Anda di halaman 1dari 15

PERSPEKTIF ASWAJA TERHADAP BID’AH

Dosen Pengampu: MUHAMMAD YAKUB

Oleh
RIKI KURNIAWAN (22060600
ABDI ABDURAHMAN (2206060031)

PRODI EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA NTB
2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Perspektif Aswaja
Tetang Bid’ah.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini.Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas
dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.

Mataram, Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI

COVER...........................................................................................................1
KATA PENGANTAR...................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................3
ABSTRAK......................................................................................................4

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Penulisan

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Bid’ah
2. Macam – Macam Bid’ah
3. Kriteria Bid’ah Hasanah
4. Contoh – contoh bid’ah
5. Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh
sebelumnya dari Nabi SAW
6. Bid’ah dalam kaidah hukum / syariat
7. Pandangan Bid’ah dari kelompok atau aliran lain

C. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
PERSPEKTIF ISLAM TENTANG BID’AH

Oleh
Fitri Nurjanah
didalam bid’ah kita memecahkan masalah yang belum ada
sebelumnya atau belum ada dialquran maupun hadis dan NU selalu
mengambil posisi di garda terdepan dalam upaya membela tradisi-tradisi
keagamaan lokal tersebut dari serangan kaum Wahabi.
Kata kunci: Memecahkan, Membela.

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Nahdlatul Ulama sebagai salah satu kelompok umat Islam yang setia
mengamalkan sejumlah ritual-ritual keagamaan seperti tahlil, ziarahkubur,
maulid, kerap dijadikan sasaran kelompok lain dengan klaim syirik,
murtad, taqlid dan melakukan bid’ah. Dan hal itu yang menyebabkan
keresahan di warga NU.
hal ini menjadikan warga NU memberikan respon terhadap aksi
radikalisme yang diakukan oleh wahabi dan warga NU melakukan
penetrasi sebagai alternatif penanganan radiklisme yang menyesatkan
bid’ah bagi kalangan wahabi. NU sendiri membantah adanya hal tersebut
hal ini dikerenakan tidak adanya dalil yang menerangkan bahwa Bid’ah
tidak sesat karena didalam bid’ah kita memecahkan masalah yang belum
ada sebelumnya atau belum ada di Alquran maupun hadis dan NU selalu
mengambil posisi di garda terdepan dalam upaya membela tradisi-tradisi
keagamaan lokal tersebut dari serangan kaum Wahabi. Selain itu juga
menyelenggarakan Kampanye anti-Wahabisme ini tampaknya bukan saja
bergema di kalangan struktural NU, melainkan juga telah menjadi isu
utama di kalangan kelompok kultural NU.Kalangan kaum muda NU di
jalur kultural yang sebelumnya kerap bersebrangan dengan kalangan
kaum tua yang ada di struktur dan pesantren-pesantren, kini tampak
kompak dan bertemu dalam isu besar anti-Wahabisme.
Begitu pula sumberdaya struktural berupa kelengkapan organisasi
yang dimiliki oleh NU mulai dari tingkat pusat (PBNU) hingga tingkat
Ranting yang berada di pedesaan, dimobilisir untuk membendung
ekspansi dakwah Wahabi. Rasa keterancaman terhadap Wahabisme
seolah telah membangkitkan kembali soliditas dan solidaritas gerakan
sosial NU yang sebelumnya banyak diwarnai oleh konflik-konflik internal
akibat keterjebakan mereka dalam kubangan politik praktis.
Selain itu juga adanya rekonsolidasi dan revitalisasi terhadap
semua sumberdaya, baik yang bersifat diskursif seperti aqidah dan
amalaiyah, maupun terhadap semua asset yang dimiliki NU. Berikut ini
akan digambarkan beberapa respon yang diberikan
oleh kalangan NU, baik dari struktural maupun dari kelompok kultural,
terhadap fenomena ekspansi gerakan Wahabisme kontemporer.

