Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“FASAKH NIKAH DISEBABKAN KECACATAN”

OLEH:

ALI MURTADHA (5022022049)

MATA KULIAH :HADIST-HADITS HUKUM KELUARGA


DOSEN PENGAMPU :Dr. ASRAR MABRUR FAZA, S.Th.I., M.A.

PROGRAM PASCA SARJANA

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA (IAIN)

2022/2023

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
A. Latar belakang......................................................................................
B. Rumusan masalah.................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................
A. Takhrij hadits-hadits tentang fasakh nikah...........................................
a. Matan hadits..............................................................................
b. Sanad hadits..............................................................................
c. Skema hadist.............................................................................
d. Status hadist..............................................................................
B. Syarah dan kandungan fikih dalam hadist fasakh nikah.......................
BAB III PENUTUP.........................................................................................
A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pernikahan merupakan suatu ikatan yang dapat menghubungkan antara

pria dan wanita dalam suatu jalinan kekeluargaan. Pernikahan dilakukan harus

sesuai dengan dasar-dasar hukum islam melalui beberapa rukun akad nikah, wali,

saksi, serta adanya mempelai pria dan wanita. Hubungan antar suami istri melalui

pernikahan yang sah itu sudah menjadi nilai spritual dalam agama islam.

Pernikahan kebiasaan nya didasari karena adanya rasa saling mencintai antara

laki-laki dan perempuan. Namun, dalam jalinan pernikahan pasti ada nya

keretakan dalam rumah tangga baik karena faktor ekonomi, finansial, bahkan

dikarenakan adanya kekurangan yang sangat fatal yang ada pada salah satu

mempelai pria atau wanita.

Faktanya, banyak terjadi nya kasus-kasus thalak, fasakh dan lain-lainnya

di daerah kita indonesia khusus nya. Ini semua terjadi karena adanya faktor-faktor

tertentu. Fasakh (membatalkan) pernikahan ini termasuk salah satu yang sering

terjadi dalam kekeluargaan atau dalam konteks pernikahan, oleh karena itu, islam

sendiri mengatur hal- hal apa saja yang membolehkan untuk fasakh nikah. Maka

berdasakan uraian diatas ada baiknya untuk lebih spesifik dan terarah maka

penulis mengajak kita untuk memahami fasakh nikah melalui takhrij hadist

tentang fasakh.

3
C. Rumusan masalah

1. Bagaimanakah takhrij hadist tentang fasakh nikah.?

2. Bagaimana nilai-nilai fikih dalam kandungan hadist fasakh nikah.?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Takhrij hadits tentang fasakh nikah

a. Matan hadits tentang fasakh nikah

Temasuk salah satu hadits yang menyatakan tentang fasakh nikah

ialah hadist yang diambil dari Zaid Bin Ka’ab melalui riwayat imam

Hakim yang berbunyi :

‫ح دثنا أب و بك ر حمم د بن أمحد بن بالوي ه ثن ا احلس ن بن على بن ش بيب املعم رى ثن ا حيىي بن‬
ِ ِ‫ عن َأب‬,‫ب ب ِن عج ر َة‬ ِ
‫يه‬ ْ َ َ ْ ُ ْ ِ ‫يوسوف الرقي أبو معاوية الضرير َع ْن مجيل بن زيد الطائى عن َزيْ د بْ ِن َك ْع‬
ِ ِ ِ ِ ِ ُ ‫قَال تَز َّوج رس‬
‫ت‬
ْ ‫ض َع‬ ْ َ‫ َفلَ َّما َد َخل‬, ‫ول اَللَّه ص لى اهلل علي ه وس لم اَلْ َعاليَةَ م ْن بَيِن غفَا ٍر‬
َ ‫ت َعلَْي ه َو َو‬ ََُ َ َ
ِ ِ‫َأهل‬
ِ َّ ِ‫ وَأمَر هَلَا ب‬, ‫ك‬ ِ ِ ‫اِلْب ِس ي ثِي‬: ‫َال‬
ْ ِ‫ َواحْلَقي ب‬, ‫ابَك‬
ِ ِ
ً َ‫ َرَأى بِ َك ْش ح َها َبي‬, ‫ثيَ َابهَا‬
ُ‫الص َداق ) َر َواه‬ َ َ َ َ َ ‫اض ا َفق‬
1
‫اَحْلَاكِ ُم‬

