Anda di halaman 1dari 18

Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

Hadis dan Sunnah: Pengertian, Persamaan &


Perbedaan serta Contoh-Contohnya..
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah
bantuk dari perkembangan perdaban manusia dan Islam.
Kemajuan ini tidak terlepas dari pelajaran sejarah yang sangat
panjang yang kemudian mengantarkan kehidupan manusia
dari beberapa kategori zaman.
Seiring dengan perkambangan tersebut sebagai ummat Islam
tentunya sudah pasti harus percaya dan menyakini
keberadaan Allah sebagai pencipta dan Muhammad SAW
sebagai pembawa risalah dan penyempurna dari risalah
sebelumnya. Pada saat ini kita kenal sebagai hadis dan
sunnah.
Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-
Qur’an. Hadis Nabi merupakan penafsiran al-Qur’an dalam
peraktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan
ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi saw merupakan
perwujudan dari al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia,
serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-
hari.
Keberadaan hadis (sunnah) sebagai khazanah amat berharga
bagi Islam dan umat pemeluknya, karena hadis merupakan
sumber ajaran yang berlaku hingga hari kiamat. Kedudukan
tersebut amat erat hubungannya dengan kerasulan maupun
nubuwwah Muhammad saw. yang menjadi pamungkas sejarah
kerasulan.
Oleh karenanya, pengertian tentang hadis (sunnah) harus
terus dikaji dari kemungkinan kesalahan dan penyimpangan.
Lebih anehnya, mulai muncul sekte atau kelompok pengingkar
terhadap hadis (inkar al-Sunnah) yang memicu
ketidakpedulian umat Islam terhadap hadis atau sunnah yang
seharusnya menjadi sumber ajaran Islam.[1]
1
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

Karena itu, hadis mempunyai otoritas tersendiri yang wajib


ditaati umat Islam, seperti halnya al-Qur’an. Hadis (sunnah)
yang merupakan tindakan, dan sikap atau kesan Nabi
terhadap segala sesuatu itu yang isinya mencakup segala
aspek kehidupan, dari yang paling abstrak dan umum sampai
yang paling konkret dan khusus.
Kebutuhan masyarakat dewasa ini terhadap hadis (sunnah)
terus meningkat. Namun peningkatan kebutuhan itu tidak
dibarengi dengan pemahaman yang komprehensif terhadap
hadis atau sunnah itu sendiri, yang pada akhirnya memicu
kebingungan masyarakat. Itu sebabnya, pengkajian terhadap
hadis Nabi saw tidak hanya menyangkut kandungan dan
aplikasi petunjuk saja, melainkan pemahaman terhadap
ontologis hadis (sunnah) yang lebih dikedepankan.
Secara teoritis, mempelajari hadis seharusnya lebih mudah
daripada mempelajari al-Qur’an, sebab statusnya merupakan
penjelas bagi al-Qur’an, akan tetapi dalam praktiknya
mempelajari hadis terkadang justru lebih sulit.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain, pertama, hadis tersebar dalam berbagai koleksi dengan
kualitas yang sangat beragam, sehingga untuk
mendapatkannya relative lebih sulit. Kedua, kualitas hadis
tidak sepenuhnya sama, sehingga ketika ingin mempelajari
dan menggunkan hadis tentunya terlebih dahulu harus
melakukan penelitian kualitasnya agar dapat memenuhi
standarisasi kehujjahannya. Seseorang mengetahui suatu
peristiwa yang terjadi atau menerima sebuah berita dari
sumbernya kemudian menyampaikan berita itu kepada orang
lain disebut periwayat.

Demikian juga orang yang menerima dari seseorang kemudian


menyampaikan kepada orang lain, ada yang menerima secara
langsung dan ada pula yang tidak, untuk mengetahuinya
diperlukan Qarinah (indokator) yang dijadikan dasar atau
landasan dalam menilai kepada dan dari siapa berita itu
diterimah atau disampaikan.[2]
2
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

Menghadapi dinamika kehidupan manusia sekarang ini


dituntut ketahanan agama Islam, terutama daya respon
sumber ajarannya, termasuk hadis (sunnah), agar tercipta
prinsip universalitas seluruh doktrinnya tanpa kehilangan sifat
validatasnya dan orisinalitasnya seperti yang telah
dikomunikasikan oleh Rasulullah Muhammad Saw. Atas dasar
inilah, maka hadis secara umum dan khususnya pengertian
tentang hadis atau sunnah sangat aktual untuk dikaji dan
dianalisis baik secara tekstual maupun kontekstual.

