Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

TENTANG KETENTUAN JIMA’ DAN MENIKAHI


PENZINA

Studi Surat Al-Baqarah Ayat 222 s.d. 223 Dan Surat An-Nur Ayat 3

DI SUSUN OLEH KELOMPOK :

TGK : MUKSALMINA
TGK : RIZKI MAHMUDI
TGK : FITRA QUSHAY

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS PERKULIAHAN


PADA MATA KULIAH
STUDI AYAT-AYAT HUKUM KELUARGA(HKI)

PROGAM PASCA SARJANA S-2


PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM ( HKI )
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA (IAIN)
LANGSA 2023
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرمحن الرحيم‬
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Swt, karena atas berkat
rahmat dan kemurahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
ini yang berjudul “Studi Surat Al-Baqarah Ayat 222 s.d. 223 Dan Surat An-Nur
Ayat 3 (Tentang Ketentuan Jima’ Dan Menikahi Penzina)”. Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah

Penulis menyadari bahwa materi yang telah disajikan jauh dari


kesempurnaan, kami yakin bahwa materi ini akan sangat bermanfaat bagi teman-
teman guna membantu kelancaran dan kemudahan dalam memahami materi yang
disajikan. Penulis senantiasa akan berupaya memperbaiki makalah ini sehingga
kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis butuhkan.

Akhirnya penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak


kekurangan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis sangat
mengharapkan kritikan dan konstribusi saran-saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan di masa yang akan datang, dan kepada Allah penulis mohon
petunjuk dan ampunan semoga dilimpahkan Rahmat dan karunia Nya kepada kita
semua Amin ya Rabbal Alamin.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan .......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
BAB II Pembahasan ......................................................................................................... 2
A. Ketentuan Jima’ .................................................................................................... 2
B. Ketentuan Menikahi Penzina…………………………………………………………………12
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 19
Kesimpulan .................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 22

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Alah Swt. menciptakan umat manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan,
dan menjadikannya berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya saling mengenal
dan dengan pengenalan itu nantinya lebih jauh akan menghasilkan
pertemuanpertemuan dan lebih dalam lagi akan tercapai suatu perjodohan laki-laki
dan perempuan di antara umat manusia, karena hidup berjodoh-jodohan adalah
naluri segala makhluk Tuhan termasuk manusia, hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT :

1
َ‫َوم ْن ُكل َش ْيء َخلَ ْقنَا زَ ْو َجيْن لَعَلَّ ُك ْم تَذَ َّك ُر ْون‬

Artinya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu


mengingat (kebesaran Allah).

Menurut hukum Islam, perkawinan adalah ikatan atau akad yang kuat atau
misaqan galizan. Di samping itu, perkawinan tidak lepas dari mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya adalah „ubudiyah (ibadah), ikatan perkawinan ikatan
perkawinan sebagai misaqan galizan dan mentaati perintah Allah bertujuan untuk
membina dan membentuk terwujudnya hubungan ikatan lahir batin seorang pria
dan wanita sebagai suami istri dalam kehidupan keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan syari’at Islam.2

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Ketentuan Jimak Menurut Surat Al-Baqarah Ayat 222/ 223?


2. Bagaimana Hukum Menikahi Penzina Menurut Surat An-Nur Ayat 3?

1
https://qurano.com/id/ (QS. [51] Az-Zariyat : 49)
2
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat (Semarang: Dimas, 1993), hal. 5.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ketentuan Jima’
Pada dasarnya manusia hidup hanya semata- mata mencari jalan yang

diridhoi Allah adalah dengan beribadah kepada-Nya, karena ibadah merupakan

sarana menuju Sang Maha Pencipta, maka dari itulah tata cara ibadah sangatlah

penting untuk dipelajari, dipahami dan diamalkan sesuai dengan syari’at. Adalah

suatu bencana yang maha dahsyat ketika seorang hamba beribadah tanpa

mengetahui ilmu dan kaifiyahnya. Seperti halnya mempelajari ilmu tentang

masalah haid atau yang biasa disebut dengan menstruasi, di mana permasalahan

haid ini sangat erat hubungannya dengan ibadah yang fardhu ‘ain, seperti sholat,

puasa, mandi, hubungan suami istri dan sebagainya terkhusus bagi semua wanita

melakukannya.3

1. Ketentuan Jima’ Menurud Surat Al-Baqarah Ayat (222)

‫سا ٓ َء فى ْٱل َمحيض َو َل تَ ْق َربُوه َُّن َحتَّى‬ َ ‫عن ْٱل َمحيض قُ ْل ه َُو أَ ًذى فَٱ ْعتَزلُوا ٱلن‬ َ َ‫َويَسْـَٔلُونَك‬
َ‫طهرين‬ َ َ‫ٱّلل يُحب ٱلت َّ َّوبينَ َويُحب ْٱل ُمت‬ ُ ‫ط َّه ْرنَ فَأْتُوه َُّن م ْن َحي‬
َّ ‫ْث أَ َم َر ُك ُم‬
َ َّ ‫ٱّللُ إ َّن‬ ْ ‫َي‬
َ َ‫ط ُه ْرنَ فَإ َذا ت‬

Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu


adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan
diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.4

3
Muhammad Ardani Bin Ahmad, Risalah Haidl, Nifas & Istikhadloh, (Surabaya: Al-Miftah,
2011), hal. 11
4
https://tafsirweb.com/857-surat-al-baqarah-ayat-222.html

2
a. Asbababun Nuzul.
Surat al-Baqarah ayat 222 turun bermula dari kisah kaum Yahudi. Di
dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, Imam Ahmad bin Hanbal
menceritakan asbabun nuzul Surat al-baqarah ayat 222 dari riwayat Anas.
Diceritakan di dalam hadis tersebut, sudah menjadi tradisi di kalangan bangsa
Yahudi jika seorang perempuan haid, maka sang suami tidak akan memakan
masakan istrinya yang haid dan bahkan dilarang kumpul bersamanya. Melihat
tradisi kalangan Yahudi seperti itu, salah satu sahabat bertanya kepada
Rasulullah. Rasul sempat terdiam sejenak mendengar pertanyaan tadi, hingga
turunlah Surat al-Baqarah ayat tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan
sahabat tersebut.
Kemudian setelah turun ayat itu, nabi pun berkata: "Lakukanlah segala
sesuatu (kepada isteri yang sedang haid) kecuali bersetubuh". Pernyataan nabi
ini membuat orang-orang Yahudi kaget dan shok.Pasalnya, perihal haid oleh
orang Yahudi dianggap tabu, akan tetapi Rasulullah justru mengatakan bahwa
haid adalah alamiyah dan menyikapinya berbeda dari tradisi Yahudi selama ini.
Tentunya, pernyataan Rasulullah tersebut mendapat reaksi yang jelek dari
orang Yahudi. Mereka mengatakan bahwa apa yang dikatakan Muhammad
adalah bentuk penyimpangan dari tradisi besar mereka.
b. Penjelasan Ayat
Secara bahasa haid bermakna al-sayalan atau mengalirnya sesuatu. Kata
haid di dalam kitab Munjid mempunyai padanan yang berasal dari kata ata
ḥaḍa-ḥaiḍan yang diartikan dengan keluarnya darah dalam waktu dan jenis
tertentu.
Dalam al-Qur'an lafad haid disebutkan empat kali dalam dua ayat; sekali
dalam bentuk fi'il muḍari present and future (yaḥiḍ) dan tiga kali dalam bentuk
isim maṣdar (al-maḥiḍ). Sedangkan secara istilah fikih, haid adalah darah yang
keluar dari ujung rahim perempuan melalu farji dalam kondisi sehat dan bukan
karena faktor melahirkan5.

