Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SUNNAH DAN BID’AH


Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah ASWAJA di semester
empat Prodi
Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini

Oleh:
Ela Ekawan Susilowati/4230018006

Dosen Pembimbing
Muhammad Syaikhon, S.H.I.,M.H.I.

PROGAM STUDI S1 PG PAUD


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
(UNUSA)
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa


karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah tentang Pendidik dalam Perspektif
Pendidikan Islam ini dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai bagaimana
seorang pendidik dalam perspektif pendidikan islam, dan juga
mengetahui bagaimana kedudukan guru, ciri-ciri dan karakteristik
pendidik, syarat menjadi pendidik dalam perspektif pendidikan islam.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat
berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan di masa depan.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


  Penyusunan makalah ini kami maksudkan sebagai bahan kajian dan
diskusi kami mengenai sunnah dan bid’ah. Tidak dapat disangkal lagi
bila fenomena yang ada menunjukkan tak sedikit dari kaum muslimin
yang begitu hobi melakukan praktek bid’ah dan khurafat, yang lebih
mengenaskan bid’ah dan khurafat itu dikemas sedemikian rupa agar
tampak seolah-olah suatu ibadah yang disyariatkan, lebih tampil
menarik dan mampu memikat perhatian banyak orang. Sementara apa
yang ada di dalam Kitabullah berisikan perintah untuk ittiba’
(mengikuti tuntunan Rosulullah). Bidah merupakan pelanggaran yang
sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Allah dalam
membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi
dalam meyakini kesempurnaan syariat.Menuduh Rasulullah
Muhammad SAW menghianati risalah, menuduh bahwa syariat Islam
masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum
sempurna.   Dengan penyusunan makalah ini kami harapkan akan
dapat menambah wawasan bagi kami dan segenap pembaca pada
umumnya agar dapat menjadi ilmu yang berguna nantinya. 
Rumusan masalah

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari sunnah dan bid’ah?
2. Apa saja macam-macam sunnah dan bid’ah?
3. Bagaiamana bid’ah pada zaman Raululloh?
4. Bagaimana hadits tentang bid’ah
C. Tujuan penulisan
1. Mengetahui pengertian sunnah dan bid’ah
2. Mengetahui macam-macam sunnah dan bid’ah
3. Mengetahui bid’ah pada zaman rasul
4. Mengetahui hadits tentang bid’ah

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep sunnah dan bid’ah


1. Pengertian Sunnah.
Menurut bahasa kata sunnah merupakan derivasi dari
kata sanna – yasunnu – sunnatan. Kata itu berarti cara, jalan yang
ditempuh, tradisi (adat kebiasaan), atau ketetapan, apakah hal itu baik
atau tidak, terpuji atau tercela.

Menurut ahli hadis, sunnah adalah:


“Segala yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw., baik
berupaperkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, maupun
perjalanan hidupnya, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul
Saw maupun sesudahnya.”

Menurut ahli usul fikih, sunnah adalah:


“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw. selain
al-Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang
pantas untuk dijadikan dalil bagi penetapan hukum syara’ (hukum
agama).”

2. Pengertian bid’ah
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu
tanpa ada contoh. Sebelumnya Allah berfirman.
ِ ‫س َما َواتِ َواأْل َ ْر‬
‫ض‬ َّ ‫بَ ِدي ُعال‬
“Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah/2 : 117
Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh
sebelumnya.
Juga firman Allah.
‫س ِل‬ ُّ َ‫قُ ْل َما ُك ْنتُبِ ْدعًا ِمن‬
ُ ‫الر‬
“Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-
rasul“. [Al-Ahqaf/46 : 9].
Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang
dengan risalah ini dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan
telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.
Dan dikatakan juga : “Fulan mengada-adakan bid’ah“, maksudnya :
memulai satu cara yang belum ada sebelumnya.
Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :
1. Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti
adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk
didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai
macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal
dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.
2. Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram,
karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-
rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru)
di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka
perbuatannya di tolak (tidak diterima)“. Dan di dalam riwayat lain
disebutkan : “Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan
didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak“.

B. Pembagian sunnah dan bid’ah


Macam-macam Sunnah:
1. SunnahQauliyah.
SunnahQauliyah adalah bentuk perkataan atau ucapan yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw., yang berisi berbagai
tuntunan dan petunjuk syarak, peristiwa-peristiwa atau kisah-kisah,
baik yang berkenaan dengan aspek akidah, syariah maupun akhlak.
Dengan kata lain SunnahQauliyah yaitu sunnah Nabi Saw. yang
hanya berupa ucapannya saja baik dalam bentuk pernyataan, anjuran,
perintah cegahan maupun larangan. Yang dimaksud dengan pernyatan
Nabi Saw. di sini adalah sabda Nabi Saw. dalam merespon keadaan
yang berlaku pada masa lalu, masa kininya dan masa depannya,
kadang-kadang dalam bentuk dialog dengan para sahabat atau
jawaban yang diajukan oleh sahabat atau bentuk-bentuk ain seperti
khutbah.
Dilihat dari tingkatannya sunnahqauliyah menempati urutan pertama
yang berarti kualitasnya lebih tinggi dari kualitas sunnahfi’liyah
maupun taqririyah. Contoh sunnahqauliyah:
a. Hadis tentang doa Nabi Muhammad saw. kepada orang yang
mendengar, menghafal dan menyampaikan ilmu.
Dari Zaid bin dabit ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah
saw. bersabda: “Semoga Allah memperindah orang yang mendengar
hadis dariku lalu menghafal dan menyampaikannya kepada orang
lain, berapa banyak orang menyampaikan ilmu kepada orang yang
lebih berilmu, dan berapa banyak pembawa ilmu yang tidak
berilmu.” (HR. Abu Dawud)

b. Hadis tentang belajar dan mengajarkan al-Qur’an.


