Anda di halaman 1dari 20

HADIS DAN SUNNAH

(Tinjauan Ontologi, Epistemologi, dan Aksilogi)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


’Ulu>mul H{adis

Disusun Oleh :
Nurul Athiyah Syam
(80100221072)

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, M. Ag.

Dr. La Ode Ismail Ahmad, M. Th.I.

PRODI DIRASAH ISLAMIYAH

KONSENTRASI SYARI’AH HUKUM ISLAM

PROGRAM MAGISTER

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Mempelajari hadis dan sunnah merupakan salah satu wujud rasa cinta

umat Islam kepada Rasulullah saw. karena hanya dengan mempelajari hadis dan

sunnah beliau, umat Islam akan mengenal, memahami dan mampu

mempraktikkan akhlak Rasulullah saw. dalam kehidupan sehari-hari.

Hadis merupakan sumber ajaran ke-2 setelah al-Qur’an. Ke-2 landasan

hukum yang dijadikan pedoman bagi umat Islam ini tak bisa dipisahkan. Allah

swt. memerintahkan untuk terus mempelajari al-Qur’an dan hadis untuk dijadikan

sebagai sebuah pedoman dalam aneka aktifitas manusia sehari-hari. Dari aegi

kedalalahnya, al-Qur´an sama dengan hadis, masing-masing ada yang bersifat qat

´i> dala>lah dan ada yang bersifat z}anni dala>lah, hanya saja al-Qur´an pada

umumnya yang bersifat global sedangkan hadis yang bersifat baya>n al-Tafsi>r .

Pada sisi lain, al-Qur´an berbeda dengan hadis Nabi. Misalnya dari segi

periwayatan, al-Qur´an seluruhnya bersifat qat´i> al-Wuru>d , sedangkan untuk

hadis Nabi pada umumnya bersifat z}anni al-Wuru>d. Oleh karena itu, hadis Nabi

pada aspek historisnya telah terjadi periwayatan secara makna, sehingga

memunculkan masalah terkait teks hadis sedangkan al-Qur´an telah dijamin

keaslian teksnya.1

Penafsiran mengenai isi dan kandungan al-Qur´an dijelaskan oleh Nabi

melalui perilaku, ucapan dan amalan yang dilakukannya, karena segala sesuatu

yang terlontar dari Rasulullah saw. adalah benar, akurat, valid dan tidak ada yang

sia-sia barang sedikitpun, dan inilah disebut hadis/sunnah. Oleh karena itu, hal ini

1
Arifuddin Ahmad, Paradigma baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pembaruan
Pemikiran M. Syuhdi Ismail, (Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005), h. 1-2.
merupakan salah satu pedoman hidup bagi umat Islam setelah al-Qur´an. Hal

tersebut telah dijelaskan dalam QS. al- Najm/53: 3-4;

)4( ‫) ْن ه َُو اَّل َويْح ٌ يُوىَح‬3( ‫َو َما ي َ ْن ِط ُق َع ِن الْه ََوى‬


Terjemahnya: ‫ِإ ِإ‬
Dan tiadalah yang diucapkan itu (al-Qur´an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).2
Oleh karena itu, untuk mendapatkan pengetahuan mengenai hadis atau

sunnah secara universal hendaknya mengetahui gambaran suatu hadis, bagaimana

unsur-unsur yang terdapat pada suatu hadis, dan apa nilai dan urgensi yang

terkandung dalam hadis serta kegunaannya. Ketiga pertanyaan tersebut akan

terjawab dengan melihat pada tiga aspek yaitu terkait definisi yang merupakan

ranah ontologi, mengenai beberapa unsur dan metode merupakan bagian

epistemologi dan mengenai nilai kegunaannya merupakan bagian dari aksiologi.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana Tinjauan Ontologi dari Hadis dan Sunnah?

2. Bagaimana Tinjauan Epistemologi dari Hadis dan Sunnah?

3. Bagaimana Tinjauan Aksiologi dari Hadis dan Sunnah?

2
Kementerian Agama RI, Al-Qur´an dan Terjemahnya, (tc; Jakarta: PT. Adhi Aksara
Abadi Indonesia, 2004), h. 526.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadis dan Sunnah dalam Tinjauan Ontologi

1. Pengertian Hadis

Secara bahasa, hadis berasal dari kata hadas\a – yahdus\u- hudu>s\an

yang berarti al-Jadi>d (baru), lawan dari kata qadi>m (lama dan terdahulu).3

Menurut Mustafa Azami sebagaimana dikutip oleh Bustani Ilyas menjelaskan

bahwa kata hadis yang terdapat dalam al-Qur´an maupun kitab-kitab hadis

memiliki beberapa arti, antara lain : a) Komunikasi religius, pesan atau al-Qur´an,

b) Cerita duniawi dan kejadian alam pada umumnya, c) Cerita sejarah, d) Rahasia

atau percakapan atau cerita yang masih hangat.

Sedangkan secara istilah, umumnya mendefinisikan hadis sebagai segala

sabda, perbuatan, taqrir dan keadaan ihwal yang disandarkan kepada Nabi

Muhammad saw.4 maksud dari ungkapan ihwal (keadaan) menurut Ibnu Hajar

adalah segala yang diriwayatkan di dalam kitab sejarah, perihal kelahiran, tempat

yang dikunjungi, dan segala yang bersangkut-paut dengan kepribadian Nabi

Muhammad saw. baik sebelum dan sesudah diangkat menjadi Rasul.5 Hal ini

mengindikasikan terdapat persamaan antara hadis dan sunnah karena berkaitan

dengan sebelum dan sesudah proses kenabian.

