Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PERBEDAAN ANTARA SUNNAH DAN BID`AH

Disusun oleh:

1. ADELIA MAISA FITRI

2. LIA SARTIKA

3. WANDA SAPUTRA

Dosen Pembimbing: Iwan Setya Budi, M.Pd

Mata Kuliah: Fiqih

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PENDIDIKAN MATEMATIKA

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul PERBEDAAN ANTARA SUNNAH DAN BID`AH tepat waktu.
Makalah PERBEDAAN ANTARA SUNNAH DAN BID`AH disusun guna memenuhi tugas dosen
pada mata kuliah fiqih di Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. Selain itu, penulis juga
berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang PERBEDAAN
ANTARA SUNNAH DAN BID`AH.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Iwan Setya Budi, M.Pd
selaku dosen mata kuliah fiqih. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan
dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada
semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Lampung, 24 Oktober 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berpeganglah kamu sekalian dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin setelahku.
Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia erat-erat dengan gigi gerahammu. Jauhilah
perkara-perkara baru yang diada-adakan, karena setiap amalan yang diada-adakan itu bid’ah
dan setiap bid’ah adalah sesat”HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah

Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapandalam memahami ucapan-
ucapan Rasulallah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum
syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya,
kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang
menetapkan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian
sunnah.Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar
meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan
pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian
sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan.
Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw. menekankan soal
sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.

Segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, beserta keluarganya, para sahabatnya, serta pengikutnya yang istiqamah
di atas sunnahnya.

Hadits yang disebutkan di atas merupakan hadits yang memiliki pesan makna yang sangat
dalam. Ya, apalagi untuk kita, kaum muslimin di era modern ini. Ketika kita yang hidup di zaman
yang ilmu merupakan barang langka di masyarakat kita, kita yang mengaku kaum muslimin ini
rasanya gampang sekali terbawa arus fitnah dunia kala ini. Dan kini ketika kita menengok
kembali wasiat dari pembimbing kita, Rasulullah ‫ﷺ‬, di sana kita temukan wasiat untuk
berpegang kepada sunnah dan menjauhi bid’ah.
B. Rumusan Masalah

1. Menjelaskan pengertian sunnah dan macam-macam nya.

2. Menjelaskan pengertian bid’ah, macam-macam,dan hukum bid`ah dalam islam .

3. Memaparkan contoh amalan sunnah.

4. Contoh bid`ah masa kini.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sunnah

Secara istilah, pengertian sunnah berbeda-beda. Istilah ahli Fiqih berbeda dengan ahli Hadis,
ahli Ushul Fiqih juga berpendapat lain. Ibn Mandhur dalam karangannya ‘Lisanul ‘Arab’ (kamus
yang paling terkenal di dunia Islam) menyebutkan begini, “kata ‘sunnah’ disebut berulang-ulang
dalam hadis, yang berarti cara dan jalan hidup. Tapi kalau di dalam syariat, yang dimaksud
sunnah ialah perkataan maupun perbuatan yang diperintahkan, atau yang dilarang, atau yang
dianjurkan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan belum tertuang di dalam Al-
Quran. Jadi, bisa dikatakan dalil-dalil syar’i itu berasal dari Al-Quran dan Sunnah, yang dimaksud
ialah Al-Quran dan Hadis.” (Lisanul ‘Arab, Jilid 13, Hal 220, asal kata: ‫)سن‬.

Menurut ahli Hadis, kata ‘sunnah’ bermakna: segala peninggalan Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wasallam baik berupa perkataan, perbuatan, keputusan, maupun sifat. Sedangkan para
ahli Ushul Fiqih mengartikannya sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wasallam baik berupa perkataan, perbuatan, maupun keputusan yang bisa
dijadikan dalil suatu hukum syar’i. Jadi, para ulama Ushul Fiqih tidak menganggap sifat Nabi itu
sunnah dan mensyaratkan sunnah ialah sesuatu yang bisa dijadikan dalil hukum syar’i bukan
yang lain.

Sementara itu, sunnah menurut para ulama Fiqih ialah segala sesuatu yang jika dikerjakan
mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa. Atau juga bisa diartikan, segala
sesuatu yang diperintahkan, tapi perintah tersebut tidak absolute (harus dikerjakan). Inilah arti
sunnah yang biasa dipahami oleh kita orang Indonesia.