5
[dutaislam.com/in]

3
Berdasarkan QS Al-Baqarah yang telah diulas diatas, saat wanita
muslimah mendapatkan haidh/menstruasi, maka ia diharamkan oleh Syariat
Islam untuk melakukan hubungan suami istri atau berjima dengan suaminya.
Dalam sebuah hadist pun disampaikan bahwa, yang artinya; Barangsiapa yang
menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah
kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Lakukanlah segala sesuatu (terhadap
wanita haid) selain jima’ “(HR. Muslim).
Dalam hadits disebutkann bahwa bercumbu dengan wanita haidh tidak
masalah selagi tidak terjadi proses di kemaluan. Selain karena alasan agama,
dalam ilmu kesehatan pun hal ini menjadi suatu yang dilarang. Sel telur yang
meluruh dalam dinding rahim harus keluar terlebih dahulu dan tidak boleh
dibuahi. Jika terjadi pembuahan, padahal sel telur tersebut sudah mengalami
peluruhan maka akan terjadi penyakit pada wanita tersebut.

2. Ketentuan Jima’ menurud Surat Al-Baqarah Ayat 223


ُِِۗ‫ّللاَِ َواعلَ ُمواِأَنَّ ُكمِِ ُم ََلقُو ِه‬
َِّ ِ‫ثِلَ ُكمِِفَأتُواِ َحرثَ ُكمِِأَنَّىِِشئتُمِِِۖ َوقَد ُمواِِلَنفُس ُك ِمِِۚ َواتَّقُوا‬
ِ ‫سا ُؤ ُكمِِ َحر‬
َ ِ‫ن‬
َِ‫َوبَشرِِال ُمؤمنين‬
Artinya: “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan
berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (Surah Al-Baqarah ayat
223)
a. Asbababun Nuzul.
Ayat ini turun sebagai sanggahan atas keyakinan kaum Yahudi bahwa jika
suami mencampuri istrinya di farji dari arah belakang maka anak yang lahir
dari hubungan itu akan bermata juling.

4
‫ول إِذا أتى الَر هج هل اِمرأتهه ِمن‬ ِ ِ ِ ِ
‫ كانت الي هه ه‬:‫وعن جابِ ِر ب ِن عبد ا َّلل رضي ا َّلله عن ههما قال‬
‫ود ت هق ه‬

.)‫ (نِسا هؤهكم حرث ل هكم فأتهوا حرث هكم أ َّن ِشئ تهم‬:‫ ف ن زلت‬،‫هدبهِرها ِف قهبهلِها كان الول هد أحول‬
Diterimakan dari Jabir bin Abdullah berkata, “Kaum Yahudi meyakini bahwa
jika seorang suami mencampuri istrinya di lubang farjinya dari arah belakang
maka akan lahir anak yang bermata juling. Berkaitan dengan hal itu turunlah
ayat ini.
b. Penjelasan Ayat
Dalam ayat ini, istri diumpamakan dengan ladang tempat bercocok tanam
dan tempat menyebarkan bibit tanam-tanaman. Boleh mendatangi kebun itu
dari mana saja arahnya asal untuk menyebarkan bibit dan untuk
berkembangnya tanaman dengan baik dan subur. Istri adalah tempat
menyebarkan bibit keturunan agar berkembang dengan baik, maka seorang
suami boleh bercampur dengan istrinya dengan berbagai cara yang
disukainya, asal tidak mendatangkan kemudaratan.Secara bahasa haid
bermakna al-sayalan atau mengalirnya sesuatu.
Salah satu kebutuhan dalam rumah tangga adalah kebutuhan biologis.
Namun ternyata hubungan suami istri ini tidak bisa dilakukan secara
sembarangan. Terdapat beberapa larangan dalam hubungan suami istri
menurut Islam.
Berikut adalah 13 larangan hubungan suami istri menurut Islam:
1. Larangan menggauli ketika istri sedang haid.
Dalam tafsir al-Maragi disebutkan, “telah ditetapkan dalam ilmu
kedokteran, bahwa bersetubuh dengan istri yang tengah mengalami masa haid
akan mendatangkan berbagai bahaya, antara lain: 1). Timbul beberapa
penyakit pada organ tubuh bagian reproduksi (rahim) pada wanita, mungkin
akan timbul gejala radang rahim pada indung telur atau pada 2 kantung sel
telur yang dapat membahayakan kesehatannya. 2). Masuknya unsur-unsur
darah haid pada organ tubuh yang menyimpan bibit reproduksi pada laki-laki
(suami) dan akan menimbulkan radang yang bercampur darah, menyerupai

5
penyakit kelamin dan mungkin akan bertahan lama hingga dapat terjangkit
sifilis (raja singa) jika pada darah haid sang istri terdapat kuman.6 Singkat
cerita bersetubuh dengan istri yang sedang haid bisa menyebabkan
kemandulan pada suami maupun isteri dan menyebabkan terjadinya
peradangan pada organ saluran pelepasan. Kesehatannya juga akan melemah
dan cukup membahayakan pada proses pembuahan janin (calon bayi).

6
Mahmud Mahdi al-Istanbuli, Kado Perkawinan, cet. XXV, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam,
2008), 182-183.

6
2. Larangan bersetubuh melalui dubur atau anus.

