Disusun Oleh :
Letda Ckm dr. Mochammad Solehudin
Nosis / Kelas :
45029 / E
2018
TIMBANGAN BUKU
I. PENDAHULUAN
1. Umum
Buku ini, hasil renungan tentang kebinekaan dan nilai-nilai Pancasila, dari
sudut pandang agama serta kebangsaan. Refleksi ini mengalir dari keheningan
ketika penulis mengambil jarak dari sebuah peristiwa. Atau, inspirasi dari tengah
keramaian, ketika penulis sedang terlibat atau menggerakkan kegiatan.
Dalam Islam, ada petuah yang sangat bagus, yakni amar ma’ruf bil ma’ruf wa
nahyl munkar bil ma’ruf: menyeru kebaikan dengan cara yang baik, dan mencegah
kemungkaran dengan cara yang baik pula. Petuah ini terkesan sederhana, namun
jika direnungkan akan sangat mendalam maknanya. Tidak mudah menyeru kebaikan
dengan cara yang sekaligus baik. Karena, yang banyak terjadi, menyeru kebaikan
yang diselimuti kesombongan, arogansi, dan nafsu menang sendiri.
3. Ruang Lingkup dan Tata Urut. Ruang lingkup timbangan buku ini
mencakup gambaran umum dan ulasan dari buku ”Merawat Kebinekaan”. Adapun
timbangan buku ini tersusun dengan tata urut sebagai berikut :
1. Umum
2. Maksud dan Tujuan
3. Ruang Lingkup dan Tata Urut
4. Ulasan Buku Bab I – Teladan Kebangsaan
5. Ulasan Buku Bab II – Rumah Pancasila Kita
6. Ulasan Buku Bab III – Agama Kita Agama Cinta
7. Ulasan Buku Bab IV – Silang Budaya Tionghoa Indonesia
8. Ulasan Buku Bab V – Merawat Kebinekaan
Wahib merupakan kisah orang muda yang resah, yang terus bergulat untuk
menghadirkan pemikiran cerah. Dan Wahib, kita belajar bagaimana anak muda terus
mencari, tidak pernah puas dengan pemikiran statis di zaman ini. Gagasan-gagasan
Wahib, yang termaktub dalam catatan hariannya, melampaui zaman, mendobrak
kemapanan.
Kita mengenal Wahib dan catatan yang tercecer. Catatancatatan harian, buah
refleksi dan pergulatan imannya, kemudian diterbitkan dalam buku “Pergolakan
Pemikiran Islam”. Catatan ini mendokumentasikan gagasan Ahmad Wahib, yang
dapat kita jelajahi sebagai tamasya batin dan pemikiran, untuk melihat bagaimana
anak muda gelisah membangun narasi dan identitas agamanya.
Membaca buku dengan buku, demikian ungkapan Gus Dur, untuk melihat
teks dalam konteks dan peta gagasan. Kita dapat membaca catatan Wahib ini,
dengan membandingkan refleksi Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran),
maupun Annelies Marie “Anne” Frank (Het Achterhuis, The Diary of a Young Girl).
Ketiganya memiliki pesan dan nuansa zaman, ketiganya berdampak pada dentuman
pemikiran dan sejarah masing-masing.
Wahib dikenal sebagai seorang pendiam, seorang sederhana. Ia bukan ripikal
anak muda yang menyerah pasrah Ia petarung.
Ibrahim, gelar Datuk Sutan Malaka lahir di Nagari Pan- dan Gadang, Suliki
Sumatra Barat, 2 Juni 1897. Sedan kecil, ia mengaji dengan ayahnya Haji M.
Rasyad. Ibrahim kecil juga mempelajari pencak silat, latihan yang kelak
membantunya memperkuat tubuh dan kaki ketika melakukan perjalanan panjang
menjelajahi dua benua. Pada 1908-1913, Tan Malaka belajar di Kweekschool di Fort
de Kock.
Pada tiap momentum Hari Pahlawan, sering terdengar sosok Gus Dur (KH.
Abdurrahman Wahid) yang akan dianugrahi Gelar Pahlawan Nasional. Setidaknya,
dalam beberapa tahun terakhir, sosok Gus Dur menjadi isu yang menghangat dalam
diskusi publik dan perbincangan media sosial. Publik memunculkan nama Gus Dur,
sebagai kerinduan terhadap sosok pemersatu bangsa.
Tahun ini, Menteri Sosial Hj. Chofifah Indar Parawansa, juga mengumumkan
adanya sosok penting yang akan dianugrahi Pahlawan Nasional. Sosok Gus Dur
masih menjadi misteri, meski beliau sudah dianggap sebagai Pahlawan bagi
mayoritas kaum pesantren dan pejuang demokrasi. Dalam beberapa diskusi dan
laporan media, Chofifah menjelaskan bahwa, pemberian gelar Pahlawan kepada
Gus Dur sudah diputuskan sejak 2013. Akan tetapi dipending dengan alasan
menunggu waktu, yang sesuai dengan catatan Dewan Gelar.