B. Macam-Macam Sunnah

Dilihat dari bentuknya sunah dapat dibedakan menjadi:

1. Sunah Qauliyah
Sunah qauliyah dilihat dari jumlahnya paling banyak dibanding sunah
fi'liyah dan taqririyah. Sunah qauliyah artinya ucapan Nabi dalam berbagai kondisi yang
didengar oleh sahabat dan disampaikannya kepada orang lain. Contohnya sahabat mendengar
bahwasanya Nabi berkata:
‫ض ار او اَل رَ ا‬
‫ض اار‬ ‫اَل َا ا‬

Artinya: “Tidak boleh membuat kesusahan dan tidak boleh membalas dengan kesusahan juga”.

Dalam sunah qauliyah terdapat permasalahan yang tampaknya perlu dipertegas karena ada dua
bentuk yang dapat keluar dari lisan Nabi. Pertama, bisa berupa perkataan Nabi(sunah
qauliyah) bisa juga berupa ayat alQur'an. Untuk membedakan apakah itu qauliyah atau al-
Qur'an maka dapat diteliti,jika yang keluar dari lisan Nabi itu ayat alOur'an, maka biasanya Nabi
menyuruh sahabatnya untuk menghafal, menulis, dan mengurutkannya sesuai petunjuk Allah.
Jika yang keluar dari lisan Nabi ini berupa sunah qauliyah maka Nabi melarang untuk
menuliskannya karena khawatir akan bercampur dengan al-Quran.

2. Sunah Fi'liyah

Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat dan diperhatikan oleh sahabat Nabi
semuanya disebut dengan sunah fi’liyah. Perbuatan Nabi dapat beraneka ragam bentuknya. Hal
ini, dapat dilihat dari kedudukun Nabi sebagai manusia biasa dan sebagai utusan Allah.

Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan kebiasaan yang lumrah dikerjakan oleh manusia
pada umumnya seperti cara makan dan minum, berdiri, duduk, cara berpakaian, memelihara
jenggot dan mencukur kumis. Kesemuanya merupakan tabiat Nabi sebagai manusia biasa.
Menurut sebagian ulama bahwa kebiasaan kemanusiaan Nabi seperti itu dapat berdampak
hukum, yaitu sebagai sunah untuk diikuti. Tetapi sebagian ulama yang lain, mengatakan bahwa
kebiasaan-kebiasaan Nabi seperti itu tidak berdampak hukum dengan demikian tidak harus
diikuti.

Kedua, perbuatan Nabi yang hanya wajib dilakukan oleh Nabi tetapi tidak wajib bagi umatnya
seperti Nabi wajib shalat dhuha, tahajud, dan berqurban. Bagi umatnya perbuatan-perbuatan
tersebut tidaklah wajib. Nabi boleh kawin lebih dari empat, namun bagi umatnya tidak boleh
lebih dari empat.

Ketiga, perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan hukum yang terkandung dalam al-Qur'an
seperti tentang cara shalat, puasa, haji, jual beli, dan utang piutang, maka semua perbuatan
itu berdampak kepada pembentukan hukum bukan hanya bagi Nabi tetapi juga bagi umatnya.
Hal ini diperkuat oleh beberapa hadits Nabi,diantaranya:
ِ ُ ُ َ َ ُّ
)‫َصل ْوا ك َما َرأ ْيت ُم ْو ِ ين أ َص يّل(رواه البخاري‬
Artinya: “Shalatlah kamu semua sebagaimana kamu melihatku shalat.” (HR. Bukhari)
َُ ََ ِ َ ْ ُ ُ
)‫اسكك ْم (رواه مسليم‬
ِ ‫خدوا ع ين من‬

Artinya: “Ambillah dariku tentang cara-caraku dalam beibadah haji.” (HR. Muslim)

3. Sunah Taqririyah

Maksudnya ialah sikap Nabi terhadap suatu kejadian yang dilihatnya berupa perbuatan dan
ucapan sahabat. Sikap Nabi itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, tidak menunjukkan
tanda-tanda mengingkari atau menyetujuinya atau melahirkan anggapan baik terhadap
perbuatan itu sehingga dengan adanya ikrar Nabi perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan
Nabi yang hukumnya boleh dilakukan. Contoh,ketika Nabi mendiamkan orang yang memakan
binatang dhab (sebangsa biyawak).Dengan sikap diam Nabi itu berarti boleh hukumnya
memakan daging tersebut. Karena seandainya haram niscaya Nabi tidak diam, pasti beliau
melarangnya. Contoh lain,ketika Nabi menepuk dada Muadz bin Jabalsetelah diutus oleh Nabi
ke negeri Yaman yang menandakan bahwa nabi membenarkan semua yang dikatakan oleh
Muadzbin Iabal serayaberkata "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan
pertolongankepada utusan Rasul-Nya".