Para ulama sepakat dan tidak ada perbedaan bahwa menggauli atau
bersetubuh dengan istrinya seorang suami dilarang atau haram
melakukannya lewat duburnya. Sebab sudah sangat jelaslah bahwa dubur
atau anus itu bukanlah tempat jalan keluarnya bayi atau anak, tetapi tempat
keluarnya kotoran manusia. Perbuatan seperti ini haram dilakukan
meskipun jika dilakukan atas dasar suka sama suka oleh kedua belah pihak.
Karena saling merelakan untuk melakukan perbuatan haram, tidak akan
menjadikannya sebagai perbuatan halal. Dalam haditsnya yang
diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia menuturkan: Rasulullah Saw bersabda,
ِِ‫عنِ ِابن‬
َ ِ ِ،‫ب‬ َ ِ ،‫سال ِم ِبنِ ِأَبيِ ِال َجعد‬
ٍ ‫عنِ ِ ُك َري‬ َ ِ ِ‫عن‬
َ ِ ِ،‫ور‬
ٍ ‫ص‬ َ ِ ِ، ُ‫ِ ِ َحدَّثَنَا ِشَيبَان‬:‫ص‬
ُ ‫عنِ ِ َمن‬ َ ِ ‫َحدَّثَنَا‬
ٍ ‫سع ِدُ ِبنُِ ِ َحف‬
ِ‫ِِاللَّ ُه َِّم‬،‫ّللا‬
َّ ِِ‫ِباسم‬:ُ‫لِحينَِِ َيأتيِأَهلَه‬ َِّ َ‫ِ(أَ َماِلَوِِأ‬:‫سلَّ َم‬
ُِ ‫نِأحدك ِمِ َيقُو‬ َ ‫علَيهِِ َو‬ َّ ِ‫صلَّى‬
َ ُِِ‫ّللا‬ َ ِِ‫لِالنَّبي‬
َِ ‫قَا‬: ‫ل‬
َِ ‫َّاسِقَا‬
ِ ٍ ‫عب‬
َ
َِ ‫ِِأَوِِِقُض‬، َ‫ِِث ُ َِّمِِقُد َِرِِبَينَ ُه َماِِِفيِِذَلك‬،‫طانَِِِ َماِِ َرزَ قتَنَا‬
ِ‫ِِل ِمِِيضر ِه‬،‫يِِ َولَد‬ َ ‫شي‬ َ ‫شي‬
َّ ‫طانَِِِ َو َجنبِِِال‬ َّ ‫َجنبنيِِال‬
7
ِ)‫شيطانِأبدا‬
Artinya:“Adapun seandainya salah seorang dari kalian berucap ketika
mendatangi (mencampuri) isterinya: ‘Dengan menyebut Nama Allah, ya
Allah, jauhkanlah syaitan dariku dan jauhkanlah syaitan dari apa yang
Engkau karuniakan kepada kami’, kemudian Allah menentukan di antara
keduanya dalam percampuran itu atau memberikan anak, maka syaitan
tidak akan memberikan mudharat kepadanya, selamanya.” (HR.Bukhari)

7
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Shahih Al Bukhari (maktabah Syamilah) no 4870 hal. 1982

7
3. Dilarang menyebarkan rahasia ranjang.
Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullahu Ta’ala –
dalam Syarh Bulughul Maram, 4:548 – menjelaskan hadits Abu Sa’id
di atas (hadits riwayat Muslim, no. 1437), “Hadits tersebut
menunjukkan haramnya menyebarkan hal ini, yaitu rahasia ranjang
antara dirinya dan istrinya. Bahkan, hadits tersebut menunjukkan bahwa
tindakan (penyebaran) itu adalah dosa besar, karena adanya ancaman
(dari Allah atas tindakan tersebut) Namun berlaku pengecualian, yaitu
selama ada kebutuhan untuk menjelaskan hukum syar’i (yang terkait
dengan rahasia ranjang) tersebut.8 Syaikh Abu Malik berkata, “Namun
jika ada maslahat syar’i sebagaimana yang dilakukan istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebarkan bagaimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berinteraksi dengan istrinya,
maka tidaklah masalah”9
4. Dilarang berhubungan pada malam awal, pertengahan, dan akhir bulan.
Ibnu Yamun berkata :“Dilarang senggama (menurut pendapat yang
masyhur) dimalam hari raya Idul Adha, Demikian pula dimalam pertama
pada setiap bulan. Dimalam pertengahan pada setiap bulan, Bagitu pula
dimalam terakhir pada setiap bulan.” Hal itu berdasarkan pada sabda
Rasulullah Saw.: “Janganlah kamu bersenggama pada malam permulaan dan
pertengahan bulan” Al-Imam Ghazali mengatakan, bahwa bersenggama
makruh dilakukan pada tiga malam dari setiap bulan, yaitu: pada malam awal
bulan, malam pertengahan bulan, dan pada malam terakhir bulan. Sebab setan
menghadiri setiap persenggamaan yang dilakukan pada malam-malam
tersebut.
5. Dilarang datang diam-diam pada istri.
Rasulullah shall Allahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

8
https://wanitasalihah.com/larangan-menyebarkan-rahasia-ranjang/
9
Shahih Fiqh Sunnah, 3:hal. 189.

8
10ُ
‫شعثَ ِة‬ َ ‫ِِوتَمتَش‬
َّ ‫طِِال‬ ُ ُِِ‫إذَاِقَد َمِِأَ َحدُ ُكمِِلَيَلًِِفََلَِِيَأتيَ َّنِِأَهلَه‬
َ ُ‫ط ُروقًاِ َحتَّىِتَستَحدَِِّال َمغيبَة‬

Artinya“Jika salah seorang dari kalian datang pada malam hari maka
janganlah ia mendatangi istrinya. (Berilah kabar terlebih dahulu) agar
wanita yang ditinggal suaminya mencukur bulu-bulu kemaluannya dan
menyisir rambutnya” (HR. Bukhari no. 5246 dan Muslim no. 715).

6. Dilarang berjima’ saat ihram.


Allah S.W.T berfirman:

‫ج‬
ِ ‫لِِفيِِال َح‬ ُ ُ‫ثِِ َولَِِِف‬
َِ ‫سوقَِِِ َولَِِِجدَا‬ َِ َ‫جِِفََلَِِِ َرف‬ َِ ‫فَ َمنِِِفَ َر‬
َِّ ‫ضِِفيه‬
َِّ ‫نِِال َح‬
Artinya;“Barang-siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
menger-jakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-
bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (QS. Al Baqarah: 197). Ibnu
Abbas berkata dalam menafsirkan ayat di atas : “Ar-Rafats adalah jima’
(melakukan hubungan seks).

7. Dilarang berjima’ saat puasa.


Diriwayatkan oleh Bukhari, 2600 dan Muslim, 1111. Dari Abu Hurairah
radhiallahu anhu, dia berkata,

