Dosen Pengampu :
Mabrur Syah, S.Pd.I, IPI, M.Hi
Disusun Oleh :
1. Muhammad Sulaiman Mukhtar (22561028)
2. Tiara Oktari (22561044)
Pendahuluan
1. Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan
dan juga kelancaran kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini tepat
pada waktu yang sudah ditetapkan. Shalawat beriring salam tak henti-hentinya kami panjatkan
kepada Rasulullah Muhammad SAW, semoga kita mendapatkan syafaatnya di Yaumul Qiyamah
nanti.
Bid’ah merupakan sebuah permasalahan yang sering sekali diperdebatkan oleh khalayak
ramai. Banyak yang beranggapan bahwa bid’ah adalah sesuatu yang buruk atau tercela. Pada
kenyataannya, tidak semua bid’ah adalah tercela. Begitu juga dengan sunnah. Banyak orang
yang salah mengartikan sunnah pada kehidupan sehari-harinya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ahlussunnah Wal-Jamaah dan
juga untuk mengupas kembali pengertian sunnah dan bid’ah, dan juga pandangan para ulama
mengenai pembagian bid’ah.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini sangat jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kami memohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Terlepas dari kelemahan tersebut, kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal jariah bagi para penyusun.
Penyusun
2. Latar Belakang Masalah
Saat ini, orang selalu menganggap bahwa bid’ah adalah sesuatu hal yang tercela. Bahkan
ada juga yang menganggap orang yang melakukan suatu bid’ah adalah orang yang kafir atau
sesat. Padahal tidak semua bid’ah adalah sesuatu hal yang tercela. Begitu juga dengan sunnah.
Banyak orang yang berpandangan bahwa mereka yang tidak mengikuti sunnah adalah sesat.
Padahal sunnah adalah sesuatu yang jika dilakukan maka akan mendapat pahala, tetapi jika tidak
dilakukan maka tidak akan mendapatkan dosa. Oleh karena itu kesalah pahaman itu harus segera
dibenarkan. Disini akan dibahas pengertian sunnah dan bid’ah, perbedaan pandangan ulama
mengenai pembagian bid’ah dan juga aktualisasi bid’ah.
3. Rumusan Masalah
1. Kata Pengantar
3. Rumusan Masalah
1. Kesimpulan
2. Daftar Pustaka
Bab II
Pembahasan
Dari segi bahasa, Sunnah adalah “at-thariqah wa law ghaira mardhiyah”, yaitu jalan atau
cara walaupun tidak diridhoi.1 Menurut pendapat lain, Sunnah adalah “at-thariqah mahmudah
kaanat aw mazmumah” , yaitu jalan yang dilalui baik terpuji atau tercela. 2 Seperti sabda Nabi
S.A.W yang bermaksud, “Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan)
orang yang sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga sekiranya
mereka memasuki sarang dhab (berupa biawak) sungguh kamu memasuki juga.” [H.R. Bukhari
dan Muslim]
Dari hadits tersebut, kita bisa mengetahui bahwa kata Sunnah sebagaimana juga menurut
ahli bahasa berarti jalan.
Adapun pengertian Sunnah menurut istilah, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad
Ajaj Al-Khathib yang bermaksud, “Segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik sebelum Nabi
SAW diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya.3
1 [1] - Tim Aswaja NU Centre PWNU Jawa Timur. Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah, Hal.1
2 [2] - M. Agus Solahudin dan Agus Suryadi. Ulumul Hadis, Hal. 17
3 [3] - M. Agus Solahudin dan Agus Suryadi. Ulumul Hadis, Hal. 19
4 [4] - Tim Aswaja NU Centre PWNU Jawa Timur. Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah, Hal.3
Menurut KH. M.Hasyim Asy’ari, Sunnah adalah, “Nama bagi jalan dan perilaku yang
diridhoi dalam agama yang ditempuh oleh Rasulullah SAW atau orang-orang yang dapat
menjadi teladan beragama seperti para sahabat R.Anhum Ajma’in, berdasarkan sabda Nabi SAW
“ Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin sesudahku”.5
Sedangkan menurut para ulama’ Ushul Fiqh, kata Sunnah berarti apa-apa yang dilakukan,
dikatakan atau ditetapkan oleh Nabi SAW yang dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan
suatu hukum syar’i.