2. Rumusan Pembahasan
a. Bagaimana perspektif Aswaja tentang bid’ah ?
b. Bagaimana Respon NU terhadap kelompok lain yang menyatakan
bid’ah sesat dan menganggap bid’ah bagian dari tasyrik/syirik

3. Tujuan Pembahasan
a. Menjelaskan perspektif Aswaja tentang bid’ah
b. Menjelaskan Respon NU terhadap kelompok lain yang
menyatakan bid’ah sesat dan menganggap bid’ah bagian dari
tasyrik/syirik.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Bid’ah
Kata bid’ah berasal dari kata bada’ah. Kata ini memiliki pengertian.
“membuat sesuatu yang baru, yang tidak pernah ada sebelumnya.Bid’ah
secara bahasa semua perkara baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-
adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Jadi dapat
disimpulkan bahwa bid’ah adalah sesuatu perkara baru yang belum ada
sebelumnya yang diadakn oleh ulama yang belum ada sumbernya dari
hadis dan alqur’an. Pengertian tersebut di atas didapati pada antara lain
1.Firman Allah, Q.S. al-An’am : 101 ;

‫َبِد يُع الَّس َم اَو اِت َو اَأْلْر ِض َأَّنى َيُك وُن َلُه َو َلٌد َو َلْم َتُك ْن َلُه َص اِح َبٌة َو َخ َلَق ُك َّل َش ْي ٍء َو ُهَو‬
‫ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِليٌم‬
Artinya : Dia (Allah) adalah Pencipta langit dan bumi, bagaimana Dia
mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan
segala sesuatu; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(Q.S. al-An’am :
101)
 Dalil tentang bid’ah adalah sebagai berikut:
"Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah kitab Allah, dan sebaik-
baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk
perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah bid'ah, dan setiap
bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka." (HR. An-
Nasa'i)1

2. Macam – macam Bid’ah


Bid’ah terbagi dua, yaitu :
1. Bid’ah hasanah
Yaitu : Perkara baru yang termasuk baik (hasanah), tidak
bertentangan dengan Al Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma
Contohnya sholat tarawih , pengumpulan mushaf
2. Bid’ah dhalalah Perkara baru yang bertolak belakang dengan Al
Qur'an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid'ah
yang sesat.2

3. Kriteria bid’ah hasanah


Kriteria bid’ah hasanah antara lain :
1. termasuk dalam katagori urusan agama yang bersifat ibadah,
bukan urusan-urusan ‘adiyah dan urusan kehidupan yang tidak
bersifat ibadah
2. masuk di bawah pokok-pokok, maqashid syari’at atau perintah
yang bersifat umum dari syari’at. Misalnya perayaan maulid
Nabi SAW. Ini termasuk dalam pokok-pokok agama yang
menganjurkan zikir kepada Allah dan memperbanyak shalawat
kepada Nabi-Nya.
3. tidak bertentangan dengan nash-nash syari’at. Oleh karena itu,

1
Jurnal Anam, Choirul, Pertumbuhan,dan Perkembangan Nahdlatul
Ulama, Solo: Penerbit Jatayu, 1984.

2
https://finafitriani10.blogspot.com/2016/06/perspektif-aswaja-tentang-bidah.html
bid’ah hasanah tidak dapat dituduh sebagai sesuatu yang hanya
didasarkan kepada hawa nafsu manusia.
4. dianggap oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang baik.

4. Contoh-contoh bid’ah hasanah


Adapun Contoh-contoh bid’ah hasanah antara lain :
1. Melaksanakan shalat Tarawih dengan berjama’ah. Izzuddin
Abdussalam telah memasukkan shalat Tarawih secara
berjama’ah ini dalam kelompok ibadah katagori bid’ah
hasanah, yakni kelompok bid’ah mustahabbah.
2. Pembukuan Al-Qur’an pada masa Sayyidina Abu Bakar
ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab.
3. Utsman ibn Affan menambah azan untuk hari Jumat
menjadi dua kali.
4. Membangun perkumpulan dan madrasah-madrasah dan
berjabatan tangan setelah Shalat Subuh dan Ashar.
5. Belajar ilmu Bahasa Arab yang tergantung padanya
pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf, Ma’ani,
Bayan, lughat, setiap kebaikan yang tidak dikenal pada
zaman awal dan pembahasan yang mendalam dalam ilmu
Tasau
6. Memperingati maulid Nabi Muhammad SAW
7. Shalat Tasbih dengan berjama’ah.
8. Amalan Ibnu Abbas menjihar al-Fatihah dalam shalat
jenazah
9. Membaca shadaqallahuh ‘adhim setelah selesai membaca
al-Qur’an. Perbuatan ini telah terjadi di lingkungan
kebanyakan kaum muslimin. Perbuatan ini meskipun tidak
ada dalil khusus dari syara’.
10. Membaca Innallaha wa malaikatahu yushaalluna ‘alannabi .
. .dst sebelum khutbah Jum’at.
11. Membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW sesudah azan
12. Menulis nama-nama surat, jumlah ayat, tanda waqaf dan
lainnya dalam mashaf al-Qur’an

5. Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh


sebelumnya dari Nabi SAW
Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya
dari Nabi SAW
1. Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua macam
sebagaimana pernyataan beliau :
“Setiap perbuatan yang diadakan kemudian dan menyalahi kitab, sunnah,
ijmak dan atsar adalah bid’ah yang sesat dan setiap perbuatan yang baik
diadakan kemudian, tidak menyalahi sesuatupun dari demikian adalah
bid’ah terpuji
2. Ibnu Mulaqqan mengatakan :
“Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada sebelumnya.
Maka yang menyalahi sunnah adalah bid’ah dhalalah dan yang sepakat
dengan sunnah adalah bid’ah al-hudaa (terpetunjuk/benar.
3. Syaikh Abu Muhammad bin Abdussalam dalam Kitabnya, al-
Qawa’id membagi bid’ah dalam lima pembagian, yaitu : wajib, haram,
makruh, mustahabbah dan mubah. Sayyed ad-Dimyathi setelah mengutip
pernyataan Ibnu Abdussalam di atas, memberikan contoh-contoh bid’ah,
yaitu sebagai berikut : contoh wajib : membukukan al-Qur’an dan syari’at
apabila dikuatirkan hilang, contoh haram : bid’ah-bid’ah yang dilakukan
oleh orang-orang dhalim seperti memungut pajak, contoh makruh :
menghiasi mesjid dan mengkhususkan ibadah malam hanya malam
Jum’at, contoh mustahabbah : melaksanakan Shalat Tarawih dengan
berjama’ah, membangun perkumpulan dan madrasah-madrasah dan
contoh mubah : berjabatan tangan setelah Shalat Subuh dan Ashar
Dengan demikian, maka bid’ah hasanah dengan makna sebagaimana
disebut sebelum ini tidak termasuk dalam katagori bid’ah dengan makna
ini, alias termasuk sunnah. Karena bid’ah hasanah menurut ulama yang
membagi bid’ah kepada hasanah dan dhalalah, mempunyai dalil atau
qawaid agama yang bersifat umum yang menjadi pendukungnya,
meskipun amalan tersebut tidak ada contoh dari Rasulullah SAW.
Berdasarkan uraian ini, maka perbedaan penafsiran hadits diatas antara
dua kelompok ulama ini bukanlah merupakan perbedaan yang substansial.
Karena kedua kelompok ini sepakat bahwa amalan yang tidak ada contoh
dari Rasulullah SAW tetapi didukung oleh dalil dan qawaid agama yang
bersifat umum termasuk dalam katagori amalan yang diterima pada syara’.
Mereka hanya berbeda pendapat dalam penamaannya saja. Kelompok
pertama menamakan sebagai bid’ah hasanah, sedangkan kelompok kedua
menamakannya sebagai amalan sunnah, tidak termasuk dalam katagori
bid’ah. Ulama kelompok kedua ini mengatakan bahwa yang dimaksudkan
dengan bid’ah pada hadits di atas adalah bid’ah syar’i sebagaimana makna
yang disebutkan. Sedangkan bid’ah yang dibagi oleh ulama berdasarkan
hukum syara’ yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah adalah
merupakan bid’ah secara bahasa sebagaimana tergambar pada keterangan
ulama di bawah ini :
4. Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat”
adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau
umum dari syara’.”[52]
5. Menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf, setiap perkataan atau
perbuatan ataupun keadaan yang tidak dukung oleh dalil syari’at yang sah
adalah bid’ah yang tertolak. Pelakunya adalah orang yang tertipu,
maksudnya adalah bid’ah menurut syara’ sebagaimana disebutkan dalam
al-Fatawa al-Haditsah. Adapun bid’ah menurut bahasa terbagi dalam
hukum yang lima, yaitu :
a. wajib kifayah seperti belajar ilmu Arabiyah yang tergantung
padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf,
Ma’ani, Bayan, loghat, tidak termasuk ‘Arudh dan Qawafii dan
lainnya.
b. haram seperti semua sikap ahli bid’ah yang berselisih dengan
Ahlussunnah wal Jama’ah
c. sunat seperti setiap kebaikan yang tidak dikenal pada zaman awal
dan seperti pembahasan yang mendalam dalam Tasauf.
d. makruh seperti menghiasi mesjid dan menghiasi mashaf
e. mubah seperti berlapang-lapang pada melezatkan makanan dan
minuman.[53]
Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf sebagaimana uraian di atas, meskipun
berpendapat bahwa bid’ah menurut syara’ hanya terbatas bid’ah dhalalah,
namun beliau tetap mengakui bahwa perbuatan yang tidak ada contoh dari
Nabi SAW terbagi sesuai dengan hukum syara’, yaitu wajib, mubah,
haram, sunnah dan makruh. Bid’ah yang terbagi lima ini menurut Sayyed
Alwi bin Ahmad As-Saqaf adalah bid’ah menurut bahasa. Penjelasan
Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf ini pada hakikatnya juga mengakui
adanya pembagian bid’ah kepada bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah.
6. Bid’ah dalam kaidah hukum / syariat
• Bid'ah wajib
Seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa
Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah.
Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga
kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,
‫َم ا َالَيِتُّم الَو اِج ُب ِإَّال ِبِه َفُهَو َو اِج ٌب‬

"Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka


sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya."

• Bid'ah haram
Seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al
Murji'ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur'an adalah produk
budaya, dan paham bahwa zamantini masih jahiliyah sehingga hukum-
hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya.

• Bid'ah sunah
Seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan,shalat tarawih
secara bejamaah dengan satu imam,dan adzan dua kali pada shalat Jum'at.

• Bid'ah makruh
Seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur'an.

• Bid'ah mubah
Seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid
Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur'an di kuburan, dzikir secara
berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras
secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.

Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di


kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang
hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan
meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam
melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok
lainnya.3

7. Pandangan Bid’ah dari kelompok atau aliran lain


1. Doktrin tasyrikatau menilai sebuah amaliyah tertentu sebagai
bagian dari Syirik atau menyekutukan Allah. Doktrin tasyrikini
misalkan memuat larangan agar umat Islam tidak boleh
mengangkat manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah
meningal, untuk dijadikan perantara dengan maksud
mendekatkan diri kepada Allah.
3. konsep yang kerap mewarnai doktrin-doktrin kaum Wahabi
adalah apa yang disebut dengan bid’ah. Bid’ahmenurut kaum
Wahabi adalah praktik-praktik keagamaan yang tidak didasarkan
atau tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan Sunnah serta
otoritas sahabat Nabi. Sehingga konsep bi’dah versi Wahabi ini
biasanya dipasangkan sebagai lawan negatif dari sunnah.
Dengan demikian, menegakkan sunnah melibatkan tindakan
meninggalkan bid’ah. Kaum Wahabi tidak mengakui adanya
bid’ah yang baik (bid’ah hasanah), melainkan seluruh bid’ahitu
adalah negatif dan didefinisikan secara kronologis: bid’ahadalah
seluruh praktik atau konsep keagamaan yang baru ada setelah abad
ketiga Hijriyah. Dengan demikian, periode perkembangan konsep
atau praktik keagamaan baru yang bisa diterima tidak hanya

3
http://www.facebook.com/von.edison.alouisci
meliputi dua generasi pertama kaum Muslim, yakni generasi
sahabat dan tâbi‘în, tetapi juga periode para imam empat
mazhab fikih Sunni.
4. Konsep lainnya yang banyak mendapat penekanan dari kaum
Wahabi adalah soal taklid dan hukum bermadzhab. Taklid dan
bermadzhab bagi Ibnu Abdul Wahab merupakan salah satu
perbuatan yang telah mengarah pada pengkultusan seseorang,
padahal menurut Wahabi tidak ada yang patut dikultuskan
kecuali hanya Allah semata. Oleh karena itu, satu-satunya rujukan
atau tempat berpaling umat Islam itu hanyalah al-Qur’an dan
Sunnah serta otoritas sahabat Nabi

C. PENUTUP
1.Kesimpulan
Bid’ah merupakan suatu perkara yang belum pernah ada di zaman
rasulullah SAW, bid’ah dibagi menjadi 2 yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah
dhalalah . respon terhadap klaim dari kelompok lain Nu khususnya di
wilayah yogyakartab membuat berbagai program untuk mengantisipasi
adanya tindak ekstrimisme dari golongan lain terhadap bid’ah. Perlu
adanya gerakan – gerakan dari seluruh tatanan masyarakat nu baik dari
tatanan strruktural maupun kultural guna mewujudkan warga NU yang
menjunjung tinggi nilai” islamiyah.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Anam, Choirul, Pertumbuhan,dan Perkembangan Nahdlatul Ulama,


Solo: Penerbit Jatayu, 1984.
http://www.facebook.com/von.edison.alouisci
https://finafitriani10.blogspot.com/2016/06/perspektif-aswaja-tentang-
bidah.html

Anda mungkin juga menyukai