Anda di halaman 1dari 21

MERAWAT KEBINEKAAN

Disusun Oleh :
Letda Ckm dr. Mochammad Solehudin
Nosis / Kelas :
45029 / E

2018
TIMBANGAN BUKU

JUDUL BUKU : Merawat Kebinekaan (Pancasila, Agama, dan Renungan


Perdamaian)
PENULIS : Munawir Aziz
PENERBIT : Elex Media Komputindo
TEMPAT : Jakarta
TAHUN : 2018

I. PENDAHULUAN

1. Umum

Buku ini, hasil renungan tentang kebinekaan dan nilai-nilai Pancasila, dari
sudut pandang agama serta kebangsaan. Refleksi ini mengalir dari keheningan
ketika penulis mengambil jarak dari sebuah peristiwa. Atau, inspirasi dari tengah
keramaian, ketika penulis sedang terlibat atau menggerakkan kegiatan.

Dalam Islam, ada petuah yang sangat bagus, yakni amar ma’ruf bil ma’ruf wa
nahyl munkar bil ma’ruf: menyeru kebaikan dengan cara yang baik, dan mencegah
kemungkaran dengan cara yang baik pula. Petuah ini terkesan sederhana, namun
jika direnungkan akan sangat mendalam maknanya. Tidak mudah menyeru kebaikan
dengan cara yang sekaligus baik. Karena, yang banyak terjadi, menyeru kebaikan
yang diselimuti kesombongan, arogansi, dan nafsu menang sendiri.

Islam dan nasionalisme bukan untuk dipertentangkan, namun menjadi pilar


menguatkan Indonesia. Para kiai pesantren telah memberi teladan bagaimana Islam
dan nasionalisme mewujud pada perjuangan kebangsaan. Sedangkan, nilai-nilai
kebinekaan merupakan warisan tradisi Nusantara yang menjadi pemersatu bangsa
ini. Buku ini menjadi refleksi penting memahami Islam, nasionalisme dan kebinekaan
dalam teladan kebangsaan.
Sedangkan, nilai-nilai kebinekaan merupakan warisan tradisi Nusantara yang
menjadi pemersatu bangsa ini. Para Kiai pesantren menjadikan nasionalisme dan
keislaman sebagai nilai yang saling melengkapi. Petuah Hadratus Syaiikh Hasyim
Asy’ari, hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagai bagian dan iman),
menjadi bukti prinsip perjuangan dan kebangsaan. Buku ini menjadi refleksi penting
memahami Islam, nasionalisme dan kebinekaan dalam teladan kebangsaan.”

Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj


Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
“Islam mengkampanyekan untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Begitu
pula, teladan dan kiai-kiai pesantren, yang mengajarkan perdamaian dan merawat
agama yang membeni rahmat. Buku mi secara jernih menghadirkan kisah-.kisah dan
renungan berharga untuk merawat kebinekaan, refleksi penting untuk masa
sekarang.”

KH. Abdul Ghaffar Rozien, M.Ed


Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyyah/Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama dan Rektor
IPMAFA Pati
“Merawat kebinekaan itu tugas bersama, dan komunitas masing-masing.
Menghargai kebinekaan merupakan jalan penting menghadirkan perdamaian. Buku
ini, memberi refleksi berharga untuk merawat kebinekaan dan menjaga
perdamaian.”

Hasan Abadi, MAP


Social Influencer dan Rektor Universitas
Islam Raden Rahmat Malang
“Tantangan untuk merawat kebinekaan dan menjaga kebinekaan semakin
besar. Di media sosial, betapa ekspresi kebencian begitu nyata. Perlu strategi
intensif mengkampanyekan perdamaian dalam gagasan dan tindakan. Buku ini
menghadirkan refleksi jernih, untuk menyalakan harapan merawat kebinekaan,”
2. Maksud dan Tujuan

a. Maksud. Untuk memberikan gambaran umum dan menarik minat


membaca buku khususnya buku mengenai Merawat Kebinekaan (Pancasila,
Agama, dan Renungan Perdamaian)

b. Tujuan. Agar wawasan para Perwira Siswa pada khususnya dan


Prajurit TNI AD pada umumnya semakin bertambah, khususnya tentang
merawat kebinekaan.

3. Ruang Lingkup dan Tata Urut. Ruang lingkup timbangan buku ini
mencakup gambaran umum dan ulasan dari buku ”Merawat Kebinekaan”. Adapun
timbangan buku ini tersusun dengan tata urut sebagai berikut :

1. Umum
2. Maksud dan Tujuan
3. Ruang Lingkup dan Tata Urut
4. Ulasan Buku Bab I – Teladan Kebangsaan
5. Ulasan Buku Bab II – Rumah Pancasila Kita
6. Ulasan Buku Bab III – Agama Kita Agama Cinta
7. Ulasan Buku Bab IV – Silang Budaya Tionghoa Indonesia
8. Ulasan Buku Bab V – Merawat Kebinekaan

II. INTISARI TIMBANGAN BUKU

4. Ulasan Buku Bab I – Teladan Kebangsaan

Kebangsaan dan Keislaman Bung Karno

Sejarah dunia mencatat, 12 Juni 1961, Soekarno menginjakkan kaki di


Samarkand. Sebelum itu, Bung Karno mengunjungi Moscow, memenuhi undangan
diplomatik Nikita Sergeyevich Khrushchev (1894-1971). Bagi Bung Karno,
Khruschev merupakan kawan dan pemimpin bangsa yang akrab.
Kala itu, Samarkand masih dalam kontrol kekuasaan Uni Sovyet. Presiden
Indonesia ini, ingin menziarahi makam besar sang perawi hadis: Imam Bukhari.
Bung Karno ingin betul mencerap berkah dan sang imam, tokoh yang berjasa besar
menjaga riwayat hadis-hadis Nabi Muhammad.

