Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SUNAH DAN BID’AH

Dosen Pengampu : Syamsul Ma’arif, S.T., M.T.

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Makalah Ahlussunah Wa Al Jama’ah

Disusun Oleh :

Kelompok 7

1. Citra Permatasari (211230000573)


2. Anang Firdausy (211230000575)

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA

JEPARA

2022
KATA PENGANTAR

Dengan memanjat puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
taufiq serta inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Sunnah
dan Bid’ah” sebagai tugas mata kuliah Ahlussunah Wa Al Jama’ah, dengan dosen pengampu
Syamsul Ma’arif, S.T., M.T.

Dalam makalah ini menjelaskan tentang Sunnah dan Bid’ah. Diharapkan makalah ini
dapat memberikan pemahaman tentang Sunnah dan Bid’ah. Kami menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. kami sampaikan terima
kasih banyak kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam proses penyusunan
makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

PENYUSUN

KELOMPOK 7
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN  
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sunnah dan Bid’ah    
2.2 Macam-macam Sunnah dan Bid’ah
2.3 Menjelaskan Dalil Sunnah dan Bid’ah
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Agama islam merupakan agama yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw, yang
bertujuan untuk menyempurkan agama-agama yang sebelumnya. Al-Qur’an adalah
kitabnya. Namun, karena sifat hukum Al-Qur’an yang sangat umum, maka dalam
penjelasannya, Nabi Muhammad Saw. Sendirilah yang mempraktekannya atau adanya
suatu permasalahan dari suatu kaum yang ada yang memunculkan suatu penjelasan
dimana umat Islam wajib untuk mematuhinya setelah Al-Qur’an, yaitu sunnah.

Namun, dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi menjadikan banyaknya


permasalahan baru yang tak ada di dalam Al-Qur’an dan juga sunnah. Sebagian orang
berijtihad untuk menentukan aturan baru, namun ada juga yang langsung mengatakan
bahwa itu adalah sebuah bid’ah. Adanya hal tersebut mengakibatkan sebuah perdebatan,
pertentangan, dan juga penolakan terhadap sesuatu yang baru. Bahkan beberapa
kebudayaan yang merupakan tradisi Indonesia asli pun juga dinyatakan sebagai bid’ah
dan keberadaannya hampir dilarang oleh sebagian kelompok.

Kita sebagai mahasiswa seharusnya menjaga antara kebudayaan dan juga agama
tetap seimbang, tidak berat sebelah. Oleh karena itu, penulis mengangkat sebuah judul
untuk makalah mata kuliah fiqh, yaitu “Perbedaan antara Sunnah dan Bid’ah.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini, diantaranya:

1. Apakah pengertian sunnah dan bid’ah?


2. Bagaimana kritisi atau mengkritisi sunnah dan bid’ah?

3. Apa dalil sunnah dan bid’ah?

4. Bagaimana kritisi atau mengkritisi perbedaan dan persamaan atau menyerupai


sunnah dan bid’ah?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Dari rumusan masalah diatas, penulis merumuskan tujuan penulisan makalah ini,
diantaranya:

1. Mengetahui pengertian sunnah dan bid’ah.

2. Mengetahui kritisi atau mengkritisi sunnah dan bid’ah.

3. Mengetahui dalil sunnah dan bid’ah.

4. Mengetahui kritisi atau mengkritisi perbedaan dan persamaan atau


menyerupai sunnah dan bid’ah
BAB 11

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sunah dan Bid'ah


1. Pengertian Sunnah
A. Secara etimologi
Makna kata sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah
dilakukan kemudian diikuti oleh orang lain, baik perbuatan yang
terpuji maupun yang tercela. Sabda rasulullah SAW

:ِ‫ ِه ْدعَب ْنِم اَ ِهب َلِ َمع ْنَم ُرْ َجا َو ُهَرْ َجأ ُهَلَف ًةَنَ َسح ًةّنُس ِ َم ْل ِسال ىِف ّنَس ْنَم‬.

