Anda di halaman 1dari 17

KONSEP THALĀQ DAN KHULU’ DALAM AL-QUR’AN

MAKALAH

Disusun Oleh:
Nama : Zulfikar
NIM : 2022540013

Dosen Pengasuh:
Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, Ph.D

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberi rahmat, taufik dan
hidayahnya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Shalawat beriring salam mari kita anugerahkan kepada Baginda Rasulullah
Muhammad s.a.w yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang
penuh ilmu pengetahuan, dan kepada Alam dan sahabat beliau sekalian yang telah
mambantu perjuangan beliau, dan tak lupa pula kepada orang-orang yang selalu
setiamengikuti ajaran beliau hingga akhir masa.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada ibu
bapak dan segenap keluarga yang telah memberikan fasilitas, dukungan dan doa
teman-teman sekalian, hanya ucapan terimakasih yang dapat kami berikan untuk
semua bantuannya.
Makalah ini yang berjudul “Konsep Thalᾱq Dan Khulu’ Dalam Al-Qur’an”
merupakan tugas mata kuliah Tafsir Tematik yang harus dikerjakan. Penulis yakin
dan percaya dan menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi perbaikan mutu dan isi dari makalah-makalah selanjutnya.

Muara Dua, 20 September 2022


Penulis

Zulfikar
DAFTAR ISI

COVER ..................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii

PEMBAHASAN ........................................................................................................ 1
A. Definisi Thalᾱq dan Khulu‟ ............................................................................. 1
B. Konsep Thalᾱq dan Khulu‟ dalam Al-Qur‟an .................................................. 2

KESIMPULAN ......................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 14
PEMBAHASAN

A. Definisi Thalᾱq dan Khulu’

Thalᾱq secara bahasa berasal dari kata ithlᾱq (artinya melepaskan, atau

meninggalkan. Sedangkan menurut istilah syara‟, thalᾱq yaitu: Melepas tali

perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.1 Sedangkan Al-Jaziry

mendefinisikan: Thalᾱq ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi

pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.2 Adapun menurut Abu

Zakariya Al-Anshari, thalᾱq ialah: Melepas tali akad nikah dengan kata thalᾱq dan

yang semacamnya. 3 Begitu juga definisi yang senada dijelaskan oleh Syaikhuna Ibn

Hajar al-Haitami sebagai berikut:

‫(كتاب الطالق) ىو لغة حل القيد وشرعا حل قيد النكاح باللفظ اآليت‬


4

Artinya: “(Kitab tentang thalᾱq) Thalᾱq menurut bahasa adalah melepaskan ikatan

pernikahan. Sedangkan menurut istilah adalah melepaskan ikatan

pernikahan dengan lafadz tertentu”.

Jadi thalᾱq ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah

hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam

hal thalᾱq ba‟in,5 sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah

berkurangnya hak thalᾱq bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah

1
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke-3, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 192
2
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat…, hal. 192
3
Abi Yahya Zakariya al-Anshori, Fath al-Wahhab, Juz.II, (Semarang: Toha Putra, tt), hal. 72
4
Syaikhuna Ahmad ibnHajar Al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Jld.VIII, (Beirut: Dar Al-Fikr
2009), hal.2
5
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat…, hal. 192

1
2

thalᾱq yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari

satu menjadi hilang hak thalᾱq-nya, yaitu terjadi dalam thalᾱq raj‟i.

Adapun Khulu‟ menurut bahasa, kata khulu‟ dibaca dhammah huruf kha yang

bertitik dan sukun lam dari kata khila‟ dengan dibaca fathah artinya naza‟

(mencabut), karena masing-masing dari suami istri mencabut pakaian yang lain. 6

Menurut para fuqaha‟, khulu‟ kadang dimaksudkan makna yang umum, yakni

perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai „iwadh yang diberikan oleh istri

kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan

kata khulu‟, mubara`ah maupun thalᾱq. Kadang dimaksudkan makna yang khusus,

yaitu thalᾱq atas dasar „iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata khulu‟

(pelepasan) atau yang semakna seperti mubara`ah (pembebasan).7 Khulu‟ adalah

tebusan yang dibayar oleh seorang istri kepada suami yangmembencinya, agar ia

(suami) menceraikannya.8

B. Konsep Thalᾱq dan Khulu’ dalam Al-Qur’an

Sebagaimana pembahasan thalᾱq dalam al-Qur‟an surah al-Baqarah dimulai

dengan membicarakan hukum „iddah dan ruju‟. Sayyid al-Qutbh memulai

pembahasan dalam tafsirnya yang berkaitan dengan hukum thalᾱq dengan ketentuan

„iddah wanita yang dicerai.