Kedatangan Bung Karno tidak sekonyong terjadi. Ziarah ke makam Imam


Bukhari merupakan syarat utama, yang diberikan Bung Karno kepada Khrushchev,
penguasa Soviet. Soekarno sadar, bahwa bujukan Khruschev agar ia datang ke
Rusia, memiliki agenda terselubung, khususnya melancarkan psy war terhadap
presiden Amerika, John F Kennedy. Saat itu, perang dingin sedang pada puncaknya,
antara kubu Amerika dan Soviet.

Soekarno tidak langung menyanggupi undangan Khrushchev, ia menimbang-


nimbang jalan terbaiknya. Kepada Khrushchev, Soekarno mengajukan syarat yang
terbilang susah: mencari makam Imam Bukhari.

Bergulat dengan Keislaman Wahib

Wahib merupakan kisah orang muda yang resah, yang terus bergulat untuk
menghadirkan pemikiran cerah. Dan Wahib, kita belajar bagaimana anak muda terus
mencari, tidak pernah puas dengan pemikiran statis di zaman ini. Gagasan-gagasan
Wahib, yang termaktub dalam catatan hariannya, melampaui zaman, mendobrak
kemapanan.

Kita mengenal Wahib dan catatan yang tercecer. Catatancatatan harian, buah
refleksi dan pergulatan imannya, kemudian diterbitkan dalam buku “Pergolakan
Pemikiran Islam”. Catatan ini mendokumentasikan gagasan Ahmad Wahib, yang
dapat kita jelajahi sebagai tamasya batin dan pemikiran, untuk melihat bagaimana
anak muda gelisah membangun narasi dan identitas agamanya.

Membaca buku dengan buku, demikian ungkapan Gus Dur, untuk melihat
teks dalam konteks dan peta gagasan. Kita dapat membaca catatan Wahib ini,
dengan membandingkan refleksi Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran),
maupun Annelies Marie “Anne” Frank (Het Achterhuis, The Diary of a Young Girl).
Ketiganya memiliki pesan dan nuansa zaman, ketiganya berdampak pada dentuman
pemikiran dan sejarah masing-masing.
Wahib dikenal sebagai seorang pendiam, seorang sederhana. Ia bukan ripikal
anak muda yang menyerah pasrah Ia petarung.

Spiritualisme Tan Malaka

Menyelami kehidupan Tan Malaka adalah menziarahi denyut nadi revolusi.


Segenap hidupnya didedikasikan untuk memikirkan bangsa, menggelorakan
semangat pemuda, hingga memanaskan mesinmesin penggerak revolusi. Namun,
sepanjang hidupnya pula ia tersingkir, diasingkan, dan disalahpahami.

Ibrahim, gelar Datuk Sutan Malaka lahir di Nagari Pan- dan Gadang, Suliki
Sumatra Barat, 2 Juni 1897. Sedan kecil, ia mengaji dengan ayahnya Haji M.
Rasyad. Ibrahim kecil juga mempelajari pencak silat, latihan yang kelak
membantunya memperkuat tubuh dan kaki ketika melakukan perjalanan panjang
menjelajahi dua benua. Pada 1908-1913, Tan Malaka belajar di Kweekschool di Fort
de Kock.

Perkenalan Tan Malaka dengan dunia pergerakan dan pemikinian,


berlangsung ketika ia belajar di Belanda. Selama kuliah, ia dengan mudah membaca
buku dan mengunyah informasi tentang peta pemikiran, ideologi, dan politik dunia.
Momentum revolusi Rusia, yang menjadi muasal ketertarikan Tan Malaka pada
komunisme dan sosialisme. Ia dengan rakus membaca kanya-karya Karl Marx,
Friedrich Engels, Vladimir Lenin, dan Friedrich Nietzsche. Gagasan para filsuf inilah
yang menguatkan fondasi pemikiran Tan Malaka, di samping hikmah berupa nilai-
nilai agama didikan ayahya.
Kemudian, Tan Malaka bertemu dengan Henk Sneevliet, otak di balik berdirinya
Indische Sociaal Democratische

Pengabdian Kebangsaan Kiai Sahal


Telah lebih seribu han Kiai Sahal meninggalkan kita, dengan mewariskan
gagasan dan pemberdayaan sosialnya. Kiai Sahal mewariskan pemikiran, sikap, dan
petuah yang berbasis ilmu. Teladan Kiai Sahal menjadi penting, di tengah bangsa
yang kehilangan prinsip dan akal sehatnya. Beliau menggagas Fiqh Sosial, konsep
hukum Islam yang disertai praktik pemberdayaan masyarakat.