Artinya : Dari zaid bin Ka’ab bin U’jrah dari ayahnya (Ka’ab) berkata (Ka’ab) ;

Rasulullah menikahi A’liyah dari kelompok bani ghifari, disaat Aliyah

menghampiri nabi ia meletakkan pakaiannya, kemudian Nabi saw

melihat dipinggangnya terdapat putih (supak). maka, rasulullah berkata

“pakailah baju mu, bergabunglah dengan keluargamu serta ambilah

maharmu.(H.R Hakim).
1
Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi, Al-Mustadrak, jilid IV,
Cet ke I, (Haramain), h. 119.

5
Hadits ini merupakan hadist yang ke 6887 didalam kitab mustadrak imam

hakim pada masalah penyebutan A’liyah atau Asma’ binti Nu’man al-Ghifari.2

Ibnu Mu’ayyan menyatkan bahwa Zaid tergolong kepada tidak tsiqqah,

bahkan sebagian ada yang memvonis yakni Abu Abdurrahman menyatakan bahwa

Ibnu Mu’ayyan pernah mengatakan Jamil bin Zaid tidak termasuk orang yang

tsiqqah.3

b. Syarah hadits

‫ول اَللَّ ِه صلى اهلل عليه وسلم اَلْ َعالِيَةَ ِم ْن بَيِن‬ ِ ‫و َع ْن َزيْ ِد بْ ِن َك ْع‬
ُ ‫ َع ْن َأبِ ِيه قَ َال َتَز َّو َج َر ُس‬,‫ب بْ ِن عُ ْجَر َة‬ َ
ِ ‫اِلْب ِس ي ثِي‬: ‫َال‬
‫ َواحْلَِقي‬, ‫ابَك‬ ِ ِ ‫ َفلَ َّما دخلَت علَي ِه ووض ع‬, ‫ِغفَا ٍر‬
ً َ‫ َرَأى بِ َك ْش ح َها َبي‬, ‫ت ثيَ َابهَا‬
َ َ َ ‫اض ا َفق‬ ْ ََ ََ ْ َ ْ َ َ
‫الص َد ِاق ) َر َواهُ اَحْلَاكِ ُم‬ ِ ِ‫َأهل‬
َّ ِ‫ َو ََأمَر هَلَا ب‬, ‫ك‬ ْ ِ‫ب‬

Maksud dari hadist ialah peristiwa ketika rasul menikahi A’liyah (Asma’

binti Nu’man) dari kelompok Bani Ghifari, disaat itu aliyah menghampiri

rasulullah dan ia (a’liyah) meletakkan pakaiannya disaat itu rasulullah melihat ada

bercak putih (supak) pada bagian pinggang nya maka disaat itu rasulullah

memerintahkan A’liyah untuk mengenakan bajunya, dan kembali kepada

keluarganya serta membawa maharnya.

Adapun kandungan yang tertera dalam hadist ini ada beberapa poin :

1. Kebolehan untuk memfasakh nikah karena adanya kecacatan.

2
Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi, Al-Mustadrak, jilid IV,
cet ke I, (Haramain), h. 119.

3
Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi, Al-Mustadrak, jilid IV,
cet ke I, (Haramain), h. 119.

6
ِ
( ً َ‫َرَأى بِ َك ْشح َها َبي‬
( ‫اض‬

2. Kinayah terhadap talaqnya A’liyah sebagai talak satu.( ِ ِ‫َأهل‬


‫ك‬ ِ
ْ ِ‫)واحْلَقي ب‬
َ

3. Boleh bagi wanita untuk mengambil maharnya secara sempurna setelah

difasakh nikahnya.

Hadis ini merupakan suatu hadist yang ingin mendeskripsikan tentang

kebolehan fasakh nikah dikarenakan adanya kecacatan diantara salah satu dua

pihak, banyak juga hadist-hadits yang lain juga mendeskripsikan hal yang serupa.