Berdasarkan pengertian sebelumnya, yang tergolong sebagai hadis secara

detail dikategorikan oleh Abdul Rauf sebagai berikut,


a) Sifat-sifat Nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat.
b) Perbuatan dan akhlak Nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat.

3
Erwin Hafid, Hadis Nabi menurut Perspektif Muhammad Al-Gazali dan Yusuf Qardhawi
(Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 15.
4
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, h.
2-3.
5
Erwin Hafid, Hadis Nabi menurut Perspektif Muhammad Al-Gazali dan Yusuf Qardhawi,
h. 16.
c) Perbuatan para sahabat Nabi yang dibiarkannya dan tidak dicegahnya,
yang disebut taqrir.
d) Timbulnya berbagai pendapat sahabat Nabi, lalu beliau
mengemukakan pendapatnya sendiri atau mengakui salah satu
pendapat sahabat itu.
e) Sabda Nabi yang keluar dari lisan beliau sendiri.
f) Firman Allah selain al-Qur’an yang disampaikan oleh Nabi, yang
dinamakan hadis Qudsi.
g) Surat-surat yang dikirimkan Nabi, baik yang dikirim kepada para
sahabat yang bertugas di daerah, maupun yang dikirim kepada pihak-
pihak di luar Islam.6
Adapun kata sunnah secara bahasa berarti tata cara, kebiasaan, adat dan

jalan.7 Dalam Lisa>n al-´arab dijelaskan bahwa sekelompok kabilah-kabilah

Arab memaknai sunnah sebagai membuat jalan, dalam artian jalan yang dibuat

oleh orang-orang dahulu kemudian diikuti dan dilalui oleh orang-orang yang

datang sesudah mereka.8 Hal tersebut sama ketika sunnah juga diartikan mengalir

atau berlalu atau dapat diartikan sebagai jalan/ tata cara yang mentradisi. 9 Adapun

menurut al-Syaukani bahwa sunnah ialah al-T}ari>qah wa law gairu mard}iyah

(sebuah jalan walaupun tidak diridhai).10

Sedangkan sunnah secara istilah dimaknai dengan segala sesuatu baik

perkataan, perbuatan, ketetapan, karakteristik etik dan fisik atau sejarah, baik

6
Muhammad Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. II; Bandung: Penerbit
Angkasa, 1994), h. 4.
7
Muh}ammad Must}a>fa> al-A’z{a>mi>, Studies in Early Hadith Literature, terj. Ali
Mustafa Ya’qub, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, (Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006)
h. 20.
8
Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis (Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) h. 32.
9
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, h.
4.
10
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi,
h. 4.
sebelum dan sesudah kenabian.11 Hasbie Ash-Shiddieqy mendefinisikan sunnah

