Anda di halaman 1dari 12

Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

PEMBAHASAN IJTIHAD

1. Syarat Melakukan Ijtihad


Pengertian ijtihad menurut bahasa dan istilah
Mujtahid menurut bahasa ialah asal dari kata jahada ‫ جهد‬, yang bermakna
sungguh-sungguh, sedangkan mujtahid ‫ مجتهد‬dari isim fa’il yang bermakna
orang yang bersungguh-sungguh. Ijtihad ‫ اجتهد‬pada asalnya adalah
mengerahkan seluruh kemampuan dalam menuntut atau mengistimbatkan
hukum untuk  satu tujuan.
Untuk menjadi mujtahid ada beberapa syarat yang membatasi mengingat
bahwa ijtihad merupakan sebuah kegiatan dan aktifitas yang tidak mudah
untuk dilakukan. Oleh karenanya para ushul fiqh telah menetapkan
beberapa kriteria yang mesti dimiliki oleh seorang “mujtahid”, sehingga
yang bersangkutan dianggap layak dan cakap untuk melakukan istimbath
al-hukum (penggalian hukum). Kalangan ulama ushul fiqh kemudian
memberikan penamaan terhadap beberapa persyaratan ini dengan term “al-
ahliyyah li al-ijtihad”.1

Abdul Wahab Khalaf menyebut ada empat ada empat kriteria untuk
menjadi mujtahid, yaitu:
a. Hendaknya sesorang mempunyai pengetahuan bahasa Arab, dari
segi sintaktis dan filologinya (cara-cara dalalahnya, susunan
kalimatnya dan satuan-satuan katanya).
b. Hendaknya ia mempunyai pengetahuan tentang al-Qur’an.
Maksudnya haruslah mengetahui hukum-hukum syar’iyah yang
terkandung di dalamnya dan ayat-ayat yang menyebut hukum-
hukum teersebut.
c. Hendaknya ia mempunyai pengetahuan tentang as-Sunnah. Artinya
mengerti hukum-hukum syara’ yang ada dalam as-Sunnah dari segi
keshahihan atau kelemahan riwayatnya.
d. Hendaknya ia mengerti segi-segi Qiyas. Misalnya mengerti ‘illat
dan hikmah pembentukan syariat yang dengan itu disyariatkan
beberapa hukum.
Sebaliknya Imam Syatibi hanya mengajukan dua kriteria saja, yang
tentunya sangat berbeda dengan kebanyak ushuliyyun. Menurutnya orang
yang berhak melakukan ijtihad yaitu:

1
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

a. Memahami betul nilai universal islam (maqasid syari’ah) yang


merupakan nilai esensi hukum Islam.
b. Mampu menggali hukum (istimbath) dari dalil-dalil yang ada
dengan dibangun diatas kemaslahatan.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, al-Ghazali menambahkan bahwa
mujtahid adalah seseorang yang dapat memproduksi hukum Islam yang
bersifat zanni.
Pada hakikatnya, mujtahid itu menempati posisi Nabi di tengah-tengah
umat dalam rangka menyampaikan risalah Islamiyyah (muballig),
penyingkap (kasyif), penjelas (mubayyin) dan penggali (mustanbit)
terhadap kedudukan hukum syar’I yang belum atau tidak dijelaskan secara
tekstual; baik di dalam al-Qur’an maupun Sunnah.
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai subyek atau pelaku ijtihad seorang
mujtahid dituntut untuk membekali dirinya dengan beberapa persyaratan
(asy-syurut al-ijtihad); baik persyaratan yang bersifat (Asy-Syurut al-
asasiyyah) maupun yang bersifat sekunder (asy-syurut at-takmiliyyah). 2
Syarat Utama Mujathid
Adapun persyaratan yang bersifat primer (asy-syurut al-asaiyyah) adalah
berikut ini:
1. Seorang Mujtahid Mesti Menguasai Bahasa Arab
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa seorang mujtahid secara mutlak mesti
menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya; baik dari
segi tata bahasa (nahwu), sintaksis (sarf), dan sastra (balagah). Di samping
itu, mujtahid mesti memiliki zauq al-arabiyyah (rasa bahasa Arab),
sehingga ia dapat memahami seluruh aspek dan uslub (gaya bahasa) Arab.
Persyaratan pertama ini dapat dipahami dan diterima, dengan pertimbangan
bahwa seluruh teks al-Qur’an dan teks Hadis Nabawi sebagai obyek kajian
mujtahid berbahasa Arab.
Dalam masalah penguasaan bahasa Arab, al-Amidi juga didukung oleh al-
Ghazali dan Abd al-‘Aziz al-Bukhari memberikan kadar atau batasan yang
harus similiki oleh seorang mujtahid, skill untuk memahami khitab
(pembicaraan) orang Arab dan adat istiadat mereka di dalam menggunakan
bahasa Arab. Sehingga seorang mujtahid mampu memilah antara
pembicaraan yang jelas (sarih al-kalam) dan tidak jelas (ghair sarih al-
kalam), zahir dan mujmalnya, haqiqat dan majaznya; serta mantuq dan
mafhumnya. Akan tetapi, penguasaan bahasa Arab tersebut tidak
2
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

