MAKALAH
Disusun Oleh:
Nama : Zulfikar
NIM : 2022540013
Dosen Pengasuh:
Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, Ph.D
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberi rahmat, taufik dan
hidayahnya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Shalawat beriring salam mari kita anugerahkan kepada Baginda Rasulullah
Muhammad s.a.w yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang
penuh ilmu pengetahuan, dan kepada Alam dan sahabat beliau sekalian yang telah
mambantu perjuangan beliau, dan tak lupa pula kepada orang-orang yang selalu
setiamengikuti ajaran beliau hingga akhir masa.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada ibu
bapak dan segenap keluarga yang telah memberikan fasilitas, dukungan dan doa
teman-teman sekalian, hanya ucapan terimakasih yang dapat kami berikan untuk
semua bantuannya.
Makalah ini yang berjudul “Konsep Thalᾱq Dan Khulu’ Dalam Al-Qur’an”
merupakan tugas mata kuliah Tafsir Tematik yang harus dikerjakan. Penulis yakin
dan percaya dan menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi perbaikan mutu dan isi dari makalah-makalah selanjutnya.
Zulfikar
DAFTAR ISI
COVER ..................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
PEMBAHASAN ........................................................................................................ 1
A. Definisi Thalᾱq dan Khulu‟ ............................................................................. 1
B. Konsep Thalᾱq dan Khulu‟ dalam Al-Qur‟an .................................................. 2
KESIMPULAN ......................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 14
PEMBAHASAN
Thalᾱq secara bahasa berasal dari kata ithlᾱq (artinya melepaskan, atau
Zakariya Al-Anshari, thalᾱq ialah: Melepas tali akad nikah dengan kata thalᾱq dan
yang semacamnya. 3 Begitu juga definisi yang senada dijelaskan oleh Syaikhuna Ibn
Artinya: “(Kitab tentang thalᾱq) Thalᾱq menurut bahasa adalah melepaskan ikatan
hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam
hal thalᾱq ba‟in,5 sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah
1
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke-3, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 192
2
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat…, hal. 192
3
Abi Yahya Zakariya al-Anshori, Fath al-Wahhab, Juz.II, (Semarang: Toha Putra, tt), hal. 72
4
Syaikhuna Ahmad ibnHajar Al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Jld.VIII, (Beirut: Dar Al-Fikr
2009), hal.2
5
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat…, hal. 192
1
2
thalᾱq yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari
satu menjadi hilang hak thalᾱq-nya, yaitu terjadi dalam thalᾱq raj‟i.
Adapun Khulu‟ menurut bahasa, kata khulu‟ dibaca dhammah huruf kha yang
bertitik dan sukun lam dari kata khila‟ dengan dibaca fathah artinya naza‟
(mencabut), karena masing-masing dari suami istri mencabut pakaian yang lain. 6
Menurut para fuqaha‟, khulu‟ kadang dimaksudkan makna yang umum, yakni
perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai „iwadh yang diberikan oleh istri
kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan
kata khulu‟, mubara`ah maupun thalᾱq. Kadang dimaksudkan makna yang khusus,
yaitu thalᾱq atas dasar „iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata khulu‟
tebusan yang dibayar oleh seorang istri kepada suami yangmembencinya, agar ia
(suami) menceraikannya.8
pembahasan dalam tafsirnya yang berkaitan dengan hukum thalᾱq dengan ketentuan
6
Abdul Aziz Muhammad Azam, Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Al-Usrotu wa Ahkamuha Fi
at-Tasyri‟ al-Islamy, Diterjemahkan oleh Abdul Majid Khon, Cet. Ke-I (Jakarta: AMZAH, 2009),
hal.297
7
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat..., hal. 220
8
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Al-Jami‟ Fi Fiqhi an-Nisa‟, Terj. M. Abdul Ghofar,
Cet. Ke-26, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hal. 471
3
Imam Jalalain menafsirkan maksud dari pemahaman ayat ini dalam karya
{واملطلقات يرتبصن} أي لينتظرن {بأنفسهن} عن النكاح {ثالثة قروء} متضي من حني الطالق مجع
