat Islam adalah tentang akhlak. Hendaknya dalam kehidupan sehari-
hari kita mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah disampaikan pada kita secara jelas. Agar
dalam pergaulan sehari-hari, kita tidak melampaui batas yang telah ditetapkan, maka kita
harus dapat memahami sabda-sabda Rasulullah tersebut. 
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa hanya pergaulan bebas dan semacamnya
hampir-hampir tidak memiliki batas, kerana kaum muda saat ini berbuat telah hamper
terhakis sifat malunya. Begitu pula halnya kebiasaan mengahabiskan waktu di jalan, hampir-
hampir jadi budaya tambahan pula hubungan silaturrahmi jarang dilakukan. 
Untuk itulah, kita sebagai orang yang berilmu agar bisa mencari jalan keluar untuk
berbagai macam permasalahan dan kemudian kita dapat memprakteknya dalam kehidupan
sehari-hari.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1         LARANGAN BERDUAAN TANPA MAHRAM


2.1.1   TERJEMAHAN HADIS:

‫ال يخلون‬ : ‫ سمعت رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم يخطب يقول‬: ‫عن ابن عباس رضي اهلل عنه قال‬
‫ إن‬,‫ يارسول اهلل‬: ‫ فقال‬.‫ رجل‬3‫فقام‬ .‫ ذومحرم والتسافرالمرأة االمع ذي مخرم‬3‫رجل بإمرأة اال ومعها‬
)‫ انطلق فحج مع إمرأتك (متفق عليه‬:‫ فقال‬,‫إمرأتى خرجت حاجة وإنى اكتتبت فى غزوة كذا و كذا‬
Artinya: “Ibnu Abbas berkata, “saya mendengar Rasurullah SAW berkhotbah, “janganlah
seorang laki-laki bersama dengan seorang perempuan, melainkan (hendaklah) besertanya
(ada) mahramnya, dan janganlah kalian bersafar (bepergian) seorang perempuan, melaikan
dengan mahramnya. “seseorang berdiri lalu berkata, “ya Rasulullah, istri saya keluar untuk
haji, dan saya telah mendaftarkan diri pada peperangan anu dan anu.” Maka beliau
bersabda, “pergilah dan berhaji bersama istrimu.” (Mutatafaq Alaih) [1]

2.1.2   PENJELASAN HADIS:
Dalam hadist di atas ada dua larangan:
1.     Larangan berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan belum resmi
menikah.
2.     Larangan wanita untuk berpergian, kecuali dengan mahramnya.
           
Larangan pertama, para ulama telah sepakat bahwa perbuatan seperti itu haram hukumnya,
tanpa pengecualian. Dalam hadist lain di tambahkan bahwa kalau laki-laki dan perempuan
yang bukan mahram berkumpul, maka yang ketiganya adalah setan, sehingga sangat
mungkin mereka melakukan hal-hal yang di larang oleh syara’.
          Jika ada keperluan kepada wanita yang bukan muhrim, Al-Quran telah mengajarkan,
yaitu melalui tabir:

‫ب َذٲلِڪُمۡ َأ ۡطهَ ُر لِقُلُوبِ ُكمۡ َوقُلُوبِ ِه ۚ َّن‬


ٍ ۚ۬ ‫َوِإ َذا َسَأ ۡلتُ ُموهُ َّن َمتَ ٰـ ۬ ًعا فَ ۡسـَٔلُوهُ َّن ِمن َو َرٓا ِء ِح َجا‬
5
Artiya: “Apabila kamu meminta sesuatu [keperluan] kepada mereka [isteri-isteri Nabi],
maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati
mereka.” (53)                                                     (Q.S, Al-Ahzab: 53)
      