Dari sudut terminologi, para ahli hadits mengungkapkan Sunnah adalah hal-hal yang
berasal dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat
beliau dan sifat ini baik berupa sifat-sifat fisik, moral maupun prilaku sebelum beliau menjadi
Nabi maupun sesudahnya.6[6] Jika kita perhatikan, pada dasarnya Sunnah sama dengan hadits.
Akan tetapi ia dapat dibedakan dalam pemaknaannya, seperti yang diungkapkan oleh M.M.
Azami bahwa Sunnah berarti model kehidupan Nabi SAW sedangkan hadits adalah periwayatan
dari model kehidupan Nabi SAW tersebut.7
5 [5] - Tim Aswaja NU Centre PWNU Jawa Timur. Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah, Hal. 3
6 [6]- M. Agus Solahudin dan Agus Suryadi. Ulumul Hadis, Hal. 19
7 [7]- M. Agus Solahudin dan Agus Suryadi. Ulumul Hadis, Hal. 19
1.b. Pengertian Bid’ah
Dari segi bahasa, Bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya.
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh
al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut: “Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa
mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya.”
Definisi yang serupa juga dikemukakan oleh al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya
bin Syaraf al-Nawawi, hafizh dan faqih dalam madzhab as-Syafi’i. Beliau berkata seperti berikut:
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pasa masa Rasulullah SAW.”8
Bahkan, menurut al-Imam Muhammad bin Ismail al-Shan’ani, ulama Syiah Zaidiyah
yang dikagumi oleh kaum Wahabi, mendefinisikan bid’ah hampir sama dengan definisi di atas.
Dalam kitabnya Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram yang menjadi rujukan kaum Wahabi
Indonesia sejak masa lalu. Beliau mengatakan, “Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang
dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksudkan bid’ah di sini adalah sesuatu
yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui Al-Quran dan Sunnah.”9
Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu
sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan
terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat . Kata Ibda’ dalam makna
ini hanya berlaku bagi Allah saja.
Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru).
Seperti dalam firman Allah SWT dalam QS: Al-Baqarah:, yang bermaksud : “Allah Pencipta
langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang
dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”.
Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’,
artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek).
Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9, yang berarti : “Katakan Wahai Muhammad, Aku
bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (arti penggunaan
dalam makna Maf’ul). Menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai
8 [8]- Tim Aswaja NU Centre PWNU Jawa Timur. Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah, Hal. 251
9 [9]- Tim Aswaja NU Centre PWNU Jawa Timur. Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah, Hal. 254
Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (arti
penggunaan dalam makna Fa’il).
Selanjutnya, Bid’ah menurut istilah adalah sesuatu yang baru yang tidak terdapat
penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits.10
Seorang ulama bahasa yang terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai
berikut:
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa
disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela
itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara
baru yang mengajak kepada kesesatan.”
Sungguh, telah diperjelaskan mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa
membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg
mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal
baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya.” 13 Hadits ini
merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yg baik dan bid’ah yg sesat.14
Al-Imam al-Nawawi rah. juga membagi menjadi dua bagian. Ketika membicarakan
masalah bid’ah dalam kitabnya Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, beliau mengatakan bahwa,
“Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk).”15
Imam Nawawi rah. juga menjelaskan mengenai pengecualian pada sabda Nabi SAW
seperti ini, “Semua yang baru adalah bid’ah dan semua yang bid’ah adalah sesat.” 16
Yang
dimaksudkan dengan sabdaan itu adalah hal baru yang buruk dan bid’ah yang tercela.
Menurut Imam Nawawi rah, beliau membagi bid’ah tidak hanya menjadi dua bagian,
bahkan beliau juga membagi bid’ah secara menjadi lima yaitu bid’ah yang wajib, bid’ah yang
mandhub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram. Contoh bagi bid’ah
yang wajib adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran.