C. Pengertian Bid`ah

Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh.
Sebelumnya Allah berfirman.

‫ات َب ِديع‬ َ َ َّ ‫َ أ َأ‬


ِ ‫واْلرض السماو‬

“Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah/2 : 117]

Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman Allah.


‫أ ُأ‬
‫الرس ِل ِم َن ِبد ًعا كنت َما ق أل‬
ُّ

“Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul“. [Al-Ahqaf/46 : 9].

Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah
Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah
mendahuluiku.

Dan dikatakan juga : “Fulan mengada-adakan bid’ah“, maksudnya : memulai satu cara yang
belum ada sebelumnya.

Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :

1. Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan


baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan
berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat
istiadat (kebiasaan) adalah mubah.

2. Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu
adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini
yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)“. Dan di dalam
riwayat lain disebutkan : “Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan
urusan kami, maka perbuatannya di tolak“.

D. Macam-Macam Bid`ah

Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :

1. Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah adalah Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti
ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-
kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.

2. Bid’ah fil ibadah adalah Bid’ah dalam ibadah yaitu seperti beribadah kepada Allah dengan
apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :
a. Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang
tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak
disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak
disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.

b. Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti


menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.

c. Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya
tidak disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama’ah dan
suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar
dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

d. Bid’ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari’atkan, tapi tidak dikhususkan
oleh syari’at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan
Sya’ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di
syari’atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.

E. HUKUM BID’AH DALAM AD-DIEN

Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ََ ‫َ أ‬ َّ َ َّ ُ َ َ ‫أ‬ َ ‫َ َ َ أ َ َ ُ َّ أ‬
‫ات‬
ِ ‫ضاللة ِبدعة وكل ِبدعة محدثة كل ف ِإن اْلمور ومحدث‬

“Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya


mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat“. [Hadits Riwayat Abdu
Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


ً َ ‫َرد َفه َو َأ أمرَنا َع َل أي ِه َل أي‬
‫س َع َمال َع ِم َل َم أن‬
“Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak“.
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
َ َ َ َ َ َ َ َ ‫َرد َفه َو ِم أنه َل أي‬
‫س َما هذا أ أمرنا ِف أ أحدث َم أن‬

“Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya
tertolak“.

Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam)
adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan tertolak. Artinya bahwa bid’ah di dalam
ibadah dan aqidah itu hukumnya haram. Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk
bid’ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi
kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan
nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli kubur dan minta pertolongan
kepada mereka, dan seterusnya.

Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas
dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Ada juga bid’ah yang merupakan sarana menuju
kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo’a disisinya.

Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah Khawarij,
Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur’an dan As-
Sunnah.

Dan ada juga bid’ah yang merupakan maksiat seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang
keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan
berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat
jima’ (bersetubuh).

Catatan : Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah (jelek)
adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya
setiap bentuk bid’ah adalah sesat“. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menghukumi semua bentuk bid’ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid’ah)
mengatakan tidak setiap bid’ah itu sesat, tapi ada bid’ah yang baik !

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya “Syarh Arba’in” mengenai sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah adalah sesat”, merupakan (perkataan yang
mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu
merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya : “Barangsiapa
mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak“.
Jadi setiap orang yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien,
padahal tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam
berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-
perkataan, baik lahir maupun batin. Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang
mereka katakan bahwa bid’ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu
‘anhu pada shalat Tarawih : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, juga mereka berkata :
“Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)”, yang tidak diingkari oleh ulama salaf,
seperti mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan
penyusunannya”. Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-
masalah ini ada rujukannya dalam syari’at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar
Radhiyallahu ‘anhu : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa
dan bukan bid’ah menurut syariat.

Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan “itu bid’ah”
maksudnya adalah bid’ah menurut arti bahasa bukan menurut syari’at, karena bid’ah menurut
syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya. Dan pengumpulan Al-Qur’an
dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memerintahkan penulisan Al-Qur’an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka
dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf)
untuk menjaga keutuhannya.

Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama’ah
bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama mereka (sahabat)
khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara
berkelompok-kelompok di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup juga
setelah wafat beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadikan mereka satu jama’ah
di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini
bukan merupakan bid’ah dalam Ad-Dien. Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya
dalam syariat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis
sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan
yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara
umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur’an. Ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur’an sudah
sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka
setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak hilang ; semoga Allah Ta’ala memberi balasan
yang baik kepada mereka semua, karena mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi
mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah
perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab.
[Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh
Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan Solo, hal
47-55, penerjemah Endang Saefuddin.] Home /Bahasan : Bid'ah/Pengertian Bid’ah, Macam-
Macam Bid’ah...

F. Contoh Amalan Sunnah Dalam Kehidupan Sehari-hari

1. Bangun Lebih Awal

Hal pertama yang bisa dilakukan adalah bangun lebih awal, yaitu sebelum waktu subuh
tiba.limah, Yuk Katakan Tidak pada Ghibah

Rasulullah mencontohkan untuk tidak tidur terlalu malam selepas salat Isya.

2. Tersenyumyum

Salah satu sunnah yang bisa dilakukan setiap saat adalah dengan memberikan senyuman. Bagi
seorang muslim, hendaknya menemui saudara sesama muslim dengan wajah yang ceria. Tapi
jaga senyum Anda ketika menemui mereka yang bukan . Daripada tersenyum, akan lebih baik
jika Anda menundukkan pandangan.

3. Menggunakan Siwak

Salah satu benda yang tidak pernah tertinggal dan selalu dibawa Rasulullah kemanapun ia pergi
adalah siwak. Benda sederhana seperti siwak ternyata mempunyai keutamaan jika digunakan
untuk beribadah. Salah satu contohnya, salat 2 rakaat dengan bersiwak dianggap setara dengan
salat 70 rakaat tanpa bersiwak.

Harga siwak pun saat ini relatif sangat terjangkau. Mungkin Anda bisa membeli beberapa siwak
untuk keperluan ibadah sehari – hari. Anda bisa menempatkan satu buah di rumah, satu buah
di tas, dan mungkin satu di kantor agar selalu sempat menjalani amalan ini. Jangan lupa juga
untuk membaca niat sebelum bersiwak. Berikut adalah bacaan dari niatnya: "Nawaitul istiyaaka
sunnatan lillahi ta’aalaa"Nawaitul istiyaaka sunnatan lillahi ta’aalaa"

4. Berbicara Baik atau Diam

Sebagai seseorang dengan akhlak yang mulia, tidak ada satupun kata yang tak pantas keluar
dari lisan Rasulullah. Oleh karenanya, seorang disunnahkan untuk selalu berkata baik dan atau
diam ketika ada keinginan berkata buruk.

5. Tidur Menghadap KananKanan


Salah satu sunnah yang paling mudah dilakukan adalah membiasakan cara tidur sesuai dengan
apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Seperti yang telah dijelaskan pada hadis berikut.
"Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu," (HR Al-Bukhari dan Muslim)

6. Makan dan Minum Sambil DudukDuduk

Hal sederhana seperti makan dan minum juga bisa menjadi amalan sunnah. Dengan mengikuti
apa yang diajarkan oleh Rasulullah, yaitu makan dan minum dengan duduk. Dan juga jangan
lupa untuk membaca doa sebelumnya. Sekurang – kurangnya, ingatlah untuk membaca
basmalah sebelum makan dan minum.

7. 7. Mengucap salam ketika masuk rumahetika Masuk Rumah

Mengucap salam ketika masuk rumah adalah sebuah hal sederhana yang bisa berpengaruh
pada kehidupan kita di rumah. Terlebih jika kembali ke rumah dalam keadaan tak berpenghuni.
Ada setan yang menghuni rumah ketika tidak ada penghuninya. Untuk mengusirnya, Anda
cukup membaca basmallah ketika masuk dan mengucapkan salam. Akan lebih baik lagi kita
mengucap salam di setiap ruangan yang ada. Dengan mengucap salam, setan tersebut akan
terusik dan meninggalkan rumah tersebut, sehingga suasana rumah akan jauh lebih tenang
tanpa gangguan setan.