Artinya: “Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik didalam


Islam, maka ia menerima pahalannya dan pahala orang-orang sesudahnya
yang mengamalkannya”. (H.R. Muslim )

B. Secara terminology
Pengertian sunnah bisa dilihat dari 3 disiplin ilmu;
a) Ilmu hadits
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
b) Ilmu ushul fiqhi
Segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW berupa perbuatan,
perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
c) Ilmu fiqih
Salah satu hukum takhlifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan
mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila
ditinggalkan.
Para ulama islam mengutip kata Sunnah dari al-Qur’an dan bahasa Arab yang
mereka gunakan dalam artian khusus yaitu: ”cara yang biasa dilakukan dalam
pengamalan agama”. Kata Sunnah sering disebut dengan kata ”kitab”. Di
kala kata sunnah dirangkaikan dengan kata “kitab”, maka Sunnah berarti: “cara-
cara beramal dalam agama berdasarkan apa yang disarankan dari Nabi
Muhammad SAW”; atau “suatu amaliah agama yang telah dikenal oleh semua
orang”.

Kata “Sunnah” sering diidentikkan dengan kata “Hadits”. Kata “Hadits”


ini sering digunakan oleh ahli Hadits dengan maksud yang sama dengan kata
“Sunnah” menurut pengertian yang digunakan kalangan ulama ushul.
Dikalangan ulama ada yang membedakan Sunnah dan Hadits, terutama
karena dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata Hadits lebih
banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi. Sedangkan Sunnah lebih banyak
mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang
hidup dalam pengamalan agama.

1. Pengertian Bid’ah
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu
tanpa ada contoh. Bid’ah menurut istilah (syar’i atau terminologi) adalah
sesuatu yang diada-adakan menyerupai syariat tanpa ada tuntunannya dari
Rasulullah yang diamalkan seakan-akan bagian dari ibadah.Syekh Aly
Mahfudh telah mendefinisikan bid’ah secara rinci dalam kitabnya Al ibda’fi
Madharil Ibtida’. Menurut bahasa bid’ah adalah segala sesuatu yang
diciptakan dengan tidak diketahui contoh-contohnya. Sedangkan menurut
istilah yaitu suatu ibarat (gerak dan tingkah laku lahir batin) yang berkisar
pada masalah-masalah agama (syari’at Islamiyah), dilakukan menyerupai
syari’at dengan cara berlebihan dalam pengabdian kepada Allah Swt.
Pendapat Syekh Aly Mahfudh tersebut bersumber pada firman Allah
yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw adalah bukan rasul yang berbuat
sewenang-wenang tanpa ada contoh dari rasul-rasul sebelumnya. Tugas beliau
merupakan kelanjutan dari tugas-tugas nabi terdahulu, bahkan Allah
menjadikan beliau sebagai nabi akhir zaman, maka beliau tidak akan berbuat
sesuatu apapun kecuali apa yang telah diriwayatkan Allah melalui malaikat
Jibril. Karena itu secara tegas Nabi bersabda “Barang siapa yang mengada-
adakan dalam ajaran Islam ini yang tidak ada sumbernya dari Islam, maka
urusan itu ditolak (fasid).
Definisi bid’ah oleh Imam asy Syathibi', adalah "cara beragama yang
dibuat-buat, yang meniru syariat, yang dimaksudkan dengan melakukan hal itu
sebagai cara berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT". Ini merupakan
definisi bid'ah yang paling tepat, mendetail, dan mencakup serta meliputi
seluruh aspek bid'ah.
Dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah suatu hal yang tidak terdapat
pada konteks ajaran Islam yang dibawa Rasulullah Saw, baik dalam masalah
aqidah maupun syariah yang aturan-aturannya sudah dijelaskan dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah secara tafshil (rinci).
2.2 Macam-macam Sunnah dan Bid’ah
1. Macam- Macam Sunnah
Pembagian sunnah dari segi bentuknya:
a) Sunnah Qauliyyah
Adalah ucapan lisan dari Nabi Muhammad SAW yang
didengar oleh sahabat beliau dan disampaikannya kepada orang
lain.
Contoh sunnah qauliyyah dari Annas ra, dari Nabi SAW, beliau
bersabda: ”Belum beriman salah seorang dari kamu, sebelum ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”.
b) Sunnah Fi’liyah
Adalah semua perbuatan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW
yang dilihat atau diketahui atau diperhatikan oleh sahabat,
kemudian disampaikan kepada orang lain dengan ucapannya.
Contoh sunnah fi’liyah dari ubbad bin tamim, dari pamannya, ia
berkata: “Saya melihat Rasullah SAW pada hari beliau keluar
untuk melaksanakan shalat gerhana matahari, katanya: “Maka
beliau membalikkan tubuhnya membelakangi jama’ah menghadap
kiblat dan berdoa, kemudian beliau membalikkan
selendangnya, kemudian beliau shalat bersama kami dua rekaat
dengan menjaharkan bacaannya pada kedua rekaat itu”.