Contoh bid’ah yang mandhub adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis
taklim atau pesantren. Jika ia dilakukan maka ia mendapat pahala. Jika tidak, maka ia tidak
mendapat dosa. Contoh bid’ah yang mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan
manakala bid’ah yang makruh dan haram sudah jelas kita ketahui. Demikianlah makna
pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum sebagaimana ucapan Sayyidina Umar r.a
atas jama’ah tarawih bahwa inilah sebaik-baik bid’ah.17
13 [13]- Shahih Muslim. hadits no.1017
14 [14]- Tafsir Imam Qurtubiy. juz 2. hal.87
15 [15]- Imam Nawawi. Tahdzib al-Asmai wa al-Lughat. juz.3. hal.22
16 [16]- Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim. juz 7.hal. 104-105
17 [17]- Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim. Juz 6.hal. 154-155
Pembagian bid’ah menjadi dua bahkan menjadi lima juga dilakukan oleh al-Hafizh Ibn
Hajar al-Asqalani. Dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, beliau berkata:
”Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah sehingga bid’ah itu pasti
tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik dalam
syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan yang dianggap buruk menurut
syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk dalam naungan keduanya,
maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.”18
Pembagian bid’ah menjadi lima juga dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin Ismail al-
Amir al-Shan’ani, ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi oleh kaum Wahabi. Dalam kitabnya
Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram, beliau mengatakan:
“Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Yang dimaksudkan bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului
pengakuan syara’ melalui Al-Quran dan Sunnah. Ulama telah membagi bid’ah menjadi lima
bagian: 1)bid’ah wajib seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan
menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil. 2)bid’ah
mandhubah seperti membangun madrasah-madrasah. 3)bid’ah mubahah seperti menjamah
makanan yang bermacam-macam dan baju yang indah. 4)bid’ah makruhah 5)bid’ah muharramah
dan keduanya sudah jelas contoh-contohnya. Jadi hadits “semua bid’ah adalah sesat” adalah
kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya.”19
Al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani, juga seorang ulama Syiah Zaidiyah yang
dikagumi oleh kaum Wahabi, juga membagi bid’ah menjadi dua bahkan menjadi lima bagian.
Dalam kitabnya Nail al-Authar yang telah diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh kaum
Wahabi. Al-Syaukani mengutip pernyataan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari tentang
pembagian bid’ah tanpa memberinya komentar. Al-Hafizh Ibn Hajar berkata dalam Fath al-Bari:
“Asal mula bid’ah adalah sesuatu yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam
istilah syara’, bid’ah diucapkan sebagai kebalikan sunnah sehingga bid’ah itu tercela.
18 [18]- Fath al-Bari. juz 4. hal.253
19 [19]- Imam al-Amir Al-Shan’ani. Subul al-Salam. juz 2. Hal.48
Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut
syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk,
maka disebut bid’ah mustaqbahah. Bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi
bagian mubah. Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.”20
Lebih dari itu, pembagian bid’ah menjadi dua juga dilegitimasi dan dibenarkan oleh
Syaikh Ibn Taimiyah, rujukan paling otoritatif kalangan Salafi(Wahabi). Dalam hal ini, Ibn
Taimiyah berkata:
“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan baru
dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut
padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang
menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan
yang tidak diketahui menyalahinya terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’i rah.
berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi Al-Quran,Sunnah dan Ijma’ dan
atsar sebagian sahabat Rasulullah SAW. Ini disebut bid’ah dholalah. Kedua, bid’ah yang tidak
menyalahi hal tersebut. Hal ini terkadang disebut bid’ah hasanah berdasarkan perkataan
Sayyidina Umar r.a, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan Imam as-Syafi’i ini diriwayatkan
oleh Baihaqi dalam kitab Al-Madkhal dengan sanad yang shahih.”21
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap
kurun waktu mulai dari Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Ibn Hajar, Ibn Taimiyah telah membagi
bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah bahkan secara lebih terperinci,
bid’ah menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hukum syara’ yang ada.
