Anda di halaman 1dari 13

MASA IDDAH

Makalah

Ditujukan Kepada Dosen Ahmad, S.H.I, M.H.


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Ahkam

Oleh :
Kelompok 1

NAMA NPM
Muhammad Said Shahab 22.11.1362
Nadha Mawadarega 22.11.1310
Saifullah 22.11.1374

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) DARUSSALAM


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
MARTAPURA
2023 M / 1445 H

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan nama Allah yang banyak meanugrahi nikmat yang besar-besar, puji
syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat-Nya
dan Shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga
dan sahabat-sahabat, serta para pengikutnya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “ZIHAR” dengan baik dan tepat waktu.
Makalah merupakan karya tulis ilmiah karena di susun berdasarkan kaidah
kaidah ilmiah yang dibuat oleh mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studi.
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Pengantar hukum perdata islam di Indonesia” Untuk itu, makalah ini disusun
dengan memakai bahasa yang sederhana dan mudah untuk dipahami.
Dan pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak
AHMAD , S.H.I, M.H. selaku dosen pengajar dan pengampu yang telah
memberikan bimbingan, arahan, saran, dan petunjuk hingga makalah ini dapat
disusun dengan baik.
Sebagai sebuah makalah, tidak lepas dari kekurangan, oleh karena itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang berkepentingan, guna
penyempurnaan makalah ini. Selanjutnya terima kasih kami ucapkan kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini sehingga dapat
diselesaikan. Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini dapat digunakan oleh
pembaca dengan baik.

2
DAFTAR PUSTAKA

MASA IDDAH.......................................................................................................

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................
A. Latar Belakang...................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................
C. Tujuan Penulisan...............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................
A. Pengertian Iddah...............................................................................................................
B. Dasar hukum iddah...........................................................................................................
C. Hikmah Disyariatkan Iddah.............................................................................................
D. MACAM-MACAM IDDAH..............................................................................................

BAB III PENUTUP................................................................................................12


Simpulan.....................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa iddah dalam konteks hukum Islam adalah suatu periode penantian yang
diberikan kepada seorang perempuan setelah perceraian atau kematian suaminya.
Masa ini memiliki tujuan yang sangat penting, salah satunya adalah untuk
memastikan kejelasan status perempuan tersebut dalam masyarakat. Salah satu
aspek penting dari iddah adalah bagaimana masa ini memberikan kejelasan terkait
dengan status kehamilan seorang perempuan yang baru saja bercerai atau ditinggal
mati suaminya.
Kejelasan mengenai status kehamilan menjadi suatu hal yang krusial karena
berkaitan erat dengan hak-hak hukum, terutama dalam konteks warisan dan
keturunan. Dalam masa iddah, perempuan yang hamil memiliki waktu untuk
menunggu hingga kelahiran bayi sebelum keputusan resmi tentang perceraian atau
pewarisan dibuat. Kejelasan ini tidak hanya berkaitan dengan identitas keturunan,
tetapi juga hak-hak hukum yang akan diberikan kepada anak yang akan lahir.
Dalam makalah ini, akan diuraikan lebih lanjut mengenai pentingnya kejelasan
masa iddah terutama dalam kasus perempuan yang sedang hamil. Diskusi akan
melibatkan aspek-aspek hukum dan sosial terkait, serta dampaknya pada
kehidupan perempuan dan keturunannya. Kejelasan masa iddah bukan hanya
menjadi pertanyaan hukum semata, tetapi juga menyoroti peran dan perlindungan

4
hak-hak perempuan dalam konteks hukum Islam yang mempertimbangkan
keberlanjutan keluarga dan hak-hak anak.
B. Rumusan Masalah
Secara umum rumusan masalah dari makalah ini adalah menelaah tentang
Kasus Iddah Pada Perempuan. Adapun secara khusus rumusan masalah dari
makalah ini adalah:
1. Apa pengertian Iddah
2. Dasar hukum Iddah
3. Jenis-jenis Iddah

C. Tujuan Penulisan
Secara umum tujuan dari penulisan makalah ini adalah menjelaskan tentang
Iddah. Adapun secara khusus tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk Mengetahui pengertian Iddah
2. Mengenal dasar hukum Iddah beserta dalil-dalilnya
3. Untuk mengetahui jenis-jenis Iddah

