Anda di halaman 1dari 11

88

TIPOLOGI PEMIKIRAN MUHAMMAD IQBAL

Etika Pujianti

Abstract
As a mature statesman, his views on external threats are also
very sharp. For Muhammad Iqbal, Western culture is a culture
of imperialism, materialism, anti-spiritual and far from human
norms. Therefore he strongly opposed the bad influence of
Western culture. He believes that the most important factor for
reform in man is his identity. With this understanding, which
he based on the teachings of Islam, he struggled to develop
confidence in Muslims and their Islamic identity. Muslims
must not feel inferior in the face of Western culture. In this
way the Muslims can escape from the shackles of imperialism.
Key words: Thought of Muhammad Iqbal


Dosen IAI An Nur Lampung

Jurnal Mubtadiin, Vol. 5 No. 01 Januari – Juni 2019


89

A. PENDAHULUAN
Berbicara masalah Islam dan pemikiran tokoh-
tokohnya, seberapapun lamanya tidaklah cukup untuk
membahasnya. Mengingat begitu banyak sekali kajian-kajian
Islam berikut pemikiran-pemikiran para tokohnya yang telah
berhasil mengukir sejarah dan melahirkan peradaban baru
bagi umat Islam. Dalam kajian ini penulis akan membahas
tentang tokoh gerakan rasionalisme versus revivalisme Islam,
yaitu Muhammad Iqbal dan Al-Maududi. Semoga tulisan ini
dapat menjadi bahan diskusi dan dapat diambil ibrah bagi
kalangan intelektual dan cendikiawan muda yang haus akan
ilmu pengetahuan.

B. PEMBAHASAN
1. Biografi Singkat Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal adalah nama yang sudah sangat
terkenal dan masyhur. Selain terkenal sebagai filosof, pada
dirinya juga melekat predikat sebagai seorang penyair,
agamawan, politikus dan ahli hukum. Namun, pada akhirnya
karir sebagai filosof dan penyair tampaknya lebih menonjol
dibandingkan bidang politik dan hukum.1
Iqbal dilahirkan di Sialkot-India (suatu kota tua
bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan Kashmir) pada
tanggal 9 November 1877/ 2 Dzulqa'dah 1294 dan wafat pada
tanggal 21 April 1938.2 Ia terlahir dari keluarga miskin, tetapi
berkat bantuan beasiswa yang diperlolehnya dari sekolah
menengah dan perguruan tinggi, ia mendapatkan pendidikan
yang bagus. Setelah pendidikan dasarnya selesai di Sialkot ia
masuk Government College (sekolah tinggi pemerintah)
Lahore. Iqbal menjadi murid kesayangan dari Sir Thomas
Arnold. Iqbal lulus pada tahun 1897 dan memperoleh
beasiswa serta dua medali emas karena baiknya bahasa

1 Didin Syaefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam: Biografi

Intelektual 17 Tokoh, PT Grasindo, Jakarta, 2003, hal. 44.