Dari Usman ra, dari Nabi saw., beliau bersabda: “Orang yang paling
baik di antara kalian adalah seorang yang belajar al-Qur`an dan
mengajarkannya.”. (HR. al-Bukhari)

c. Hadis tentang persatuan orang-orang beriman.


Dari Abu Musa dia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Orang
mukmin yang satu dengan mukmin yang lain bagaikan satu
bangunan, satu dengan yang lainnya saling mengokohkan. (HR. al-
Bukhari dan Muslim)

2. SunnahFi’liyah.
Sunnahfi’liyah adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad Saw. Kualitas sunnahfi’liyah menduduki tingkat
kedua setelah sunnahqauliyah. Sunnahfi’liyah juga dapat maknakan
sunnah Nabi Saw. yang berupa perbuatan Nabi yang diberitakan oleh
para sahabat mengenai soal-soal ibadah dan lain-lain seperti
melaksanakan shalat manasik haji dan lain-lain.
Untuk mengetahui hadis yang termasuk kategori ini, diantaranya
terdapat kata-kata kana/yakunu atau ra’aitu/ra’aina. Contohnya:
a. Hadis tentang tata cara shalat di atas kendaraan.

Dari Jabir bin ‘Abdullah berkata, “Rasulullah saw. shalat di atas


tunggangannya menghadap ke mana arah tunggangannya
menghadap. Jika Beliau hendak melaksanakan shalat yang fardhu,
maka beliau turun lalu shalat menghadap kiblat. (HR. al-Bukhari
dan Muslim).

b. Hadis tentang tata cara shalat.


“Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat.” (HR. al-
Bukhari)

c. Hadis tentang tata cara manasik haji.


“Ambillah manasik (tata cara melaksanakan haji) kamu
dariku.” (HR. Muslim)

3. SunnahTaqririyah.
SunnahTaqririyah adalah sunnah yang berupa ketetapan Nabi
Muhammad Saw. terhadap apa yang datang atau dilakukan para
sahabatnya. Dengan kata lain sunnahtaqririyah, yaitu sunnah Nabi
Saw. yang berupa penetapan Nabi Saw. terhadap perbuatan para
sahabat yang diketahui Nabi saw. tidak menegornya atau melarangnya
bahkan Nabi Saw. cenderung mendiamkannya. Beliau membiarkan
atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan para sahabatnya
tanpa memberikan penegasan apakah beliau membenarkan atau
menyalahkannya. Contohnya:
a. Hadis tentang daging dab (sejenis biawak).

Pada suatu hari Nabi Muhammad Saw. disuguhi makanan, di


antaranya daging dzab. Beliau tidak memakannya, sehingga Khalid
ibn Walid bertanya, “Apakah daging itu haram ya
Rasulullah?”. Beliau menjawab:

“Tidak, akan tetapi daging itu tidak terdapat di negeri kaumku,


karena itu aku tidak memakannya.” Khalid berkata, “Lalu aku pun
menarik dan memakannya. Sementara Rasulullah Saw. melihat ke
arahku.”. (Muttafaqun ‘alaih)

b. Hadis tentang Tayamum.


Dari Abu Sa’id Al Khudri ra. ia berkata: “Pernah ada dua orang
bepergian dalam sebuah perjalanan jauh dan waktu shalat telah tiba,
sedang mereka tidak membawa air, lalu mereka berdua bertayamum
dengan debu yang bersih dan melakukan shalat, kemudian keduanya
mendapati air (dan waktu shalat masih ada), lalu salah seorang dari
keduanya mengulangi shalatnya dengan air wudhu dan yang satunya
tidak mengulangi. Mereka menemui Rasulullah Saw. dan
menceritakan hal itu. Maka beliau berkata kepada orang yang tidak
mengulangi shalatnya: ‘Kamu sesuai dengan sunnah dan shalatmu
sudah cukup’. Dan beliau juga berkata kepada yang berwudhu dan
mengulangi shalatnya: ‘Bagimu pahala dua kali’” (HR. ad-Darimi).