dipersyaratkan bagi mujtahid dengan penguasaan yang mendalam sedtail-


detailnya dari berbagai aspek bahasa Arab tersebut.
2. Seorang Mujtahid Mesti Memiliki Pengetahuan yang Memadai
tentang Kitabullah al-Qur’an al-Karim
Persyaratan primer kedua yang wajib dipenuhi oleh seorang mujtahid
adalah pengetahuannya yang memadai tentang Kitabullah al-Qur’an al-
Karim. Hal tersebut dapat dipahami, karena ia merupakan sumber ajaran
dan sumber hukum islam yang pertama dan utama. Untuk merealisir hal
tersebut, kalangan ulama ushul fiqh mempersyaratkan terhadap seorang
mujtahid untuk menguasai ‘ulum al-Qur’an. Dengan bekal ‘ulum al-Qur’an
inilah para mujtahid dapat membedah kandungan al-Qur’an, khususnya
yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat yang mengatur kehidupan
manusia.

Sebagian ulama menyatakan bahwa seorang mujtahid sudah dianggap


cukup dengan hanya mengetahui ayat-ayat hukum, sehingga jika
dibutuhkan yang bersangkutan dapat merujuk kepadanya. Imam al-Ghazali
tidak mempersyaratkan seorang mujtahid harus mengetahui dan mengusai
seluruh ayat-ayat al-Qur’an. Akan tetapi, Ghazali menganggap cukup bagi
seorang mujtahid menguasai sekitar 500 ayat huku. Pendapat Ghazali ini di
dukung oleh Ibn al-‘Arabi, Ibn Qudamah dan ar-Razi.

3. Seorang Mujtahid Mesti Mempunyai Pengetahuan yang Memadai


tentang As-sunnah (Hadis)
Para ulama telah sepakat bahwa segala yang bersumber dari Rasulullah
SAW baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan dan di
dukung oleh periwayatan yang sahih itu menjadi “hujjah syar’iyyah” yang
berfungsi sebagai referensi dan sumber hukum kedua sesudah al-Qur’an al-
Karim. Hal tersebut bisa dimengerti, jika kemudian as-Sunnah dijadikan
sebagai persyaratan primair yang mesti diketahui dan dikuasai secara
memadai oleh seorang mujtahid yang hendak melakukan ijtihad, terutama
hadis-hadis yang berkaitan dengan aktifitas kehidupan mukallaf sebagai
subyek hukum yang lebih dikenal dengan hadis-hadis hukum.
Peranan hadis begitu sangat urgen karena ia berfungsi sebagai:
a. Mubayyin (penjelas), muqarrirah (penetap), dan muakkidah
(pendukung) terhadap hukum-hukum yang dibawa oleh al-Qur’an,
3
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

b. Mufassilah (pemerinci), dan mufassirah (penjelas/tafsir),


muqayyadah (pengikat), dan mukhassis (yang mengkhususkan)
terhadap teks nas al-Qur’an baik yang datang secara mujmal
(global), ,utlaq maupun ‘am.
c. Musbitah (penetap), atau munsyiah (pembentuk) terhadap hukum
yang tidak tersentuh oleh al-Qur’an.
Penguasaan mujtahid terhadap hadis-hadis tersebut berkaitan dengan
pengetahuannya terhadap kosa kata, susunan kalimat, serta penunjukan dari
teks matan hadis itu; di samping yang bersangkutan mesti menguasai “ilmu
musthalah al hadis”. Hal tersebut diharapkan, agar mujtahid dapat memilih
dan memilah, mana hadis yang berkualifikasi sahih, hasan, dan da’if. Selain
itu, mujtahid diharapkan mampu melakukan tarjih di antara dua hadis yang
penunjukkan (dilalah) nya berlawanan.