قرء بفتح القاف وىو الطهر أو احليض قوالن وىذا يف املدخول هبن أما غريىن فال عدة عليهم لقولو
{فما لكم عليهن من عدة} ويف غري اآليسة والصغرية فعدهتن ثالثة أشهر واحلوامل فعدهتن أن يضعن
محلهن كما يف سورة الطالق واإلماء فعدهتن قرءان بالسنة {وال حيل هلن أن يكتمن ما خلق اهلل يف
10
أرحامهن} من الولد واحليض
Artinya: “(Dan wanita-wanita yang dithalᾱq hendaklah menunggu) atau menahan
(diri mereka) dari kawin (selama tiga kali quru') yang dihitung dari
mulainya dijatuhkan thalᾱq. Dan quru' adalah jamak dari qar-un dengan
mematahkan qaf, mengenai hal ini ada dua pendapat, ada yang
mengatakannya suci dan ada pula yang mengatakannya haid. Ini mengenai
wanita-wanita yang telah dicampuri. Adapun mengenai yang belum
dicampuri, maka tidak ada idahnya berdasarkan firman Allah, "Maka
mereka itu tidak mempunyai idah bagimu. Juga bukan lagi wanita-wanita
yang terhenti haidnya atau anak-anak yang masih di bawah umur, karena
bagi mereka idahnya selama tiga bulan. Mengenai wanita-wanita hamil,
maka idahnya adalah sampai mereka melahirkan kandungannya
sebagaimana tercantum dalam surah At-Thalᾱq, sedangkan wanita-wanita
budak, sebagaimana menurut hadis, idah mereka adalah dua kali quru'
9
Departemen Agama Republik Indonesia,Al-Qur‟an dan Terjemahannya,2005, hal. 45
10
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, jld.I, (Kairo: Dar al-
Hadis, tth), hal.49
4
Menunggu tiga kali quru‟, yakni tiga kali haid atau tiga kali suci dari haidh.
Menahan diri (menunggu) menurut Sayyid al-Qutbh dalam menafsirkan ayat di atas
bahwa, selain terkandung makna wanita itu harus menahan diri menanti tanpa kawin
lagi sampai selesai tiga kali haid atau sampai suci, juga mengandung pengertian
bahwasecara alamiyah seorang wanita yang sedang menunggu (masa „iddah) akan
rencana kehidupan yang akan datang. Dalam arti, untuk memantapkan dirinya bahwa
kegagalan dalam rumah tangga yang ia alami bukan akibat dari kelemahannya atau
kekurangannya, justru karna hal ini si wanita akan menarik pria lain untuk membina
Pada ayat selanjutnya membahas khusus tentang bilangan thalᾱq, hak wanita
yang di-thalᾱq untuk memiliki mas kawin dan haramnya suami mengambil kembali
mas kawin pada waktu perceraian, kecuali dalam satu keadaan. Yaitu, si istri
Artinya: “Thalᾱq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
11
Sayyid al-Quthb, Tafsir fi Zilal al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Ilmiyah, tt), hal. 292
5
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-
orang yang zalim”. (Al-Baqarah [2]: 229).
Sayyid al-Qutbh menafsirkan ayat di atas sebagai ketentuan bahwa thalᾱq itu
terbatas dan terikat. Tidak ada jalan untuk mengabaikan ketentuan ini dengan
mempermainkan waktu. Apabila terjadi thalᾱq pertama, maka pada masa „iddah si
suami punya hak untuk me-ruju‟-nya dengan tanpa melakukan akad baru. Akan
tetapi, jika masa „iddah itu terus berjalan hingga habis, maka si istri telah lepas
darinya. Dalam arti tidak dapat kembali lagi kepadanya kecuali dengan akad dan
mahar yang baru. Apabila dia merujuknya ketika masa „iddah, atau dia
mengawininya kembali setelah terjadi thalᾱq ba‟in sughra, maka dia dapat
menjatuhkan thalᾱq pada istrinya sebagaimana thalᾱq pertama tadi dengan segala
hukumnya. 12
Adapun jika dia telah men-thalᾱq-nya tiga kali, maka thalᾱq tersebut
termasuk ke dalam thalᾱq ba‟in kubra dan dia tidak boleh merujuknya dalam masa
„iddah atau mengawininya kembali setelah habis masa „iddah-nya, kecuali dengan
syarat istrinya tersebut telah kawin dengan lelaki lain atau yang diistilah dengan
nikah muhallil, lalu terjadi perceraian secara wajar dan telah ba‟in habis „iddah-nya
13
serta tidak dirujuki oleh suami keduanya itu. Atau terjadi beberapa kali thalᾱq
dengan suami keduanya itu. Maka, pada waktu itu boleh ia nikah kembali dengan
12
Sayyid al-Quthb, Tafsir Fi Zilal al-Qur‟an…, hal. 91-93
13
Sayyid al-Quthb, Tafsir Fi Zilal al-Qur‟an…, hal. 91-93
6
asal thalᾱq adalah mubah (boleh), karena bisa saja suatu pernikahan hanya membawa
menukil pendapat dari Imam Ibnu Hajar al-„Asqalani menyatakan perihal hukum
1. Wajib. Hukum thalᾱq atau cerai menjadi wajib saat dirasa perselisihan yang
terjadi antara sepasang suami istri tidak mungkin lagi untuk diperbaiki.