Berikut Firman Allah swt:

6
Abdul Aziz Muhammad Azam, Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Al-Usrotu wa Ahkamuha Fi
at-Tasyri‟ al-Islamy, Diterjemahkan oleh Abdul Majid Khon, Cet. Ke-I (Jakarta: AMZAH, 2009),
hal.297
7
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat..., hal. 220
8
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Al-Jami‟ Fi Fiqhi an-Nisa‟, Terj. M. Abdul Ghofar,
Cet. Ke-26, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hal. 471
3

                

                 

          


Artinya: “Wanita-wanita yang dithalᾱq handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru‟. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi
Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. " (QS. Al-Baqarah [2]: 228). 9

Imam Jalalain menafsirkan maksud dari pemahaman ayat ini dalam karya

beliau sebagai berikut:

‫{واملطلقات يرتبصن} أي لينتظرن {بأنفسهن} عن النكاح {ثالثة قروء} متضي من حني الطالق مجع‬
‫قرء بفتح القاف وىو الطهر أو احليض قوالن وىذا يف املدخول هبن أما غريىن فال عدة عليهم لقولو‬
‫{فما لكم عليهن من عدة} ويف غري اآليسة والصغرية فعدهتن ثالثة أشهر واحلوامل فعدهتن أن يضعن‬
‫محلهن كما يف سورة الطالق واإلماء فعدهتن قرءان بالسنة {وال حيل هلن أن يكتمن ما خلق اهلل يف‬
10
‫أرحامهن} من الولد واحليض‬
Artinya: “(Dan wanita-wanita yang dithalᾱq hendaklah menunggu) atau menahan
(diri mereka) dari kawin (selama tiga kali quru') yang dihitung dari
mulainya dijatuhkan thalᾱq. Dan quru' adalah jamak dari qar-un dengan
mematahkan qaf, mengenai hal ini ada dua pendapat, ada yang
mengatakannya suci dan ada pula yang mengatakannya haid. Ini mengenai
wanita-wanita yang telah dicampuri. Adapun mengenai yang belum
dicampuri, maka tidak ada idahnya berdasarkan firman Allah, "Maka
mereka itu tidak mempunyai idah bagimu. Juga bukan lagi wanita-wanita
yang terhenti haidnya atau anak-anak yang masih di bawah umur, karena
bagi mereka idahnya selama tiga bulan. Mengenai wanita-wanita hamil,
maka idahnya adalah sampai mereka melahirkan kandungannya
sebagaimana tercantum dalam surah At-Thalᾱq, sedangkan wanita-wanita
budak, sebagaimana menurut hadis, idah mereka adalah dua kali quru'
9
Departemen Agama Republik Indonesia,Al-Qur‟an dan Terjemahannya,2005, hal. 45
10
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, jld.I, (Kairo: Dar al-
Hadis, tth), hal.49
4

(Dan mereka tidak boleh menyembunyikan apa yang telah diciptakan


Allah pada rahim-rahim mereka) berupa anak atau darah haid”.

Menunggu tiga kali quru‟, yakni tiga kali haid atau tiga kali suci dari haidh.

Menahan diri (menunggu) menurut Sayyid al-Qutbh dalam menafsirkan ayat di atas

bahwa, selain terkandung makna wanita itu harus menahan diri menanti tanpa kawin

lagi sampai selesai tiga kali haid atau sampai suci, juga mengandung pengertian

bahwasecara alamiyah seorang wanita yang sedang menunggu (masa „iddah) akan

timbul dorongan-dorongan dalam dirinya untuk memikirkan dan mempersiapkan

rencana kehidupan yang akan datang. Dalam arti, untuk memantapkan dirinya bahwa

kegagalan dalam rumah tangga yang ia alami bukan akibat dari kelemahannya atau

kekurangannya, justru karna hal ini si wanita akan menarik pria lain untuk membina

ramah tangga baru bersamanya. 11

Pada ayat selanjutnya membahas khusus tentang bilangan thalᾱq, hak wanita

yang di-thalᾱq untuk memiliki mas kawin dan haramnya suami mengambil kembali

mas kawin pada waktu perceraian, kecuali dalam satu keadaan. Yaitu, si istri

melakukan khulu‟, dimana si istri membeli kebebasan dirinya dengan membayar

fidyah (tebusan dengan mengembalikan maskawin suami). Allah swt berfirman:

               

                  

                
Artinya: “Thalᾱq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
11
Sayyid al-Quthb, Tafsir fi Zilal al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Ilmiyah, tt), hal. 292
5

tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-
orang yang zalim”. (Al-Baqarah [2]: 229).