Para ulama berbeda pendapat tentag jumlah hadis yang mesti dikuasai oleh
seorang mujtahid, sebagian ulama ada yang mempersyaratkan bahwa
seorang mujtahid mesti menguasai minimal 500 buah hadis hukum. Ibn
al-‘Arabi mempersyaratkan 3000 hadis hukum.
4. Seorang Mujtahid mesti menguasai ilmu Ushul Fiqh
Sebagaimana diketahui, bahwa ushul fiqh menempati posisi yang sangat
urgen dalam rangka memahami penunjukan serta kandungan hukum yang
dibawa oleh teks-teks al-Qur’an maupun hadis. Penguasaan materi ushul
fiqh ini merupakan kemestian bagi seorang mujtahid, sehingga ushul fiqh
dijadikan persyaratan primair yang tidak bisa diabaikan. Dengan menguasai
usul fiqh seorang mujtahid diharapkan dapat mengetahui hakikat dan
subtansi suatu hukum yang didukung oleh seperangkat argumen dalilnya.

mengetahui secara spesifik tentang adanya ‘illat hukum yang terkandung


dalam suatu teks nash dan dampaknya terhadap status hukum sebagai
akibatnya. Sehingga, di kalangan ulama ushul fiqh dikenal sebuah kaidah
yang sangat popular berkaitan dengan ‘illat ini, yaitu:

‫اِ َّن ْال ُح ْك َم يَ ُدوْ ُر َم َع ِعلِّتِ ِه ُوجُوْ دًا َو َع َد ًما‬

Artinya : sesungguhnya hukum itu berputar/beredar bersama ‘illatnya, ada


atau tidak adanya (hukum) itu.3
4
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

Disamping al-Qiyas, mujtahid pun diharapkan mengetahui dan menguasai


al-Ijma.

Disamping persyaratan primair, ada beberpa persyaratan sekunder (asy-


syurut at-takmiliyyah) yang dianggap penting untuk dimiliki oleh soerang
mujtahid, yaitu:

a. Seorang mujtahid diharap memahami persoalan (al-bara’ah al-


asasiyyah).
b. Seorang mujtahid diharapkan memahami maqasid asy-syar’iyyah.
c. Menguasai qawaid al-fiqhiyyah.
d. Seorang mujtahid mengetahui dan memahami adat istiadat dan
kebudayaan masyarakat.
e. Seorang mujtahid diharapkan dapat menguasai kasus dan peristiwa
hukum yang statusnya diperselisihkan di kalangan ulama, serta
mengetahui faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat
tersebut.
B. Tingkatan Mujtahid
Pembicaraan tentang peringkat (urutan kedudukan) mujtahid berkaitan erat
dengan pemenuhan persyaratan dan kegiatan yang di lakukan dalam ijtihad
sebagaimana disebutkan di atas. Karena ulama berbeda titik pandangnya
dalam menjelaskan macam-macam ijtihad, maka berbeda pula kalangan
ulama ushul dalam membuat peringkat kedudukan mujtahid. Di bawah ini
akan disebutkan peringkat kedudukan mujahid. Di bawah ini akan
disebutkan peringkat mujtahid menurut Abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh,
yang membuat urutan secara rinci:4

1. Mujtahid dalam hukum syara’


Penempatan mujtahid ini dalam rangking pertama karena melihat temuan
hasil yang di capai dan di tetapkannya. Mujtahid ini menggali,menemukan
dan mengeluarkan hukum langsung dari sumbernya. Ia menelaah hukum
dari Al-Qur’an dan mengistinbathkan hukum dari hadits Nabi. Ia
menggunakan Qiyas dalam menetapkan hukum atas sesuatu dilihatnya
adanya kesamaan ‘illat antara hukum yang ada nashnya dengan yang tidak
ada nashnya, atau menggunakan istishan karena dilihatnya qiyas tidak
menyelesaikan masalah, dan menetapkan hukum atas dasar maslahah