2 Herry Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh

Abad 20,Jakarta, Gema Insani, cet.1, th. 2006, hal.237

Jurnal Mubtadiin, Vol. 5 No. 01 Januari – Juni 2019


90

inggris dan arab, dan pada tahun 1909 ia mendapatkan gelar


M.A dalam bidang filsafat.3
Ia lahir dari kalangan keluarga yang taat beribadah
sehingga sejak masa kecilnya telah mendapatkan bimbingan
langsung dari sang ayah Syekh Mohammad Noor dan
Muhammad Rafiq kakeknya.4 Pendidikan dasar sampai
tingkat menengah ia selesaikan di Sialkot untuk kemudian
melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Lahore, di Cambridge-
Inggris dan terakhir di Munich-Jerman dengan mengajukan
tesis dengan judul The Development Of Metaphysics in Persia.
Sekembalinya dari Eropa tahun 1909 ia diangkat menjadi
Guru Besar di Lahore dan sempat menjadi pengacara.5
2. Karya-Karya Muhammad Iqbal
Bang-i-dara (Genta Lonceng), Payam-i-Mashriq (Pesan
Dari Timur), Asrar-i-Khudi (Rahasia-rahasia Diri), Rumuz-i-
Bekhudi (Rahasia-rahasia Peniadaan Diri), Jawaid Nama (Kitab
Keabadian), Zarb-i-Kalim (Pukulan Tongkat Nabi Musa), Pas
Cheh Bayad Kard Aye Aqwam-i-Sharq (Apakah Yang Akan Kau
Lakukan Wahai Rakyat Timur?), Musafir Nama, Bal-i-Jibril
(Sayap Jibril), Armughan-i-Hejaz (Hadiah Dari Hijaz),
Devlopment of Metaphyiscs in Persia, Lectures on the
Reconstruction of Religius Thought in Islam Ilm al Iqtishad, , A
Contibution to the History of Muslim Philosopy, Zabur-i-'Ajam
(Taman Rahasia Baru), Khusal Khan Khattak, dan Rumuz-i-
Bekhudi (Rahasia Peniadaan Diri).6
3. Pemikiran Muhammad Iqbal
Menurut Dr. Syed Zafrullah Hasan dalam pengantar
buku Metafisika Iqbal yang ditulis oleh Dr. Ishrat Hasan Enver,
Iqbal memiliki beberapa pemikiran yang fundamental yaitu
intuisi, diri, dunia dan Tuhan. Baginya Iqbal sangat
berpengaruh di India bahkan pemikiran Muslim India dewasa

3H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan,

Bandung, Mizan 1998, Cet. III h.174.


4 Herry Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh

Abad 20, h.237.


5 Ensiklopedi Umum, Penerbit Yayasan Kanisius, tahun 1977, h. 473
6 Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,

cet. 1, th. 2004, h. 128.

Jurnal Mubtadiin, Vol. 5 No. 01 Januari – Juni 2019


91

ini tidak akan dapat dicapai tanpa mengkaji ide-idenya secara


mendalam.
Namun dalam tataran praktek, Iqbal secara konkrit,
yang diketahui dan difahami oleh masyarakat dunia dengan
bukti berupa literature-literatur yang beredar luas, justru dia
adalah sebagai negarawan, filosof dan sastrawan. Hal ini tidak
sepenuhnya keliru karena memang gerakan-gerakan dan
karya-karyanya mencerminkan hal itu. Dan jika dikaji,
pemikiran-pemikirannya yang fundamental (intuisi, diri,
dunia dan Tuhan) itulah yang menggerakkan dirinya untuk
berperan di India pada khususnya dan dibelahan dunia timur
ataupun barat pada umumnya baik sebagai negarawan
maupun sebagai agamawan. Karena itulah ia disebut sebagai
Tokoh Multidimensional.7
Dengan latar belakang itu pula maka dalam makalah
ini penulis akan memaparkan gagasan-gagasan Iqbal dalam
dua hal yaitu: pemikirannya tentang politik dan tentang Islam.
a). Pemikiran Politik
Sepulangnya dari Eropa, Iqbal kemudian terjun
kedunia politik dan bahkan menjadi tulang punggung Partai
Liga Muslim India. Ia terpilih menjadi anggota legistalif
Punjab dan pada tahun 1930 terpilih sebagai Presiden Liga
Muslim. Karir Iqbal semakin bersinar dan namanya pun
semakin harum ketika dirinya diberi gelar „Sir‟ oleh
pemerintah kerajaan Inggris di London atas usulan seorang
wartawan Inggris yang aktif mengamati sepak terjang Iqbal di
bidang intelektual dan politiknya.8 Gelar ini menunjukan
pengakuan dari kerajaan inggris atas kemampuan
intelektualitas dan memperkuat bargening position politik
perjuangan umat Islam India pada saat itu.
Pemikiran dan aktivitas Iqbal untuk mewujudkan
Negara Islam ia tunjukkan sejak terpilih menjadi Presidaen
Liga Muslimin tahun 1930. Ia memandang bahwa tidaklah
mungkin umat Islam dapat bersatu dengan penuh
persaudaraan dengan warga India yang memiliki keyakinan