Sayyid al-Qutbh menafsirkan ayat di atas sebagai ketentuan bahwa thalᾱq itu

terbatas dan terikat. Tidak ada jalan untuk mengabaikan ketentuan ini dengan

mempermainkan waktu. Apabila terjadi thalᾱq pertama, maka pada masa „iddah si

suami punya hak untuk me-ruju‟-nya dengan tanpa melakukan akad baru. Akan

tetapi, jika masa „iddah itu terus berjalan hingga habis, maka si istri telah lepas

darinya. Dalam arti tidak dapat kembali lagi kepadanya kecuali dengan akad dan

mahar yang baru. Apabila dia merujuknya ketika masa „iddah, atau dia

mengawininya kembali setelah terjadi thalᾱq ba‟in sughra, maka dia dapat

menjatuhkan thalᾱq pada istrinya sebagaimana thalᾱq pertama tadi dengan segala

hukumnya. 12

Adapun jika dia telah men-thalᾱq-nya tiga kali, maka thalᾱq tersebut

termasuk ke dalam thalᾱq ba‟in kubra dan dia tidak boleh merujuknya dalam masa

„iddah atau mengawininya kembali setelah habis masa „iddah-nya, kecuali dengan

syarat istrinya tersebut telah kawin dengan lelaki lain atau yang diistilah dengan

nikah muhallil, lalu terjadi perceraian secara wajar dan telah ba‟in habis „iddah-nya
13
serta tidak dirujuki oleh suami keduanya itu. Atau terjadi beberapa kali thalᾱq

dengan suami keduanya itu. Maka, pada waktu itu boleh ia nikah kembali dengan

bekas suaminya yang pertama.

12
Sayyid al-Quthb, Tafsir Fi Zilal al-Qur‟an…, hal. 91-93
13
Sayyid al-Quthb, Tafsir Fi Zilal al-Qur‟an…, hal. 91-93
6

Ijma‟ ulama menyatakan bahwa ayat-ayat ini menunjukkan bahwa hukum

asal thalᾱq adalah mubah (boleh), karena bisa saja suatu pernikahan hanya membawa

mafsadah atau kerusakan. Imam Al-Qurthubi dalam al-Jami‟ li Ahkamil Qur‟an

menukil pendapat dari Imam Ibnu Hajar al-„Asqalani menyatakan perihal hukum

thalᾱq dengan melihat faktor-faktornya, diantaranya: 14

1. Wajib. Hukum thalᾱq atau cerai menjadi wajib saat dirasa perselisihan yang

terjadi antara sepasang suami istri tidak mungkin lagi untuk diperbaiki.

Keberadaan orang-orang terdekat atau hakim yang membantu menyatukan

juga tidak lagi mampu mecapai al-ishlah (perdamaian) antara keduanya.

2. Sunnah. Hukum thalᾱq yang ini berlaku jika seseorang tidak mampu untuk

memenuhi hak-hak istrinya atau karena istrinya tidak memiki sifat „afifah

yakni menjaga kehormatan diri.

3. Thalᾱq atau cerai bisa menjadi haram jika thalᾱqnya adalah thalᾱqbid‟iy.

Maksudnya adalah thalᾱq yang tidak sesuai petunjuk al-Qur‟an dan sunah

yaitu dijatuhkan saat istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci

setelah digauli. Kebalikan dari thalᾱq ini adalah thalᾱqsunni.15

4. Makruh, yaitu saat kondisi rumah tangganya terbebas dari hal-hal di atas atau

yang serupa. Maka, di sinilah berlaku sabda Nabi Muhammad saw:

(‫احلَالَ ِل اِ ََل اهللِ الطَّالَ ُق (رواه ابو داود وابن ماجو‬


ْ ‫ض‬ ُ َ‫اَبْ غ‬
Artinya: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah thalᾱq.” (HR. Abu Daud
dan Ibnu Majah). 16

14
Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran, Jld.III, (Cairo: Dar al-
Kutub al-Mishriyyah, 1964), hal.129-130
15
Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran…, hal.130
16
Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran…, hal.130
7

Kendati al-Baihaqi menghukumi dhaif, namun hadis ini bisa dijadikan

pengingat bagi orang yang berumah tangga untuk tidak menganggap remeh thalᾱq

sehingga bisa diucapkan kapan saja, terlebih bagi laki-laki, ia tidak boleh

sembarangan mengucapkan kata thalᾱq. Rasulullah bersabda:

َّ ‫اح َوالطَّالَ ُق َو‬ ِ ِ ‫ث ِجد‬


(‫الر ْج َعةُ (رواه ابو داود‬ ُ ‫ النِّ َك‬:‫ُّدى َّن ج ٌّدد َوَى ْ ُهلُ َّن ج ٌّدد‬
ُ ‫ثَالَ ٌث‬
Artinya: “Tiga hal yang seriusnya dianggap serius, dan berguraunya dianggap serius:
nikah, thalᾱq, dan rujuk”. (HR. Abu Daud)17

Seperti diketahui, tujuan pernikahan sangat mulia, tidak hanya penting secara

sosial karena bertujuan mempertahankan eksistensi jenisnya, namun secara personal

pernikahan juga bisa menjaga diri dari hal-hal yang merusak kehormatan. Maka dari

ini, ada benarnya ungkapan madzhab Hanafi dan Hanbali di atas, bahwa thalᾱq tanpa

alasan-alasan yang diperbolehkan syariat berarti mengingkari kenikmatan pernikahan

yang telah dianugerahkan Allah swt.

Terkait dengan hukum thalᾱq, Syaikh Muhammad al-Shabuni juga

menjelaskan klasifikasi hukumnya dalam karya beliau sebagai berikut:

‫صلَّى‬ ِِ ِ ِ ‫ {ِ َا َلَّ ْقتم النسسء فَطَلِّ ُق‬:‫لقد أباح اهلل تعاَل الطالق بقولو‬
َ ‫وى َّن لعدَّهت َّن} وقد روي عن رسول اهلل‬
ُ ُُ
ِ
ُ « ‫ويف لفظ‬. »‫« َّن من أبغض املباحات عند اهلل َعَّ َو َج َّل الطالق‬:‫اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّمَ أنو قال‬
‫ابغض‬
18
.. »‫احلالل َل اهلل الطالق‬
Artinya: “Sungguh Allah ta'ala telah membolehkan thalᾱq dengan firmannya:
“Apabila kalian men-thalᾱq istri istri kalian, maka thalᾱqlah mereka untuk
mudah menjalani „iddah mereka dan sungguh diriwayatkan sebuah hadits
dari pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, bahwa sesungguhnya
Rasulullah bersabda: “Bahwa sungguh sebahagian daripada perkara mubah

17
Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran, Jld.III, (Cairo: Dar al-
Kutub al-Mishriyyah, 1964), hal.130
18
Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai‟ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam Cet.I, Jld.II,
(Bairut: Maktabah al-Ghazali, 1980) hal.596
8

yang paling Allah benci adalah thalᾱq. Dan pada lafadz hadits yang lain:
“Perbuatan halal yang paling Allah benci adalah perbuatan thalᾱq”.

Kemudian Syaikh Muhammad Ali Al-Shabuni mengutip pendapat Syaikhuna

Ibn Hajar dalam menguraikan rincian hukum thalaq sebagai berikut:

:‫وقد نقل عن ابن حجر أن الطالق‬


ِ ‫ ما واجب كطالق املويل بعد الرتبص مدة أربعة أشهر و‬- ‫أ‬
‫الق احلكمني يف الشقاق بني ال وجني ا‬ ُْ ّ
.‫مل ميكن اإلصالح‬
.‫ أو تكون غري عفيفة‬،‫ أو مندوب كأن يعج عن القيام حبقوقها ولو لعدم امليل ليها‬-‫ب‬
.‫ أو حرام وىو الطالق البدعي‬- ‫ج‬
19
‫احلال عن لك كلو للحديث‬ ُ ‫ أو مكروه بأن َسلِ َم‬- ‫د‬
Artinya: “Mengutip pendapat daripada Ibnu Hajar al-asqalani menyatakan bahwa
sungguh thalᾱq terbagi empat:(a) Adakala thalᾱq hukumnya wajib seperti
thalᾱq seorang suami yang telah men-tauliyyah istrinya sesudah
ditempokan selama 4 bulan, dan seperti thalᾱq hukumain pada perdakwaan
antara suami istri, apabila di sana tidak ada perdamaian atau thalᾱq sunat,
seperti seorang suami yang lemah daripada memenuhi hak-hak istrinya,
sekalipun karena tidak menyukai istri tersebut atau karena istri tersebut
bukan orang yang terpelihara, atau thalᾱq haram, yaitu thalᾱq bid‟ah, atau
thalᾱq yang hukumnya makruh, yaitu thalᾱq yang dilakukan dalam
keadaan sejahtera daripada ozor demikian, karena ada sebuah hadis yang
menyatakannya”.

Dari penjelasan yang ada, berdasarkan beberapa penafsiran ulama salaf al-

shalih terdahulu, dapat disimpulkan bahwa hukum thalᾱq pada dasarnya adalah

mubah (boleh), namun karena beberapa faktor diklasifikasikan menjadi beberapa

hukum, yaitu: wajib bagi seorang suami yang telah men-tauliyah istrinya, sunnah

bagi suami yang tidak mampu memenuhi kewajibannya, haram dalam kasus thalᾱq

bid‟ah dan hukumnya makruh bila tidak ada keozoran apa-apa.

Allah SWT dalam ayat selanjutnya mempertegas tentang thalᾱq tiga dan

khulu‟. Para suami-suami diarahkan untuk berbuat yang ma‟ruf, mudah dan baik

19
Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai‟ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, hal.597
9

terhadap mantan istrinya sesudah thalᾱq atau khulu‟ dalam semua keadaan, berikut

firman Allah swt:

                 

              
Artinya: “Kemudian jika si suami men-thalᾱq-nya (sesudah thalᾱq yang kedua),
Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan
suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada
kaum yang (mau) mengetahui”. (QS. Al-Baqarah [2]: 230).

Ma‟ruf, kebagusan, dan kebaikan harus mendominasi kehidupan ini, baik

ketika masih terikat dengan suatu ikatan maupun telah terputus. Tidak boleh ada niat

untuk menyakiti dan menyulitkan satu pihak yang memicu kepada suatu perceraian.

Unsur pokok yang dibawa kedua ayat membicarakan pengaruh sikap-sikap positif di

atas agar tetap dijaga ketika tali hubungan suami istri masih kukuh ataupun sudah

putus.

Dalam tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menafsirkan ayat 230 di atas dengan

mengemukakan bahwa pada kalimat “Maka, seandainya dia (si suami) memilih

untuk menceraikan istrinya dengan perceraian yang ketiga atau thalᾱq yang ketiga

pada masa „iddah-nya, atau mencerainya sesudah rujuk – setelah thalᾱq kedua - baik

dengan menerima tebusan (khulu‟) atau pun tidak, maka dia, yakni mantan istrinya

itu tidak halal lagi baginya, sampai ia menikah lagi dengan orang lain:. Pada ayat 230

ini menggunakan kata “in” yang di atas diterjemahkan dengan “seandainya”. Kata

ini biasanya digunakan untuk sesuatu yang diragukan atau jarang terjadi. 20

20
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, hal. 602
10

Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan bahwa perceraian itu merupakan

sesuatu hal yang jarang terjadi. Seandainya dia menceraikannya, yakni jika suami

baru itu menceraikan wanita tersebut, maka tidak ada halangan dan dosa bagi

keduanya, yakni suami yang lalu dan mantan istrinya untuk kawin, jika mereka

menduga dapat menjalankan hukum-hukum Allah. 21

Selanjutnya Allah SWT berfirman:


            

                 

                

  


Artinya: “Apabila kamu men-thalᾱq isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki
mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia
telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan
hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan
apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah
(As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang
diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah
bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah
[2]: 231).