sebagai suatu amalan yang dilaksanakan oleh Nabi secara terus-menerus dan

dinukilkan kepada kita dari zaman ke zaman.12


Para ulama mengemukakan perbedaan antara hadis dan sunnah yakni,
a) Menurut Sulaiman al-Nadwi, hadis ialah segala peristiwa yang dinisbahkan
kepada Nabi Muhammad saw. walaupun hanya satu kali saja dikerjakan dan
walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Sedangkan sunnah
ialah istilah bagi sesuatu yang kita terima dengan jalan mutawatir dari Nabi
saw., dalam hal ini Nabi melakukan dihadapan para sahabat, kemudian para
sahabat melakukannya, dilanjutkan oleh Tabi’in dan seterusnya.
b) Menurut Kadir Hasan, hadis ialah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi
berupa perkara yang bersifat ilmu/teori. Sedangkan sunnah ialah sesuatu
tradisi yang sudah tetap dikerjakan oleh Nabi saw. yang bersifat
amalan/praktis.
c) Menurut Ibnu Taimiya, hadis ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi baik
itu perkataan, perbuatan maupun pengakuannya. Sedangkan sunnah ialah
tradisi yang berulangkali dilakukan masyarakat, baik dari segi ibadah
maupun tidak.13
2. Istilah-istilah Hadis
Pada pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa hadis memiliki kemiripan
yang sama dengan sunnah dengan melihat berbagai macam aspek, seperti halnya
hadis dan sunnah, persamaannya disadurkan kepada Nabi Muhammad saw. Selain
dari pada sunnah, hadis juga biasanya disinonimkan dengan istilah khabar dan
as\ar.
a) Khabar   (‫أخلرب‬  )
11
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, h.
4.
12
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis (Cet. I; Semarang: Pustaka
Rezki Putra, 1997), h. 21.
13
Muhammad Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, h. 12.
Khabar secara bahasa bermakna berita, disampaikan dari seseorang
kepada seseorang.14 Sedangkan secara istilah, menurut Subhi al-Salih dijelaskan
bahwa para ulama hadis selain berpendapat khabar sebagai berita, juga beralasan
bahwa para perawi tersebut tidaklah terbatas bagi orang yang meriwayatkan berita
dari Nabi semata tetapi juga yang meriwayatkan berita dari sahabat dan tabi’in.
Sebab kenyataanya, para perawi itu telah meriwayatkan apa yang datang dari Nabi
dan generasi selanjutnya. Oleh karenya, tidaklah masalah dalam hal menyamakan
hadis dengan khabar.15
Menurut Muh{ammad ‘Ajaj al-Khat}i>b dalam kitabnya bahwa sebagian
pendapat menyatakan bahwa hadis adalah apa yang berasal dari Nabi, sedangkan
Khabar adalah apa yang berasal dari selainnya. Oleh karena itu dikatakan, orang
yang tekun (menyibukkan diri) pada hadis disebut dengan ‫ ُم َح ِّدث‬, sedangkan
orang yang tekun pada sejarah atau semacamnya disebut dengan ‫َأ ْخ َب ِار ْي‬. Dan
sebagian pendapat menyatakan, bahwa hadis bersifat khusus sedangkan khabar
bersifat umum. Oleh karena itu, tiap-tiap hadis adalah khabar dan setiap khabar
adalah hadis.16
b) As\ar ( ‫أألثر‬  )
As\ar menurut bahasa berarti bekas atau sisa sesuatu, nukilan atau
dinukilkan sehingga doa yang dinukilkan dari Rasulullah saw. dinamakan doa
ma’s\u>r. Menurut istilah ada perbedaan antara as\ar dengan hadis, namun
menurut al-T{abari>, as\ar digunakan untuk apa yang datang dari Nabi saw. tetapi
al-Tahawi juga memasukkan dari golongan sahabat. 17
Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, dijelaskan bahwa kalangan jumhur
lebih memilih untuk meletakkan khabar dan as\ar dalam terminologi yang lebih
14
Erwin Hafid, Hadis Nabi menurut Perspektif Muhammad Al-Gazali dan Yusuf Qardhawi,
h. 21.
15
S{ubh}i> al-S{a>lih}, ‘Ulu>m al-H{adi>s\ wa Mus}t}alah}uh (Cet. I; Beirut: Da>r
al-‘Ilm, 1977), h. 10.
16
Muh{ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>s\, terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 1418 H/ 1998
M), h. 8.
17
Muhammad Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, h. 10.
luas, mencakup laporan yang bersumber dari sahabat dan tabi’in. Sedangkan di
kalangan ahl al-Fiqh Khurasan bahwa as\ar digunakan sebagai terminologi hadis
mauquf dan khabar untuk hadis yang marfu>’.18
B. Hadis dan Sunnah dalam Tinjauan Epistemologi
1. Unsur-unsur Hadis
a) Sanad
Secara bahasa, sanad bermakna sandaran, dalam hal dapat dipegangi atau
dipercayai, kaki gunung atau bukit. Sanad disebut juga dengan t}a>riq atau
wajh.19 Dalam Lisan al-Arab dijelaskan bahwa sanad berarti ‫ ُع ِم َن األ ْر ِض‬3‫ا ْارتَ َف‬3‫َم‬
(bagian bumi yang menonjol). Bentuk jamaknya ialah isna>d. Sedangkan segala
sesuatu yang disandarkan kepada orang lain disebut musni>d.20
Sedangkan secara istilah, sanad adalah ِ ‫ق الْ َمنْت‬3ُ 3ْ‫( َط ِري‬jalur matan), yakni
rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber primernya, karena
periwayat bersandar kepadanya dalam menisbahkan matan kepada sumbernya,
dan karena para h{a>fiz} bertumpu kepada ‘yang menyebutkan sanad’ dalam
mengetahui s}ah}i>h}, h{asan, atau d{a>’if suatu hadis.
b) Matan
Secara bahasa, matan bermakna segala sesuatu yang keras bagian atasnya,
bentuk jamaknya adalah mutu>n. Matan dari segala sesuatu adalah bagian
permukaan yang tampak darinya, juga bagian bumi yang tampak menonjol dan
keras.21 Sedangkan secara istilah, matan adalah materi berita yang berupa sabda,
perbuatan atau taqrir Nabi saw. yang terletak setelah sanad yang terakhir, juga

18
Muh{ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>s\, terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, h. 8.
19
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis, h. 192.
20
Muh}ammad ibn Mukarram ibn ‘A<li> ibn Ah}mad ibn Manz}u>r al-Ans}a>ri> al-
Ifri>qi> al-al-Mis}ri> al-Khazra>ji>, Lisa>n al-‘Ara>b, (Cet. I; Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1435 H/2014 M), t.h.
21
Muh{ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>s\, terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, h. 12.
dapat diartikan selain sesuatu pembicaraan yang berasal/tentang Nabi, dan juga
berasal/tentang Sahabat atau Tabi’in.22
c) Rawi
Kata perawi atau al-Ra>wi> dalam bahasa Arab merupakan asal kata dari
al-riwayah yang berarti memindahkan atau menukilkan, dalam hal ini ialah
memindahkan suatu berita dari seseorang kepada orang lain. 23 Dalam istilah hadis,
al-Ra>wi> adalah orang yang meriwayatkan hadis dari seorang guru kepada
muridnya yang tercantum dalam kitab hadis.24
Adapun contoh dari perawi pada suatu hadis, sebagai berikut.