Pengertian Hadis dan Sunnah


Al-Hadis menurut bahasa adalah masdar dari baru yang
berlawanan dengan kata al-qadim yang artinya terdahulu.
Hadis berarti pembicaraan, perkataan, percakapan, certitra,
kabar dan kejadian.[3]
Adapun pengertian al-Hadis menurut istilah, para ulama
berbedah-beda dalam memberi definisi kata hadis seperti
yang dikemukakan oleh mereka, antara lain:[4]
Ulama hadis memberi definisi hadis sebagai berikut: Apa yang
ditinggalkan oleh Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, sifat-sifat kepribadian, atau perjalanan hidupnya baik
sebelum maupun sesudah baliau diangkat menjadi Rasul.
Ulama Ushul memberi definisi hadis sebagai berikut: Apa yang
diriwayatkan dari Nabi SAW, berupa perkataan perbuatan, dan
taqrir sesudah diangkat menjadi Nabi.
Kemudian ulama fiqhi berbeda dengan ulama lainnya dalam
memberi definisi hadis, mereka berkata: Sesuatu yang
ditetapkan Nabi yang bukan wajib (sunat) salah satu dari lima.
Dengan demikian al-hadis adalah sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
penetapan dan pengakuannya. Sedangkan al-sunnah  adalah
sesuatu yang telah diperaktekkan oleh Nabi SAW. Yang patut
diikuti dan dilaksanakan oleh umatnya.
Manzur mengemukakan bahwa hadis menurut bahasa adalah
sebagia berikut:

3
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

1. Hadis lawan dari kata qadim,[5] yaitu adanya


sesuatu yang sebelumnya tidak ada, misalnya
ungkapan yang mengatakan bahwa segala sesuatu
selain Allah adalah makhluk dan makhluk itu adalah
hadis.
2. Hadis adalah sesuatu yang baru.[6]
3. Hadis adalah berita, baik sedikit ataupun banyak [7]
misalnya firman Allah dalam QS. al-Ghasiyah (88):1
“Sudah datang kepaadamu berita tentang hari
pembalasan?

Ar-Razy menyatakan bahwa kata sunnah berarti:


1. Metode atau jalan,[8] baik itu jalan yang terpuji
ataupun jalan yang tercela seperti pernyataan
Rasulullah saw.  “Siapa yang membaut jalan yang
terbaik dalam Islam dan diamalkan oleh orang
setelahnya maka dituliskan baginya pahala seperti
pahala orang yang melakukan setelahnya tanpa
mengurangi pahala mereka sedikit juapun. Dan
siapa yang membuat satu jalan yang tidak baik
dalam Islam dan diikuti oleh orang setelahnya, maka
dituliskan baginya dosa seperti dosa orang yang
melakukan setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa
mereka.” (Diriwayatkan oleh Muslim).
2. Perjalanan hidup. [9] Seperti ucapan Kahlid bin
Utbah: “Maka engkau merasa cemas terhadap
perjanan hidup yang telah engkau lalui, karena

4
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

pertama merasa puas terhadap perjalanan hidupnya


adalah orang yang menjalaninnya.” [10] Misalnya
sannnalahu ahkama li an-Nasi, maksudnya adalah
Allah menjelaskan hukum-hukumnya kepada
manusia.
3. Contoh yang dipedomani dan iman yang diikuti.
4. Umat, tabiat, wajah, hukum-hukum Allah, perintah
dan larangannya.

Syuhudi Ismail mengemukakan bahwa hadis adalah segala


sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ikhwal yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan kata al-
sunnah (berasal dari bahasa Arab) yang akar katanya terdiri
dari sin dan nun memiliki arti sesuatu yang mengalir atau
sesuatu yang berurutan.[11]

Dari makna tersebut, kata al-sunnah diartikan sebagai


perilaku seseorang, baik itu positif maupun negatif.[12] Oleh
sebab itu, penekanan al-Sunnah lebih kepada perilaku
seseorang sejak dia lahir hingga dia meninggal, tanpa
membedakan antara yang baik dengan yang buruk, sementara
hadis penekanannya pada sesautu yang baru yang terkait
dengan kisah atau berita.