Diantara hadist-hadist yang menerangkan hal yang serupa ialah

Hadist imam Malik

ِ َّ‫َال عُمَر بْن اخْلَط‬ ِ ِ‫ عن س ع‬،‫يد‬


ِ َّ‫يد بْ ِن الْمس ي‬ ٍِ ٍِ
‫اب َأمُّيَا‬ ُ ُ َ ‫َال ق‬ َ ‫ َأنَّهُ ق‬،‫ب‬ َُ َ ْ َ ‫ َع ْن حَيْىَي بْ ِن َسع‬،‫َو َح َّدثَيِن َع ْن َمالك‬
‫ك لَِز ْو ِجهَا غُ ْر ٌم‬ ِ ِ ‫رج ٍل َتز َّوج امرَأًة وهِبَا جنُو ٌن َأو ج َذام َأو بَرص فَم َّس ها َفلَهَا ص َدا ُقها ك‬
َ ‫َامالً َو َذل‬ َ َ َ َ ٌ َ ْ ٌ ُ ْ ُ َ َْ َ َ ُ َ
4
‫َعلَى َولِِّي َها‬

Artinya: Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari [Yahya bin Sa'id] dari

[Sa'id bin Musayyab] ia berkata; [Umar bin Khattab] berkata; "Laki-

laki mana saja yang menikahi wanita yang terkena gila, atau lepra, atau

kusta, lalu ia menyetubuhinya, maka wanita itu berhak mendapatkan

mahar secara penuh. Dan hal itu berakibat walinya yang wajib

menanggung hutang atas suaminya."

4
Malik bin Anas, Al-Muwattha’, jilid III, (Majmu’ah Furqah Tijariyah, tt.h), h.189.

7
hadist yang ke 1204 dalam kitab Al-Muwattha’ juga mendeskripsikan hal

yang sama boleh fasakh terhadap Wanita atau pria yang terdapat kecacatan dalam

dirinya baik berupa gila, kusta, serta penyakit supak dll. Maka dari itu bisa

dipahami secara khusus bahwa hadist Riwayat Zaid bin Ka’ab tersebut merupakan

hadist yang menerangkan perihal fasakh.

c. Sanad hadits

Berdasarkan penelusuran yang lebih lanjut bahwa hadits ini diriwayat oleh

imam Hakim beliau dari Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Balawiyah

beliau dari Hasan bin a’li bin Syabib al-Mu’ammar beliau dari Yahya bin Yusuf

al-Raqi Abi Mu’awiyah al-Darari beliau dari Jamil bin zaid al-Tha’i beliau

mengambil dari Zaid bin Ka’ab sedangkan Zaid bin Ka’ab dari ayah nya sendiri

yakni Ka’ab.5

1. Hakim

Al-Hâkim yang memiliki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad

bin Abdullah bin Muhammad bin Hamdawiyah bin Nu’aim bin al-Bayyi’

al-Dhabbi al-Thahmâni al-Naysâbûriy dilahirkan di sebuah daerah

bernama Naisabur pada hari Senin 12 Rabi’ al-Awwal 321 H. 6 Dia sering

disebut dengan Abu Abdullah al-Hâkim al-Naysâbûriy atau Ibn al-Bayyi’

atau al-Hâkim Abu Abdullah. Untuk menghindari kekeliruan, ketika

tertulis al-Hâkim, maka yang dimaksud adalah al-Hâkim al-Naysâbûriy,


5
Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi, Al-Mustadrak, jilid IV,
Cet ke I, (Haramain), h. 119

6
Al-Hâkim al-Naysâbûriy, Ma’rifah ‘Ulûm alHadîts, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-‘Ulûm, 1997),
h. 7.

8
bukan orang lain yang memiliki nama atau panggilan yang sama, seperti

Abu Ahmad al-Hâkim, Abu Ali al-Hâkim al-Kabir guru Abu Abdullah al-

Hâkim, ataupun khalifah Fatimiyyah di Mesir, al-Hâkim bin Amrullah. 7

Di antara kitab-kitab yang pernah ditulis al-Hâkim adalah: Takhrîj

al-Shahîhain, Târîkh al-Naisâbûr, Fadhâil Imâm al-Syâfi’iy, Fadhâil al-

Syuyûkh, Târîkh ‘Ulamâ’ al-Naisâbûr, al-Madkhâl ila ‘Ilm alShahîh, al-

Madkhâl ila al-Iklîl, Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts, al-Iklîl, al-Muzakkina li

