Anda di halaman 1dari 114

Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 1
HADIS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR

Capaian Pembelajaran

1. Mampu mendefinisikan Hadis secara bahasa dan istilah


2. Mampu menjelaskan perbedaan istilah Hadis, Sunnah,
Khabar dan Atsar
3. Mampu menyebutkan contoh Hadis, Sunnah, Khabar dan
Atsar

Uraian Materi
A. Pengertian Hadis

Pengertian Hadis secara etimologis ‫اجلديد‬ artinya yang baru, sedangkan

secara terminologis menurut ahli hadis adalah:

ِ ِ َ ‫ُضْي‬
‫َّب (ص) ِم ْن قَ ْوٍل أَو فِ ْع ٍل أَو تَ ْق ِريْ ٍر أَو ِص َف ٍة‬ ِ ‫ما أ‬
ِّ ‫ف ا ََل الن‬ َ
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir (diamnya) maupun sifatnya.1
Dalam definisi di atas menyatakan bahwa yang termasuk dalam kategori
Hadis adalah perkataan (Qauliyah), perbuatan (fi’liyah), dan keadaan
(ahwaliyah) Nabi SAW. Di samping itu, sebagian ahli hadis menyatakan bahwa,
masuk juga ke dalam keadaannya, segala yang diriwayatkan dalam kitab sejarah
(shirah), kelahiran dan keturunannya (silsilah) serta tempat dan yang
bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diangkat menjadi Nabi/Rasul,
maupun sesudahnya. Sebagian ulama seperti Ath-Thiby berpendapat bahwa
“Hadis itu melengkapi sabda Nabi, perbuatan, ketetapan Nabi melengkapi
perkataan, perbuatan, dan ketetapan sahabat. Sebagaimana melengkapi
perkataan, perbuatan, dan ketetapan tabi‟in. Maka suatu Hadis yang sampai
kepada Nabi dinamai marfu’, yang sampai kepada Sahabat dinamai mauquf dan
yang sampai kepada tabi‟in dinamai maqthu.

B. Pengertian Sunnah

1 Mahmud at-Thahan, Taysir Musthalah Hadis, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 2004), hlm 17

1
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 1

Sunnah (‫)السنة‬ secara bahasa berarti As-Siirah Al-Muttaba’ah (‫املتبعة‬ ‫)السرية‬


yang berarti jalan yang diikuti. Setiap jalan dan perjalanan yang diikuti
dinamakan sunnah, baik itu jalan yang baik maupun jalan yang buruk. Adapun
sunnah menurut istilah para ahli hadis adalah: Segala sesuatu yang dinukil dari
Nabi SAW baik itu ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik, kepribadian,
maupun perjalanan hidup, baik itu sebelum diutus maupun sesudahnya.
Secara etimologi, kata as-sunnah dapat diartikan sebagai al thariqah atau al
sirah yaitu jalan. Menurut Nuruddin „Itr, pengertian sunnah menurut bahasa
berarti: “jalan kebiasaan yang baik ataupun yang jelek” Menurut bahasa sunah
bermakna jalan yang dijalani, baik terpuji atau tidak. Sesuatu yang tidak tradisi
atau menjadi kebiasaan dinamai sunnah, walaupun tidak baik. Sunnah menurut
muhaddisin ialah segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan,
perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum diangkat menjadi Nabi,
maupun sesudahnya.2
Dalam kaitannya dengan istilah Hadis, baik dari sudut etimologi maupun
terminologi antara sunnah dan hadis memiliki perbedaan, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Subhi Shalih dan Endang Soetari. Bahwa antara hadis dan
sunnah dapat dibedakan, bahwa hadis konotasinya adalah segala peristiwa yang
dinisbahkan kepada Nabi SAW walaupun hanya satu kali beliau mengucapkan
dan mengerjakannya. Sedangkan sunnah, adalah sesuatu yang diucapkan atau
dilaksanakan secara terus menerus dan dinukilkan dari masa ke masa dengan
jalan mutawatir.

C. Pengertian Khabar
Khabar menurut etimologi ialah berita yang disampaikan dari seseorang.
Jamaknya adalah akhbar, orang yang menyampaikan khabar dinamai khabir.
Sedangkan menurut istilah ada tiga pendapat: pertama: bahwa khabar dan
Hadis adalah muradif artinya semakna. Kedua; khabar dan hadis berbeda,

2 M. Agus Salahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung; Pustaka Setia, 2009), 19

2
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 1
khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi‟in,
sedangkan Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW.
Ketiga: khabar lebih umum dari Hadis; khabar adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW dan kepada selainnya, yaitu sahabat dan tabi‟in,
sedangkan Hadis segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dari tiga
pendapat di atas yang rajih adalah pendapat pertama yang mengatakan bahwa
khabar dan Hadis itu semakna, dan ini juga merupakan pendapat mayoritas
ulama Hadis.3

D. Pengertian Atsar
Atsar menurut etimologi, ialah bekas sesuatu atau sisa dari sesuatu. Dan
nukilan (yang dinukilkan), sesuatu do‟a umpamanya yang dinukilkan dari
Nabi dinamai do‟a ma’tsur. Sedangkan menurut terminologi ada dua
pendapat, pertama: Atsar dan Hadis muradif, artinya semakna. Kedua:
bahwa atsar dan Hadis berbeda, atsar adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada sahabat dan tabi‟in baik perkataan maupun perbuatan, sedangkan
Hadis Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW.4 Dengan
memperhatikan definisi-definisi tersebut terdapat perbedaan, namun kita
dapat mengartikan bahwa hadits, khabar, sunnah maupun atsar pada
prinsipnya sama-sama bersumber dari Rasulullah.5

Latihan
1. Jelaskan pengertian Hadis, Sunnah, Khabar dan Atsar secara bahasa dan
Istilah!
2. Jelaskan perbedaan Hadis, Sunnah, Khabar dan Atsar!
3. Berikan masing-masing contoh hadis, sunnah, khabar dan atsar!

3 Mahmud at-Thahan. Ushul al Takhri wa Dirasatu al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Rusydi, 1983), hlm 16
4 Mahmud at Thahan. Ushul al Takhrij… hlm 16
5 Shalih Al Utsaimin, Mustholah Al Hadits, (Kairo: Maktabah Ilmi, 1994), hlm. 5

3
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 1

Tugas/Lembar Kerja
Tulislah contoh Teks Hadis, Sunnah, Khabar dan Atsar
Hadis
Sunnah
Khabar
Atsar

Tes Formatif dan Kunci Jawaban (PG menggunakan googleform)


Umpan Balik Dosen

Umpan Balik

4
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 2
KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIS

Capaian Pembelajaran

1. Mampu menjelaskan kedudukan Hadis sebagai sumber


hukum Islam
2. Mampu menjelaskan argumentasi kehujjahan Hadis
3. Mampu menjelaskan fungsi Hadis terhadap Al Qur’an

Uraian Materi
Kedudukan Hadis dalam Islam
Kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua, telah
diterima oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja di kalangan Sunni tapi
juga di kalangan Syi’ah dan aliran Islam lainnya. Legitimasi otoritas ini tidak diraih dari
pengakuan komunitas muslim terhadap Nabi sebagai orang yang berkuasa tapi
diperoleh melalui kehendak Ilahiyah. Oleh karena itu segala perkataan, perbuatan dan
takrir beliau dijadikan pedoman dan panutan oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-
hari. Terlebih jika diyakini bahwa Nabi selalu mendapat tuntunan wahyu sehingga apa
saja yang berkenaan dengan beliau pasti membawa jaminan teologis. Bila menyimak
ayat-ayat al-Qur’an, setidaknya ditemukan sekitar 50 ayat yang secara tegas
memerintahkan umat Islam untuk taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya, di
antaranya dikemukakan sebagai berikut:

...         

Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah.

Menurut ulama penggalan ayat ke 7 surat al Hasyr tersebut memberi petunjuk


secara umum yakni semua perintah dan larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi
oleh orang-orang yang beriman. Dengan demikian ayat ini mempertegas posisi Hadis

1
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 2
sebagai sumber ajaran Islam. Oleh karena itu, kewajiban patuh kepada Rasulullah
merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Dalam surat al-Nisa’ ayat 80
juga dikemukakan:

…       

Artinya: Barang siapa yang mengikuti Rasul maka sesunguhnya ia telah mentaati Allah.

Ayat tersebut mengandung petunjuk bahwa kepatuhan kepada Rasulullah merupakan


salah satu tolok ukur kepatuhan seseorang kepada Allah.

Di atas dijelaskan bahwa perintah yang wajib ditaati dan larangan yang wajib
ditinggalkan adalah yang disampaikan oleh beliau dalam kapasitasnya sebagai
Rasulullah. Pada ayat lain dikemukakan bahwa kehadiran Nabi Muhammad adalah
menjadi panutan yang baik bagi umat Islam seperti dalam surat al-Ahzab ayat 21
dikatakan:

       

Artinya: Sesunguhnya telah ada pada diri Rasullah teladan yang baik bagimu

Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhamad adalah teladan hidup bagi
orang-orang yang beriman. Bagi mereka yang sempat bertemu dengan Rasulullah maka
cara meneladaninya dapat mereka lakukan secara langsung sedang mereka yang tidak
sezaman dengan beliau maka cara meneladaninya adalah dengan mempelajari,
memahami dam mengikuti berbagai petunjuk yang termuat dalam hadis-hadisnya. Dari
petunjuk ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa Hadis atau sunnah Nabi merupakan sumber
ajaran Islam di samping al-Qur’an. Orang yang menolak Hadis sebagi sumber ajaran
Islam, berarti orang itu pada hakikatnya menolak al-Qur’an.

2
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 2
Argumentasi kehujahan Hadits (Rasional/Teologis, Alqur’an, Sunnah dan Ijma’)

Keberadaan Hadis sebagai tasyri’, dapatlah ditelusuri melalui kehujahan Al-Qur’an,


argumentasi Hadis itu sendiri, maupun ijma sahabat yang telah berkembang dalam
sejarah pertumbuhan Hadis. Segi tiga argumentasi ini sangat perlu dimunculkan sebagai
basis hujjah terhadap mereka yang mengingkari keberadaan Hadis. Kenapa harus
mengambil dari Al-Qur’an, Hadis, maupun ijma’. Alasannya, Al-Qur’an sebagai basis
hukum pertama dalam runutan hukum Islam, merupakan pijakan pertama yang harus
dilihat secara jernih. Bahwa apakah dalam ribuan ayat termaktub beberapa kalimat
yang melegimitasi keberadaan Hadis, atau malah terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang
menolak keberadaan Hadis. Dari hasil penelusuran, terdapat puluhan ayat Al-Qur’an
yang mengisyaratkan secara jelas dan tegas akan eksistensi Hadis sebagai tasyri’.
Demikian juga kenapa harus mengambil dari Hadis. Bukankah hal itu pendekatan yang
kurang objektif?. Dengan pertimbangan keabsahan Hadis melalui Hadis, pengakuan dari
dalam relatif kurang relevan?.
Penjelasannya, untuk mencari apakah legitimasi Hadis bertolak belakang dengan
Hadis itu sendiri atau tidak. Demikian halnya dengan ijma’, mengungkapkan sejauh
mana para sahabat berkomitmen terhadap Hadis sebagai pemutus persoalan yang
terjadi sepeninggalan Rasul saw.
Jika dibuka lembaran demi lembaran mushaf al-Qur’an, terdapat beberapa ayat
yang menginformasikan, menjelaskan, dan mengafirmasikan (mengukuhkan) akan
keberadaan hadis sebagai dalil tasyri’, diantaranya:

               

              
“Wahai orang-orang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan
pemimpin di antara kalian. Jika kalian berselisih faham dalam sesuatu maka
kembalikanlah kepada Allah dna Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Yang demikian itu lebih baik dan sebaik-baik akibatnya” (An-Nisaa : 59).

3
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 2

               

   


“Maka demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman sehingga meminta keputusan hukum
kepadamu tentang apa-apa yang mereka perselisihkan di antara mereka kemudian
mereka tidak merasa keberatan atas apa yang kamu putuskan dan mereka tunduk
setunduk-tunduknya” (An-Nisa : 65).
Ayat ini diturunkan berkaitan dengan sengketa sebidang tanah antara Bani
Umayyah dan al-Zubayr yang berselisih mengenai sungai kecil (syarj) di Harra. Dari
perselisihan ini Nabi SAW melerai dan memberikan keputusan bahwa Syarj itu milik al-
Zubayr. Bani Umayyah merasa keberatan dan tidak menerima akan keputusan Nabi
SAW ini. Dalam peristiwa inilah surat an-Nisa ayat 65 diturunkan. Dengan makna lain,
sikap Bani Umayyah yang tidak menerima akan keputusan Nabi saw.

Fungsi Hadis terhadap Al-Qur’an


Dalam uraian di atas telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum
dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat
dilaksanakan tanpa penjelasan dari Hadis. Dengan demikian fungsi Hadis yang utama
adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam
surat An-Nahl :64

             



Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar
kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh,
maka Hadis disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam
hubungannya dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:

4
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 2

Bayan Taqrir Conto


artinya sebagai h 01
penguat

Bayan Tafsir Conto


artinya sebagai h02
pejelas

Bayan Tasyri’ Conto


Fungsi artinya sebagai h 03
Hadis penentu
sebagai al
bayani

Bayan Nasakh
artinya sebagai Conto
penghapus h 04

No Contoh
1 Al Qur’an QS Al An’am ayat 152
Hadis Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang merusak, dan
salah satu diantaranya perkara yang Rasulullah sebutkan
adalah memakan harta anak yatim (Muttafaqun ‘alaih)
2 Al Qur’an QS Al Baqarah ayat 43
Hadis Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat
(Muttafaqun alaih)
3 Al Qur’an QS At Taubah 103

5
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 2
Hadis Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah, beliau
memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-
orang berangkat untuk shalat ‘ied (HR. Bukhori 1407)
4 Al Qur’an QS Al Baqarah ayat 180
Hadis Sungguh Allah telah memberikan hak kepada setiap yang
berhak menerimanya, dan tidak ada wasiat bagi pewaris
(HR. Nasa’i)

Dengan demikian kelihatan bahwa Hadis menetapkan sendiri hukum yang tidak
ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi Hadis dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya
bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan Hadis itu pada
hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an atau
memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah SWT
mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan Nabi ini menurut
lahirnya dapat dikatakan sebagai hukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena
memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Tetapi kalau dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan
terhadap larangan Al-Qur’an memakan sesuatu yang kotor.

Fungsi utama Hadis adalah sebagai penjelas atas al-Qur’an. Secara garis besar, fungsi
Hadis terhadap al-Qur’an ada tiga, di antaranya;
1. Menegakkan kembali keterangan atau Perintah yang terdapat di dalam al-Qur’an.
Dalam hal ini Hadis datang dengan keterangan atau perintah yang sejalan dengan
al-Qur’an.
2. Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang datang secara mujmal
(global). Dalam hal ini kaitannya ada tiga hal (a). Menafsirkan serta memperinci
ayat-ayat yang bersifat umum, (b). Mengkhususkan ayat-ayat yang bersifat
umum, (c). Memberi batasan terhadap ayat bersifat mutlaq.
3. Menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an (bayan
Tasyri’)

6
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis

Pertemuan ke 2
Latihan

1. Jelaskan kedudukan Hadis sebagai sumber hukum dalam Islam!


2. Jelaskan Kehujjahan Hadis sebagai sumber hukum Islam!
3. Apa saja fungsi Hadis terhadap Al Qur’an!

Tes Formatif dan Kunci Jawaban (PG menggunakan googleform)

7
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

HADIS PRA KODIFIKASI

Capaian Pembelajaran

1. Mampu menjelaskan periode pertama Hadis pada masa Rasulullah


SAW
2. Mampu menjelaskan cara periwayatan Hadis pada masa Rasulullah
SAW
3. Mampu menjelaskan perkembangan Hadis pada masa Sahabat dan
Tabi’in
4. Mampu menjelaskan cara periwayatan Hadis pada masa Sahabat dan
Tabi’in

Uraian Materi
Hadis pada masa Rasulullah SAW
Hadis sebagai suatu informasi, memiliki metodologi khusus dalam menentukan
keotentikan periwayatannya. Metodologi ini kemudian berkembang menjadi satu
keilmuan yang dikenal dengan Ulumul Hadis. Hanya saja, pada masa Rasulullah SAW
sampai sebelum pembukuan Ulumul Hadis istilah Ulumul Hadis, belum diresmikan
menjadi satu keilmuan. Akan tetapi prinsip-prinsip yang telah berlaku pada masa itu
sebagai acuan untuk menyikapi suatu informasi telah ada.1

Pada dasarnya Ulumul Hadis telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadis di
dalam Islam, terutama setelah Rasul SAW wafat, ketika umat merasakan perlunya
menghimpun Hadis-hadis Rasul SAW dikarenakan adanya kekhawatiran Hadis-hadis
tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan
periwayatan Hadis. Mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-
metode tertentu di dalam menerima Hadis, namun mereka belum menuliskan atau
mencatat kaidah-kaidah tersebut.2

Dasar dan landasan periwayatan hadis di dalam Islam dijumpai di dalam Al-
Qur’an dan Hadis Rasul SAW.

1 Dr. H. Ramly Abdul Wahid, MA, Studi Ilmu Hadist, Cita Pustaka Medi, Bandung 2005, hlm 52
2 Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag. Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur. Hal 102

1
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

Di dalam surah al-Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman
untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-orang yang
fasik:

              

  


Artinya :
“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan ( yang sebenarnya) yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu” (QS. Al-Hujurat [49] : 6)
Di samping itu, Rasul SAW juga mendorong serta menganjurkan para sahabat dan
yang lainnya yang mendengar atau menerima Hadis-hadis beliau untuk menyampaikan
atau meriwayatkannya kepada mereka yang tidak mendengar atau mengetahuinya. Di
dalam sebuah Hadisnya Rasul Saw bersabda :

‫اَّللُ ْاََرأَ َِِ َم َِنَّا َِ ِداَا‬


َّ ‫اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم قَ َال نَضََّر‬
َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫الر ْْحَ ِن بْ ِن َعْب ِد‬
ِّ ِ‫اَّللِ َع ْن أَبِ ِيو َع ْن الن‬
َ ‫َّب‬ َّ ‫َع ْن َعْب ِد‬
‫ظ َِ ْن َس ِاَ ٍم‬
ُ ‫ب َُبَ لَّ ٍغ أَ ِْ َف‬ َّ ‫فَبَ لَّغَوُ فَ ُر‬
Dari Abdurrahman bin Abdullah dari Bapaknya dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Allah
akan memperindah seseorang yang mendengar satu hadits dari kami kemudian
menyampaikannya. Berapa banyak orang yang di sampaikan hadits kepadanya lebih hafal
dari orang yang mendengarnya.". (HR. Ibnu Majah).

Apabila dicermati sikap dan aktifitas para sahabat terhadap Hadis Nabi SAW dan
periwayatannya, maka dapat disimpulkan beberapa ketentuan umum yang
diberlakukan dan dipatuhi oleh para sahabat, yaitu :

Penyelidikan periwayatan hadis (taqlil al-riwayat) dan pembatasannya untuk hal-hal


yang diperlukan saja. Sikap ini dilaksanakan terutama dalam rangka memelihara
kemurnian Hadis dari kekeliruan dan kesalahan. Sebagaimana sabda Rasul SAW:

2
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

‫فَ ْليَ تَ بَ َّوأْ ََ ْق َع َدهُ َِ ْن‬ ‫ب َعلَ َّي َُتَ َع ِّم َدا‬ ‫اَّللُ َعلَْي ِو‬ َِّ ‫ول‬
َ ‫َو َسلَّ َم ََ ْن َك َذ‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ قَ َال َر ُس‬:‫َع ْن أَِِب ُىَراْ َرَة قَ َال‬
‫النَّار‬
Dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa berdusta atas
namaku maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka." (HR. Muslim)

Selain itu, alasan lain dan bahkan lebih penting adalah pemeliharaan agar jangan terjadi
pencampurbauran antara Hadis dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an pada masa itu,
terutama pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, yang mana pada masa itu hadis belum
dikodifikasi secara resmi.

Ketelitian dalam periwayatan, baik ketika menerima atau menyampaikan riwayat.

Kritik terhadap matan Hadis (naqd al-riwayat).

Kritik terhadap matan hadis ini dilakukan oleh para sahabat dengan cara
membandingkannya dengan nash Al-Qur’an atau kaidah-kaidah dasar agama. Apabila
terdapat pertentangan dengan nash Al-Qur’an, maka sahabat menolak dan meninggalkan
riwayat tersebut.3

Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat diikuti pula oleh para ulama Hadis
yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah
munculnya Hadis-hadis palsu, yaitu sekitar tahun 41 H, setelah masa pemerintahan
Khalifah Ali ra. Semenjak saat itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad hadis
dengan mempraktikan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, dan sekaligus mulai pulalah al-Jarh wa
al-Ta’dil ini tumbuh dan berkembang.

Setelah munculnya kegiatan pemalsuan Hadis dari pihak-pihak yang tidak


bertanggung jawab, maka beberapa aktifitas tertentu dilakukan oleh para ulama Hadis
dalam rangka memelihara kemurnian Hadis, yaitu seperti :

a. Melakukan pembahasan terhadap sanad Hadis serta penelitian terhadap keadaan


setiap para perawi Hadis, hal yang sebelumnya belum pernah mereka lakukan.

3 Ibid hal 104-105

3
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

b. Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber Hadis agar dapat


mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat
tersebut.
c. Melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi
lain yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dha’if-
an atau kepalsuan suatu Hadis. Hal tersebut dilakukan apabila ditemukan suatu
Hadis yang kandungan maknanya ganjil dan bertentangan dengan akal atau
dengan ketentuan dasar agama secara umum. Apabila telah dilakukan
perbandingan dan terjadi pertentangan antara riwayat perawi itu dengan
riwayat perawi yang lebih tsiqat dan terpercaya, maka para ulama Hadis
umumnya bersikap meninggalkan dan menolak riwayat tersebut, yaitu riwayat
dari perawi yang lebih lemah itu.4

Pada abad ke-2 H, ketika Hadis telah dibukukan secara resmi atas prakarsa
Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab al-
Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan Hadis tersebut
menerapkan ketentuan-ketentuan Ilmu Hadis yang sudah ada dan berkembang sampai
pada masa mereka. Mereka memperhatikan ketentuan-ketentuan Hadis Shahih,
demikian juga keadaan para perawinya. Hal ini terutama karena telah menjadi
perubahan yang besar di dalam kehidupan umat Islam, yaitu para penghafal Hadis
sudah mulai berkurang dan kualitas serta tingkat kekuatan hafalan terhadap Hadis pun
sudah semakin menurun karena telah menjadi percampuran dan akulturasi antara
masyarakat Arab dengan non-Arab menyusul perkembangan dan perluasan daerah
kekuasaan Islam. Kondisi yang demikian memaksa para ulama Hadis untuk semakin
berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan riwayat, dan mereka pun telah
merumuskan kaidah-kaidah dalam menentukan kualitas dan macam-macam Hadis.
Hanya saja pada masa ini kaidah-kaidah tersebut masih bersifat rumusan yang tidak
tertulis dan hanya disepakati dan diingat oleh para ulama Hadis di dalam hati mereka

4 Nur al-Din Atr. “al-Madkhal ila ‘ulum al-Hadist.” Hal 8-10

4
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

masing-masing, namun mereka telah menerapkannya ketika melakukan kegiatan


perhimpunan dan pembukuan hadis.5

Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah
perkembangan Hadis, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah Hadis
ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat parsial. Yahya bin Ma’in (w. 234 H/848 M)
menulis tentang tarikh al-Rijal, (sejarah dan riwayat para perawi Hadis), Muhammad bin
Sa’ad (w. 230 H/844 M) menulis al-Thabaqat (tingkatan para perawi Hadis ), Ahmad bin
Hanbal (241 H/855 M) menulis al-’Ilal (beberapa ketentuan tentang cacat atau
kelemahan suatu hadis atau perawinya), dan lain-lain.

Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang
membahas tentang ilmu Hadis yang bersifat komprehensif, seperti kitab al-Muhaddits al
Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’i oleh al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn ‘Abd al-
Rahman ibn al-Khallad al-Ramuharmuzi (w.360 H/971 M), Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis oleh
Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Hakim al-Naisaburi (w.405 H/1014 M), al-
Mustakhraj ‘ala Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis oleh Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al-
Ashbahani (w.430 H/1038 M), al-Kifayah fi ‘Ulum al-Riwayah oleh Abu Bakar
Muhammad ibn ‘Ali ibn Tsabit al-Khathib al-Baghdadi (w.463 H/1071 M), al-Jami’ li
Akhlaq wa adab al-Sami’ oleh al-Baghdadi (463 H/1071 M). dan lain-lain.6

Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmu Hadis


ini, yang sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan
ilmu Hadis, yang di antaranya adalah: ‘Ulum al-Hadis oleh Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-
Rahman yang lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah (w.643 H/ 1245 M), Tadrib al-Rawi fi
Syarh Taqrib al-Nawaei oleh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi
(w.911 H/ 1505 M).7

Shahifah atau Catatan Hadis pada masa Rasul

5 Ibid hal 10-18


6 Mahmud al-Thahan, Tafsir Mushthalah al-Hadist. Hal 9-10
7 Muhammad Dede Rodliyana, Perkembangan pemikiran Ulumul Hadist dari klasik sampai modern, Pustaka

Setia, 2004 Bandung hlm 109

5
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

Pada abad pertama tampaknya ada sikap ambivalen pada sebagian shahabat dan
para tabiin senior tentang penulisan Hadis. Di satu sisi, ada keinginan untuk menulis
Hadis untuk tujuan-tujuan tertentu, tetapi di sisi lain ada kekhawatiran bahwa Hadis-
hadis yang ditulis tersebut akan menyaingi Al-Qur’an pada masa berikutnya. Meskipun
demikian, berpuluh-puluh sahabat dan para tabi’in senior dilaporkan memiliki naskah-
naskah, yang kemudian dinamakan suhuf (bentuk tunggalnya shahîfah).

Pada akhir abad pertama/ketujuh, ada faktor-faktor tertentu yang ikut


mendorong penghimpunan Hadis tanpa ragu-ragu. Kekhawatiran akan terdistorsinya
Al-Qur’an telah hilang. Teks Al-Qur’an sudah dihafal dan dibaca secara seragam oleh
sebagian besar orang muslim yang tak terhitung banyaknya dan salinan mushaf Al-
Qur’an sudah disebarkan secara luas ke berbagai wilayah. Lebih jauh lagi, para ulama
Hadis yang terkemuka secara bertahap telah wafat satu demi satu, sementara gerakan
korupsi dan pemalsuan Hadis mulai mengancam integritas Hadis. Perang sipil yang
berawal dari terbunuhnya Khalifah ketiga, Utsmân bin ‘Affân (w. 35/656) menyebabkan
perselisihan dan pertentangan politik yang melibatkan periwayatan yang salah atas
Hadis dalam rangka mendukung kepentingan dan doktrin kelompok tertentu.

Oleh karena itu, diperlukan suatu ukuran untuk membedakan materi-materi


Hadis yang otentik dan yang palsu dan untuk mendukung dan menopang metode
periwayatan Hadis secara lisan. Kebutuhan ini menyebabkan seorang Gubernur Mesir
dinasti Umaiyah, ‘Abd al-‘Azîz bin Marwan (65-85/684-704), dan anak laki-lakinya
Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azîz (97-101/715-19) untuk menginstruksikan kepada para
ulama untuk menghimpun Hadis. Beberapa pernyataan juga disandarkan kepada para
ulama terkemuka yang memperingatkan agar berhati-hati terhadap para periwayat
Hadis dan materi Hadis yang tidak dapat dipercaya. Pernyataan-pernyataan semacam
itu merupakan benih-benih bagi ilmu kritik Hadis.

Sayangnya, suhuf yang orisinil dari zaman ini telah hilang, walaupun beberapa
salinan atas suhuf tersebut ada yang survive. Contoh suhuf dari zaman ini adalah
shahîfah Hammâm bin Munabbih (w. 110/719), seorang tabi’in Yaman dan murid
seorang shahabat, Abu Hurairah (w. 58/677), yang darinya Hammâm belajar dan

6
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

menulis shahîfah tersebut. Naskah milik Hammâm ini berisi 138 hadis dan diyakini telah
ditulis sekitar pertengahan abad pertama/ketujuh.

Penting dinyatakan bahwa Hammâm memperkenalkan matan Hadisnya dengan


kata-kata, “Abu Hurairoh berkata kepada kami tentang apa yang disandarkan kepada
Nabi SAW”. Ini berarti bahwa Hammâm sudah menyebutkan sumber informasinya
ketika meriwayatkan sebuah hadis dalam bentuk yang kemudian dinamakan sanad atau
isnâd, yakni guru atau rangkain para guru yang melalui mereka seorang kolektor hadis
sampai kepada Nabi saw., sebuah praktik yang selalu diikuti dalam berbagai kompilasi
hadis secara sistematis.

Cara Sahabat Menerima Hadis


Hadis-hadis yang ada sekarang ini, adalah hasil jerih payah ulama terdahulu.
Sahabat adalah pionir tongkat estafet pertama dalam penyebaran Hadis-hadis Nabi. Baik
itu perkataan, perbuatan, taqrir, hingga segala hal yang terkait dengan pribadi Nabi. Apa
yang disaksikan oleh para sahabat itulah yang sampai kepada generasi setelahnya.
Hadis yang diterima oleh sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena para
sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh Hadis Nabi kemudian
menyampaikan kepada orang lain. Para sahabat sangat bersemangat menghadiri
majelis-majelis Nabi. Sambil tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Mereka menghadiri majelis Nabi secara bergantian karena kondisi yang tidak
memungkinkan hal tersebut. Sebagaimana pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya
sebagai berikut:
‘Umar bin Khattab telah membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita
terkait dengan Nabi. Kata ‘Umar, bila tetangganya hari ini menemui Nabi, maka
‘Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan
memperoleh berita yang berkenaan dengan Nabi, maka dia segera menyampaikan
berita itu kepada yang tidak bertugas.8
Dengan demikian sahabat yang jumlahnya sangat banyak tidak sama dalam tingkat
kebersamaan mereka dengan Nabi. Di antara mereka ada yang sehari-harinya bergaul,

8Lihat al-Bukhari, Juz I, h. 28; Juga al-‘Asqalani, Fath al-Bari, Juz I, h. 185-186, lihat juga M. Ajjaj al-Khatib,
Hadis Nabi sebelum di bukukan, (Cet. I; Jakarta: PT. Gema Insani Press, 1999), h. 87.

7
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

dan bertemu dengan Rasul, tapi tak sedikit pun karena alasan tertentu tidak dapat
bertemu dan bergaul langsung dengan Nabi. Mengingat keanekaragaman keadaan para
sahabat, maka cara menerima Hadis dari Nabi pun berbeda.9Cara para sahabat
menerima Hadis Nabi dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Secara langsung dari Nabi


a. Melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Nabi, kemudian beliau
menjelaskan hukumnya hingga tersebar di kalangan kaum muslimin melalui
saksi primer. Adakalanya sahabat yang merupakan saksi primer jumlahnya
banyak sehingga berita tentang hukum itu tersebar dengan cepat, dan
adakalanya sedikit sehingga beliau perlu mengutus sahabat yang lain untuk
menyampaikan hal tersebut kepada kaum muslimin. Misalnya, Hadis yang
diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khattab. bahwa Rasululullah melihat seorang
berwudhu untuk melakukan shalat. Namun ia tidak membasuh bagian kuku
kakinya. Lalu beliau bersabda:

(‫وضوئك‬ ‫“ )ارجم فأِسن‬Ulangilah, dan sempurnakanlah wudhumu.”


Tidak ada batas dan penghalang antara mereka dan beliau. Sehingga
dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ali r.a. bahwa pernah seorang
A’raby datang dari tempat yang jauh hanya untuk meminta penjelasan
mengenai ruwaihah (kentut kecil), kemudian Rasulullah bersabda:

‫ان هللا ال استحيي َن احلق اذا فعل اِدكم فاليتوضأ وال أتتوا النساء يف اعجازىن‬
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak merasa malu (menjelaskan) kebenaran
jika salah seorang diantara kamu kentut maka hendaklah ia berwudhu dan
janganlah kamu mendatangi istri melalui dubur mereka.”10
b. Melalui kejadian dan peristiwa yang dialami para sahabat dan mereka
menyaksikan tindakan Rasulullah
Hal ini banyak terjadi pada diri beliau. Misalnya, menyangkut masalah shalat,

9 Departemen Agama RI, Ulum al-Hadis, (Cet. I; PT. Departemen Agama RI, 1998), h. 68.
10 Musnad Imam Ahmad, Hadis ke-655, Juz II, pada suatu kali Rasulullah saw. Bersabda “ ‫”يف ادابرىن‬, lihat
Ibid, h. 92.

8
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

puasa, haji. Saat dalam perjalanan, dan saat berdiam di rumah. Misalnya Hadis
yang diriwayatkan oleh Salim bin ‘Abdullah dari ayahnya Abdullah bin ‘Umar
bahwa ia melihat Rasulullah saw., Abu Bakar, serta ‘Umar berjalan di depan
jenazah11

2. Secara tidak langsung dari Nabi


Pada bagian ini, sahabat menerima Hadis secara tidak langsung dari Nabi. Baik
itu mendengar, melihat atau menyaksikan langsung segala sesuatu yang
berkaitan dengan Nabi saw. Akan tetapi terkadang mereka hanya sebagai saksi
sekunder.12 Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
a. Kondisi tempat tinggal yang berjauhan dari tempat tinggal Nabi Hal ini
memungkinkan sahabat tidak dapat menerima Hadis langsung dari Nabi akan
tetapi menanyakannya kepada para sahabat yang lain.
b. Kesibukan para sahabat dalam mengurus kebutuhan hidup dan keperluan
sehingga mereka terkadang tidak sempat datang ke majelis Nabi, akan tetapi
meskipun tidak hadir mereka tetap bisa menerima Hadis Nabi dengan
bertanya kepada sahabat yang menghadiri majelis tersebut.
c. Merasa malu untuk bertanya langsung kepada Nabi, karena masalah yang
ditanyakan kepada Nabi, menyangkut masalah yang sangat pribadi. Sahabat
yang memiliki masalah demikian, biasanya minta tolong kepada sahabat
lainnya untuk menanyakan kepada Nabi. Sebagaimana riwayat Ali bin Abi
Thalib, ia berkata, “Saya adalah laki-laki yang sering mengeluarkan madzi.
Saya malu menanyakan hal itu kepada Rasulullah karena status putrinya
(sebagai istriku). Maka saya meminta al-Miqdad bin al-Aswad menanyakan
hal itu kepada beliau. Beliau menjawab, Ia harus membasuh kemaluannya lalu
berwudhu.13

11 Musnad Imam Ahmad, h. 247, hadis ke-653, Juz II, melalui isnad sahih, lihat Ibid.,h. 96. Muhammad ‘Ajjaj
al-Khatib, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Musthalahatuhu, (Cet. ..; Beirut: PT. Dar al-Fikr, 1998), h. 70.
12 M. Syuhudi Ismail, M. Syuhudi Ismail, Kaedah keshahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Cet. II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), h. 36.
13 M. ‘Ajjaj al-Khatib,op. cit.,h. 91. Lihat juga Musnad Imam Ahmad, h. 39, hadis ke-606 dan h. 46, hadis ke-

618, Juz II melalui sanad shahih. Fath al-Bari, h. 294 dan 394, Juz I, dan Shahih Muslim, H. 247, hadis ke
17-19, Juz I.

9
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa terdapat tiga unsur
yang berperan dalam pemeliharaan Sunnah yaitu: [1] kepribadian Rasulullah; [2]
Sunnah dilihat dari sisi materinya; [3] Para sahabat.

Hadis pada Masa Sahabat


Periode kedua sejarah perkembangan Hadis adalah masa sahabat, khususnya
adalah Khulafa al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan,
dan Ali bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal dengan masa sahabat besar.14 Periode
ini juga dikenal dengan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah yaitu periode
membatasi Hadis dan menyedikitkan riwayat. Hal ini disebabkan karena para sahabat
pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran
Al-Qur’an. Akibatnya periwayatan Hadis pun kurang mendapat perhatian, bahkan
mereka berusaha untuk bersikap hati-hati dan membatasi dalam meriwayatkan Hadis.
Kehati- hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan Hadis yang dilakukan
para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan
kebohongan atas nama Rasul SAW, karena hadis adalah sumber ajaran setelah Al-
Qur’an.15 Keberadaan Hadis yang demikian harus dijaga keotentikannya sebagaimana
penjagaan terhadap Al-Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafa al-
Rasyidin, dan sahabat lainnya seperti Al-zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha
keras untuk memperketat periwayatan hadis. Berikut ini akan diuraikan periwayatan
hadis pada masa sahabat.

1. Abu Bakar al-Shiddiq


Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam
memelihara Hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama
kali menerima Hadis dengan hati-hati, Misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan
sahabat lain ketika seorang nenek datang kepadanya mengatakan “Saya
mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh putra anak laki-laki saya .” kata Abu
Bakar, “ Saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dari al-qur’an maupun dari
Rasul.” Lebih lanjut khalifah berkata, “ siapa diantara kalian yang mendengar

14 Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003). hlm. 79


15 Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 71

10
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

ketentuan itu dari Rasul?” maka tampillah Muhammad bin Maslamah sebagai saksi
bahwa seorang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian seperenam (1/6)
harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya. Kemudian Abu Bakar memberikan
bagian tersebut.16
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan Hadis dilakukan dengan
sangat hati-hati. Bahkan menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (wafat
748H/1347M), sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan sikap kehati-
hatiannya dalam meriwayatkan hadis adalah Abu Bakar al-Shiddiq. Sikap ketat dan
kehati-hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan konkrit beliau,
yaitu dengan membakar catatan-catatan Hadis yang dimilikinya. Hal ini
sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah (putri Abu Bakar) bahwa Abu Bakar telah
membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus Hadis. Tindakan Abu Bakar
tersebut lebih dilatarbelakangi oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah
dalam meriwayatkan Hadis Sehingga, tidak mengherankan jika jumlah hadis yang
diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat dari intensitasnya
bersama Nabi, beliau dikatakan sebagai sahabat yang paling lama bersama Nabi,
mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah hingga Nabi wafat. Selain sebab-
sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya ada tiga faktor yang
menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadis, yaitu (1) dia
selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah; (2) kebutuhan akan
Hadis tidak sebanyak pada sesudahnya; dan (3) jarak waktu antara kewafatannya
dengan kewafatan Nabi sangat singkat. Dengan demikian, dapat dimaklumi kalau
sekiranya aktifitas periwayatan Hadis pada masa Khalifah Abu Bakar masih sangat
terbatas dan belum menonjol, karena pada masa ini umat Islam masih dihadapkan
oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat menyita waktu, berupa
pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan kewibawaan
pemerintah setelah meninggalnya Rasulullah SAW baik yang datang dari dalam
(intern) maupun dari luar (ekstern). Meskipun demikian, kesemuanya tetap dapat
diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan baik.

16 Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm. 38.

11
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

2. Umar ibn al-Khathab


Sikap kehati-hatian juga ditunjukkan oleh Umar bin Khattab. Ia seperti halnya
Abu Bakar, suka meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan Hadis.
Perlu pula dijelaskan bahwa, pada masa Umar bin Khattab belum ada usaha secara
resmi untuk menghimpun Hadis dalam suatu kitab seperti Al-Qur’an. Hal ini
disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka (umat
Islam) dalam mempelajari Al-Qur’an. Alasan kedua, para sahabat banyak menerima
Hadis dari Rasul SAW. sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, dengan
kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan
kondisi seperti ini ada kesulitan untuk mengumpulkan mereka secara lengkap.
Pertimbangan lainnya, bahwa soal pembukuan Hadis, di kalangan para sahabat
sendiri terjadi terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan
soal lafazh dan kesahihannya.17 Abu Hurairah seorang sahabat yang terbanyak
meriwayatkan Hadis, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak
meriwayatkan Hadis di masa Umar, lalu menjawab “ sekiranya aku meriwayatkan
Hadis di masa Umar bin Khattab seperti aku meriwayatkannya kepadamu, niscaya
Umar akan mencambukku dengan cambuknya. Tindakan hati-hati yang dilakukan
oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh sahabat Umar bin Khathab. Umar
dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati di dalam
meriwayatkan sebuah hadis. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila
tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya. Hal ini memang dapat dipahami,
karena memang pada masa itu, terutama masa khalifah Abu Bakar dan khalifah
Umar bi al-Khathab naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya, dan karena
itu belum menyebar ke daerah-daerah kekuasaan Islam. Sehingga dikhawatirkan
umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa membedakan antara Al-
Qur’an dan al-Hadis. Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga
dilarang, karena dari catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan
mana yang bathil, demikian pula dengan pencatat ilmu juga dilarang. Meskipun
demikian, pada masa Umar ini periwayatan hadis juga banyak dilakukan oleh umat
Islam. Tentu dalam periwayatan tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian.

17 Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).hlm. 82

12
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

3. Utsman Ibn Affan


Pada masa Usman Ibn Affan, periwayatan Hadis dilakukan dengan cara yang
sama dengan dua khalifah sebelumnya. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh
Utsman Ibn Affan ini tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin al-Khathab.
Meskipun Utsman melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat
Islam berhati-hati dalam meriwayatkan Hadis. Namun pada zaman ini, kegiatan
umat Islam dalam periwayatan Hadis telah lebih banyak bila dibandingkan dengan
kegiatan periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya. Sebab, seruannya itu
ternyata tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para periwayat yang bersikap
“longgar” dalam periwayatan Hadis. Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi
Utsman yang tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah
bertambah makin luas. Yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian
kegiatan periwayatan Hadis secara ketat.

4. Ali bin Abi Thalib


Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan Hadis tidak jauh berbeda
dengan para khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-
hati didalam meriwayatkan Hadis. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan
bahwa Ali r.a tidak menerima Hadis sebelum yang meriwayatkannya itu
disumpah.18 Hanya saja, kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya, Ali
tidak meminta mereka untuk bersumpah. Dengan demikian, fungsi sumpah dalam
periwayatan Hadis bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan
Hadis. Sumpah dianggap tidak perlu, apabila orang yang menyampaikan riwayat
Hadis telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.
Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan Hadis Nabi. Hadis yang
diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan).
Hadis yang berupa catatan, isinya berkisar tentang: [1] hukuman denda (diyat); [2]
pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan [3] larangan

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki
18

Putra, 1999), 47

13
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

melakukan hukum (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir.
Dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat Hadis yang
terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.

Cara Sahabat Menyampaikan Hadis


Pada zaman Nabi, tidak semua Hadis ditulis oleh para sahabat. Hadis Nabi yang
disampaikan oleh sahabat kepada periwayat lain lebih banyak berlangsung secara lisan.
Hadis Nabi yang memungkinkan untuk diriwayatkan secara lafal (Riwayah bi al-lafzhi)
oleh sahabat sebagai saksi pertama, hanyalah Hadis dalam bentuk perkataan. Sedangkan
hadis yang tidak berbentuk perkataan, hanya dimungkinkan untuk diriwayatkan secara
makna (Riwayah bi al-ma’na ). Hadis yang dalam bentuk perkataan pun sangat sulit
diriwayatkan secara lafal.19 Bukan hanya disebabkan karena tidak mungkin seluruh
sabda Nabi itu dihafal secara harfiah, melainkan juga karena kemampuan hafalan dan
tingkat kecerdasan sahabat tidak sama. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam hal
transfer Hadis, sahabat menempuh dua cara. Yaitu:

1. Periwayatan secara lafal (Hadis riwayah bi al-lafzh).


Periwayatan Hadis secara lafal adalah “periwayatan Hadis yang redaksi atau
matannya persis seperti yang diperoleh dari Rasulullah saw. 20 Maksudnya bahwa
Hadis yang diterima diriwayatkan dengan mempertahankan lafalnya sesuai
redaksi yang disampaikan oleh Nabi. Para sahabat ketika meriwayatkan Hadis
menempuh jalan ini. Mereka berusaha agar dalam periwayatan Hadis selalu sesuai
dengan lafazh yang disampaikan oleh Nabi. Di antara para sahabat yang paling
menuntut periwayatan Hadis sesuai dengan lafal asli dari Nabi adalah ‘Abdullah
bin ‘Umar, dan Sa’id bin Arqam. Periwayatan Hadis secara lafal sangat sedikit
disinggung pada buku-buku Hadis yang ada.

2. Periwayatan secara makna (Hadis riwayah bi al-ma’na)

19 M. Syuhudi Ismail, M. Syuhudi Ismail, Kaedah keshahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Cet. II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), h. 36.
20 Lihat Departemen Agama RI, op. cit., h. 46.

14
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

Periwayatan secara makna adalah periwayatan Hadis dengan melakukan


perubahan dari segi lafal. Baik dari segi pendahuluan dan pengakhiran sebuah
kata, atau dengan cara penggunaan sinonim. Mereka yang memperbolehkan
periwayatan Hadis secara makna, secara terpaksa meriwayatkan sebagian Hadis
dengan kata-kata mereka sendiri. Terkadang mereka menggunakan kalimat “Atau
seperti yang Rasulullah katakan” dan kalimat lain yang sejenis.21 Di antara sahabat
yang membolehkan hal tersebut ialah ‘Aisyah r.a. dan Hasan al-Bashri dari golonan
tabi’in

Hadis pada Masa Tabi’in


Pada dasarnya periwayatan Hadis yang dilakukan kalangan tabi’in tidak berbeda
dengan yang dilakukan para sahabat. Mereka, bagaimanapun, mengkuti jejak para
sahabat sebagai guru–guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak
berbeda yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al Qur’an sudah dikumpulkan dalam
satu mushaf. Dipihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa
khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Ustman para sahabat ahli Hadis
menyebar ke berbagai wilayah kekuasaan Islam. Kepeda merekalah para tabi’in
mempelajari Hadis.22

1. Pusat – pusat Pembinaan Hadis


Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan Hadis,
sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari Hadis. Kota-kota tersebut ialah
Madinah al-Munawarah, Makkah al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir,
Magrib dan Andalas, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah sahabat pembina Hadis
pada kota- kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat meriwayatkan Hadis
cukup banyak, antara lain: Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik,
Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah dan Abi Sa’id al-Khudzri.23

21 Subhi Shalih, ‘Ulum al-hadis wa musthalahatuhu, (Cet. I, Beirut; PT. Dar al-‘Ilmi li al-malayin,
1998), h. 86.
22 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka

Rizki Putra, 1999


23 Nor Ikhwan, Mohammad, Ilmu Hadist,(Semarang:Rasail Media, 2007),87

15
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

Tokoh–tokoh dalam perkembangan Hadis pada masa awal perkembangan


Hadis, sahabat yang banyak meriwayatkan hadis disebut dengan al-Mukatsirun fi
al-Hadis mereka adalah: Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 Hadis,
Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 Hadis, Anas ibn Malik meriwayatkan 2276
atau 2236 Hadis, Aisyah (istri Nabi) meriwayatkan 2210 Hadis, Abdullah ibn Abbas
meriwayatkan 1660 Hadis, Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 Hadis, Abu Sa’id
al-Khudri meriwayatkan 1170 Hadis.
Sedangkan dari kalangan tabi’in besar, tokoh – tokoh periwayatan Hadis
sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, di
antaranya:
a. Madinah: Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam, Salim ibn
Abdullah ibn Umar dan Sulaiman ibn Yassar
b. Makkah: Ikrimah, Muhammad ibn Muslim, Abu Zubair
c. Kufah: Ibrahim an-Nakha’i, ‘Alqamah
d. Basrah: Muhammad ibn Sirin, Qatadah
e. Syam: Umar ibn Abdul Aziz
f. Mesir: Yazid ibn Habib
g. Yaman: Thaus ibn Kaisan al-Yamani.

Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis


Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang
Jamal dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib akan
tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke
dalam beberapa kelompok ( Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang
tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut).
Secara langsung atau tidak, dari pergolakan politik tersebut di atas, cukup
memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang
langsung yang bersifat negatif, ialah dengan munculnya Hadis–Hadis palsu (maudhu’)
untuk mendukung kepentingan politiknya masing–masing kelompok dan untuk
menjatuhkan posisi lawan–lawannya. Adapun pengaruh yang bersifat positif adalah
lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin Hadis,

16
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 3

sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari
pergolakan politik tersebut.24

Latihan

1. Jelaskan bagaimana perkembangan Hadis pada masa Rasulullah SAW ?


2. Jelaskan bagaimana cara penyampaian Hadis dari Rasulullah kepada para
sahabat?
3. Jelaskan bagaimana perkembangan Hadis pada masa Sahabat ?
4. Jelaskan bagaiaman cara Sahabat menyampaikan Hadis?
5. Jelaskan bagaiamana perkembangan Hadis pada masa Tabi’in?