ِ 3‫َر َوا ُه الْ ُبخ َِار ْي َح َّدثَنَا َأبُو الْ َي َم‬


‫رجِ َع ْن َأيِب‬3َ 3‫و ّ ِالزاَن ِد َع ْن اَأْل ْع‬33ُ‫ َّدثَنَا َأب‬3‫ َع ْي ٌب َح‬3‫ان َأ ْخرَب َ اَن ُش‬3
...‫ه َُر ْي َر َة َريِض َ اهَّلل ُ َع ْن ُه َأ َّن َر ُسو َل اهَّلل ِ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ قَا َل‬
Pada contoh di atas, dijelaskan bahwa yang bergaris bawah ialah nama-
nama perawi hadis. Antara perawi dan sanad hadis merupakan dua istilah yang
tidak dapat dipisahkan sebab sanad hadis pada setiap generasi terdiri dari beberapa
perawi. Maka dapat dipahami bahwa sanad merupakan rantai/rangkaian,
sedangkan rawi ialah orang yang terdapat dalam rangkaian tersebut.
2. Klasifikasi Hadis dari Segi Kuantitas
a) Hadis Mutawatir
Secara bahasa, kata mutawatir berasal dari kata al-Tawa>tur dalam bahasa
Arab yang berarti mutata>bi’ (yang datang kemudian, beriring-iringan atau
beruntun). Secara istilah, hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh
orang banyak yang menurut konsesus mustahil untuk berdusta. Keadaan ini terus
berlangsung dari sanad pertama hingga penghujung sanad dan tidak pernah
berkurang jumlah pertama hingga terakhir. 25 Dengan demikian, sebuah hadis
dikatakan hadis mutawatir jika memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya;

22
Muhammad Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, h. 21.
23
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis (Cet. II; Jakarta: P.T. Bumi Aksara, 2002), h. 207.
24
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 104.
25
Muhammad Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, h. 135.
diriwayatkan oleh banyak periwayat, adanya keyakinan bahwa mereka tidak
mungkin sepakat untuk berdusta, adanya jumlah periwayat yang sama pada tiap-
tiap jalur sanad dan berdasarkan tanggapan panca indera.26
Para ahl al-Hadis membagi hadis mutawatir menjadi tiga bagian, yaitu
Mutawatir lafz}i, mutawatir ma’na>wi>, dan mutawatir ‘amali>.27
Adapun hadis mutawatir maknawi adalah hadis yang diriwayatkan oleh
perawi dengan redaksi lafaz yang berbeda tetapi berita yang diriwayatkan tersebut
memiliki makna yang sama. Contohnya ialah hadis mengenai anjuran mengangkat
tangan ketika berdoa. Dijelaskan bahwa hadis ini berjumlah sekitar 100 hadis
dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi memiliki titik persamaan yaitu keadaan
Nabi saw. dalam hal mengangkat tangan saat berdoa.
Sedangkan hadis mutawatir amali adalah hadis tentang amalan agama
(ibadah) yang dikerjakan oleh Rasulullah saw., kemudian diikuti oleh para
sahabat, lalu diikuti oleh para tabi’in dan seterusnya diikuti oleh generasi demi
generasi, sampai saat kita sekarang ini. Contoh: hadis-hadis Nabi tentang waktu
shalat, tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat ied, adanya shalat
jenazah, dan lain sebagainya.
b) Hadis Ah{ad
Secara bahasa kata ah{ad atau wahid bermakna satu, dengan demikian
hadis ahad ialah hadis yang disampaikan oleh satu orang. Dalam pengertian lain
juga dijelaskan bahwa hadis ahad ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat
hadis mutawatir.28 Sedangkan menurut ‘Ajja>j al-Khat}i>b bahwa hadis ahad
adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua atau lebih dari perawi tersebut,
selama hadis masyhur itu tidak dimasukkan ke dalam hadis ahad tersebut.29