Sunnah fi’liyyah pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3


bagian,yaitu:
1. Gerak gerik, perbuatan, dan tingkah laku Rasulullah SAW yang
berkaitan dengan hukum. Misalnya; tata cara shalat, puasa, haji,
transaksi dagang, tata caramakan dll. Perbuatan ini dapat
diketahui dengan adanya petunjuk dari beliau sendiri, atau
karena adanya petunjuk (qarinah) lain, baik dari Al-Qur’an
maupun dari sifat perbuatan Rasulullah SAW.
2. Perbuatan yang khusus berlaku bagi Rasulullah SAW.
Misalnya; beristri lebih dari 4 orang, wajib melaksanakan
shalat tahajjud, berkurban, shalat witir, dll. Semua
perbuatan itu bagi umatnya tidak wajib.
3. Perbuatan dan tingkah laku Nabi berhubungan dengan
penjelasan hukum, seperti: shalat, puasa, jual beli, utang
piutang, dll.

c) Sunnah Taqririyah

Adalah perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan di


hadapan atau sepengetahuan Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak
ditanggapi atau dicegah oleh Nabi, namun Nabi diam, maka hal ini
merupakan pengakuan dari Nabi.

Keadaan diamnya Nabi itu dapat dibedakan pada 2 bentuk:

1. Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci


dan dilarang oleh Nabi. Dalam hal ini kadang-kadang
Nabi mengetahui bahwa si pelaku berketerusan
melakukan perbuatan yang pernah dibenci dan dilarang itu.
Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan
bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Diamnya Nabi
dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan
sebelumnya.

2. Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan


tidak diketahui pula haramnya. Diamya Nabi dalam hal ini
menunjukkan hukumnya adalah ibadah atau meniadakan
keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu
dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk
mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesalahan; sedangkan Nabi
bersifat ma’shum (terhindar dari kesalahan). Contoh sunnah
taririyyah dari Khalid bin Walid ra katanya: “Kepada Nabi
SAW dihidangkan makanan dhabb (sejenis biawak) yang
dipanggang untuk dimakan beliau. Kemudian ada yang berkata
kepada beliau: “Itu adalah dhabb”, maka beliau menahan
tangannya, maka Khalid berkata: “Apakah haram memakannya?
Beliau menjawab: “Tidak, tetapi binatang jenis itu tidak biasa
ditemukan di daerah saya, maka saya tidak suka dan
menghindarinya”.Maka Khalid memakannya, sedang
Rasulullah memandanginya.

2. Macam-macam Bid’ah

Para ulama membagi bid’ah menjadi dua yaitu Bid’ah Hasanah (bid’ah
yang baik) dan bid’ah Madzmumah (bid’ah yang tercela).

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’I–mujtahid besardan


pendiri madzhab Syafi’I yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-
Jama’ah di dunia Islam berkata : “Bid’ah ada dua macam :pertama, sesuatu
yang baru yang menyalahi al-Quran atau sunnah atau Ijma’ dan itu disebut
bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang
tidak menyalahi al-Quran, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak
tercela.” (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’I, 1/469).
Al-Imam Nawawi juga membagi bid’ah pada dua bagian. Ketika
membicarakan masalah bid’ah, dalam kitabnya Tahdzib al- Asma’ wa al-
Laughat (3/22), beliau mengatakan:“Bid’ah terbagi menjadi dua yaitu bid’ah
hasanah (baik) dan bid’ahqabihah (buruk).

