Oleh :
TAHUN 2022/2023
1
KATA PENGANTAR
21 Maret 2022
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI….......................................................................................................3
A. Latar Belakang............................................................................................4
B. Rumusan Masalah......................................................................................5
A. Kesimpulan ...............................................................................................15
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan hukum Islam setelah Rasulullah SAW wafat berkambang begitu pesat.
Hal itu dikarenakan pola pikir umat Islam dalam berpendapat tentang hukum berbeda-beda.
Umat islam mengalami dilematis dalam menetapkan hukum setelah Rasulullah wafat, karena
begitu banyak masalah-masalah hukum baru yang muncul yang belum ada nashnya dalam
Alquran dan Hadis. Dengan demikian muncullah berbagai pendapat mengenai hukum tentang
suatu hal.
Dalam Islam hal seperti ini dibolehkan dengan syarat harus dimusyawarahkan dengan
ulama-ulama yang lain atau dengan kata lain berijtihad. Jika kita tidak mampu berijtihad
dikarenakan keterbatasan pengetahuan kita, makakita harus mengikuti ijtihad dari salah
seorang mujtahid yang ia percayai. Hali ini sejalan dengan firman Allah dalam surat An-Nahl
ayat 42, yang artinya “ bertanyalah dari ahli zikir/ ulama jika kamu tidak mengerti”. Dari
situlah muncul hukum-hukum islam dari hasil ijtihad para ulama, yang mana lahirlah yang
disebut mazhab.
Dalam melaksanakan perintah agama, umat Islam tentu harus berlandaskan pada aturan
dalam Al-Qur’an dan Hadis. Ada begitu banyak ibadah, dan tata caranya, yang mendasari
lahirnya ilmu fiqih, yaitu ilmu tentang hukum dan tata cara melakukan ibadah yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Hukum mengatur halal dan haram, sunat dan makruh,
tata cara sholat, cara bersuci dan sebagainya.
Dalam agama Islam terutama dalam hal fiqih mengenal adanya Mazhab. Mazhab yaitu
sesuatu yang menjadi pendapat imam atau ahli agama tentang hukum suatu perkara baik
dalam urusan agama, masalah ibadah ataupun permasalahan lainnya. Ada banyak Mazhab
dalam perkembangannya, namun ada empat Mazhab yang paling masyhur, yaitu Mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Mayoritas umat Islam Indonesia menganut Mazhab
Syafi'i, hal tersebut tidak lepas dari peran penyebar Islam pertama kali ke Indonesia yang
juga menganut Mazhab Syafi'i. Mazhab Syafi’i memiliki pengaruh besar dalam tradisi hukum
4
Islam di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
5
BAB II
PEMBAHASAN
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam
memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Disini bisa disimpulkan pula
bahwa mazhab mencakup;(1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam
mujtahid; (2) ushul fiqh yang menjadi jalan (thariq) yang ditempuh mujtahid itu untuk
menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.
Sejatinya, mazhab atau aliran tersebut hanya berbeda dalam menafsirkan ayat-ayat yang
tak jelas artinya. Sedangkan, dasar ajaran Islam pada setiap mazhab-mazhab itu tak berbeda.
Sehingga, perbedaan yang ada dalam setiap mazhab itu masih dapat diterima sebagai sesuatu
yang benar dan tak keluar dari Islam. Terkadang, perbedaan antara satu mazhab dengan
mazhab lainnya cukup besar dan bahkan bertentangan.
6
B. LATAR BELAKANG MUNCULNYA MAZHAB
Lahirnya berbagai aliran atau mazhab dalam ilmu fiqh disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain sebagai berikut :
1. Perbedaan Pemahaman (Pengertian) Tentang Lafadz Nash
2. Perbedaan Dalam Masalah Hadits
3. Perbedaan dalam Pemahaman dan Penggunaan Qaidah Lughawiyah Nash
4. Perbedaan Dalam Mentarjihkan Dalil-dalil yang berlawanan ( ta’rudl al-adillah)
5. Perbedaan Tentang Qiyas
6. Perbedaan dalam Penggunaan Dalil-dalil Hukum
7. Perbedaan dalam Pemahaman Illat Hukum
8. Perbedaan dalam Masalah Nasakh
Pertama :
َ ت الصالةُ فتي َّمما
،صعيدًا طيِّبًا ِ فحضر، وليس معهما ما ٌء، خرج رجال ِن في سفر:عن أبي سعيد الخدري رضي هللا عنه قال
ثم أتيا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم، ولم ي ُِعد اآلخر، فأعاد أحدُهما الصالة والوضوء، ثم وجدا الماء في الوقت،فصلَّيا
((لك األج ُر مرَّتي ِن))؛ رواه أبو داود: وقال لآلخر،)) وأجزَأ ْتك صالتك،“ ((أصبت السُّنة: فقال للذي لم يُ ِعد،فذكرا ذلك له
والنسائي
Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata: “Ada 2 Sahabat dalam perjalanan, ketika waktu sholat
tiba dan tidak menemukan air, maka beliau berdua melakukan Tayammum. Keduanya pun
shalat. Setelah itu mereka menemukan air saat waktu shalat belum habis.” “Satu dari
mereka mengulang shalat dengan berwudhu’. Sahabat yang lain tidak mengulang shalatnya
(cukup dengan Tayammum tadi)” Setelah mereka datang kepada Rasulullah shalallahu
7
alaihi wasallam dan bercerita kejadian itu maka Nabi bersabda kepada Sahabat yang shalat
1 kali saja: “Kamu sudah sesuai Sunnah. Cukup shalatmu itu”. Dan kepada Sahabat yang
shalat 2x (dengan Tayammum dan Wudhu’) Nabi bersabda: “Kamu dapat 2 pahala”.
