Perbandingan Madzhab
Kelompok 2
Siti Choirunnisah
Abdullah Rizal
(PAI 8 B)
JAKARTA SELATAN
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad Saw yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Swt atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah dari mata kuliah Perbandingan Madzhab
dengan tema “Perbedaan Madzhab dan Sebab-Sebabnya”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita, aaamiin.
I
DAFTAR ISI
II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbedaan adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan dalam kehidupan umat
manusia di muka bumi ini. Ia merupakan sunnatullah yang berlaku sepanjang masa.
Termasuk yang tidak bisa dielakkan adalah perbedaan pendapat sekalipun dalam
masalah pemahaman atau penafsiran hukum-hukum agama. Karena perbedaan
pendapat merupakan sebuah keniscayaan, maka hal tersebut tidak perlu disesali dan
menjadi sebab kita berpecah belah dan bercerai-berai. Perbedaan harus ‘disyukuri’
dan merupakan rahmat bagi umat islam. Tentu saja jika perbedaan itu disikapi
dengan dewasa, arif dan bijak serta menghindari truth claim sepihak, merasa paling
benar sendiri dan tidak mau berdialog.
Perbedaan selalu ada dalam kehidupan karena hal ini merupakan sunah Rasul
yang berlaku sepanjang masa. Perbedaan juga terjadi dalam segi penafsiran dan
pemahaman hukum yang berlaku. Seperti yang kita ketahui hukum tidaklah sekaku
dalam hal penerapannya pada masa awal islam, pada masa itu Nabi Muhammad
sebagai tolak ukur dan akhir dari setiap permasalahan yang ada pada masa itu.
Akan tetapi perbedaan itu semakin jelas terlihat ketika era para sahabat dan para
tabi’in yang ditandai dengan adanya berbagai aliran atau madzhab yang bercorak
kedaerahan dengan tokoh dan kecenderungan masing-masing.1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Madzhab?
2. Bagaimana lahirnya Madzhab?
3. Apa itu Ikhtilaf (Perbedaan)?
4. Apa saja sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Madzhab?
1
Ali Trigiyatno, Perbandingan Madzhab, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005),
h. 26-27
1
2
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Apa itu Pengertian Madzhab
2. Untuk Mengetahui Kapan Lahirnya Madzhab
3. Untuk Mengetahui Apa itu Ikhtilaf
4. Untuk Mengetahui Apa saja sebab-sebab Terjadinya Perbedaan
Madzhab
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Madzhab
Menurut bahasa Arab, “mazhab” ) هia ) berasal dari shighah masdar mimy (kata
sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan keterangan tempat) dari akar kata
fiil madhy “ dzahaba” ( )ذهyang bermakna pergi. Jadi, mazhab itu secara bahasa
artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-thariq).2 Sedangkan menurut istilah ada
beberapa rumusan:
2
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Darul Bayariq, 1995), h.197
3
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, Ibid.
4
Muhammad Ali Hasan, Perbandingan mazhab, (Jaharta: RajaGrafindo
Persada,1995),h. 86.
3
4
hukum syariat (fiqh), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga
mencahup ushul fiqh yang menjadi metode penggalian (thariqah al-istinbath) untuk
melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab
Syafi'i, itu artinya adalah, fiqh dan ushul fiqh menurut Imam Syafi'i.
B. Lahirnya Madzhab
Madzhab fiqih itu sudah ada sejak zaman sahabat. Misalnya mazhab
Aisyah ra, mazhab Ibn Mas'ud ra, mazhab Ibn Umar. Masing- masing memiliki
kaidah tersendiri dalam memahami nash Al-Qur'an Al-Karim dan sunnah,
sehingga terhadang pendapat Ibn Umar tidah selalu sejalan dengan pendapat
Ibn Mas'ud atau Ibn Abbas. Tapi semua itu tetap tidak bisa disalahkan karena
masing-masing sudah melakukan ijtihad.
Di masa tabi'in, kita juga mengenal istilah fuqaha al-Madinah yang tujuh
orang yaitu; Said ibn Musayyib, Urwah ibn Zubair, Al-Qasim ibn Muhammad,
Kharijah ibn Zaid, Ibn Hisyam, Sulaiman ibn Yasan dan Ubaidillah. Termasuk
juga Nafi' maula Abdullah ibn Umar. Di kota Kufah kita mengenal ada Al-
Qamah ibn Mas'ud, Ibrahim An-Nahha'i guru al-Imam Abu Hanifah. sedangkan
di kota Bashrah ada al-Hasan Al-Bashri.
Dari kalangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cukup terkenal; Ikrimah Maula
Ibn Abbas dan Atha' ibn Abu Rabbah, Thawus ibn Kiisan, Muhammad ibn
Sirin, Al-Aswad ibn Yazid, Masruq ibn al-A'raj, Alqamah an Nahha'i, Sya'by,
Syuraih, Said ibn Jubair, Mahhul ad Dimasyqy, Abu Idris al-Khaulani. Di awal
abad II hingga pertengahan abad IV hijriyah yang merupakan fase keemasan
bagi itjihad fiqh, yakni dalam rentang wahtu 250 tahun di bawah Khilafah
5
Abbasiyah yang berhuasa sejah tahun 132 H. Pada masa ini, muncul 13
mujtahid yang madzhabnya dibukukan dan diikuti pendapatnya. Mereka
adalah Sufyan ibn Uyainah (w.198H) dari Mekah, Malik ibn Anas (w.179H) di
Madinah, Hasan Al- Basri (w.110H) di Basrah, Abu Hanifah(w.150H) dan
5
Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri' fi al-Islam, terj.Ahmad Sujono,
(Bandung: Al-Ma'arif, 1981),h. 35.