7 Didin Syaefuddin, Ibid, h. 44


8 RA. Gunadi, M. Shoelhi, Khazanah Orang Besar Islam, Dari Penakluk
Jerusalem Hingga Angkonol,h. 163.

Jurnal Mubtadiin, Vol. 5 No. 01 Januari – Juni 2019


92

berbeda. Oleh karenanya ia berfikir bahwa kaum muslimin


harus membentuk Negara sendiri. Ide ini ia lontarkan
keberbagai pihak melalui Liga Muslim dan mendapatkan
dukungan kuat dari seorang politikus muslim yang sangat
berpengaruh yaitu Muhammad Ali Jinnah (yang mengakui
bahwa gagasan Negara Pakistan adalah dari Iqbal), bahkan
didukung pula oleh mayoritas Hindu yang saat itu sedang
dalam posisi terdesak saat menghadapi front melawan
Inggris.9 Bagi Iqbal dunia Islam seluruhnya merupakan satu
keluarga yang terdiri atas republik-republik, dan Pakistan
yang akan dibentuk menurutnya adalah salat satu republik
itu. M. Natsir menyebutkan bahwa dalam ceramahnya yang
berjudul Structure of Islam, Iqbal menunjukkan asas-asas suatu
negara dengan ungkapannya : Didalam agama Islam spiritual
dan temporal, baka dan fana, bukanlah dua daerah yang
terpisah, dan fitrat suatu perbuatan betapapun bersifat
duniawi dalam kesannya ditentukan oleh sikap jiwa dari
pelakunya. Akhir-akhirnya latar belakang ruhani yang tak
kentara dari sesuatu perbuatan itulah yang menentukan
watak dan sifat amal perbuatan itu. Suatu amal perbuatan
ialah temporal (fana), atau duniawi, jika amal itu dilakukan
dengan sikap yang terlepas dari kompleks kehidupan yang
tak terbatas. Dalam agama islam yang demikian itu adalah
adalah seperti yang disebut orang "gereja" kalau dilihat dari
satu sisi dan sebagai "negara" kalau dilihat dari sisi yang lain.
Itulah maka tidak benar kalau gereja dan negara disebut
sebagai dua faset atau dua belahan dari barang yang satu.
Agama Islam adalah suatu realitet yang tak dapat dipecah-
pecahkan seperti itu.10
Demikian tegas Iqbal berpandangan bahwa dalam
Islam; politik dan agama tidaklah dapat dipisahkan, bahwa
negara dan agama adalah dua keseluruhan yang tidak
terpisah.
Dengan gerakan membangkitkan Khudi (pribadi;
kepercayaan diri) inilah Iqbal dapat mendobrak semangat

9 Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam


Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, cet. 1, th. 1998, h. 168-170.
10 Natsir,Ibid..., h. 147.

Jurnal Mubtadiin, Vol. 5 No. 01 Januari – Juni 2019


93

rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan yang dialami


dewasa ini. Ia kembalikan semangat sebagaimana yang dulu
dapat dirasakan kejayaannya oleh ummat Islam. Ujung dari
konsep kedirian inilah yang pada akhirnya membawa
Pakistan merdeka dan ia disebut sebagai Bapak Pakistan.
3. Pemikirannya Tentang Landasan Islam
Sebagai seorang yang terdidik dalam keluarga yang
kuat memegang prinsip Islam, Iqbal meyakini bahwa Al-
Qur’an adalah benar firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Al-
Qur’an adalah sumber hukum utama dengan pernyataannya
“The Qur‟an Is a book which emphazhise deed rather than idea (Al-
Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada
cita-cita). Namun dia berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah
undang-undang. Dia berpendapat bahwa penafsiran Al-
Qur’an dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman,
pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan utama al-Qur’an
adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi
dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Al-
Qur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah yang
ditutntut untuk mengembangkannya. Dalam istilah fiqih hal
ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam pandangan Iqbal sebagai
prinsif gerak dalam struktur Islam. Disamping itu Al-Qur’an
memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang
kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun Al-Qur’an
tidak melarang untuk memperimbangkan karya besar ulama
terdahulu, namun masyarakat harus berani mencari rumusan
baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan
persoalan yang mereka hadapi. Akibat pemahaman yang kaku
terhadap ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak
maju, hukum tetap berjalan di tempatnya.11
Iqbal juga mengeluh tentang ketidak mampuan
masyarakat India dalam memahami Al-Qur’an disebabkan
tidak memahami bahasa arab dan telah salah mengimpor ide-
ide India (hindu) dan Yunani ke dalam Islam dan Al-Qur’an.
Iqbal begitu terobsesi untuk menyadarkan umat Islam untuk