          Larangan yang di maksud tersebut sebagai batasan dalam pergaulan antara lawan jenis
demi menghindari fitnah. Oleh karena itu, larangan islam, tidak semata-mata untuk 
membatasi pergaulan, tetapi lebih dari itu yaitu, untuk menyelamatkan peradaban manusia.
Berduaan dengan lawan jenis merupakan salah satu langkah awal terhadap terjadinya fitnah.
Dengan demikian, larangan perbuatan tersebut, sebenarnya sebagai langkah preventif agar
tidak melanggar norma-norma hukum yang telah di tetapkan oleh agama dan yang telah di
sepakati oleh masyarakat.
          Adapun larangan yang kedua, tentang wanita yang berpergian tanpa mahram, terjadi
perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang menyatakan bahwa larangan tersebut
sifatnya mutlak. Dengan demikian, perjalanan apa saja, baik yang dekat maupun jauh, harus
di sertai mahram. Ada yang berpendapat bahwa perjalanan perjalanan tersebut adalah
perjalan jauh yang memerlukan waktu minimal dua hari. Ada pula yang berpendapat bahwa
larangan tersebut ditujukan bagi wanita yang masih muda saja, sedangkan bagi wanita yang
sudah tua di perbolehkan, dan masih banyak pendapat yang lainnya.
          Sebenarnya, kalu dikaji secara mendalam, larangan wanita mengadakan safar adalah
sangat kondisional. Seandainya wanita tersebut dapat menjaga diri dan diyakini tidak akan
menjadi apa-apa, serta merasa bahwa ia akan merepotkan mahramnya setiap kali akan pergi,
maka perjalanan di bolehkan, misalnya pergi untuk kuliah , kantor dan lain-lainyang memang
sudah biasa di lakukan setiap hari, apalagi kalau kantor atau tempat kuliahnya dekat. Namun
demikian, lebih baik ditemani oleh mahramnya, kalu tidak merepotkan dan mengganggunya.
          Dengan demikian, yang menjadi standar adalah kemaslahatan dan keamanan. Begitu
pula pergi haji, kalau di perkirakan akan aman, apalagi pada sa’at ini telah ada petugas
pembimbing haji yang akan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kelancaran para
jama’ah haji, maka seorang wanita yang pergi haji, tidak di sertai mahramnya di perbolehkan
kalau memang dia sudah memenuhi persyaratan untuk melaksanakan ibadah haji.
          Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahawa pertemuan lelaki dan perempuan tidaklah

6
haram melainkan jaiz (boleh). Bahkan hal-hal seperti itu dituntut apabila bertujuan untuk
kebaikan, seperti dalam urusan yang bermanfaat, amal soleh, kebajikan, perjuangan atau lain-
lain yang memerlukan banyak tenaga lelaki maupun perempuan. Namun kebolehan itu tidak
berarti bahwa batas-batas antara keduanya menjadi lebur dan ikatan syariah dilupakan.[2]

2.1.3   FIQH AL-HADIS:
              Islam melarang pergaulan bebas, seorang laki-laki tidak di perbolehkan berduaan
dengan perempuan yang bukan mahramnya. Wanita pun dilarang mengadakan perjalanan
tanpa di sertai mahromnya. Akan tetapi, larangan mengadakan perjalanan sendirian bagi
wanita adalah sangat kondisional, kalau di yakini bahwa perjalanan tersebut akan aman dari
gangguan fitnah, apalagi kalau dekat, hal itu di perbolehkan.

2.2         SOPAN SANTUN DAN DUDUK DI JALAN


2.2.1   TERJEMAHAN HADIS:

ِ َ‫ ِإيَّا ُكم والْجلُوس بِالطُّرق‬:‫ال‬ َ َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِ َ ‫َأن رس‬ ٍ ‫َعن َأبِي س ِع‬
‫ يَا‬:‫ قَالُوا‬،‫ات‬ ُ َ ُ َْ َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َّ ‫ي‬ ِّ ‫يد الْ ُخ ْد ِر‬ َ ْ
‫ ِإذَا ََأب ْيتُ ْم ِإاَّل‬:‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫ال رس‬ ِ ُ ‫ ما لَنَا ِمن مجالِ ِسنَا ب ٌّد َنتَحد‬،‫ول اللَّ ِه‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ ‫َّث ف َيها َف َق‬ َ ُ ََ ْ َ َ ‫َر ُس‬
،‫الساَل ِم‬َّ ‫ َو َر ُّد‬،‫ف اَأْلذَى‬ ُّ ‫ َو َك‬،‫ص ِر‬ َ َ‫ َو َما َح ُّق الطَّ ِر ِيق؟ ق‬:‫يق َح َّقهُ» قَالُوا‬ َ ‫س فََأ ْعطُوا الطَّ ِر‬ ِ
َ َ‫ض الْب‬
ُّ َ‫ غ‬:‫ال‬ َ ‫ال َْم َجال‬
‫َّه ُي َع ِن ال ُْم ْن َك ِر ( متفق عليه‬ ِ ‫واَأْلمر بِالْمعر‬
ْ ‫ َوالن‬،‫وف‬ ُْ َ ُْ َ
  “dari Abu Said Al-khudry r.a., rasulullah SAW. Bersabda, kamu semua harus menghindari
untuk duduk di atas jalan (pinggir jalan) dalam riwayat lain, di jalan merka
berkata,”Mengapa tidak boleh padahal itu adalah tempat duduk kami untuk mengobrol. Nabi
bersabda, “jika tidak mengindahkan larangan tersebut karena hanya itu tempat untuk
mengobrol, berilah hak jalan.” Mereka bertanya. “apakah hak jalan itu” nabi bersabda,
“menjaga pandangan mata, berusaha untuk tidak menyakiti, menjawab salam, memerintah
kepada kebaikan dan melarang kemunkaran.”[3]
                                       (H.R.Bukhari, Muslim, dan Abu dawud)
2.2.2   PENJELASAN HADIS:
Rasulullah SAW melarang duduk di pinggir jalan, baik dari tempat duduk yang