4. SunnahHammiyah.
SunnahHammiyah ialah: suatu yang dikehendaki Nabi Saw. tetapi
belum dikerjakan. Sebagian ulama hadis ada yang menambahkan
perincian sunnah tersebut dengan sunnah hammiyah. Karena dalam
diri Nabi saw. terdapat sifat-sifat, keadaan-
keadaan (ahwal) serta himmah (hasrat untuk melakukan sesuatu).
Dalam riwayat disebutkan beberapa sifat yang dimiliki beliau seperti,
“bahwa Nabi saw. selalu bermuka cerah, berperangai halus dan
lembut, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka berteriak, tidak
suka berbicara kotor, tidak suka mencela,..” Juga mengenai sifat
jasmaniah beliau yang dilukiskan oleh sahabat Anas ra. sebagai
berikut:

Dari Rabi’ah bin Abu ‘Abdur Rahman berkata, aku mendengar Anas
bin Malik ra. sedang menceritakan sifat-sifat Nabi saw.,
katanya; “Beliau adalah seorang lakilaki dari suatu kaum yang tidak
tinggi dan juga tidak pendek. Kulitnya terang tidak terlalu putih dan
tidak pula terlalu kecoklatan. Rambut beliau tidak terlalu keriting dan
tidak lurus.” (HR. Bukhari).

Termasuk juga dalam hal ini adalah silsilah dan nama-nama serta
tahun kelahiran beliau. Adapun himmah (hasrat) beliau misalnya
ketika beliau hendak menjalankan puasa pada tanggal 9 ‘Asyura,
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra:

“Saya mendengar Abdullah bin Abbas ra. berkata saat Rasulullah


saw. berpuasa pada hari ‘Asyura`dan juga memerintahkan para
sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata, “Wahai
Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum
Yahudi dan Nashrani.” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Pada
tahun depan insya Allah, kita akan berpuasa pada hari ke sembilan
(Muharram).” Tahun depan itu pun tak kunjung tiba, hingga
Rasulullah saw. wafat..” (HR Muslim)

Menurut Imam Syafi’i dan rekan-rekannya hal ini termasuk


sunnahhammiyah. Sementara menurut Asy Syaukani tidak demikian,
karena hamm ini hanya kehendak hati yang tidak termasuk perintah
syari’at untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.

Dari sifat-sifat, keadaan-keadaan serta himmah tersebut yang paling


bisa dijadikan sandaran hukum sebagai sunnah adalah hamm.
Sehingga kemudian sebagian ulama fiqh mengambilnya menjadi
sunnahhammiyah.

2. Macam-macam bid’ah
Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :
1. Bid’ahqauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang keluar dari
keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan
Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat
sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.
2. Bid’ahfil ibadah : Bid’ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada
Allah dengan apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah : dan bid’ah
dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :
a. Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu
mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at
Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan,
shiyam yang tidak disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari besar
yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain
sebagainya.
b. Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang
disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalatDhuhur atau
shalat Ashar.
c. Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu
menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari’atkan seperti membaca
dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama’ah dan suara
yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam
ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam
d. Bid’ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang
disari’atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari’at yang ada. Seperti
menghususkan hari dan malam nisfuSya’ban (tanggal 15 bulan
Sya’ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya
shiyam dan qiyamullail itu di syari’atkan, akan tetapi
pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.
Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah
terpuji atau populer dengan sebutan bid’ahhasanah adalah setiap
perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun
Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukan, tapi bukan berarti
tidak boleh dilakukan. Sementara bid’ah tercela adalah setiap
perbuatan baru yang bertentangan dengan syariat Islam.

C. Bid’ah pada masa rasul


Sebagian orang menolak pembagian bid’ah ini karena mereka
memahami bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Dengan logika demikian,
setiap hal yang tidak dilakukan Rasulullah terutama yang berkaitan
dengan urusan ibadah, dianggap salah dan bid’ah.

Namun, kalau melihat sejarah Rasulullah dan sahabatnya, ada


beberapa fakta yang menunjukkan bahwa Rasulullah pun dalam
beberapa hal mengamini “bid’ah” yang dilakukan oleh sahabat,
termasuk dalam ibadah sekali pun. Misalnya, Shahih Al-Bukhari
menyebutkan:

:‫عنرفاعةبنرافعرضياللهعنهقال‬
،»ُ‫ « َس ِم َعاللهُلِ َم ْن َح ِم َده‬:‫كنايو ًمانصليوراءالنبيصلىاللهعليهوآلهوسلمفلمارفعرأسهمنالركعةقال‬
،‫ أَنَا‬:‫ال‬ َ ‫ فَلَ َّماا ْن‬،‫ َربَّنَا َولَ َكال َح ْمد َُح ْمدًا َكثِيرًاطَيِّبًا ُمبَا َر ًكافِي ِه‬:ُ‫قَالَ َرجُلٌ َو َرا َءه‬
َ َ‫ « َمنِال ُمتَ َكلِّ ُم» ق‬:‫ قَا َل‬، َ‫ص َرف‬
‫ل‬ƒُ ‫ « َرأَ ْيتُبِضْ َعةً َوثَالَثِينَ َملَ ًكايَ ْبتَ ِدرُونَهَاأَيُّهُ ْميَ ْكتُبُهَاأَ َّو‬:‫قَا َل‬

Artinya, “Rifa’ah bin Rafi’ berkata, ‘Kami pernah shalat bersama


Rasulullah, saat bangun dari ruku’ ia membaca, ‘Sami’allahu liman
hamidah.” Tiba-tiba ada seorang sahabat yang membaca,
‘Rabbanawalalakalhamdhamdankatsirantayyibanmubarakanfihi (wah
ai Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian
yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah). Setelah selesai
shalat, Rasul bertanya, ‘Siapa yang mengucapkan kalimat itu?’
Sahabat itu berkata, ‘Saya Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah berkata,
‘Saya melihat sekitar tiga puluhan malaikat berloma-lomba untuk
siapa pertama kali yang mencatat (pahalanya),’” (HR Al-Bukhari).