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Iddah
Iddah menurut bahasa berasal dari kata “ al-‘udd ” dan “ al-Ihsha’ ” yang
berarti bilangan atau hitungan, misalnya bilangan harta atau hari jika dihitung satu
per satu dan jumlah keseluruhanya. Firman Allah dalam Al-qur’an :
‫إَّن ِع َّد َة الُّش ُهوِر ِع ْنَد ِهَّللا اْثَنا َعَش َر َش ْهًر ا‬
Menurut istilah, kata Iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa dimana
seseorang Wanita/menangguhkan perkawinan setelah ia di tinggal mati oleh
suaminya atau setelah di cerai baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau
berakhir dengan Quru’ atau berakhir beberapa bulan yang sudah di tentukan. 1

B. Dasar hukum iddah


Dalil-dalil syar‟i atau dasar hukum syariat merupakan segala sesuatu yang
dijadikan landasan ditetapkannya suatu hukum Islam. Di antara dalil-dalil syar‟i
tersebut terdapat dalil-dalil yang telah disepakati Jika dikaji lebih jauh, di antara
hukum-hukum syara‟ yang dipaparkan dalam Alquran, hanya hukum-hukum yang
berkenaan dengan masalah keluarga inilah yang dijelaskan secara rinci. Misalnya,
hukum-hukum tentang pernikahan, mahram, perceraian termasuk macam-macam
iddah , pembagian harta pusaka atau faraidh dan sebagainya, yang kesemuanya itu
dijelaskan secara rinci oleh Alquran dan disempurnakan oleh sunnah. Sehingga
seakan-seakan tidak ada satu pun hukum-hukum keluarga yang tidak didasarkan
pada nashnash Alquran dan sunnah. 2

1
Abdul Qadir Mansyur, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah min al-Kitab wa al-Sunnah; Buku Pintar
Fiqih Wanita : Segala Hal yang Ingin Anda Ketahui tentang Perempuan dalam Hukum Islam, Terj.
Muhammad Zaenal Arifin, Jakarta: Zaman, cet.1, 2012, h. 124

2
ga, h.26 29 Syaikh Kamil Muhammad Muhammad „Uwaidah, Al-Jami fi Fiqhi al-Nisa’; Fiqih
Wanita, Terj. M. Abdul Ghofar, EM., Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cet.1, 1998, h. 449.

6
Alquran menyatakan bahwa wanita yang dicerai atau ditalak, berkewajiban
3
menjalani masa tunggu selama tiga quru‟. Hal tersebut dijelaskan di dalam QS.
Al- Baqarah (2): 228
‫َو اْلُم َطَّلٰق ُت َيَتَرَّبْص َن ِبَاْنُفِس ِهَّن َثٰل َثَة ُقُر ْۤو ٍۗء َو اَل َيِح ُّل َلُهَّن َاْن َّيْكُتْم َن َم ا َخ َلَق ُهّٰللا ِفْٓي‬
‫َاْر َح اِم ِهَّن ِاْن ُك َّن ُيْؤ ِم َّن ِباِهّٰلل َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر َو ُبُعْو َلُتُهَّن َاَح ُّق ِبَر ِّد ِهَّن ِفْي ٰذ ِلَك ِاْن َاَر اُد ْٓو ا ِاْص اَل ًح ا‬
‫ۗࣖ َو َلُهَّن ِم ْثُل اَّلِذْي َع َلْيِهَّن ِباْلَم ْع ُرْو ِۖف َو ِللِّرَج اِل َع َلْيِهَّن َد َرَج ٌةۗ َو ُهّٰللا َع ِزْيٌز َح ِكْيٌم‬
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu)
tiga kali quru'. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan
para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika
mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami
mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS.
Al- Baqarah (2): 228 )
Sebab turunnya ayat tersebut adalah ketika seorang perempuan Anshar yang
ditalak suaminya, datang menemui nabi Saw. dan pada saat itu belum ada ayat
yang mengatur ketentuan ddah, maka Allah menurunkan QS. Al baqarah: 288
tersebut. Dalam tafsirnya, Wahbah al Zuhaili juga menjelaskan beberapa ketetapan
hukum yang terkandung dalam ayat tersebut. Pertama, kewajiban „iddah. Kedua,
anjuran untuk rujuk. Ketiga, hak-hak suami istri.
Perempuan yang dimaksud dalam ayat diatas adalah khusus untuk
perempuan yang dalam usia haid dan mengalami haid dan telah melakukan
hubungan suami istri serta tidak dalam keadaaan hamil.
Dari keumuman lafaz al muthalaqat “wanita-wanita yang ditalak” tersebut
dikecualikan beberapa kategori perempuan, yaitu anak-anak dan perempuan
menopouse, maka menjalani masa iddahnya selama tiga bulan, perempuan hamil
hingga ia melahirkan dan perempuan yang ditalak sebelum dukhul tidak
diwajibkan menjalani iddah .
Adapun perempuan yang ditalak sebelum dukhul tidak wajib menjalani masa
„iddah. Berdasarkan QS. Al Ahzab: 49
3