26
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, h.
19-20.
27
Muhammad Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, h. 137.
28
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, h.
23.
29
Muh{ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>s\, terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, h. 273.
Adapun klasifikasi hadis ahad terbagi menjadi tiga macam yaitu hadis
masyhur, hadis aziz, dan hadis garib.
Hadis Masyhur, secara bahasa dari kata Masyhu>r yang berarti Muntasyir
(sesuatu yang sudah tersebar atau sudah popular).30 Secara terminologi, hadis
Masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga rawi setiap tingkatan sanadnya
dan belum mencapai batas mutawatir, yang bersifat familiar yang ada di benak
pendengaran kita tanpa melihat syarat-syarat yang baku dalam Ilmu Must}ala>h},
maka mencakup hadis yang hanya memiliki satu jalur (sanad); hadis yang
memiliki lebih dari satu jalur; dan hadis yang tidak mempunyai jalur sama
sekali.31 Adapun contoh dari hadis masyhur, sebagai berikut;
‫ ِد‬3‫يل ْب ُن َأيِب ُأ َوي ٍْس قَا َل َح َّدثَيِن َماكِل ٌ َع ْن ِهشَ ا ِم ْب ِن ُع ْر َو َة َع ْن َأبِي ِه َع ْن َع ْب‬ ُ ‫َح َّدثَنَا مْس َ ا ِع‬
‫ول َّن اهَّلل َ اَل‬3 ُ 3‫مَّل َ ي َ ُق‬3‫اهَّلل ِ ْب ِنِإ مَع ْ ِرو ْب ِن الْ َع ِاص قَا َل مَس ِ ْع ُت َر ُسو َل اهَّلل ِ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َس‬
‫ق‬3ِ 3‫ا ِء َحىَّت َذِإا ل َ ْم يُ ْب‬33‫ا ِد َولَ ِك ْن ي َ ْقب ُِض الْ ِعمْل َ ِب َق ْب ِض الْ ُعلَ َم‬33‫ي َ ْقب ُِض الْ ِعمْل َ انْزِت َ اعًا ي َ ْنزَت ِ عُ ُه ِم ْن الْ ِع َب‬
‫ ِر ُّي‬3‫ا ِإ َل الْ ِف َر ْب‬33َ‫لُّوا ق‬3‫لُّوا َوَأ َض‬3‫َأفْتَ ْوا ِب َغرْي ِ ِعمْل ٍ فَ َض‬3َ‫ا هُج َّااًل فَ ُس ِئلُوا ف‬3‫وس‬ ً ‫عَا ِل ًما اخَّت َ َذ النَّ ُاس ُر ُء‬
)‫َح َّدثَنَا َع َّب ٌاس قَا َل َح َّدثَنَا قُتَ ْي َب ُة َح َّدثَنَا َج ِر ٌير َع ْن ِهشَ ا ٍم حَن ْ َو ُه َ(ر َوا ُه الْ ُبخ َِار ْي‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Isma>’il ibn Abu> Uwais berkata, telah
menceritakan kepadaku Ma>lik dari Hisya>m bin 'Urwah dari bapaknya
dari Abdulla>h ibn ‘Amru ibn al-A<s} berkata; aku mendengar Rasulullah
saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus
mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara
mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia
akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika
mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan
menyesatkan". Berkata al-Firabri> Telah menceritakan kepada kami
‘Abba>s berkata, Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah
menceritakan kepada kami Jari>r dari Hisya>m seperti ini juga. (H.R.
Bukha>ri>).32
Hadis ‘Azi>z, dalam menurut bahasa merupakan asal dari kata al-‘Azi>z
dapat berarti al-Syari>f (yang mulia), al-Na>dir (yang jarang), al-Qawi> (yang
30
Muhammad Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, h. 141.
31
Mah}mu>d ibn Ah}mad al-T{ahha>n, Maba>h}is\ fi> ‘Ulu>m al-H{adi>s\, terj. Bahak
Asadullah, Dasar-Dasar Ilmu Hadits (Cet. I; Jakarta: Ummul Qura, 2017 M/1438 H), h. 36.
32
Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>’i>l ibn Ibra>hi>m ibn Mugi>rah ibn Bardizbah
al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} Bukha>ri>, juz 1, (t.tp: Da>r Tu>q al-Naja>h, 1422 H), h. 31.
kuat).33 Sedangkan dalam menurut istilah, hadis ‘Azi>z adalah hadis yang rawinya
tidak boleh kurang di setiap tingkatan sanadnya dari dua orang, akan tetapi jika
ada di sebagian tingkatan sanadnya tiga atau lebih maka hal tersebut tidak
merusak statusnya, dengan syarat ada satu tingkatan yang terdapat dua orang rawi,
sebab tolak ukur dalam hal ini adalah jumlah minimal rawi di dalam tingkatan
sanad.34 Adapun contoh dari hadis‘Azi>z, sebagai berikut;
‫ر َة‬3َ 3‫رجِ َع ْن َأيِب ه َُر ْي‬3َ 3‫و ّ ِالزاَن ِد َع ْن اَأْل ْع‬33ُ‫َح َّدثَنَا َأبُو الْ َي َم ِان قَا َل َأ ْخرَب َ اَن ُش َع ْي ٌب قَا َل َح َّدثَنَا َأب‬
‫ؤ ِم ُن‬3ْ 3ُ‫ ِد ِه اَل ي‬3‫ا َل فَ َواذَّل ِ ي ن َ ْفيِس ِب َي‬33َ‫مَّل َ ق‬3‫َريِض َ اهَّلل ُ َع ْن ُه َأ َّن َر ُسو َل اهَّلل ِ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َس‬
)‫ون َأ َح َّب ل َ ْي ِه ِم ْن َوادِل ِ ِه َو َودَل ِ ِه َ(ر َوا ُه الْ ُبخ َِار ْي‬َ ‫َأ َحدُ مُك ْ َحىَّت َأ ُك‬
Artinya: ‫ِإ‬
Telah menceritakan kepada kami Abu> al-Yaman berkata, telah
mengabarkan kepada kami Syu'aib berkata, telah menceritakan kepada kami
Abu> al-Zina>d dari al-A’ra>j dari Abu> Hurairah, bahwa Rasulullah saw.
bersabda: "Maka demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, tidaklah beriman
seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya dan
anaknya".35
Hadis Gari>b menurut bahasa merupakan asal dari kata al-Gari>b yang
berarti al-Ba’i>d‘an al-Wat}n (yang jauh dari tanah air). Apabila dikatakan
kala>m gari>b maksudnya adalah al-Bai>d ‘An al-Fahm (sulit dipahami).
Sedangkan menurut istilah, hadis Gari>b adalah hadis yang terdapat penyendirian
perawi dalam sanadnya di mana pun itu terjadi, baik karena penyendirian sifat
atau keadaan yang berbeda dengan sifat atau keadaan rawi lainnya, atau memang
karena personal itu sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat dua macam
hadis Gari>b, yaitu: Pertama, Hadis Gari>b Mut}la>q yakni hadis yang di
dalamnya terdapat penyendirian sanad dalam kuantitas perawinya. Kedua, Hadis
Gari>b Nisbi> adalah hadis yang terdapat penyendirian dalam sifat atau keadaan
tertentu, seperti penyendirian dari sifat keadilan dan ked}abitan rawi (Muqayyad
bi al-S|iqah), penyendirian dari kota atau tempat tinggal tertentu (Muqayyad bi al-
33
Muhammad Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, h. 150.
34
Mah}mu>d ibn Ah}mad al-T{ahha>n, Maba>h}is\ fi> ‘Ulu>m al-H{adi>s\, terj. Bahak
Asadullah, Dasar-Dasar Ilmu Hadits, h. 36.
35
Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>’i>l ibn Ibra>hi>m ibn Mugi>rah ibn Bardizbah
al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} Bukha>ri>, juz 1, h. 12.
balad), dan penyendirian tentang meriwayatkan dari rawi tertentu (Muqayyad
‘ala> al-Ra>wi>).36
3. Klasifikasi Hadis dari Segi Kualitas
a) Hadis S{ah{i>h{
Menurut bahasa, kata S{ah{i>h{ berasal dari bahasa Arab yang berarti
sehat, lawan kata dari saqiyyun yang berarti sakit, dan juga berarti haq lawan dari
kata ba>t{il. Dalam istilah muh{addis\i>n, hadis s{ah{i>h adalah hadis yang
dinukil dari oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung,
tidak ber´illat dan tidak pula janggal.37
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa terdapat
beberapa syarat dalam hal menentukan suatu hadis sahih. Pertama,sanadnya
bersambung. Dalam hal ini proses periwayatan hadis antara guru dengan murid
saling bertemu dan si murid menerima langsung dari gurunya. Kedua, keadilan
rawi. Adil di sini dapat dipahami bahwa seorang perawi memiliki sifat takwa,
menjauhi dosa kecil dan dosa besar serta menjaga muru´ah. Ketiga, kedabitan
rawi, yaitu seorang perawi memiliki kecerdasan dan kekuatan dalam hafalan dan
kuat tulisan. Keempat, tidak syaz}, yakni hadis tersebut selamat dari kontradiksi
dengan al-Qur’an, hadis lain, dan sejalan dengan akal pikiran. Kelima, tidak ‘illat.
Dapat dipahami bahwa ‘illat merupakan penyakit yang dapat merusak kesahihan
suatu hadis.
b) Hadis H{asan
Secara bahasa, hadis h}asan adalah sesuatu yang baik, disenangi atau
diinginkan. Sedangkan menurut istilah, yaitu hadis yang perawinya adil, namun
sedikit kurang ked{abit}annya, yang sanadnya bersambung, tidak ada ‘illat dan
cacat.38 Kriteria hadis h}asan hampir saja sama dengan kriteria hadis s}ah}i>h}.