5
Dari uraian di atas, jelas terdapat perbedaan antara orang awam dari
6
M. Ali Al-Sayis, Fiqih ijtihad Pertumbuhan dan Perhembangannya,(Nasy'ah al-Fiqh
al-Ijtihadi wa Athwaruhu) terj. M.Muzamil, (Solo: Pustaha Mantiq, 1997), h.146.
6
kaum muslimin dan ahlul kitab yang mengikuti pendapat mereka. Orang awam
dari kaum muslimin yang mengikuti pendapat imam-imam mereka,
pendapatnya diistinbathkan dari al-Qur'an dan Sunnah, sebagaimana
diperintahkan Alla¯h swt. dalam firman-Nya yang artinya
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu
tidak mengetahui” QS Al Nahl ayat 43
1. Periwayat Hdits
7
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perhembangan Fiqh: Analisis
Historis atas Mazhab, Dohtrin dan Kontribusi, terj.M.Fauzi Arifin, (Bandung: Nusamedia,
2005), h.125.
8
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan dan perhembangan huhum Islam,
terj. Wajidi Sayadi, ( Jaharta: Rajagrafindo Persada, 2002), h. 92.
8
9
Dihimpun oleh Ibnu Majah dari Aisyah dan dianggap daif oleh Nasiruddin al-
alBani dalam Daif Jami' as-Shagiir, (Beirut: al-Mahtab al-Islami, 1979), 167.
9
Imam Syafi'i, Imam Malih berpendapat dua alasan bahwa qay (muntah) tidak
membatalhan wudhu'. Pertama, hadits yang disebutkan di atas tidak sahih dan
hedua, qay (muntah) tidah secara khusus disebutkan dalam sumber hukum Islam
lainnya sebagai suatu tindakan yang membatalkan wudhu.
c. Persyaratan penerimaan hadits
Perbedaan lain di kalangan para ahli fiqh di wilayah sunnah muncul dari
beragamnya persyaratan yang mereka tetapkan untuh menerima hadits. Para
mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah
dengan sunnah mutawatirah dan sunnah masyhurah dari kalangan ahli fiqh;
sedanghan para mujtahidin Madinah (Malih dan sahabat-sahabatnya) berhujjah
dengan sunnah yang diamalkan penduduk Madinah. Adapun Imam-imam
mujtahid lainnya berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
adil dan tsiqah tanpa melihat mereka dari kalangan ahli fiqh atau bukan dan
apahah sesuai amalan ahli Madinah ataupun bertentangan.
10
Misalnya fatwa sahabat yang menetapkan bagian warisan untuh nenek
perempuan dengan bagian 1/6.
10
sahabat tidak berada dalam satu pendirian. Abu Hanifah, misalnya, mengambil
fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat,
serta tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara
keseluruhan. Ucapan beliau yang terkenal adalah:
“ Apabila aku tidak mendapatkan ketentuan dari Kitabullah dan sunnah Rasul
Alla¯h, maha aku mengambil pendapat dari sahabat beliau yang kukehendaki
dan meninggalkan pendapat sahabat yang tidak kukehendaki. Aku tidak mau
keluar dari pendapat sahabat-sahabat tersebut untuk kemudian memilih
pendapat selain sahabat”. Sebaliknya, Syafi'i memandang fatwa sahabat sebagai
ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang
menyelisihi keseluruhannya.
Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelahu) Ijma' dan hakikat
kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma' Sahabat sajalah yang menjadi
hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma' Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang
lainnya lagi menyatakan, Ijma' Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah.
Mengenai hakikat kehujjahan Ijma', sebagian menganggap Ijma' menjadi hujjah
karena merupakan titik temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya
menganggap hakikat kehujjahan Ijma' bukan karena merupakan titik temu
pendapat, tetapi karena menyingkapkan adanya dalil dari as-Sunnah.
Sebagai contoh mengenai perkawinan gadis yang masih di bawah umur, yang
11
kepada kaum fakir (ighna' al- faqir), sehingga mereka membolehkan berzakat
fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha‘ (1 sha‘= 2,176 kg takaran
gandum)
1. Kata-kata musytarah.
quru'”
Kata quru' adalah lafal musytarah, yaitu suci dan haid. Menurut Imam Malih,
Syafi'i ulama Madinah dan Abu Tsaur serta pengikutnya berpendapat bahwa
yang dimaksud quru' itu adalah suci. Begitu juga Ibn Umar, Zaid ibn Tsabit dan
Aisyah. Jadi iddahnya dihitung menurut masa suci dan berakhir dengan
berakhirnya masa suci yang ketiga.
Sementara Abu Hanifah, Tsauri, Auzai, Ibn Abi Laila dan pengikutnya
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan quru' adalah haid.
2. Pengertian suruhan dan larangan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
16