Ketika mereka mendapati waktu shalat yang disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam tersebut di tengah jalan, sebagian dari mereka mengatakan, “Kita tidak
shalat sampai kita tiba di perkampungan Bani Quraizhah.” Sementara yang lain bersikukuh
tetap melakukan shalat ‘Ashar pada waktunya, karena mereka memandang bahwa Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bermaksud menyuruh para shahabat Radhiyallahu anhum
menunda shalat ‘Ashar sampai lewat waktunya. Kemudian dua sikap yang berbeda dalam
menyikapi sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dilaporkan kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela salah
salah satunya.
Pada periode ini, Mazhab hanyalah sebuah pendapat atau Ijtihad para sahabat dalam
memahami sebuah kasus, lalu sahabat melaporkan kepada Rosul akan kasus tersebut,
sehingga Rosulullah SAW langsung memutuskan kasus tersebut apakah salah satu yang
benar atau keduanya benar. Mazhab secara sistematis belum terbentuk, hanya berbentuk
pendapat-pendapat para sahabat dan ijtihad-ijtihadnya yang kemudian disampaikan kepada
Rosulullah
8
Para sahabat melihat Rasulullah SAW mengerjakan suatu tindakan, sebagian sahabat
menafsirkannya sebagai tindakan qurbah (ibadah), sedangkan sebagian yang lain
menyimpulkannya sebagai tindakan mubah (biasa). Contohnya, para sahabat melihat Nabi
SAW melakukan lari-lari kecil saat thawaf. Oleh karena itu, mayoritas mereka berpendapat
hal tersebut adalah sunnah dalam tawaf. Sedangkan Ibnu Abbas, mengintepretasikan tindakan
beliau sebagai kebetulan karena ada motivasi yang muncul.
Rasulullah SAW mengerjakan ibadah haji dan orang-orang menyaksikannya. Sebagian
sahabat berpendapat bahwa beliau mengerjakan ibadah haji secara tamattu’, sementara
sebagian sahabat yang lain menganggapnya mengerjakan ibadah haji secara qiran. Sebagian
sahabat lain menyangka beliau mengerjakan ibadah haji secara ifrad.
Dari kalangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cukup terkenal; Ikrimah Maula Ibn Abbas
dan Atha’ ibn Abu Rabbah, Thawus ibn Kiisan, Muhammad ibn Sirin, Al-Aswad ibn Yazid,
Masruq ibn al-A’raj, Alqamah an Nakha’i, Sya’by, Syuraih, Said ibn Jubair, Makhul ad
Dimasyqy, Abu Idris al-Khaulani.
9
Guru-guru yang pernah beliau temui antara lain adalah : (Hammad bin Abu Sulaiman Al-
Asy’ari (W. : [120 H/ 738]) faqih kota “Kufah”, ‘Atha’ bin Abi Rabah (W. : (114 H/ 732 M)
faqih kota “Makkah”, ‘Ikrimah’ (W104 H/ 723 M) maula serta pewaris ilmu Abdullah bin
Abbas, Nafi’ (W. : [117 H/ 735 M]) maula dan pewaris ilmu Abdullah bin Umar serta yang
lain-lain. Beliau juga pernah belajar kepada ulama’ “Ahlul-Bait” seperti missal : Zaid bin Ali
Zainal ‘Abidin (79-122 H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir ([57-114 H/ 676-732 M]),
Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/ 699-765 M) serta Abdullah bin Al-Hasan.
Beliau juga pernah berjumpa dengan beberapa sahabat seperti missal : Anas bin Malik (10
SH-93 H/ 612-712 M), Abdullah bin Abi Aufa (w. 85 H/ 704 M]) di kota Kufah, Sahal bin
Sa’ad Al-Sa’idi (8 SH-88 H/ 614-697 M) di kota Madinah serta bertemu dengan Abu Al-
Thufail Amir bin Watsilah (W 110 H/729 M) di kota Makkah. Salah satu muridnya yang
terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, guru Imam Syafi’i. Melalui goresan
tangan para muridnya itu, pandangan-pandangan Imam Hanafi menyebar luas di negeri-
negeri Islam, bahkan menjadi salah satu mazhab yang diakui oleh mayoritas umat Islam.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600
dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin
Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath
Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua
darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i, Ats Tsauri,
10
Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang
belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az
Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.
Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu
Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al
Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan
bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-lain.
Mazhab Syafi’i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin ldris as-syafi’i. Ia wafat
pada 767 masehi 158 H. Selamahidup Beliau pernah tinggal di Baghdad, Madinah, dan
terakhir di Mesir. Corak pemikirannya adalah konvergensi atau pertemuan antara rasionalis
dan tradisionalis. Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang
pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji
sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia
merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang
mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini
belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji
yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian dia juga belajar dari Dawud
bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali
bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin
Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin
menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah
ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas. Ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh
kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan
menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah,
11
Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain. Adapun Murid beliau
yang paling terkenal antara lain adalah Imam ahmad bin hanbal.
Dengan lingkungan keluarga yang memiliki tradisi menjadi orang besar, lalu tinggal di
lingkungan pusat peradaban dunia, tentu saja menjadikan Imam Ahmad memiliki lingkungan
yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk menjadi seorang yang besar pula.
Beberapa gurunya yang terkenal, di antaranya Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al-
Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami,
Imam Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin `Uyainah, Abdurrazaq, serta
Ibrahim bin Ma’qil. Adapun muridnya adalah Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal Abdullah
bin Imam Ahmad bin Hambal Keponakannya, Hambal bin Ishaq.
Contoh :
1. Para ulama berbeda pendapat tentang wanita hamil atau wanita menyusui apakah wajib
puasa atau tidak ? Jika tidak wajib, apakah mengqodho puasanya atau membayar fidyah.
a). Imam Syafii berpendapat bahwa Wanita Hamil dan Menyusui boleh tidak berpuasa akan
tetapi keduanya wajib membayar qodho dan membayar fidyah
b).Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Wanita hamil dan Menyusui boleh tidak berpuasa,
akan tetapi keduanya hanya wajib membayar qodho saja
12
c). Imam Malik berpendapat bahwa Wanita hamil dan menyusui boleh tdak berpuasa, akan
tetapi keduanya hanya membayar fidyah
d). Imam Ahmad berpendapat bahwa Wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa, akan
tetapi wanita hamil wajib mengqodho puasa sedangkan wanita menyusui wajib membayar
Fidyah
e). Sebagian ulama lain seperti Imam Daud dari kalangan mazhab zhohiriyyah berpendapat
bahwa wanita hamil dan menyusui wajib berpuasa.
Para ulama berbeda pendapat karena tidak ada Nash yang shorih yang menjelaskan
hal tersebut, sehingga mereka mengqiyaskan dengan orang yang sakit atau orang yang tidak
mampu sama sekali berpuasa.
Mengenai perbedaan pendapat di kalangan ulama abad ke 3 -9 telah banyak kitab yang
membahasnya, masing masing menguatkan prndapat Imam mazhabnya, walau tak jarang ada
sebagian ulama yang berbeda dengan imam mazhabnya.
13
5. PERIODE KEBANGKITAN ( ABAD KE 14 – SEKARANG )
Pada periode ini, madzhab mengalami kebangkitan kembali, di mulai dengan munculnya
para ulama dengan kitab-kitabnya yang terkenal seperti Syekh Wahbah Zuhaili, Syekh
Muhammad bin Sholeh al Usaimin, Syekh Yusuf al Qordhowi, Syekh Ali Jum’ah dan lain
lain, ada yang masih mengukuti dan selaras dengan metodologi para Imam madzhab yang
empat, adapula yang mulai berusaha keluar dari metodologi para ulama terdahulu karena
pertimbangan zaman.
14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang
digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan
(ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga
menjadi satu kesatuan yang utuh.
2. Latar belakang timbulnya madzhab karena Perbedaan Pemahaman (Pengertian) Tentang
Lafadz Nash, Perbedaan Dalam Masalah Hadits serta Perbedaan dalam Pemahaman dan
Penggunaan Qaidah Lughawiyah Nash dan lain-lain
3. Periode perkembangan Madzhab :
a. Periode Pertumbuhan ( abad ke 0 – 1 H )
b. Periode Pembentukan ( abad ke 1-2 H )
c. Periode Keemasan ( abad ke 3-9 H
d. Periode Kemunduran ( abad ke 10-13 H )
e. Periode kebangkitan ( abad ke 14 – sekarang )
15
DAFTAR PUSTAKA
https://republika.co.id/berita/qc2tlk430/mengenal-empat-mazhab-fiqih-utama-dalam-islam-1
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/dustur/article/view/3256
https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/2987/7/UNIKOM_Diky%20Surya
%20Priatna_11.%20BAB%20I%20Pendahuluan.pdf
https://stisalmanar.ac.id/2020/05/14/mazhab-dan-sejarah-perkembangannya/
http://deskripsimakalah.blogspot.com/2017/01/mazhab-mazhab-fiqih.html
16