8. Bersedekah

Tidak ada hari yang dilewatkan Rasulullah tanpa bersedekah. Sedekah dengan senyuman pun
mendapat pahala. Dalam sebuah riwayat Rasulullah menjelaskan bahwa menebar senyuman
kepada orang lain dan membuang duri dari jalan yang biasa dilewati banyak orang merupakan
bagian dari sedekah. Begitupun dengan tutur kata yang baik juga merupakan sedekah. (HR
Bukhari)

n Lebih Awal

G. CONTOH BID’AH MASA KINI

Oleh Syaikh Dr Sahlih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

Di antaranya adalah :
1. Perayaan bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
bulan Rabiul Awal.

2.Tabarruk (mengambil berkah) dari tempat-tempat tertentu, barang-barang peninggalan, dan


dari orang-orang baik, yang hidup ataupun yang sudah meninggal.
3. Bid’ah dalam hal ibadah dan taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Bid’ah-bid’ah modern banyak sekali macamnya, seiring dengan berlalunya zaman, sedikitnya
ilmu, banyaknya para penyeru (da’i) yang mengajak kepada bid’ah dan penyimpangan, dan
merebaknya tasyabuh (meniru) orang-orang kafir, baik dalam masalah adat kebiasaan maupun
ritual agama mereka.

Hal ini menunjukkan kebenaran (fakta) sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Sungguh kalian akan mengikuti cara-cara kaum sebelum kalian” [Hadits Riwayat At-
Turmudzi, dan ia men-shahihkannya]

1. Perayaan Bertepatan Dengan Kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Pada
Bulan Rabiul Awwal.

Merayakan kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah, karena
perayaan tersebut tidak ada dasarnya dalam Kitab dan Sunnah, juga dalam perbuatan Salaf
Shalih dan pada generasi-generasi pilihan terdahulu. Perayaan maulid Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam baru terjadi setelah abad ke empat Hijriyah.

Imam Abu Ja’far Tajuddin berkata : “Saya tidak tahu bahwa perayaan ini mempunyai dasar
dalam Kitab dan Sunnah, dan tidak pula keterangan yang dinukil bahwa hal tersebut pernah
dilakukan oleh seorang dari para ulama yang merupakan panutan dalam beragama, yang sangat
kuat dan berpegang teguh terhadap atsar (keterangan) generasi terdahulu. Perayaan itu tiada
lain adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang tidak punya kerjaan dan
merupakan tempat pelampiasan nafsu yang sangat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hobi
makan” [Risalatul Maurid fi Amalil Maulid]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Begitu pula praktek yang diada-adakan
oleh sebagian manusia, baik karena hanya meniru orang-orang nasrani sehubungan dengan
kelahiran Nabi Isa ‘Alaihis Salam atau karena alasan cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka menjadikan kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai sebuah perayaan. Padahal tanggal kelahiran beliau masih menjadi ajang perselisihan.

Dan hal semacam ini belum pernah dilakukan oleh ulama salaf (terdahulu). Jika sekiranya hal
tersebut memang merupakan kebaikan yang murni atau merupakan pendapat yang kuat, tentu
mereka itu lebih berhak (pasti) melakukannya dari pada kita, sebab mereka itu lebih cinta dan
lebih hormat pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pada kita. Mereka itu lebih giat
terhadap perbuatan baik.
Sebenarnya, kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tercermin dalam meniru, mentaati dan mengikuti perintah beliau, menghidupkan sunnah beliau
baik lahir maupun bathin dan menyebarkan agama yang dibawanya, serta memperjuangkannya
dengan hati, tangan dan lisan. Begitulah jalan generasi awal terdahulu, dari kaum Muhajirin,
Anshar dan Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik” [Iqtida ‘Ash-Shirath Al-Mustaqim
1/615]

2. Tabbaruk (Mengambil Berkah) Dari Tempat-Tempat Tertentu, Barang-Barang Peninggalan,


Dan Dari Orang-Orang Baik, Yang Hidup Ataupun Yang Sudah Meninggal.

Termasuk di antara bid’ah juga adalah tabarruk (mengharapkan berkah) dari makhluk. Dan ini
merupakan salah satu bentuk dari watsaniyah (pengabdian terhadap mahluk) dan juga
dijadikan jaringan bisnis untuk mendapatkan uang dari orang-orang awam.