5
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

mursalah, istishab dan dalil lain bila tidak menemukan nash yang memberi
petunjuk.
Mujtahid peringkat pertama ini harus memenuhi segala persyaratan
sebagaimana tersebut di atas, sehingga disebut mujtahid yang sempurna
atau “al-kamil” karena dalam berijtihad, ia merintis sendiri dengan
menggunakan kaidah dan ilmu ushul yang disusunnya sendiri. Ia juga
termasuk “mujtahid mandiri” atau “al-mustaqil” karena tidak memiliki
keterkaitan dengan suatu kaitan apapun yang mengurangi derajat
ijtihadnya. Juga termasuk “mujtahid mutlaq”.
Mujtahid yang memiliki kualifikasi dalam rangking ini di kalangan ulama
tabi’in adalah seperti Said ibn Musayyab; Ibrahim al-Nakha’i dan ayahnya,
al-Baqir; Abu Hanifah; Malik; al-Syafi’i; Ahmad bin Hanbal; al-Auza’i, al-
Kaits ibn Sa’ad; Sofyan al-Tsauri, dan lainnya. Di antara pemikiran atau
aliran mazhab dari paraimam mujtahid itu bertahan sampai saat ini dan
sebagian lainnya ada yang tidak berkembang (tidak dikenal) lagi.
2. Mujtahid Muntasib
Rangking kedua mujtahid di sebut muntasib, dalam arti ijtihadnya di
hubungkan kepada mujtahid yang lain. Mujtahid ini dalam berijtihadnya
memilih dan mengikuti ilmu ushul serta metode yang telah ditetapkan oleh
mujahid terdahulu, namun ia tidak mesti terkait kepada mujtahdi tersebut
dalam menetapkan hukum furu’ (fiqh) meskipun hasil temuan yang
ditetapkannya ada yang kebetulan sama dengan yang telah ditetapkan oleh
imam mujtahid sebelumnya karena ia berguru kepada mujtahid tersebut dan
mengambil cara-cara yang digunakan oleh gurunya dalam berijtihad.
Dalam beberapa hal pun ia pun berbeda pendapat dengan gurunya itu.
Di antara mujtahid yang masuk dalam peringkat ini adalah:
1. Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan al-Syaibani yang
menghubungkan dirinya kepada Abu Hanifah (Mazhab Hanafi);
2. Al-Muzanni yang berguru cukup lama kepada al-Syafi’i (mazhab
Syafi’i);
3. Abd al-Rahman ibn Qasim yang dihubungkan kepada Imam Malik
(mazhab Maliki).
4. Ahmad ibn Hanbal (mazhab Hanbali) yang pada mulanya
dinisbahkan kepada al-Ayafi’i, namun kemudian menyatakan
mandiri dan tidak lagi disebut “al-muntasib”.

6
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

3. Mujtahid Madzhab
Mujtahid mazhab adalah mujtahid yang mengikuti imam mazhab tempat ia
bernaung, baik dalam ilmu ushul maupun dalam furu’. Kalaupun dia
melakukan ijtihad, ijtihaddnya terbatas dalam lingkup masalah yang
ketentuan hukumnya tidak diperoleh dari imam mazhab yang dianutnya.
Dengan perkataan lain, mujtahid mazhab ini berijtihad hanya dalam ruang
lingkup mazhabnya, khususnya terhadap kasus-kasus hukum yang belum
dibahas oleh imam mazhabnya.
4. Mujtahid Murajjih
Mujtahid murajjih adalah mujtahid yang berusaha menggali dan mengenal
hukum furu’, namun ia tidak samapai mengistinbathkan sendiri hukum dari
dalil syar’i maupun dari nash imamnya. Pengerahan kemampuannya hanya
menemukan pendapat-pendapat yang pernah diriwatkan dalam mazhab dan
mentarjihkan diantara pendapat-pendapat tersebut bagi pengalamannya.
Dibawah tingkatan mujtahid adalah muttabi (orang yang ber-ittiba’). Ittiba’
artinya menerima pendapat orang lain dengan mengetahui dasar hukumnya.
5. Mujtahid Muwazzin
Mujtahid muwazzin oleh Abu Zahrah di sebut dengan mustadillin yaitu
ulama yang tidak mempunyai kemampuan untuk mentarjih di antara
beberapa pendapat mazhab, tetapi hanya sekedar membanding-bandingkan
pendapat dalam mazhab kemudian berdalil dengan apa yang dianggapnya
lebih tepat untuk diamalkan.
6. Golongan Huffaz
Golongan ini tidak melakukan kegiatan ijtihad dalam pengertian istilah
(yang berlaku pada umumnya), tetapi mempunyai kemampuan untuk
menghafal dan mengingat hukum-hukum yang telah ditemukan oleh
mujtahid mazhab dengan mantakhrijkannya dari pendapat imam mazhab.
Di samping ia menghafal hukum yang telah ditetapkan, juga menghafal
periwayatannya.
Pendapat golongan huffaz ini tidak punya kekuatan dari segi ijtihad, namun
mempunyai kekuatan dari segi penghafalannya. Golongan ini mempunyai
kekuatan dalam menukilkan periwayatan yang kuat dalam mazhab dan
pendapat yang kuat dari hasil tarjih.
7. Golongan Muqallid
Golongan ini adalah kalangan umat yang tidak mempunyai kemampuan
dalam melakukan ijtihad dalam pengertian istilah (yang berlaku), juga tidak
mempunyai kemampuan untuk mentakhrijkan pendapat imam, ia juga tidak
7
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