Kiai Sahal, konsisten mengayomi santri dan umat musurn Indonesia. Ia


sejatinya tidak hanya milik umat Islam, atau kaum pesantren semata. Kiai Sahal
diterima di berbagai kalangan karena sikap moderat, politik santun, hingga teladan
pernberdayaan umat yang konsisten.

Di akhir hayatnya, dalam sebuah forum Musyawarah Nasional Ulama PBNU,


di Wonosobo, September 2013, Kiai Sahal mengungkapkan tentang pentingnya
politik tingkat tinggi. Dalam pemahaman Kiai Sahal, politik tingkat tinggi ini
merupakan perwujudan dan politik kebangsaan dan politik kerakyatan, bukan
sebagai politik praktis. Petuah Kiai Sahal ini penting, di tengah carut-marut politik di
negeri ini, yang hanya rnementingkan kepentingan partai, golongan, atau bahkan
pribadi.

Kiai Sahal menekankan pentingnya politik tingkat tinggi yang diwujudkan


dalam politik kebangsaan, kerakyatan, dan etika berpolitik. Keberpihakan pada NKRI
merupakan tujuan dan politik

Gus Dur, Pahlawan dan Kerja Kemanusiaan

Pada tiap momentum Hari Pahlawan, sering terdengar sosok Gus Dur (KH.
Abdurrahman Wahid) yang akan dianugrahi Gelar Pahlawan Nasional. Setidaknya,
dalam beberapa tahun terakhir, sosok Gus Dur menjadi isu yang menghangat dalam
diskusi publik dan perbincangan media sosial. Publik memunculkan nama Gus Dur,
sebagai kerinduan terhadap sosok pemersatu bangsa.

Tahun ini, Menteri Sosial Hj. Chofifah Indar Parawansa, juga mengumumkan
adanya sosok penting yang akan dianugrahi Pahlawan Nasional. Sosok Gus Dur
masih menjadi misteri, meski beliau sudah dianggap sebagai Pahlawan bagi
mayoritas kaum pesantren dan pejuang demokrasi. Dalam beberapa diskusi dan
laporan media, Chofifah menjelaskan bahwa, pemberian gelar Pahlawan kepada
Gus Dur sudah diputuskan sejak 2013. Akan tetapi dipending dengan alasan
menunggu waktu, yang sesuai dengan catatan Dewan Gelar.

Pemberian gelar kePahlawanan kepada beberapa nama tokoh tersebut,


merupakan bagian dan upaya untuk mengenang sejarah bangsa. Bahwa, bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Demikianlah, Pahlawan
sejatinya bukan sekadar gelar administratif maupun monumen-monumen
kenegaraan, akan tetapi simbol sejarah yang menghadirkan narasi-narasi
perjuangan kemanusiaan.

Teladan Kebangsaan Gus Dur

Tiga han setelah dilantik menjadi Presiden, Kiai Haji Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) sowan ke kiai Sepuh di Kajen, Pati, Jawa Tengah. Meski mendapat
fasilitas pengawalan ketat, dengan barisan Pasmpampres dan aparat keamanan
yang rapi, Gus Dur memilih menanggalkan kawalan. Ia berjalan sendirian, masuk ke
rumah kiai sepuh itu dan pintu belakang. Ya, Gus Dur sowan ke kiai sepuh itu
melewati pekarangan belakang rumah Kiai Sahal Mahfudh, tempat jempuran
pakaian santri, dan gang-gang sempit di antara kamar-kamar pesantren. Gus Dur
memilih senyap untuk menemui Kiai sepuh itu, di tengah deru publikasi tentang
politik kepresidenan.

Gus Dur ndeprok, duduk lesehan, di hadapan kiai sepuh. Mengucap salam,
lalu mengecum tangan lembut kiai sepuh. Siapa kiai sepuh itu? Yang wajahnya
bersinar, Senyumnya menjernihkan, dan tausyiahnya menyejukkan? Kiai waskita itu
sering disapa: Mbah Dullah. Kiai Abdullah Zen bin Salam, hafidz Aiquran, bahkan
Hamilul Qur’an dan kiai yang memilih sunyi. Mbah Dullah merupakan “kiai langit”
yang menjadi jujugan Gus Dur, untuk memberi petuah ten- tang hal-hal yang prinsip,
atau memberi ketenangan di tengah pilihan-pilihan sulit.
Di ndalem Mbah Dullah, Gus Dur melepas baju kepresidenan, menanggalkan
simbol-simbol penguasa. Gus Dur datang sebagai santri, sebagai keluarga
pesantren yang mencari berkah, memburu doa-doa indah

Pahlawanan di Tengah Gelombang Kebencian

Bagaimana refleksi kePahlawanan di tengah bangsa yang sedang dihantam


gelombang kebencian? Refleksi tentang Pahlawan merupakan tonggak sejarah
untuk mewarisi semangat perjuangan kemerdekaan. Pahlawan terus dihadirkan
dengan dalih mengabadikan jejak perjuangan dalam catatan sejarah kebangsaan.
Pembela tanah air merupakan perangkat untuk mengukuhkan gelar ke Pahlawanan
dalam perjuangan kemerdekaan. Indonesia diperjuangkan dengan semangat
kepahlawanan. Akan tetapi, di tengah refleksi ke Pahlawanan ini, negeri mi sedang
berduka karena kontestasi kepentingan politik dan kebencian berbasis etnis dan
agama, masih terus dipanggungkan.