Hadits ini menjelaskan bahwa lafal yang dibaca sahabat dalam shalat
tersebut tampaknya belum pernah dijelaskan Nabi Muhammad SAW.
Ketika ada sahabat yang membaca doa tersebut Rasulullah tidak
marah dan malah memuji sehingga kita pun boleh mengamalkannya.
Sebab itu, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan:

‫واستدلبهعلىجوازإحداثذكرفيالصالةغيرمأثورإذاكانغيرمخالفللمأثور‬

Artinya, “Hadits di atas dijadikan dalil sebagai kebolehan membuat


dzikir baru dalam shalat yang tidak ma’tsur selama tidak bertentangan
dengan ma’tsur.”

Dengan demikian, melakukan bid’ah dalam ibadah juga dibolehkan


selama tidak bertentangan dengan syariat. Tentu maksud bid’ah di sini
adalah bid’ahhasanah, bukan bid’ahsayyi’ah atau dhalalah. Hal ini
sudah dilakukan pula oleh sahabat Rasulullah di hadapan beliau SAW.

Dari sini kita dapat menarik pelajaran agar tidak terlalu cepat
menyalahkan amalan yang dilakukan sekelompok orang atas dasar
Rasul tidak pernah melakukan. Karena bisa jadi apa yang dilakukan
itu merujuk pada dalil-dalil umum dalam syariat yang sebetulnya
kalau dikaji tidak bertentangan dengan syariat. Wallahua’lam.

D. Dalil-dalil tentang bid’ah


Banyak kaum muslimin yang masih meremehkan masalah bid’ah.
Hal itu bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka tentang dalil-
dalil syar’i. Padahal andaikan mereka mengetahui betapa banyak
hadits Nabi Shallallahu’alaihiWasallam yang membicarakan dan
mencela bid’ah, mereka akan menyadari betapa
Nabi Shallallahu’alaihiWasallam sangat sering membahasnya dan
sangat mewanti-wanti umat beliau agar tidak terjerumus pada
bid’ah. Jadi, lisan yang mencela bid’ah dan mewanti-wanti umat dari
bid’ah adalah lisan Nabi Shallallahu’alaihiWasallam sendiri.