memahami dalil-dalil. Dalam beramal ia hanya mengikuti apa yang


dikatakan imam mazhab, baik secara langsung atau menurut apa yang telah
dikembangkan oleh pengikut mazhab.
Dari urutan ranking mujtahid menurut Abu Zahrah di atas, di antara
mujtahidnya memang memiliki kitab hasil karya ijtihadnya, baik dalam arti
yang sebenarnya atau dalam arti takhrij. Namun ada juga yang sama sekali
tidak ditemukan hasil karya ijtihadnya.

Dalam menetapkan siapa saja yang berhak menyandang predikat mujtahid


dan yang tidak berhak pada urutan rangking diatas, terdapat perbedaan di
kalangan ahli ushul:
1. Salam Madzkur menempatkan peringkat pertama, kedua dan ketiga
pada jajaran mujtahid, karena jelas mereka memiliki karya ijtihad.
Sedangkan pada peringkat murrajih, muwazzin dan peringkat yang
dibawahnya ditempatkan pada golongan muqallid (orang yang
bertaklid).
2. Abu Zahrah menempatkan lima peringkat pertama sebagai
mujtahid sedangkan yang di bawah termasuk muqallid, karena
ulama yang hanya mempunyai kemampuan untuk mentarjih, apa
lagi hanya mampu untuk membanding-bandingkan di antara
pendapat yang berkembang tidak menampakkan kegiatan ijtihad
dalam pengertian yang umum digunakan.

C. Macam macam Ijtihad Berdasarkan Tingkatan


1. Mujtahid dalam hukum syara’5
Yaitu mujtahid yang memiliki kemampuan untuk menggali hukum syari’at
langsung dari sumbernya yang pokok (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan
mampu menerapkan metode dan dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai
landasan atas segala aktifitas ijtihadnya. Mujtahid ini dapat dikatakan
mustaqil karena mereka mampu mengistinbathkan hukum dari sumber
aslinya tanpa terikat oleh suatu madzhab juga pendapat mujtahid lain.
Pendapatnya kemudian disebarluaskan kepada masyarakat.
2. Mujtahid Muntasib
Mujtahid ini dalam berijtihadnya memilih dan mengikuti ilmu ushul serta
metode yang telah ditetapkan oleh mujtahid terdahulu, namun ia tidak
mesti terkait kepada mujtahid tersebut dalam menetapkan
8
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

hukum furu’ (fiqh) meskipun hasil temuan yang ditetapkannya ada yang


kebetulan sama dengan yang telah ditetapkan oleh imam mujtahid yang
dirujuknya. Keterikatan mujtahid ini dengan imam mujtahid sebelumnya
karena ia berguru kepada mujtahid tersebut dan mengambil cara-cara yang
digunakan oleh gurunya dalam berijtihad. Dalam beberapa hal ia pun
berbeda pendapat dengan gurunya itu. Misalnya:
a. Hanafiyyah : Imam Zufar, Mohammad bin Hasan asy-Sayibani,
Abu Yusuf
b. Malikiyyah : Ibnu Qosim, imam Asyhab, dan Ibnu Abdi Hakam
c. Syafi’iyyah : Imam al-Muzaniy, al-Buwaithi dan al-Za’faroniy
d. Hambaliyyah : Ibnu Taimiyyah