36
Muhammad Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, h. 152-153.
37
Endang Sutari, Ilmu Hadis (Bandung: Amal Bakti Press, 1994), h. 169.
38
Moh. Anwar, Ilmu Mushtalah Hadis (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), h. 60.
Perbedaannya hanya terletak pada ked{abit}an perawi dalam hadis h}asan yang
kurang sempurna dibandingkan sempurnanya ked{abit}an perawi hadis sahih.39
c) Hadis D{a´i>f
Hadis D{a’i>f dalam menurut bahasa yang berarti lemah, lawan kata dari
al-Qawi> yang berarti kuat. Arti istilahnya adalah hadis yang tidak memenuhi
syarat-syarat yang bisa diterima, yaitu syarat-syarat hadis s}ah}i>h} dan h}asan. 40
Jadi, hadis dikategorikan da’i>f karena tidak memenuhi salah satu syarat atau
semuanya, misalnya sanadnya yang terputus, perawinya kurang adil dan d}abit},
terjadi keganjilan baik dalam sanad maupun matan (sya>z\) dan terjadinya cacat
yang tersembunyi (‘illat) pada sanad dan matan.41
Hadis d}a’i>f sendiri diklasifikasikan berdasarkan tiga macam sebab
ked{a’ifan, yaitu karena pengguguran sanad, karena cacat keadilan perawi, dan
karena cacat ked{abit}an perawi. Macam-macam hadis yang d{a’i>f karena
keterputusan sanad adalah hadis mursal, hadis mu’d{al, hadis munqat}i’, hadis
mu’allaq, dan hadis mudallas. Sedangkan hadis yang d}a’i>f karena cacat
keadilan perawi adalah hadis maud}u>’, hadis matruk, dan hadis majhu>l. Dan
hadis yang d}a’i>f karena cacat ked}abit}an perawi adalah hadis munkar, hadis
mu’allal, hadis mudraj, hadis maqlu>b, hadis mud}t}arib, hadis muharraf, hadis
mus}ah}h}af, dan hadis sya>z\.42
C. Hadis dan Sunnah dalam Tinjauan Aksiologi
1. Otoritas Nabi Muhammad saw.
Nabi Muhammad saw. memiliki tugas dan peran yang sangat signifikan
dalam kehidupan umat manusia. Beliau diangkat menjadi Rasul dan utusan Allah
swt. dalam hal menyampaikan dan menjelaskan ajaran-ajaran-Nya yang termuat