Hadits 1
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ƒَ ƒ‫ ْي‬ƒَ‫ال‬ƒ‫ َم‬ƒ‫ا‬ƒ‫ َذ‬ƒَ‫ه‬ƒ‫ا‬ƒَ‫ن‬ƒ‫م ِر‬ƒْ ƒَ‫أ‬ƒ‫ى‬ƒِ‫ف‬ƒَ‫ث‬ƒ‫ْح َد‬ƒ َƒ‫أ‬ƒ‫ ْن‬ƒ‫َم‬
‫د‬ƒٌّ ƒ‫و َر‬ƒَ ƒُ‫ه‬ƒَ‫ُف‬ƒ‫ه‬ƒ‫ ْن‬ƒ‫س ِم‬
“Barangsiapa membuat suatu  perkara baru dalam urusan kami
ini  (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut
tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Hadits 2
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‫د‬ƒٌّ ‫ر‬ƒَ ƒ‫و‬ƒَ ƒُ‫ه‬ƒَ‫ف‬ƒ‫ا‬ƒَ‫ُرن‬ƒ ‫م‬ƒْ ƒَ‫أ‬ƒƒ‫ ِه‬ƒ‫ ْي‬ƒَ‫ل‬ƒ‫س َع‬
ƒَ ƒ‫ ْي‬ƒَ‫ل‬ƒً‫ال‬ƒ‫ َم‬ƒ‫ َع‬ƒَ‫ل‬ƒ‫ ِم‬ƒ‫ َع‬ƒ‫ ْن‬ƒ‫َم‬
“Barangsiapa melakukan suatu  amalan yang bukan berasal dari
kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
Hadits 3
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap memulai khutbah
biasanya beliau mengucapkan,
ƒٌ‫ة‬ƒَ‫ل‬ƒَ‫ال‬ƒ‫ض‬ ƒْ ƒ‫ ُم‬ƒ‫ ِر‬ƒ‫مو‬ƒُ ƒُ‫أل‬ƒ‫ش ُّرا‬
َ ƒ‫ ٍة‬ƒ‫ َع‬ƒ‫ ْد‬ƒِ‫ُّب‬ƒ‫ل‬ƒ‫ ُك‬ƒ‫ َو‬ƒ‫ا‬ƒَ‫ه‬ƒُ‫ت‬ƒ‫ا‬ƒَ‫دث‬ƒَ ‫ح‬ƒ ƒَ ƒ‫د َو‬ƒٍ ‫ح َّم‬ƒَ ‫م‬ƒُ ƒ‫دى‬ƒَ ƒُ‫ه‬ƒ‫دى‬ƒَ ƒُ‫ه‬ƒ‫ا ْل‬ƒ‫ ُر‬ƒ‫َخ ْي‬ƒ ƒ‫ه َو‬ƒِ َّ‫ل‬ƒ‫ال‬ƒُ‫ب‬ƒ‫ا‬ƒَ‫كت‬ƒِ ƒِ‫ث‬ƒ‫دي‬ƒِ ƒ‫ح‬ƒَ ƒ‫را ْل‬ƒَ ƒ‫َخ ْي‬ƒ َّ‫ن‬ƒِ‫إ‬ƒَ‫ف‬ƒ‫ْع ُد‬ƒ ƒَ‫َّاب‬ƒ‫َم‬ƒ‫أ‬
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah
kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam.  Sejelek-jelek perkara adalah
(perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang
diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah
kesesatan” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i,
، ƒِ ‫اهَّلل‬ƒُ‫اب‬ƒَ‫ت‬ƒ‫ ِك‬ƒِ‫يث‬ƒƒ‫ ِد‬ƒ‫ َح‬ƒ‫ا ْل‬ƒƒَ‫ق‬ƒ‫ َد‬ƒ‫ص‬
َ َƒ‫نَّأ‬ƒِ‫ إ‬، ƒُ‫ه‬ƒَ‫ل‬ƒَ‫ي‬ƒ‫ ِد‬ƒ‫ا‬ƒَ‫ه‬ƒ‫ال‬ƒَ‫ف‬ƒ‫ ْل‬ƒِ‫ضل‬ ْƒ ُƒ‫ي‬ƒ‫ ْن‬ƒ‫ َم‬ƒ‫ َو‬، ƒُ‫ه‬ƒَ‫ضلَّل‬ ƒِ ‫م‬ƒُ ƒ‫ال‬ƒَ‫ف‬ƒُ‫َّه‬ƒ‫لل‬ƒ‫ا‬ƒ‫ ِد‬ƒ‫ ْه‬ƒَ‫ي‬ƒ‫ ْن‬ƒ‫َم‬
، ƒٌ‫عة‬ƒَ ‫د‬ƒْ ƒِ‫ةب‬ƒٍ ƒَ‫دث‬ƒَ ‫ح‬ƒ
ƒْ ‫َّ ُم‬ƒ‫ل‬ƒ‫ ُك‬ƒ‫ َو‬، ƒ‫ا‬ƒَ‫ه‬ƒُ‫ت‬ƒ‫ا‬ƒَ‫دث‬ƒَ ‫ح‬ƒ ƒْ ƒ‫ ُم‬ƒ‫ ِر‬ƒ‫مو‬ƒُ ƒُ‫األ‬ƒ‫ َّر‬ƒ‫ َش‬ƒ‫ َو‬، ‫م‬ƒَ َّ‫سل‬ ƒَ ‫و‬ƒَ ƒ‫ ِه‬ƒ‫ ْي‬ƒَ‫عل‬ƒَ ƒُ‫لَّه‬ƒ‫ال‬ƒ‫صلَّى‬ ƒَ ƒ‫ ٍد‬ƒ‫ َّم‬ƒ‫م َح‬ƒُ ƒُ‫دي‬ƒْ ƒَ‫ه‬ƒِ‫ي‬ƒ‫ ْد‬ƒَ‫ه‬ƒ‫ل‬ƒْ ‫ا‬ƒَ‫ن‬ƒ‫ْح َس‬ƒ َƒ‫أ‬ƒ‫َو‬
ƒِ ‫َّا‬ƒ‫ن‬ƒ‫ال‬ƒ‫ي‬ƒِ‫ف‬ƒ‫ ٍة‬ƒَ‫ل‬ƒ‫ال‬ƒ‫ض‬
‫ر‬ƒ َ َّ‫كل‬ƒُ ‫و‬ƒَ ، ƒٌ‫ة‬ƒَ‫ل‬ƒ‫ضال‬ ƒَ ‫ة‬ƒٍ ‫ع‬ƒَ ‫د‬ƒْ ƒِ‫َّب‬ƒ‫ل‬ƒ‫ ُك‬ƒ‫َو‬
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang
bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada
yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar
perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.  Sejelek-jelek
perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap
(perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap
bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di
neraka” (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani
dalam Shahih waDha’if Sunan An Nasa’i)
Hadits 4
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ƒِ‫مب‬ƒْ ƒ‫ ُك‬ƒ‫ ْي‬ƒَ‫ل‬ƒ‫ َع‬ƒَ‫ف‬ƒ‫را‬ƒً ƒ‫ي‬ƒِ‫كث‬ƒَ ƒ‫ا‬ƒً‫ف‬ƒَ‫ال‬ƒِ‫خت‬ƒ
ƒْ ‫ا‬ƒ‫ى‬ƒ‫ َر‬ƒَ‫ي‬ƒ‫ َس‬ƒَ‫ىف‬ƒ‫ ِد‬ƒ‫ ْع‬ƒَ‫ب‬ƒ‫ك ْم‬ƒُ ƒ‫م ْن‬ƒِ ƒ‫ ْش‬ƒ‫ ِع‬ƒَ‫ي‬ƒ‫م ْن‬ƒَ ƒُ‫نَّه‬ƒِ‫إ‬ƒَ‫ف‬ƒ‫ًيًّا‬ƒŸ ‫ش‬ƒِ ƒَ‫ب‬ƒ‫ َح‬ƒ‫ا‬ƒ‫ ًد‬ƒ‫ ْب‬ƒ‫ َع‬ƒ‫ ْن‬ƒِ‫إ‬ƒ‫ َو‬ƒ‫ ِة‬ƒ‫طَّا َع‬ƒ‫وال‬ƒَ ƒ‫م ِع‬ƒْ ƒ‫س‬ َّ ƒ‫وال‬ƒَ ƒ‫لَّ ِه‬ƒ‫ال‬ƒ‫وى‬ƒَ ƒ‫ ْق‬ƒَ‫ت‬ƒِ‫ب‬ƒ‫ ْم‬ƒ‫ي ُك‬ƒ‫ص‬ ِ ƒ‫ُو‬ƒ‫أ‬
ƒِ ‫و‬ƒ‫ُ ُم‬ƒ‫أل‬ƒ‫ا‬ƒِ‫ت‬ƒ‫ا‬ƒَ‫دث‬ƒَ ƒ‫ح‬ƒْ ƒ‫ ُم‬ƒ‫م َو‬ƒْ ƒ‫َّا ُك‬ƒ‫ي‬ƒِ‫وإ‬ƒَ ƒ‫ ِذ‬ƒ‫وا ِج‬ƒَ َّ‫ن‬ƒ‫ل‬ƒ‫ا‬ƒِ‫اب‬ƒƒَ‫ه‬ƒ‫ ْي‬ƒَ‫ل‬ƒ‫ا َع‬ƒ‫ض و‬
ƒ‫َّ ُك‬ƒ‫ِن‬ƒ‫إ‬ƒَ‫رف‬ƒ ُّƒ ƒ‫ َع‬ƒ‫ َو‬ƒ‫ا‬ƒَ‫ه‬ƒِ‫ب‬ƒ‫وا‬ƒƒ‫س ُك‬ َّ ƒ‫ َم‬ƒَ‫ت‬ƒَ‫ن‬ƒ‫ي‬ƒ‫ش ِد‬ƒِ ƒ‫ َّرا‬ƒ‫ل‬ƒ‫ا‬ƒَ‫ن‬ƒ‫ديِّي‬ƒِ ƒ‫م ْه‬ƒَ ƒ‫ل‬ƒْ ‫ا‬ƒ‫ا ِء‬ƒَ‫ف‬ƒَ‫خل‬ƒُ ƒ‫ل‬ƒْ ‫ا‬ƒ‫نَّ ِة‬ƒ‫ ُس‬ƒ‫ى َو‬ƒِ‫َّت‬ƒ‫ن‬ƒ‫ُس‬
ƒٌ‫ة‬ƒَ‫ل‬ƒَ‫ال‬ƒ‫ض‬
َ ƒ‫ ٍة‬ƒ‫ َع‬ƒ‫ ْد‬ƒِ‫كلَّب‬ƒُ ‫و‬ƒَ ƒٌ‫عة‬ƒَ ‫د‬ƒْ ƒِ‫ةب‬ƒٍ ƒَ‫دث‬ƒَ ‫ح‬ƒ
ƒْ ‫َّ ُم‬ƒ‫ل‬
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap
mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin
kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa
di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat
perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang
pada sunnah-ku dan  sunnah  Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu
telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah
ia dengan gigi geraham kalian.  Jauhilah dengan perkara (agama)
yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-
adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR.
At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)
Hadits 5
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
َ ِّ‫كل‬ƒُ ƒ‫ع ْن‬ƒَ ƒَ‫ة‬ƒَ‫َّوب‬ƒْ ‫ت‬ƒ‫ال‬ƒَ‫جب‬ƒَ ‫ح‬ƒَ ƒَ‫ه‬ƒ‫لل‬ƒ‫ا‬ƒَ‫ن‬ƒِ‫إ‬
ƒُ‫ه‬ƒَ‫عت‬ƒَ ‫د‬ƒْ ƒِ‫عب‬ƒْ ‫د‬ƒَ ƒَ‫ي‬ƒ‫حتَّى‬ƒَ ‫ة‬ƒٍ ‫ع‬ƒَ ‫د‬ƒْ ƒِ‫ب‬ƒِ‫ب‬ƒ‫ ِح‬ƒ‫ا‬ƒ‫ص‬
“Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku
bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya”   (HR. Ath Thabrani
dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani
dalam Shahih At Targhibwa At Tarhib no. 54)
Hadits 6
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ِ ‫ْو‬ƒ ‫ح‬ƒَ ƒ‫ل‬ƒْ ‫ىا‬ƒƒَ‫ل‬ƒ‫ َع‬ƒ‫ ْم‬ƒ‫ ُك‬ƒُ‫رط‬ƒَ ƒَ‫ف‬ƒ‫ا‬ƒَ‫َن‬ƒ‫أ‬