Tabarruk artinya memohon berkah dan berkah artinya tetapnya dan bertambahnya kebaikan
yang ada pada sesuatu. Dan memohon tetap dan bertambahnya kebaikan tidaklah mungkin
bisa diharapkan kecuali dari yang memiliki dan mampu untuk itu dan dia adalah Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Allah-lah yang menurunkan berkah dan mengekalkannya. Adapun
mahluk, dia tidak mampu menetapkan dan mengekalkannya.

Maka, praktek tabarruk dari tempat-tempat tertentu, barang-barang peninggalan dan orang-
orang baik, baik yang hidup ataupun yang sudah meninggal tidak boleh dilakukan karena
praktek ini bisa termasuk syirik bila ada keyakinan bahwa barang-barang tersebut dapat
memberikan berkah, atau termasuk media menuju syirik, bila ada keyakinan bahwa menziarahi
barang-barang tersebut, memegangnya dan mengusapnya merupakan penyebab untuk
mendapatkan berkah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun tabarruk yang dilakukan para sahabat dengan rambut, ludah dan sesuatu yang
terpisah/terlepas dari tubuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung
terdahulu, hal tersebut hanya khusus Rasulullah di masa hidup beliau dan saat beliau berada di
antara mereka ; dengan dalil bahwa para sahabat tidak ber-tabarruk dengan bekas kamar dan
kuburan beliau setelah wafat.

Mereka juga tidak pergi ke tempat-tempat shalat atau tempat-tempat duduk untuk ber-
tabarruk, apalagi kuburan-kuburan para wali. Mereka juga tidak ber-tabarruk dari orang-orang
shalih seperti Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, Umar Radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya dari
para sahabat yang mulia. Baik semasa hidup ataupun setelah meninggal. Mereka tidak pergi ke
Gua Hira untuk shalat dan berdo’a di situ, dan tidak pula ke tempat-tempat lainnya, seperti
gunung-gunung yang katanya disana terdapat kuburan nabi-nabi dan lain sebagainya, tidak pula
ke tempat yang dibangun di atas peninggalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain itu, tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang mengusap-ngusap dan mencium tempat-
tempat shalat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di Madinah ataupun di Makkah.
Apabila tempat yang pernah di injak kaki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yan mulia dan
juga dipakai untuk shalat, tidak ada syari’at yang mengajarkan umat beliau untuk mengusap-
ngusap atau menciuminya, maka bagaimana bisa dijadikan hujjah untuk tabarruk, dengan
mengatakan bahwa (si fulan yang wali) –bukan lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
pernah shalat atau tidur disana ?! Para ulama telah mengetahui secara pasti berdasarkan dalil-
dalil dari syariat Islam, bahwa menciumi dan mengusap-ngusap sesuatu untuk ber-tabarruk
tidaklah termasuk syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Lihat Iqtidha’ Al-Shirath Al-
Mustaqim 2/759-802]

3. Bid’ah Dalam Hal Ibadah Dan Taqarrub Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan ibadah, pada saat ini cukup banyak. Pada dasarnya ibadah
itu bersifat tauqif (terbatas pada ada dan tidak adanya dalil), oleh karenanya tidak ada sesuatu
yang disyariatkan dalam hal ibadah kecuali dengan dalil. Sesuatu yang tidak ada dalilnya
termasuk kategori bid’ah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa mengerjakan amalan yang tidak ada padanya perintah kami maka dia
tertolak” [Hadits Riwayat Muslim]

Ibadah-ibadah yang banyak dipraktekkan pada masa sekarang ini, sungguh banyak sekali, di
antaranya ; Mengeraskan niat ketika shalat. Misalnya dengan membaca dengan suara keras.

“Artinya : Aku berniat untuk shalat ini dan itu karena Allah Ta’ala”

Ini termasuk bid’ah, karena tidak diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Katakanlah (kepada mereka), ‘Apakah kalian akan memberitahukan kepada Allah
tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al-Hujarat : 16]

Niat itu tempatnya adalah hati. Jadi dia adalah aktifitas hati bukan aktifitas lisan. Termasuk juga
dzikir berjama’ah setelah shalat. Sebab yang disyariatkan yaitu bahwa setiap membaca dzikir
yang diajarkan itu sendiri-sendiri, di antara juga adalah meminta membaca surat Al-Fatihah
pada kesempatan-kesempatan tertentu dan setelah membaca do’a serta ditujukan kepada
orang-orang yang sudah meninggal. Termasuk juga dalam katagori bid’ah, mengadakan acara
duka cita untuk orang-orang yang sudah meninggal, membuatkan makanan, menyewa tukang-
tukang baca dengan dugaan bahwa hal tersebut dapat memberikan manfaat kepada si mayyit.
Semua itu adalah bid’ah yang tidak mempunyai dasar sama sekali dan termasuk beban dan
belenggu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu.