Namun secara termenologi, ulama berbeda pendapat dalam


memberikan definisi terhadap hadis maupun sunnah
disebabkan karena perbedaan tujuan keilmuan dan objek yang
menjadi pembahasan atau penelitiannya.[13] Untuk
mengetahui perbedaan tersebut, berikut masing-masing
definisi hadis (sunnah) menurut ulama hadis, ulama ushul al-
fiqhi, ulama fiqhi dan ulama Aqidah.

5
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

 Ulama Muhaddisin mendefinisikan hadis/sunnah


sebagai “segala apa yang berasal dari Nabi Saw baik
dalam bentuk perkataan, perbuatan, persetujuan
(taqrir ), sifat, atau sejarah hidup[14].
 Ulama Ushul al-Fiqhi (ushuluyyin) memberikan
definisi Sunnah adalah segala yang disandarkan
kepada Nabi Saw selain al-Qur’an, baik dari segi
perkataan, perbiatan, atau pun taqrir yang dapat
dijadikan sebagai dalil atas sebuah hukum syari’at.
[15]
 Ulama Fiqhi (Fuqaha’ ) menjelaskan bahwa sunnah
adalah; Segala yang bersumber dari Nabi Saw yang
tidak berhubungan dengan hal-hal yang
bersifat fardhu atau pun wajib.[16]
 Ulama Aqidah mendefinisikan sunnah/hadis dengan
sesuatu yang berlawanan dengan bid’ah.[17]

Perbedaan pendefinisian ini disebabkan karena perbedaan


metodologis dimana Muhaddisin di dalam penelitiannya
memposisikan Rasulullah Saw sebagai Imam tertinggi,
pemberi jalan menuju kepada hidayah, pemberi nasehat
sebagaimana berita yang disampaikan Allah Swt bahwa
Rasulullah Saw merupakan uswah dan qudwah bagi kaum
muslimin, sehingga para Muhaddisin mengambil seluruh yang
bersumber dari Nabi Saw baik dari masalah sirah (perjalanan
hidup), Akhlaq, kecenderungan, berita-berita, perkataan, dan
perbuatan beliau Saw tanpa melihat apakah yang nuqil
tersebut memiliki kandungan hukum syari’at atau pun tidak.
Adapaun Ushuliyyin memposisikan Nabi Saw
sebagai Musyarri’ (pembuat hokum) yang menjelaskan kepada

6
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

manusia tentang pranata sosial, dan sebagai peletak kaidah-


kaidah dasar untuk para Mujtahidin setelah wafat beliau. Oleh
karena itu, mereka melihat sunnah hanya sebatas apa yang
datang dari Nabi Saw dinatar tiga kategori utama yang dapat
dijadikan sebagai landasan hukum syari’at.
Sementara para Fuqaha memposisikan Nabi Saw sebagai
manusia yang menjalankan hukum Allah Swt, sehingga
mereka mereka melakukan penelitian terhadap hukum-hukum
syri’at yang berhubungan dengan pekerjaan hamba baik yang
bersifat wajib atau haram, atau mubah dan lainnya.[18]
Sedangkan ulama aqidah memposisikan nabi sebagai pemberi
kewajiban dan pemberi lararangan, sehingga penekanan
ulama aqidah terletak pada hal-hal yang diperintahkan oleh
syariat dan hal-hal yang dilarangnya.[19]

Sinonim Hadis dan Sunnah


Terdapat istilah-itilah lain yang merupakan bentuk sinonim
dari kata hadis di antaranya adalah al–sunnah, al-
khabar dan al-atsar, para ulama yang melakukan pengkajian
secara khusus dalam bidang ini memiliki perbedaan dalam
mendefinisikan antara satu istilah dengan lainnya, di antara
mereka ada yang menyamakan antara ketiga istilah tersebut
dimana as-Sunnah, al-Hadis, al-Khabar dan al-Atsar adalah
sama.
Di antara mereka ada yang memberikan perbedaan
dimana as-sunnah adalah hubungannya dengan perbuatan
Nabi saw. yang bertalian dengan akhlaq beliau secara individu
maupun muamalah sosialnya, sementara Hadis merupakan
bentuk perkataan Nabi saw.
Adapun Khabar adalah segala bentuk informasi baik yang
datang dari Nabi saw. maupun yang datang dari selain Nabi
saw. tentang keterangan-keterangn wahyu Allah swt. kepada
Rasulullah saw., adapun Atsar adalah segala bentuk informasi
yang datang dari Sahabat dan atau Tabi’in, namun terkadang