Rangkuman

1. Hadis pada periode pertama atau pada masa Rasulullah SAW belum
dikodifikasi. Pada masa itu sudah diterapkan kaidah-kaidah dan metodologi
dalam menyampaikan Hadis, namun belum diresmikan menjadi satu keilmuan
khusus.
2. Cara Nabi menyampaikan hadis kepada para sahabat ditempuh melalui 2 cara:
a. secara langsung dan b. secara tidak langsung
3. Sahabat Khulafa’ur Rasyidin baik Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib, sudah memberikan perhatian lebih terhadap
perkembangan Hadis pada masanya, dan semuanya sangat menganjurkan
Tugas/Lembar Kerja
agar berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan Hadis.
4. Pada masa Tabi’in mulai muncul pusat-pusat pembinaan Hadis, dan pada
masa ini pula muncul para tokoh periwayat Hadis dan berhasil membukukan
Hadis yang diriwayatkannya seperti Abu Hurairah

24 Zuhri, Muh. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.2003

17
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 4

HADIS MASA KODIFIKASI

Capaian Pembelajaran

1. Mampu menjelaskan periode kodifikasi Hadis


2. Mampu menjelaskan masa kodifikasi Hadis abad II-VII Hijriyah
3. Mampu menjelaskan faktor-faktor pendorong gerakan
kodifikasi Hadis

Uraian Materi
Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang
berarti codification, yaitu mengumpulkan dan menyusun. Secara istilah, kodifikasi
adalah penulisan dan pembukuan Hadis nabi secara resmi berdasarkan perintah
khalifah dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini, bukan yang
dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi. Dengan kata lain,
tadwin al-hadis (kodifikasi hadis)adalah penghimpunan, penulisan, dan pembukuan
Hadis Nabi atas perintah resmi dari penguasa Negara (khalifah) bukan dilakukan atas
inisiatif perorangan atau untuk keperluan pribadi.

Kodifikasi yang dimaksudkan di sini adalah penulisan, penghimpunan, dan


pembukuan Hadis-hadis Nabi yang dilakukan berdasarkan pada perintah resmi khalifah
Umar ibn Abd al-Aziz (99-101H/717-720M), khalifah ke-delapan Bani Umayah, yang
kemudian kebijakannya itu ditindaklanjuti oleh para ulama di berbagai daerah hingga
pada masa-masa berikutnya Hadis-hadis terkoleksi dalam kitab-kitab Hadis.

Ide penghimpunan Hadis Nabi secara tertulis pertama kali dikemukakan oleh
Umar ibn Khatab (w.23 H/644 M). Dalam merealisasikan idenya itu, Umar
bermusyawarah dengan para sahabat Nabi dan beristikharah. Para sahabat menyetujui
idenya, akan tetapi setelah sekian lama istikharah, Umar sampai pada kesimpulan
bahwa ia tidak akan melakukan penghimpunan dan kodifikasi Hadis, karena khawatir
umat Islam akan terpaling dari al-Qur’an.

Dengan demikian, kodifikasi Hadis secara resmi terjadi pada masa Umar ibn ‘Abd
al-Aziz, salah seorang khalifah Bani Umayah. Proses kodifikasi Hadis yang baru

1
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 4

dilakukan pada masa ini di mulai dengan dengan khalifah mengirim surat ke seluruh
pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir tahun 100 H yang berisi perintah agar
seluruh Hadis Nabi di masing- masing daerah segera dihimpun. Umar yang di dampingi
Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri(w.124H/742M), seorang ulama besar di
negeri Hijaz dan Syam, menggalang agar para ulama Hadis mengumpulkan Hadis di
masing-masing daerah mereka, untuk bahan penghimpunan Hadis selanjutnya. Dan juga
Umar memerintahkan Abu Bakar Muhammad ibn Hazm (w.117H.) untuk
mengumpulkan Hadis yang terdapat pada Amrah binti Abd al-Rahman ( murid
kepercayaan Asiyah ) dan Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar al-Shiddiq

Kodifikasi Hadis Abad II Hijriyah

Pada abad kedua, para ulama dalam aktifitas kodifikasi Hadis, tidak melakukan
penyaringan dan pemisahan, mereka tidak hanya membukukan Hadis-hadis saja, tapi
fatwa sahabat dan tabi’in juga di masukkan ke dalam kitab-kitab mereka. Pada abad
kedua ini, ulama yang berhasil menyusun kitab tadwin dan sampai pada kita adalah
Malik ibn Anas (93-179 H) yang menyusun kitab al-Muwaththa’. Kitab ini di susun sejak
tahun 143 H, pada masa khalifah al-Manshur, salah seorang khalifah Bani Abbasiyah.
Kitab ini tidak hanya memuat Hadis rasul saja, tetapi juga ucapan sahabat dan tabi’in
bahkan tidak sedikit yang berupa pendapat Malik sendiri atau praktik ulama dan
masyarakat madinah. Setelah itu, muncul para ulama sesudahnya seperti Al-awza’i (150
H) yang menyusun kitab Al-Mushannaf, Muhammad Ibnu Ishaq (w.151 H) yang
menyusun kitab Al-Maqhazi Wa al-Syiar, Syu’bah Ibn al Hajjaj (w.160 H) yang menyusun
kitab Al- Mushannaf, Al-Laits Ibn Sa’ad(w.175 H) yang menyusun kitab Al-Mushannaf,
Sufyan Ibn Uyayna (w.198 H) dengan kitabnya Al-Mushannaf, dan Al-Humaydi (w.219 H)
yang menyusun kitab Al-Mushannaf. Pada bab ini juga disusun kitab Musnad karya Zayd
Ibn Ali dan Imam Al- Syafi’i,(w.204 H). Al-Syafi’i juga menyusun kitab Mukhtalif al-
hadist. Kitab-Kitab tersebut banyak menjadi perhatian dan rujukan dalam kajian-kajian
Hadis dan sirah.

Abad kedua ini juga diwarnai dengan meluasnya pemalsuan Hadis yang telah ada
semenjak masa khalifah Ali ibn Abi Thalib (w.41 H) dan menyebabkan sebagian ulama
pada abad ini tergugah mempelajari keadaan para periwayat Hadis, di samping pada

2
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 4

waktu itu memang banyak periwayat yang lemah, meskipun tidak berarti pada abad
pertama tidak ada perhatian sama sekali, terhadap keberadaan periwayat Hadis.

Kodifikasi Hadis Abad III Hijriah

Berbeda dengan abad sebelumnya, abad ketiga hijriah ini merupakan masa
penyaringan dan pemisahan antara sabda Rasulullah dan fatwa Sahabat dan Tabi’in.
Masa penyeleksian ini terjadi pada zaman bani Abbasiyah, yakni pada masa Makmun
sampai Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Periode penyeleksian ini terjadi karena
pada masa Tadwin belum bisa dipisahkan antara Hadis marfu’, mawquf, dan maqthu’,
Hadis yang dha’if dari yang shahih ataupun Hadis yang maudhu’ masih tercanpur
dengan yang shahih. Pada saat ini pula mulai dibuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat
untuk menentukan apakah suatu Hadis itu shahih atau dha’if. Para periwayat Hadis
tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diteliti kejujuran, kekuatan hafalan,
dan lain sebagainya. Materi kodifikasi yang dibukukan pada abad ini dipisahkan antara
Hadis Nabi, pendapat Sahabat dan Tabi’in, meskipun Hadis-hadis yang dihimpun tidak
diterangkan antara yang shahih, hasan, dan dha’if. Mereka hanya menulis dan
mengumpulkan Hadis-hadis Nabi lengkap dengan sanadnya, yang kemudian kitab-kitab
Hadis hasil karya mereka di sebut dengan istilah musnad.

Banyak kitab-kitab musnad yang ditulis pada penghujung abad kedua dan awal
abad tiga hijriyah, di antara kitab-kitab yang ditulis oleh Abu Daud Sulayman Ibn Jarud
Al-Thayalisi (w.204 H), Abu Bakr ‘Abd Allah Ibn Zubayr Al- Humaydi (w.219 H), As’ad
Ibn Musa Al- Umawi (w.212H), Ubaidillah Ibn Musa Al-Abbasi (w.213 H) Musaddad Al-
Bashri (w.228 H) Ahmad Ibn Hanbal (w.241 H/885 M), Ishaq Ibn Rawayh (w.161/238
H) dan Usman ibn Syaibah (w.156/239 H), di antara musnad –musnad itu musnad karya
Ibn Hanbal yang terlengkap dan paling luas cakupannya.

Meskipun sudah dilakukan penyeleksian Hadis-hadis yang di susun dalam kitab-


kitab musnad, namun masih ditemukan tercampurnya antara Hadis yang shahih, hasan
dan dha’if. Oleh karena itu, kemudian bangkitlah ulama-ulama Hadis pada pertengahan
abad III hijriah untuk memilih Hadis-hadis yang shahih saja. Aktifitas ini di mulai oleh
Ishaq ibn Rawayh yang berusaha memisahkan Hadis-hadis yang shahih dengan yang

3
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 4

tidak. Kemudian pekerjaan yang mulia ini disempurnakan oleh al-Imam Abu Abdillah
Muhammad ibn Ismail al-Bukhori (194-256H/810-870M) dengan menyusun kitabnya
yang terkenal dengan nama al-jami’al-shahih atau kitab shahih al-bukhori. Kemudian
usaha al-bukhori ini diikuti oleh muridnya Muslim ibn al-hajjaj al-Qusyayri (204-
261H/817-875M) dengan kitabnya shahih Muslim. Pada saat yang hampir bersamaan
Abu Daud Sulayman ibn al-Asy’ats al-Sijistani (202-275H/819-888M) menyusun kitab
sunan Abi Daud. Di lanjutkan oleh Abu Isa Muhammad ibn Isa’ ibn Surah al-Turmudzi
(824-892M) dengan karyanya sunan al-Turmudzi, Ahmad ibn Syu’aib al-khurasani al-
Nasa’i (215-303H/830-915M) dengan kitabnya sunan al-Nasa’i, kemudian Abdullah ibn
Muhammad ibn Yazid ibn Abdillah al-Qazwini yang di kenal dengan Ibn Majah (207-
273H/824-887M) dengan hasil karyanya sunan Ibn Majah. Keenam kitab di atas oleh
ulama hadis disebut dengan al-kutub al-sittah, meskipun sebagian ulama ada yang tidak
memasukan sunan Ibn Majah ke dalam kelompok kitab enam tersebut karena derajat
kitab sunan ini dimulai lebih rendah dari kitab–kitab Hadis yang lima. Menurut mereka
kitab pokok yang nomor enam adalah al-Muwaththa’ karya Imam Malik. Dari sekian
banyak kitab di atas yang menempati peringkat utama dan pertama adalah shahih al-
Bukhori kemudian shahih Muslim.

Kodifikasi Hadis Abad IV-VII Hijriah

Kalau abad pertama, kedua, dan ketiga, Hadis berturut-turut mengalami masa
periwayatan, penulisan, pembukuan, serta penyaringan dari fatwa-fatwa sahabat dan
tabi’in, yang sistem pengumpulan Hadisnya didasarkan pada usaha pencarian sendiri
untuk menemui sumber secara langsung kemudian menelitinya, maka pada abad
keempat dan seterusnya di gunakan metode yang berlainan. Demikian pula ulama yang
terlibat pada sebelum abad ke-empat disebut nama ulama mutaqaddimun dan ulama
yang terlibat dalam kodifikasi Hadis pada abad ke-empat dan seterusnya di sebut ulama
mutaakhirun.

Pembukuan Hadis pada periode ini lebih mengarah pada usaha mengembangkan
variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab Hadis yang sudah ada. Maka, setelah
beberapa tahun dari kemunculan al-kutub al-sittah, al-muwathta’ Imam Malik ibn Anas,
dan al-musnad Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun

4
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 4

kitab-kitab yang berbentuk jawami’, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan
menyusun hadis untuk topik-topik tertentu.

Pertama kitab-kitab yang termasuk dalam katagori jawami’ antara lain : al-
jamawi’ bayn al-shahihayn oleh Ismail ibn Ahmad yang dikenal dengan sebutan ibn al-
Furrat (w.414H) dan Muhammad ibn Abdillah al-Jawzaqa, al-Jami’ (yang mengumpulkan
hadis-hadis dalam al-kutub al-sittah) karya Abd al-Haqq ibn Abd al-Rahman al-Syabli
yang dikenal dengan ibn al-Khurrath, Mashabib al-sunah (kumpulan hadis beberapa
kitab ) ditulis oleh al-Imam Husayn ibn Mas’ud al-Baqhawi (w.516H) yang kemudian
diseleksi oleh al-Thabrizi dengan kitabnya Misykah al-Mashabih, dan Muntaqa al-
Akhbar (berisi hadis-hadis hukum) di susun oleh ibn Taymiyah, yang kemudian di
syarah oleh al-Syawkani dengan kitabnya Nayl al-Awthar.

Kodifikasi Hadis Abad ke-tujuh Hijriah Sampai Sekarang

Kodifikasi hadis yang dilakukan pada abad ke-tujuh dilakukan dengan cara
menerbitkan isi kitab-kitab Hadis, penyaringan, dan menyusun kitab-kitab takhrij,
membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan Hadis-hadis
hukum, mentakhrij Hadis-hadis yang terkenal di masyarakat, menyusun kitab athraf,
mengumpulkan Hadis-hadis di sertai dengan menerangkan derajatnya, mengumpulkan
Hadis-hadis dalam shahih al-Bukhari dan shahih Muslim, mentashhih sejumlah Hadis
yang belum ditashih oleh ulama sebelumnya, mengumpulkan Hadis-hadis tertentu
sesuai topik, dan mengumpulkan Hadis dalam jumlah tertentu.

Periode ini memang tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya ketika muncul
kitab-kitab Hadis yang model penyusunannya hampir sama seperti penyusunan kitab-
kitab jami’, kitab-kitab takhrij, athraf, kecuali penulisan dan pembukuan Hadis-hadis
yang tidak terdapat dalam kitab Hadis sebelumnya dalam sebuah kitab yang dikenal
dengan istilah kitab zawaid.

Kitab-kitab jawami’ umum yang mengumpulkan Hadis-hadis yang terdapat


dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab tertentu antara lain: jami’ al-Musanid wa
sunan al-Hadi ila Qawam al-sunan karya al-Hafish Ibn Katsir (w.3774H), dalam kitab ini

5
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 4

di kumpulkan Hadis-hadis yang sebelas yang disusun oleh al-Hafish al-Suyuti


(911H). Kitab ini banyak mengandung hadis-hadis dha’if dan bahkan mawdhu’.
Kemudian diterbitkan oleh Alauddin al-Hindi(975H) dalam kitabnya Kanz al-Ummah fi
sunan al-Aqwal wa al-Af’al yang selanjutnya di ringkas dalam kitab Muntakh Abu Kanz
al-Ummah.

Kitab-kitab yang mengumpulkan hadis-hadis hukum antara lain :al-Imam fi


Ahadits al-Ahkam karya ibn Daqiq al-Id, Taqrib al-Asanid wa Tartib al-Masanid oleh Zayn
al-Din al-Iraqi, dan Bulugh al-Maram min Ahadits al-Ahkam oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-
Asqalani (w.8532H)

Kitab- kitab athraf yang juga di susun pada periode ini antara lain: Ithraf al-
Maharah bi Athraf al-Asyarah oleh Ibn hajar al-Asqalani, Athraf al-Musnad al-Mu’tali bi
Athraf al- Musnad al-Hanbali oleh Ibn Hajar al-Asqalani, Athraf al- hadits al-
Mukhtarah oleh Ibn hajar al-Asqalani, Athraf sahih ibn Hibban oleh al-Iraq, dan Athraf al-
Masanid al-Asyarah oleh Syihab al-Bushiri.

Tidak hanya pada abad keempat, pada abad ketujuh di susun pula kitab jami’
yaitu : al-Jami’ Bayn al-Shahihayn karya Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, yang
dikenal dengan ibn Hujjah(w.642H). Kitab hadis hukum juga disusun pada periode ini
yaitu Muntaqa al-Akhbarfi Ahadits al-Ahkam oleh Maj al-Din Abu al-Barakah Abdussalam
ibn Abdillah ibn Abi al-Qasim al-Harani (w.652) demikian pula kitab al-Mukhtarah karya
Muhammad ibn Abd al-Wahid al-Maqdisi(w.643H)kitab ini mentashhihkan sejumlah
hadis yang belum di tashhih oleh ulama sebelumnya. Kitab Riyadh al-Shalihin dan al-
Arba’in atau Arba’in al-nawawi, yang sekarang banyak dikaji di pondok–pondok
pesantren, disusun pada masa ini oleh al-Nawawi.

Kitab-kitab yang juga ditulis pada periode ini adalah Subul al-salam oleh
Muhammad ibn Ismail al-Shan’ani(w.1182H), fath al-Allam karya Shiddiq hasan Khan
(w.1307H), al-Jami’ al-Shaghir min Ahadits al-basyir al-Nadzir oleh al-Suyuthi. Al-
Suyuthi juga menyusun kitab lubab al-hadits yang kemudian diberi syarah oleh al-
Nawawi dengan judul kitabnya Tanqih al-Qawl al-Ahadits.

6
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 4

Faktor-faktor pendorong kodifikasi hadis

Kodifikasi Hadis pada masa Umar ibn Abd al-Aziz (99-101H), menurut
Muhammad al-Zafzaf, di latar belakangi oleh dua faktor , yaitu :

Pertama, para ulama Hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan Hadis akan
hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak
menaruh perhatian terhadap Hadis.

Kedua, banyak berita yang diada-adakan oleh orang-orang yang suka berbuat bid’ah
seperti khawarij, Rafidhah, Syi’ah, dan lain-lain, yang berupa hadis palsu (mawdhu’).
Tidak sedikit Hadis yang mereka buat dapat meluluhlantakkan fondasi-fondasi Islam,
sehingga bila tidak di lakukan klasifikasi dan koleksi, dapat berakibat pada kehancuran
ajaran Islam pada umumnya.

Fakto-faktor penyebab dilakukannya kodifikasi hadis tersebut dapat di


klasifikasikan menjadi dua: Faktor Internal dan Faktor Eksternal.

Internal Faktor pentingnya menjaga autentisitas dan eksistensi Hadis, karena


Hadis di samping sebagai sumber agama Islam yang kedua setelah al-
Qur’an, juga merupakan panduan bagi umat Islam dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari

Semangat untuk menjaga Hadis, sebagai salah satu warisan Nabi yang
sangat berharga karena Nabi memang pernah bersabda bahwa beliau
meninggalkan dua hal yang jika umat Islam berpegang keduanya mereka
tidak akan tersesat selamanya, yaitu al Qur’an dan hadis Nabi.

Semangat keilmuan yang tertanam di kalangan umat Islam saat itu


termasuk di dalamnya aktifitas tulis menulis dan periwayatan hadis

Rasa bangga dan puas ketika mampu menjaga hadis Nabi dengan
menghafal dan kemudian meriwayatkannya

Eksternal Penyebaran Islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam,


sehingga banyak periwayat hadis yang tersebar ke berbagai daerah

7
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 4

Kemunculan dan meluasnya pemalsuan Hadis yang disebabkan antara


lain oleh perbedaan politik dan aliran.

Latihan

1. Jelaskan perkembangan Hadis periode kodifikasi!


2. Jelaskan bagaimana perkembangan masa kodifikasi Hadis pada abad I – VII
Hijriyah!
3. Jelaskan faktor-faktor apa yang mempengaruhi adanya kodifikasi Hadis!

Tugas/Lembar Kerja
Lengkapilah tabel berikut:
Periode Hadis pada masa kodifikasi

Periode Tokoh Kitab

Abad I

Abad II

Abad III

Abad IV

Abad V

Abad VI

Abad VII

8
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 5

SEJARAH DAN RUANG LINGKUP ILMU HADIS

Capaian Pembelajaran

1. Mampu menjelaskan pengertian Ilmu Hadis


2. Mampu menyebutkan cabang-cabang Ilmu Hadis dan
menjelaskan fungsinya
3. Mampu menyebutkan contoh-contoh kitab Ilmu Hadis beserta
pengarangnya

Uraian Materi
Pengertian Ilmu Hadis
Terminologi ilmu Hadis diambil dari bahasa Arab ‫علوم احلديث‬. Istilah ini diambil

dari dua kata yaitu ‫ العلوم‬dan ‫احلديث‬. Kata ‫ علوم‬merupakan bentuk plural dari kata ‫ علم‬yang

berarti “ilmu”, sedangkan ‫ احلديث‬berarti: “segala sesuatu yang taqrir atau sifat”. Dengan

demikian gabungan antara ‫ العلوم‬dan ‫ احلديث‬mengandung pengertian “Ilmu yang

membahas atau yang berkaitan dengan Hadis Nabi SAW”.


Sedangkan Mahmud at-Thahan mendefinisikan ilmu Hadis, sebagai berikut:

‫الرد‬
َّ ‫ث ال َقبُ ْو ُل َو‬ ِ ْ ‫السنَ ِد وادل‬
ُ ‫ْت ِم ْن َحْي‬ َّ ‫َح َو ُال‬‫ف ِِبَا أ‬ ِ ‫ىو ِع ْلم ِِبُصوٍل وقَو‬
ُ ‫ يُ ْعَر‬,‫اع َد‬
َ َ ْ َ َ ُْ ٌ َُ
Ilmu tentang pokok-pokok dan kaedah-kaedah yang digunakan untuk mengetahui
kondisi sanad dan matan Hadis, dari sisi diterima atau ditolak.1

Konsep dasar Ilmu Hadis


Awal mula munculnya keilmuan ini, didasarkan pada aktifitas para sahabat yang
mulai mengkaji segala hal yang berhubungan dengan Hadis Nabi SAW dan para
perawinya. Pada waktu itu keilmuan ini masih berdiri sendiri-sendiri, belum disatukan
dalam satu keilmuan, seperti Ilmu al-Hadis al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma wa al-

1 Mahmud At-Thahan, Taysir Musthalah Hadis, Riyadh: Maktabah al Ma’arif, hlm 17

1
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 5

kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu Hadis secara parsial ini sudah mulai dilakukan
oleh para ulama sejak abad ke-3 H.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat persial tersebut pada masa berikutnya
digabungkan dan dijadikan sebagai satu disiplin ilmu khusus yang berdiri sendiri.
Terhadap penamaan disiplin ilmu ini, tetap dipergunakan nama Ulumul Hadis,
sebagaimana halnya sebelum disatukan. Sebutan lain untuk nama disiplin ilmu ini
adalah Mushthalah al-Hadis (Istilah-istilah Hadis)

1) Tujuan dan Manfaat Belajar Ilmu Hadis


Tujuan dan Manfaat mempelajari ilmu Hadis
1. Mengetahui keshahihan Hadis
2. Mengetahui tingkatan derajat Hadis
3. Mengetahui hukum yang terkandung dalam Hadis

2) Manfaat dan Peran Penting Belajar Ilmu Hadis


Ilmu Hadis merupakan sebuah disiplin ilmu yang di dalamnya mempelajari
tentang semua hal ihwal mengenai Hadis, baik sumber Hadis itu sendiri maupun
kualitas Hadis dari segi sanad dan matannya. Sebenarnya, ilmu Hadis terbagi menjadi 2
macam yaitu Ilmu Hadis Dirayah (Ilmu Musthalah Hadis) dan Ilmu Hadis Riwayah.

Ilmu Hadis

Ilmu Hadis
Dirayah (Ilmu Ilmu Hadis
Musthalah Hadits) Riwayah

Ilmu Hadis Dirayah  Mengetahui Kualitas Hadis, Hadis yang disepakati oleh
(Ilmu Musthalah
para ulama' Hadis mengenai diterima atau ditolaknya
Hadis)
Hadis berkaitan dengan kualitas Hadis itu sendiri, baik

2
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 5

Hadis shahih, Hadis hasan, maupun Hadis dha’if.