20 [20]- Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani. Nail al-Authar. juz 3. hal.25
21 [21]- Syaikh Ibn Taimiyah. Majmu’ al-Fatawa. juz 20. hal. 163
tradisi keagamaan masyarakat dengan alas an bid’ah. Oleh karena itu, makalah ini bermaksud
mengupas bid’ah dalam perspektif al-Quran, hadits dan aqwal para ulama yang otoritatif
terutama para ulama menjadi rujukan utama kaum Salafi atau Wahabi. Sebelum kami
memaparkan dalil-dalil bid’ah hasanah, perlu disebutkan di sini hadits yang dijadikan sebagian
kalangan untuk menolak adanya bid’ah hasanah. Hadits dari sahabat Jabir bin Abdullah r.a
berkata, Rasulullah SAW bersabda:
Menurut kelompok ini, hadits di atas menegaskan bahwa semua bid’ah itu sesat. Dalam
hal ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, ulama Wahabi kontemporer telah berkata
dalam kitabnya Al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’I wa Khathar al-Ibtida’(kreasi tentang kesempurnaan
syara’ dan bahayanya bid’ah) yang bermaksud:
“Hadits (semua bid’ah adalah sesat) bersifat general, umum, menyeluruh dan dipagari
dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata
‘kull(seluruh)’. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membagi bid’ah
menjadi tiga bagian atau menjadi lima bagian? Selamanya ini tidak akan pernah benar.”23
Pernyataan Al-Utsaimin di atas memberikan definisi bahwa hadits (semua bid’ah adalah
sesat) bersifat general, umum dan menyeluruh terhadap seluruh jenis bid’ah, tanpa terkecuali
sehingga tidak ada satu bid’ah yang boleh disebut bid’ah hasanah apalagi disebut bid’ah
mandubah yang mendatangkan pahala bagi pelakunya. Alasan utama al-Utsaimin menolak
pembagian bid’ah, adalah adanya kosa kata ‘kullu’ dalam redaksi hadits di atas yang berarti
semua. Penolakan pembagian bid’ah menjadi dua atau lima bagian berdasarkan hadits di atas
masih perlu dipertimbangkan. Karena tidak semua kosa kata ‘kullu’ dalam al-Quran maupun
hadits bermakna menyeluruh tanpa memiliki pengecualian dan pembatasan. Dalam hal ini, al-
Utsaimin sendiri mengatakan lagi:
“Redaksi seperti (kullu syay’in) adalah kalimat general yang terkadang dimaksudkan
pada makna yang terbatas seperti firman Allah SWT tentang Ratu Saba’ dalam QS:Surah al-
22 [22]- HR.Muslim
23 [23]- Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’I wa Khathar al-Ibtida’. hal.13
Naml:23: “Ia dikarunia segala sesuatu”. Padahal banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam
kekuasaannya seperti kerajaan Nabi Sulaiman A.S”24
Dalam pernyataan di atas, al-Utsaimin mengakui bahwa tidak semua kata (kullu) dalam
teks al-Quran dan hadits bermakna general (‘am) tetapi ada yang bermakna terbatas (khash). Di
sisi lain, ketika dihadapkan dengan sekian banyak persoalan baru yang harus diakui. Syaikh al-
Utsaimin juga terjebak dalam pembagian bid’ah menjadi beberapa bagian. Kini al-Utsaimin telah
menyatakan bahwa membangun madrasah, menyusun ilmu dan mengarang kitab itu bukan
bid’ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW, namun hal ini bid’ah yang belum
tentu, belum tentu ke neraka bahkan hukum bid’ah dalam soal ini terbagi menjadi beberapa
bagian sesuai dengan hukum tutjuannya. Oleh karena demikian, para ahli hadits dan ahli fiqh
berpandangan bahwa hadits (semua bid’ah itu sesat) adalah kata-kata general (‘am) yang
maknanya terbatas (khash). Dalam hal ini, Imam Nawawi menyatakan yang bermaksud:
“Sabda Nabi SAW (semua bid’ah adalah sesat) ini adalah kata-kata umum yang dibatasi
jangkauannya. Maksud (semua bid’ah itu sesat) adalah sebagian besar bid’ah itu sesat bukan
seluruhnya,”25
Oleh karena hadits (semua bid’ah itu sesat) adalah redaksi general yang maknanya
terbatas, maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.
Lebih terperinci lagi, bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hokum
Islam yang lima; wajib, sunnat, mubah, makruh dan haram. Berikut ini akan dikemukakan
beberapa dalil tentang adanya bid’ah hasanah dan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat dan
tercela.
Menurut Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, hadits ini memberikan faedah bolehnya berijtihad
dalam menentukan waktu ibadah karena Bilal r.a memperoleh derajat tersebut berdasarkan
ijtihadnya, lalu Nabi SAW pun membenarkannya. Nabi SAW belum pernah menyuruh atau
mengerjakan shalat sunat dua rakaat setiap selesai berwudhu’ atau setiap selesai adzan, akan
tetapi Bilal r.a melakukannya atas ijtihadnya sendiri tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada
Nabi SAW. Ternyata Nabi SAW membenarkannya bahkan memberikan kabar gembira tentang
derajatnya di surga sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu’ menjadi sunnat bagi seluruh
ummat Islam.
Hadits ini menjadi dalil bid’ah hasanah. ‘Amr bin al-‘Ash melakukan tayammum karena
kedinginan berdasarkan ijtihadnya. Kemudian setelah Nabi SAW mengetahuinya, beliau tidak
menegurnya bahkan membenarkannya. Dengan demikian, tidak semua perkara yang tidak
diajarkan oleh Nabi SAW itu pasti tertolak bahkan menjadi bid’ah hasanah apabila sesuai dengan
tuntunan syara’ seperti dalam hadits ini.