7
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

pula disandarkan kepada Nabi saw. hanya saja dalam bentuk


Muqayyad.[20] Untuk lebih jelasnya, penulis akan
menguraikan sebagai berikut:

1. Hadis
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, hadis adalah
perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat atau moral
Rasulullah saw. Sehingga dengan demikian, hadis mencakup
empat aspek
yaitu qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqriri (ketetapan)
dan washfi (sifat/moral).[21]

2. Sunnah
Kata sunnah juga telah dijelaskan sebelumnya yaitu secara
etimologi sunnah berarti cara, perilaku yang terpuji atau
tercelah, sedangkan terminologinya sunnah adalah segala
yang diriwayatkan dari Nabi saw., baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan, sifat/moral (mayoritas ulama
menyamakan definisi sunnah dengan hadis.[22]

3. Khabar
Secara etimologi, kata khabar bermakna pengetahuan, lunak
dan melimpah.[23] Sehinngga yang dimaksud dengan khabar
adalah sesuatu yang diketahui kemudian diberitakan atau
disampaikan, baik berupa perkataan atau perbuatan dan pada
akhirnya pengetahuan yang disampaikan disebut berita.
Namun secara terminologi, ulama berbeda pendapat tentang
definisinya antara lain sebagai berikut:
 Definisi khabar sama dengan hadis yaitu segala
sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi saw., baik
perkataan, perbuatan atau ketetapan.
 Khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi
Muhammad saw., karena yang datang dari Nabi saw.
disebut Hadis.

8
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

 Khabar lebih umum dari pada hadis, karena khabar


dapat digunakan untuk apa yang datang dari Nabi
dan selain Nabi saw., sedangkan hadis khusus
digunakan untuk apa yang datang dari Nabi saw.
Menurut pendapat ini, semua hadis bisa disebut
khabar, tetapi tidak semua khabar bisa disebut
hadis.[24]

4. Atsar
Kata atsar secara etimologi bermakna sisa dari sesuatu.[25]
Sedangkan secara terminologi adalah ada tiga pendapat,
yaitu:

 Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw.


berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan
sifat/moral.
 Apa yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.
 Para pakar Fiqhi dari Khurasan menamakan semua
hadis mauquf dengan nama atsar, sedangkan hadis
marfu’ dinamakan khabar.[26]
Namun yang menjadi pegangan mayoritas ahli hadis adalah
sesuatu yang disanadarkan kepada Nabi Muhammad saw.,
sahabat dan tabi’in.[27]

Perbedaan Pandangan Ulama tentang Hadis


dan Sunnah
Di kalangan ulama hadis terjadi perbedaan pendapat tentang
istilah sunnah dan hadis. Khususnya antara
ulama mutaqaddimin (ulama klasik) dan
ulama muta’akhkhirin (ulama modern).

9
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

Menurut ulama mutaqaddimin, hadis adalah segala perkataan,


perbuatan atau ketetapan yang disandarkan kepada Nabi pada
pascakenabian, sementara sunnah adalah segala sesuatu yang
diambil dari Nabi, tanpa membatasi waktu. Sedangkan ulama
hadis muta’akhkhirin berpendapat bahwa hadis dan sunnah
memiliki pengertian yang sama, yaitu segala ucapan,
perbuatan atau ketetapan Nabi.[28]
Ulama yang menyamakan antara sunnah dan hadis.
Pendefinisian sebagian Muhaddisin tentang sunnah tidak
memiliki perbedaan dengan pendefinisian mereka terhadap
kata Hadits. Di antara ulama yang berpendapat demikian
antara lain:

 Mayoritas ulama hadis mengatakan bahwa hadis


adalah sinonim dari sunnah yaitu segala sesuatu
yang berasal dari Nabi saw., baik sebelum diangkat
menjadi Rasul maupun setelahnya.[29]
 Ignaz Goldziher, seorang sarjana Barat setelah
melakukan kejian mengatakan bahwa sunnah pada
awalnya adalah semua yang berhubungan dengan
adat istiadat dan kebiasaan nenek moyang mereka.
Namun dengan datangnya Islam, kandungan konsep
sunnah mengalami perubahan yaitu norma-norma
praktis yang ditarik dari ucapan-ucapan Nabi melalui
hadisnya, sehingga menurutnya, hadis dan sunnah
berada bersama-sama dan memiliki subtansi yang
sama.[30]
 Ulama yang membedakan antara sunnah dan hadis

Sedangkan ulama-ulama yang berpendapat bahwa hadis


berbeda dengan sunnah antara lain:
10
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

1. Ibnu Taimiyyah memberikan komentar bahwa istilah


hadis bila tidak dikaitkan dengan lafaz lain berarti
“Segala yang diriwayatkan dari Nabi, baik perkataan,
perbuatan maupun pengakuannya”. Sedangkan
istilah sunnah bila tidak dikaitkan dengan lafaz lain
berarti tradisi yang berulangkali dilakukan oleh
masyarakat, baik dipandang ibadah maupun tidak.
[31]
2. Menurut Dr. Tawfiq Shidqi, istilah hadis adalah
“Pembicaraan yang diriwayatkan oleh satu orang
atau dua orang kemudian hanya mereka saja yang
mengetahuinya (tidak menjadi amalan umum),
sedangkan sunnah adalah suatu jalan yang
diperaktekkan oleh Nabi secara terus menerus dan
diikuti oleh sahabat-sahabatnya.
3. Sulaiman al-Nadwi, Hadis adalah segala peristiwa
yang dinisbahkan kepada Nabi saw. walaupun hanya
satu kali saja.dikerjakan dan walaupun hanya
diriwayatkan satu orang saja. Sedangkan sunnah
adalah nama terhadap sesuatu yang diterima
dengan jalan mutawatir dari Nabi Muhammad saw.
Kemudian dilakukan oleh sahabat dan dilanjutkan
oleh para tabi’in dan seterusnya.
4. Abdul Kadir Hasan, hadis adalah sesuatu yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. berupa ilmu
pengetahuan teori (bersifat teoritis). Sedangkan

11
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

sunnah adalah suatu tradisi yang sudah tetap


dikerjakan oleh Nabi Muhammad saw. berupa
perkara yang bersifat amalan (bersifat praktis).[32] 

Perbedaan Hadis Nabi, Hadis Qudsi, dan Al-


Qur’an
Subhi Shalih mengernukan bahwa hadis nabi (biasa) adalah
ucapan yang disandarkan secara langsung kepada beliau.[33]
Menurut Fahur Rahman bahwa hadis qutsi adalah sesuatu
yang dikabarkan Allah ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melalui
ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan
makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata
beliau sendiri.[34]

Selanjutnya Gufron menyatakan bahwa hadis qudsi (hadis


suci) merupakan perkataanTuhan melalui lisan nabi
Muhammad saw, sebagai pelengkap wahyu yang diturunkan
kepadanya.[35]  Sedangkan al-Quran merupakan kalam Ilahi
yang diturunkan kepada Nabi Muhamad saw. dan tertulis
dalam mushaf berdasarkan sumber-sumber mutawatir yang
bersifat pasti kebenarannya dan yang dibaca umat Islam
dalam rangka ibadah.[36]
Perbedaan hadis nabi dengan hadis qudsi adalah hadis qudsi
biasanya diberi ciri-ciri dengan dibubuhi kalimat-
kalmat qaala (yaquulu) Allahu, fima yarwihi, anillahi tabaraka
wata’ala, dan lapadh lapadh lain yang semakna dengan apa
yang tersebut. Selanjutnya perbedaan hadis qudsi dengan
hadis nabi yaitu hadis qudsi kalimat yang biasa digunakan
seperti Rasulullah saw. bersabda meriwayatkan apa yang
beliau terima dari Tuhannya dan kalimat Allah Ta’ala berfirman
seperti yang telah diceritakan oleh Rasulullah saw. sedangkan
hadis nabi tidak ada tanda-tanda yang demikian.