11 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan

Bintang, th. 2003, cet. XIV, h 185.

Jurnal Mubtadiin, Vol. 5 No. 01 Januari – Juni 2019


94

lebih progresif dan dinamis dari keadaaan statis dan stagnan


dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan
pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun
umat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi
disebabkan terlalu mementingkan legalita kehidupan
duniawi. Sedangkan kegagalan Kristen adalah dalam
memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan Negara, undang-
undang dan organisasi disebabkan terlalu mementingkan segi
ibadah ritual. Dalam kegagalan kedua agama tersebut
menurut Iqbal Al-Qur’an berada ditengah-tengah dan sama-
sama mengajarkan keseimbangan kedua kehidupan tersebut,
tanpa mebeda-bedakannya. Baginya antara politik
pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali.
Inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide
berdirinya Negara Pakistan yang memisahkan diri dari India
yang mayoritas Hindu.
Satu segi mengenai al-Qur'an yang patut dicatat adalah
bahwa ia sangat menekankan pada aspek Hakikat yang bisa
diamati. Tujuan al-Qur'an dalam pengamatan reflektif atas
alam ini adalah untuk membangkitkan kesadaran pada
manusia tentang alam yang dipandang sebagai sebuah
symbol. Iqbal menyatakan hal ini seraya menyitir beberapa
ayat, diantaranya: "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan
warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui". (Qs.
30:22)

4. Pendapat tentang Al-Hadits


Iqbal memandang bahwa umat Islam perlu melakukan
studi mendalam terhadap literatur hadist dengan berpedoman
langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai
otoritas untuk menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar
faedahnya dalam memahami nilai-nilai hidup dari prinsip-
prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al-
Qur’an.
Iqbal sepakat dengan pendapat Syah Waliyullah
tentang hadits, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan dakwah
Islam dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan

Jurnal Mubtadiin, Vol. 5 No. 01 Januari – Juni 2019


95

keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi


sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk
setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan
pada prinsip-prinsip dasar kehidupan social bagi seluruh
umat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu. Jadi
peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang
dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya
mengacu pada prinsip kemaslahatan, dari pandangan ini Iqbal
menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak
mempergunakan konsep istihsan dari pada hadits yang masih
meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadits-hadits pada
zamannya belum dikumpulkan, karena Abu Malik dan Az-
Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun sebelum
Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia
memandang tujuan-tujuan universal hadits daripada koleksi
belaka.12
5. Pandangannya Tentang Ijtihad
Menurut Iqbal ijtihad adalah “Exert with view to form an
independent judgment on legal question” (bersungguh-sungguh
dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk
menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang baik
hadits maupun Al-Qur’an memang ada rekomendasi tentang
ijtihad tersebut. Disamping ijtihad pribadi hukum Islam juga
memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad
inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan
dimodifikasi oleh ahli hukum Islam dalam mengantisipasi
setiap permasalahan masyarakat yang muncul. Sehingga
melahirkan aneka ragam pendapat (mazhab). Sebagaimana
mayoritas ulama, Iqbal membagi ijtihad kedalam tiga
tingkatan yaitu:13
1. Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan
yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri mazhab-
mazhab saja.

12 http://tghrib.ir/melayu/?pgid=69&scid=156&dcid=38329,
disadur pada tanggal 15 September 2010
13 Muhammad Iqbal, Tajdiid At-Tafkiir Ad-Diinii Fii al-Islam, Kairo,

cet. 2, th. 1968, h. 171.