 Mengetahui Kualitas Sanad dan Matan Hadis,
mempelajari tentang seluk beluk Hadis yang berkaitan
dengan kualitas sanad dan matannya
 Mengetahui Bagian dan Macam-Macam Hadis, baik
kualitas matan, kualitas sanadnya, jenis-jenis
riwayatnya, dan shighat dalam meriwayatkannya
 Mengetahui Keadaan Para Rawi, apakah rawinya
adalah seorang yang dhabit, adil, ataukah tidak
keduanya
 Menjaga Kemurnian Kalimat Hadis dari segala macam
yang tidak bersumber dari Nabi Muhammad SAW

Ilmu Hadis  mengetahui perbedaan Hadis dari sumbernya, Hadis


Riwayah
qouliyah, Hadis fi'liyah, Hadis taqririyah, dan Hadis
sifat
 Mengetahui makna utama dalam sebuah Hadis
 Mampu menqiyaskan hukum dalam sebuah Hadis
dengan pemikiran bijak dan dinamis
 Tidak menafsiri Hadis dengan pemikiran yang keliru
 Mengamalkan isi kandungan Hadis secara tepat
 Menentukan titik temu hukum pada dua Hadis yang
bertentangan
3) Ruang Lingkup dan Cabang-Cabang Ilmu Hadis
Ruang Lingkup ilmu Hadis
Ilmu Hadis merupakan sebuah disiplin ilmu yang di dalamnya mempelajari tentang
semua hal ihwal mengenai Hadis, seperti sumber Hadis, kualitas Hadis baik dari segi
sanad dan matannya, termasuk di dalamnya mengenai Ilmu Hadis Dirayah (Ilmu
Musthalah Hadis) dan Ilmu Hadis Riwayah.

3
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 5

Berdasarkan uraian tersebut maka terdapat perbedaan antara Ruang Lingkup


pembahasan Hadis dan ilmu Hadis. Ruang lingkup pembahasan Hadis mencakup
pengertian Hadis dan empat unsur utama periwayatannya yaitu adanya Rawi (yang
meriwayatkan Hadis), Sanad atau Thariq (jalan yang menghubungkan matan Hadis
kepada Nabi Muhammad SAW), Matan (materi berita yaitu teks Hadis baik berupa
perkataan, perbuatan atau persetujuan Rasul SAW), dan Rijalul Hadis (tokoh-tokoh
terkemuka periwayat Hadis yang diakui keabsahannya dalam bidang Hadis). Penelaahan
mengenai aspek-aspek dari materi isi kandungan Hadis juga dikaji dalam ilmu ini.
Adapun ruang lingkup pembahasan ilmu Hadis atau ilmu musthalah Hadis meliputi ilmu
Hadis riwayah dan ilmu Hadis dirayah.

4) Cabang-cabang ilmu Hadis


Ilmu Jarh wa at-ta’dil
yaitu ilmu yang mengkaji tentang keadaan perawi Hadis baik dari sisi kebaikan
maupun kecacatannya yang bisa ditinjau melalui ungkapan lafazh tertentu.2

)‫(علم يبحث عن الروىة من حيث ما ورد يف شاءهتم مما يشنيهم أو يزكيهم ِبلفاظ خمصوصة‬
Musthafa Al-Siba’i berpendapat bahwa Jarh wa al- ta’dil adalah cabang ilmu Hadis
yang secara khusus membicarakan tentang sisi negatif dan positif perawi Hadis. Ilmu
yang membahas mengenai para perawi, sekitar masalah yang membuat mereka
tercela atau bersih dengan menggunakan lafazh-lafazh tertentu.

Ilmu Rijal al-Hadis


ilmu yang mengkaji tentang para perawi Hadis, baik dari sahabat, tabi’in, maupun
ِ
angkatan setelahnya, ِ
)‫للحديث‬ ُ ‫يث ِمن َح‬
ٌ‫يث انّ ُهم ُرّواة‬ ِ ‫األحاد‬ ُ‫عرف بو ّرواة‬
ُ ُ‫(علم ي‬
ٌ
Adapun ruang lingkup ilmu Rijal al-Hadis mencakup sejarah kehidupan para tokoh
yang menerima dan menyampaikan Hadis dari masa kelahiran dan masa wafat, asal

2 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.32

4
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 5

negara, dan di negeri mana saja tokoh-tokoh tersebut mengembara dan dalam
jangka berapa lama, serta kepada siapa saja mereka memperoleh Hadis dan
menyampaikannya.

Ilmu Mukhtalaf al-Hadis


ِ
)‫ظاىرا‬ ‫ض ِة‬ ِ ِ ِ ‫بحث فيها عن الت َّْو‬
ً َ ‫األحاديث ادلتَناق‬ ‫ني‬
َ ‫فيق ب‬
َ ُ ُ‫علم ي‬
ٌ (
ُ
“Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan Hadis-Hadis yang isinya
berlawanan”.

Ilmu Gharibul Hadis


Menurut Ibnu Al-Shalah, Ilmu Gharibul Hadis adalah:
ِ ‫الغامض ِة البعيدةِ من ال َفه ِم لِِقلَّ ِة إستِع‬
)‫ماذلا‬ ْْ ْ َ َ َ ِ ‫األلفاظ‬ ِ ِ
‫األحاديث من‬ ‫تون‬ ُ َ َ َّ َ
ِ
ِ ‫(عبارةٌ عما وقَع يف م‬

“Ungkapan dari lafazh-lafazh yang sulit dan rumit untuk dipahami yang terdapat
dalam matan Hadis karena (lafazh tersebut) jarang digunakan.”

Ilmu ‘Ilalul Hadis


Menurut muhaddisin, Ilmu ‘Ilalul Hadis adalah:

‫ص ِل َمْن َق ِط ٍع َورفْ ِع‬ ِ ِ ِ ُ ‫ض ِة من َحْي‬ ِ ِ ِ ِ ‫ث عن األس‬


ْ ‫ث أ ّّنا تَ ْق َد ُح ىف ص َّحة احلديث َك َو‬ َ ‫باب اخلَفيَّة الغام‬ ْ ُ ‫بح‬َ ُ‫(علم ي‬
ٌ
)‫ك‬ ِ ٍ ِ ‫ف و ْإد‬ٍ
َ ‫حديث وما شابَوَ ذل‬ ‫خال‬ َ ‫َم ْوقُ ْو‬
“Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan
kesahihan Hadis seperti mengatakan muttashil terhadap Hadis yang munqhati’,
menyebut marfu’ terhadap Hadis yang mauquf, memasukkan Hadis terhadap Hadis
lain dan hal-hal yang seperti itu.”
Ilmu ini lebih menekankan apakah suatu Hadis termasuk Hadis dha`if, bahkan
mampu melemahkan suatu Hadis, sekalipun lahirnya Hadis tersebut
seperti salah dari segala illat.

Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis

5
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 5

Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis yaitu ilmu yang membahas Hadis-hadis yang
bertentangan dan tidak mungkin diambil jalan tengah. Hukum Hadis yang satu
menghapus (me-nasikh) hukum Hadis yang lain (mansukh). Yang datang dahulu
disebut mansukh, dan yang muncul belakangan disebut nasikh

Contoh:
Dari Syadad Ibn Aus bahwa Rasul SAW bersabda:
‫جوم‬ ِ
ُ ‫اَفْطََر احلاج ُم وادلَ ْح‬
Artinya: “Telah batal puasanya orang yang membekam dan berbekam”
Kemudian pada lain waktu Rasulullah bersabda:
‫إحتِلٍَم وال ِمن اِ ْحتِ َج ٍم‬ ٍ ِ
ْ ‫اليُ ْفط ُر من قاء وال من‬
Artinya: “Tidak batal puasa orang yang muntah, orang yang bermimpi
kemudian keluar sperma dan orang yang berbekam.”

Kedua Hadis tersebut tampak saling bertentangan, yang pertama menyatakan bahwa
orang yang membekam dan dibekam keduanya batal puasanya. Sedangkan Hadis
kedua menyatakan sebaliknya. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ibn Hazm, Hadis
pertama sudah di-naskh (dihapus) dengan Hadis kedua. Karena Hadis pertama lebih
awal datangnya dari Hadis kedua.

Ilmu Asbab Wurud al-Hadis

Menurut istilah adalah: )‫غايتِ ِو‬ ِِ َّ ‫( ُكل َشي ٍء ي تَ و‬


َ ‫ص ُل بو َإَل‬ ََ ْ
“Segala sesuatu yang menghantarkan pada tujuan”.
Ada juga yang mendefinisikan dengan: suatu jalan menuju terbentuknya suatu
hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukum itu.
Urgensi Ilmu Asbab Wurud al-Hadis adalah sebagai salah satu jalan untuk
memahami kandungan Hadis.
Contoh:

‫ احلِل َمْي تَ تُوُ) ورواه‬.ُ‫ماؤه‬ ُ َّ‫(ىو الط‬


ُ ‫هور‬ ُ ‫ يف البَ ْح ِر‬:‫اّلل عليو وسلّم‬
ّ ‫اّلل صلّى‬
ّ ‫ قال رسول‬:‫عن ايب ُىريرَة قال‬
‫مالك والشافعي وامحد‬
Artinya: “Dari Abi Hurairah. Ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW:

6
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 5

Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad).

Hadis ini dituturkan Rasul saw ketika berada di tengah lautan dan ada salah seorang
sahabat yang kesulitan berwudhu karena tidak mendapatkan air.

Ilmu at-Thasif wa at-Tahrif


Ibn Shalah dan para pengikutnya menggabungkan kedua ilmu tersebut menjadi satu
ilmu yaitu Ilmu at-Thasif wa at-Tahrif. Menurutnya, ilmu ini merupakan salah satu
ilmu yang dapat membangkitkan semangat para ahli dalam hafalan (huffazh). Karena
dalam hafalan para ahli terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengaran yang
diterimanya dari orang lain.
Contoh:
ِ
‫ادلسجد‬ ‫ إِ ْحتَ َجَر يف‬:‫اّلل ص م‬ َّ
Hadis Zaid bin Tsabit berikut ini: ّ ‫أن رسول‬
(Bahwa Rasulullah membuat kamar di salah satu ruangan masjid dari tikar atau yang
sejenisnya di mana tempat itu dipergunakan untuk shalat). Kemudian Ibnu Lahi’ah

ْ ِ‫ إ‬dengan menggantikannya menjadi


menulis secara salah kata ihtajara=‫حتَجر‬
ََ
ihtajama=‫جم‬ ِ
َ َ‫( إ ْحت‬berbekam).
َ
1. Kitab-Kitab Ilmu Hadits

1. Al-Qāzī Abū Muhammad ar-Ramahurmuzī ( w. 360 H/975 M ), seorang ulama


Hadis non-Arab, asal Iran yang mengarang kitab al-Muhaddiś al-Fāsil baina ar-
Rāwī wa al-Wa’ī.
Imam Al-Hakim Abū Abdillah an-Naisaburī (321-405 H/948-1038 M) dengan
kitab Ma’rifah Ulūm Al-Hadīś dan al-Madkhal ilā Kitab al-Iklīl.

Abu Na’im Al-Asfihanī ( w. 460 H) dengan kitab al-Mustakhraj

Al-Khātib Al-Bagdādī (w. 463 H) dengan kitabnya al-Kifayah fi ‘Ilm ar-Riwāyah

Al-Qāzī ‘Iyaz (w. 544 H) dengan kitab al-Ilma’ fī Usūl ar-Riwāyah wa as-Simā’.

7
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 5

Abu Hafs ‘Umar bin Abdul Majid al-Mayanaji ( w. 580 H. ) dengan kitab Ma la
Yasa’ al-Muhaddiś Jahluh.

Abu ‘Amar ‘Usman bin Salāh asy-Syahrazurī dengan kitabnya Ma’rifah Ulūm al-
Hadīś atau yang dikenal dengan Muqaddimah Ibn Şalāh fi Ulūm al-Hadīś. Kitab
yang terakhir ini telah di-syarah-i oleh para ulama berikutnya dan terdapat 27
mukhtasar (ringkasannya) sehingga dapat dijadikan pegangan oleh generasi
berikutnya

Kitab mustalāh al-hadīś dengan berbagai jenisnya baik


berupa nazam maupun nasar atau prosa dan syarah-syarahnya, missal Nazham
al-Fiyyah karya As-Suyūti yang disyarahi oleh Syekh Mahfūz at-Tirmasi dengan
judul kitabnya Manhāj Żaw al-Nadar dan at-Taqrīb karya Imam Nawawi yang
disyarahi/diringkas oleh As-Suyuthi dengan judul Tadrīb al- Rāwi.

Kitab karya ulama kontemporer misalnya Qawā’id At-Tahdīś karya Jamaluddin


Al-Qasimi (w.1332 H)

Taisīr Mustalah al-Hadīś karya Mahmūd At-Tahhān

Usūl Hadīs ‘Ulūmuhu wa Mustalahuhu karya ‘Ajjāj al-Khātib

Latihan
1. Jelaskan pengertian Hadis menurut bahasa dan secara istilah ?
2. Sebutkan ruang lingkup dan cabang-cabang ilmu Hadis?
3. Sebutkan nama-nama kitab ilmu Hadis?

Tugas/Lembar Kerja
Analisis manfaat cabang-cabang ilmu Hadist berikut di dalam kaitannya dengan
penjagaan keshahihan hadits

Ilmu Jarh wa at-ta’dil

8
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 5

Ilmu Rijal al-Hadis,

Ilmu Mukhtalaf al-Hadis

Ilmu Gharibul Hadis

Ilmu ‘Ilalul Hadis

Ilmu Nasikh dan


Mansukh Hadis

Ilmu Asbab Wurud al-


Hadis

Ilmu at-Thasif wa at-


Tahrif

9
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 5

Daftar Pustaka
A. Hassan, Terjemah Bulughul Maram, Bandung: Diponegoro, 2006
Ahmad Izzan. Ulumul Hadis. Bandung:Tafakur, tt.

Mahmud At-Thahan, Taysir Musthalah Hadis, Riyadh: Maktabah al Ma’arif

Manzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002


Muhammad Nurudin, Ilm Al-Jarh wa Tad’il Kudus: STAIN Kudus Press, 2009

Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995


Umar, lmu Hadis, Kudus: Nora Media Enterprise, 2011

10
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 6

ILMU JARH WA TA’DIL

Capaian Pembelajaran

1. Mampu menjelaskan pengertian Jarh wa Ta’dil


2. Mampu menjelaskan sejarah perkembangan ilmu Jarh wa Ta’dil
3. Mampu menyebutkan syarat Ulama al-Jarh wa ta’dil
4. Mampu menyebutkan Tata tertib Ulama al-Jarh wa ta’dil
5. Mampu menyebutkan lafazh-lafazh Jarh wa Ta’dil dan tingkatannya
6. Mampu menyebutkan contoh kitab Jarh wa Ta’dil beserta
pengarangnya

Uraian Materi
Pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil

a. Al-Jarh secara etimologis merupakan bentuk masdar, dari kata ‫ َ ََْيَر ُحه‬-‫ح‬
ََ ‫َجَر‬ yang

berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan
mengalirnya darah dari luka itu. sedangkan secara terminologis berarti munculnya
suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan
dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah
riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Sedangkan at-tajrih mensifati seorang
perawi dengan sifat-sifat yang membawa konsekuensi penilaian lemah atas
riwayatnya atau tidak diterima.
b. Al-‘Adl secara etimologis berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu
lurus, merupakan lawan dari lacur. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya
positif. Sedangkan secara terminologis berarti orang yang tidak memiliki sifat yang
mencacatkan keagamaan dan muruah-nya. Sehingga khabar dan kesaksiannya bisa
diterima, bila memenuhi syarat-syarat kelayakan ada’.
Dengan demikian Ilmu Jarh wa Ta’dil berarti:

‫َوَرِّد َها‬ ِِ ِ ُ ‫َالرواةِ َِمنَحي‬ ِ


َ ‫ثَقُبُ ْولَ ِرَو َاَيِتمَأ‬ ْ َ ْ َ ُّ ‫َح َوال‬
ْ ُ ‫العِْل ُمَالَّذيَيَْب َح‬
ِ ‫ث َِِفَأ‬

1
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 6

“Ilmu yang membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat
mereka”
Ilmu ini merupakan ilmu Hadis yang terpenting, teragung posisinya dan terluas
pengaruhnya. Karena dengan ilmu ini, dapat dibedakan yang shahih dari yang cacat,
yang diterima dari yang ditolak. Karena masing-masing tingkatan jarh dan ta’dil
memiliki akibat hukum yang berbeda-beda.

Sejarah dan Perkembangan Ilmu Jarh wa ta’dil

Ilmu Jarh Wa Ta’dil adalah Ilmu yang menerangkan tentang hal catatan-catatan
yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilanya (memandang adil para
perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat kata-kata itu.
(Hasbi Ash Shidiqi)
Ilmu ini merupakan salah satu bagian dari ilmu rijal al Hadis dan ilmu ini
dipandang sebagai bagian terpenting dalam ilmu Hadis dan suatu ilmu yang berdiri
sendiri. Ilmu ini tumbuh seiring dengan tumbuhnya periwayatan Hadis. Dan
berkembangnya lebih nyata sejak terjadinya al fitnah al Kubra atau pembunuhan
terhadap Khalifah Utsman bin Affan tahun 36 H. Pada waktu itu, umat muslimin telah
terkotak-kotak ke dalam berbagai kelompok, masing-masing mencari legitimasi dengan
mengutip Hadis Rasul. Jika tidak ditemukan mereka membuat Hadis palsu. Sejak itulah
para ulama Hadis menyeleksi Hadis Rasul baik dari segi matan maupun kritik sanadnya.

Perkembangan Ilmu Jarh wa ta’dil

Menurut Ibnu Adi ilmu ini telah ada sejak zaman sahabat. Menurut Muhammad
‘Ajjaj al Khatib, perkembangan ilmu Jarh dan ta’dil sejalan dengan perkembangan
periwayatan dalam Islam.
Pada masa tabi’in muncul beberapa ulama yang membahas masalah Jarh Wa
Ta’dil, diantaranya Asy Sya’bi, Ibnu Sirin, dan Sa’id bin al Musyayyab. Pada abad 2 H,
perkembangan ilmu Jarh wa Ta’dil mengalami kemajuan dengan bukti aktivitas para ahli
semakin giat men-tajdid dan men-ta’wil para rawi, diantaranya Yahya bin Sa’id Qaththan
dan Abdurrahman bin Mahdi.

2
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 6

Pada abad 3 H, baru dilakukan penyusunan kitab Jarh wa Ta’dil, diantaranya


Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hambal, Muhammad bin Sa’ad, Ali bin Madini, Abu Bakar
bin Abi Syaibah, dan Ishaq bin Rahawaih.

Syarat Ulama al-Jarh wa ta’dil

Seorang ulama al-jarh wa ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang


menjadikannya objektif dalam upaya menguak karakteristik para periwayat. Syarat-
syaratnya sebagai berikut:
1. Berilmu, bertakwa, wara’ dan jujur.
2. Ia mengetahui sebab-sebab al-jarh wa ta’dil
3. Ia mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab.

Beberapa hal yang tidak disyaratkan bagi ulama al-Jarh wa Ta’dil

1. Tidak disyaratkan bagi ulama al-jarh wa al-ta’dil harus laki-laki dan merdeka. Yang
penting melakukan tazkiyah dan jarh.
2. Suatu pendapat menyatakan bahwa tidak dapat diterima al-jarh wa al-ta’dil kecuali
dengan pernyataan dua orang.

Tata Tertib Ulama al-jarh wa al-ta’dil

1. Bersikap objektif dalam tazkiyah, sehingga ia tidak meninggikan seorang rawi dari
martabat yang sebenarnya atau merendahkannya.
2. Tidak boleh men-jarh melebihi kebutuhan.
3. Tidak boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh
oleh sebagian kritikus tetapi dinilai adil oleh sebagian yang lainnya.
4. Tidak boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu di jarh karena hukumnya
disyariatkan lantaran darurat.

Syarat diterimanya al-jarh wa al-ta’dil

3
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 6

1. Syarat pertama: al-jarh wa al-ta’dil diucapkan oleh ulama yang telah memenuhi
syarat sebagai ulama al-jarh wa al-ta’dil.
2. Syarat kedua: jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya. Adapun
ta’dil tidak disyaratkan harus disertai penjelasan sebab-sebabnya.

Pertentangan antara Jarh dan Ta’dil

Apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil terhadap seorang rawi, maka
dalam hal ini terdapat beberapa pendapat ulama. Pendapat yang shahih adalah pendapat
jumhur ulama dan dishahihkan oleh Ibnu al-Shalah dan muhaddits lain serta sebagian
ulama ushul. Mereka berkata bahwa jarh didahulukan atas ta’dil meskipun yang men-
ta’dil itu lebih banyak. Ini karena orang yang men-ta’dil hanya memberikan karakteristik
yang tampak baginya, sedangkan orang yang men-jarh memberitakan karakteristik yang
tidak tampak dan samar bagi orang yang men-ta’dil.
Akan tetapi, kaidah ini tidak menunjukkan kemutlakan harus didahulukannya
jarh. Kadang-kadang para ulama mendahulukan ta’dil atas jarh dalam banyak
kesempatan. Jadi kaidah ini terbatas dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Jarh harus dijelaskan dan harus memenuhi semua syarat-syaratnya.
2. Orang yang men-jarh tidak sentimen atas orang yang di jarh atau terlalu
mempersulit dalam men-jarh.
3. Pen-ta’dil tidak menjelaskan bahwa jarh yang ada tidak dapat diterima bagi rawi
yang bersangkutan.

Tingkatan lafazh-lafazh al-jarh wa al-ta’dil

1. Tingkatan-tingkatan lafazh al-ta’dil


1. kata-kata yang menunjukkan mubalaghah dalam hal ta’dil dengan bentuk af’al

at-tafdhil dan sejenisnya. Seperti:


َّ ‫َأ ْو َث ُق‬
‫الىاس‬ (yang paling tsiqat),
َّ ‫ط‬
‫الىاس‬
ُ َْ َ
‫أضب‬
ْ َ َُ َْ
َ ‫( لي‬tiada bandingannya).
(yang paling dhabit), ‫س له ه ِظير‬

َُْ َ ُ َ ٌ َُ
2. Misalnya pernyataan ‫(فَلن َل ي ْسأ ُل غىه‬fulan tidak dipertanyakan).

4
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 6

3. Kata-kata yang mengukuhkan kualitas tsiqat dengan salah satu sifat di antara
sekian sifat adil dan tsiqat, baik dengan kata yang sama atau kata yang searti.
ٌ َ ٌ َ ْ ٌ َ ٌ َ
Misalnya: ‫ِثقة ِثقة‬ , ‫ ِثقة َمأ ُم ٌىن‬, ‫ِثق ٌه َحا ِفظ‬
4. Kata-kata yang menunjukkan sifat adil dengan kata yang menyiratkan ke-
ٌ َ ٌ ْ َ َّ ُ َ ٌ ْ َ ٌ ْ ُ ٌ َ َ
dhabit-an. Misalnya: ‫ض ِابط‬ ‫ غدل‬, ‫ غدل ِإمام حجة‬, ‫ مت ِقن‬, ‫ثبت‬
5. Kata-kata yang menunjukkan sifat adil, tetapi menggunakan kata yang tidak
َ ‫ َل بأ‬, ‫ َمأ ُمىن‬, ‫صدوق‬ َْ َ ٌ ْ ٌ َُْ
menyiratkan ke-dhabit-an. Misalnya: ‫س ِب ِه‬

َ ْ ٌ َُ
ُ ‫شا َء‬
6. Kata-kata yang sedikit menyiratkan makna tajrih. Misalnya: , ‫هللا‬ ‫صدوق ِاو‬

‫اب‬ َ َّ َ ْ َ َ ْ َ
ِ ‫ليس ِبب ِػي ٍد ِمن الصى‬
2. Tingkatan-tingkatan lafazh al-jarh
1. dengan kata-kata yang menunjukkan mubalaghah dalam hal jarh. Misalnya:
ْ ُ ُْ
‫الكذ ِب‬ َّ ُ َ ْ َ
ِ ‫ ركن‬, ‫أكذب الىاس‬
ٌ ‫كذ‬ ٌ َ َّ َ
2. Jarh dengan kedustaan atau kepalsuan. Misalnya: ‫ ِوضاع‬, ‫اب‬

3. Kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan perawi sebagai pendusta. Misalnya:


َ ‫ ُم َّت َه ٌم ب‬, ‫ُم َّت َه ٌم بالك ْذب‬
ْ ‫الى‬
‫ض ِؼ‬ ِ ِ ِ ِ
4. Dengan kata-kata yang menunjukkan kedha’ifan yang sangat. Misalnya: ‫َرد ح ِديثه‬
ُ َ ْ َ َّ

ُ ْ َ َ َ َ َّ ٌ ْ َ
‫ َل ُيك َت ُب َح ِد ْيث ُه‬, ‫يس ِبش ْي ٍئ‬ ‫ ل‬,‫ ض ِػيف ِجدا‬,
5. Kata-kata yang menunjukkan penilaian dha’if atas perawi atau kerancuan
ٌ َ َْ َ َ
hafalannya. Misalnya: ‫ ض ِػ ْيف‬, ‫ َل يحت ُّج ِب ِه‬, ‫ُمضطزب الح ِديث‬
ْ َ ْ

6. Menyifati perawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kedha’ifannya. Misalnya:


َ ‫ َل ْي‬, ‫القىي‬
‫س ِب ُح َّجة‬
َ
‫ك‬‫ل‬ِ
َ َ َْ
‫ذ‬ ‫ليس ِب‬
ِ

Kitab-kitab Jarh dan Ta’dil


1. Al Jarh wa At Ta’dil karya Abdurrahman bin Abi Hatim ar Razi, terdiri dari 4 jilid

5
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 6

dan memuat 10.050 perawi.