Ruwât al-Akhbâr, dan al-Mustadrak ‘ala Shahîhain. Namun sebagian

besar karya tersebut tidak dapat ditemukan. Di antara hasil karya yang

sampai saat ini masih ada adalah al-Mustadrak ‘Ala Shahîhain, al-

Madkhâl Ila al-Iklîl dan Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts.8

2. Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Balawiyah

3. Hasan bin a’li bin Syabib al-Mu’ammar

4. Yahya bin Yusuf al-Raqi

5. Abi Mu’awiyah al-Darari

Beliau adalah Muhammad bin Khazim al-tamimi al-Sa’di al Kufi

al-Darari, beliau juga seorang budak dari bani Sa’ad bin Zaid Manah bin

Tamim. Ada pendapat mengatakan bahwa sayyidnya tersebut adalah

paman nya sendiri, sedangkan usia abi Muawiyah saat itu 8 tahun.9

7
Sa’ad bin ‘Abdullah ‘Ali Hamid, Manâhij al-Muhadditsîn, (Riyadh:Dâr al-‘Ulûm al-
Sunnah, 1999), h. 176.

8
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003), h. 243.
9
Jamaluddin abi Hajjaj yusuf al-muzzi, Tadrib al-Kamal fi asma’ al-Rijal, jilid 25, Cet I
(Dar ; Muassasah al-Risalah), h.123.

9
Adapun komentar para ulama terhadap beliau ada beberapa.

Termasuk diantaranya ialah :

 Abdullah bin ahmad bin hambal mengatakan “aku

mendengar ayahku berkata bahwa abi Mu’awiyah al-

Darari selain dari hadits A’masy Hadist nya tergolong

muttharib karena beliau tidak menghafal hadist dengan

begitu baik.”10

6. Jamil bin Zaid Al-Tha’i

7. Zaid bin Ka’ab

Dari seluruh perawi hadist salah satu perawi hadist saja yang terus terang

dikomentari para ulama bahwa perawi tersebut tidak tsiqqah yaitu Jamil bin Zaid

al-Thai. Ini sesuai seperti keterangan yang terdapat dalam ta’liq kitab al-

Mustadraq milik imam hakim.11 Adapun status hadist ini tergolong kepada hadist

Dhai’f memandang salah seroang perawinya jamil bin Zaid termasuk perawi

yang majhul bahkan germasuk perawi yang tidak tsiqqah menurut sebagian

ulama.

d. Skema hadis

10
Jamaluddin abi Hajjaj yusuf al-muzzi, Tadrib al-Kamal fi asma’ al-Rijal, jilid 25, Cet I
(Dar ; Muassasah al-Risalah), h.128.

11
Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi, Al-Mustadrak, jilid IV,
Cet ke I, (Haramain), h. 119

10
Bedasarkan referensi yang diambil melalui kitab Al-Mustadarak Milik

imam Abu Abdullah al-Hakim bahwa skema hadist ini seluruhnya menggunakan

‫ حدثنا‬ada diantaranya menggunakan kata ‫عن‬.

Abu Abdullah al-Hakim

‫حدثنا‬
Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Balawiyah

‫حدثنا‬
Hasan bin a’li bin Syabib al-Mu’ammar

‫حدثنا‬
Yahya bin Yusuf al-Raqi

‫حدثنا‬
Abi Mu’awiyah al-Darari

‫عن‬
Jamil bin Zaid al-Tha’i

‫عن‬
Zaid bin Ka’ab

‫عن‬
Ayahnya.

B. Nilai-nilai fikih dalam kandungan hadist fasakh nikah

11
a. Pengertian fasakh

Sebelum dijelaskan secara rinci apa pengertian dari fasakh nikah perlu

diketahui bahwa metode dalam perpisahan dalam hubungan pernikahan ada

beberapa macam termasuk diantaranya ialah thalaq, fasakh, ditinggal mati dll

sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-mantsur fi al-Qawa’id.