Tiga han setelah dilantik menjadi Presiden, Kiai Haji Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) sowan ke kiai Sepuh di Kajen, Pati, Jawa Tengah. Meski mendapat
fasilitas pengawalan ketat, dengan barisan Pasmpampres dan aparat keamanan
yang rapi, Gus Dur memilih menanggalkan kawalan. Ia berjalan sendirian, masuk ke
rumah kiai sepuh itu dan pintu belakang. Ya, Gus Dur sowan ke kiai sepuh itu
melewati pekarangan belakang rumah Kiai Sahal Mahfudh, tempat jempuran
pakaian santri, dan gang-gang sempit di antara kamar-kamar pesantren. Gus Dur
memilih senyap untuk menemui Kiai sepuh itu, di tengah deru publikasi tentang
politik kepresidenan.
Gus Dur ndeprok, duduk lesehan, di hadapan kiai sepuh. Mengucap salam,
lalu mengecum tangan lembut kiai sepuh. Siapa kiai sepuh itu? Yang wajahnya
bersinar, Senyumnya menjernihkan, dan tausyiahnya menyejukkan? Kiai waskita itu
sering disapa: Mbah Dullah. Kiai Abdullah Zen bin Salam, hafidz Aiquran, bahkan
Hamilul Qur’an dan kiai yang memilih sunyi. Mbah Dullah merupakan “kiai langit”
yang menjadi jujugan Gus Dur, untuk memberi petuah ten- tang hal-hal yang prinsip,
atau memberi ketenangan di tengah pilihan-pilihan sulit.
Di ndalem Mbah Dullah, Gus Dur melepas baju kepresidenan, menanggalkan
simbol-simbol penguasa. Gus Dur datang sebagai santri, sebagai keluarga
pesantren yang mencari berkah, memburu doa-doa indah
peristiwa Sumpah Pemuda pada 1928 menjadi titik bauk sejarah tentang
hasrat untuk menyiapkan kemerdekaan. Peristiwa mi merupakan intisari dan
Sumpah Pemuda I, pada 1926 yang menjadi embrio jejaring pemuda antaretnis dan
geografis. Selanjutnya, Sumpah Pemuda memproduksi energi anak-anak bangsa
untuk menyongsong kemerdekaan pada 1945. Tentu, rangkaian peristiwa mi
menjadi saksi sejarah paruh pertama abad XX yang berpengaruh penting dalam
historiografi Indonesia.
Pertemuan para kiai sepuh yang selama mi menjadi rujukan pendapat dalam
bidang kemasyarakatan dan kebangsaan, tentu menjadi angin segar di tengah
meningkatnya eskalasi politik tanah air. Ketika sengkarut politik menjadikan warga
terbelah dan proses kontestasi antarpemimpin menimbulkan gesekan di tengah
masyarakat, pertemuan para kiai khos ini memberi kesejukan bagi bangsa ini.
Menurut Katib ‘Am Syuriah PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya),
silaturahmi ulama khos mi merupakan pertemuan penting untuk menjawab kondisi
kebangsaan di negeri ini dan sengkarut keislaman pada level dunia. “Wajah Islam
Indonesia yang ramah, sesungguhnya adalah bagian dan cermin sikap
kemasyarakatan NU. Tugas kita, kemudian bagaimana menggaungkan wajah Islam
ala ahlus-sunnah waljama’ah sebagai upaya menunjukkan wajah Islam yang
Sesungguhnya pada dunia global.”
5. Ulasan Buku Bab II – Rumah Pancasila Kita
Wajah politik negeri ini, masih dibayangi oleh mental dan ideologi kolonial.
Kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan struktur mental politisi negeri ini, perlu
disegarkan kembali agar tak terwarisi mental pejabat kolonial. Sejarah panjang
lahirnya Indonesia dalam empat abad terakhir, memberi bukti bagaimana negeri ini
berusaha berpijak pada kakinya sendiri, bukan menghamba pada kekuasaan negeri
lain. Kepemimpinan yang kuat, kredibel, dan mengerti keluh kesah rakyatnya akan
memberikan impresi bagaimana negeri mi dibangun pada masa mendatang.
Beragam kekerasan atas nama agama dan etnis, menjadi catatan panjang
warga Indonesia. Selama satu dekade ini, dan Sabang hingga Merauke, membujur
luka-luka yang terjadi karena pertikaian, egoisme politik dan ketegangan kultur.
Tantangan bagi pemerintahan dan relasi kebangsaan kita, di tengah zaman digital
yang membuka segala informasi sebagal ransum yang tersebar di pelbagai media.