َِِ‫لِ َو َماِذَاك‬ َِ ‫سلَّ َِمِفَقَا‬


َِ ‫لِ َهلَكتُِِفَقَا‬ َ ‫علَيهِِ َو‬ َِّ ِ‫صلَّى‬
َ ُِ‫ّللا‬ ُ ‫لِ َجا َِءِ َر ُجلِِإلَىِ َر‬
َِّ ِِ‫سول‬
َ ِ‫ّللا‬ َِ ‫قَا‬
َِ ‫ومِشَه َرينِِ ُمتَت َابعَينِِقَا‬
ِ‫لِل‬ ُ َ‫لِفَ َهلِِت َست َطي ُِعِأَنِِت‬
َِ ‫ص‬ َِ ‫لِلِقَا‬ َ ‫لِ َوقَعتُِِبأَهليِفيِ َر َم‬
َِ ‫ضانَِِقَا َِلِت َج ِدُِ َرقَبَ ِةًِقَا‬ َِ ‫قَا‬
ِِ‫لِفيهِِت َمر‬ ُِ ‫قِ َوال َع َر‬
ُِ َ ‫قِالمكت‬ َ ‫لِفَ َجا َِءِ َر ُجلِِمنِِاِلَن‬
ٍِ ‫صارِِب َع َر‬ َِ ‫لِفَت َست َطي ُِعِأَنِِتُطع َِمِستينَِِمسكينًاِقَا‬
َِ ‫لِلِقَا‬ َِ ‫قَا‬
ِ‫ت‬ ُِ ‫حقِِ َماِ َبينَِِل َبتَي َهاِأَه‬
ٍِ ‫لِ َبي‬ َِ ‫ّللاِ َوالَّذيِ َب َعثَكَِِبال‬
َِّ ِ‫ل‬
َِ ‫سو‬ َِ ‫علَىِأَح َو‬
ُ ‫جِمنَّاِ َياِ َر‬ َ ِ‫ل‬ َ َ ‫لِاذهَبِِب َهذَاِفَت‬
َِ ‫صدَّقِِبهِِقَا‬ َِ ‫فَقَا‬
َِ‫لِاذهَبِِفَأَطعم ِهُِأَهلَك‬ ُِ ‫أَح َو‬
َِ ‫جِمنَّاِقَا‬
Artinya: Seseorang datang kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam
dan berkata, “Wahai Rasulullah, celakalah saya!” Beliau bertanya, “Ada
apa dengan anda?” Dia menjawab, “Saya telah berhubungan intim dengan
istri sementara saya dalam kondisi berpuasa (Di bulan Ramadan),” Maka
Rasulullah sallallahu alaihi wa sallalm bertanya, “Apakah anda dapatkan

10
Muslim no. 715). Hal. 55

9
budak (untuk dimerdekakan)?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya,
“Apakah anda mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab,
“Tidak.” Beliau bertanya, “Apakah anda dapatkan makanan unttuk
memberi makan kepada enampuluh orang miskin?” Dia menjawab,
“Tidak.” Kemudian ada orang Anshar datang dengan membawa tempat
besar di dalamnya ada kurmanya. Beliau bersabda, “Pergilah dan
bershadaqahlah dengannya.” Orang tadi berkata, “Apakah ada yang lebih
miskin dari diriku wahai Rasulullah? Demi Allah yang mengutus anda
dengan kebenaran, tidak ada yang lebih membutuhkan diantara dua desa
dibandingkan dengan keluargaku.” Kemudian beliau mengatakan,
“Pergilah dan beri makanan keluarga anda.”
8. Boleh telanjang tapi harus ditutupi selimut.
Dari ‘Atabah bin Abdi As-Sulami bahwa apabila kalian mendatangi
istrinya (berjima’), maka hendaklah menggunakan penutup dan janganlah
telanjang seperti dua ekor himar. (HR Ibnu Majah).

9. Jangan memulai hubungan intim tanpa doa.


ُِ ‫يمِ َواللَّف‬
ِ َ َ‫ظِليَحيَىِق‬
ِ‫ال‬ ُِ ‫َحدَّثَنَاِيَحيَىِبنُِِيَحيَىِ َوإس َح‬
َِ ‫قِبنُِِإب َراه‬
ِ‫َّاسِقَا َل‬
ِ ٍ ‫عب‬ َ ِِ‫عنِِابن‬ َ ِ‫ب‬ ٍِ ‫عنِِ ُك َري‬ َ ِ‫سال ٍِم‬ َ ِِ‫عن‬َ ِ‫ور‬ٍِ ‫ص‬ َ ِِ‫أَخبَ َرنَاِ َجرير‬
ُ ‫عنِِ َمن‬
ِ‫ّللاِاللَّ ُه َِّم‬ َِ ‫يِأَهلَ ِهُِقَا‬
َِّ ِِ‫لِباسم‬ َِ ‫نِأَ َحدَهُمِِإذَاِأَ َرا ِدَِأَنِِيَأت‬َِّ َ‫سلَّ َِمِلَوِِأ‬
َ ‫علَيهِِ َو‬ َِّ ِ‫صلَّى‬
َ ُِ‫ّللا‬ َِّ ِ‫ل‬
َ ِ‫ّللا‬ ُِ ‫سو‬ َِ ‫قَا‬
ُ ‫لِ َر‬
َ ‫ض َّر ِهُِشَي‬
ِِ‫طان‬ َ ‫شي‬
ُ ‫طانَِِ َماِ َرزَ قتَنَاِفَإنَّ ِهُِإنِِيُقَدَّرِِ َبينَ ُه َماِ َولَ ِدِفيِذَلكَِِلَمِِ َي‬ َّ ‫بِال‬ َ ‫شي‬
ِ ‫طانَِِ َو َجن‬ َّ ‫َجنبنَاِال‬
11
‫أَ َبدًا‬
Artinya, “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Ishaq
bin Ibrahim sedangkan lafazhnya dari Yahya keduanya berkata; Telah
mengkhabarkan kepada kami Jarir dari Manshur dari Salim dari Kuraib
dari Ibnu Abbas dia berkata; Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: "Jika salah seorang
dari kalian ingin mendatangi istrinya (mengajak bersetubuh), hendaknya
mengucapkan; BISMILLAH, ALLAHUMMA JANNIBNAS SYAITHAANA
WAJANNIBIS SYAITHAANA MAA RAZAQTANAA (Dengan menyebut nama
Allah, ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa
(anak) yang akan Engkau rezekikan kepada kami), apabila di antara

11
Shahih muslim no 1434, hal. 155.

10
keduanya ditakdirkan mendapatkan anak dari hasil persetubuhan itu, maka
anak tersebut tidak akan dicelakakan setan selamanya."
10. Tidak langsung berhubungan intim.
Rasulullah bersabda, “Siapa pun di antara kamu, janganlah menyamai
isterinya seperti seekor hewan bersenggama, tapi hendaklah ia dahului
dengan perantaraan. Selanjutnya, ada yang bertanya: Apakah perantaraan
itu ? Rasul Allâh SAW bersabda, “yaitu ciuman dan ucapan-ucapan
romantis”. (HR. Bukhâriy dan Muslim).
11. Suami dilarang mendahului istri.
Rasulullah bersabda, “Apabila salah seorang diantara kamu menjima’
istrinya, hendaklah ia menyempurnakan hajat istrinya. Jika ia mendahului
istrinya, maka janganlah ia tergesa meninggalkannya.” (HR. Abu Ya’la).
12. Dilarang berjima’ di tempat terbuka
12 ُ ‫َوالَّذينَِِهُمِِلفُ ُروجهمِِ َحاف‬
َِ‫ظون‬
Artinya: dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
Ketika melakukan hubungan suami istri haruslah dilakukan di tempat yang
tertutup dan tidak dapat dilihat oleh siapapun. Islam sangat melarang
memperlihatkan aurat apalagi hubungan badan pada siapa saja.