12 ٍ ‫مو‬ َ‫ثَاَل ثَة‬ ‫وَأجنَاسها‬ ‫ َكثِري ًة‬ ‫اح‬


‫ َوفَ ْس ٍخ‬ ‫ َوطَاَل َ ٍق‬ ‫ت‬ َْ َ َ ْ َ َ ِ ‫النِّ َك‬ ‫َف ْر ُق‬
Artinya: pisah dalam nikah mempunyai banyak metode, diantaranya kematian,
thalaq, fasakh.

Adapun pengertian fasakh secara bahasa ialah :

13
ُ ‫الت ْف ِر‬
‫يق‬ َّ  ‫َأ ِو‬ ‫ص‬ َّ  ‫ ُه َو‬ :‫لُغَ ٍة‬ ‫ ُهنَا‬ ‫بِالْ َف ْس ِخ‬ ‫الْ ُمَر ُاد‬
ُ ‫الن ْق‬
Artinya; penghilangan, pemutusan, atau pengapusan.

Sedangkan fasakh secara istilah ialah :

ِِ ِِ ِ ِ ِِ
ْ  ‫م َن‬ ‫الْ َع ْقد‬ ‫ ُح ْك ِم‬ ُ‫ا ْرت َفاع‬ ‫ ُه َو‬ ‫ َْأو‬ ،‫الْ َع ْقد‬ ‫ا ْرتبَاط‬ ‫َح ُّل‬
َّ ‫ َك‬ ‫اَأْلص ِل‬
‫يَ ُك ْن‬ ْ‫مَل‬ ‫َأن‬
Artinya: melepaskan ikatan akad atau menghilangkan hukum akad secara asal
seolah-olah tidak ada.14

Maka dapat disimpulkan bahwa fasakh ialah pembatalan pernikahan


karena sebab yang tidak memungkinkan perkawinan diteruskan, atau karena cacat
atau penyakit yang terjadi pasca akad nikah dan mengakibatkan tujuan pernikahan
tidak tercapai.
12
Badruddin al-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawaid Fiqhiyyah, jilid 3, (Dar al-kutub al-
Ilmiah, 2000), h. 24.

13
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid IV (Dar al-fikr), h. 3149.

14
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid IV (Dar al-fikr), h. 3149.

12
b. Hukum fasakh nikah

Fasakh nikah merupakan suatu hal yang sudah dilegalisai dalam agama

bila terdapata sebab-sebab tertentu seperti halnya cacat, penyakit, atau sebab

lainnya setelah menikah baik pada istri atau pada suami, baik setelah berhubungan

badan maupun belum, baik cacat yang menghalangi hubungan badan maupun

tidak, maka ada hak fasakh terhadap keduanya, dengan catatan fasakh dilakukan

dihadapan hakim atau diputuskan oleh hakim.

Bila pasangan sepakat untuk fasakh tanpa adanya hakim maka fasakhnya

tidak tercapai (tidak sah) terutama fasakh yang disebabkan oleh cacat, penyakit,

atau sebab yang membutuhkan pertimbangan hakim dan juga tenaga medis.

Demikian yang dijelaskan oleh Syeikh Abu Bakar bin Muhammad Syattha dalam

kitab I’anah al-Thalibin.

‫سخ‬ َّ ‫ وذلك‬،‫ضور احلَاكِ ِم‬


َ ‫َأِلن ال َف‬ ُ ُ ‫اصاًل حِب‬
ِ ‫اح ِإن َكا َن ح‬
َ ِ َ‫ورا يِف ف‬
ِ ‫سخ النِّ َك‬ ِ ِ ‫ِإ‬
ً َ‫مَّنَا يَص ُّح اخليَ ُار ف‬
‫ َو ُه َو‬،‫ف ثبو ُت َها َعلَى مزيد نَظ ٍر واِجتِ َه ٍاد‬
ُ َّ‫بإعسا ِر َفَت َوق‬
َ ‫سخ‬ ِ ‫ور ِة َأمر جُم تَ ِهد فِ ِيه كال َف‬ ِ ِ
َ ‫بالعُيُوب املَذ ُك‬
15
‫سخ هِبَا ِمن َغ ِري َحاكِ ًم مَل يَن َفذ‬ ِ ‫اَل يكون ِإاَّل ِمن احلاكِ ِم َفلَو َتر‬
ِ ‫اضيًا بال َف‬ َ َ َ