39
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 159.
40
Muh{ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>s\, terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, h. 304.
41
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 169-198.
42
Lihat Mah}mu>d ibn Ah}mad al-T{ahha>n, Maba>h}is\ fi> ‘Ulu>m al-H{adi>s\, terj.
Bahak Asadullah, Dasar-Dasar Ilmu Hadits, h. 80.
dalam al-Qur´an kepada umat manusia.43 Hal ini telah dijelaskan dalam QS. al-
Nah}l/16:44.
ِ َ‫اِب لْ َب ِي ّن‬
َ ‫ات َو ُّالزبُ ِر َوَأ ْن َزلْنَا ل َ ْي َك ا ِّذل ْك َر ِل ُت َبنِّي َ ِللنَّ ِاس َما نُ ّ ِز َل لَهْي ِ ْم َول َ َعلَّه ُْم ي َ َت َفكَّ ُر‬
‫ون‬
Terjemahnya: ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan44
Di ayat lain juga, Nabi Muhammad saw. diberikan otoritas oleh Allah swt
pada QS. al-Anfa>l/8:20.

َ ‫اَي َأهُّي َا اذَّل ِ َين آ َمنُوا َأ ِطي ُعوا اهَّلل َ َو َر ُسوهَل ُ َواَل ت ََول َّ ْوا َع ْن ُه َوَأنْمُت ْ ت َ ْس َم ُع‬
‫ون‬
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan
janganlah kamu berpaling dari-Nya, padahal kamu mendengar (perintah dan
larangan-Nya).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan mengenai otoritas
Nabi Muhammad saw. sebagai wakil dan utusan Allah di Bumi.
2. Kedudukan dan Fungsi Hadis
Dalam diskursus Islam, terdapat berbagai permasalahan yang tidak cukup

dijelaskan hanya dengan mengacu kepada al-Qur´an saja, tetapi juga harus

mengacu kepada hadis Nabi saw. Hal ini dikarenakan al-Qur´an mengandung

makna yang sangat dalam namun dijelaskan dengan global. Dari sinilah hadis

memiliki ruang sebagai penjelas (li al- Baya>n) terhadap al-Qur´an.

Dari penjelasan tersebut, kemudian para ulama mengemukakan secara

garis besar bahwa ada empat makna fungsi penjelasan hadis terhadap al-Qur´an 45

yakni;
a) Baya>n Tafsi>r
Hadis sebagai penjelas (tafsi>r), umumnya merupaka fungsi yang
terbanyak, namun terbagi menjadi tiga macam. Pertama, tafsi>r mujmal ialah
hadis yang memberi penjelasan terperinci pada ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat
43
Lihat Q.S. al-Nah}l: 44; dan Q.S. al-Ma>’idah: 67.
44
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 526.
45
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 16-20.
global. Misalnya, perintah shalat yang tidak diterangkan petunjuk pelaksanaanya,
maka Nabi saw. bersabda s}allu> kama> raaytumu>ni> us}alli>.
Kedua, takhs}i>s} al-‘A<m yakni hadis yang mengkhususkan ayat-ayat
yang umum. Misalnya ayat tentang waris pada QS. al-Nisa/4:11, yang masih
dianggap umum, kemudian ditakhs}i>s} oleh hadis dengan melarang mewarisi
harta peninggalan para Nabi, yang berlainan agama, dan pembunuh. Ketiga,
taqyi>d al-Mut}laq yakni hadis yang membatasu kemutlakan ayat al-Qur’an.
Misalnya firman Allah tentang potong tangan bagi pencuri, dianggap mutlak
tanpa adanya penjelasan batas tangan yang harus dipotong. Kemudian pembatasan
tersebut dijelaskan dalam hadis sampai pergelangan tangan.
b) Baya>n Tasyri>’
Hadis juga terkadang menciptakan hukum syariat yang belum dijelaskan
oleh al-Qur’an. Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi ini, tetapi mayoritas
berpendapat bahwa sunnah berdiri sendiri sebagai dalil hukum dan lainnya
berpendapat bahwa sunnah menetapkan dalil yang tersirat secara implisit dalam
teks al-Qur’an. Misalnya, keharaman jual beli dengan berbagai cabangnya
menerangkan yang tersirat dalam Q.S. al-Baqarah/2: 275 dan Q.S. al-Nisa>/4: 29.
Demikian juga keharaman makan daging keledai ternak, keharaman setiap
binatang yang berbelai, dan keharaman menikahi seorang wanita bersama bibinya.
Kenyataan-kenyataan di atas menunjukkan betapa penting dan strategisnya posisi
hadis dalam pondasi ajaran Islam. Sehingga, tidak berlebihan jika sebagian ulama
bertutur bahwa al-Qur’an lebih membutuhkan hadis daripada sebaliknya.46
c) Baya>n Taqri>r
Hadis memiliki fungsi dalam hal memperkuat penjelasan al-Qur’an
(ta’ki>d). Artinya hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan oleh al-Qur’an.
Misalnya, contoh hadis “ ‫بُيِن َ ا ْساَل ُم عَىَل مَخ ْ ٍس‬... ” yang memperkuat keterangan
‫ِإْل‬
46
Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad ibn Idri>s al-Sya>fi’i> al-Mut}allibi> al-Qurasyi>,
Kita>b al-Umm, juz 7 (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 271.
perintah shalat, zakat, puasa dalam Q.S. al-Baqarah/2: 83 & 183., dan perintah
haji pada Q.S. A<li ‘Imra>n/3: 97.
d) Baya>n Nasakh
Hadis berfungsi dalam hal menghapus hukum yang diterangkan dalam al-
Qur’an. Misalnya, kewajiban wasiat yang dijelaskan dalam Q.S. al-Baqarah/2:
180, yang dinasakh dengan hadis “ ‫”وصية لوارث ال‬.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Dalam tinjauan ontologi bahwa hadis dan sunnah merupakan suatu