13. Tidak berhubungan badan saat badan masih kotor.


Seperti Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah pada suatu hari
pernah menggilir istri-istri beliau, beliau mandi tiap kali selesai berhubungan
bersama ini dan ini. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah lebih baik
engkau cukup sekali mandi saja?” Beliau menjawab, “Seperti ini lebih suci
dan lebih baik serta lebih bersih.” (HR. Abu Daud dan Ahmad).

12
https://tafsirq.com/23-al-muminun/ayat-5

11
B. Menikahi Penzina
Apabila kita menelusuri literatur-literatur yang membahas masalah wanita
pezina dapat kita temukan dalam kitab-kitab fiqh, dan wanita pezina merupakan
wanita yang dapat atau boleh dinikahi, dan pendapat ini adalah pendapat jumhur
ulama yang merupakan pendapat yang sudah populer.
Disebutkan dalam kitab al-Mugni bahwa wanita pezina haram dinikahi, dan
untuk bolehnya menikah itu harus menempuh dua syarat. Syarat pertama yang
ditetapkan yaitu harus beriddah lebih dahulu, dan jika ia hamil maka iddahnya
sampai ia melahirkan anaknya, mereka mendasarkan pada hadis nabi.
Karena sesungguhnya fungsi dari iddah adalah untuk mengetahui kekosongan
rahim, dan juga supaya jelas status nasabnya. Kemudian syarat yang kedua ialah
sudah bertaubat, karena orang yang sudah bertaubat, maka ia tidak lagi dihukumi
sebagai seorang pezina. Maksud pezina ialah waktu sebelum taubat, jadi kalau
sudah bertaubat maka bukan sebagai pezina lagi.

1. Hukum Menikahi Penzina Menurut Surat An-Nur Ayat 3

13
َ‫علَى ْال ُمؤْ منيْن‬
َ َ‫الزانيَةُ َل يَ ْنك ُح َها ٓ ا َّل زَ ان ا َ ْو ُم ْشرك َو ُحر َم ذلك‬
َّ ‫لزان ْي َل يَ ْنك ُح ا َّل زَ انيَةً ا َ ْو ُم ْشر َكةً َّو‬
َّ َ ‫ا‬

Artinya : Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan,
atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh
menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik;
dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.
a. Asbabun Nuzul
Ayat ini diturunkan tatkala orang-orang miskin dari kalangan sahabat
Muhajirin berniat untuk mengawini para pelacur orang-orang musyrik, karena
mereka orang kaya-kaya. Kaum Muhajirin yang miskin menyangka kekayaan
yang dimilikinya itu akan dapat menanggung nafkah mereka. Karena itu
dikatakan, bahwa pengharaman ini khusus bagi para sahabat Muhajirin yang

13
Al-Qur’an surat An-Nur ayat 03

12
miskin tadi. Tetapi menurut pendapat yang lain mengatakan pengharaman ini
bersifat umum dan menyeluruh, kemudian ayat ini dinasakh oleh firman-Nya
yang lain, yaitu, "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara
kalian..." (Q.S. An Nur, 32).
Menurut Ibn Rusyd, para ulama berbeda pendapat tentang menikahi wanita
pezina, kebanyakan ulama (jumhur) membolehkan menikahi wanita pezina, dan
ada juga sebagian ulama melarangnya. Sebab-sebab perbedaan di antara mereka
adalah perbedaan di dalam memahami firman Allah.

ٍ ‫ال َز ِاِن َل ي ن كِ ح إِ ََل زانِي ةً أ و م ش رِك ةً وال َزانِي ةه َل ي ن كِ ح ه ا إِ ََل ز‬


‫ان أ و‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬
ِ ِ ِ
‫مه ش رِك ۚ و هح رِم ذَٰ ل ك ع ل ى ال هم ؤم ن ي‬
Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.14

ِ‫ َل يطا ِوعه على مر ِاده‬:‫ أي‬.ً‫اّللِ ت عاَل ِِب َن الَزِاِن َل يطأ إََِل زانِيةً أو مش ِركة‬
َ ‫هذا خَب ِمن‬
‫ه‬ ‫ه هه‬ ‫ه‬
‫ {الَزانِيةه َل ي ن ِك هحها‬:‫ وكذلِك‬،‫ َل ت رى هحرمة ذلِك‬،‫اصية أو همش ِركة‬ ِ ‫الزّن إََِل زانِية ع‬
ِ ‫ِمن‬
ِ ٍ ‫ ع‬:‫إَِل ز ٍان} أي‬.
‫ {أو همش ِرك} َل ي عتق هد َت ِرميهه‬،‫اص بِ ِزَنهه‬

‫ ر ِضي‬،‫اس‬ ِ ِ‫ عن سع‬،‫يب ب ِن أِِب عمرة‬


ٍ َ‫ ع ِن اب ِن عب‬،‫يد ب ِن هجب ٍْي‬ ِ ِ‫ عن حب‬،‫ي‬ ُّ ‫قال هسفيا هن الثَوِر‬
ِ ‫ ليس هذا ِِبلنِك‬:‫ {الَزِاِن َل ي ن ِك هح َإَل زانِيةً أو همش ِركةً} قال‬:‫اّلله عن ههما‬
‫ إََِّنا ههو‬،‫اح‬ َ
‫ َل ي زِِن ِِبا إََِل ز ٍان أو همش ِرك‬،‫اْلِماعه‬.

14
Referensi : https://tafsirweb.com/857-surat- Surat An-Nur [24] Ayat 3.htm

13
‫اه ٍد‪،‬‬
‫وهذا إِسناد ص ِحيح عنه‪ ،‬وقد روي عنه ِمن غ ِْي وج ٍه أيضا‪ .‬وقد روي عن هُم ِ‬
‫ه‬ ‫ً‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬
‫ومقاتِل ب ِن حيَان‪،‬‬ ‫ٍ‬ ‫ِ ِ‬ ‫و ِعك ِرمة‪ ،‬وسعِ ِ‬
‫الزب ِْي‪ ،‬والضحاك‪ ،‬ومك هحول‪ ،‬ه‬‫يد ب ِن هجب ٍْي‪ ،‬وعهروة ب ِن ُّ‬
‫حنو ذلِك‬
‫ه‬ ‫‪،‬‬ ‫اح ٍ‬
‫د‬ ‫‪.‬وغ ِْي و ِ‬

‫وق ولهه ت عاَل‪{ :‬وح ِرم ذلِك على المؤِمنِي} أي‪ :‬ت ع ِ‬
‫اط ِيه والتَزِو ِ‬
‫يج ِبلب غاَي‪ ،‬أو ت زِو ه‬
‫يج‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬
‫ف ِِبل هف َجا ِر ِمن ِ‬
‫الرج ِال‬ ‫‪.‬العفائِ ِ‬

‫وقال أبو داود الطَيالِ ِسي‪ :‬حدَث نا ق يس‪ ،‬عن أِِب حصي‪ ،‬عن سعِ ِ‬
‫يد ب ِن هجب ٍْي‪ ،‬ع ِن اب ِن‬ ‫ه‬ ‫ُّ‬ ‫ه ه‬
‫الزّن على ال همؤِمنِي‬ ‫اس‪{ :‬و هح ِرم ذلِك على ال همؤِمنِي} قال‪َ :‬حرم َ‬
‫اّلله ِ‬ ‫‪.‬عبَ ٍ‬