”(Al-Imam al-Nawawi, Tahdzib al-Asma’ al-Lughat3/22). Lebih dari itu,


pembagian bid’ah menjadi dua, juga dilegitimasi dan dibenarkan oleh Ibnu
Taimiyah, rujukan paling otoritatif dari kalangan yang menolak pembagian
Bid’ah, seperti Salafi, Muhamadiyah, dan lain-lain. Beliau berkata,
“Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan
kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak menyalahinya, terkadang
tidak dinamakan bid’ah.

Imam Syafi’i berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi
al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Atsar sebagian sahabat Rasulullah saw. Ini
disebut bid’ahdhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut. Ini
terkadang disebut bid’ah hasanah berdasarkan perkataan Umar ra, “Inilah
sebaik-baik bid’ah”. (Syekh Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 20/163).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa para ulama seiring berjalannya
waktu mulai dari al-Imam al-Syafi’I, al-Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn Hajar
dan Syaikh Ibn Taimiyah telah sepakat membagi bid’ah me jadi dua, yaitu
bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah. Bahkan, bid’ahhasanah sudah ada
semenjak masa Rasulullah saw, masa sahabat dan terusberlanjut sampai pada
generasi selanjutnya.

A. Contoh-contoh Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik)


1. Pembukuan al Qur’an, sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-
Qur’an, bagaimana sejarah penulisan ayat-ayat al Qur’an. Hal ini terjadi
sejak era sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabitra.
Kemudian oleh sahabat Ustman bin ‘Affan ra. Jauh setelah itu kemudian
penomoran ayat atau surat, harakat tanda baca, dan lainlain.

2. Sholat tarawih berjama’ah. Khalifah Umar bin Khattab ra yang


mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih bermakmum pada
seorang imam yang sebelumnya dilakukan rasulullah SAW tidak
berjama’ah. Pada perjalanan berikutnya dapat ditelusuri perkembangan
sholat tarawih di masjid Nabawi dari masa ke masa.

3. Modifikasi yang dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan


radalam pelaksanaan sholat Jum’at. Beliau memberi tambahan adzan
sebelum khotbah Jum’at menjadi 2 adzan.

4. Pembukuan hadits beserta pemberian derajat hadits shohih,


hasan, dlo’if atau ahad. Bagaimana sejarah pengumpulan dari hadits satuke
hadits lainnya. Bahkan Rasulullah saw. Pernah melarang menuliskan
hadits beliau karena takut bercampur dengan Al-Qur’an. Penulisan
hadits baru sejak era Umar ibn Abdul Aziz, sekitar abad ke 10 H.

5. Penulisan sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf,


tatabahasa Arab, Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dan lain lain.6.
Merayakan Maulid Nabi. Yang merintis pertama kali seorang ulama’ sufi
yang shaleh Raja muzhaffar abu said al-kukburi binzainuddin bin
buktikin. Meskipun Rasulullah SAW tidakmerayakan maulidnya, hal
tersebut bukan menjadi alasan untuk tidak merayakannya. Memperingati
maulid nabi tidak lain hanyalah sebagai rasa syukur, gembira dan cinta
akan kelahiran Nabi pembawa rahmat bagi seluruh alam.

B. Contoh–contoh bid’ah Dhalalah (Bid’ah yang buruk)

1. Munculnya golongan baru seperti Syi’ah, Khowarij,


Salafiwahhabi, dan lain-lain. Hal ini sesuai hadits yang menjelaskan umat
islam akhir zaman akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya tersesat
kecuali Ahlussunnah wal’jama’ah.

2. Melukai tubuh sendiri pada hari Asyura 10 Muharram (Ritual


Arbain mengenang kematian imam Husain). Tradisi Golongan baruSyi’ah
yang tidak ada manfaatnya melainkan kerugian yang didapat.

3. Membaca Al-Qur’an dengan iringan musik. Al-Qur’an ialah


kalam Allah yang suci sedangkan musik merupakan hal yang melalaikan
sehingga keduanya tidak dapat di satukan karena tidak ada manfaatnya
sama sekali.