3. Mujtahid Mazhab
Cara kerja dari mujtahid mazhab yaitu mengikuti imam mazhab tempat ia
bernaung, baik dalam ilmu ushul maupun dalam furu’. Ia mengikuti temuan
yang dicapai imam mazhab dan tidak menyalahi apa yang ditetapkan oleh
imamnya.
Mujtahid ini mempunyai ilmu yang luas tentang mazhabnya sehingga
memungkinkan untuk mengeluarkan (mentakhrij-kan) hukum dengan cara
menghubungkannya kepada apa yang telah digariskan oleh imamnya.
Ijtihadnya terbatas pada usaha meng-istinbath hukum untuk masalah yang
belum ditetapkan oleh imamnya dengan mengikuti kaidah dan metode
ijtihad yang telah dirumuskan imamnya tersebut.
Mujtahid mazhab ini dalam beberapa literatur disebut juga dengan mujtahid
mukharrij, karena posisinya dalam ijtihad adalah men-takhrij-kan
(mengeluarkan) pendapat imam mujtahid dalam menjawab persoalan
hukum pada kasus lainyang serupa. Walaupun dalam hal ini mujtahid
tersebut berhasil menetapkan hukum sebagai temuannya, namun ia tetap
menisbahkan hukum yang ditetapkannya itu kepada imamnya, sehingga
pemikran imamnya itu semakin berkembang dan meluas.

4. Mujtahid Murajjih
Ibnu Subki menamakan mujtahid dalam peringkat ini dengan mujtahid
fatwa, yaitu orang yang mempunyai pengetahuan luas dalam mazhab
imamnya yang memungkinkannya untuk melakuka tarjih dari beberapa
pendapat tentang satu masalah dalam lingkup mazhab.

9
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

Dihubungkannya kata tarjih dengan fatwa di sini, tampaknya karena yang


akan difatwakan oleh mujtahid murajjih ini bukan hasil ijtihadnya, tetapi
hasil tarjih yang dilakukannya dari beberapa pendapat yang telah
berkembang dalam mazhab. Mujtahid murajjih mentarjih (mengunggulkan
dan menguatkan) diantara pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari
imamnya dengan alat tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid-mujtahid
pada tingkatan-tingkatan diatasnya. Mereka mentarjih sebagian pendapat
atas pendapat lain dalam konteks kehidupan masyarakat pada masa itu, atau
karena alasan-alasan lain, namun tidak melakukan kegiatan istimbath bary
yang indipenden. Ini adalah tingkatan paling rendah dalam ijtihad.
5. Mujtahid Muwazzin
Mujtahid Muwazzin oleh Abu Zahrah disebut juga
dengan mustadillin, yaitu ulama yang tidak mempunyai kemampuan untuk
men-tarjih di antara beberapa pendapat mazhab, tetai hanya sekedar
membanding-bandingkan pendaat dalam mazhab kemudian berdalil dengan
apa yang dianggapnya tepat untuk diamakan.

6. Golongan Huffaz
Golongan ini tidak melakukan kegiatan ijtihad dalam pengertian istilah
(yang berlaku pada umumnya), tetapi mempunyai kemampuan untuk
menghafal dan mengingat hukum-hukum yang telah ditemukan imam
mujtahid terdahulu secara langsung dari nash atau apa yang ditemukan oleh
mujtahid mazhab dengan men-takhrij-kannya dari pendapat imam mazhab
di samping ia menghapal hukum yang telah ditetapkan, juga menghafal
periwayatannya.
Pendapat golongan huffaz ini tidak punya kekuatan dari segi
penghafalannya. Golongan ini mempunyai kekuatan dalam menukilkan
periwayatannya yang kuat dalammazhabdan pendapat yang kuat dari
hasil tarjih.

7. Golongan Muqallid
Golongan ini adalah kalangan umat yang tidak mempunyai kemampuan
dalam melakukan ijtihad dalam pengertian istilah (yang berlaku), juga tidak
mempunyai kemampuan untuk men-takhrj-kan pendapat imam, ia juga
tidak memahami dalil-dalil. Alam beramal ia hanya mengikuti apa yang
dikatakan imam mazhab, baik secara langsung atau menurut apa yang telah
dikembangkan oleh pengikut mazhab.