2. Mizan al I’tidal karya Imam Syamsuddin Muhammad adz Dzahabi, terdiri dari 3
jilid dan memuat 10.907 rijal al Sanad.
3. Lisan al Mizan karya Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani, yang mencakup isi
Mizan al I’tidal, terdiri dari 6 jilid dan memuat 14.343 perawi.

4. Ma’rifat al Rijal karya Yahya ibn Ma’in.


5. At Thabaqat karya Muhammad ibn Sa’ad al Zuhri al Bashri
6. Al Kamil fi at Tarikh karya Ibnu Katsir

Ilmu-ilmu yang terkait dengan Jarh wa Ta’dil


1. Ilmu Rijal al Hadis. Ilmu Jarh Wa Ta’dil merupakan bagian dari ilmu rijal al-Hadis.
2. Takhrij al Hadis. Di dalam mentakhrij Hadis harus mengetahui apakah Hadis yang
ditakhrijnya dapat diterima atau ditolak

Latihan

1. Jelaskan pengertian Jarh wa Ta’dil!


2. Uraikan sejarah dan perkembangan ilmu Jarh wa ta’dil!
3. Sebutkan syarat ulama Jarh wa ta’dil!
4. Sebutkan tata tertib ulama Jarh wa ta’dil!
5. Sebutkan lafazh-lafazh sesuai tingkatannya dalam Jarh wa Ta’dil!
6. Berikan contoh nama kitab yang mengkaji ilmu Jarh wa Ta’dil beserta
pengarangnya!

6
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 8

HADIS MUTAWATIR

Capaian Pembelajaran

1. Mampu menjelaskan pengertian Hadis mutawatir


2. Mampu mengidentifikasi kriteria Hadis mutawatir
3. Mampu menyebutkan macam-macam Hadis mutawatir
4. Mampu menganalisis kehujjahan Hadis mutawatir

Uraian Materi

Definisi Hadis Mutawatir

Secara bahasa mutawatir berasal dari kata tawatara yang artinya berturut-turut
atau sesuatu yang datang secara beriringan tanpa disela antara yang satu dengan
lainnya.
Menurut bahasa, kata Mutawatir, berarti mutatabi' yaitu yang (datang) berturut-turut,
dengan tidak ada jaraknya.
Sedangkan menurut istilah Hadis mutawatir adalah Hadis yang diriwayatkan
oleh sejumlah perawi, baik terdiri dari satu thabaqah(tingkatan) atau lebih, yang
menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, dan Hadis tersebut
merupakan tangkapan dari panca indera mereka sendiri. Hadis mutawatir adalah Hadis
yang diriwayatkan oleh orang banyak dalam setiap generasinya, yang menurut adat
tidak mungkin mereka berbuat dusta, dan mereka meriwayatkannya secara indrawi dan
memberikan ilmu yakin. Selain itu, ada juga yang mendefinisikan Hadis Mutawatir ialah
Hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut adat mustahil mereka
bersepakat untuk berdusta (jumlah banyak itu) sejak awal sanad sampai akhirnya. Ada
lagi yang mendefinisikan Hadis mutawatir ialah Hadis yang diriwayatkan banyak orang,
dan diterima dari banyak orang pula, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat
untuk berdusta.

1
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 8

Berdasarkan pengertian tersebut, maka kriteria Hadis mutawatir dapat dijabarkan


sebagai berikut:
1. Diriwayatkan oleh banyak perawi.
Terkait tentang jumlah perawi ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang
menyebutkan 4 orang, 5 orang, 10 orang, 40 orang, 70 orang, bahkan ada pula
yang berpendapat 300 orang. Namun demikian, pendapat yang paling unggul
adalah minimal 10 orang perawi.
2. Bisa terdiri dari satu thabaqah atau lebih
Thabaqah di sini diartikan dengan tingkatan atau sekelompok orang. Maksudnya
bahwa perawi untuk Hadis mutawatir bisa terdiri dari satu kelompok perawi
atau lebih dari satu perawi.
3. Mustahil para perawi bersepakat untuk berdusta
Pondasi utama yang menjadi dasar Hadis mutawatir adalah para perawi mustahil
jika mereka bersepakat untuk berdusta dalam meriwayatkan Hadis. Dengan
demikian, jika kemungkinan tidak berdusta masih diragukan meskipun banyak
perawi yang meriwayatkan, maka Hadis tersebut masih belum bisa mencapai
derajat mutawatir
4. Didasarkan pada tanggapan panca indera
Syarat ini membuktikan bahwa perawi tersebut benar-benar menerima Hadis
secara langsung, mendengar melalui telinganya, melihat melalui matanya, atau
menyentuh melalui kulit. Misal untuk periwayatan Hadis mutawatir adalah
diawali dengan kalimat “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda” atau “ Saya
melihat Rasulullah SAW melakukan ini” dan sejenisnya.
Jika dilihat berdasarkan fungsi dari ilmu Hadis yaitu untuk memberikan
keyakinan atas berita atau Hadis yang disampaikan periwayat, maka kedudukan Hadis
mutawatir telah tercapai dengan baik bahwa yang terkandung di dalamnya adalah
benar-benar dari Rasulullah SAW.
Adapun Hadis mutawatir ini umumnya dibagi ke dalam dua kategori
yaitu, mutawatir lafzhi dan mutawatir maknawi. Sedangkan M. Syuhudi Ismail
menambahkan satu lagi yaitu mutawatir 'amali, yaitu amalan agama yang dikerjakan
Nabi Muhammad lalu diikuti oleh sahabat dan seterusnya hingga sekarang, seperti

2
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 8

waktu shalat, jumlah rakaat shalat, adanya shalat ‘id, adanya shalat jenazah dan
seterusnya.
Mutawatir lafzhi menurut para ulama, jumlahnya sangat sedikit, bahkan menurut
Ibn Hibban dan al-Hazimi Hadis tidak ada. Al-Asqalani menolak pendapat ibn Hibban
dan al-Hazimi, menurutnya pandangan yang demikian itu terjadi karena kurang
mengetahui jalan-jalan atau keadaan-keadaan para rawi serta sifat-sifatnya yang
menghendaki bahwa mereka itu tidak mufakat untuk berdusta. Salah satu contoh
Hadis mutawatir lafzhi yang sering dikutip yaitu "barang siapa yang dengan sengaja
berbuat dusta atas namaku, niscaya ia menempati tempat duduknya dari api neraka".
Berbeda dengan mutawatir lafzhi, mutawatir maknawi tidak banyak diperdebatkan oleh
ahli Hadis, karena Hadis ini relatif jauh lebih banyak dan lebih mudah dijumpai karena
biasanya menyangkut aktifitas ibadah ritual.
Hadis-hadis mutawatir ini ini dapat diperoleh pada kitab-kitab Hadis para ulama,
tetapi untuk memudahkan memperoleh dan mengetahuinya terdapat ulama yang secara
khusus menulis kitab Hadis yang berisi Hadis-Hadis mutawatir, salah satu di antaranya
ialah: al-azhar al-Mutanatsirah fi al Akhbar al-Mutawatirah karya as-Suyuthi yang di
dalamnya memuat 112 buah Hadis.

Pembagian Hadis Mutawatir

a. Mutawatir lafzhi
Yaitu mutawatir dalam satu masalah yang diriwayatkan menggunakan lafazh satu
atau lebih namun satu makna, atau menggunakan susunan kata yang berbeda tapi
satu pengertian, yaitu tetap dalam satu konteks masalah itu, yakni Hadis yang sama
lafazh, hukum, dan maknanya
Contoh Hadis Mutawatir Lafzhi:

:‫صالِ ٍح َع ْن أَِِب ُىَريْ َرةَ قَ َال‬ ٍ‫ص‬


َ ‫ني َع ْن أَِِب‬
ِ ‫ي حدَّثَنَا أَبو عوانَةَ عن أَِِب ح‬
َ ْ َ ََ ُ
ٍ
َ ُّ ‫و َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن عُبَ ْيد الْغََُِب‬
‫ب َعلَ َّي ُمتَ َع ِّم ًدا فَ ْليَ تَ بَ َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم ْن النَّا ِر‬ ِ َّ ‫اَّللِ صلَّى‬
َ ‫ َم ْن َك َذ‬:‫اَّللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم‬ َ َّ ‫ول‬
ُ ‫قَ َال َر ُس‬
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid al-Ghubari telah
menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu

3
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 8

Hurairah dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa berdusta atas


namaku maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka." (HR.
Muslim)

Hadis ini diriwayatkan oleh 70 orang perawi ada thabaqah sahabat, dan jumlah
periwayat yang banyak ini terdapat pada thabaqah-thabaqah berikutnya.1

b. Mutawatir Maknawi
Yaitu Hadis yang mutawatir dalam kejadian yang berbeda-beda, tetapi ada suatu
kesamaan yang ditujukan oleh Hadis itu, baik dari segi isi maupun makna yang
tersirat, yakni Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, akan tetapi dapat
diambil maknanya.
Di antara contoh-contoh Hadis mutawatir maknawi ialah seperti Hadis yang
menerangkan danau Nabi Saw di akhirat. Hadis yang menerangkan hal ini
diriwayatkan oleh lebih dari lima puluh sahabat, sebagaimana yang dikatakan oleh
Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Ba'tsu wa Al-Nusyur. Bahkan Imam Al-Dhiya' Al-
Maqdiri telah menghimpun Hadis-Hadis tersebut dalam kitab Al-Jam'u
Contoh yang lain ialah Hadis-Hadis yang menerangkan syafa'at. Menurut Al-
Qhadi 'Iyadh, bahwa kuantitas rawi dari Hadis-Hadis tentang syafa'at ini mencapai
tingkat mutawatir, sebagaimana Hadis-Hadis yang menjelaskan tentang mengusap
sepatu. Menurut Ibnu Abdi Al-Bar, Hadis tentang hal ini tingkat mutawatir.

Syarat-syarat Hadis Mutawatir

Suatu Hadis baru dapat dikatakan Hadis mutawatir, bila Hadis itu memenuhi tiga
syarat, yaitu2:
1. Hadis yang diriwayatkan itu haruslah mengenai sesuatu dari Rasulullah SAW
yang dapat ditangkap oleh panca indera, seperti sikap dan perbuatannya yang

1Mahmud At-Thahan, Taysir Musthalah Hadis, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 2004), hlm 25
2Ismail, Syuhudi M., Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah, (Jakarta; Bulan Bintang, 1988), hal. 39

4
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 8

dapat dilihat dengan mata kepala atau sabdanya yang dapat didengar dengan
telinga.
2. Para rawi (orang-orang yang meriwayatkan Hadis) itu haruslah mencapai jumlah
yang menurut kebiasaan (adat) mustahil mereka sepakat untuk berbohong.
Tentang beberapa jumlah minimal para rawi tersebut terdapat perbedaan
pendapat dikalangan para ulama, sebagian menetapkan dua belas orang rawi,
sebagian yang lain menetapkan dua puluh, empat puluh dan tujuh puluh orang
rawi.
3. Jumlah rawi dalam setiap tingkatan tidak boleh kurang dari jumlah minimal
seperti yang ditetapkan pada syarat kedua.

Kehujjahan Hadis Mutawatir.

Hadis mutawatir mewajibkan umat untuk menerimanya secara bulat-bulat. Hal


ini dikarenakan di dalam Hadis mutawatir terdapat kebenaran yang pasti bahwa Hadis
tersebut benar-benar memuat segala hal yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW
seperti yang diriwayatkan oleh para perawi mutawatir.
Hal ini mengakibatkan pada tidak perlunya Hadis mutawatir untuk diteliti ulang
atau diperbaiki lagi karena jumlah dari para perawi yang telah mencapai batas
minimum dan menjamin Hadis tersebut bebas dari dusta. Setiap umat muslim haruslah
meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa Hadis mutawatir adalah salah satu sumber
hukum Islam yang sah.
Latihan

1. Jelaskan pengertian Hadis mutawatir secara bahasa dan istilah!


2. Sebutkan macam-macam Hadis mutawatir dan berikan contohnya!
3. Jelaskan kehujjahan Hadis mutawatir dalam hukum Islam!

5
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 9

HADIS AHAD

Capaian Pembelajaran

1. Mampu menjelaskan pengertian Hadis Ahad


2. Mampu menjelaskan klasifikasi Hadis Ahad
3. Mampu menganalisis kehujjahan Hadis Ahad

Uraian Materi

Pengertian Hadis Ahad


Hadis Ahad adalah Hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sedikit orang
yang tidak mencapai derajat mutawatir. Hadis ahad dikategorikan sebagai Hadis zhanny
as-tsubut. Hadis ahad mempunyai sisi lain yang memungkinkannya untuk ditolak atau
diabaikan dan tidak diamalkan.

Kata ahad berarti “satu”. Khabar al-Wahid adalah kabar yang diriwayatkan oleh
satu orang. Sedangkan menurut istilah Ilmu Hadis, Hadis Ahad berarti :

.‫ىو ما مل جيمع شروط املتواتر‬


“Hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir”.
’Ajjaj al-Khathib, yang membagi Hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada
tiga, bahwa ia mengatakan defenisi Hadis Ahad sebagai berikut:

.‫ىو ما رواه الواحد أ و اﻹ ثنان فاكثر مما مل تتوفو فيو شروط املشهور أو املتواتر‬
“Hadis Ahad adalah Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau
lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat Hadis Masyhur atau Hadis Mutawatir”.

Dari definisi ‘Ajjaj al-Khathib di atas dapat dipahami bahwa Hadis Ahad adalah Hadis
yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada Hadis Mutawatir
ataupun Hadis Masyhur.
Ada juga ulama yang mendefinisikan Hadis ahad secara singkat, yakni Hadis yang
tidak memenuhi syarat-syarat Hadis mutawatir, Hadis selain Hadis mutawatir atau

1
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 9

Hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi)
tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai
kepada qat’i dan yaqin.1

Menurut Al-Ma’udi, dalam bukunya Ilmu Musthalahah Hadis, yang dimaksud


dengan Hadis Ahad adalah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak
mencapai tingkat mutawatir2

Klasifikasi Hadis Ahad

Para Muhaddisin memberikan nama-nama tertentu bagi Hadis Ahad mengingat


banyak-sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqah dengan Hadis
Masyhur, Hadis ‘Aziz, dan Hadis Gharib

Hadis Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta
Masyhur belum mencapai derajat mutawatir.
1. Masyhur di kalangan para Muhaddisin dan
lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum).
2. Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu misalnya
hanya masyhur di kalangan ahli Hadis saja, atau ahli fiqh
saja, atau ahli tasawuf saja, atau ahli nahwu saja, atau lain
sebagainya
3. Masyhur di kalangan orang-orang umum saja
Hadis ‘Aziz Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua
orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja,
kemudian setelah itu, orang-orang pada meriwayatkannya.
selagi pada salah satu thabaqahnya (lapisannya) saja, di
dapati dua orang rawi

Hadis Gharib Hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang


menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian

1 Suparta, Munzier, Ilmu Hadis ( Jakarata: PT Raja Grafindo Persada,2002 ), hal.107


2 Rahman,Fatchur, Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung:PT Alma’arif, 1974), hal. 20

2
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 9

dalam sanad itu terjadi.

1. Gharib-Mutlak (Fard), Apabila penyendirian rawi dalam


meriwayatkan Hadis itu mengenai personalianya, maka
Hadis yang diriwayatkan disebut Gharib-mutlak.
2. Gharib-Nisby
3. Apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau
keadaan tertentu seorang rawi.

Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan Hadis ahad yang telah memenuhi
ketentuan maqbul hukumnya wajib, sedangkan golongan Qadariah, Rafidhah dan
sebagian ahli Zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar Hadis ahad hukumnya
tidak wajib3

Kehujjahan Hadis Ahad

1. Pendapat Imam Abu Hanifah


Imam Abu Hanifah dalam mengambil sumber atau dalil hukum dalam
menghadapi tuntutan ketetapan hukum terhadap masalah-masalah yang
dihadapinya atau yang timbul ditengah-tengah masyarakat, ia menempatkan
Hadis sebagai sumber penetapan hukum yang kedua sesudah al-Qur’an. Hal ini
diketahui melalui ulasan yang diberikan al-Baghdadi dalam buku tarikhnya,
dimana Abu Hanifah berkata: “saya terlebih dahulu mengambil pada kitab Allah,
tetapi kalau saya tidak menemukan di dalamnya, maka saya mengambil pada
sunnah Rasulullah SAW.
Banyak ulama yang menuduh Abu Hanifah mendahulukan qiyas daripada
Hadis. Namun tuduhan itu hanyalah didorong oleh perasaan apriori belaka. Al-
Sya’rani dalam kitabnya, al-Mizan al-Kubro menulis, bahwa Abu Hanifah berkata:
Demi Allah, telah berdusta dan telah mengada-ada terhadap saya, orang yang
mengatakan, sesungguhnya saya mendahulukan qiyas atau nash. Apakah
diperlukan qiyas sesudah nash.

3 Munzier Suparta.…, hal. 109

3
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 9

Jumhur ulama telah menegaskan, Abu Hanifah berhujjah dengan Hadis


mutawatir. Sebagian ulama Hanafiyah menyamakan Hadis masyhur dengan
Hadis mutawatir, dan sebagian dari mereka menegaskan Hadis masyhur tidak
menyangkut soal yang bersifat keyakinan, melainkan hanya yang bersifat dzanni
(diluar keyakinan atau akidah). Dengan kata lain, Hadis masyhur dapat
diamalkan dan di bawah peringkat Hadis mutawatir.
Berdasarkan keterangan di atas, nampak ada perbedaan di kalangan
ulama pengikut Abu hanifah dalam mendudukkan Hadis sebagai hujjah. Ada yang
menyamakan derajat Hadis masyhur dengan Hadis mutawatir, dan ada yang
berpandangan peringkat Hadis masyhur berada dibawah Hadis mutawatir. Ada
dualisme persepsi, namun pada hakikatnya, keduanya menyetujui Hadis
mutawatir sebagai Hadis yang dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
Abu Hanifah menerima Hadis ahad dengan menetapkan syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Periwayatannya tidak menyalahi riwayatnya
b. Riwayatnya tidak menyangkut soal yang umum
c. Riwayatnya tidak menyalahi qiyas
Hadis ahad didahulukan atas qiyas, jika:
1) Qiyas yang ‘illatnya mustanbath dari sesuatu yang dzanni.
2) Istinbath dzanni walau dari asal yang qath’i
3) Di-istinbath-kan dari yang qath’i, tapi penerapannya pada furu’ adalah
dzanni.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Abu Hanifah


menggunakan qiyas untuk menilai Hadis ahad sebagai alat untuk memproduk
hukum Islam. Dengan demikian dapat dikatakan, posisi Hadis ahad bagi Abu
Hanifah berada di bawah qiyas.
Abu Hanifah dapat menerima Hadis mursal dalam membina hukum Islam,
selama tidak bertentangan dengan al Qur’an, Hadis masyhur dan keterangan
syara’.

4
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 9

Pada prinsipnya Abu Hanifah menetapkan al-Qur’an sebagai sumber hukum


Islam yang pertama, menerima sunnah jika datang dari orang yang terpercaya,
menerima Hadis ahad sesudah al-Qur’an, jika Hadis ahad tersebut tidak
bertentangan dengan kaidah yang telah disepakati oleh ulama’, tidak termasuk
soal yang umum dan tidak menyalahi qiyas. Abu hanifah menerima juga Hadis
mursal sebagai hujjah jika tidak bertentangan dengan al Qur’an, serta
menggunakan Hadis mutawatir sebagai hujjah. Sedangkan kehujjahan Hadis
masyhur, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Hanafiyah.

2. Pendapat Imam Malik bin Anas


Imam Malik adalah imam dalam bidang fikih dan Hadis. Hal ini terlihat
pada kitabnya al-Muwaththa’. Al-Qadhi ‘Iyadh menyebutkan dalam kitab al-
Madari, bahwa dasar pegangan dalam menetapkan hukum Islam ada empat, yaitu
al-Kitab, al-sunnah, ‘amal ahli Madinah dan qiyas.
Menurut Imam Malik, didudukkan al-sunnah terhadap al-Quran dalam tiga
hal, yaitu:
a. Men-taqrir-kan hukum-hukum dalam al-Qur’an
b. Menerangkan apa yang dikehendaki al-Qur’an
c. Mendatangkan hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an
Mencermati pendapat Imam Malik tersebut, dapat ditegaskan bahwa
Imam Malik dalam membina hukum Islam, ia menempatkan al-sunnah sebagai
sumber pengambilan hukum yang kedua sesudah al-Qur’an. Imam Malik
memandang keberadaan al-sunnah sekaligus sebagai sumber bagi timbulnya
hukum-hukum baru di luar al-Qur’an.
Imam Malik menegaskan, dirinya menerima Hadis mursal, Hadis
munqathi’ dan Hadis-Hadis yang disampaikan periwayat kepadanya yang (dalam
kitab al Muwaththa’) di ta’birkan dengan ibarat balaghani (sampai kepadaku),
walaupun ia tidak terangkan sebab-sebab ia menerima Hadis-Hadis tersebut,
mengingat pada masa itu, belum dipersoalkan ulama tentang kedudukan Hadis
mursal , dan ia sendiri tidak menerima Hadis melainkan dari orang yang
dipercayainya.

5
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 9

Imam Malik menegaskan pula, dirinya berpegang kepada ‘amal penduduk


Madinah dan menggunakan qiyas dalam membina dan menetapkan masalah
hukum yang dihadapinya.
Adapun Hadis ahad, ulama-ulama Malikiyah tidak mengamalkannya bila
bertentangan dengan amalan-amalan atau ‘urf ulama-ulama madinah, mengingat
ada pandangan yang mengatakan bahwa amalan-amalan ulama Madinah sama
dengan riwayatnya.
Pada intinya, Imam Malik membina hukum-hukum Islam dengan
berdasarkan al-Qur’an sebagai sumber pembinaan yang pertama, kemudian
sunnah sebagai sumber pembinaan yang kedua. Dalam hal Hadis, Imam Malik
menerima Hadis masyhur, Hadis mursal dan Hadis mutawatir serta Hadis ahad.
Sementara khusus Hadis ahad, Imam Malik memberi syarat yaitu tidak
bertentangan dengan amalan-amalan ulama Madinah.

3. Pendapat Imam Syafi’i


Imam al-Syafi'i membagi prosedural ilmiah penetapan dalil-dalil hukum
dalam lima tingktan dengan urutan sebagai beriukut:

a. Al-Kitab dan al-Sunnah. Ditempatkannya al-sunnah sejajar dengan al-Kitab


karena al-sunnah merupakan penjelas bagi al-Kitab, walau Hadis ahad tidak
senilai dengan al-Kitab.

b. Ijma' ditempuh dalam berbagai masalah yang tidak diperoleh dalilnya dari al-
Kitab dan al- sunnah. Ijma' dalam hal ini, ialah ijma'-nya para fuqaha yang
memiliki ilmu khusus.

c. Qawl (pendapat) sebagian sahabat yang diketahui, tidak ada qawl lain yang
menyelisihinya.

d. Qawl-qawl sahabat yang bertentangan dengan qawl-qawl sahabat juga; dalam


hal ini, mengambil qawl yang paling kuat.

e. Qiyas, yaitu menetapkan hukum suatu masalah dengan menyamakan


(mengqiyas) hukum yang sudah ditetapkan oleh dalil di atas.