2. Sunnah. Hukum thalᾱq yang ini berlaku jika seseorang tidak mampu untuk
memenuhi hak-hak istrinya atau karena istrinya tidak memiki sifat „afifah
3. Thalᾱq atau cerai bisa menjadi haram jika thalᾱqnya adalah thalᾱqbid‟iy.
Maksudnya adalah thalᾱq yang tidak sesuai petunjuk al-Qur‟an dan sunah
yaitu dijatuhkan saat istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci
4. Makruh, yaitu saat kondisi rumah tangganya terbebas dari hal-hal di atas atau
14
Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran, Jld.III, (Cairo: Dar al-
Kutub al-Mishriyyah, 1964), hal.129-130
15
Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran…, hal.130
16
Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran…, hal.130
7
pengingat bagi orang yang berumah tangga untuk tidak menganggap remeh thalᾱq
sehingga bisa diucapkan kapan saja, terlebih bagi laki-laki, ia tidak boleh
Seperti diketahui, tujuan pernikahan sangat mulia, tidak hanya penting secara
pernikahan juga bisa menjaga diri dari hal-hal yang merusak kehormatan. Maka dari
ini, ada benarnya ungkapan madzhab Hanafi dan Hanbali di atas, bahwa thalᾱq tanpa
صلَّى ِِ ِ ِ {ِ َا َلَّ ْقتم النسسء فَطَلِّ ُق:لقد أباح اهلل تعاَل الطالق بقولو
َ وى َّن لعدَّهت َّن} وقد روي عن رسول اهلل
ُ ُُ
ِ
ُ « ويف لفظ. »« َّن من أبغض املباحات عند اهلل َعَّ َو َج َّل الطالق:اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّمَ أنو قال
ابغض
18
.. »احلالل َل اهلل الطالق
Artinya: “Sungguh Allah ta'ala telah membolehkan thalᾱq dengan firmannya:
“Apabila kalian men-thalᾱq istri istri kalian, maka thalᾱqlah mereka untuk
mudah menjalani „iddah mereka dan sungguh diriwayatkan sebuah hadits
dari pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, bahwa sesungguhnya
Rasulullah bersabda: “Bahwa sungguh sebahagian daripada perkara mubah
17
Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran, Jld.III, (Cairo: Dar al-
Kutub al-Mishriyyah, 1964), hal.130
18
Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai‟ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam Cet.I, Jld.II,
(Bairut: Maktabah al-Ghazali, 1980) hal.596
8
yang paling Allah benci adalah thalᾱq. Dan pada lafadz hadits yang lain:
“Perbuatan halal yang paling Allah benci adalah perbuatan thalᾱq”.