12
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

Abu al-Baqa’ dalam (Subhi Shalih) menyatakan sesungguhnya


al-Quran itu lafaz dan maknanya dari sisi Allah melalui wahyu
yang jelas. Adapun hadis qudsi, lafaznya dari Rasulullah saw.
sedangkan maknanya dari Allah lewat ilham atau mimpi.[37]
Perbedaan hadis qudsi dengan al-Quran adalah sebagai
berikut:
1. Semua lafaz ayat al-Quran adalah mu’jizat dan
mutawatir, sedang hadis qudsi tidak demikian
halnya.
2. Ketentuan hukumnya yang berlaku bagi al-Quran
tidak berlaku bagia al-Hadis, seperti pantangan
menyentuhnya bagi orang yang sedang berhadats
kecil, dan pantangan membacanya bagi orang yang
berhadas besar. Sedang untuk hadis qudsi tidak ada
pantangannya.
3. Setiap huruf yang dibaca dari al-Quran memberikan
hak pahala kepada pembacanya sepuluh kebaikan.
4. Meriwayatkan al-Quran tidak boleh dengan
maknanya saja atau mengganti lafaz sinonimnya,
berlainan dengan al-Hadis.[38] 

Unsur-Unsur Hadis yang Harus Ada


1. Sanad
Secara bahasa, sanad berasal dari bahasa kata ‫ سند‬yang berarti
‫( إنض&&مام الش&&يئ الى الش&&يئ‬menggabungkan sesuatu ke sesuatu yang
lain),[39] karena di dalamnya tersusun banyak nama yang
tergabung dalam satu rentetan jalan. Bisa juga ia berarti ‫المعتمد‬
(pegangan), dinamakan demikian karena hadis merupakan
sesuatu yang menjadi sandaran dan pegangan.[40]

13
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

Sementara menurut istilah, sanad adalah jalan yang dapat


menghubungkan matan hadis sampai kepada Nabi Muhammad
saw.[41] Dengan kata lain, sanad adalah rentetan perawi-
perawi (beberapa orang) yang sampai kepada matan.[42] Di
antara kedua defenisi tersebut, tampaknya penulis memilih
defenisi yang lebih umum –yang kedua- karena sanad tidak
hanya terkait dengan hadis semata (baik dari Nabi, sahabat,
maupun tabi’in) namun juga berlaku pada ungkapan-
ungkapan ulama yang datang belakangan.
2. Matan
Matan, berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf ‫ ن‬-‫ ت‬-‫م‬
yang berarti “punggung jalan” atau bagian tanah yang keras
dan menonjol keatas.[43] Apabila dirangkai menjadi kalimat
matn al-hadis maka defenisinya adalah:

“Kata-kata hadis yang dengannya terbentuk makna-makna”.


[44]
Dapat juga diartikan sebagai ‫( ما ينتهى إليه الس&&&ند من الكالم‬Apa yang
berhenti dari sanad berupa perkataan).[45] Adapun matan
hadis itu terdiri dari dua elemen yaitu teks atau lafal dan
makna (konsep), sehingga unsur-unsur yang harus dipenuhi
oleh suatu matan hadis shahih yaitu terhindar dari syaz dan
illat.

Otoritas Nabi Muhammad SAW.


Adanya sebuah hadis tentu berkaitan erat dengan nabi
sebagai sumbernya. Timbulnya hadis juga dilatar belakangi
oleh peristiwa yang terjadi, sehingga nabi mengeluarkan
sebuah pernyataan terkait dengan faktor-faktor yang ada dan
otoritasnya pada saat itu.

Beberapa ulama berusaha memahami sebuah kandungan


hadis dengan mengaitkannya pada otoritas nabi atau fungsi
nabi saat beliau mengeluarkan hadis. Suhudi Ismail
mengkategorisasikan fungsi nabi pada empat hal, yaitu

14
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

sebagai rasul, sebagai kepala negara atau pemimpin


masyarakat, sebagai hakim dan sebagai pribadi.
Terkait dengan fungsi-fungsi nabi diatas menimbulkan
pertanyaan tentang otoritas nabi sendiri, apakah perilaku
beliau itu bersifat mutlak (subtansi dan praktisnya) atau
substansinya saja sementara aspek praktisnya yang beragam.
[46]