Artinya : “Khiyar dalam fasakh nikah hanya sah jika dihadiri oleh penguasa

(hakim). Pasalnya, fasakh karena cacat-cacat tersebut di atas

merupakan perkara ijtihadi. Begitu pula fasakh yang terjadi karena

kesulitan memberi nafkah. Maka penetapannya membutuhkan

pandangan dan ijtihad lebih jauh. Walhasil, tidak sah fasakh kecuali

15
Abu Bakar bin Muhammad al-Syattha, I’anah al-Thalibin, jilid III, cet ke I, (Dar al-
Fikr 1997), h. 383.

13
atas putusan hakim. Sehingga seandainya suami-istri sepakat untuk

fasakh karena suatu cacat tanpa hakim maka tetap tidak terlaksana,”

Lain halnya fasakh yang diakibatkan dengan sebab yang jelas. Ia dapat

dialkukan tanpa melalui keputusan hakim. Contohnya fasakh karena ada

hubungan mahram antara kedua mempelai.

Demikian, halnya fasakh yang dilakukan tanpa hakim ketika syarat fasakh

diajukan sewaktu akad. Namun, bila disyaratkan sebelum akad, fasakh harus

dihadapanhakim.

‫ ُحِّر‬  ِ ‫الز ْو َجنْي‬ ِ ‫أح‬  ‫يِف‬ ‫شر َط‬ ‫َأن‬ ِ ِ ِ ِ ‫ َّ ِ ِ خِب‬ ‫ ِمن‬ ‫لِ ُك ُّل‬ ‫وجَي وز‬
َّ  ‫َد‬ ْ َ َّ ‫ َك‬ ُ‫قَبلُه‬  ‫اَل‬ ‫الْ َع ْقد‬  ‫يِف‬ ‫ َوقْ ٍع‬ ‫ َش ْرط‬ ‫ َْلف‬ ‫خيَ ٌار‬  ‫الز ْو َجنْي‬ َ َُُ

 ‫بِكٌْر‬ ‫َأن ََّها‬ ‫بِ َش ْر ٍط‬ ‫ك‬


َ ِ‫ َكَز ْو َجت‬ ‫وب‬
ٍ ‫عُي‬ ‫ ِمن‬ ٌ‫ساَل َمة‬ ‫َأو‬ ‫اب‬
ُ ْ َ َ ْ ٌ َ‫ َشب‬ ‫ َْأو‬ ٌ‫بَ َك َارة‬ ‫ َْأو‬ ‫يَ َس ٌار‬ ‫ َْأو‬ ‫ال‬
ٌ َ‫مَج‬ ‫ َْأو‬ ‫ب‬
ٌ ‫نَ َس‬ ‫ َْأو‬ ً‫يَّة‬
16
ٍ َ‫ق‬  ‫بِاَل‬ ‫ َولَ ْو‬ ‫فَ ْس ٌخ‬ ُ‫ َفلَه‬ ‫ َش ْر ٍط‬ ‫مِم َّا‬  ‫ َْأدىَن‬ ‫ان‬
‫اض‬ ٍ ‫ب‬ ‫فَِإ َّن‬ ، ‫ ِمثْاًل‬ ُ‫حَّرة‬ ‫َأو‬
َ ُ ْ

Artinya, “Diperbolehkan bagi suami atau istri mengambil hak khiyar (fasakh)
yang diikuti dengan syarat sewaktu akad, bukan sebelum akad. Seperti
halnya disyaratkan pada salah seorang suami atau istri harus merdeka,
berketurunan terpandang, berparas cantik atau tampan, berasal dari
kalangan berada, masih perawan atau masih perjaka, atau selamat dari
cacat. Saat akad, si wali mengatakan, ‘Aku nikahkan engkau dengan
syarat dia masih perawan atau merdeka,’misalnya. maka jika terbukti si
perempuan tidak memenuhi syarat, maka suami boleh memfasakh
nikahnya walaupun tanpa hakim.

c. Perbedaan fasakh dengan thalaq.

16
Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in, Jilid III, cet ke I (Dar al-Fikr, 1997), h.384.