2.3 Menjelaskan Dalil Sunnah dan Bid’ah

2.3.1 Dalil Sunnah

Sebagaimana dalil firman Allah Swt. yang memilki arti:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min. Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’: 115)
Dan sabda Nabi Muhammad Saw.:
“Sesungguhnya Barangsiapa dari kalian yang hidup (sesudah aku wafat) maka ia
akan melihat banyak perselisihan. Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan
Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang lurus, gigitlah erat-erat dengan gigi-gigi
geraham kalian.”
Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak dalil-dalil yang berhubungan dengan sunnah,
diantaranya :
1. “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata.” [Al Ahzab: 36]
2. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-
Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui” [Al Hujuraat: 01]
3. “Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.’” [Ali ‘Imran: 32]
4. “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada
segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” [An-Nisaa’: 79]
5. “Barangsiapa mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan
barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu
(Muhammad) untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” [An-Nisaa’: 80]
Ada pula dalil tentang wajibnya mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya,
diantaranya:
1. Katakanlah (wahai Muhammad), Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Ali Imran: 54]
2. “Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan
Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai,
mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung” [QS. At Taubah:
100]
3. “Barangsiapa yang menolak sunnahku maka dia bukanlah bagian dariku.” [HR.
Bukhari dan Muslim]
4. “Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam
neraka, kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya, “Siapa golongan itu, wahai
Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Golongan yang berada di atas apa yang aku dan
para sahabatku berada” [HR. Tirmidzi]
5. “Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian dua perkara . kalian tidak akan tersesat
jika berpegang dengan keduanya. Yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Kalian tidak
akan berpecah hingga nanti kalian sampai di telagaku” [HR. Hakim, Ad
Daruquthni, dan Baihaqi]

2.3.2 Dalil Bid’ah Dalil Bid’ah


Pertama adalah dalil tentang meninggalkan bid’ah-bid’ah diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah lupa
kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” [Al-A’raaf: 03]
2. “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam agama), karena
setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah
adalah sesat.” [HR. Ahmad, Hakim, Ibnu Majah, dll.]
3. Sabda Nabi Saw.:
“Waspadalah kamu terhadap perkara-perkara baru, karena
sesungguhnya setiap perkara baru itu bid’ah.”
Dan Sabdanya pula:
“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan (agama) kami perkara
baru yang bukan darinya maka perkara itu tertolak.” [HR. Al-Bukhari
(2697) dan Muslim (1718) dari hadits ‘Aisyah]
4. Ibnu Mas’ud berkata, “Janganlah kamu berbuat bid’ah dan berlebih-
lebihan dalam agama. Wajib atas kamu berpegang teguh dengan
perkara agama yang dahulu kala (ajaran Rasulullah Saw. yang murni-
pen).” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi (1/54) dan Ibnu Baththah
dengan sanad yang shahih]
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa, sunnah adalah jalan sesuatu,
sunnah Rasulallah saw berarti jalan Rasulallah saw yaitu jalan yang ditempuh dan
ditunjukkan oleh beliau.Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-
Nya. Bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan menyerupai syariat tanpa ada tuntunannya
dari Rasulullah yang diamalkan seakan-akan bagian dari ibadah.
Dalil-dalil Sunnah tercantum pada sebagaimana dalil firman Allah Swt. dalam QS.
An-Nisaa’: 115 dan surat-surat yang lain, dengan hadits-hadits dari para ahli hadits. Dalil
bid’ah terdiri atas dalil untuk meninggalkan bid’ah, bid’ah merupakan kesesatan, dan adanya
bid’ah khasanah.
Perbedaan dan persamaan atau menyerupai sunnah dan bid’ah tercermin pada polemik
sunnah pada kalangan pro dan kontra sunnah. Kewajiban kita kepada orang yang melakukan
kebid’ahan adalah menasehati mereka semampu kita dan menjauh dari mereka. Hendaklah
kita senantiasa berpegang teguh dengan sunnah yang mulia.
DAFTAR PUSTAKA
al-Banna, J. (2008). Manifesto fiqih Baru 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
al-Banna, J. (2008). Manifesto fiqih Baru 3. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, 2010, Jakarta:Amzah

Ramli, Idrus, Membedah Bid’ah dan Tradisi, khalista, Surabaya 2012

Purnama, Y. (2013). Hadits-Hadits Tentang Bid’ah

Anda mungkin juga menyukai