‫اّلله على ال همؤِمنِي نِكاح الب غاَي‪ ،‬وت قدم ِف ذلِك‬


‫وقال ق تادةه‪ ،‬وهمقاتِ هل ب هن حيان‪ :‬حَرم َ‬
‫ف قال‪{ :‬و هح ِرم ذلِك على ال همؤِمنِي}‬

‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬


‫كذلك ح ََّت تهست تاب‪ ،‬فإن َتبت ص َح العق هد علي ها وإََل فَل وكذلك َل يص ُّح ت زِو ه‬
‫يج‬
‫اج ِر ال همسافِ ِح‪ ،‬ح ََّت ي تهوب ت وبةً ص ِحيحةً؛ لِقولِِه ت عاَل‪:‬‬
‫المرأةِ اْلَرةِ الع ِفيف ِة ِِبلَرج ِل الف ِ‬
‫ه‬ ‫ه‬
‫{و هح ِرم ذلِك على ال همؤِمنِي}‬

‫اْلم هام أمح هد‪ :‬حدَث نا عا ِرم ‪ ،‬حدَث نا همعت ِمر ب هن هسليمان قال‪ :‬قال أِِب‪ :‬حدَث نا‬ ‫وقال ِ‬
‫اّللِ ب ِن عمرو‪ ،‬ر ِضي َ‬
‫اّلله عن ههما‪ ،‬أ َن ر هج ًَل ِمن‬ ‫اس ِم ب ِن هُم َم ٍد‪ ،‬عن عب ِد َ‬
‫اْلضرِمي‪ ،‬ع ِن الق ِ‬
‫ُّ‬
‫ول" كانت‬ ‫ال َلا‪" :‬أ ُّم مهز ٍ‬
‫ه‬ ‫اّللِ صلَى َ‬
‫اّلله علي ِه وسلَم ِف امرأةٍ يهق ه‬ ‫ال همسلِ ِمي استأذن ر هسول َ‬
‫اّلله علي ِه وسلَم ‪-‬أو‪:‬‬ ‫ط لهه أن تهن ِفق علي ِه ‪-‬قال‪ :‬فاستأذن ر هسول َ‬
‫اّللِ صلَى َ‬ ‫تهسافِ هح‪ ،‬وتش َِت ه‬
‫اّللِ صلَى َ‬
‫اّلله علي ِه وسلَم‪{ :‬الَزِاِن َل ي ن ِك هح َإَل‬ ‫ول َ‬ ‫ذكر لهه أمرها ‪-‬قال‪ :‬ف قرأ علي ِه ر هس ه‬
‫زانِيةً أو همش ِركةً والَزانِيةه َل ي ن ِك هحها إَِل ز ٍان أو همش ِرك و هح ِرم ذلِك على ال همؤِمنِي}‬

‫وقال النَسائِ ُّي‪ :‬أخَبَن عم هرو ب هن علِ ٍي‪ ،‬حدَث نا ال همعت ِم هر ب هن هسليمان‪ ،‬عن أبِ ِيه‪ ،‬ع ِن‬
‫ال َلا‪" :‬أ ُّهم‬
‫ت امرأة يهق ه‬ ‫اّللِ ب ِن عم ِرو قال‪ :‬كان ِ‬‫اس ِم ب ِن هُم َم ٍد‪ ،‬عن عب ِد َ‬
‫اْلضرِم ِي‪ ،‬ع ِن الق ِ‬

‫‪14‬‬
‫اّلله علي ِه وسلم أن‬ ‫اّللِ صلَى َ‬ ‫ول َ‬ ‫اب رس ِ‬ ‫ول" وكانت تهسافِح‪ ،‬فأراد رجل ِمن أصح ِ‬ ‫مهز ٍ‬
‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬
‫اّلله عَز وج َل‪{ :‬الَزِاِن َل ي ن ِك هح َإَل زانِيةً أو همش ِركةً والَزانِيةه َل ي ن ِك هحها إَِل‬
‫ي ت زَوجها‪ ،‬فأن زل َ‬
‫‪.‬ز ٍان أو همش ِرك و هح ِرم ذلِك على ال همؤِمنِي}‬

‫ي‪ :‬حدَث نا عب هد ب هن همحي ٍد‪ ،‬حدَث نا رو هح ب هن عهبادة ب ِن عهبيد َ‬


‫اّللِ ب ِن‬ ‫الَتِم ِذ ُّ‬
‫[و] قال ِ‬

‫ال لهه‬‫س‪ ،‬أخَبِِن عم هرو ب ِن هشعيب عن أبِ ِيه‪ ،‬عن ج ِدهِ قال‪ :‬كان ر هجل يهق ه‬ ‫اْلخن ِ‬
‫"مرثد ب هن أِِب مرث ٍد" وكان ر هج ًَل َي ِم هل اْلهسارى ِمن م َكة ح ََّت َيِِت ِبِِ هم الم ِدينة‪ .‬قال‪:‬‬
‫ال َلا "عناق"‪ ،‬وكانت ص ِديقةً لهه‪ ،‬وأنَهه واعد ر هج ًَل من‬ ‫ت امرأة بغي ِِب َكة يهق ه‬ ‫وكان ِ‬
‫انتهيت إَِل ِظ ِل حائِ ٍط ِمن حوائِ ِط م َكة ِف‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ه‬ ‫ت ح ََّت‬ ‫أهسارى م َكة َيملههه‪ .‬قال‪ :‬فجئ ه‬
‫اق" فأبصرت سواد ِظلِي َتت اْلائِ ِط‪ ،‬ف ل َما ان ت هت‬ ‫لي ل ٍة همق ِمرةٍ‪ ،‬قال‪ :‬فجاءت "عن ه‬
‫ت‪ :‬مرثد ف قالت‪ :‬مرحبًا وأه ًَل هله َم فبِت ِعندَن‬ ‫َل عرف ت ِِن ‪ ،‬ف قالت‪ :‬مرثد؟ ف هقل ه‬ ‫إِ َ‬
‫الزّن‪ .‬ف قالت َي أهل اْلِي ِام‪ ،‬هذا الَر هج هل‬ ‫اّلله ِ‬
‫اق‪ ،‬حَرم َ‬ ‫ت َي عن ه‬ ‫اللَي لة‪ .‬قال‪ :‬ف هقل ه‬
‫ت إَِل غا ٍر ‪-‬أو كه ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ف‬ ‫َيم هل أسرا هكم‪ .‬قال‪ :‬ف تبِع ِِن َثانية ودخل ه‬
‫ت اْلندمة فان ت هي ه‬
‫اه هم‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫فدخل ِ ِ‬
‫ت فيه فجاءهوا ح ََّت ق هاموا على رأسي ف بالهوا‪ ،‬فظ َل ب وهَلهم على رأسي‪ ،‬فأعم ه‬ ‫ه‬
‫احِِب فحملتههه‪ ،‬وكان ر هج ًَل ث ِق ًيَل ح ََّت‬
‫اّلل ع ِِن ‪-‬قال‪ُ :‬ثهَ رجعوا‪ ،‬ف رجعت إَِل ص ِ‬
‫ه‬ ‫ه‬ ‫َه‬
‫ت بِِه‬ ‫ِ ِ‬
‫ت أمحلههه ويعينِن‪ ،‬ح ََّت أت ي ه‬ ‫ت عنهه أكبهله‪ ،‬فجعل ه‬ ‫ت إَِل اْلذخر‪ ،‬ف فكك ه‬ ‫ان ت هي ه‬
‫اّلله علي ِه وسلَم فقلت‪َ :‬ي رسول هللا‪ ،‬أن ِك هح عناقًا؟‬ ‫اّللِ صلَى َ‬
‫ت رسول َ‬ ‫ِ‬
‫المدينة‪ ،‬فأت ي ه‬
‫اّلله علي ِه وسلَم‪ ،‬ف لم ي هرَد عل َي شي ئًا‪،‬‬‫اّللِ صلَى َ‬ ‫ول َ‬
‫ي‪-‬فأمسك ر هس ه‬ ‫أن ِكح عناقًا؟ ‪-‬مَرت ِ‬
‫ه‬
‫ح ََّت ن زلت {الَزِاِن َل ي ن ِك هح َإَل زانِيةً أو همش ِركةً والَزانِيةه َل ي ن ِك هحها إَِل ز ٍان أو همش ِرك‬