Jurnal Mubtadiin, Vol. 5 No. 01 Januari – Juni 2019


96

2. Otoritas relative yang hanya dilakukan dalam batas-batas


tertentu dari satu madzhab
3. Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan
hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terkait
pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.
Iqbal menggaris bawahi pada derajat yang pertama
saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang
disepakati diterima oleh ulama ahl-al-sunnah tetapi dalam
kenyataannya dipungkiri sendiri sejak berdirinya mazhab-
mazhab. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang
hampir tidak mungkun dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal,
adalah sangat ganjil dalam suatu system hukum Al-Qur’an
yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibatnya
ketentuan ketatnya ijtihad ini, menjadikan hukum Islam
selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak
mampu berkembang. Ijtihad yang menjadi konsep dinamis
hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak
berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja.
Demikian juga ijma hanya menjadi mimpi untuk
mengumpulkan ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja
ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma
tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya
daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori
saja, konsekwensinya, hukum Islam pun statis tidak
berkembang selama beberapa abad.

C. SIMPULAN
Iqbal adalah seorang intelektualis asal Pakistan telah
melahirkan pemikiran dan peradaban besar bagi generasi
setelahnya . Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin. Ia
adalah seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, filosof,
pendidik dan kritikus seni. Menilai kepiawaiannya yang
multidisiplin itu, pak Natsir mengatakan "tentulah sukar bagi
kita untuk melukiskan tiap-tiap aspek kepribadian Iqbal.
Jiwanya yang piawai tidak saja menakjubkan tetapi juga
jarang ditemui".Kemudian konsep teodemokrasi lebih
banyak mendatangkan masalah dan kerumitan baru,
daripada mendatangkan kecemerlangan dan

Jurnal Mubtadiin, Vol. 5 No. 01 Januari – Juni 2019


97

penyelesaian berbagai masalah. Dalam beberapa hal,


konsep teodemokrasi cukup bisa membedakan dengan
kontras sistem Khilafah dan Kerajaan. Tapi konsep ini
tidak bisa membedakan secara jelas perbedaan sistem
republik atau republik Islam dengan sistem Khilafah. Ini
tentunya wajar karena konsep teodemokrasi memang
didasarkan pada sikap akomodatif antara Islam dan ide
demokrasi, sebagai dasar sistem republik. Jika ini yang
terjadi, maka terwujudnya sistem Khilafah akan
mengalami hambatan dan akan memakan waktu lebih
lama, karena bisa jadi para aktivisnya terkecoh dengan
jalan perjuangan kooperatif melalui perbaikan sistem
republik yang ada. Apalagi kalau namanya sedikit
diganti menjadi “republik Islam”, seperti misalnya
Republik Islam Pakistan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern


Dalam Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, cet. 1, th.
1998.
Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa
Al-Mulk). Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cetakan II,
Mizan, Bandung, 1988.
Didin syaefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam:
Biografi Intelektual 17Tokoh, PT Grasindo, Jakarta, 2003.
Ensiklopedi Umum, Penerbit Yayasan Kanisius, tahun 1977.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan
Bintang, th. 2003.
Herry Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh
Abad 20,Jakarta, Gema Insani, cet.1, th. 2006.
H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan,
Bandung, Mizan 1998.
Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, cet. 1, th. 2004.

Jurnal Mubtadiin, Vol. 5 No. 01 Januari – Juni 2019


98

Jimly Asshidiqie, Islam dan Kedaulatan Rakyat, Gema Insani


Press, Jakarta, 1995.
Maryam Jamilah, Biografi Abu A‟La Al-Maududi, Alih bahasa
oleh Jamaluddin Malik, Risalah, Bandung, 1984.
Muhammad Iqbal, Tajdiid At-Tafkiir Ad-Diinii Fii al-Islam,
Kairo, cet. 2, th. 1968,
RA. Gunadi, M. Shoelhi, Khazanah Orang Besar Islam, Dari
Penakluk Jerusalem Hingga Angkonol

Jurnal Mubtadiin, Vol. 5 No. 01 Januari – Juni 2019

Anda mungkin juga menyukai