Ingatan manusia Indonesia disusun atas serpihan penstiwa sejarah dan


perjuangan politik. Mozaik kemerdekaan manusia negeni mi masih memungkinkan
gerakan kebudayaan dan intelektual sebagai kerja heroisme. Laku intelektual untuk
menyemai ide-ide penting bagi pendewasaan manusia negeri ini dihormati dengan
dalih mengukuhkan fondasi keindonesiaan. Namun, Pahlawan dengan label
intelektual masih jadi perdebatan dengan target mengusung kerja fisik.

Imajinasi penguasa dibebani ingatan tentang kerja Pahlawan yang berdarah-


darah untuk mempenjuangkan lahirnya Indonesia. Penghormatan atas kerja
Pahlawan diperkarakan dengan dalih penyusuri jejak darah yang menetes dari
heroisme sangpejuang.

Pahlawan Santri, Mengabdi untuk Negeri

Bagaimana sejarah santri mewarnai perjuangan kebangsaan negeri ini?


Bagaimana jejak para kiai menjadi penanda arus pergerakan nasional serta
perjuangan kemerdekaan? Narasi-narasi sejarah yang melukiskan perjuangan para
kiai-santri belum sepenuhnya menggambarkan secara utuh pergerakan komunitas
pesantren. Tanpa data yang akurat, sejarah kaum santri hanya dianggap sebagai
mitos.

Padahal, jaringan ulama-santri telah berperan penting dalam perjuangan


kemerdekaan, menegakkan kedaulatan bangsa pada masa revolusi, serta
mengawal negeri pada masa awal kemerdekan. Peran para kiai dalam mengawal
perjuangan tidak bisa dilupakan dalam narasi sejarah bangsa Indonesia. Kontribusi
jaringan santri juga terbukti kokoh dalam menguatkan fondasi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Para santri membentengi Indonesia dan pelbagai
ancaman selama beradab-abad, dan serbuan kolonial, agresi militer hingga
ancaman terhadap ideologi Pancasila sebagai pemersatu bangsa.

Barisan pejuang kiai-santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah


(dikomando Kiai Zainul Arifin), Laskar Sabilillah (dikomando Kiai Masykur), dan
Laskar Mujahidin dengan pimpinan Kiai Wahab Chasbullah, merupakan jaringan
militer dan pesantren yang dibentuk sebagai tulang punggung perjuangan
kemerdekaan. Barisan santri-kiai dalam perbagai laskar, bergabung bersama
barisan militer dari pemuda dan tentara, sebagai penopang perjuangan
kemerdekaan.

Menjernihkan Sumpah Kebangsaan

peristiwa Sumpah Pemuda pada 1928 menjadi titik bauk sejarah tentang
hasrat untuk menyiapkan kemerdekaan. Peristiwa mi merupakan intisari dan
Sumpah Pemuda I, pada 1926 yang menjadi embrio jejaring pemuda antaretnis dan
geografis. Selanjutnya, Sumpah Pemuda memproduksi energi anak-anak bangsa
untuk menyongsong kemerdekaan pada 1945. Tentu, rangkaian peristiwa mi
menjadi saksi sejarah paruh pertama abad XX yang berpengaruh penting dalam
historiografi Indonesia.

Momentum Sumpah Pemuda mengingatkan kita tentang subtansi persatuan


dan kecintaan terhadap tanah air. Interaksi antarkomunitas dengan formula bahasa
yang ditabalkan sebagai roh Sumpah Pemuda, dalam konteks mi menemukan ruang
refleksi sebagai performa kepemimpinan di tengah krisis kemanusiaan.
Selain refleksi krisis kebangsaan, permasalahan bangsa Indonesia di awal
abad 20 yang ditandai kesadaran keindonesiaan sedang tumbuh subur, sangat
berbeda dengan kondisi di abad mi ketika kebersamaan untuk menjaga persatuan
sebagai bagian nation-state “dihajar” oleh kompetisi global, perebutan kekuasaan,
kontestasi ideologi maupun langkah politik yang berdampak pada kebijakan publik.
Visi pemimpin transformatif yang berpijak pada nilai-nilai humanis dan ekologis

Pesan Kebangsaan Ulama Nusantara

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar silaturahmi 99 Ulama


Nusantara, pada Kamis, 16 Maret 2017 (17 Jumadil Akhir 1438 H). Agenda penting
ini bertempat di kediaman Kiai Maimoen Zubair, di Pondok Pesantren Al-Anwar,
Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Agenda silaturahmi ini, menjadi oase di tengah
gesekan antarkelompok pada level nasional maupun ranah internasional.

Pertemuan para kiai sepuh yang selama mi menjadi rujukan pendapat dalam
bidang kemasyarakatan dan kebangsaan, tentu menjadi angin segar di tengah
meningkatnya eskalasi politik tanah air. Ketika sengkarut politik menjadikan warga
terbelah dan proses kontestasi antarpemimpin menimbulkan gesekan di tengah
masyarakat, pertemuan para kiai khos ini memberi kesejukan bagi bangsa ini.