berita (khabar) atau risalah yang disandarkan kepada Nabi Muhammad

saw. baik itu perkataan, perbuatan dan ketetapan hanya saja sunnah

merupakan segala apa yang berasal dari pribadi Nabi Muhammad saw.

baik sebelum dan setelah diangkat menjadi Rasul.

2. Pada aspek epistemologi terdapat unsur-unsur yang terkandung di dalam

sebuah hadis yaitu Sanad, matan, rawi. Dan juga terdapat klasifikasi

hadis dari segi kuantitas dan kualitas hadis tersebut. Dari segi kuantitas

yaitu, hadis mutawatir dan hadis ahad. Sedangkan dari segi kualitas

yaitu: Hadis S}ah}i>h{, hadis H{asan dan hadis D{a´i>f.

3. Pada aspek aksiologi, menjelaskan bahwa otoritas Nabi Muhammad

saw. sebagai rasul dan utusan Allah swt. dan kedudukan fungsi dalam

sebuah hadis terhadap al-Qur’an, yaitu: bayan Al-Tafsi>r, bayan Al-

Tasyri>’, bayan Al-Taqri>r, dan bayan Nasakh.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur´an dan Terjemahnya.


‘Ajja>j al-Khat}i>b, Muh{ammad. Us}u>l al-H{adi>s\. terj. M. Qodirun Nur dan
Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis. Cet. I; Jakarta: Penerbit
Gaya Media Pratama. 1418 H/ 1998 M.
Agama RI, Kementerian. Al-Qur´an dan Terjemahnya. tc; Jakarta: PT. Adhi
Aksara Abadi Indonesia. 2004.
Ah}mad al-T{ahha>n, Mah}mu>d ibn. Maba>h}is\ fi> ‘Ulu>m al-H{adi>s\, terj.
Bahak
Asadullah. Dasar-Dasar Ilmu Hadits. Cet. I; Jakarta: Ummul Qura. 2017 M/1438
H.

Ahmad, Arifuddin. Paradigma baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pembaruan


Pemikiran M. Syuhdi Ismail. Cet. I; Jakarta: Renaisan. 2005.
al-A’z{a>mi>, Muh}ammad Must}a>fa> Studies in Early Hadith Literature, terj.
Ali Mustafa Ya’qub. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. Cet. III;
Jakarta: Pustaka Firdaus. 2006.
al-Mis}ri> al-Khazra>ji>, Muh}ammad ibn Mukarram ibn ‘A<li> ibn Ah}mad
ibn Manz}u>r al-Ans}a>ri> al-Ifri>qi> al-. Lisa>n al-‘Ara>b.Cet. I;
Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1435 H/2014 M.
al-Mut}allibi> al-Qurasyi>, Abu> ‘Abdilla>h Muh{ammad ibn Idri>s al-
Sya>fi’i>. Kita>b al-Umm. juz 7. Beirut: Da>r al-Fikr. t.th.
al-S{a>lih}, S{ubh}i>. ‘Ulu>m al-H{adi>s\ wa Mus}t}alah}uh . Cet. I; Beirut:
Da>r al-‘Ilm. 1977.
al-Syaiba>ni> al-Z|ahli>, Abu> ‘Abdilla>h Ah}mad ibn Muh}ammad ibn
H{anbal. Musnad Ah}mad ibn H{anba>l. juz 41. Cet. I; Kairo: t.p. t.th.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah Pengantar Ilmu Hadis. Cet. I; Semarang:
Pustaka Rezki Putra. 1997.
Hafid, Erwin. Hadis Nabi menurut Perspektif Muhammad Al-Gazali dan Yusuf
Qardhawi. Cet. I; Makassar: Alauddin Press. 2011.
Ismail, Abustani Ilyas dan La Ode. Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi.
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis. Cet. II; Jakarta: P.T. Bumi Aksara. 2002.
Khon, Abdul Majid. Ulumul HadisJakarta: AMZAH, 2009.
Muh}ammad Abu> ‘Abdilla>h, ibn Isma>’i>l ibn Ibra>hi>m ibn Mugi>rah ibn
Bardizbah al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} Bukha>ri>.juz 1. t.tp: Da>r Tu>q al-
Naja>h.1422 H.
Syuhudi Ismail, Muhammad. Pengantar Ilmu Hadis. Cet. II; Bandung: Penerbit
Angkasa. 1994.
Ya’qub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus. 2008.

Anda mungkin juga menyukai