، ƒ‫ض‬
ْƒ ƒَ‫ِّأ‬ƒ‫رب‬ƒَ ƒ‫وأُل َ ْى‬ƒُ‫ق‬ƒَ‫أ‬ƒَ‫ف‬ƒ‫ى‬ƒِ‫ن‬ƒ‫دو‬ƒُ ƒ‫وا‬ƒƒ‫ ُج‬ƒِ‫ل‬ƒُ‫خت‬ƒ
ƒ. ƒ‫ى‬ƒِ‫اب‬ƒ‫ص َح‬ ƒِ ‫ا‬ƒَ‫ُن‬ƒ‫أل‬ƒُ‫ت‬ƒ‫ ْي‬ƒ‫و‬ƒَ ƒ‫ ْه‬ƒَ‫أ‬ƒ‫ا‬ƒ‫ِ َذ‬ƒ‫إ‬ƒ‫حتَّى‬ƒَ ƒ‫ ْم‬ƒ‫ ُك‬ƒ‫م ْن‬ƒِ ƒٌ‫ل‬ƒ‫ا‬ƒ‫َّر َج‬ƒِ ƒ‫ى‬ƒَ‫ل‬ƒِ‫َّإ‬ƒ‫ن‬ƒ‫ َع‬ƒَ‫ْرف‬ƒ ُƒ‫ي‬ƒَ‫ل‬
ƒْ ‫ما‬ƒُ ƒُ‫ه‬ƒَ‫ول‬ƒ
ƒْ َ‫أ‬ƒ‫ما‬ƒَ ƒ‫ى‬ƒ‫ ِر‬ƒ‫ ْد‬ƒَ‫ت‬ƒَ‫ال‬ƒُ‫ل‬ƒ‫ُو‬ƒ‫ق‬ƒَ‫ي‬
َ ƒ‫ْع َد‬ƒ ƒَ‫ب‬ƒ‫وا‬ƒُƒ‫ث‬ƒ‫ح َد‬ƒ
ƒ‫ك‬
“Aku akan mendahului kalian di alhaudh (telaga). Lalu
ditampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika
aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari alhaudh,
mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini
adalah umatku’. Allah berfirman, ‘Engkau tidak tahu (bid’ah)
yang mereka ada-adakan sepeninggalmu’ “ (HR. Bukhari
no. 6576, 7049).
Dalam riwayat lain dikatakan,
ƒ‫ى‬ƒ‫ع ِد‬ƒْ ƒَ‫ب‬ƒَ‫ َّدل‬ƒَ‫ب‬ƒ‫ ْن‬ƒ‫ َم‬ƒِ‫ال‬ƒً‫حق‬ƒ ُ ƒ‫ا‬ƒً‫حق‬ƒ
ƒْ ‫س‬ ُ ƒُ‫ول‬ƒُƒ‫ق‬ƒَ‫أ‬ƒَ‫كف‬ƒَ ‫د‬ƒَ ‫ع‬ƒْ ƒَ‫اب‬ƒ‫و‬ƒُ‫ل‬ƒ‫ َّد‬ƒَ‫ب‬ƒ‫ا‬ƒ‫ َم‬ƒ‫ى‬ƒ‫د ِر‬ƒْ ƒَ‫ت‬ƒَ‫ال‬ƒ‫ نَّ َك‬ƒِ‫إُل‬ƒ‫ا‬ƒَ‫ُق‬ƒ‫ي‬ƒَ‫ ف‬ƒ. ƒ‫منِّى‬ƒِ ‫م‬ƒْ ƒُ‫َّه‬ƒ‫ن‬ƒِ‫إ‬
ƒْ ‫س‬
“(Wahai Rabb), sungguh mereka bagian dari pengikutku. Lalu
Allah berfirman, ‘Sungguh engkau tidak tahu bahwa sepeninggalmu
mereka telah mengganti ajaranmu”. Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Celaka, celaka bagi
orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku”(HR. Bukhari
no. 7050).
Al’Aini ketika menjelaskan hadits ini beliau berkata: “Hadits-hadits
yang menjelaskan orang-orang yang demikian yaitu yang dikenal
oleh Nabi sebagai umatnya namun ada penghalang antara mereka
dan Nabi, dikarenakan yang mereka ada-adakan setelah Nabi wafat.
Ini menunjukkan setiap orang mengada-adakan suatu perkara dalam
agama yang tidak diridhai Allah itu tidak termasuk jama’ah kaum
muslimin. Seluruh ahlulbid’ah itu adalah orang-orang yang gemar
mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada, juga orang-orang
zhalim dan ahli maksiat, mereka bertentangan dengan alhaq. Orang-
orang yang melakukan itu semua yaitu mengganti (ajaran
agama) dan mengada-ada apa yang tidak ada ajarannya dalam
Islam termasuk dalam bahasan hadits ini” (Umdatul Qari, 6/10)
Hadits 7
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
، ” ƒ‫ا‬ƒَ‫ه‬ƒِ‫ت‬ƒ‫ي‬ƒِ‫ق‬ƒ‫وا‬ƒَ ‫م‬ƒَ ƒ‫ع ْن‬ƒَ ƒَ‫صاَل ة‬َّ ƒ‫ل‬ƒ‫ا‬ƒَ‫ون‬ƒƒ‫ِّخ ُر‬ƒ ‫َؤ‬ƒ ُƒ‫ي‬ƒ‫ َو‬، ƒً‫ة‬ƒ‫ َع‬ƒ‫ ْد‬ƒِ‫ب‬ƒَ‫ن‬ƒ‫و‬ƒُ‫دث‬ƒِ ‫ح‬ƒ ƒْ ُ‫وي‬ƒَ ، ƒَ‫َّة‬ƒ‫ن‬ƒ‫ل ُّس‬ƒ‫ا‬ƒَ‫ن‬ƒ‫و‬ƒُ‫ئ‬ƒِ‫طف‬ƒ ƒْ ُƒ‫ٌي‬ƒ‫جال‬ƒَ ƒ‫ ِر‬ƒ‫ي‬ƒ‫ْع ِد‬ƒ ƒَ‫ب‬ƒ‫م ْن‬ƒِ ƒ‫ ْم‬ƒ‫ ُك‬ƒ‫م َر‬ƒْ ƒَ‫أ‬ƒ‫ي‬ƒِ‫ل‬ƒَ‫ي‬ƒ‫ُ َس‬ƒ‫نَّه‬ƒ‫ا‬
َ ƒ‫ َع‬ƒ‫ ْن‬ƒ‫ َم‬ƒِ‫ٌل‬ƒ‫ة‬ƒ‫ا َع‬ƒَ‫ط‬ƒ‫ ٍد‬ƒ‫ع ْب‬ƒَ ƒ‫ُ ِّم‬ƒ‫أ‬ƒَ‫ن‬ƒ‫ا ْب‬ƒ‫ا‬ƒَ‫ي‬ƒ‫ َس‬ƒ‫ ْي‬ƒَ‫ ل‬ƒ” ƒ: ƒ‫ا َل‬ƒَ‫م ؟ ق‬ƒْ ƒُ‫ُه‬ƒ‫كت‬ƒْ ‫ر‬ƒَ ‫د‬ƒْ ƒَ‫أ‬ƒ‫ا‬ƒ‫ِ َذ‬ƒ‫يإ‬ƒِ‫ب‬ƒَ‫ف‬ƒ‫ك ْي‬ƒَ ، ƒِ ‫اَل هَّلل‬ƒ‫و‬ƒ‫ ُس‬ƒ‫ا َر‬ƒَ‫ ي‬: ‫د‬ƒٍ ƒ‫عو‬ƒُ ƒ‫ ْس‬ƒ‫ُ َم‬ƒ‫ن‬ƒ‫اَل ْب‬ƒ‫ا‬ƒَ‫ق‬