Menurut Katib ‘Am Syuriah PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya),
silaturahmi ulama khos mi merupakan pertemuan penting untuk menjawab kondisi
kebangsaan di negeri ini dan sengkarut keislaman pada level dunia. “Wajah Islam
Indonesia yang ramah, sesungguhnya adalah bagian dan cermin sikap
kemasyarakatan NU. Tugas kita, kemudian bagaimana menggaungkan wajah Islam
ala ahlus-sunnah waljama’ah sebagai upaya menunjukkan wajah Islam yang
Sesungguhnya pada dunia global.”
5. Ulasan Buku Bab II – Rumah Pancasila Kita

Pancasila di Tengah Ketegangan Ideologi

Bagaimana memahami Pancasila di tengah ketegangan ideologi di negeri ini?


Bagaimana memaknai nilai-nilai Pancasila yang dirumuskan pendiri bangsa, ketika
kelompok-kelompok agama menggunakan simbol-simbol religius untuk merombak
bangunan kebangsaan, dengan sistem khilafah dan beragam atribut politik yang
menggerus nalar kenegaraan? Inilah pertanyaan krusial di hamparan isu yang
berebut mencari makna di negeri ini. Di antara ribuan informasi yang berjubel di
media sosial, di panggung literasi digital yang dikonsumsi warga negeri ini.

Sebagai rumusan yang dibangun dengan perdebatan panjang, renungan


mendalam dan adu pikiran yang menguras energi, Pancasila mendapat gugatan dan
mereka yang menginginkan sistem khilafah berdiri di republik mi. Bagi kelompok-
kelompok yang mengusung khilafah sebagai simbol dan brand politik, Pancasila
dipreteli makna filosofisnya dan dibenamkan dalam lumpur kerancuan berpikir.

Para pemuja simbol agama itu, yang menggunakan khulafah sebagai


stempel, dengan tega mengelupas kulit religius dan konsep Pancasila sekaligus
mencabik nurani spiritual yang telah dikonsepsi oleh para pendiri bangsa. Konsepsi
‘Ketuhanan yang Berkebudayaan’ yang mendasari nilai-nilai Pancasila,
sebagaimana tercermin dan sidang-sidang dan perdebatan

Reformasi dan Gesekan Ideologi

Sejarah reformasi di Indonesia, tidak sekadar menampilkan tentang


kebebasan, perjuangan hak asasi dan pengukuhan demokrasi. Reformasi memberi
ruang hadirnya ideologi-ideologi yang beraneka macam madzhabnya, masuk dalam
perbincangan dan praktik keseharian manusia Indonesia. Pertarungan ideologi tak
bisa dihindari, sebagai bagian dan upaya untuk mematangkan konsep-konsep
demokrasi yang menjadi ujian untuk kedewasaan bangsa ini.
Lalu, bagaimana memaknai pertarungan ideologi-ideologi yang makin ramai
dalam 16 tahun reformasi? Setiap fase Sejarah ditopang oleh gesekan-gesekan
ideologi, tidak hanya di kawasan Nusantara namun merata di hampir semua
kawasan di dunia. Benturan antarideologi inilah, yang pada satu sisi membuat
dinamis ilmu pengetahuan, teknologi dan perangkat politik antar peradaban. Akan
tetapi, jika dimaknai dengan sudut pandang kebencian, gesekan ideologi akan
melahirkan teror dan praktik kekerasan. Inilah yang menjadi ujian negeri ini, sejauh
mana kita memahami dan memaknai gesekan ideologi-ideologi yang menjadi hangat
belakangan ini.

Pada awalnya, founding father negeri ini menginginkan perdebatan ideologi


diakhiri dengan kesepatan untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Keutuhan NKRI adalah harga mati. Pancasila dianggap sebagai rumusan
genius yang mampu menyatukan semua komunitas yang berjuang menegakkan
panji NKRI. Pancasila menjadi fondasi

Pancasila, Mental Kolonial dan Identitas Kita

Wajah politik negeri ini, masih dibayangi oleh mental dan ideologi kolonial.
Kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan struktur mental politisi negeri ini, perlu
disegarkan kembali agar tak terwarisi mental pejabat kolonial. Sejarah panjang
lahirnya Indonesia dalam empat abad terakhir, memberi bukti bagaimana negeri ini
berusaha berpijak pada kakinya sendiri, bukan menghamba pada kekuasaan negeri
lain. Kepemimpinan yang kuat, kredibel, dan mengerti keluh kesah rakyatnya akan
memberikan impresi bagaimana negeri mi dibangun pada masa mendatang.

Jejak panjang kolonialisme tidak hanya mewariskan Sejarah tentang


bagaimana negeri dan bangsa mi dihancurkan melalui sistem. Rakyat dan pejabat
negeri mi juga dirusak melalui struktur mentalnya, bagaimana kerja keras disulap
sebagai kerja paksa untuk menjemput kematian. Rezim kolonial dengan cara kasar
sekaligus lembut, membangun formasi mental warga negeri ini yang menghamba
pada asing, bersimpuh pada penguasa.
Historiografi Indonesia modern mengisahkan tentang transformasi
kolonialisme dan wajah asing menjadi Wajah pribumi. Sistem kolonial berganti dan
rezim kekerasan dan militer, berganti menjadi kuasa ekonomi-politik.