‫‪15‬‬
َ ‫اّللِ صلَى‬
‫ {الَزِاِن‬،‫ "َي مرث هد‬:‫اّلله علي ِه وسلَم‬ َ ‫ول‬ ‫و هح ِرم ذلِك على ال همؤِمنِي} ف قال ر هس ه‬
15
} ]‫َل ي ن ِك هح َإَل زانِيةً أو همش ِركةً [والَزانِيةه َل ي ن ِك هحها إَِل ز ٍان أو همش ِرك‬
An-Nasa’i meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bahwa dahulu ada
seorang wanita bernama Ummu Mahzul yang berprofesi sebagai pelacur, lalu
ada salah satu sahabat Nabi saw. yang ingin mengawininya. Maka Allah
menurunkan ayat ini
Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan al-Hakim meriwayatkan dari
hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa dahulu seorang
laki-laki yang bernama Mazid dibawa dari tawanan di Mekah hingga sampai
di Madinah. Dia punya seorang kawan wanita di Mekah yang bernama Inaq.
Dia minta izin kepada Nabi saw. untuk mengawini wanita tersebut, akan
tetapi beliau sama sekali tidak menjawab, hingga turun ayat ini. Maka
Rasulullah bersabda, “Hai Mazid! Pezina laki-laki tidak boleh menikah
kecuali dengan pezina atau perempuan musyrik”. Karena itu, jangan
mengawininya!”
Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Mujahid bahwa ketika Allah
mengharamkan zina-padahal para wanita pelacur itu cantik-cantik- ada yang
berkata, “Biarlah mereka bebas dan menikah.” Maka turunlah ayat ini.
b. Penjelasan Ayat
Zina adalah hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang
wanita yang tidak atau belum diikat oleh suatu perkawinan tanpa disertai
unsur keraguan dalam hubungan seksual tersebut dan tidak ada hubungan
pemilikan, seperti tuan dengan hamba sahaya wanitanya.16
Pezina adalah orang yang biasa melakukan perzinaan, baik Iaki-laki atau
perempuan, dan belum ada niat untuk menghentikan perbuatan zina itu.17
Menurut Yusuf a1-Qaradawi yang dimaksud dengan wanita pezina ialah
wanita-wanita nakal yang melakukan perzinaan dengan terang-terangan, dan

15
Tafsir ibnu kasir
16
Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, cet. Ke I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve,1997), VI: 2026.
17
Kamal Mukhtar, Asas-Asas, hal. 64.

16
menjadikan zina sebagai pekerjaannya.18
Perzinaan termasuk perbuatan yang bisa membahayakan terhadap
kelestarian umat manusia karena dampak buruk yang diakibatkannya. Tidak
mengherankan kalau seluruh agama samawi mengharamkan dan
memberantas perzinaan. Terakhir ialah Islam yang dengan keras melarang
perzinaan dengan memberikan ultimatum yang sangat tajam karena perzinaan
itu dapat mengaburkan masalah keturunan, merusak keturunan,
menghancurkan rumah tangga, meretakkan hubungan, meluasnya penyakit
sipilis, kejahatan nafsu seksual dan merosotnya akhlak.19 Oleh karena itu,
tepatlah apa yang difirmankan Allah untuk tidak mendekati zina apalagi
melakukannya.

ِ ‫وَل ت ق رب وا الزَِن إِنَه ك ان ف‬


ً ِ‫اح ش ةً وس اء س ب‬
‫يَل‬
20
‫ه‬ ‫ه‬
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.

Mażhab Syafi’iyah berpendapat bahwa yang lebih baik adalah bagi seorang
laki-laki untuk tidak menikah dengan seorang wanita pezina, dan bagi seorang
perempuan untuk tidak menikah dengan laki-laki pezina. Tetapi, apabila mereka
melakukan pernikahan, maka perbuatan itu tidak diharamkan dan juga bukan
suatu perbuatan maksiat.21
Menurut Hanabilah seperti yang dikemukakan oleh Ibn Qudamah di dalam
kitab al-Mugni bahwa wanita pezina haram dinikahi oleh orang yang mengetahui
bahwa wanita itu pezina.22 Mażhab ini menetapkan dua syarat untuk boleh
menikahi wanita pezina, dengan dua syarat, yaitu:
1. Taubat nasuha yaitu taubat yang terpenuhi syarat-syaratnya: penyesalan
yang mendalam, meninggalkan perbuatan zina tersebut, dan berniat tidak

18
Yusuf al-Qardawi, al-Hala>l, hal. 175.
19
Yusuf al-Qaradawi, al-Hala>l wa al-Haram fi> al-Isla>m, cet ke-15 (Beirut: al-Maktab
alIslami, 1994), hal. 142.
20
https://tafsirq.com/17-al-isra/ayat-32
21
AsySyafi’i, al-Umm, cet. ke-2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), V:hal. 13.
22
Ibn Qudamah aI-Maqdisi, al-Mugni (Ttp.: Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah. t.t.), VI:
601-603.