6
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 9

Menyimak pembagian prosedural ilmiah tersebut, dapat diketahui,


bahwa Imam Syafi'i dalam membina hukum Islam, ia menempatkan al-Qur`an
dan Hadis sebagai tempat bersandarnya ijma’, qawl sahabat dan qiyas. Dengan
kata lain, bahwa sumber yang digunakan Imam Syafi'i dalam membina hukum,
hanyalah dua, yaitu al-Qur`an dan Hadis. Adapun dalil-dalil lain dalam urutan
tingkatan di atas, hanyalah merujuk kepada al- Qur`an dan Hadis.

Dalam kitabnya, al-Risalah, Imam Syafi'i mengajukan sejumlah dalil yang


membuktikan ke-hujjah-an al-sunnah. Hadis ahad, Imam Syafi'i menerimanya,
namun dengan syarat sebagai berikut:
1. Periwayatnya adalah orang yang dipercaya

2. Periwayatnya berakal atau memahami apa yang diriwayatkan


3. Periwayatnya dhabith
4. Periwayatnya benar-benar mendengar Hadis itu dari orang yang
meriwayatkannya

5. Periwayatnya tidak menyalahi ahli ilmu yang juga meriwayatkan Hadis


yang sama.

Sedangkan Hadis mursal, Imam Syafi'i tidak menerima secara mutlak dan
tidak menolaknya secara mutlak. Hadis mursal dapat diterima Imam Syafi'i
dengan dua syarat; pertama, Hadis mursal itu disampaikan oleh tabi'in yang
banyak berjumpa dengan sahabat; kedua, ada petunjuk yang menguatkan sanad
Hadis ahad itu. Walaupun Hadis mursal diterima Imam Syafi'i sebagai hujjah,
namun menurutnya tidaklah sederajat dengan hadis ahad; dan demikian juga
Hadis ahad, dapat diterima, tetapi tidak sejajar dengan al-Qur`an dan Hadis
mutawatir.

Adapun kedudukan Hadis terhadap al-Qur`an, menurut Imam Syafi'i


adalah sebagai berikut:

1. Menerangkan ke-mujmal-an al- Qur`an, seperti menerangkan ke- mujmal-


an ayat shalat

2. Menerangkan ‘am al-Qur`an, yaitu ‘am yang dikehendaki khash

7
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 9

3. Menerangkan fardu-fardu dari fardu-fardu yang telah ditetapkan al


Qur`an

4. Menerangkan mana yang nasikh danmana yang mansukh dari ayat-ayat al-
Qur`an

Berdasarkan penjelasan tersebut, tergambar dengan jelas, bahwa Imam


Syafi'i dalam menetapkan hukum menempatkan sunnah sejajar dengan al-Qur`an.
Menurutnya, kedua dalil itu sama-sama berasal dari Allah dan keduanya
merupakan sumber ajaran Islam.

Imam Syafi'i memakai ijma', qawl sahabat dan qiyas dengan merujuk pada
kedua sumber ajaran Islam tersebut. Selanjutnya, Imam Syafi'i menerima Hadis
ahad sebagai hujjah dengan syarat, harus dari periwayat yang dapat dipercaya
dan memenuhi kriteria tam al-dhabth. Imam Syafi'i menerima juga Hadis mursal
dengan syarat, periwayatnya banyak berjumpa dengan sahabat dan sanad-nya
dapat dipercaya.Menurutnya, posisi Hadis mutawatir lebih tinggi dari pada Hadis
ahad dan Hadis mursal.

4. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal

Sumber kedua yang dipegang Imam Ahmad bin Hanbal dalam


menetapkan hukum terhadap masalahyang dihadapinya, adalah al-sunnah. Imam
Ahmad bin Hanbal menegaskan, untuk mencari apa yang ada dalam al- Qur`an
harus melalui al-sunnah. Jika ada orang yang mencari sesuatu dalam al-Qur`an
tanpa melalui al-sunnah, maka ia akan menempuh jalan kesesatan. Hal ini
karena:
1. Al-Qur`an mengharuskan kita mengikuti Rasul (sunnahnya)
2. Ada Hadis-Hadis yang mengharuskan kita mengikuti Rasul dan melarang kita
menghadapi al-Qur`an saja dan membelakangi al-sunnah
3. Hukum yang disepakati olehpara muslimin banyak yang diambil dari al-
sunnah, karena itu menghilangkan al-sunnah, berarti menghilangkan 9/10
hukum Islam

8
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 9

Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadis ahad hanya dapat digunakan


dalam bidang ‘amali (pengamalan) dan tidak boleh digunakan dalam bidang
i'tiqadi (akidah). Akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan Hadis ahad
dalam kedua bidang tersebut, baik itu ‘amali maupun i'tiqadi.
Imam Ahmad bin Hanbal menerima Hadis mursal jika berasal dari seorang
sahabat atau seorang tabi'in atau tabi' at-tabi'in. Hadis yang datang dari luar
kelompok tersebut, tidak diterimanya. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah
seorang pembina hukum Islam dan banyak yang mengikutinya. Ia menerima
Hadis dha'if bila keadaan darurat.
Imam Ahmad bin Hanbal memegangi Hadis yang berkualitas dha'if,
dengan syarat, periwayatnya bukan orang yang sengaja berdusta dan tidak
menemukan penjelasan masalahnya dalam Hadis, baik dalam Hadis shahih
maupun dalam Hadis hasan.
Keterangan di atas menggambarkan dengan jelas, Imam Ahmad bin
Hanbal mengakui ke-hujjah-an al-sunnah dengan tegas dan jelas, dengan
menggolongkan orang-orang yang menolak al-sunnah sebagai orang-orang sesat.
Imam Ahmad bin Hanbal ber-hujjah dengan Hadis mutawatir, Hadis ahad, Hadis
mursal dan Hadis dha'if. Bahkan ia mendahulukan Hadis dha'if dari pada qiyas.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan tersebut,
dapat dikatakan, bahwa para Imam Mazhab Empat dalam kegiatan menetapkan
hukum terhadap seluruh masalah yang dihadapi pada masa hidupnya sebagai
ulama mujtahid, menggunakan Hadis sebagai sumber yang kedua. Namun
demikian, di antara mereka menekankan persyaratan-persyaratan bagi sebuah
Hadis yang dapat diterimanya sebagai hujjah.

Latihan
1. Jelaskan pengertian Hadis Ahad secara bahasa dan istilah!
2. Sebutkan macam-macam Hadis Ahad!
3. Jelaskan kehujjahan Hadis Ahad sebagai dasar hukum Islam!

9
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 9

Tugas/Lembar Kerja
Disajikan contoh Hadis, mahasiswa diminta mengidentifikasi kehujjahan Hadis tersebut.

Tes Formative/Kunci Jawaban (PG menggunakan googleform)


Umpan Balik/Tindak Lanjut

Umpan Balik

10
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 10

HADIS SHAHIH

Capaian Pembelajaran

1. Mampu menjelaskan pengertian Hadis Shahih


2. Mampu mengidentifikasi kriteria Hadis shahih
3. Mampu menyebutkan macam-macam Hadis shahih
4. Mampu menganalisis kehujjahan Hadis shahih

Uraian Materi
Definisi Hadis Shahih
Kata Shahih dalam bahasa diartikan dengan orang yang sehat. Antonim dari kata
al saqim artinya orang yang sakit. Dikatakan Hadis shahih dikarenakan Hadis tersebut
sehat, dalam arti Hadis tersebut benar-benar sehat tidak terdapat penyakit dan tidak
cacat.
Mahmud at-Thahan dalam kitab Taisir fi Mustholah al-Hadis, mendefinisikan
dengan:

‫الضبط عن مثلو إىل منتهاه من غري شذوذ وال علّة‬


ّ ‫اتم‬
ّ ‫ما اتّصل سنده بنقل العدل‬
Dalam ungkapan berbeda:
‫الشذوذ والعلّة‬
ّ ‫الضابط ضبطا كامال عن مثلو وخال من‬
ّ ‫ىو ما اتّصل سنده بنقل العدل‬
“Hadis shahih adalah Hadis yang muttashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan
oleh orang adil dan dhabith (kuat daya ingatnya), kamilan (sempurna) dari yang
serupa dengannya, selamat dari Syudzudz (kejanggalan-kejanggalan) dan ‘illat
(cacat)”

Di antara ulama juga ada yang mendefiniskan dengan:


ّ‫السند غري معلّل وال شاذ‬
ّ ‫الضبط متّصل‬
ّ ‫اتم‬
ّ ‫مانقلو عدل‬
“Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung, tidak ber’illat dan tidak syadz”

Kriteria Hadis Shahih


Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria Hadis shahih sebagai berikut:

1
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 10

1. Rangkaian periwayat dalam sanad itu harus bersambung mulai dari


periwayat pertama sampai periwayat terakhir.
2. Para periwayatnya harus terdiri dari orang-orang yang tsiqah, dalam arti adil
dan dhabit.
3. Hadisnya terhindar dari ‘illat (cacat)
4. Hadisnya tidak syadz, yakni tidak lebih lemah dibanding dengan riwayat lain
yang bertentangan
5. Para periwayat yang terdekat dalam sanad harus satu zaman.

Syarat-syarat Hadis Shahih:


Berdasarkan dari kutipan definisi serta keterangan di atas, maka dapat diketahui
ada 5 syarat yang harus terdapat pada sebuah Hadis untuk bisa dikatakan shahih;
1. Ittishal al-sanad (sanadnya bersambung); artinya ada ketersambungan
perawi yang meriwayatkan Hadis.
2. ‘Adalah ar-ruwah ( Periwayat yang bersifat adil); pengertian ‘adil di sini
adalah bersifat konsisten (istiqamah) dalam beragama, baik akhlaknya, tidak
fasik dan tidak melakukan perbuatan yang dapat merendahkan derajatnya
(cacat muru’ah).
Dalam menilai sifat ‘adil pada diri seorang perawi maka bisa dilakukan
dengan salah satu cara berikut:
a. Keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu
bersifat ‘adil.
b. Khusus mengenai periwayat Hadis pada tingkat sahabat, jumhur ulama
sepakat bahwa seluruh sahabat adalah ‘adil. Pandangan berbeda datang
dari golongan muktazilah yang menilai bahwa sahabat yang terlibat
dalam pembunuhan ‘Ali dianggap fasik, periwayatannya pun ditolak.
3. Dhabth ar-ruwah artinya perawi yang memiliki daya ingat hafalan terhadap
Hadis yang diriwayatkannya dengan hafalan yang sempurna.
Dalam definisi di atas disyaratkan adanya kesempurnaan dhabith,
Maksudnya adalah bahwa masing-masing periwayatnya sempurna daya
ingatannya, baik ingatan pada tulisannya atau hafalannya. Artinya sekiranya

2
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 10

Hadisnya dibutuhkan dapat menunjukkan dengan cepat baik melalui hafalan


atau tulisannya.
Menurut para ulama, ada 2 cara untuk mengetahui sifat-sifat ke-
dhabith-an periwayat:
a. Kesaksian para ulama
b. Berdasarkan kesesuaian periwayatannya dengan riwayat orang lain
yang telah di kenal ke-dhabith-annya.
4. ‘Adam as-Syudzudz artinya terhindar dari adanya kejanggalan-kejanggalan.
Syudzudz merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata Syadz. Maksud syadz di
sini adalah bahwa periwayatan perawi terhadap Hadis diyakini bertentangan
dengan periwayatan Hadis perawi-perawi lain yang terpercaya (tsiqah).
Sehingga dengan demikian, syadz dalam sebuah periwayatan Hadis harus
dihindari, karena adanya syadz menjadikan kualitas Hadis menjadi turun,
dan tidak bisa digolongkan dalam Hadis shahih.
5. ‘Adam al-‘illah artinya selamat dari adanya cacat yang tersembunyi. Maksud
‘illat di sini adalah suatu sebab yang tersembunyi yang membuat cacat suatu
Hadis.
“Illat Hadis dapat terjadi pada sanad maupun pada matan atau pada
keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak
terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap Hadis
yang munqathi’ atau mursal.

Macam-macam Hadis Shahih


Para ulama ahli Hadis membagi Hadis shahih menjadi dua macam yaitu:
a. Hadis Shahih Li-Dzatih
Ialah Hadis shahih dengan sendirinya, artinya Hadis shahih yang
memiliki lima syarat atau kiteria sebagaimana disebutkan pada
persyaratan di atas, atau Hadis shahih adalah:
“Hadis yang melengkapi setinggi-tinggi sifat yang mengharuskan kita
menerimanya”

3
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 10

Dengan demikian penyebutan Hadis shahih li dzatih dalam


pemakaiannya sehari-hari pada dasarnya cukup memakai sebutan
dengan Hadis shahih.
Contoh :

‫ح ّدثنا عبد هللا بن يوسف قال أخربان مالك عن ابن شهاب عن دمحم بن جبري بن مطعم عن‬
}‫أبيو قال مسعت رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص قرأ يف املغرب ابلطّور { رواه البخاري‬

Hadis ini dinamakan Hadis shahih li dzatihi karena:


a. Sanadnya muttashil; semua periwayatnya mendengar Hadis langsung dari
gurunya, adapun ‘an‘anah-nya Malik dari Ibn Syihab dan Ibn Jabir termasuk
muttashil, Karena mereka bukan orang yang me-mudallas-kan (menyamarkan
cacatnya) sanad.
b. Para periwayatnya semua adil, sempurna dhabith-nya, dan menjaga muru’ah.
- Abdullah bin Yusuf dijuluki oleh ulama Hadis sebagai rijal yang tsiqah dan
muttaqin.
- Malik bin Anas adalah imam muhaddisin dan fuqaha’, al-hafizh dan amirul
mukminin fil Hadis (hafal semua Hadis yang jumlahnya lebih dari 300.000
Hadis).
c. Ibnu Syihab az-Zuhri adalah faqih, muttaqin, amirul mukminin fil Hadis
d. Muhammad bin Jabir adalah tsiqah
e. Jabir bin Muth’im adalah sahabat yang ‘adil dan dhabith
f. Hadisnya tidak bertentangan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh rijal yang
lebih tsiqah.
g. Tidak terdapat cacat yang mengurangi derajat keshahihan Hadis.

Contoh lain:
‫البغدادي ح ّدثنا إمساعيل ابن عُليَّةَ ح ّدثنا خالد احل ّذاء عن أيب‬
ّ ‫ح ّدثنا أمحد بن منيع‬
‫قِالبة عن عائشة قالت قال رسول هللا صلى هللا عليو وسلّم إ ّن من أكمل املؤممنني إمياان‬
} ‫أحسنُهم خلقا وألطَُفهم أبىلو { رواه الرتمذى‬
“Dari Aisyah r.a., ujarnya: Rasulullah SAW bersabda: Termasuk

4
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 10

penyempurnaan iman seorang mukmin, ialah keluhuran budi pekertinya


dan kelemah-lembutan terhadap keluarganya”.

Contoh berikutnya adalah:


‫ بين االسالم‬: ‫عن ابن عمر رضي هللا تعاىل عنهما عن النيب صلى هللا عليو وسلّم قال‬
،‫ وإيتاء الّزكاة‬،‫الصالة‬
ّ ‫ وإقام‬،‫ شهادة أن ال إلو إال هللا وأن دمحما رسول هللا‬: ‫على مخس‬
} ‫ و حج البيت { رواه البخارى ومسلم‬،‫وصوم رمضان‬

“Dari Ibnu Umar ra. Rasulullah SAW bersabda: “Dasar (pokok) Islam itu
ada lima perkara: mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan mengaku
bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan Sholat
(sembahyang), membayar zakat, menunaikan puasa di bulan Ramadhan
dan menunaikan ibadah haji” (HR. Bukhari dan Muslim).

b. Hadis Shahih li-ghairih.


Yang dimaksud dengan Hadis li-ghairih adalah Hadis yang keshahihannya
dibantu adanya keterangan lain. Hadis pada kategori ini pada mulanya
memiliki kelemahan pada aspek ke-dhabith-annya, sehingga dianggap
tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai Hadis shahih.
Contoh Hadis shahih li ghairih:

‫الرمحن عن أيب‬ ِ
ّ ‫حممد بن حيي قال ح ّدثنا مالك عن ابن شهاب عن ُمحيد بن عبد‬
ّ ‫أنبأان‬
‫ابلسواك‬
ّ ‫ىريرة أ ّن رسول هللا صلّى هللا عليو وسلّم قال لوال أن أ ُش َّق على ّأميت أل ََم ْرهتُم‬
}‫كل وضوء { رواه النسائ يف سننو الكربى‬
ّ ‫مع‬
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami, Muhammad ibn Yahya, ia
berkata: telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibn Syihab dari
Humaid ibn Abdurrahman dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda: sekiranya tidak menyusahkan ummatku, tentulah aku akan
perintahkan mereka bersiwak pada tiap kali wudhu. ( HR. An Nasa’i, dalam
Sunan Kubro)

5
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 10

Tingkatan Derajat Hadis Shahih


1. Hadis muttafaq ‘alaihi (‫عليو‬ ‫متفق‬ ) adalah Hadis yang sanadnya disepakati oleh

Imam Bukhari dan Imam Muslim. Artinya Imam Bukhari meriwayatkan Hadis
melalui sanad yang sama dengan sanad yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

2. Hadis riwayat Bukhari sendirian ( ‫)ما انفرد بو البخاري‬ adalah Hadis yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendirian

3. Hadis riwayat Muslim sendirian ( ‫)ما انفرد بو مسلم‬ adalah Hadis yang

diriwayatkan oleh Imam Muslim sendirian


4. Hadis yang sanadnya memenuhi syarat shahih Buhkari dan shahih Muslim
namun Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan dalam kitab sahih keduanya

( ‫ومسلم‬ ‫)ما على شرط البخاري‬


5. Hadis yang sanadnya memenuhi syarat shahih Bukhari saja, namun Bukhari tidak

meriwayatkannya dalam kitab shahihnya. ( ‫البخاري‬ ‫)ما على شرط‬


6. Hadis yang sanadnya memenuhi syarat shahih Muslim, namun Imam Muslim

tidak meriwayatkannya dalam kitab shahihnya. ( ‫مسلم‬ ‫)ما على شرط‬


7. Hadis yang sanadnya shahih menurut selain Imam Bukhari dan Muslim, seperti:
shahih menurut Ibnu Hibban, shahih menurut Ibnu Huzaimah, shahih menurut
Ibnu Majah, shahih menurut Imam al-Hakim, dan lain-lain tapi tidak shahih
menurut Bukhari dan Muslim.

Urutan Sanad Yang Paling Shahih atau Yang Biasa disebut Silsilah Emas

( ‫أصح األسانيد أو سلسلة ال ّذىب‬


ّ (
I. Dari sahabat Abdullah bin Umar: “Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar”. (silsilah adz -
dzahab /sanad yang paling shahih)
II. Dari sahabat Anas bin Malik : “Humad bin Salmah dari Tsabit dari Anas.”

6
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 10

III. Dari sahabat Abu Hurairah: “Suhail bin Abi Shalih dari Ayahnya dari Abi
Hurairah.”

Kehujjahan Hadis Shahih


Hadis shahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi kedudukannya dari Hadis
hasan dan dha’if. Semua ulama sepakat menerima Hadis shahih sebagai sumber ajaran
Islam atau hujjah yang dapat diterima untuk menentukan masalah aqidah, hukum dan
akhlak, artinya kehujjahan Hadis shahih tidak ada perbedaan, semua sepakat bahwa
kehujjahannya diterima dan boleh diamalkan.
Adapun tentang Hadis Ahad, para ulama sependapat bahwa Hadis ahad yang
shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan syariat Islam, namun mereka
berbeda pendapat, Apabila Hadis kategori ini dijadikan untuk menetapkan soal-soal
aqidah.
Perbedaan di atas berpangkal pada perbedaan penilaian mereka tentang
faedah yang diperoleh dari Hadis ahad yang shahih, yaitu apakah Hadis semacam itu
memberi faedah qath’i sebagaimana Hadis mutawatir, maka Hadis-Hadis tersebut
dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan masalah-masalah aqidah. Akan tetapi
yang menganggap hanya memberi faedah zhanni, berarti Hadis-Hadis tersebut tidak
dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan soal ini.

Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat, sebagai berikut :


Pertama : menurut sebagian ulama bahwa Hadis shahih tidak memberi faidah
qath’i sehingga tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan soal aqidah.
Kedua : menurut An-Nawawi bahwa Hadis-Hadis shahih yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim memberikan faedah qath’i.
Ketiga : Pendapat Ibn Hazm, bahwa semua Hadis shahih memberikan faedah
qath’i, tanpa dibedakan apakah diriwayatkan oleh kedua ulama di atas atau
bukan jika memenuhi syarat ke shahih-hannya, adalah sama dalam
memberikan faedahnya.

7
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 10

Kitab Hadis yang paling Shahih

Buku yang khusus mengumpulkan Hadis shahih pertama kali adalah Shahih
Bukhari, kemudian Shahih Muslim

Secara umum ulama sepakat bahwa Shahih Bukhari lebih unggul dibanding
shahih Muslim, dikarenakan:

a. Hadis-Hadis dalam Shahih Bukhari lebih mutthasil karena mensyaratkan harus


terbukti adanya pertemuan antara guru, sedangkan Muslim cukup dengan bukti
sezaman antara guru dan murid sudah dianggap muttashil.
b. Bukhari lebih berhati-hati dalam menentukan ke-tsiqah-an periwayat.
c. Hadis-Hadis Bukhari mengandung berbagai permasalahan yang lebih lengkap
sehingga lebih detail dalam hal menggali hukum fiqh.

Namun demikian, Shahih Muslim sistematikanya lebih bagus dibanding


sistematika Shahih Bukhari karena dalam Shahih Muslim tidak memotong matan Hadis
dan tidak mengulang-ulang sanad. Sehingga lebih mudah mencari Hadisnya.

Latihan

1. Jelaskan pengertian Hadis shahih secara bahasa dan istilah!


2. Sebutkan macam-macam Hadis shahih dan berikan contohnya!
3. Jelaskan kehujjahan Hadis shahih dalam hukum Islam!

8
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 10

Tugas/Lembar Kerja
Disajikan contoh Hadis, mahasiswa diminta mengidentifikasi antara apakah dalam Hadis
tersebut terdapat syarat-syarat Hadis shahih atau tidak.

Disajikan contoh Hadis shahih lidzatihi dan Hadis shahih lighairihi dan mahasiswa
diminta untuk menghafalkan lengkap sanad dan matannya.

Tes Formative/Kunci Jawaban (PG menggunakan googleform)


Umpan Balik/Tindak Lanjut

Umpan Balik

9
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 11

HADIS HASAN

Capaian Pembelajaran

1. Mampu menjelaskan pengertian Hadis hasan


2. Mampu mengidentifikasi kriteria Hadis hasan
3. Mampu menyebutkan macam-macam Hadis hasan
4. Mampu menganalisis kehujjahan Hadis hasan

Uraian Materi
Definisi Hadis Hasan
Hasan menurut bahasa berarti baik atau bagus.
Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan Hadis hasan, di antaranya
adalah:
 Menurut pendapat al-Khitabi: “Hadis yang diketahui sumbernya,
periwayat-periwayatnya diterima oleh kebanyakan ulama dan matan
Hadisnya digunakan oleh umumnya ahli fiqh”
 Menurut pendapat at-Tirmidzi: “Tiap-tiap Hadis yang pada sanadnya
tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada matan-nya) tidak ada
kejanggalan (syadz) dan (Hadis tersebut) diriwayatkan pula melalui
jalan lain”.
 Menurut pendapat Ibnu Hajar, ”Hadis hasan adalah Hadis yang
dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang
muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil.”
Berdasarkan ketiga pendapat di atas, pendapat yang paling rajih (kuat)
adalah pendapat Ibnu hajar al-Asqalani yaitu: “Hadis ahad yang diriwayatkan oleh
orang yang adil dan lebih ringan kedzabitan rijalnya jika dibandingkan dengan rijal
al Hadis shahih, sanadnya sambung, tidak cacat dan tidak syadz”.
Dari uraian di atas maka dapat dipahami bahwa Hadis Hasan tidak
memperlihatkan kelemahan dalam sanadnya, hanya kurang kesempurnaan
hafalannya. Hadis hasan hampir sama dengan Hadis shahih, perbedaannya hanya
mengenai hafalan, di mana Hadis hasan rawinya tidak kuat hafalannya.