Pancasila dan Kecemasan Beragama

Indonesia yang merdeka selama lebih tujuh dekade, terus menghadapi


pelbagai tantangan untuk menjadi bangsa yang besar. Sebagai bangsa dengan
potensi keragaman budaya, kultur dan etnis, tentu saja menjadi tantangan berat di
tengah zarnan dengan arus informasi yang membanjir dan kegersangan nalar.

Beragam kekerasan atas nama agama dan etnis, menjadi catatan panjang
warga Indonesia. Selama satu dekade ini, dan Sabang hingga Merauke, membujur
luka-luka yang terjadi karena pertikaian, egoisme politik dan ketegangan kultur.
Tantangan bagi pemerintahan dan relasi kebangsaan kita, di tengah zaman digital
yang membuka segala informasi sebagal ransum yang tersebar di pelbagai media.

Kasus terbaru, aksi pemboman di Gereja Katolik Stasi anto Yoseph Medan
pada Minggu (28/8/2016). Meski aksi ni gagal, namun membuat miris hati dan nurani
kemanuSlaan kita. Betapa tidak, rencana pemboman tersebut, dilakuan anak muda
berusia 18 tahun, IAH, yang mendapat tararan dan iming-iming uang dan seorang
yang tidak dikenal. Juga mempelajani cara merakit born dan hal-hal terkait depgan
kegiatan teror dan media sosial.

Sebelurnnya, kepedihan meledak di Tanjung Balai, Suatra Utara, berupa


kericuhan dan provokasi yang akhirnya

Jembatan Islam dan Pancasila

Visi ‘Revolusi Mental’ yang menjadi bagian dan kampanye politik Joko
Widodo dan Jusuf Kalla OK) menarik untuk dimaknai dalam konteks relasi Pancasila
dan Islam. Revolusi mental, tidak hanya sebuah slogan, ia merupakan konsep dasar
untuk mendorong bangsa mi melompat ke depan. Revolusi Mental haruslah
menghadirkan Pancasila sebagai inspirasi, dan konsep moral dalam Islam sebagai
nilai-nilai dasar. Perumusan konsep inilah, yang menjadi penting di tengah debat
panjang tentang Islam dan Pancasila, serta kontestasi ideologi yang sampai saat mi
terus berlangsung.

Kampanye dan diskusi yang terkait dengan dasar negara masih


mempertontonkan perdebatan-yang kadang kala disertai ketegangan-antara Islam
dan Pancasila. Panggung politik masih menyediakan ruang kosong bagi perdebatan
untuk merumuskan jawaban atas ideologi negara. Tentu, jika diteruskan perdebatan
tentang falsafah negara tidak akan pernah surut. Peristiwa debat ide antara
Soekarno dan Natsir, masih berkelebat dalam catatan sejarah Indonesia.
Pandangan Natsir tentang Islam Indonesia, yang menggunakan kerangka mayoritas,
bertemu dengan perspektif Soekarno yang menjawab Islam sebagai ide dan praktik
dalam bernegara.

Di panggung yang berbeda, perdebatan Soekarno dengan Haji Agoes Salim


terus berdenyut. Ide-ide tentang perdebatan ini masih berjejak dalam saripati
gagasan antara pendukung Soekarno dan pengikut Agoes Salim.

Spritualitas Pancasila Kita

Akhir-akhir ini, terjadi perdebatan yang signifikan ten- tang makna Pancasila
dalam kehidupan berbangsa. Ide-ide Pancasila menjadi kontestasi untuk
membuktikan betapa kelompok, organisasi maupun lembaga yang mengusungnya
memiliki keterikatan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Akan
tetapi, perdebatan tentang Pancasila tidak dibarengi dengan kesepakatan memaknai
nilai-nilai dasarnya, hanya bergerak pada retorika untuk memenangkan klaim
tentang nasionalisme dan “brand” politik bernama Pancasila.

Lalu, bagaimana memaknai Pancasila yang selama mi menjadi bahan


perdebatan? Pada satu sisi, kelompok yang mengusung konsep khilafah, telah
menggeser kampanye politiknya. Dan yang awalnya menganggap Khilafah sebagai
puncak dan segala tujuan organisasi, dengan referensi khalifah Ottoman dan
pemerintahan Erdogan sebagai referensi politiknya. Mereka lupa tentang bagaimana
sejarah bangsa ini, hingga merumuskan nilai-nilai kebangsaan berupa Pancasila.
Pergeseran jargon kampanye kelompok-kelompok yang tidak percaya pada
sistem demokrasi, dengan mengakui sistem pemerintahan dan berusaha
merebutnya, menjadi sangat menarik dipahami. Pergeseran ini, terbukti dalam
kontestasi Pilkada DKI Jakarta yang memanas dalam 6 bulan terakhir.

Sementara, di sisi yang lain, muncul gerakan yang mengusung kebinekaan


namun mengabaikan spiritualitas.

Islam dan Penyegaran Pancasila Kita

Ada yang menarik dan temuan survei yang dirilis Wahid Foundation. Dan
survei yang diselenggarakan bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI),
menjelaskan meningkatkan eskalasi kebencian dan potensi untuk bertindak radikal
di kalangan anak muda.