14
Adapun perbedaan antara fasakh dengan thalaq ada beberapa

seperti yang disebutkan dalam kitab Hasyiah I’anah al-Thalibin.

‫ُث‬ ً‫ َمَّرة‬ ‫فَ ْس ٌخ‬ ‫ َفلَ ْو‬ ‫الطَّاَل َ ِق‬ ‫ َع َد ُد‬ ‫ص‬ ِ َّ  ‫ُأمو ِر‬ ‫َأربع ِة‬  ‫يِف‬ ‫الطَّاَل َ ُق‬ ‫ي َفا ِر ُق‬ ‫الْ َفس َخ‬ ‫َأن‬ ِ
ُ ‫ َيْن ُق‬  ‫اَل‬ ُ‫َأنَّه‬ ‫اَأْلول‬ ُ ََ ْ ُ ْ َّ  )‫ا ْعلَ ْم‬ (
ٍ َ ‫خِبِ اَل‬ ‫الْ ُكبرى‬ َ‫احْل رمة‬ ‫علَي ِه‬ ‫حُت ِّرم‬  ‫مَل‬ ‫وه َك َذا‬ ‫ثَانِيا‬ ‫فَسخ‬ َّ‫مُث‬ ‫الْع ْق َد‬ ‫جدَّد‬ ‫َّم‬
ِّ  ‫فَِإن ََّها‬ ‫ثَاَل ثًا‬ ‫طَْل ُق‬ ‫ِإذَا‬ ‫ َما‬ ‫ف‬
‫حُتَر‬ َ ْ َ ُْ ْ َ ْ َ ْ ََ ً ُ ْ َ َ َ
ٍ َ ‫خِبِ اَل‬ ‫علَي ِه‬  ‫ َشيء‬  ‫فَاَل‬ ‫ول‬
 ‫ف‬ ِ ‫الدُّخ‬ ‫ َقبل‬ ‫فَس ِخ‬ ‫ِإذَا‬ ‫الثاين‬ ‫مِب ُحلِّ ِل‬  ‫ِإاَّل‬ ‫لَه‬ ‫حَتَ ٍّل‬  ‫واَل‬ َ‫الْم ْذ ُكورة‬ َ‫احْل رمة‬ ‫ َعلَي ِه‬ ‫م‬
َْ ٌْ ُ َْ ْ َ ُ َ َ َ َ ُْ ْ ُ
ٍ َ ‫خِبِ اَل‬ ‫الْ ِمثْ ِل‬ ‫مهر‬ ‫لَ ِزمه‬ ‫الْو ْط ِء‬ ‫بع َد‬ ‫الْعيب‬  ‫لِتبنَّي‬ ‫فَس ٍخ‬ ‫ِإذَا‬ ‫ث‬
 ‫ف‬ ِ ِ‫الثَّال‬ ‫الْمه ِر‬ ‫نِصف‬ ‫علَي ِه‬ ‫فَِإ َّن‬ ‫طَْل ٍق‬ ‫ِإذَا‬ ‫ما‬
ُْ َ َُ َ ْ َ ُ َْ َ ََ ْ َْ َ ْ ْ َ َ
‫ِب‬  ‫ َح ِاماًل‬ ‫كانت‬ ‫ َوِإ َّن‬ ‫هَلَا‬ ُ‫ َن َف ُقه‬  ‫فَاَل‬ ‫لِْل َع ْق ِد‬ ‫مِب َُق َار ٍن‬ ‫فَ ْس ٍخ‬ ‫ِإ َذا‬ ‫ابع‬ َّ  ‫الْ ُم َس َّمى‬ ‫ َعلَْي ِه‬ ‫فَِإ َّن‬ ‫ ِحينَِئ ٍذ‬ ‫طَْل ُق‬ ‫ِإ َذا‬ ‫َما‬
َ ‫الر‬
‫ َوال‬ ‫الْ َف ْس ِخ‬ ‫ ِم َن‬ ‫ ُك ِّل‬  ‫يِف‬ ‫ب‬ ِ ِ ِ ‫الْ َم ْذ ُك‬ ‫احْل ال َِة‬  ‫يِف‬ ‫طَْل ٍق‬ ‫ِإ َذا‬ ‫مَا‬ ‫ف‬
ٍ َ ‫ِخاَل‬
ُ ‫ َفتَج‬  ‫الس ْكىَن‬
ُّ  ‫ َو َُّأما‬ ُ‫الن َفقَ ة‬
َّ  ‫ب‬
ُ ‫ َفتَج‬ ‫ورة‬
َ َ
17 ِ ‫الدُّخ‬ ‫بع َد‬ ‫ َكا َن‬ ‫يث‬
‫ول‬ ُ ‫طَّاَل َق َح‬
ُ َْ