، ƒ” ƒَ ‫هَّلل‬ƒ‫ىا‬ƒ‫ص‬
ٍ ‫ا‬ƒ‫م َّر‬ƒَ ƒَ‫اَل ث‬ƒَ‫اث‬ƒَ‫ه‬ƒَ‫ل‬ƒ‫ا‬ƒَ‫ق‬
ƒ‫ت‬
“Sungguh diantara perkara yang akan datang pada kalian
sepeninggalku nanti, yaitu akan ada orang (pemimpin) yang
mematikan sunnah dan membuat bid’ah. Mereka juga
mengakhirkan shalat dari waktu sebenarnya’. Ibnu Mas’ud lalu
bertanya: ‘apa yang mesti kami perbuat jika kami menemui
mereka?’. Nabi bersabda: ‘Wahai anak Adam, tidak ada ketaatan
pada orang yang bermaksiat pada Allah'”. Beliau mengatakannya 3
kali. (HR. Ahmad no.3659, Ibnu Majah no.2860. Dishahihkan Al
Albani dalam Silsilah AhaditsShahihah, 2864)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologis (bahasa) kata sunah adalah jamak dari kata sunnah.
Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnahRasulallahsaw berarti
jalan Rasulallahsaw yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh
beliau. Adapun sunnah secara terminologis (istilah) yang disimpulkan
oleh para ulama ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muhamad saw baik berupa ucapan (hadits), aksi (perbuatan) maupun
determinasi atau pengakuannya. Sunnah digolongkan menjadi tiga
macam, yaitu sunnahQauliyah, sunnahFi’liyah dan sunnahTaqririyah.
 Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan
sesuatu tanpa ada contoh. Bid’ah menurut istilah (syar’i/terminologi)
adalah sesuatu yang diada-adakan menyerupai syariat tanpa ada
tuntunannya dari Rasulullah yang diamalkan seakan-akan bagian dari
ibadah.Dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah suatu hal yang tidak
terdapat pada konteks ajaran Islam yang dibawa Rasulullah Saw, baik
dalam masalah aqidah maupun syariah yang aturan-aturannya sudah
dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah secara tafshil (rinci). Para
‘ulama ahli ushul fiqih telah sepakat menetapkan pembagian bid’ah
itu kedalam dua bagian yaitu bid’ah ‘Amm (umum) dan bid’ah Khash
(khusus).
B.  Saran
     Kami menyadari sepenuhnya dalam makalah ini jauh dari
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun, sehingga dapat menjadi bekal dikemudian hari apabila
kami mempunyai kesempatan membuat makalah lain. Mudah-
mudahan makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah
pengetahuan/wawasan bagi kami pada khususnya dan bagi para
pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
https://muslim.or.id/11456-hadits-hadits-tentang-bidah.html

https://almanhaj.or.id/439-pengertian-bidah-macam-macam-bidah-dan-hukum-
hukumnya.html

https://www.bacaanmadani.com/2018/01/pengertian-sunnah-macam-macam-
sunnah.html?m=1

https://islam.nu.or.id/post/read/94518/nabi-muhammad-saw-dan-bidah-sahabatnya-
dalam-shahih-bukhari

Anda mungkin juga menyukai