Dalam tafsir al-Misbah, Quraish Shihab berpendapat:

“Betapapun, baik rujuk maupun cerai, semua harus dilakukan dengan


ma‟ruf, yakni dengan keadaan yang baik serta terpuji. Di sini, menceraikan
digarisbawahi dengan ma‟ruf, sedang ayat 229 di atas dengan ihsan. Ma‟ruf
di sini, adalah batas minimal dari perlakuan yang dituntut atau yang wajib
dari suami yang menceraikan, sedang ayat 230 adalah batas yang terpuji
yang dianjurkan dan melebihi kewajiban. Karena itu pula, dalam ayat 231 ini
perintah minimal itu disusul dengan larangan minimal pula, yaitu janganlah

21
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, hal. 602
11

kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan. Siapa pun yang


melakukan hal itu, berarti ia telah menganiaya dirinya sendiri...”.22

22
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, hal. 602
KESIMPULAN

Sebagai akhir dari pembahasan dalam karya imiah ini, penulis mengambil

beberapa kesimpulan diantaranya:

1. Thalᾱq itu terbatas dan terikat. Tidak ada jalan untuk mengabaikan ketentuan

ini dengan mempermainkan waktu. Apabila terjadi thalᾱq pertama, maka

pada masa „iddah si suami punya hak untuk me-ruju‟-nya dengan tanpa

melakukan akad baru. Akan tetapi, jika masa „iddah itu terus berjalan hingga

habis, maka si istri telah lepas darinya. Dalam arti tidak dapat kembali lagi

kepadanya kecuali dengan akad dan mahar yang baru. Apabila dia

merujuknya ketika masa „iddah, atau dia mengawininya kembali setelah

terjadi thalᾱq ba‟in sughra, maka dia dapat menjatuhkan thalᾱq pada istrinya

sebagaimana thalᾱq pertama tadi dengan segala hukumnya.

2. Jika seorang suami telah men-thalᾱq istrinya tiga kali, maka thalᾱq tersebut

termasuk ke dalam thalᾱq ba‟in kubra dan dia tidak boleh merujuknya dalam

masa „iddah atau mengawininya kembali setelah habis masa „iddah-nya,

kecuali dengan syarat istrinya tersebut telah kawin dengan lelaki lain atau

yang diistilah dengan nikah muhallil, lalu terjadi perceraian secara wajar dan

telah ba‟in habis „iddah-nya serta tidak dirujuki oleh suami keduanya itu.

Atau terjadi beberapa kali thalᾱq dengan suami keduanya itu. Maka, pada

waktu itu boleh ia nikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama.

3. Hak wanita yang di-thalᾱq untuk memiliki mas kawin merpakan hak yang

tidak dapat diganggu dan haram bagi suami mengambil kembali mas kawin

pada waktu perceraian, kecuali dalam satu keadaan. Yaitu, si istri melakukan

12
13

khulu‟, dimana si istri membeli kebebasan dirinya dengan membayar fidyah

(tebusan dengan mengembalikan maskawin suami), maka thalᾱq dengan cara

khulu‟ tersebut termasuk ke dalam thalᾱq ba‟in kubra dan dia tidak boleh

merujuknya dalam masa „iddah atau mengawininya kembali setelah habis

masa „iddah-nya, kecuali dengan syarat istrinya tersebut telah kawin dengan

lelaki lain atau yang diistilah dengan nikah muhallil.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke-3, (Jakarta: Kencana, 2008),

Abi Yahya Zakariya al-Anshori, Fath al-Wahhab, Juz.II, (Semarang: Toha Putra, tt),

Abdul Aziz Muhammad Azam, Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Al-Usrotu wa


Ahkamuha Fi at-Tasyri‟ al-Islamy, Diterjemahkan oleh Abdul Majid Khon,
Cet. Ke-I (Jakarta: AMZAH, 2009),

Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, jld.I, (Kairo: Dar
al-Hadis, tth),

Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Quran, Jld.III, (Cairo:


Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964),

Syaikhuna Ahmad ibnHajar Al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Jld.VIII, (Beirut: Dar


Al-Fikr 2009),

Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Al-Jami‟ Fi Fiqhi an-Nisa‟, Terj. M. Abdul


Ghofar, Cet. Ke-26, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008),

Sayyid al-Quthb, Tafsir fi Zilal al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Ilmiyah, tt),

Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai‟ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam Cet.I,
Jld.II, (Bairut: Maktabah al-Ghazali, 1980).

14

Anda mungkin juga menyukai