Artinya: “Ketahuilah bahwa fasakh nikah berbeda dengan thalaq dalam empat
hal :
1. Fasakh tidak mengurangi jatah jumlah thalaq, seandainya fasakh satu

kali lalu akad lagi, fasakh lagi kedua kalinya dan seterusnya maka ia

tidak akan mendapati haram kubra. Berbeda jika ia menthalaq sampai

tiga kali maka ia akan mendapati haram kubra dan tidak bisa halal

kecuali dengan perantaraan muhallil.”

2. Fasakh ketika dilakukan sebelum disetubuhi tidak berdampak apapun.

Berbeda dengan thalaq yang berakibat hukum separuh mahar.

17
Abu Bakar bin Muhammad syattha, I’anah al-Thalibin, Jilid III, Cet Ke I, (Dar al-Fikr),
h.336.

15
3. Fasakh ketika dilakukan setelah disetubuhi dikarenakan dijumpainya

aib akan berdampak kewajiban mahar mitsli. Berbeda dengan thalaq

yang berakibat mahar musamma.

4. Fasakh ketika dilakukan bersamaan dengan akad maka tidak ada hak

nafkah untuk pihak wanita meskipun sedang hamil. Berbeda dengan

thalaq yang mewajibkan nafkah. Adapun hak tempat tinggal maka

wajib adanya entah pada fasakh maupun thalaq ketika dilakukan setelah

disetubuhi. Wallahu a’lam.

Maka dapat disimpulkan bahwa antara fasakh dan thalaq jauh sangat berbeda

baik seperti yang sudah tertera dalam kitab Hasyiah I’anah al-Thalibin.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

16
Berdasarkan uraian dalam bab 1 maka dapat disimpulkan bahwa

status hadits tentang masalah fasakh nikah setelah ditakhrij melihat kepada

seluruh perawi tergolong kedalam hadist dha’if karena salah satu

perawinya majhul yaitu Jamil bin Zaid.

Sedangkan nilai-nilai fiqh yang tertera dalam hadist tersebut ialah

kebolehan fasakh nikah disebabkan karena adanya cacat baik berupa

penyakit, ataupun hal-hal yang memperbolehkan untuk fasakh. Serta

membutuhkan ketentuan-ketentuan yang sudah diterapkan seperti yang

tertera dalam nash-nash kitab yang sudah diterapkan oleh penulis dalam

matan ini.

Fasakh dan thalaq sudah lumrah sama-sama mempunyai makna

menghilangkan ikatan antara suami istri. Namun, keduanya mempunyai

perbedaan yang sangat efektif serta mempunyai urgensi yang sangat

mendalam sebagaimana yang adslah nash-nash kitab yang sudah

disebutkan.

B. Saran

Penulis mengakui dalam tulisan ini tentunya masih banyak letak

kesalahan serta kekurangan dengan keterbatasan keilmuan yang penulis

miliki maka penulis berharap kritikan serta saran dari pembaca sekalian.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi, Al-

Mustadrak, jilid IV, Cet ke I, (Haramain)

17
Jamaluddin abi Hajjaj yusuf al-muzzi, Tadrib al-Kamal fi asma’ al-Rijal,

jilid 25, Cet I (Dar ; Muassasah al-Risalah).

Badruddin al-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawaid Fiqhiyyah, jilid 3, (Dar

al-kutub al-Ilmiah, 2000),

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid IV (Dar al-fikr)

Abu Bakar bin Muhammad al-Syattha, I’anah al-Thalibin, jilid III, cet ke

I, (Dar al-Fikr 1997).

Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in, Jilid III, cet ke I (Dar al-Fikr,


1997).

18

Anda mungkin juga menyukai