7
khususu, seperti di atas kursi, di bawah pohon, dan lain-lain. Sebenarnya larangan tersebut
bukan berarti larangan pada tempat duduknya, yakni bahwa membuat tempat duduk di
pinggir jalan itu haram. Terbukti ketika para sahabat merasa keberatan dan berargumen
bahwa hanya itulah tempat mereka mengobrol. Rasulallah SAW. Pun membolehkannya
dengan syarat mereka harus memenuhu hak jalan yaitu berikut ini.
a.                       Menjaga pandangan mata
Menjaga pandangan mata merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim, sesuai
dengan perintah Allah SWT di dalam Al-Quran:

‫ك َأ ۡز َك ٰى لَه ُۗمۡ‌ ِإ َّن ٱهَّلل َ َخبِي ۢ ُر‬


َ ِ‫وا فُرُو َجه ُۚمۡ‌ َذٲل‬
ْ ُ‫ص ٰـ ِر ِهمۡ َويَ ۡحفَظ‬
َ ‫وا ِم ۡن َأ ۡب‬ ْ ُّ‫ين يَ ُغض‬َ ِ‫قُل لِّ ۡل ُم ۡؤ ِمن‬
َ ‫ص ٰـ ِر ِه َّن َويَ ۡحفَ ۡظ َن فُرُو َجه َُّن َواَل ي ُۡب ِد‬
‫ين‬ ۡ ‫ت يَ ۡغض‬
َ ‫ُض َن ِم ۡن َأ ۡب‬ ِ ‫ َوقُل لِّ ۡل ُم ۡؤ ِمنَ ٰـ‬ ‫ُون‬
َ ‫صنَع‬ ۡ َ‫بِ َما ي‬
‌‫ظهَ َر ِم ۡنهَ ۖا‬
َ ‫ِزينَتَه َُّن ِإاَّل َما‬
Artinya:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (30) Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang [biasa]
nampak daripadanya.”(Q.S. an-Nur: 30-31)
     Hal itu tidak mungkin dapat dihindari bagi mereka yang sedang duduk di pinggir
jalan. Ini karena akan banyak sekali orang yang lewat, dari berbagai usia dan berbagai tipe.
Maka bagi para lelaki janganlah memandang dengan sengaja kepada para wanita yang bukan
muhrim dengan pandangan syahwat. Begitu pula, tidak boleh memandang dengan pandangan
sinis atau iri kepada siapa saja yang lewat. Pandanganm seperti ini tidak hanya akan
melanggar aturan Islam, tetapai akan mninimbulkan kecurigaan, persengketaan dan
kemarahan dari oaring yang di pandangnya, apalagi bagi mereka yang mudah tersinggung.
Oleh karena itu, mereka yang sedang duduk di pinggir jalan harus betul-betul menjaga
pandangannya.
b.             Tidak Menyakiti
         Tidak boleh menyakiti orang-orang yang lewat, dengan lisan, tangan, kaki, dan lain-

8
lain. Dengan lisan misalnya mengata-ngatai atau membicarakannya, dengan tangan misalnya
melempar dengan batu-batu kecil atau benda apa saja yang akan menyebabkan orang lewat
sakit dan tersinggung; tidak memercikkan air, dan lain-lain yang akan menyakiti orang yamg
lewat atau ,menyiggung perasaannya.
c.                  Menjawab salam
Menjawab salam hukumnya adalah wajib meskipun mengucapkannya sunnah. Oleh
karena itu, jika ada yang mengucapkan salam ketika duduk di jalan, hokum menjawabnya
adalah wajib. Untuk lebih jelas tentang salam ini, akan di bahas di bawah.
d.                  Memerintah kepada kebaikan dan melarang kemunkaran
Apabila sedang duduk di jalan kemudian melihat ada orang yang berjalan dengan
sombong atau sambil mabuk atau memakai kendaraan dengan ngebut, dan lain-lain, di
wajibkan menegurnya atau memberinya nasihat dengan cara yang bijak. Jika tidak mampu,
karena kurang memiliki kekuatan untuk itu, do’akanlah dalam hati supaya orang tersebut
menyadari kekeliruan dan kecerobohannya
2.2.3   FIQH AL-HADIS:
Rasulullah SAW. Melarang umatnya untuk duduk di pinggir jalan,kecuali kalau tidak
ada tempat lain untuk mengobrol selama mampu memenuhi hak jalan, yaitu: menjaga
pandangan mata, tidak menyakiti yang lewat, menjawab salam,memerintah kebaikan dan
merang kemungkaran.