17
akan mengulangi perbuatan tersebut di masa yang akan datang. Alasannya
apabila dia belum bertaubat maka statusnya adalah pezina, dan kita
dilarang untuk menikahi wanita pezina sebagaimana dalam firman Allah
surah an-Nur ayat (3), sebagaimana Ibn Kasir berkata dalam kitabnya:
“Dari sini Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa tidak sah akad
antara laki yang menjaga kehormatan dengan wanita yang pezina selama
wanita tersebut belum diminta bertaubat, apabila bertaubat maka sah, jika
tidak maka tidak sah. Demikian pula tidak sah menikahkan wanita yang
menjaga kehormatannya dengan laki-laki yang pezina sampai laki-laki
tersebut bertaubat dengan taubat yang benar ”
2. Istibra‟ (meyakinkan bersihnya kandungan), kalau dia hamil maka sampai
dia melahirkan, sebagaimana rasulullah bersabda “Tidak halal bagi
seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya
di tanaman orang lain” yaitu mendatangi wanita-wanita hamil” Adapun
kalau tidak hamil maka „iddahnya satu kali haid, syarat yang kedua ini
bertujuan untuk membersihkan rahim wanita tersebut agar tidak
bercampur air mani yang ada pada rahim wanita yang ingin dinikahinya.23

c. Hikmah Larangan Menikahi Pezina


Adapun hikmah dibalik turunnya surah An-Nur ayat 2 dan adanya
hadis Rasulullah dapat menjadi dasar untuk memberikan hukuman bagi
pelaku zina yang termuat didalam surah An-Nisa’ ayat 15 dan 16 yang
telah disampaikan sebelumnya menjadi Mansukh. Maka dari sini dapat
diketahui secara gambling hukuman bagi pelaku zina berdasarkan ayat dan
hadis di atas diantaranya:

a). Hukuman cambuk seratus kali dan pengasingan selama satu tahun
bagi pelaku yang melakukan zina yang belum berkeluarga

23
Ibn Kasir, Tafsir ibn Kasir, cet. ke-1 (Beirut: Maktabah an-Nur al-ilmiyah, 1992), III: hal.
254-255.

18
b.). Ditetapkannya hukuman dilempari batu atau rajam bagi yang sudah
memiliki keluarga atau di dera serratus kali.24

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana penjelasan dan pemaparan penyusun dalam bab-bab sebelumnya
dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Ketentuan Jimak Menurud Surat Al Baqarah ayat 222/223:

1. Larangan menggauli Isteri sedang dalam keadaan haidh


2. bercumbu dengan wanita haidh tidak masalah selagi tidak terjadi proses di
kemaluan
3. Istri adalah tempat menyebarkan bibit keturunan agar berkembang dengan
baik, maka seorang suami boleh bercampur dengan istrinya dengan
berbagai cara yang disukainya.

24
Ibid,.128

19
4. Dianjurkan menggauli isteri secara ma’ruf dan muslihat yang telah
ditetapkan oleh syara’

2. Hukum Menikahi Penzina

Mażhab Syafi>‟iyah berpendapat bahwa hukum menikahi wanita pezina

adalah boleh secara mutlak, karena wanita pezina tidak termasuk dalam kelompok

perempuan yang haram dinikahi. Mażhab Syafi>‟iyah membolehkan bagi siapa

saja yang ingin menikahi wanita pezina tersebut baik laki-laki yang merupakan

pasangan dalam melakukan pezinaan atau laki-laki lain yang mengetahui keadaan

wanita pezina tersebut, hal ini di perkuat oleh pendapatnya sahabat yaitu

pendapatnya Abu Bakar , Umar Ibn Khat}t}ab, Ibnu Abbas, dan Jabir r.a.

Syafi‟iyah juga tidak mengistimewakan kehamilan, apabila wanita itu hamil. Dan

apabila ia menggaulinya tidak mengapa tetapi mazhab Syafi>‟iyah

menghukuminya makruh. Sedangkan mażhab H{anabilah berpendapat bahwa

hukum menikahi wanita pezina adalah haram, kecuali telah terpenuhnya dua

syarat, yaitu:

a. Taubat yang nasuha Yaitu taubat yang terpenuhi syarat-syaratnya: penyesalan


yang mendalam, meninggalkan perbuatan zina tersebut, dan berniat tidak akan
mengulangi perbuatan tersebut di masa yang akan datang. Alasannya apabila
dia belum bertaubat maka statusnya adalah pezina, dan kita dilarang untuk
menikahi wanita pezina sebagaimana dalam firman Allah surah an-Nu>r ayat
(3), sebagaimana Ibn Kasir berkata dalam kitabnya: “Dari sini Imam Ahmad
bin Hambal berpendapat bahwa tidak sah akad antara laki yang menjaga
kehormatan dengan wanita yang pezina selama wanita tersebut belum diminta
bertaubat, apabila bertaubat maka sah, jika tidak maka tidak sah. Demikian

20
pula tidak sah menikahkan wanita yang menjaga kehormatannya dengan laki-
laki yang pezina sampai laki-laki tersebut bertaubat dengan taubat yang benar ”

b. Istibra‟ (meyakinkan bersihnya kandungan), kalau dia hamil maka sampai dia
melahirkan, sebagaimana rasulullah bersabda “Tidak halal bagi seseorang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya di tanaman orang
lain” yaitu mendatangi wanita-wanita hamil” Adapun kalau tidak hamil maka
„iddahnya satu kali haid, syarat yang kedua ini bertujuan untuk membersihkan
rahim wanita tersebut agar tidak bercampur air mani yang ada pada rahim
wanita yang ingin dinikahinya. Dan laki-laki pezina tidak boleh mengawini
perempuan yang terpelihara sehingga ia taubat. Dan menurut prinsip kami,
bahwa laki-laki harus meninggalkan istrinya yang berzina untuk kemudian ia
bisa menuntut khulu‟.

B. Saran-saran

Penelitian yang telah dilakukan penyusun ini masih bersifat sederhana, yaitu
hanya menganalisis sebuah teks berdasarkan pendapat-pendapat ulama mazhab
dalam lingkup yang cukup kecil, sehingga penelitian yang bersifat umum terhadap
pendapat ulama mazhab secara lebih luas bisa lebih kuat untuk dijadikan sebagai
pijakan hukumnya.

Bagi para pemuda yang belum menikah maupun masyarakat yang telah
menikah, sangat disarankan membaca penelitian sederhana ini. Tidak hanya untuk
sekedar mengetahui mengenai hukum menikahi wanita pezina saja, akan tetapi
juga untuk mengetahui lebih dalam mengenai pendapat-pendapat para ulama
mazhab tentang menikahi wanita pezina serta metode-metode apa yang digunakan
untuk menetapkan sebuah hukum.

21
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghy, Ahmad Mustofa. Tafsir Al-Maraghy juz IV. Semarang: Toha Putra,
1990.
Ar Rifa’i, Muhammad Nasib. Tafsir Ibn Katsir. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Tafsir Al-Qur’An-Nur Juz IV.


Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an Bayan. Jakarta :Al-Qur’an Terkemuka, 2009

Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Departeman Agama


RI, 2009.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an Terjemah per kata. Jakarta : Darus Sunah,
2011.

Ibn Kasir, Tafsir ibn Kasir, cet. ke-1 (Beirut: Maktabah an-Nur al-ilmiyah, 1992),

22

Anda mungkin juga menyukai