Kedudukan dan Fungsi Hadis


Dilihat dari segi kedudukannya, hadis dapat dibagi kepada dua
hal. Pertama, hadis sebagai sumber hukum. Ini terkait dengan
perintah untuk mentaati beliau sebagai rasulullah dan segala
apa yang datang dari beliau hendaknya dijadikan
landasan/hujjah. Kedua, hadis sebagai sumber keteladanan
yang didasarkan pada kedudukan nabi sebagai uswatun
hasanah,[47] sehingga semua aspek dari hadis nabi patut
untuk diteladani.
Adapun dari segi fungsinya, hadis nabi berfungsi sebagai
bayan/penjelas terhadap al-Qur’an karena ayat-ayat al-Qur’an
itu sendiri masih ada yang mubham, mujmal dan khas.[48]
Seperti hadis mengenai tata cara shalat yang dalam al-Qur’an
tidak disebutkan secara rinci, disinilah hadis berfungsi
menjelaskannya. Selain itu, hadis juga berfungsi sebagai
pendukung terhadap ketetapan yang ada dalam al-Qur’an.[49]

Inkār al-Sunnah
Hadis sebagai salah satu sumber ajaran atau hukum Islam
ternyata pada kenyataannya menimbulkan pro-kontra diantara
umat Islam dalam penerimaannya. Dalam sejarahnya, ada
sebagian orang kelompok yang menolak hadis bahkan tidak
menjadikan hadis sebagai sumber hukum Islam. Mereka itulah
yang dinamai dengan inkār al-sunnah.

Imam Syafi’i membagi mereka kedalam tiga kelompok, yaitu:


1).Golongan yang menolak seluruh Sunnah Nabi SAW. 2)
Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah memiliki
15
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.3)Mereka yang menolak


Sunnah yang berstatus Ahad dan hanya menerima Sunnah
yang berstatus Mutawatir.[50] Diantara argumen-argumen
yang mereka gunakan adalah:

 Pemahaman mereka pada surah al-Nahl: 89


“Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an)
untuk menjelaskan
segala sesuatu….”
 surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi:
       “…Tidaklah kami alpakan sesuatu pun dalam al-Kitab…”
 Keraguan mereka terhadap keabsahan kitab-kitab
hadis yang kodifikasinya baru dilakukan jauh setelah
Nabi saw. wafat.
Menurut para ulama, seperti al-Syafi’i, argumentasi mereka
tersebut adalah keliru. Kekeliruan sikap mereka itu sejauh ini
diidentifikasi sebagai akibat kedangkalan mereka dalam
memahami Islam dan ajarannya secara keseluruhan.
Penekanan secara parsial dan tidak seimbang terhadap
beberapa aspek hadis, terutama aspek ontologis, epistimologis
dan historis oleh kelompok ini menjadi sebab munculnya sikap
penolakan terhadap kehujjahan hadis. Namun, ada beberapa
faktor yang menyebabkan kelemahan argumentasi para
pengingkar sunnah diantaranya adalah:

 Sebagian para pngingkar sunnah meyakini bahwa Nabi


Muhammad tidak berhak untuk menjelaskan al-Qur’an.
 Secara umum, para pengingkar tidak memiliki
pengetahuan yang kuat tentang bahasa Arab, ilmu tafsir
dan hadis bahkan pengetahuan dasar Islam.[51]
 Adanya keinginan untuk memahami ajaran Islam secara
langsung dari al-Qur’an berdasarkan rasio.