2.3         MENYEBARLUASKAN SALAM
2.3.1   TERJEMAHAN HADIS:

َّ َ‫ صلى اهلل عليه وسلم لِيُ َسلِّ ْم ا‬ ‫ول اَللَّ ِه‬


,‫ي ِر‬33ِ‫لص ِغ ُير َعلَى اَلْ َكب‬ ُ ‫ال] َر ُس‬ َ َ‫ [ق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬ ‫رضي اهلل عنه‬ َ‫َو َع ْن َأبِي ُه َر ْي َرة‬
.‫ ُمَّت َف ٌق َعلَْي ِه‬ ‫يل َعلَى اَلْ َكثِي ِر‬ ِ ِِ
ُ ‫ َوالْ َقل‬,‫ار َعلَى اَلْ َقاعد‬
ُّ ‫َوال َْم‬
ِ ‫الراكِب َعلَى اَلْم‬ ِ ٍِ ِ
‫اشي‬ َ ُ َّ ‫ – َو‬:‫َوفي ِر َوايَة ل ُم ْسل ٍم‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Hendaklah yang kecil memberi salam pada yang lebih tua, hendaklah yang
berjalan memberi salam pada yang sedang duduk, hendaklah yang sedikit memberi salam
pada yang banyak.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 3231, 3234, dari jalur ‘Atha’ bin

9
Yasar; no. 6232; Muslim, no. 2160 dari jalur Tsabit bin Al-Ahnaf, bekas bukda
‘Abdurrahman bin Zaid, ketiga jalur ini dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam]
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Dan orang yang berkendaraan memberi salam kepada
yang berjalan.”

Faedah Hadits
 
1. Hendaklah yang kecil mengucapkan salam pada yang lebih dewasa karena inilah hak orang
yang lebih tua. Sebab yang lebih muda diperintahkan untuk menghormati yang lebih tua dan
diperintahkan tawadhu’ atau rendah hati.
2. Boleh saja yang lebih tua mengucapkan salam pada anak-anak karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengucapkan salam pada anak-anak. Mengucapkan salam seperti
ini termasuk dalam mengajarkan hal sunnah dan mengajarkan adab yang baik kepada mereka.
Sehingga nantinya ketika sudah dewasa terbiasa untuk mempraktikkan adab salam. Namun
anak kecil kalau diberi salam tidak dibebani wajib untuk menjawabnya karena ia belum
dikenakan hukum syariat. Akan tetapi sesuai adab, anak kecil tersebut disunnahkan
menjawabnya.
3. Orang yang berjalan hendaklah memberi salam kepada orang yang sedang duduk. Ini juga
dimisalkan untuk orang yang masuk memberi salam kepada penghuni rumah.
4. Yang berjumlah sedikit dianjurkan mengucapkan salam pada yang banyak.
5. Orang yang berkendaraan hendaklah mengucapkan salam pada yang berjalan. Di antara
hikmahnya adalah biar yang berkendaraan bersikap tawadhu’ (rendah hati), tidak merasa
merasa berderajat lebih tinggi dengan kendaraannya.
6. Jika derajatnya sama misalnya sama-sama pejalan kaki atau sama-sama pengendara
kendaraan, maka mereka mempunyai hukum yang sama dalam memulai mengucapkan salam.
Sebaik-baik di antara mereka adalah yang memulai mengucapkan salam.
7. Memulai mengucapkan salam menunjukkan semangatnya dalam menjalankan adab,
melaksanakan syariat, dan semangat untuk meraih pahala.

10
BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwasanya:  
1)      Larangan berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan belum resmi
menikah.
2)      Larangan bepergian kecuali dengan mahramnya.
3)      Kemudian larangan duduk dipinggir jalan, disini Rasulullah SAW, membolehkan dengan
syarat harus memenuhi hak jalan antara lain :
1)     Menjaga pandangan mata
2)     Menjawab salam
3)     Memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kepada kemungkaran.
4) Salam, merupakan salah satu identitas seorang muslim untuk saling mendoakan antar sesama
muslim setiap kali bertemu.

11
DAFTAR PUSTAKA

Mahmud As-Syafrawi,. 2009. Assalamu’alaikum Tebarkan Salam Damaikan


Alam. Yogyakarta: Mutiara Media.
Rachmat Syafe'i. 2003. Al-Hadits (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum). Jakarta: PT. Pustaka
Setia.
Yusuf al-Qardhawi. 2010. Fiqh al-Jihad. Penterjemah: Irfan Maulana Hakim et. all.
Bandung: PT Mizan Pustaka.
Yusuf al-Qardhawi; Penterjemah As’ad Yasin. 2008. Fatwa-fatwa Kontemporer 2. Jakarta:
Gema Insani.

12

Anda mungkin juga menyukai