7
‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا َنَك ْح ُتُم اْلُم ْؤ ِم ٰن ِت ُثَّم َطَّلْقُتُم ْو ُهَّن ِم ْن َقْبِل َاْن َتَم ُّسْو ُهَّن َفَم ا َلُك ْم‬
‫َع َلْيِهَّن ِم ْن ِع َّد ٍة َتْع َتُّد ْو َنَهۚا َفَم ِّتُعْو ُهَّن َو َسِّرُح ْو ُهَّن َسَر اًح ا َج ِم ْياًل‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu
perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan
cara yang sebaik-baiknya.” (QS. Al Ahzab: 49)
Perempuan yang ditalak sebelum didukhul maka tidak ada kewajiban „iddah
baginya berdasarkan nash tersebut dan telah menjadi ijma‟ atau kesepakatan umat
sebagaimana hukum „iddah bagi perempuan yang telah didukhul.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa talak hanya terjadi setelah adanya akad
nikah dan dibolehkan bagi suami menjatuhkan talak kepada istrinya sebelum
melakukan hubungan suami istri. Namun terdapat perbedaan mengenai makna
“min qabli an tamassu hunna”.
Menurut imam Ahmad dan imam Syafi‟i, bahwa yang dimaksud ayat ini
adalah jima‟ yaitu hubungan suami istri sehingga sesuatu selain jima‟ seperti
khalwat tidak menyebabkan wajibnya „iddah. Sedangkan menurut malikiyah dan
hanafiyah, khalwah yang diperbolehkan yaitu khalwah setelah adanya akad maka
disamakan dengan jima‟ sehingga tetap diwajibkan „iddah jika terjadi talak
sekalipun belum dukhul.
Ayat ini juga mengandung hukum kewajiban bagi suami memberikan mutah
untuk istri yang ditalak sebelum dukhul. Tapi menurut imam Syafi‟i hukum
memberikan mut‟ah belum sampai pada tingkat wajib, tetapi sunah. Dan jika
wanita tersebut telah menentukan maharnya maka, perempuan tersebut berhak
menerima setengah dari mahar yang seharusnya.4

C. Hikmah Disyariatkan Iddah


Adapun hikmah iddah adalah sebagai berikut:

4
Wahbah Al Zuhaili, Al Tafsir al Munir fi al Aq‟iddah wa al Syariah wa al Manhaj, Jilid.1, h. 690.

8
Di antara hikmahnya adalah memastikan kebersihan rahim dari janin agar
tidak terjadi percampuran nasab. Demikian juga untuk membuka peluang bagi
suami yang telah mentalaknya untuk rujuk manakala dia menyesali talaknya
sedangkan talak tersebut merupakan talak raj'i. Juga menjaga hak janin bila
perpisahan ter jadi saat istri mengandung.
Iddah, dari sudut pandang kesehatan, iddah memberikan waktu bagi wanita
untuk pemulihan emosional dan psikologis setelah perubahan kehidupan yang
signifikan seperti perceraian atau kematian suami. Hal ini dapat membantu
mengurangi stres dan dampak negatif terhadap kesejahteraan mental.

D. MACAM-MACAM IDDAH
a. Iddah sampai kelahiran kandungan
Iddah seperti ini tidak ada perbedaan pendapat antara para fuqaha’ bahwa
wanita yang hamil jika berpisah dengan suaminya karena talak atau khulu’ atau
fasakh, baik wanita merdeka atau budak, wamita mislimah atau kitabiyah, iddah-
nya sampai melahirkan kandungan. Firman Allah SWT. :
‫وَُأوالُت األْح َم اِل َأَج ُلُهَّن َأْن َيَض ْع َن َحْم َلُهَّن‬
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah
sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS.Ath-Thalaq(65):4).
Waktu iddah bagi wanita yang hamil setelah bercerai atau ditinggal mati
suaminya adalah untuk memastikan bahwa status kehamilan dapat diidentifikasi
dengan jelas. Ini memberikan kejelasan tentang apakah ada keturunan dari
pernikahan tersebut, dan jika iya, untuk memastikan hak-hak anak dan warisannya.
Iddah dalam kasus ini memberi waktu untuk memastikan bahwa jika wanita
tersebut hamil, keturunan yang akan lahir memiliki status yang jelas dalam hal
keturunan dan hak-hak hukumnya.
Wanita yang hamil ditinggal suaminya karena meninggal dunia maka masa
iddah-nya sampai melahirka kandungannya.