1
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 11

Syarat-syarat Hadis Hasan


Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suatu Hadis untuk bisa dikategorikan
sebagai Hadis hasan, yaitu:
a. Para perawinya yang adil,
b. Derajat ke-dhabith-an perawinya di bawah perawi Hadis shahih,
c. Sanad-sanadnya bersambung,
d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz,
e. Tidak mengandung ‘llat.

Pembagian Hadis Hasan


Para ulama Hadis membagi Hasan menjadi dua bagian yaitu :
a. Hadis Hasan Li-dzatih
Yang dimaksud Hadis hasan Li-Dzatih adalah Hadis hasan dengan sendirinya,
yakni Hadis yang telah memenuhi persyaratan Hadis hasan yang lima.
Menurut Ibn Ash-Shalah, pada Hadis hasan li-dzatih para perawinya terkenal
kebaikannya, akan tetapi daya ingatannya atau daya kekuatan hafalan belum sampai
kepada derajat hafalan para perawi yang shahih.
Contoh Hadis Hasan li-dzatih:

‫ونّ عن أىب بكر بن أىب موسى‬ ِ َ‫الضبعي عن أىب ِعمران اجل‬


ّ ‫ح ّدثنا قُتيبة ح ّدثنا جعفر بن سليمان‬
‫ إ ّن أبواب‬:‫الع ُد ِّو يقول قال رسول هللا صلّى هللا عليو وسلّم‬ ْ َ‫ مسعت أىب ِِب‬:‫األشعري قال‬
َ ‫ضَرِة‬ ّ
) ‫ (رواه الرتمذى‬.‫السيوف‬ ّ ‫اجلنّة حتت ظالل‬
“Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya pintu surga di bawah bayang-bayang
pedang.”

Hadis ini hasan, karena sanadnya bersambung, tidak ada cacat, tidak syadz, semua
rijalul Hadis-nya adil dan dhabith. Hanya saja Ja’far bin Sulaiman Adz Dzuba’i lebih
ringan ke-dhabith-annya dibanding rijalul Hadis shahih.
Contoh lain:

2
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 11

‫سهل عن أبيو‬ ِ
ْ ‫بن عبد هللا بن جعفر ح ّدثنا َم ْع ُن بن عيسى ح ّدثنا أ ََُب بن عبّاس بن‬
ُ ‫علي‬
ّ ‫ح ّدثنا‬
) ‫ف (رواه البخارى‬
ُ ‫يب صلّى هللا عليو وسلّم يف حائطنا فرس يقال لو الل َحْي‬
ّ ّ‫ كان للن‬:‫عن ج ّده قال‬
“Diceritakan bahwa Rasulullah SAW memiliki seekor kuda, ditaruh dikandang kami
yang diberi nama al-Luhaif.”(HR. Bukhori)
Hadis ini hasan karena sanadnya bersambung, tidak ada cacat, tidak syadz,
semua rijalul Hadis-nya adil dan dhabith. Hanya saja Ubay bin Abbas lebih ringan ke-
dhabith-annya dibanding dengan rijalul Hadis shahih.

b. Hadis Hasan li-ghairih


Hadis Hasan li-ghairih adalah Hadis yang ringan ke-dha’if-annya jika ada
Hadis yang semakna dengan sanad yang berbeda, maka Hadis dha’if tersebut naik
derajat menjadi Hadis hasan li-ghairih.
Adapula yang mendefinisikan Hadis Hasan li-ghairih dengan Hadis Hasan
yang bukan dengan sendirinya, artinya Hadis yang menduduki kualitas Hasan,
karena dibantu oleh keterangan Hadis lain yang sanadnya Hasan. Jadi Hadis yang
pertama itu terangkat derajatnya oleh Hadis yang kedua, dan yang pertama itu
disebut Hadis Hasan.

Syarat-syarat Hadis hasan li-ghairih adalah:


1. Ada sanad lain satu atau lebih yang sederajat atau lebih kuat.
2. Sebab ke-dha’if-annya adalah bukan karena sebagai berikut:
a. Al-kadzib (bohong)
b. Muttaham bi al-kadzib (dianggap bohong)
c. Munkar al-Hadis ( bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah )
d. Fahsy al-ghalath ( sering melakukan kesalahan yang fatal dalam
meriwayatkan Hadis )
3. Sebab ke-dha’if-annya adalah disebabkan karena berikut:
 Su’ al-hifzhi (buruk hafalannya)
 Mastur, majhul, mubham, artinya di antara rijalul Hadis-nya yang
meriwayatkan tidak dikenal identitasnya.

3
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 11

 Mudallis, artinya terdapat rijalul Hadis yang menyamarkan sanad, seperti


menyamarkan nama gurunya atau membuang rijalul Hadis yang dha’if di
antara dua thabaqah rijal yang tsiqah.
 Munqathi’ artinya rentetan rijalul Hadis-nya ada yang putus.

Contoh Hadis Hasan li-ghairih:

‫وحممد بن جعفر قالوا‬ ّ ‫مهدي‬


ّ ‫الرمحن بن‬
ّ ‫بشار ح ّدثنا حيي بن سعيد وعبد‬
ّ ‫حممد بن‬ ّ ‫ح ّدثنا‬
‫ح ّدثنا ُش ْعبَةُ عن عاصم بن عُبَ ْي ِد هللا قال مسعت عبد هللا بن عامر بن ربيعة عن أبيو أ ّن‬
‫ت من‬ ِ ‫ضي‬ِ
ْ ‫امرأة من بىن فَ َز َارَة تزوجت على نعلني فقال رسول هللا صلّى هللا عليو وسلّم أ ََر‬
) ‫نفسك ومالك بنعلني قالت نعم قال فأجازه ( رواه الرتمذى‬
Hadis yang diriwayatkan oleh at Tirmidzi ini adalah Hadis dha’if karena
‘Ashim bin Ubaidillah hafalannya buruk (su’ al-hifzhi). Namun karena ada
riwayat lain yang menguatkannya maka naik derajat menjadi hasan li ghairih.
Adapun sanad yang lain adalah:

‫ي قاال ح ّدثنا وكيع عن سفيان عن‬ ِّ ‫الس ِر‬


َّ ‫بن‬
ُ ‫َّاد‬
ُ ‫وىن‬َ ‫الض ِريْ ُر‬
َّ ‫ ح ّدثنا أبو عمر‬: ‫ قال ابن ماجو‬
‫عاصم بن عُبَ ْي ِد هللا بن عبد هللا بن عامر بن ربيعة عن أبيو‬
‫ ح ّدثنا وكيع عن سفيان عن عاصم بن عبيد هللا بن عبد هللا بن عامر‬: ‫ قال أمحد بن حنبل‬
‫بن ربيعة عن أبيو‬
Contoh lain:
‫بن احلس ِن الكويف ح ّدثنا أبو حيي إمساعيل بن إبراىيم التّيمي عن يزيد بن أَب‬
ُ ‫ح ّدثنا علي‬
‫زايد عن عبد الرمحن بن أىب ليلى عن البَ َر ِاء بن عازب قال قال رسول هللا صلّى هللا عليو‬
ِ
‫اجلمعة‬ ‫يوم‬
َ ‫حق على ادلسلمني أن يغتسلوا‬ ٌّ ‫وسلّم‬
Hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi ini adalah Hadis dha’if karena Abu
Yahya Ismail bin Ibrahim at-Taimy adalah rijalul Hadis yang pernah me-mudallas-
kan sanad (menyembunyikan cacatnya sanad). Namun karena ada riwayat lain yang
menguatkannya maka derajatnya menjadi hasan li ghairih. Adapun sanad lainnya
adalah sebagai berikut:

4
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 11

‫بن‬
ُ ‫بن انفع أخربان معاويةُ عن حيي أخربان أبو َسلَ َم َة‬ ُ ِ‫الرب‬
ُ ‫يع‬ َّ ‫ ح ّدثنا أبو تَ ْوبَ َة‬: ‫ قال أبو داود‬
‫الرمحن أ ّن أاب ىريرة أخربه أ ّن عمر بن اخلطّاب‬ ّ ‫عبد‬
‫اعي ح ّدثنا‬ ِ
ّ ‫بن ادلبارك عن األوز‬ ُ ‫ ح ّدثنا أبو بكر بن أىب َشْي بَ َة ح ّدثنا عبد هللا‬: ‫ قال ابن ماجو‬
‫بن أوس الثَّ َقفي قال‬ ِ ِ
ُ ‫أوس‬
ُ ‫بن َعطيَّةَ ح ّدثىن أبو األَ ْش َعث ح ّدثىن‬ ُ ‫حسا ُن‬
ّ
Maratib (Tingkatan derajat) Hadis Hasan:
I. Pertama: Hadis yang dikatakan shahih dan ada yang mengatakan hasan. Yaitu
yang diriwayatkan oleh :
 Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya.
 Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya
 Ibnu Ishaq dari at-Taimy
II. Kedua: Hadis yang dikatakan hasan dan ada yang mengatakan dha’if. Yaitu yang
diriwayatkan oleh:
 Al-Haris bin Abdullah
 Ashim bin Dhamrah
 Hajjaj bin Arthah

Jika ada ucapan ‫ىذا حديث صحيح اإلسناد‬ artinya sanadnya muttashil, diriwayatkan

oleh orang yang adil dan sempurna ke-dhabith-annya.

Jika ada ucapan ‫ىذا حديث حسن اإلسناد‬ artinya sanadnya muttashil, diriwayatkan

oleh orang yang adil dan ringan ke-dhabith-annya.

Jika Tirmidzi mengatakan ‫ ىذا حديث حسن صحيح‬artinya ada dua kemungkinan:
1. Jika hanya satu sanadnya, maka artinya shahih menurut satu kaum dan hasan
menurut kaum lainnya.
2. Jika sanadnya banyak maka artinya sanad satunya shahih dan sanad yang
satunya hasan.
3. Hadis tersebut dinilai Hadis hasan lidzatih dan shahih lighairih.

5
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 11

Kehujjahan Hadis Hasan


Sebagaimana Hadis Shahih, menurut para ulama ahli Hadis, bahwa Hadis
Hasan, baik Hasan li dzatih maupun Hasan li-ghairih, juga dapat dijadikan hujjah
untuk menetapkan suatu hukum, harus diamalkan. Hanya saja terdapat perbedaan
pandangan di antara mereka dalam soal penempatan rutbah (urutannya), yang
disebabkan oleh kualitasnya masing-masing.
Kedudukan Hadis hasan li daztih adalah dibawah Hadis shahih li ghairih dan
di atas Hadis hasan li ghairih.

Latihan

1. Jelaskan pengertian Hadis hasan secara bahasa dan istilah!


2. Sebutkan macam-macam Hadis hasan dan berikan contohnya!
3. Jelaskan kehujjahan Hadis hasan dalam hukum Isla

Tugas/Lembar Kerja
Disajikan contoh Hadis, mahasiswa diminta mengidentifikasi antara apakah dalam Hadis
tersebut termasuk pada tingkat hasan lidzatihi atau hasan lighairihi.
Disajikan contoh Hadis hasan, mahasiswa diminta menghafalkan lengkap matan dan
sanadnya.
Tes Formative/Kunci Jawaban (PG menggunakan googleform)
Umpan Balik/Tindak Lanjut

Umpan Balik

6
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 12

HADIS DHA’IF

Capaian Pembelajaran

1. Mampu menjelaskan pengertian Hadis Dha’if


2. Mampu mengidentifikasi kriteria Hadis Dha’if
3. Mampu menyebutkan macam-macam Hadis Dha’if
4. Mampu menganalisis kehujjahan Hadis Dha’if

Uraian Materi
Definisi Hadis Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy
yang kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata dha’if secara bahasa berarti Hadis
yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat.

Secara Terminologis, para ulama mendefinisikan secara berbeda-beda. Akan


tetapi pada dasarnya mengandung maksud yang sama, Pendapat An-Nawawi :
“Hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadis Shahih dan syarat-
syarat Hadis Hasan.”

Pembagian Hadis Dha’if

Dha’if dari sudut sandaran matannya.

a. Hadis Dha’if ditinjau dari aspek sandaran matannya


Dhaif dari sudut sandaran matannya, maka hal ini terbagi dua macam, yaitu:
Hadis Mauquf,

Hadis Mauquf ialah Hadis yang diriwayatkan dari para sahabat, berupa
perkataan, perbuatan dan taqrirnya. Sebagai contoh Ibnu Umar berkata:

‫ِ ه‬
َ‫اَّللُ عَ لَيْ ه َو َس ل م‬
‫ه‬ ‫اَّللِ صَ لهى‬
‫َر ُس و ُل ه‬ ‫َخ َذ‬
َ‫أ‬ ‫ال‬
َ َ‫اَّللُ عَ نْ ُه َم ا ق‬
‫ض َي ه‬ِ ‫ب ِن ع م ر ر‬
َ ََُ ْ ‫عَ ْن عَ بْ دِ ه‬
ِ‫اَّلل‬

‫عُ َم َر يَ قُ و ُل إِذَ ا‬ ٍ ِ‫َس ب‬


‫يل َو َك ا َن ابْ ُن‬ ‫عَ ا بِ ُر‬ ٌ ِ‫َنهك غَ ر‬
‫يب أ َْو‬ ُّ ‫ُك ْن ِِف‬
َ ‫الد نْ يَا َك أ‬ َ َ‫ِِبَنْ كِ ِِب فَ ق‬
‫ال‬

1
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 12

َ ِ‫ح ت‬
‫ك‬ ِ ‫فَ ََل تَ نْ تَظِ ر ال صه ب اح وإِذَ ا أَص ب ح ت فَ ََل تَ نْ تَظِ ر ا لْم س اء وخ ْذ ِم ن‬
‫ص ه‬ ْ َُ َ َ َ ْ َ ْ َْ َ َ َ ْ ‫ت‬َ ْ‫س ي‬
َ ‫أ َْم‬
ِ ِ‫و ِم ن ح ي ات‬ ِ ‫لِم ر‬
َ ِ‫ك ل َم ْوت‬
‫ك‬ َ ََ ْ َ ‫ك‬
َ ‫ض‬ ََ
Artinya: Dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma dia berkata; "Rasulullah SAW
pernah memegang pundakku dan bersabda: 'Jadilah kamu di dunia ini seakan-akan
orang asing atau seorang pengembara." Ibnu Umar juga berkata; 'Bila kamu berada
di sore hari, maka janganlah kamu menunggu datangnya waktu pagi, dan bila kamu
berada di pagi hari, maka janganlah menunggu waktu sore, pergunakanlah waktu
sehatmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.'” (H.R. Bukhari)

Hadis Maqhtu’,

Hadis Maqthu’ ialah Hadis yang diriwayatkan dari Tabi’in, berupa perkataan,
perbuatan atau taqrirnya. Contoh : seperti perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang
Tabi’in: “Termasuk Sunnah, ialah mengerjakan sembahyang 12 raka’at setelah
shalat idul fithri , dan 6 raka’at shalat idul Adha.

b. Hadis Dha’if ditinjau dari aspek matannya


Hadis Syadz,
Hadis Syadz ialah Hadis yang diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah atau
terpercaya, akan tetapi kandungan Hadisnya bertentangan dengan (kandungan
Hadis) yang diriwayatkan oleh para perawi yang lebih kuat ke-tsiqah-annya.

Contohnya, “Rasulullah SAW, bila telah selesai shalat sunnat dua raka’at fajar,
beliau berbaring miring di atas pinggang kanannya.”

Hadis Bukhari di atas yang bersanad Abdullah bin Yazid, Said bin Abi Ayyub,
Abul Aswad, Urwah bin Zubair dan Aisyah r.a dan riwayat dari rawi-rawi yang
lain yang lebih tsiqah yang meriwayatkan atas dasar fi’il (perbuatan Nabi).

2
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 12

c. Hadis Dha’if ditinjau dari aspek ketersambungan Sanad


Pada penjelasan tentang kriteria Hadis shahih, disebutkan bahwa salah satu
kriteria yang harus ada pada sebuah Hadis untuk bisa dikatakan sebagai Hadis
Shahih adalah ittishal al-sanad. Bagaimana cara untuk mengetahui adanya
ketersambungan perawi? Dan Bagaimana ketika ternyata diketahui bahwa
periwayatan Hadis tersebut terputus oleh salah satu perawi dan atau lebih dari satu
perawi?.
Dijelaskan dalam kitab Musthalah al-Hadis, terdapat dua cara untuk
mengetahui keterputusan periwayatan sebuah Hadis:
1. Adanya pengetahuan perawi bahwa perawi yang meriwayatkan Hadis kepadanya
telah meninggal, dan saat itu kondisi perawi Hadis masih tergolong usia kanak-
kanak (belum tamyiz)
2. Adanya penjelasan tertulis dari seorang perawi atau salah satu ulama Hadis yang
menjelaskan bahwa perawi Hadis tersebut belum pernah bertemu dengan
perawi sebelumnya, belum pernah mendengar Hadis darinya dan belum pernah
diperdengarkan Hadis kepadanya.

Berdasarkan pengetahuan akan adanya ketidaktersambungan perawi (munqhati’


al-sanad) maka Hadis shahih kemudian dibedakan menjadi 4 macam; Mursal, Mu’allaq,
Mu’dzal dan Munqathi’.

Hadis Mursal
Hadis mursal adalah Hadis yang tidak disebutkan perawi dari golongan sahabat,
artinya Hadis tersebut diriwayatkan oleh seorang tabi’in (generasi setelah sahabat),
baik tabi’in kecil maupun tabi’in dewasa (tamyiz) namun tidak menyebutkan nama
perawi dari golongan sahabat dan langsung meriwayatkan dari Rasulullah SAW.
Hal ini tidak dibenarkan, karena secara teknis seorang Tabi’in harusnya
mendapatkan Hadis dari seorang sahabat yang meriwayatkan Hadis dari Rasul SAW.
Contoh Hadis Mursal :

3
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 12

‫ عن ابن شهاب عن سعيد بن مسيب‬،‫ عن عقيل‬،‫ ثنا الليث‬،‫ ثنا حجني‬،‫حدثين دمحم بن رافع‬

‫أن رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص هنى بيع عن املزابنة‬
Dalam Hadis tersebut, Sa’id bin Musayyab adalah seorang Tabi’in kabir (dewasa)
namun langsung meriwayatkan dari Rasul SAW. Padahal secara teknis seorang
Tabi’in tidak mungkin bertemu dengan Rasul SAW. Seorang Tabi’in mendengar
Hadis dari Sahabat.

Kehujjahan Hadis Mursal


Hadis Mursal ke-hujjah-annya tidak diterima atau tertolak (mardud) karena
hilangnya satu syarat Hadis shahih yaitu ittishal as-sanad.
Namun demikian terdapat beberapa perbedaan pendapat ketika yang hilang dari
Hadis mursal ini tidak diketahui apakah dari golongan sahabat yang adil atau bukan.
Menyikapi hal tersebut, para ulama kemudian terbagi menjadi 3 kelompok:
1. Kelompok yang menggolongkannya sebagai Hadis dha’if mardud
2. Kelompok yang menggolongkannya sebagai Hadis shahih dan ke-hujjah-annya
diterima (bisa dijadikan argumentasi)
3. Kelompok yang menerima ke-hujjah-annya dengan beberapa syarat, di antara
syaratnya adalah: 1
1) Orang yang memursilkan termasuk golongan tabi’in tua
2) Ketika mursil tersebut ditanya terkait nama perawi yang dibuang, ia
menyebutkan nama orang yang tsiqah.
3) Riwayat rawi mursil tersebut tidak bertentangan dengan riwayat lain yang
terpercaya dan kuat hafalannya,
4) Hadis tersebut memiliki jalur sanad yang berbeda. Dan jikalau sanad lain
tersebut mursil, maka harus bukan dari mursil yang sama.
5) Matan (isi Hadis) sesuai dengan perkataan para sahabat.

1Mahmud at-Thahhan, Taysir Musthalah Hadis, Riyadh, (Maktabah Ma’arif, 2004), hlm 89-90

4
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 12

6) Hadis tersebut digunakan sebagai hujjah oleh para ulama dalam fatwanya.
Dengan penjelasan ini, maka bisa dipahami bahwa terdapat dua Hadis
mursal, Mursal shahabi dan Mursal Tabi’i.
Perbedaan keduanya adalah pelakunya. Mursal Tabi’i pelaku (mursil) nya
adalah seorang tabi’in. Adapun Mursal Shahabi mursil-nya adalah sahabat. Biasanya
sahabat tersebut adalah sahabat kecil yang meriwayatkan Hadis dari sahabat
dewasa, namun ia tidak menyebutkan nama sahabat dewasa tersebut dan langsung
menyebutkan Rasulullah SAW.
Mursal sahabi inilah yang oleh jumhur (pendapat mayoritas) ulama ke-hujjah-
annya diterima, karena Rawi yang dihilangkan bisa dipastikan sebagai sahabat.

Hadis Mu’allaq
Hadis mu’alaq adalah Hadis yang dihilangkan satu perawi atau lebih secara
berurutan.
Di antara ciri-ciri Hadis mu’allaq adalah:
1. Dihilangkannya semua sanad dan perawi langsung disandarkan kepada Rasul
SAW.
2. Dihilangkan seluruh sanadnya dan disebutkan hanya 1 perawi dari sahabat atau
tabi’in.

Contoh Hadis mu’allaq


Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari

‫وقال أبو موسى غطى النِب ملسو هيلع هللا ىلص ركبتيه حني دخل عثمان‬
Artinya: Abu Musa RA berkata: “Nabi SAW menutup dua lutut beliau ketika Utsman
masuk”.
Hadis ini termasuk Hadis mu’allaq, karena Imam Bukhari menghilangkan seluruh
sanadnya kecuali satu orang sahabat yaitu Abu Musa al-Asy’ari

Kehujjahan Hadis mu’allaq

5
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 12

Hadis mu’allaq tertolak karena ada ketidaktersambungan sanad, yaitu adanya satu
perawi atau lebih yang dihilangkan.
Namun dikecualikan, jika Hadis Hadis mu’allaq tersebut terdapat dalam kitab
shahihain (kitab Bukhori Muslim) maka ada beberapa pendapat hukum mengenai
hal ini;
1. Bila disebutkan dalam bentuk jazm (pasti), seperti “telah berkata’, “telah
menyebutkan”, ”telah menghikayatkan” dan yang semisalnya, maka dihukumi
keshahihannya, artinya ke-hujjah-annya diterima.
2. Bila disebutkan dengan bentuk tamridz (tidak pasti) seperti (telah dikatakan)
(telah disebutkan), artinya perawinya majhul (tidak diketahui), maka tidak
diterima ke-hujjah-annya.

Hadis Mu’dzal
Hadis Mu’dzal adalah Hadis yang dihilangkan 2 perawi atau lebih dalam
periwayatannya secara berurut-urut.
Contoh Hadis mu’dzal
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab al Muwattha’:

‫بلغين عن أيب هريرة أن رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص قال للملوك طعامه وكسوته ابملعروف وال يكلف من العمل‬

‫إال ما يطيق‬

Artinya: “Telah menyampaikan kepada kami dari Abu Hurairah R.A sungguh Rasul
SAW bersabda: ‘Berikan makanan dan pakaian yang layak kepada para budak.
Jangan bebani mereka dengan pekerjaan yang tidak mereka sanggupi.’”
Menurut Imam al Hakim, Hadis tersebut adalah Hadis Mu’dzal karena Imam Malik
membuang dua perawi yaitu Muhammad bin ‘Ajlan dan ‘Ajlan. Seharusnya dua
perawi tersebut disebutkan sebelum Abu Huarairah RA. 2

2 Mahmud at-Thahhan, Taysir Musthalah… hlm 92

6
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 12

Hadis Munqathi’
Munqathi’ artinya terputus. Hadis munqathi’ artinya Hadis yang terputus sanadnya
mulai di tengah sebanyak satu perawi atau lebih dari satu, dan terputusnya tidak
berurutan.
Menurut pengertian tersebut maka putusnya sanad dalam Hadis munqathi’ bisa
dibedakan menjadi 3 macam:
1. Hilang satu perawi di tengah sanad
2. Hilang 2 perawi di bagian manapun dan tidak berurutan
3. Hilang lebih dari 2 perawi dibagian manapun dan tidak berurutan.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka jelas bahwa Hadis munqathi’ termasuk Hadis
dha’if, dan ke-hujjah-annya tertolak, tidak diterima.

d. Hadis Dha’if ditinjau dari aspek salah satu aspek, baik sanad ataupun matan
secara bergantian.
Yang dimaksud bergantian disini adalah ke-dha’if-an tersebut kadang-kadang
terjadi pada sanad dan kadang-kadang pada matan, yang termasuk jenis ini
yaitu:

Hadis Maqlub,
Hadis Maqlub ialah Hadis yang terjadi mukhalafah (menyalahkan Hadis lain),
disebabkan mendahulukan dan mengakhirkan.
Tukar menukar yang dikarenakan mendahulukan sesuatu pada satu dan
mengakhirkan pada tempat lain, adakalanya terjadi pada matan Hadis dan
adakalanya terjadi pada sanad Hadis.