16
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

Catatan Kaki
[1] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan
Bintang, Cet. III, 1426H./2005 M.) h. 9
[2] Lihat Ambo Asse, Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis dan
Sunnah. Cet, I, Alaudddin Press Makassar: 2010, h. 13
[3] Lihat Ambo Asse, Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis dan
Sunnah. Cet, I, Alaudddin Press Makassar: 2010, h.1
[4] Ibid, 2
[5] Jamaluddin Muhammad Ibnu Manzur, Lisanul arab, Jilid II (Cet.
Bairut: Dar al- Fikri, t.th), h.134.
[6] Ibid.,h. 133
[7]  Ibid. h. 142
[8]  Muhammad bin Abi Bakar bin Abdil Qadir ar-Razy, Mukhtar as-
Shahih (Cet. T.th: Dar al-Manar, t.th), h. 133
[9]  Ibid
[10]  Ibid
[11] Ibid, Jilid 3 h. 44.
[12] Muhammad Ibn Alwi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Latīf fī Usūl al-
Hadīś al-Syarīf, (Makkah: Wizarat al-Ta’līm, Cet. V, 1410 H./1990 M.) h.
7.
[13] Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits; ‘Ulumuhu wa
Mushthalahuh. (Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M), h. 19
[14] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fii Ulum al-Hadits. (Cet. IV: Kairo;
Maktabah Wahbah, 1425 H / 2004 M), h. 15.
[15] Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Op.Cit. h. 19
[16] Ibid., h. 19
[17] Muhammad Alwi al-Maliki, Op.Cit. h. 9.
[18] Ibid.,h. 18
[19] Muhammad Alwi al-Maliki, Op.Cit. h.9
[20] Manna’ al-Qaththan, Op.Cit. h. 7
[21] Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawaid al-Tahdis, (Bairut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, t.thn.) h. 61.
[22] Abdul Mannan al-Rasikh, Kamus Istilah-istilah Hadis, (Jakarta: Dar
al-Falah, Cet. I, 2006 M.) h. 105.
[23] Ibnu Faris, Op.Cit. Jilid 2 h. 194.
[24] H. Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. III, 2007 M.)
h.32.
[25] Ibnu Manzur, Op.Cit. Jilid 1 h. 69.
[26] Mahmud Ali Fayyad, Metodologi Penetapan Kesahihan
Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, et. I, 1419 H./1998 M.) h. 17. Dan
Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Op.Cit. h. 61.
[27] H. Mudasir, Op.Cit. h. 32.
[28] Shubhi al-Shalih, Ulum al-Hadis, (al-Madinah al-Munawwarah: al-
Maktabah al-‘Ilmiyah, Cet. III, 1972 M.) h. 3-5.
17
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

[29] Muhammad Ajjaj Khatib.Op.Cit. h. 27.


[30] Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian, Living Qur’an dan
Hadis, (Yogyakarta: Teras. Cet. I, 2007 M.) h. 90-91.
[31] Ibid., h. 8
[32] M. Noor SuLaiman PL., Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung
Persada Press Jakarta, Cet. II, 2009 M.) h. 11-12.
[33] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu–Ilmu hadis (Cet.V; Pustaka
Firdaus, 2002),h.29-30
[34] Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis (Cet. I; Bandung , PT.
al-Ma’arif, 1974),h.69-70
[35] Gufron A. Mas’adi, Ensiklopedi lslam (ringkas), Ed.l (Cet, lI; Jakarta;
PT. Raja Grafindo Persada,I 999),h . I I I
[36] Subhi as-Shalih, Membahas llmu-llmu al-Quran,(cet. IX(; Jakarta:
Pustaka Firdaus 2002),h.10
[37] Ibid.
[38] Ibid.,h.70
[39]  Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Op.Cit,  jil. III, hal. 76.
[40]  Mahmud al-Thahhan, Op.Cit, hal. 16.
[41]  Fatchur Rahman, Op.Cit, hal. 40.
[42]  Mahmud al-Thahhan, Op.Cit, hal. 16.
[43] Ibn Mandzur, Lisan al-Arab (Dar Lisan al-Arab, Beirut, tt), h. 434-
435.
[44] Al-Damini, Maqayis Naqd Mutun  al-Sunnah, Riyadh: Jami’ah Ibn
Sa’ud, 1984, h. 50. Lihat juga Muhammad `Ajjaj al-Khatib, Op.Cit., h.
32.
[45] Ibn Shalah, Ulum al-Hadits, al-Maktabah al-Ilmiyyah: Madinah al-
Munawwarah, 1972, h. 18.
[46]Arifuddin Ahmad, Metode Tematik Dalam Pengkajian Hadis, Orasi
Pengukuhan Guru Besar UIN Alauddin Makassar: 31 Mei 2007, h. 13.  
[47]Ibid, h. 7.
[48]‘Ajjaj al-Khatib, Op.Cit., h. 42.
[49]www.iqra’.com. (oleh KH. Ali Mustafa Ya’kub:5 Desember 2007).
[50] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Cet. I, Bandung:
Angkasa 1991, h. 141.
[51]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi,Op.cit., h.
31.

Sumber: https://www.tongkronganislami.net/pengeritian-hadis-dan-
sunnah/

18

Anda mungkin juga menyukai