Termasuk bid’ah pula yaitu perayaan-perayaan yang diadakan pada kesempatan-kesempatan


keagamaan seperti Isra’ Mi’raj dan hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perayaan-
perayaan tersebut sama sekali tidak mempunyai dasar dalam syari’at, termasuk pula hal-hal
yang dilakukan khusus pada bulan Rajab, shalat sunnah dan puasa khusus. Sebab tidak ada
bedanya dengan keistimewaannya dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain, baik dalam
pelaksanaan umrah, puasa, shalat, menyembelih kurban dan lain sebagainya.

Yang termasuk bid’ah pula yaitu dzikir-dzikir sufi dengan segala macamnya. Semuanya bid’ah
dan diada-adakan karena dia bertentangan dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan baik dari segi
redaksinya, bentuk pembacaannya dan waktu-waktunya.

Di antaranya pula adalah mengkhususkan malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah tertentu seperti
shalat malam dan berpuasa pada siang harinya. Tidak ada keterangan yang pasti dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan khususnya untuk saat itu, termasuk bid’ah pula
yaitu membangun di atas kuburan dan mejadikannya seperti masjid serta menziarahinya untuk
ber-tabarruk dan bertawasul kepada orang mati dan lain sebagainya dari tujuan-tujuan lain
yang berbau syirik.

Akhirnya, kami ingin mengatakan bahwa bid’ah-bid’ah itu ialah pengantar pada kekafiran.
Bid’ah adalah menambah-nambahkan ke dalam agama ini sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. Bid’ah lebih jelek dari maksiat besar sekalipun.
Syetan akan bergembira dengan terjadinya praktek bid’ah melebihi kegembiraannya terhadap
maksiat yang besar. Sebab, orang yang melakukan maksiat, dia tahu apa yang dia lakukannya
itu maksiat (pelanggaran) maka (ada kemungkinan) dia akan bertaubat. Sementara orang yang
melakukan bid’ah, dia meyakini bahwa perbuatannya itu adalah cara mendekatkan diri kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia tidak akan bertaubat. Bid’ah-bid’ah itu akan dapat
mengikis sunnah-sunnah dan menjadikan pelakunya enggan untuk mengamalkannya.
Bid’ah akan dapat menjauhkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan mendatangkan
kemarahan dan siksaanNya serta menjadi penyebab rusak dan melencengnya hati dari
kebenaran.

Daftar Pustaka

1. https://www.google.com/search?safe=strict&sxsrf=ALeKk01wy5wuaa8F1O6f8GlUrWuvt
9P9bA%3A1603596111133&ei=T--UX-XbB-Hbz7sPzb2-
mAk&q=contoh+amalan+bidah+dalam+kehidupan+sehari+hari&oq=contoh+amalan+BI
DAH+dalam+kehidupan+&gs_lcp=CgZwc3ktYWIQARgAMggIIRAWEB0QHjoHCAAQRxCwA
zoFCAAQzQI6BwghEAoQoAE6BAghEApQti5YyH1gpo8BaAJwAHgAgAHMA4gBrCqSAQkwL
jcuOS41LjGYAQCgAQGqAQdnd3Mtd2l6yAEIwAEB&sclient=psy-ab
2. https://www.rctiplus.com/trending/detail/230768/amalan-sunnah-sehari-hari-yang-
sering-terlupakan
3. https://almanhaj.or.id/439-pengertian-bidah-macam-macam-bidah-dan-hukum-
hukumnya.html
4. https://www.kompasiana.com/asnawibinsurandi/5517b8a5a333118007b65fa2/pengert
ian-
5. https://www.kompasiana.com/asnawibinsurandi/5517b8a5a333118007b65fa2/pengert
ian-
sunnah#:~:text=Jadi%2C%20para%20ulama%20Ushul%20Fiqh,dan%20apabila%20diting
galkan%20tidak%20berdosa.
6. https://mynewblogcalonsarjana.blogspot.com/2018/03/pengertian-sunnah-macam-
macamnya.html

Anda mungkin juga menyukai