Dan survei tersebut, ada 11 juta pemuda negeri mi yang siap bertindak
radikal. Datanya, ada 7,7 persen berpotensi t&pancing gerakan radikal, dan 0,4
persen pernah tergabung da1am jaringan radikal. Survei Wahid Foundation in
melibatkan 1520 responden yang tersebar di 34 provinsi. Survei ini dikerjakan pada
rentang waktu Mei-Juni 2016, dengan usia responden 17 tahun ke atas atau mereka
yang sudah menikah.

Temuan dan survei Wahid Foundation, mencengangkan ita, karena memberi


sepintas gambaran tentang peta sikap sekaIigus kecenderungan gerakan anak
muda negeri ini. Meski jumlah 7,7 persen yang bersedia bertindak radikal kelihatan
kecil dalam persentase, akan tetapi menjadi besar jika dikonversi daiam angka
jumlah penduduk negeri ini. Terbilang ada 11 juta pemuda yang dengan mudah
dapat terpancing menjadi radikal.

Islam dan Kontestasi Pancasila Kita

Di negeri ini, perdebatan tentang Pancasila sebagai ideologi kebangsaan


mengalami dinamika tiap zaman. Pada dekade awal kemerdekaan, di tengah rahim
kebangsaan kita, Pancasila menjadi bagian yang diberdebatkan untuk dipahami
sebagai ideologi yang mampu menjadi jembatan pemikiran semua pihak.
Kebinekaan telah dipahami sebagai fondasi untuk persatuan bangsa, akan tetapi
posisi agama dan negara tetap menjadi perdebatan yang meruncing, yang
mengalami dinamika eskalasi dalam tiap zamannya.

Pada masa awal kemerdekaan, Pancasila dipahami sebagai rujukan yang


mampu menjadi simpul kebangsaan masyarakat Indonesia.Tidak hanya dan unsur
pribumi, namun juga pen— datang dan etnis Tionghoa dan Arab, maupun etnis-etnis
lain dan kawasan Nusantara. Untuk hal ini, Soekarno pernah berujar lantang bahwa
suku-suku yang ada, merupakan kaki-kaki yang memperkuat fondasi keindonesiaan
kita. Dalam konteks in tidak dipermasalahkan tentang asal dan akar kebudayaan,
baik dan tanah Tiongkok maupun Jazirah Arab, namun kontnibusi nyata dalam
pergerakan kebangsaan yang [menjadi instrumen utama.

Diplomasi politik dan kebudayaan, yang dilakukan Soekarno, Kiai Wahid


Hasyim, dan beberapa tokoh pejuang yang keislaman-kebangsaan, mampu
meminimalisir perpecahan

Nasionalisme Progresif Birokrat Kita

Konsepsi nasionalisme para birokrat di negeri mi, perlu mendapat


penyegaran. Nasionalisme di jajaran Pegawai Negeri Sipil (PNS), menjadi konsepsi
penting karena bersentuhan dengan sistem administratif negara. Ibaratnya, PNS
sebagai tulang punggung negara, yang menopang gerak badan untuk kelangsungan
sistem pemerintahan. PNS juga menjadi mesin birokrasi untuk menggerakkan
pemerintahan.

Namun, ada sebuah noktah pada jajaran birokrasi yang perlu dicermati.
Mantan PNS di Kementerian Keuangan, Triyono Utomo Abdul Sakti bergabung
dengan jaringan ISIS. Triyono beserta empat rekannya. Mereka dideportasi dan
Turki pada akhir Januari 2017, karena terbukti akan bergabung dengan jaringan ISIS
di Suriah. Bergabungnya Tnyono dengan jaringan ISIS menjadi tanda tanya betapa
pentingnya benteng ideologi di jajaran birokrasi negeri ini.
Triyono merupakan alumnus Jurusan Master of Public Policy di Flinders
University, Adelaide, Australia. Ta sebelumnya belajar di STAN jurusan Piutang dan
Lelang Negara pada 1999-2001. Kemudian, melanjutkan D4 pada jurusan akuntasi
di Bintaro, Jakarta pada 2002-2004. Triyono pernah mengabdi sebagai Pegawai
Negeri Sipil di Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan.
Mengundurkan diri sebagai PNS pada Februari 2016.

Diplomasi Pancasila untuk Bela Negara

Sebagai dasar negara, marwah Pancasila tentulah menjadi penanda


kedaulatan bangsa kita. Ketika Pancasila dilecehkan, kedaulatan negara sama
halnya diinjak. Terlebih, jika yang melecehkan Pancasila adalah pasukan militer
negara lain, tentu berdampak negatif bagi kedaulatan politik dan diplomasi
internasional Indonesia. Kegelisahan tentang marwah Pancasila, semakin nyata
dalam kasus pelecehan dasar negara kita oleh oknum militer di Australia.

Pancasila dilecehkan menjadi ‘Pancagila’ dalam latihan militer Australia. Saat


Komando Pasukan Khusus (Kopassus) berlatih bersama pasukan Australia,
pelecehan Pancasila mi ditemukan. Seorang instruktur Kopassus merasakan ada
yang janggal dalam materi pelatihan, yang dirasa merendahkan Pancasila sebagai
dasar negara dan menghina kedaulatan Indonesia. Saat itu, Kopassus sedang
berlatih bersama pasukan komando Australia (Special Air Service) di salah satu unit
mereka di Perth, Australia Barat. Letnan Satu Irwan Maulana Ibrahim, instruktur
bahasa dan TNT merasa ada penghinaan terhadap materi pelatihan militer Australia.

Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Ryamizard Ryacudu


mengungkapkan bahwa pemerintah Australia sudah mengambil langkah tegas
terkait penghinaan Pancasila. Komunikasi politik antarkedua negara, menjadi bagian

Pancasila di Era Generasi Milenial

Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP Pancasila) bergerak


cepat dengan pelbagai program, riset dan festival. Semenjak dilantik pada 7 Juni
2017 lalu, UKP Pancasila di bawah komando Yudi Latif, menebarkan gagasan-
gagasan kreatif untuk menyegarkan nilai-nilai Pancasila di tengah tantangan
kebangsaan kita.

Dalam ungkapan Yudi Latif, UKP Pancasila memiliki tanggung jawab berat
dalam konstelasi politik kebangsaan dan dinamika regional saat ini. UKP Pancasila
juga bergerak untuk menyegarkan kembali Pancasila yang selama ini menjadi
ideologi yang kaku dan mandeg, yang diwariskan dan jejak politik Orde Baru.

Untuk menyegarkan wajah Pancasila, UKP Pancasila menyelenggarakan


Festival Prestasi Indonesia, pada Agustus 2017 lalu. “UKP Pancasila mencoba
mengarusutamakan visi sejarah yang lebih optimis dengan ikut membangun tradisi
mengapresiasi kinerja positif dan prestasi 72 putra-putri bangsa. Langkah itu antara
lain digagas melalui penyelenggaraan Festival Prestasi Indonesia,” ungkap Yudi
Latif.

Dan festival in UKP Pancasila mendorong tokoh nasional yang menjadi ikon
prestasi agar menginspirasi publik yang lebih luas. Di antara ikon prestasi mi, yakni
Prof. Dr. Taruna Ikrar, M.Pharm, MD, Ph.D. Ta merupakan doktor yang pernah
menjadi kandidat peraih Nobel Kedokteran, dan saat ini menjabat sebagai Dekan
School of Biomedical.
6. Ulasan Buku Bab III – Agama Kita Agama Cinta

Pesan Cinta Habib Luthfi, Menghayati ‘Semar Mandhito’


Gus Mus, Perdamaian dan Israel-Palestina
Ulama Sufi dan Semangat Bela Negara
Islam Cinta untuk Generasi Milenial
Ancaman Radikalisme Generasi Milenial
Mengenang Politik Kesalehan
Islamisme dan Cinta untuk Rohingya

7. Ulasan Buku Bab II – Silang Budaya Tionghoa Indonesia

Tragedi Mei: Mengingat dan Melupakan


Diplomasi Jalur Cheng Ho
Identitas Tionghoa Pasca Reformasi
Imlek Merawat Semangat Kebinekaan
Gus Dur, Imlek dan Pesan Kebinekaan
Benarkah Gus Dur Mendukung Ahok?
Cina yang (Bukan) Kafir
Ahok, Tionghoa dan Masjid-Masjid Cheng Ho
Ziarah Ahok, Mbah Priok dan Ingatan Tragedi
Tionghoa, Pribumi dan Kepemimpinan Progresif
Tionghoa dalam Sejarah Gelap 1965

8. Ulasan Buku Bab II – Merawat Kebinekaan

Kebinekaan dalam Ancaman


Wajah Kebinekaan di Media Sosial Kita
Khittah Menjaga Indonesia
Negara dalam Orkestrasi Kecemasan
Islamisme yang Meringkus Kebinekaan
Toleransi kepada Intoleran?

III. KESIMPULAN DAN SARAN


9. Kesimpulan

Dalam Islam, ada petuah yang sangat bagus, yakni amar ma’ruf bil ma’ruf wa
nahyl munkar bil ma’ruf: menyeru kebaikan dengan cara yang baik, dan mencegah
kemungkaran dengan cara yang baik pula. Petuah ini terkesan sederhana, namun
jika direnungkan akan sangat mendalam maknanya. Tidak mudah menyeru kebaikan
dengan cara yang sekaligus baik. Karena, yang banyak terjadi, menyeru kebaikan
yang diselimuti kesombongan, arogansi, dan nafsu menang sendiri.

Islam dan nasionalisme bukan untuk dipertentangkan, namun menjadi pilar


menguatkan Indonesia. Para kiai pesantren telah memberi teladan bagaimana Islam
dan nasionalisme mewujud pada perjuangan kebangsaan. Sedangkan, nilai-nilai
kebinekaan merupakan warisan tradisi Nusantara yang menjadi pemersatu bangsa
ini. Buku ini menjadi refleksi penting memahami Islam, nasionalisme dan kebinekaan
dalam teladan kebangsaan.

10. Saran

Merawat kebinekaan itu tugas bersama, dan komunitas masing-masing.


Menghargai kebinekaan merupakan jalan penting menghadirkan perdamaian. Buku
ini, memberi refleksi berharga untuk merawat kebinekaan dan menjaga perdamaian.

Bogor, 18 Februari 2018


Penulis,

dr. Mochammad Solehudin


Letda Ckm Nosis 45029
Lampiran :
1. Referensi
2. Data

Anda mungkin juga menyukai