28 [28]- HR. Abu Dawud, Ahmad dan al-Daraquthni. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim, al-Dzahabi dan lain-lain
Abu Bakar bahwa hal itu tetap baik walaupun belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Dengan demikian, tindakan beliau itu tergolong dalam bid’ah. Dan para ulama bersepakat bahwa
menghimpun al-Quran dalam satu mushaf hukumnya wajib meskipun termasuk bid’ah, agar al-
Quran tetap terpelihara. Oleh karena itu, penghimpunan al-Quran ini tergolong dalam bid’ah
hasanah yang wajibah.
Shalat Tarawih
Di antara perkara bid’ah yang telah ada sejak zaman Nabi SAW dan para sahabat adalah
shalat tarawih, yang oleh kaum muslimin diperdebatkan tentang perlaksanaan dan jumlah
rakaatnya. Rasulullah tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya
melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula
melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk
melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar r.a. Kemudian Umar
mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam dan menganjurkan
mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong dalam bid’ah. Tetapi bid’ah
hasanah karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Pada hakekatnya, apa
yang beliau melakukan ini termasuk sunnah karena Rasulullah telah bersabda yang bermaksud:
“Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ ar-Rasyidin yang memperoleh petunjuk.”
Adzan Jum’at
Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan
apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas,
populasi penduduk semakin meningkat sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu
Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan
di Zaura’, tempat di pasar Madinah agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat
Jum’at sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu
menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk dalam bid’ah tetapi bid’ah hasanah dan
dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah karena
Utsman termasuk dalam Khulafa’ ar-Rasyidin yang sunnahmya harus diikuti berdasarkan hadits
sebelumnya.
Shalat Sunnah sebelum Shalat ‘Id dan sesudahnya
Rasulullah SAW tidak pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat ‘id dan
sesudahnya. Kemudian beberapa orang melakukannya pada masa Amirul Mu’minin Ali bin Abi
Thalib r.a dan ternyata beliau membiarkan dan tidak menegur mereka. Karena apa yang mereka
lakukan termasuk dalam bid’ah hasanah, siapa saja boleh melakukannya. Di sini, Sayyidina Ali
bin Abi Thalib, salah satu Khulafa’ ar-Rasyidin memahami bahwa sesuatu yang belum pernah
dilakukan oleh Rasulullah SAW belum tentu salah atau tercela.
Hadits Talbiyah
Abdullah bin Umar r.anhuma meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh
Rasulullah SAW ketika menunaikan ibadah haji adalah:
Tetapi Abdullah bin Umar sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan kalimat:
ك َو ْال َع َم ُل
َ ك َوال َّر ْغبَا ُء ِإلَ ْي َ ك َو ْال َخ ْي ُر بِيَ َد ْي
َ ك لَبَّ ْي َ ك لَبَّ ْي
َ ك َو َس ْع َد ْي َ لَبَّ ْي
Hadits tentang doa talbiyah Nabi dan tambahan Ibn Umar itu diriwayatkan oleh al-
Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lain. Menurut Ibn Umar, Sayyidina Umar r.a juga
melakukan tambahan dengan kalimat yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim.
Bahkan dalam riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Sayyidina Umar menambah
bacaan talbiyah dari Nabi SAW dengan kalimat:
Dalam riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shahih, Ahmad dan Ibn Khuzaimah,
sebagian sahabat menambah bacaan talbiyahnya dengan kalimat:
1. Kesimpulan
Dari makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa sunnah adalah segala yang dinukilkan dari
Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan
hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul atau sesudahnya. Sedangkan bid’ah adalah sesuatu
yang baru yang tidak pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Bid’ah tidak
selalu tercela. Ada pula bid’ah yang terpuji. Dan bid’ah yang terpuji sebenarnya sudah ada pada
masa Rasulullah SAW dahulu. Dan Rasulullah tidak mempermasalahkan hal baru yang terpuji
tersebut.
Daftar Pustaka
Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. 2015. Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah.
Surabaya: Khalista
Solahudin, M Agus dan Suyadi, Agus. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia
Chalim, Asep Saifudin. 2012. Membumikan Aswaja Pegangan Guru NU. Surabaya: Khalista