10
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

Kesimpulan tentang Pembahasan Ijtihad dan Mujtahid


Mujtahid menurut bahasa ialah asal dari kata jahada ‫ جهد‬, yang bermakna
sungguh-sungguh, sedangkan mujtahid ‫ مجتهد‬dari isim fa’il yang bermakna
orang yang bersungguh-sungguh. Ijtihad ‫ اجتهد‬pada asalnya adalah
mengerahkan seluruh kemampuan dalam menuntut atau mengistimbatkan
hukum untuk  satu tujuan.
Untuk menjadi mujtahid ada beberapa syarat yang membatasi mengingat
bahwa ijtihad merupakan sebuah kegiatan dan aktifitas yang tidak mudah
untuk dilakukan. Oleh karenanya para ushul fiqh telah menetapkan
beberapa kriteria yang mesti dimiliki oleh seorang “mujtahid”, sehingga
yang bersangkutan dianggap layak dan cakap untuk melakukan istimbath
al-hukum (penggalian hukum). Kalangan ulama ushul fiqh kemudian
memberikan penamaan terhadap beberapa persyaratan ini dengan term “al-
ahliyyah li al-ijtihad”. Abdul Wahab Khalaf menyebut ada empat ada
empat kriteria untuk menjadi mujtahid, yaitu:
 Hendaknya sesorang mempunyai pengetahuan bahasa Arab, dari
segi sintaktis dan filologinya (cara-cara dalalahnya, susunan
kalimatnya dan satuan-satuan katanya).
 Hendaknya ia mempunyai pengetahuan tentang al-Qur’an.
Maksudnya haruslah mengetahui hukum-hukum syar’iyah yang
terkandung di dalamnya dan ayat-ayat yang menyebut hukum-
hukum teersebut.
 Hendaknya ia mempunyai pengetahuan tentang as-Sunnah. Artinya
mengerti hukum-hukum syara’ yang ada dalam as-Sunnah dari segi
keshahihan atau kelemahan riwayatnya.
 Hendaknya ia mengerti segi-segi Qiyas. Misalnya mengerti ‘illat
dan hikmah pembentukan syariat yang dengan itu disyariatkan
beberapa hukum.

Tingkatan Mujtahid
Pembicaraan tentang peringkat (urutan kedudukan) mujtahid berkaitan erat
dengan pemenuhan persyaratan dan kegiatan yang di lakukan dalam ijtihad
sebagaimana disebutkan di atas. Karena ulama berbeda titik pandangnya
dalam menjelaskan macam-macam ijtihad, maka berbeda pula kalangan
ulama ushul dalam membuat peringkat kedudukan mujtahid. Di bawah ini
11
Materi Kuliah Agama STIKES Rajawali Bandung 2019

akan disebutkan peringkat kedudukan mujahid. Di bawah ini akan


disebutkan peringkat mujtahid menurut Abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh,
yang membuat urutan secara rinci:
1. Mujtahid dalam hukum syara’
2. Mujtahid Muntasib
3. Mujtahid Madzhab
4. Mujtahid Murajjih
5. Mujtahid Muwazzin
6. Golongan Huffaz
7. Golongan Muqallid

DAFTAR PUSTAKA

1. Mukri, Ahmad, DR, KH, MA. Kontekstualisasi ijtihad dalam


diskursus pemikiran hukum
2. Islam di Indonesia. Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.
3. Syarifuddin, Amir. USHUL FIQH. Jakarta: Kencana, 2011.
4. Syarifuddin, Amir. USHUL FIQH jilid 2. Jakarta: Kencana, 2008.

Catatan Kaki
1 Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, M.A, Kontektualisasi ijtihad dalam diskursus
pemikiran hukum islam di Indonesia, h. 21
2 Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, M.A, Kontektualisasi ijtihad dalam diskursus
pemikiran hukum islam di Indonesia, h. 23
3 Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, M.A, Kontektualisasi ijtihad dalam diskursus
pemikiran hukum islam di Indonesia, h. 31
4 Amir Syarifuddin. USHUL FIQH jilid 2, h.
5 Amir Syarifuddin. USHUL FIQH, h.

12

Anda mungkin juga menyukai