Contoh: Tukar menukar yang terjadi pada matan , Hadis Muslim dari Abu
Hurairah r.a
Artinya: “... dan seseorang yang bersedekah dengan sesuatu yang sedekah yang
disembunyikan, hingga tangan kanannya tak mengetahui apa-apa yang telah
dibelanjakan oleh tangan kirinya”.

7
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 12

Hadis ini terjadi pemutarbalikan dengan Hadis riwayat Bukhari atau riwayat
Muslim Sendiri, pada tempat lain, yang berbunyi.
“(hingga tangan, kirinya tak mengetahui apa-apa yang dibelanjakan tangan
kanannya.)”.

Tukar menukar pada sanad dapat terjadi, misalnya rawi Ka’ab bin Murrah
bertukar dengan Murrah bin Ka’ab dan Muslim bin Wahid, bertukar dengan
Wahid dan Muslim.

Hadis Mudraf
Kata Mudraf menurut bahasa artinya yang disisipkan. Secara terminologi Hadis
mudraf ialah Hadis yang di dalamnya terdapat sisipan atau tambahan.

Hadis Mushahhaf
Hadis Mushahhaf ialah Hadis yang terdapat perbedaan dengan Hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, karena di dalamnya terdapat beberapa huruf
yang diubah. Pengubahan ini juga bisa terjadi pada lafazh atau pada makna,
sehingga maksud Hadis menjadi jauh berbeda dari makna, dan maksud semula.

e. Hadis Dha’if ditinjau dari aspek matan dan sanadnya secara bersama-sama
Yang termasuk Hadis dha’if dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-
sama yaitu:

Hadis Maudhu’;
Hadis maudhu’ adalah Hadis yang disanadkan dari Rasululah SAW secara dibuat-
buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, melakukan dan menetapkan.

Hadis Munkar;

8
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 12

Hadis munkar adalah Hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang
lemah yang bertentangan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh
perawi yang terpercaya/jujur”

Kehujjahan Hadis Dha’if

Para ulama sepakat melarang meriwayatkan Hadis dha’if maudhu’. Adapun


Hadis dha’if yang bukan Hadis maudhu’ maka diperselisihkan tentang boleh atau
tidaknya diriwayatkan untuk ber-hujjah.

Dalam hal ini ada beberapa pendapat:


1. Melarang secara mutlak
2. Membolehkan

Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama Hadis yang memperbolehkan berhujjah dengan Hadis
dha’if untuk keutamaan amal, memberikan 3 syarat:
a. Hadis dha’if itu tidak keterlaluan.
b. Dasar amal yang ditunjukkan oleh Hadis dha’if tersebut, masih di bawah
suatu dasar yang dibenarkan oleh Hadis yang dapat diamalkan (Shahih atau
Hasan)
c. Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan bahwa Hadis tersebut benar-
benar bersumber dari Nabi. Tetapi tujuan ikhtiyath (hati-hati) belaka.

Dari beberapa uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa apabila


menggunakan Hadis dha’if untuk dijadikan suatu sugesti amalan maka dapatlah kita
pergunakan hal ini memotifasi bagi masyarakat. Untuk memperbanyak amalan-
amalannya, Hadis yang diterangkan harus selektif mungkin juga sampai tidak
masuk akal atau rasional.

9
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 12

Rangkuman
Rangkuman

Pembagian Hadis dha’if ditinjau dari beberapa aspek; a. Dha’if


ditinjau dari sandaran matannya, b. Dha’if ditinjau dari matannya, c.
Dha’if ditinjau dari ketersambungan sanadnya, d. Dha’if ditinjau dari
salah satu di antara sanad dan matannya, dan d. Dha’if ditinjau dari
sanad dan matannya secara bersamaan.

Latihan Soal
Untuk mengukur pemahaman kalian, kerjakan latihan soal berikut:

No. Soal Jawaban/Uraian

.....................................................................
1.
.....................................................................

2.
.....................................................................
3.
.....................................................................
.....................................................................
4.
.....................................................................

10
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 12

.....................................................................
5.
.....................................................................

Umpan Balik
G. Umpan Balik Guru/Dosen

Umpan Balik

Daftar Pustaka
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Dar Al-Fikr, Bairut, 1980
Fathur Rahman, Iktisar Mushthalahu‟l Hadis, Al-Ma‟arif, Bandung, Cet.V, 1987
Mahmud at-Thahhan, Taysir Musthalah Hadis, Riyadh, Maktabah Ma’arif, 2004 M
Muhammad Jamal, ad-Din Al-Qasimi, Qowaid al-Tahdist Min Funun Musthalahah al-Hadis,
Dar al-Kutub, Bairut, 1979
Syeikh Manna’ al Qatthan, Kitab Mabahis fi Ulumil Hadis,
Zainnudin Hamidy et al, Terjemah Hadis Shahih Bukhari, Widjaya, Jakarta, Jilid
1992
Zufran Raman, Kajian Sunnah Nabi SAW Sebagai Sumber Hukum Islam, Pedoman Ilmu
Jaya, Cet- Ke-1, Jakarta, 1995

11
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 13

HADIS MAUDHU’

Capaian Pembelajaran

1. Mampu menjelaskan pengertian Hadis maudhu’


2. Mampu mengidentifikasi bentuk-bentuk dan sebab ke-
maudhu’-an
3. Mampu menyebutkan indikator ke-maudhu’-an dalam sanad
dan matan
4. Mampu menganalisis hukum pengamalan Hadis maudhu’
5. Mampu menyebutkan indikator Kitab-kitab yang khusus
mengumpulkan Hadis-hadis maudhu”

Uraian Materi
Pengertian Hadits Maudhu

Secara etimologis kata maudhu’ berasal dari akar kata َ ‫ض ًَعاَفَ َُه ََو‬
َْ ‫ض َُع َ ََو‬
ََ َ‫ ََي‬-‫ض ََع‬
ََ ‫( ََو‬

)ٌ‫ع‬
َ ‫ضَْو‬
َُ ‫ ََم َْو‬berarti diletakkan, dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan, dan dibuat-buat.1 Secara
terminologis, para muhadditsin memberikan pengertian dengan redaksi yang beragam,
tetapi pada intinya mempunyai makna yang sama.Hadits maudhu’ adalah :
ِ ِ ِ ِ –َ‫ماَنُ ِسبَإىلَالرسولَ–َصلعم‬
ُ‫اختالقاً ََوَك ْذ ًًبَِمَّاَ ََلََْيَ ُق ْلوَُأوَيَ ْف َع ْلوَُأوَيُقَّرَه‬
ْ َ َ
“Sesuatu yang disandarkan kepada Rasul Saw secara mengada-ada dan bohong dari apa
yang tidak dikatakan beliau atau dilakukan dan atau tidak disetujuinya”2

Menurut Nuruddin ‘Itr maudhu’ adalah:

َ‫احلديثَاملوضوعَىوَاملختلقَاملصنوع‬
“Hadits maudhu’ adalah hadits yang diada-adakan dan dibuat-buat”3

1Abdul Majid Khon. Ulumul Hadits. (Jakarta. 2012) hlm 225


2 Ibid
3 Nuruddin ‘Itr. Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits. Terj. Mujiyo. ‘Ulumul Hadits (Bandung. 2014)

1
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 13

Yakni hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, dengan dusta dan tidak
ada kaitan hakiki dengan Rasulullah Saw. bahkan, sebenarnya ia bukan hadits, hanya
saja para ulama menamainya hadits mengingat adanya anggapan rawinya bahwa hal itu
adalah hadits.
Sedangkan Mohamad Najib (2001:38) merumuskan pengertian hadits maudhu’
secara istilah sebagai berikut:

‫َاحلديثَاملختلقَااملصنوعَاملكذوبَعلىَرسولَهللاَ–َصلعمَ–َعمدَاوَخطأ‬:‫املوضوع‬
“ Hadits maudhu’ adalah hadits yang diciptakan dan dibuat-buat, yang bersifat dusta
terhadap Rasulullah Saw, dibuat secara sengaja atau tidak sengaja”
Beberapa unsur penting dalam batasan definisi al-maudhu’ adalah sebagai
berikut.

a. Unsurَ‫( َالوضع‬pembuatan) atau (dibuat-buat). Artinya, apa yang disebut sebagai

hadits oleh rawi penyampai riwayat itu adalah hadits ”buatan” dia sendiri, bukan
ucapan, perbuatan, atau keterangan Nabi Saw.

b. Unsur َ ‫الكذب‬ (dusta)atau (menipu). Artinya, apa yang dikatakan rawi sebagai

hadits Nabi adalah “dusta” dan “tipuan” belaka dari dirinya sendiri, karena bukan
hadits Nabi. Hanya dia mengatakan bahwa hadits itu berasal dari Nabi Saw.

c. Unsur ‫عمد‬ (sengaja)dan ‫( خطأ‬tidak sengaja). Artinya, pembuatan hadits dusta

yang disebut sebagai hadits Nabi itu dilakukan dengan sengaja atau tidak
sengaja.4
Banyak sekali kata-kata ahli hikmah, kata-kata mutiara para sahabat yang
disandarkan kepada Nabi Saw oleh para pemalsu hadits. Banyak pula mereka
memalsukan hadits dengan kata-kata yang mereka ciptakan dan mereka rangkai
sendiri. Hadits maudhu’ adalah hadits dhaif yang paling jelek dan paling
membahayakan bagi agama Islam dan pemeluknya. Para ulama sepakat bahwa
haram hukumnya meriwayatkan hadits bagi seseorang yang mengetahui

hlm 308
4Mohamad Najib. Pergolakan Politik Umat Islam Dalam Kemunculan Hadits Maudhu. (Bandung.2001). hlm
41

2
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 13

keadaannya, apapun misi yang diembannya kecuali disertai penjelasan tentang


ke-maudhu’-annya dan disertai peringatan untuk tidak menggunakannnya.5

Bentuk-bentuk kemaudhu’an
Setidaknya ada dua bentuk pemalsuan hadits, yang dilakukan para
pemalsu hadits. Diantaranya:
Pertama, pemalsu hadits membuat hadits palsu dengan redaksi sendiri,
kemudian dinisbatkan kepada Nabi Saw, dengan cara dilengkapi dengan sanad
dan diriwayatkan olehnya.
Kedua, pemalsu hadits mengambil redaksi dari orang lain, seperti para ahli
hikmah, dan lain-lain, kemudian kemudian dinisbatkan kepada Nabi Saw, dengan
cara dilengkapi dengan sanad.6

Sebab-sebab Pemalsuan Hadits


Nuruddin ‘Itr (2014:309)menjelaskan sebab-sebab pemalsuan hadits, dan
mengklasifikasi para pemalsunya berdasarkan motif-motif mereka dalam
memalsukan hadits, sebagai berikut:7
a. Sebab pemalsuan hadits yang pertama kali muncul adalah adanya
perselisihan yang melanda kaum muslimin pada masa fitnah dan kasus-kasus
yang mengikutinya; yakni umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok.
Kemudian, pengikut setiap kelompok dengan leluasa memalsukan hadits-
hadits untuk membela diri dalam menghadapi kelompok yang beranggapan
bahwa merekalah yang berhak memegang kepemimpinan sebagai khalifah,
disamping untuk memperlancar tujuan dan cita-cita mereka. Misalnya, hadits
maudhu’ yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan sahabat tertentu.
Seperti, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Muawiyah dan lain-lain.
ِ ‫أبوَبك ٍرَيلِيَاَُّم ِِتَب‬
‫عدي‬َ َ
“Abu Bakar akan memimpin umatku setelah aku”

5 Nuruddin ‘Itr. Op. Cit. hlm 309


6 Mahmud Thahan. Taysir Musthalah Hadits (Riyadh. 2004) hlm 112
7 Nuruddin ‘Itr. Op. Cit. hlm 309

3
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 13

ِ
َ‫كَفيوَ َك َفَر‬ َ ‫يَخريَُالبَ َش ِر ََم ْن‬
َّ ‫َش‬ َ ‫َعل‬
“Ali adalah manusia yang paling baik, dan barangsiapa ragu terhadapnya
maka ia menjadi kafir”

ُ‫يلَوَم َعا ِويََة‬


ُ ‫َاأل َُمنَاءَُثََالثَةٌَاانَوَجرب‬
“Pemegang kepercayaan di dunia itu ada tiga, yaitu aku, Jibril, dan Mu’awiyah”
Ada juga hadits maudhu’ lain yang diciptakan oleh kelompok-kelompok
tertentu untuk memperkuat posisinya dalam menghadapi lawan politiknya
sehubungan dengan masalahh-masalah khilafiyah.
b. Sebab kedua adalah permusuhan terhadap Islam dan untuk menjelek-
jelekkannya. Yaitu usaha yang ditempuh oleh orang-orang zindik, terlebih lagi
oleh keturunan bangsa-bangsa yang telah dikalahkan oleh umat Islam.
Mereka berusaha sedapat mungkin untuk merusak urusan kaum muslimin
dengan menyelipkan ajaran-ajaran batil ke dalam Islam denga harapan kaum
muslimin tidak dapat mengindarinya walau dengan berbagai kemampuan,
argumentasi, dan bukti-bukti8. Di antara hadits yang dipalsukan adalah:

َ َ‫ِبَبَ ْع ِديَإََِّلَاَ ْنَيَ َشاء‬


ُ‫َهللا‬ َ ِّ‫َخ َاَتَُالنَّبِي‬
َّ َِ‫نيََلَن‬ َ ‫اَ َان‬
“Aku adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi setelahku kecuali apabila
dikehendaki Allah”
Dalam hadits ini menambahkan kata “kecuali apabila dikehendaki Allah”
dengan maksud untuk menguatkan anggapan dari tindakannya, yakni
menentang, zindik, dan mengaku sebagai Nabi.9
c. Sebab ketiga adalah al-Targhib wa al-Tarhib untuk mendorong manusia
berbuat kebaikan. Hal ini dilakukan oleh orang yang dangkal ilmunya tapi
berkecimpung dalam bidang zuhud dan tekun beribadah. Semangat
keagamaan mereka yang bercampur dengan ketidaktahuan itu mendorong
mereka memalsukan hadits-hadits al-Targhib wa al-Tarhib agar dapat

8 Ibid. hlm 311


9 Ibid. hlm 312

4
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 13

memotivasi orang lain untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan kejahatan


menurut anggapan mereka yang rusak.10
d. Sebab keempat adalah upaya untuk memperoleh fasilitas duniawi, seperti
pendekatan kepada pemerintah atau upaya untuk mengumpulkan manusia ke
dalam majlis, seperti yang dilakukan oleh para juru cerita dan para peminta-
minta. Dampak negative kelompok ini sangat besar.11
e. Sebab kelima adalah kemaudhu’an yang terjadi pada hadits seorang rawi
tanpa disengaja, seperti kesalahannya menyandarkan kepada Nabi Saw. kata-
kata yang sebenarnya diucapkan oleh sahabat atau lainnya. Penyebab lainnya
adalah rawi yang daya ingatnya atau penglihatannya terganggu atau kitabnya
rusak sehingga ia meriwayatka hadits yang tidak dikuasainya.12
Jenis hadits maudhu’ yang terakhir yanbg paling samar, karena para rawi-
nya tidak sengaja memalsukannya padahal mereka sebenarnya adalah orang-
orang yang jujur. Oleh karena itu, mengungkap kepalsuan hadits yang
dmikian sangat sulit kecuali bagi para imam yang kritis dan analitis. Adapun
jenis hadits maudhu’ lainnhya sangat mudah diketahui karena semuanya
berasal dari kebohongan dan tidak samar kecuali bagi orang-orang yang
kurang pengetahuannya.13

Tanda-tanda Hadits Maudhu’ pada Sanad


Tanda-tanda yang dimaksud merupakan kesimpulan penelitian para muhadditsin
terhadap hadits-hadits maudhu’ satu persatu, tanda-tanda ini dapat mempermudah
pengenalan terhadap hadits maudhu’ dan menghindari resiko pembahasan yang
panjang lebar. Pedoman-pedoman itu meliputi telaah atas keadaan rawi dan keadaan
riwayat. Banyak tanda-tanda hadits maudhu’ diantaranya:
a. Pengakuan pembuat hadits palsu itu sendiri, seperti Abu ‘Ishmah Nuh bin Abu
Maryam yang mengaku sendiri telah memalsukan hadits mengenai keutamaan

10 Ibid.
11 Ibid. hlm 315
12 Ibid. hlm 316
13 Ibid. hlm 316-317

5
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 13

surat-surat al-Qur’an. Ada juga Abdul Karim bin Abi al-Auja yang mengaku telah
membuat 4000 hadits, mengenai halal dan haram.14
b. Tidak sesuai dengan fakta sejarah, seperti kasus al-Ma’mun bin Ahmad yang
menyatakan bahwa al-Hasan menerima hadits dari Abu Hurairah sehubungan
dengan adanya perbedaan pendapat dalam masalah tertentu. Ia secara spontan
menyebutkan rangkaian sanad yang sampai kepada Rasulullah Saw.15
c. Ada gejala-gejala para rawi bahwa ia berdusta dengan hadits yang bersangkutan.
Seperti kasus Ghiyats bin Ibrahim.16
d. Adanya bukti (qarinah) menempati pengakuan. Seperti seseorang yang
meriwayatkan hadits dengan ungkapan yang meyakinkan (jazam) dari seorang
Syeikh, padahal dalam sejarah ia tidak pernah bertemu dengannya.17

Tanda-tanda Hadits Maudhu’ pada Matan


Banyak tanda-tanda kemaudhu’an pada matan, diantaranya:
a. Kerancuan redaksi atau makna hadits. Salah satu tanda kemaudhu’an hadits
adalah lemah dari segi bahasa dan maknanya. Secara logis tidak dapat diterima
bahwa ungkapan itu datang dari Rasul.18
b. Setelah diadakan pengkajian terhadap suatu hadits ternyata menurut ahli hadits
tidak terdapat dalam hafalan para rawi dan tidak terdapat dalam kitab-kitab
hadits, setelah pengkajian dan pembukuan hadits sempurna.19
c. Haditsnya menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, seperti
menyalahi ketentuan akal dan tidak dapat ditakwil atau bertolak belakang
dengan perasaan dan kejadian empiris, serta fakta sejarah.20
Contohnya:

َ‫قر‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ََتت‬
َ ‫َّمواًَب َلعقيقَفَإنَّوَُيُْنفىَال َف‬
َُ
“Pakailah cincin dengan batu akik karena akik itu bisa menghilangkan kefakiran”
14 Ibid. hlm 320
15 Ibid.
16 Ibid.
17 Abdul Majid Khon. Op. Cit. hlm 237
18 Nuruddin ‘Itr. Op. Cit. hlm 322
19 Ibid
20 Ibid. hlm 325

6
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 13

d. Haditsnya bertentangan dengan dalil al-Qur’an yang qath’i,dan sunah yang


mutawatir, atau ijmak yang pasti dan tidak dapat dikompromikan.21
Contoh hadits tentang batas usia dunia:

‫واهناَسبعةَآَلفَوحننَىفَاأللفَالسابعة‬

“Sesungguhnya batas usia dunia itu 7000 tahun, dan kita berada pada seribu
tahun yang terakhir”
e. Mengandung pahala yang berlebihan bagi amal yang kecil. Biasanya motif
pemalsuan hadits ini disampaikan para tukang dongeng yang ingin menarik
perhatian para pendengarnya atau agar menarik pendengar melakukan
perbuatan amal shaleh. Akan tetapi terlalu berlebihan dalam membesarkan suatu
amal kecil dengan pahala yang sangat besar.22 Misalnya:

‫منَصلىَالضحىَكذاَوكذاَركعةَأعطيَثوابَسبعنيَنبيا‬
“Barangsiapa yang shalat dhuha sekian rakaat diberi pahala 70 Nabi”

Hukum Riwayat Hadits Maudhu’


Mahmud Thahan (2004:111) menjelaskan bahwa para ulama telah sepakat
tidaklah halal meriwayatkan hadits maudhu’ bagi orang yang mengetahui akan
kemaudhu’annya. Kecuali jika disertai dengan penjelasan mengenai kemaudhu’annya23.
Berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

ٌَ ‫يثَيَََُرىََاََنََّوََُ َك َِذ‬
‫بَفَ َُه ََوََاَ ََح َُدَال َكاذبني‬ ٍَ ‫ََِ َِد‬
َِ ‫ن‬
َِّ ‫ثَ ََع‬
ََ ‫نَح ََّد‬
ََ ‫ََم‬
"Barangsiapa menceritakan hadits dariku, yang mana riwayat itu diduga adalah
kebohongan, maka dia (perawi) adalah salah satu dari para pembohong tersebut."24

Sumber-sumber Hadits Maudhu’

21 Ibid. hlm 327


22 Abdul Majid Khon. Op. Cit. hlm 241
23 Mahmud Thahan. Op.Cit. hlm 111
24 Lihat Shahih Muslim

7
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 13

Banyak terdapat kitab-kitab yang menjelaskan hadits maudhu’ yang telah


disusun oleh para ulama hadits. Mereka mencurahkan segala kemampuan untuk
membela kaum muslimin agar tidak terjerumus kedalam kebatilan. Diantara kitab-kitab
sumber hadits maudhu’ yang terpenting adalah sebagai berikut:
1) Al-Maudhu’at karya al-Imam al-Hafizh Abul Faraj Abdurrahman bin al-Jauzi (w.
597 H).
Kitab ini merupakan kitab yang pertama dan paling luas pembahasannya
dibidang ini. Akan tetapi, kekurangan kitab ini adalah banyak sekali memuat
hadits yang tidak dapat dibuktikan kepalsuannya, melainkan hanya berstatus
dhaif, bahkan ada diantaranya yang berstatus hasan dan shahih.25
2) Al-La’ali’ al-Masnu’ah fi Ahadits al-Maudhu’ah karya al-Hafizh Jalaluddin al-
Suyuthi (w. 911 H). Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Ibnu al-Jauzi
disertai dengan penjelasan tentang kedudukan hadits-hadits yang bukan
maudhu’ ditambah dengan hadits-hadits maudhu’ yang belum disebutkan oleh
Ibnu Jauzi.26
3) Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Ahadits al-Syari’ah al-Maudhu’ah karya al-
Hafizh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Iraq al-Kannani (w. 963 H)
4) Al-Manar al-Munif fi al-Shahih wa al-Dhaif karya al-Hafizh Ibnu Qayim al-Jauziyah
(w. 751 H).
5) Al-Mashnufi al-Hadits al-Maudhu’ karya Ali al-Qari (w. 1014 H). kitab ini amat
ringkas, dan sangat bermanfaat.27

25 Abdul Majid Khon. Op. Cit.hlm 330


26 Ibid. hlm 331
27 Ibid

8
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021
Bahan Ajar Ilmu Hadis
Pertemuan ke 13

Daftar Pustaka
Abdul Majid Khon. 2012. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah

Anton Athoillah. 2006.Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Gunung Djati Press


Fatchur Rahman. 1974. Ikhtisar Mushtalahul Hadits Bandung: PT Al-Ma’arif

M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1987. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan
Bintang
Mahmud Thahan.2004. Taysir Musthalah Hadits. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif

Mohamad Najib.2001. Pergolakan Politik Umat Islam Dalam Kemunculan Hadits Maudhu.
Bandung: Pustaka Setia

9
PJJ PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021

Anda mungkin juga menyukai