b. Iddah dengan beberapa bulan


Masa iddah dengan beberapa bulan pada dua kondisi, yaitu sebagi berikut :

9
1. Kondisi wafatnya suami,
barangsiapa yang meninggal suaminya setelah nikah yang shahih walaupun
dalam iddah dari talak raj’i, iddahnya 4 bulan 10 hari, berdasarkan firman allah
swt.
‫َو اَّلِذ يَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُروَن َأْز َو اًج ا َيَتَرَّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َأْر َبَعَة َأْش ُهٍر َو َعْش ًر ا‬
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-
istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan
sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah (2): 234). Di takhshish keumumanya

2. Kondisi berpindah (firaq)


jika istri sudan menopause atau kecil belum haidh, firman allah swt. :

‫َو الالِئي َيِئْسَن ِم َن اْل َمِح يِض ِم ْن ِنَساِئُك ْم ِإِن اْر َتْبُتْم َف ِع َّدُتُهَّن َث الَثُة َأ ْش ُهٍر َو الالِئي َلْم‬
‫َيِحْض َن‬
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid.” (QS. Ath-Thalaq (65): 4).

E. Analisis iddah Wanita yang hamil diluar nikah


Sepanjang kedua jenis 'iddah bagi perempuan diatas mungkin tidak begitu
banyak mengundang kontroversi karena masing-masing telah dijelaskan oleh nass
secara eksplisit. Akan tetapi dalam hal 'iddah bagi perempuan hamil karena zina
maka tidak ada penjelasan secara eksplisit oleh nas. Sebagai konsekuensinya maka
muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ada tidaknya kewajiban
'iddah bagi perempuan tersebut ataupun tenggang waktu masa 'iddah tersebut.

Mengenai ada atau tidaknya kewajiban 'iddah bagi perempuan hamil karena
zina, maka ulama telah bersepakat bahwa jika perempuan hamil karena zina
tersebut menikah dengan laki-laki yang menghamilinya tidak diwajibkan 'iddah.
Sedangkan apabila menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama.

10
Menurut ulama Syafi'iyyah dan sebagian ulama Hanafiyyah berpendapat
bahwa perempuan tersebut tidak wajib menjalankan 'iddah. Dalam arti bahwa
perempuan tersebut dapat langsung dikawini pada waktu hamil, akan tetapi
menurut Hanafiyyah selama isteri tersebut masih dalam keadaan hamil terdapat
larangan bagi suami untuk menggaulinya. 22

Sedangkan Imam Syafi'i menyatakan bahwa tidak ada larangan bagi suami
untuk menggauli isterinya itu pada pada waktu masih dalam keadaan hamil, tetapi
status anak itu tidak dapat dinasabkan kepada suaminya. Adapun ulama Malikiyah
dan Hanabilah mewajibkan perempuan yang hamil karena zina untuk menjalankan
'iddah, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang tenggang waktu 'iddah
tersebut. Menurut ulama Hanabilah tidak ada perbedaan antara perempuan hamil
karena zina atau bukan dalam hal ber'iddah yaitu sampai melahirkan anak yang
dikandungnya. 23 Sedangkan ulama Malikiyyah berpendapat bahwa perempuan
yang dicampuri dalam bentuk zina sama hukumnya dengan perempuan yang
dicampuri secara syubhat, berdasarkan akad yang batil maupun fasid yaitu dia
harus menyucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan 'iddah kecuali jika
dikehendaki untuk dilakukan hadd atas dirinya, maka ia cukup menyucikan dirinya
dengan satu kali haid.

11
BAB III
PENUTUP

Simpulan

12
DAFTAR PUSTAKA

Amir, Ria Rezky. 2018. “Iddah (Tinjauan Fiqih Keluarga Muslim).” Al-Mau’izhah:
Jurnal Bimbingan Dan Penyuluhan Islam 1(1).

Sanusi, Ahmad. 2015. “Ushul Fiqh.”

Zuḥaylī, Wahbah. 2003. Al-Tafsīr al-Munīr: Fī al-ʻaqīdah Wa-al-Sharīʻah Wa-al-


Manhaj. Dār al-Fikr.

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma‟shum, dkk, Cet. XVI,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012),

Anda mungkin juga menyukai