Kasus terbaru, aksi pemboman di Gereja Katolik Stasi anto Yoseph Medan
pada Minggu (28/8/2016). Meski aksi ni gagal, namun membuat miris hati dan nurani
kemanuSlaan kita. Betapa tidak, rencana pemboman tersebut, dilakuan anak muda
berusia 18 tahun, IAH, yang mendapat tararan dan iming-iming uang dan seorang
yang tidak dikenal. Juga mempelajani cara merakit born dan hal-hal terkait depgan
kegiatan teror dan media sosial.
Visi ‘Revolusi Mental’ yang menjadi bagian dan kampanye politik Joko
Widodo dan Jusuf Kalla OK) menarik untuk dimaknai dalam konteks relasi Pancasila
dan Islam. Revolusi mental, tidak hanya sebuah slogan, ia merupakan konsep dasar
untuk mendorong bangsa mi melompat ke depan. Revolusi Mental haruslah
menghadirkan Pancasila sebagai inspirasi, dan konsep moral dalam Islam sebagai
nilai-nilai dasar. Perumusan konsep inilah, yang menjadi penting di tengah debat
panjang tentang Islam dan Pancasila, serta kontestasi ideologi yang sampai saat mi
terus berlangsung.
Akhir-akhir ini, terjadi perdebatan yang signifikan ten- tang makna Pancasila
dalam kehidupan berbangsa. Ide-ide Pancasila menjadi kontestasi untuk
membuktikan betapa kelompok, organisasi maupun lembaga yang mengusungnya
memiliki keterikatan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Akan
tetapi, perdebatan tentang Pancasila tidak dibarengi dengan kesepakatan memaknai
nilai-nilai dasarnya, hanya bergerak pada retorika untuk memenangkan klaim
tentang nasionalisme dan “brand” politik bernama Pancasila.
Ada yang menarik dan temuan survei yang dirilis Wahid Foundation. Dan
survei yang diselenggarakan bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI),
menjelaskan meningkatkan eskalasi kebencian dan potensi untuk bertindak radikal
di kalangan anak muda.
Dan survei tersebut, ada 11 juta pemuda negeri mi yang siap bertindak
radikal. Datanya, ada 7,7 persen berpotensi t&pancing gerakan radikal, dan 0,4
persen pernah tergabung da1am jaringan radikal. Survei Wahid Foundation in
melibatkan 1520 responden yang tersebar di 34 provinsi. Survei ini dikerjakan pada
rentang waktu Mei-Juni 2016, dengan usia responden 17 tahun ke atas atau mereka
yang sudah menikah.
Namun, ada sebuah noktah pada jajaran birokrasi yang perlu dicermati.
Mantan PNS di Kementerian Keuangan, Triyono Utomo Abdul Sakti bergabung
dengan jaringan ISIS. Triyono beserta empat rekannya. Mereka dideportasi dan
Turki pada akhir Januari 2017, karena terbukti akan bergabung dengan jaringan ISIS
di Suriah. Bergabungnya Tnyono dengan jaringan ISIS menjadi tanda tanya betapa
pentingnya benteng ideologi di jajaran birokrasi negeri ini.
Triyono merupakan alumnus Jurusan Master of Public Policy di Flinders
University, Adelaide, Australia. Ta sebelumnya belajar di STAN jurusan Piutang dan
Lelang Negara pada 1999-2001. Kemudian, melanjutkan D4 pada jurusan akuntasi
di Bintaro, Jakarta pada 2002-2004. Triyono pernah mengabdi sebagai Pegawai
Negeri Sipil di Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan.
Mengundurkan diri sebagai PNS pada Februari 2016.
Dalam ungkapan Yudi Latif, UKP Pancasila memiliki tanggung jawab berat
dalam konstelasi politik kebangsaan dan dinamika regional saat ini. UKP Pancasila
juga bergerak untuk menyegarkan kembali Pancasila yang selama ini menjadi
ideologi yang kaku dan mandeg, yang diwariskan dan jejak politik Orde Baru.
Dan festival in UKP Pancasila mendorong tokoh nasional yang menjadi ikon
prestasi agar menginspirasi publik yang lebih luas. Di antara ikon prestasi mi, yakni
Prof. Dr. Taruna Ikrar, M.Pharm, MD, Ph.D. Ta merupakan doktor yang pernah
menjadi kandidat peraih Nobel Kedokteran, dan saat ini menjabat sebagai Dekan
School of Biomedical.
6. Ulasan Buku Bab III – Agama Kita Agama Cinta
Dalam Islam, ada petuah yang sangat bagus, yakni amar ma’ruf bil ma’ruf wa
nahyl munkar bil ma’ruf: menyeru kebaikan dengan cara yang baik, dan mencegah
kemungkaran dengan cara yang baik pula. Petuah ini terkesan sederhana, namun
jika direnungkan akan sangat mendalam maknanya. Tidak mudah menyeru kebaikan
dengan cara yang sekaligus baik. Karena, yang banyak terjadi, menyeru kebaikan
yang diselimuti kesombongan, arogansi, dan nafsu menang sendiri.
10. Saran