Dari penjelasan yang ada, berdasarkan beberapa penafsiran ulama salaf al-
shalih terdahulu, dapat disimpulkan bahwa hukum thalᾱq pada dasarnya adalah
hukum, yaitu: wajib bagi seorang suami yang telah men-tauliyah istrinya, sunnah
bagi suami yang tidak mampu memenuhi kewajibannya, haram dalam kasus thalᾱq
Allah SWT dalam ayat selanjutnya mempertegas tentang thalᾱq tiga dan
khulu‟. Para suami-suami diarahkan untuk berbuat yang ma‟ruf, mudah dan baik
19
Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai‟ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, hal.597
9
terhadap mantan istrinya sesudah thalᾱq atau khulu‟ dalam semua keadaan, berikut
Artinya: “Kemudian jika si suami men-thalᾱq-nya (sesudah thalᾱq yang kedua),
Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan
suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada
kaum yang (mau) mengetahui”. (QS. Al-Baqarah [2]: 230).
ketika masih terikat dengan suatu ikatan maupun telah terputus. Tidak boleh ada niat
untuk menyakiti dan menyulitkan satu pihak yang memicu kepada suatu perceraian.
Unsur pokok yang dibawa kedua ayat membicarakan pengaruh sikap-sikap positif di
atas agar tetap dijaga ketika tali hubungan suami istri masih kukuh ataupun sudah
putus.
Dalam tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menafsirkan ayat 230 di atas dengan
mengemukakan bahwa pada kalimat “Maka, seandainya dia (si suami) memilih
untuk menceraikan istrinya dengan perceraian yang ketiga atau thalᾱq yang ketiga
pada masa „iddah-nya, atau mencerainya sesudah rujuk – setelah thalᾱq kedua - baik
dengan menerima tebusan (khulu‟) atau pun tidak, maka dia, yakni mantan istrinya
itu tidak halal lagi baginya, sampai ia menikah lagi dengan orang lain:. Pada ayat 230
ini menggunakan kata “in” yang di atas diterjemahkan dengan “seandainya”. Kata
ini biasanya digunakan untuk sesuatu yang diragukan atau jarang terjadi. 20
20
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, hal. 602
10
sesuatu hal yang jarang terjadi. Seandainya dia menceraikannya, yakni jika suami
baru itu menceraikan wanita tersebut, maka tidak ada halangan dan dosa bagi
keduanya, yakni suami yang lalu dan mantan istrinya untuk kawin, jika mereka
21
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, hal. 602
11
22
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, hal. 602
KESIMPULAN
Sebagai akhir dari pembahasan dalam karya imiah ini, penulis mengambil
1. Thalᾱq itu terbatas dan terikat. Tidak ada jalan untuk mengabaikan ketentuan
pada masa „iddah si suami punya hak untuk me-ruju‟-nya dengan tanpa
melakukan akad baru. Akan tetapi, jika masa „iddah itu terus berjalan hingga
habis, maka si istri telah lepas darinya. Dalam arti tidak dapat kembali lagi
kepadanya kecuali dengan akad dan mahar yang baru. Apabila dia
terjadi thalᾱq ba‟in sughra, maka dia dapat menjatuhkan thalᾱq pada istrinya
2. Jika seorang suami telah men-thalᾱq istrinya tiga kali, maka thalᾱq tersebut
termasuk ke dalam thalᾱq ba‟in kubra dan dia tidak boleh merujuknya dalam
kecuali dengan syarat istrinya tersebut telah kawin dengan lelaki lain atau
yang diistilah dengan nikah muhallil, lalu terjadi perceraian secara wajar dan
telah ba‟in habis „iddah-nya serta tidak dirujuki oleh suami keduanya itu.
Atau terjadi beberapa kali thalᾱq dengan suami keduanya itu. Maka, pada
waktu itu boleh ia nikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama.
3. Hak wanita yang di-thalᾱq untuk memiliki mas kawin merpakan hak yang
tidak dapat diganggu dan haram bagi suami mengambil kembali mas kawin
pada waktu perceraian, kecuali dalam satu keadaan. Yaitu, si istri melakukan
12
13
khulu‟ tersebut termasuk ke dalam thalᾱq ba‟in kubra dan dia tidak boleh
masa „iddah-nya, kecuali dengan syarat istrinya tersebut telah kawin dengan
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke-3, (Jakarta: Kencana, 2008),
Abi Yahya Zakariya al-Anshori, Fath al-Wahhab, Juz.II, (Semarang: Toha Putra, tt),
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, jld.I, (Kairo: Dar
al-Hadis, tth),
Sayyid al-Quthb, Tafsir fi Zilal al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Ilmiyah, tt),
Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai‟ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam Cet.I,
Jld.II, (Bairut: Maktabah al-Ghazali, 1980).
14